BAB V - Aspek Hukum Perjanjian Jual-Beli Kios Pasar Tradisional Meranti Baru (Studi Antara Tiurma Tampubolon dan Bernika Sitorus)

  bab 4 ini berisikan: proses pelaksanaan perjanjian jual beli antara Tiurma Tampubolon dan Bernika Sitorus pada Pasar Tradisional Meranti Baru, kekuatan hukum pembuktian akta dibawah tangan pada perjanjian jual beli kios antara Tiurma Tampubolon dan Bernika Sitorus pada Pasar Tradisional Meranti Baru, serta perlindungan hukum terhadap pembeli kios pada Pasar Tradisional Meranti Baru.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan kesimpulan dan saran dalam pembahasan skripsi ini, sehingga dalam bab ini menguraikan mengenai: kesimpulan dan saran. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN

A. Pengertian dan Akibat Hukum Dari Suatu Perjanjian Pada Umumnya

  Kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari hubungan kausal dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan hidup. Hubungan ini tentunya tidak selamanya dengan baik. Salah satu pihak kadangkala berusaha mengungguli pihak yang lain berbuat curang. Sedangkan dipihak lain selalu kalah atau bahkan dengan sengaja dikalahkan. Oleh karena itu dibutuhkan peranan hukum yang disepakati sebagai tata norma dan tata kehidupan sehingga dapat memberikan jalan tengah yang diharapkan adil, tidak berat sebelah dan konsisten.

  Dalam mengadakan perjanjian tiap-tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak yang lain, sedangkan pihak lain mempunyai kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut begitu juga sebaliknya .

  Sebelum membahas tentang perjanjian jual-beli maka terlebih dahulu kita mengetahui pengertian dari suatu perjanjian. Istilah “perjanjian” dalam “hukum Perjanjian” merupakan kesepadanan dari istilah overeenkomst dalam bahasa Belanda atau

   istilah agreement dalam bahasa Inggris.

  Perjanjian adalah suatu peristiwa ketika seseorang berjanji kepada orang lain atau ketika orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Perjanjian ini

   sifatnya konkret. Dari peristiwa itu maka timbul hubungan antara dua orang atau lebih.

  Perjanjian dalam arti luas adalah setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak, misalnya pejanjian tidak 15 16 19 Februari 2015.

  Lukman Santoso, Op.Cit., hal. 8.

   bernama atau perjanjian jenis baru.

  Perjanjian dalam arti sempit adalah hubungan hukum dalam lapangan harta

   kekayaan misalnya perjanjian bernama.

  Pengertian lain dari suatu perjanjian yaitu perjanjian mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/ harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain melakukan prestasi. Dari pengertian tersebut kita jumpai beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian hubungan hukum (rechtsbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberi hak pada satu

  

  pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. Prestasi ini adalah “objek” (voorwep) dari perjanjian (verbintenis). Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasarkan tindakan hukum sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai “kreditur”.

   Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai “debitur”.

  Perjanjian mempunyai sifat yang dapat dipaksakan. Dalam perjanjian, kreditur berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Hak mendapatkan prestasi dilindungi oleh hukum berupa sanksi. Ini berarti kreditur diberi kemampuan oleh hukum untuk memaksa debitur menyelesaikan pelaksanaan kewajiban atau prestasi yang mereka perjanjikan.

  Apabila debitur tidak secara suka rela memenuhi prestasi, kreditur dapat meminta kepada pengadilan untuk melaksanakan sanksi hukum, baik berupa eksekusi, ganti rugi atau uang paksa. Akan tetapi tidak seluruhnya perjanjian mempunyai sifat yang dipaksakan seperti 17 18 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal. 42. 19 Ibid. 20 M.Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 6.

  Ibid., hal.7.

   pada perjanjian tanpa mempunyai kekuatan memaksa atau natuurlijke verbintenis.

  Hukum perjanjian diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengertian perjanjian berdasarkan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum ketika seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang atau lebih. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua perjanjian dan aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja (perjanjian khusus) yang namanya sudah diberikan undang-undang. Contoh perjanjian yaitu jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, pinjam meminjam, pemborongan, pemberian kuasa, dan perburuhan. Pengertian yang berdasarkan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut menegaskan bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya kepada orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang kepada satu atau lebih orang lainnya yang harus dipenuhi oleh orang atau subjek hukum tersebut. Dengan demikian, rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak merupakan pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lain merupakan pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur) .

  Menurut R. Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu

   orang atau lebih.

  Menurut R. Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa bahwa seseorang berjanji

  21 22 Ibid., hal. 9.

  R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan,(Yogyakarta: Bina cipta, 1979), hal. 49.

   kepada orang lain atau kedua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.

  Sedangkan menurut R.Wirjono, perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua belah pihak, dalam mana suatu pihak suatu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, dan sedangkan

   pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian.

  Dari beberapa definisi perjanjian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum antara dua orang atau lebih yang saling mengikatkan dirinya kepada dua orang atau lebih lainnya untuk melakukan sesuatu hal tertentu yang memiliki akibat hukum dan dapat diketahui bahwa suatu perjanjian menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara dua pihak dengan kata lain perjanjian itu melahirkan perikatan.

  Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Perjanjian merupakan sumber terpenting melahirkan perikatan, karena perikatan paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian. Perikatan adalah suatu pengertian abstrak,

   sedangkan perjanjian adalah suatu hak yang konkrit atau suatu pristiwa.

  Terdapat beberapa rumusan pengertian perikatan oleh beberapa ahli hukum,

  

  seperti dibawah ini: 1.

  Mariam, mengatakan bahwa “Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang atau lebih yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dari pihak lainnya wajib memenuhi 23 prestasi”. 24 R. Subekti (1), Op.Cit., hal. 1. 25 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal. 7. 26 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Jakarta: Alfabet,2004), hal. 74.

  

Wan Sadjaruddin Baros, Beberapa Sendi Hukum Perikatan, (Medan: USU PERS, 1992), hal. 1-2.

  2. Setiawan, mengatakan bahwa “Perikatan adalah suatu hubungan hukum harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak yang lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi”.

  3. Subekti, mengatakan bahwa “Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu”.

  Perjanjian dan perikatan adalah dua hal yang berbeda, meskipun keduanya memiliki ciri yang hampir sama. Perbedaan dapat dilihat pada tabel berikut ini: PERJANJIAN PERIKATAN

  Perjanjian menimbulkan atau melahirkan Perikatan adalah isi dari perjanjian perikatan Perjanjian lebih konkrit daripada perikatan, Perikatan merupakan pengertian yang artinya perjanjian itu dapat dilihat dan di abstrak (hanya dalam alam pikiran) dengar. Pada umumnya perjanjian merupakan Bersegi satu, hal ini berarti belum tentu hubungan hukum bersegi dua, artinya menimbulkan akibat hukum, sebagai akibat hukum dikehendaki kedua belah contoh, perikatan alami tidak dapat dituntut pihak. Hal ini bermakna bahwa hak dan di muka pengadilan (hutang karena judi) kewajiban dapat dipaksakan. Pihak pihak pemenuhannya tidak dapat dipaksakan. berjumlah lebih dari atau sama dengan 2 Pihaknya hanya berjumlah satu maka sehingga bukan pernyataan sepihak, dan merupakan pernyataan sepihak dan merupakan perbuatan hukum. merupakan perbuatan biasa (bukan

   perbuatan hukum).

  Dari penjelasan-penjelasan diatas maka ada akibat dari suatu perjanjian. Akibat

  

  dari suatu perjanjian menurut Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu: 1.

  Perjanjian mengikat para pihak Pihak-pihak yang mengikat antara lain:

  a. Para pihak yang membuatnya (Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

  b. Ahli waris berdasarkan alas hak umum karena mereka itu memperoleh segala hak dari seseorang secara tidak terperinci.

  c. Pihak ketiga yang diuntungkan dari perjanjian yang dibuat berdasarkan alas hak khusus karena mereka itu memperoleh segala hak dari seseorang secara terperinci atau khusus.

  2. Perjanjian yang tidak dapat ditarik kembali secara sepihak karena (Pasal 1338 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) merupakan kesepakatan antara kedua belah pihak dan alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

  3. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

  Dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi asas ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang menaati perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat 27 28 Handri Rahardjo, Op.Cit., hal.43 Ibid.,

  hal. 58. kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Suatu perjanjian tidak boleh membawa kerugian bagi pihak ketiga.

  Melaksanakan apa yang menjadi hak di satu pihak dan kewajiban di satu pihak yang lain dari yang membuat perjanjian. Hakim berkuasa menyimpangi isi perjanjian bila bertentangan dengan rasa keadilan sehingga agar suatu perjanjian dapat dilaksanakan harus dilandasi dengan itikad baik, prinsip kepatutan, kebiasaan, dan sesuai dengan

   undang-undang.

  Hukum perjanjian atau perikatan disebut juga sebagai hukum tuntut menuntut karena di dalamnya terdapat pengertian satu pihak yaitu pihak penjual atau pembeli menuntut sesuatu kepada pihak penjual atau yang dituntut dari pihak pembeli yaitu prestasi.

  Prestasi atau yang dalam bahasa Inggris disebut juga dengan istilah

  

performence , dalam hukum kontrak atau perjanjian dimaksudkan sebagai suatu

  pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu perjanjian oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan term dan condition

   sebagaimana disebutkan dalam perjanjian yang bersangkutan.

  Menurut Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, prestasi dibagi dalam 3 jenis:

  1. Prestasi untuk memberikan sesuatu 29 30 Ibid., hal. 59.

  

Munir Fuadi, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Bisnis ), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 87. Prestasi ini terdapat pada Pasal 1237 Kitab Undang-Undang Hukum perdata, contoh: prestasi pembeli menyerahkan uang kepada penjual, prestasi penjual menyerahkan barang kepada pembeli.

  2. Prestasi untuk melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu Prestasi ini terdapat dalam Pasal 1239 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, contoh: prestasi pengangkatan untuk membawa barang angkutan ke tempat tujuan.

  3. Prestasi untuk tidak berbuat atau tidak melakukan sesuatu Prestasi ini terdapat dalam Pasal 1239 kitab Undang-Undang Hukum Perdata, contoh: A dan B membuat perjanjian untuk tidak akan membuat barang yang sama seperti yang dibuat A.

  Apabila seseorang telah ditetapkan prestasinya sesuai dengan perjanjian itu, maka kewajiban pihak tersebut melaksanakan atau menaatinya. Apabila seseorang tidak melaksanakan atau tidak memenuhi prestasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka disebut wanprestasi.

  Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menutut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi.

B. Asas-Asas Hukum Perjanjian

  Asas-asas hukum merupakan sumber bagi sistem hukum yang memberikan inspirasi mengenai nilai-nilai etis, moral, dan sosial masyarakat. Asas hukum sebagai pada akhirnya harus dapat dikembalikan pada asas hukum yang menjiwainya. Asas-asas hukum dapat timbul dari pandangan kepantasan dalam pergaulan sosial yang kemudian

   diambil oleh pembuat undang-undang sehingga menjadi aturan hukum.

  Asas-asas hukum dalam perjanjian menurut Sudikno Mertokusumo adalah pikiran dasar yang umum sifatnya dan merupakan latar belakang dari peraturan hukum yang konkrit, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat dalam

   peraturan konkrit tersebut.

  Didalam hukum perjanjian dikenal lima asas perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sun servanda, asas itikad baik, asas kepribadian (personalitas) antara lain:

  1. Asas kebebasan berkontrak Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi semangat liberialisme. Menurut paham individualisme setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki,

   sementara itu ada di dalam hukum perjanjian dalam asas kebebasan berkontrak.

  Menurut Salim H. S bahwa asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapa pun, menentukan isi perjanjian 31 Agus Yuda Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 103. 32 33 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1991), hal. 97.

  Agus Yuda Hernoko, Op.Cit., hal. 109. pelaksanaan, persyaratannya, dan menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis dan lisan. Di dalam hukum perjanjian nasional, asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab, yang mampu memelihara keseimbangan tetap perlu dipertahankan, yaitu pengembangan kepribadian untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir

   batin yang serasi, selaras dan seimbang dengan kepentingan masyarakat.

  Asas kebebasan berkontrak ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

  Asas Kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak membuat persetujuan harus mentaati hukum yang sifatnya memaksa

   tersebut.

  Namun yang penting diperhatikan bahwa asas kebebasan berkontrak di dalam

  Pasal 1338 ayat (1) tidaklah berdiri sendiri. Asas tersebut berada dalam satu sistem utuh dan padu. Sebagai suatu kesatuan yang bulat dan utuh dalam satu sistem, maka penerapan asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata harus juga dikaitkan dengan kerangka pemahaman pasal-pasal lain. Apabila Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dihubungkan dengan pasal-pasal lain dalam satu kerangka sistem hukum perjanjian (Pasal 1320, 1335, 1337, 1338 (3) serta 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) maka penerapan asas kebebasan berkontrak perlu dihubungkan dengan rambu-rambu hukum lainnya. 34 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2008), hal.

  229. 35 Komariah, Hukum Perdata, cetakan ketiga, (Malang: Penerbitan Universitas Muhamadiyah, 2004), hal. 173-174.

  Hal ini berarti kebebasan para pihak dalam membuat kontrak perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Mempunyai syarat sahnya suatu kontrak. b.Untuk mencapai tujuan para pihak, kontrak harus mempunyai kausa. c.Tidak mengandung kausa palsu atau dilarang oleh undang-undang. d.Tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, kesusilaan dan ketertiban umum. e.Harus dilaksanakan dengan itikad baik.

  Asas kebebasan berkontrak didasarkan pada para pihak dalam kontrak memiliki posisi yang seimbang, tetapi pada kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi yang seimbang. Apabila terjadi dalam suatu perjanjian terdapat ketidakseimbangan, ketidakadilan, ketimpangan, posisi berat sebelah, maka justru merupakan pengingakaran

   terhadap asas kebebasan berkontrak.

2. Asas Konsensualisme

  Asas konsensualisme mempunyai hubungan erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat dalam Pasal 1338 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal ini sedasar dengan pendapat Subekti yang menyatakan bahwa asas konsensualisme terdapat dalam Pasal 1320 jo 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan

   mengakibatkan perjanjian itu tidak sah.

  Asas konsensualitas menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat antara dua atau lebih orang telah mengikat sehingga telah melahirkan kewajiban bagi salah satu 36 37 Agus Yuda Hernoko, Op.Cit., hal. 111-120.

  Ibid., hal. 121. atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut mencapai kesepakatan atau konsensus meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata. Ini berarti pada prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas. Walaupun demikian, untuk menjaga kepentingan pihak debitur atau pihak yang berkewajiban memenuhi prestasi maka diadakanlah bentuk-bentuk formalitas atau dipersyaratkan adanya suatu tindakan nyata tertentu. Ketentuan yang mengatur mengenai konsensualitas dapat kita temui dalam

  Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu untuk sahnya suatu perjanjian,

  

  diperlukan empat syarat: a.

  Kesepakatan mereka mengikat dirinya.

  b.

  Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

  c.

  Suatu hal tertentu.

  d.

  Suatu sebab yang tidak dilarang.

  Asas konsensualisme sebagaimana terdapat dalam Pasal 1320 ayat (1) perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainnya kata sepakat antara para pihak.

  Kesepakatan tersebut dapat dibuat secara lisan maupun dituangkan dalam bentuk tulisan berupa akta, jika dikehendaki sebagai alat bukti. Perjanjian yang dibuat secara lisan didasarkan pada asas bahwa manusia itu dapat dipegang perkataannya artinya dapat dipercaya dengan kata-kata yang diucapkannya. Tetapi ada beberapa perjanjian harus dibuat secara tertulis, misalnya perjanjian perdamaian, perjanjian penghibaan, perjanjian pertanggungan, tujuannya ialah sebagai alat bukti lengkap dari

38 Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan (AANVULLEND RECHT ) dalam Hukum Perdata , (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 263-264.

   yang diperjanjikan.

  Dengan demikian, maka jelaslah bahwa kecuali ditentukan secara khusus untuk tiap-tiap perjanjian yang mengakibatkan tidak sahnya suatu perjanjian, suatu kesepakatan lisan saja sudah tercapai antara para pihak yang membuat atau mengadakan perjanjian telah membuat perjanjian tersebut sah dan mengikat bagi para pihak. Ini berarti asas

   konsensualisme merupakan ketentuan umum yang melahirkan perjanjian konsensuil.

  3. Asas Asas Daya Mengikat Kontrak (Pacta Sun Servanda) Dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pengertian berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya menunjukan bahwa undang-undang sendiri mengakui dan menempatkan posisi para pihak dalam kontrak sejajar dengan

   pembuat undang-undang.

  Mengikat artinya masing-masing pihak dalam perjanjian harus menghormati dan melaksanakan isi perjanjian, serta tidak boleh melakukan perbuatan yang bertentangan dengan isi perjanjian. Isi perjanjian yang mengikat tersebut berlaku

   sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

  Perkembangan asas pacta sun servanda dapat ditelusuri dari sumber hukum kanonik. Dalam hukum kanonik dikenal asas nudus consensus obligat, pacta sun

  

servanda . Asas pacta sun servanda mempunyai pengertian bahwa persesuaian

39 40 Komariah, Op.Cit., hal. 228. 41 Gunawan Widjaja Op.Cit., hal. 265. 42 Agus Yuda Hernoko, Op.Cit., hal. 127.

  Komariah, Op.Cit., hal. 174. kehendak tidak perlu dilakukan dibawah sumpah, atau dibuat dengan tindakan formalitas tertentu. Artinya menurut hukum persesuaian kehendak itu mengikat.

  Demikian halnya nudum pactum yaitu suatu persesuaian kehendak saja, sudah memenuhi syarat. Dengan mengikuti alur tersebut. Maka mengikatnya suatu perjanjian itu karena adanya penyesuaian kehendak. Mengingat consensus itu telah diwujudkan di dalam suatu pactum, sehingga kemudian dipandang sebagai mempunyai kekuatan mengikat. Oleh karena itulah, dapat dipahami kalau pada saat ini yang lebih menionjol adalah asas pacta nuda sun servanda yang kemudian berkembang menjadi pacta sun

   servanda yang berkaitan dengan kekuatan yang mengikatnya suatu perjanjian.

4. Asas Itikad Baik

  Sebagaimana diketahui bahwa dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersimpul asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas daya mengikat perjanjian atau pacta sun servanda. Pemahaman terhadap pasal tersebut tidak berdiri sendiri, asas-asas yang terdapat dalam pasal tersebut berada dalam satu sistem padu dan integratif dengan ketentuan-ketentuan lainnya. Terkait dengan daya mengikatnya suatu perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (pacta sun servanda), pada situasi tertentu daya berlakunya dibatasi antara lain dengan itikad baik.

  Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa “perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Maksudnya perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Pengertian itikad baik dalam dunia hukum mempunyai arti yang lebih luas dari pada pengertian sehari hari. Pengertian 43 Agus Yuda Hernoko, Op. Cit., hal. 131-132. berarti melaksanakan perjanjian dengan itikad baik dengan bersifat dinamis. Artinya dalam melaksanakan perbuatan ini kejujuran harus berjalan dalam hati nurani

   seseorang.

  5. Asas Kepribadian (Personalitas) Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1315 berbunyi “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”. Inti ketentuan ini bahwa seseorang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingannya sendiri. Pasal 1340 berbunyi “Perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang membuatnya“. Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang

   membuatnya.

  Disamping kelima asas itu, di dalam lokakarya hukum perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dari tanggal 17- 19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan

  

  nasional antara lain:

  a. Asas Kepercayaan Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara, mereka di belakang hari. 44 45 Ibid., hal.134-139.

  

Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal.12. 46 Ibid., hal. 13-14 b. Asas Persamaan Hukum Bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak dibeda-bedakan antara satu sama lain, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, ras .

  c. Asas Keseimbangan Asas ini adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.

  d. Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.

  e. Asas Moral Asas moral ini terkait dalam perikatan wajar yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak-hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Dalam hal ini yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.

  f. Asas Kepatutan bahwa isi perjanjian itu harus sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku, ketertiban umum, dan kesusilaan. Asas ini tertuang dalam Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

  g. Asas Kebiasaan Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal menurut kebiasaan lazim diikuti.

  h. Asas Perlindungan Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur

  

  harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.

  Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak.

C. Syarat - Syarat Sahnya dan Pelaksanaan Perjanjian

  Sebelum mengetahui syarat-syarat sahnya suatu perjanjian agar perjanjian tersebut dianggap sah maka terlebih dahulu kita melihat unsur-unsur dalam suatu perjanjian. Ada beberapa unsur perjanjian: 1.

  Ada pihak-pihak (subjek) sedikitnya dua pihak. Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap. 47 Ibid., hal. 13-14.

  3. Ada tujuan yang akan dicapai yaitu memenuhi kebutuhan pihak-pihak.

  4. Ada prestasi yang akan dilaksanakan.

  5. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan.

  6. Ada syarat-syarat tertentu bagi isi perjanjian.

  Selain unsur-unsur perjanjian, agar suatu perjanjian dianggap sah, harus memenuhi persyaratan. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat yaitu: 1.

  Kesepakatan mereka mengikatkan dirinya.

  2. Kecakapan.

  3. Suatu hal yang tertentu.

  4. Suatu sebab yang halal.

  Keempat syarat ini merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian, artinya setiap perjanjian harus memenuhi keempat syarat ini bila ingin suatu perjanjian sah dan keempat syarat umum suatu perjanjian ini juga diterapkan dalam perjanjian khusus yaitu

  

  perjanjian jual beli. Syarat sahnya suatu perjanjian meliputi dua hal, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif antara lain:

  1. Syarat Subjektif Syarat subjektif adalah syarat yang berkaitan dengan subjek perjanjian meliputi antara lain: a. Adanya kesepakatan atau ijin kedua belah pihak

  Dalam suatu perjanjian harus ada kesepakatan antara para pihak yaitu 48 persesuaian kehendak antara kedua belah pihak, tidak ada paksaan. Dengan

  

Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), hal. 44. diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Syarat kesepakatan sangat penting karena syarat ini bagi sebagian besar perjanjian menetukan ada atau tidak adanya unsur penawaran (offer) oleh salah satu pihak diikuti oleh penerimaan (acceptence) dari pihak lainnya, sehingga pada akhirnya terjadilah suatu

   kontrak.

  Unsur kesepakatan adalah penting untuk menjadikan suatu perjanjian sah secara hukum. Suatu perjanjian tanpa adanya kesepakatan adalah perjanjian yang

   tidak sah secara hukum .

  Menurut Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kata sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan. Masalah lain yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni yang disebut cacat kehendak atau kehendak yang timbul tidak

   murni dari yang bersangkutan.

  Tiga unsur cacat kehendak menurut Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata antara lain: 1) Kekhilafan atau kekeliruan atau kesesatan atau dwaling (Pasal 1322 Kitab

  Undang-Undang Hukum Perdata ) Sesat dianggap ada apabila pernyataan sesuai dengan kemauan tetapi kemauan itu didasarkan atas gambaran yang keliru baik mengenai orangnya atau objeknya. 49 Menurut R. Subekti kehilafan terjadi jika salah satu pihak khilaf tentang 50 Munir Fudy, Op.Cit., hal. 36. 51 Hardijan Rusli, Op.Cit., hal. 66.

  Handri Rahardjo, Op.Cit., hal.49. hal-hal pokok apa yang diperjanjikan atau tentang dengan orang-orang

   siapa perjanjian itu diadakan.

   Kekeliruan dapat terjadi dalam kemungkinan yaitu :

  a) Kekeliruan terhadap orang atau subjek hukum

  Misalnya: perjanjian pertunjukan penyanyi yang terkenal yang disangka Agnes Monica ternyata kemudian bukanlah Agnes Monica.

  b) Kekeliruan terhadap barang atau objek hukum

  Misalnya: jual beli lukisan yang disangka lukisan ciptaan Affandi ternyata lukisan tersebut bukan lukisan Affandi.

  2) Paksaan atau dwang (Pasal 1323-1327 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)

  Paksaan bukan karena kehendaknya sendiri, namun dipengaruhi oleh orang lain. Paksaan telah terjadi bila perbuatan itu sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan seseorang yang berpikiran sehat dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang

   terang dan nyata.

  Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa yang diancamkan itu adalah tindakan yang dilarang

  52 53 R.Subekti (1), Op.Cit., hal. 23.

C. S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata , cetakan keempat, (Jakarta: PT.Pradnya Paramitha, 2004), hal. 224-225.

54 Handri Rahardjo, Op.Cit., hal.50.

   oleh undang-undang.

  3) Penipuan atau bedrog (Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata )

  Menurut Subekti penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar disertai

   tipu musliat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perijinan.

  Pihak yang menipu dengan daya akalnya menanamkan suatu gambaran yang keliru tentang orangnya atau objeknya sehingga pihak lain bergerak untuk menyepakatinya.

   Penipuan dapat dibagi dalam dua macam yaitu:

  a) Penipuan yang material Penipuan ini terjadi apabila suatu pernyataan yang tidak benar itu menyebabkan orang berpikiran waras atau orang-orang tertentu memberikan kesepakatannya untuk suatu transaksi. b)Penipuan yang fraudulent

  Penipuan ini terjadi bila pernyataan tidak benar itu disertai maksud dari pembuat pernyataan untuk mempengaruhi pihak lawannya agar percaya. Perjanjian itu dapat dibatalkan, apabila terjadi kegiatan hal tersebut.

  4) Penyalahgunaan keadaan atau undue Influence (Tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ) 55 Pada Hakikatnya ajaran penyalahgunaan keadaan bertumpu pada 56 R. Subekti, Op.Cit., hal. 23. 57 Ibid., hal. 24.

  Hardijan Rusli, Op.Cit., hal. 72. kedua hal berikut, yaitu:

  a) Penyalahgunaan keunggulan ekonomi

  b) Penyalahgunaan keunggulan kejiwaan termasuk tentang psikologi, penegtahuan, dan pengalaman.

  Konsekuensi bila ada penyalahgunaan keadaan maka perjanjian itu dapat

   dibatalkan.

  b. Kedua belah pihak harus cakap bertindak Cakap bertindak, yaitu kecakapan atau kemampuan kedua belah pihak untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang yang cakap adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Sedangkan orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum menurut

  Pasal 1330 KUH Perdata meliputi anak dibawah umur, orang-orang yang dalam pengampuan. Didalam dunia hukum perkataan orang (persoon) berarti pendukung hak dan kewajiban yang juga disebut subjek hukum. Meskipun setiap subjek hukum mempunyai kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum namun perbuatan

   tersebut harus didukung oleh kecakapan dan kewenangan hukum.

  2. Syarat Objektif Syarat objektif adalah syarat yang berkaitan dengan objek perjanjian antara lain:

  a. Suatu Hal tertentu 58 Objek dalam perjanjian adalah prestasi. Prestasi adalah memberikan sesuatu, 59 Handri Rahardjo, Op.Cit., hal. 51.

  Handri Rahardjo, Op.Cit., hal.51-52. berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu. Suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tertentu berupa benda yang sekarang dan benda yang akan ada misalnya: jumlah, jenis, bentuknya.

  Berkaitan dengan hal tersebut benda yang dijadikan objek perjanjian harus memenuhi beberapa ketentuan yaitu: 1)

  Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan Barang-barang yang digunakan untuk kepentingan umum antara lain jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum dan sebagainya.

  2) Dapat ditentukan jenisnya 3) Barang yang akan datang.

  b. Adanya sebab yang halal Dalam suatu perjanjian diperlukan adanya sebab yang halal artinya ada sebab-sebab hukum yang menjadi dasar perjanjian yang tidak dilarang oleh

   Sebab yang peraturan, keamanan dan ketertiban umum dan sebagainya.

  dimaksud adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian. Halal adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban

   umum, dan kesusilaan.

  Apabila syarat kesepakatan dan kecakapan tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya, bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada Pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Tetapi apabila para pihak tidak ada keberatan maka perjanjian itu dianggap sah. Jika syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, bahwa dari 60 61 Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hal. 222-226.

  Handri Raharjo, Op.Cit., hal. 57.

   semula perjanjian itu dianggap tidak ada.

  Selain syarat dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sering ditentukan syarat atau formalitas yang ditentukan oleh undang-undang. Terhadap perjanjian formil bila tidak dipenuhi formalitasnya yang telah ditetapkan oleh undang-undang maka perjanjian itu batal demi hukum. Contoh perjanjian formil adalah perjanjian penghibaan benda tidak bergerak harus menggunakan akta notaris perjanjian perdamaian harus tertulis.

  Mengenai pelaksanaan perjanjian dapat dilihat dari syarat-syarat sahnya suatu perjanjian bahwa dalam melaksanakan suatu perjanjian haruslah berdasarkan asas itikad baik yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli.

  Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja. Pelaksanaan perjanjian dalam hal ini adalah realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Pelaksanaan perjanjian jual beli pada dasarnya menyangkut soal pembayaran dan penyerahan barang yang menjadi objek utama perjanjian. Pembayaran dan penyerahan barang dapat terjadi secara serentak. 62 Salim H.S, Op.Cit., hal. 35

  Dalam pelaksanaan perjanjian jual beli dilakukan dengan cara penyerahan. Syarat-syarat penyerahan barang atau levering adalah sebagai berikut: 1.

  Harus ada perjanjian yang bersifat kebendaan.

  2. Harus ada alas hak (titel), dalam hal ini ada 2 teori yang sering digunakan yaitu teori kausal dan teori abstrak.

  3. Dilakukan orang yang berwenang menguasai benda.

  4. Penyerahan harus nyata (feitelijk).

  Dalam suatu perjanjian, pihak-pihak telah menetapkan apa yang telah disepakati. Apabila yang telah disepakati itu sudah jelas menurut kata-katanya, sehingga tidak mungkin menimbulkan keraguan-keraguan lagi, tidak diperkenankan memberikan pengertian lain. Dengan kata lain tidak boleh ditafsirkan lain (Pasal 1342 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

D. Lahirnya dan Berakhirnya Perjanjian

  Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian telah lahir dan bagaimana perjanjian tersebut lahir, apakah kesepakatan telah tercapai. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1233

   Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian timbul karena: 1.

  Persetujuan 2. Dari Undang-Undang.

  Perjanjian yang lahir dari persetujuan dapat kita lihat dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu suatu tindakan atau perbuatan seseorang atau lebih yang mengikatkan diri kepada seseorang lain atau lebih. Tindakan atau perbuatan yang 63 M.Yahya Harahap, Op.Cit., hal 23. menciptakan persetujuan, berisi pernyataan kehendak antara para pihak. Tindakan yang dimaksud dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah tindakan atau perbuatan hukum. Sebab tidak semua tindakan atau perbuatan mempunyai akibat hukum. Hanya tindakan hukum sajalah yang dapat menimbulkan akibat hukum. Penyesuaian kehendak atau pernyataan kehendak dapat dinyatakan dalam lisan, tulisan atau surat dan lain lain. Namun tidak selamanya pernyataan kehendak seseorang itu berwujud persetujuan yang mengikat sebagaimana yang dikehendaki Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hanya pernyataan kehendak yang menimbulkan kewajiban hukum saja yang melahirkan kontrak atau persetujuan.

  Mengenai perjanjian yang lahir dari undang-undang diatur dalam Pasal 1352 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu semata mata dari undang-undang dan dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia. Perjanjian yang lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia. Perjanjian yang lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia.

  Sebagaimana diketahui, hukum perjanjian dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut asas konsensualisme. Artinya ialah hukum perjanjian dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata itu menganut suatu asas bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus sebagaimana yang dimaksud diatas. Pada detik tersebut perjanjian sudah jadi dan mengikat, bukannya pada detik-detik lain yang terkemudian

   atau yang sebelumnya. 64 Kesepakatan berarti persesuaian kehendak, namun kehendak atau keinginan R. Subekti(2), Op.Cit., hal. 3. mungkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan perjanjian. Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkan perkataan-perkataan, ia dapat dicapai pula dengan memberikan tanda-tanda apa saja yang dapat mengartikan kehendak baik oleh pihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang menawarkan maupun pihak yang

   menerima penawaran tersebut.

  Sama halnya dengan perjanjian jual beli. Jual beli dianggap sudah berlangsung antara pihak penjual dan pembeli, apabila mereka telah menyetujui dan bersepakat tentang keadaan benda dan harga barang tersebut, sekalipun barangnya belum diserahkan dan harganya belum dibayarkan, seperti yang ditegaskan dalam Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi jual beli sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga meskipun

   barang belum diserahkan dan harga belum dibayar.

  Jual beli tiada lain dari persesuaian kehendak antara penjual dan pembeli

  

  mengenai barang dan harga. Barang dan hargalah yang menjadi essensilia perjanjian jual beli. Sebaliknya, jika barang objek jual beli tidak dibayar dengan suatu harga jual beli dianggap tidak ada.

  Dalam hal perjanjian jual beli biasanya kata sepakat pihak penjual maupun pihak pembeli. Dengan demikian yang akan menjadi alat pengukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah persyaratan-persyaratan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Dan apabila timbul perselisihan tentang apakah terdapat konsensus atau tidak maka hakim atau pengadilanlah yang menetapkannya. 65 Dalam suatu perjanjian ada lahirnya suatu perjanjian dan perjanjian juga dapat 66 Ibid., hal. 6. 67 Ibid., hal. 2.

  M.Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 181. berakhir. Berakhirnya kontrak merupakan selesai atau hapusnya sebuah kontrak yang dibuat antara dua pihak, yaitu kreditur dengan debitur tentang suatu hal. Mengenai berakhirnya suatu perjanjian diatur dalam Bab XII Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Penagturan mengenai hal ini perlu bagi kedua belah pihak, baik untuk menentukan sikap selanjutnya maupun untuk memperjelas sampai dimana batas perjanjian tersebut. Ada pun cara-cara penghapusan perjanjian telah diatur dalam Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

  Didalam Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan beberapa cara hapusnya suatu perjanjian yaitu: a. Pembayaran

  Ditinjau dari segi yuridis bahwa pembayaran tidak selalu diartikan dalam bentuk penyerahan uang semata, tetapi terpenuhinya sejumlah prestasi yang diperjanjikan juga memenuhi unsur pembayaran.

68 Bisa saja dengan pemenuhan jasa atau

  pembayaran dengan bentuk tidak berwujud atau yang immaterial. Pembayaran prestasi dapat dilakukan dengan melakukan sesuatu.

   Pemenuhan prestasi dalam

  suatu perjanjian sepaturnya dilaksanakan sesuai dengan hal yang telah diperjanjikan termasuk waktu yang diperjanjikan. Penawaran dan penerimaan pemenuhan prestasi sebelum waktunya dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian.

  

  b. Penawaran tunai disertai dengan penitipan Dalam Pasal 1517 menyatakan bahwa jika sipembeli tidak membayar harga pembelian sipenjual dapat menuntut pembatalan pembelian.

  Pemenuhan prestasi dalam suatu perjanjian sepatutnya dilaksanakan sesuai hal yang 68 diakses 18 Februari 2015. 69 M.yahya Harahap, Op.Cit., hal.107. 70 diakses 18 Februari 2015.

  diperjanjikan termasuk waktu pemenuhannya, namun tidak jarang prestasi tersebut dapat dipenuhi sebelum waktu yang diperjanjikan. Penawaran dan penerimaan pemenuhan prestasi sebelum waktunya dapat menjadi sebab berakhirnya suatu

   perjanjian.

  c. Perjumpaan hutang (kompensasi) Perjumpaan utang diatur pada Pasal 1425 sampai 1435 Kitab Undang-Undang

  Hukum Perdata. Yang diartikan dengan kompensasi adalah penghapusan masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan utang yang sudah

  

  dapat ditagih antar kreditur dan debitur. Perjumpaan hutang terjadi karena antara kreditur dan debitur saling mengutang terhadap yang lain, sehingga utang keduanya

   dianggap terbayar oleh piutang mereka masing-masing.

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Benalu Kakao (Dendropthoe pentandra (L.) Miq.) - Uji Skrining Fitokimia, Aktivitas Antioksidan Dan Antibakteri Ekstrak Metanol, Etil Asetat Dan N-Heksana Daun Benalu Kakao(Dendrophthoe Pentandra (L.) Miq.)

0 0 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Konsep dan Ruang Lingkup Perencanaan Transportasi Menurut LPM ITB (1997) , permasalahan transportasi bertambah parah baik di negara - Bangkitan Pergerakan Keluarga pada Perumnas J-City di Kecamatan Medan Johor

1 0 19

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Kota Medan merupakan ibu kota dari Provinsi Sumatera Utara yang secara adminstratif - Bangkitan Pergerakan Keluarga pada Perumnas J-City di Kecamatan Medan Johor

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Formulasi Tablet Hisap Nanopartikel Daun Sirih Merah (Piper Crocatum Ruiz & Pav.) Secara Granulasi Basah

0 0 14

BAB II TINJUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Sikap Petani Terhadap Kemitraan Kelompok Tani Bunga Sampang Dengan Perusahaan Dagang Rama Putra

0 0 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Posisi Foramen Mentalis Pada Mahasiswa Suku Batak Ditinjau Dari Radiografi Panoramik Di Fkg Usu

0 0 11

b) Pasal 305 KUHP - Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

1 1 19

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang - Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Ta

0 0 29

BAB II PENGATURAN MENGENAI BUKTI ELEKTRONIKSEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Teori Pembuktian atau Sistem Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Indonesia Dilihat dari hukum pembuktian yang dianut oleh Indonesia sekarang, - Tinjauan

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN - Tinjauan Yuridis Mengenai Pembuktian Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang Dikaitkan Dengan UU No. 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

0 1 22