BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budaya organisasi 2.1.1 Pengertian Budaya organisasi - Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan dan Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi dan Kinerja Karyawan PT. Telkom Medan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Budaya organisasi

2.1.1 Pengertian Budaya organisasi

  Budaya organisasi identik dengan studi individu dan kelompok dalam sebuah organisasi. Interaksi orang dalam sebuah organisasi menggambarkan budaya pada organisasi tersebut. Budaya organisasi yang kuat mendukung tujuan- tujuan perusahaan, sebaliknya yang lemah atau negatif menghambat atau bertentangan dengan tujuan- tujuan perusahaan.

  Robbins dan Judge (2011: 520) menegaskan “Budaya organisasi adalah sistem makna bersama yang diselenggarakan oleh anggota yang membedakan satu organisasi dengan organi sasi lain”.

  Edy Sutrisno (2010: 2), mendefinisikan budaya organisasi sebagai perangkat sistem nilai- nilai (values), keyakinan- keyakinan (beliefs), asumsi- asumsi (assumptions), atau norma- norma yang telah lama berlaku, disepakati san diikuti oleh para anggota suatu organisasi sebagai pedoman perilaku dan pemecahan masalah- masalah organisasinya. Budaya organisasi juga disebut budaya perusahaan, yaitu seperangkat nilai- nilai atau norma- norma yang telah relatif lama berlakunya, dianut bersama oleh para anggota organisasi (karyawan) sebagai norma perilaku dalam menyelesaikan masalah- masalah organisasi (perusahaan).

  Robbins & Coulter (2010: 63) mengemukakan bahwa “Budaya organisasi atau organizational culture adalah sehimpunan nilai, prinsip, tradisi dan cara para anggota organisasi”. Dalam kebanyakan organisasi, nilai- nilai dan praktik- praktik yang dianut bersama (shared) ini telah berkembang pesat seiring dengan perkembangan zaman dan benar- benar sangat mempengaruhi bagaimana sebuah organisasi dijalankan.

  Sementara menurut Mas’ud dalam penelitian oleh Kartiningsih (2007:27) Budaya organisasional adalah sistem makna, nilai- nilai dan kepercayaan yang dianut bersama dalam suatu organisasi yang menjadi rujukan untuk bertindak dan membedakan organisasi satu dengan organisasi lain. Budaya organisasi menjadi identitas atau karakter utama organisasi yang dipelihara dan dipertahankan. Mas’ud juga menyatakan bahwa suatu budaya yang kuat merupakan perangkat yang bermanfaat untuk mengarahkan perilaku, karena membantu karyawan untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik sehingga setiap karyawan pada awal karirnya perlu memahami budaya dan bagaimana budaya tersebut terimplementasikan.

  Budaya yang kuat dan positif sangat berpengaruh terhadap perilaku dan efektifitas kinerja perusahaan karena menimbulkan antara lain:

  1. Nilai-nilai kunci yang saling menjalin, tersosialisasikan, menginternalisasi, menjiwai para anggota, dan merupakan kekuatan yang tidak tampak; 2. Perilaku karyawan secara tak disadari terkendali dan terkoordinasi oleh kekuatan yang informal atau tidak tampak;

3. Para anggota merasa komit dan loyal pada organisasi

  Adanya musyawarah dan kebersamaan dalam hal-hal yang berarti sebagai bentuk partisipasi, pengakuan dan penghormatan kepada karyawan; 5. Semua kegiatan berorientasi kepada misi atau tujuan organisasi; 6. Para karyawan merasa senang, karena diakui dan dihargai martabat dan kontribusinya;

  7. Adanya koordinasi, integrasi, dan konsistensi yang menstabilkan kegiatan-kegiatan perusahaan;

  8. Berpengaruh kuat terhadap organisasi dalam tiga aspek: pengarahan perilaku dan kinerja organisasi, penyebarannya pada para anggota organisasi, dan kekuatannya yaitu menekan para anggota untuk melaksanakan nilai-nilai budaya;

9. Budaya berpengaruh terhadap perilaku individual maupun kelompok.

  Soehardi Sigit (2003: 261-262) mengungkapkan dan menerangkan bahwa budaya organisasi dikatakan kuat, jika nilai- nilai budaya itu disadari, dipahami dan diikuti, serta dilaksanakan oleh sebagian besar para anggota organisasi. Adapun tanda- tanda bahwa suatu budaya itu kuat adalah sebagai berikut: 1.

  Nilai- nilai budaya saling menjalin, tersosialisasikan dan menginternalisasi pada para anggota.

  2. Perilaku anggota (karyawan) terkendalikan dan terkoordinasikan oleh kekuatan yang tak tampak (invisible) atau informal.

  3. Para anggota (karyawan) merasa committed dan loyal pada organisasi.

  Ada partisipasi para karyawan pada organisasi.

  5. Semua kegiatan berorientasi pada misi dan tujuan.

  6. Ada ‘shared meaning’ atau kebersamaan mengenai sesuatu yang dipandang berarti bagi para karyawan.

  7. Para anggota karyawan tahu apa yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.

  8. Ada perasaan rewarding pada anggota (karyawan), karena diakui dan dihargai martabat dan kontribusinya.

  9. Budaya yang berlaku sesuai dengan strategi dan menopang tujuan organisasi.

Tabel 2.1 Budaya Kuat versus Budaya Lemah Budaya kuat Budaya lemah

  Nilai- nilai diterima secara luas Nilai- nilai hanya dianut oleh segolongan orang saja di dalam organisasi- biasanya kalangan manajemen puncak. Budaya memberikan pesan yang konsisten kepada karyawan mengenai apa yang dipandang berharga dan penting.

  Budaya memberikan pesan yang saling bertolak- belakang mengenai apa yang dipandang berharga dan penting. Para karyawan sangat mengidentikkan jati diri mereka dengan budaya organisasi.

  Para karyawan tidak begitu peduli dengan identitas budaya organisasi mereka. Terdapat kaitan yang erat di antara penerimaan nilai- nilai dan perilaku para anggota organisasi.

  Tidak ada kaitan yang kuat antara nilai- nilai dan perilaku para anggota organisasi. Sumber: Robbins dan Coulter (2010: 65)

2.1.2 Fungsi Budaya Organisasi

  Sebagai pedoman untuk mengontrol perilaku anggota organisasi, budaya organsiasi memiliki manfaat dan fungsi yang berguna bagi organisasi. Dari sisi fungsi, budaya organisasi mempunyai beberapa fungsi .

  Fungsi budaya organisasi menurut Robbins (2009: 248) adalah sebagai berikut: Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain.

  2. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota- anggota organisasi.

  3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang.

  4. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar- standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan.

  5. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.

  Sedangkan menurut Sunarto (2008: 8-9), budaya organisasi mempunyai beberapa fungsi antara lain:

  1. Budaya organisasi berfungsi sebagai pengikat seluruh komponen organisasi, terutama pada saat organisasi menghadapi guncangan baik dari dalam maupun dari luar akibat adanya perubahan.

  2. Budaya organisasi merupakan alat untuk menyatukan beragam sifat, karakter, bakat dan kemampuan yang ada di dalam organisasi.

  3. Budaya organisasi merupakan salah satu identitas organisasi, artinya perusahaan memiliki identitas sebagai perusahaan yang mengutamakan ketepatan dan kecepatan.

  4. Budaya organisasi berfungsi sebagai suntikan energi untuk mencapai kinerja yang tinggi.

  Budaya organisasi merupakan representasi dari ciri kualitas yang berlaku dalam organisasi tersebut.

  6. Budaya organisasi merupakan pemberi semangat bagi para anggota organisasi. Organsiasi yang kuat akan menjadi motivator yang kuat juga bagi para anggotanya.

  7. Adanya perubahan di dalam suatu organisasi akan membawa pandangan baru tentang kepemimpinan. Seorang pemimpin akan dikatakan berhasil apabila dapat membawa anggotanya keluar dari krisis akibat perubahan yang terjadi. Keberhasilan pemimpin disebabkan karena ia memiliki visi dan misi yang kuat.

8. Salah satu fungsi budaya organisasi adalah untuk meningkatkan nilai dari

  stakeholder nya, yaitu anggota organisasi, pelanggan, pemasok dan pihak pihak lain yang berhubungan dengan organisasi.

2.1.3 Indikator dan dimensi Budaya Organisasi

  Budaya perusahaan merupakan sesuatu hal yang sangat kompleks. Untuk itu, di dalam pengukuran budaya perusahaan atau organisasi diperlukan indikator yang merupakan karakteristik dasar budaya organisasi sebagai wujud nyata keberadaanya. Berikut adalah indikator budaya organisasi yang dikemukakan oleh Robbins & Coulter dalam Ardana (2009: 167): 1.

  Inovasi dan pengambilan resiko, yaitu kadar seberapa jauh karyawan didorong untuk inovatif dan mengambil resiko.

  Perhatian ke hal yang rinci atau detail, yaitu kadar seberapa jauh karyawan diharapkan mampu menunjukkan ketepatan, analisis dan perhatian yang rinci/detail.

  3. Orientasi hasil, yaitu kadar seberapa jauh pimpinan berfokus pada hasil atau output dan bukannya pada cara mencapai hasil itu.

  4. Orientasi orang, yaitu kadar seberapa jauh keputusan manajemen turut mempengaruhi orang- orang yang ada dalam organisasi.

  5. Orientasi tim, yaitu kadar seberapa jauh pekerjaan disusun berdasarkan tim dan bukannya perorangan.

  6. Keagresifan, yaitu kadar seberapa jauh karyawan agresif dan bersaing, bukannya daripada bekerja sama.

  7. Kemantapan/stabilitas, yaitu kadar seberapa jauh keputusan dan tindakan organisasi menekankan usaha untuk mempertahankan

  status quo .

2.2 Kepemimpinan

2.2.1 Pengertian Kepemimpinan

  Salah satu stereotipe yang bias adalah bahwa pemimpin adalah orang yang harus lebih berkualitas dan berbeda dibandingkan bawahannya.

  Tapi kenyataannya kualitas yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif juga dibutuhkan oleh bawahannya. Agar bisa berhasil, organisasi bukan hanya membutuhkan pemimpin yang berkualitas tetapi juga bawahan yang berkualitas. Bawahan yang berkualitas yang bekerja secara efektif, memiliki antusiasme, kreatif dan organisasi atau perusahaan dimana ia bekerja. Bawahan yang berkualitas dan efektif tidak hanya akan mengakatan dan bertipe “yes boss” atau “asal bapak senang” saja, tetapi memprioritaskan tugas dan pekerjaan dan melakukan nya dengan benar. Pemimpin dan bawahan yang efektif adalah manusia yang sama, hanya saja memiliki peran yang berbeda pada waktu yang berbeda di dalam suatu organisasi. Kepemimpinan dimiliki dan diperankan baik oleh pemimpin dan bawahan yang secara individual terlibat aktif dan bertanggung jawab atas tugasnya.

  Kepemimpinan merupakan aktifitas orang- orang yang terjadi di antara orang- orang dan bukan sesuatu yang dilakukan untuk orang- orang sehingga kepemimpinan melibatkan pengikut. Proses kepemimpinan juga melibatkan keinginan dan niat, keterlibatan yang aktif antara pemimpin dan pengikut untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Dengan demikian, baik pemimpin ataupun pengikut mengambil tanggung jawab pribadi untuk mencapai tujuan bersama tersebut (Safaria, 2004: 5).

  Sofyandi dan Garniwa (2007: 175) menyatakan bahwa ketika seorang individu berusaha mempengaruhi perilaku lainnya dalam suatu kelompok tanpa menggunakan bentuk paksaanm kita menggambarkan usaha ini sebagai kepemimpinan.

  Menurut Robbins & Coulter (2010: 146) pemimpin adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain dan memiliki otoritas manajerial. Kepemimpinan adalah apa yang dilakukan pemimpin. mempengaruhi kelompok itu dalam mencapai tujuaannya.

  Robbins dan Coulter (2010: 10) menyatakan bahwa ketika seorang manajer memotivasi para bawahannya, membantu mereka menyelesaikan konflik di antara mereka, mengarahkan para individu atau kelompok- kelompok individu dalam bekerja, memilih metode komunikasi yang paling efektif, atau menangani beragam isu lainnya yang berkaitan dengan perilaku karyawan, maka ia sedang menjalankan fungsi kepemimpinan.

  Berdasarkan pengertian ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan seorang pemimpin dalam mempengaruhi orang lain ke suatu arah guna mencapai tujuan organisasi. Inti dari definisi- definisi kepemimpinan ialah “mempengaruhi orang lain untuk melakukan perbuatan ke arah yang dikehendaki”.

2.2.2 Teori Kepemimpinan

  Menurut Robbins & Coulter (2010: 147) teori

  • – teori awal kepemimpinan berfokus pada pemimpin (teori sifat) dan bagaimana pemimpin berinteraksi dengan anggota kelompoknya (teori perilaku).

1. Teori Sifat (Trait Theories)

  Tujuh sifat yang berkaitan dengan kepemimpinan yang efektif ( Robbins dan Coulter, 2010: 148):

1. Penggerak (drive). Pemimpin menunjukkan tingkat usaha yag tinggi.

  Hasrat untuk memimpin (desire to lead). Pemimpin memiliki hasrat yang kuat untuk memimpin orang lain.

  3. Kejujuran dan integritas (honesty and integrity). Pemimpin membangun hubungan terpercaya dengan pengikutnya

  4. Kepercayaan diri (self confidence). Pengikut mencari pemimpin yang tidak ragu-ragu. Dengan demikian pemimpin harus dapat menunjukkan kepercayaan dirinya agar dapat meyakinkan pengikutnya terhadap keputusan dan tujuan yang harus dicapai.

  5. Kecerdasan (intelligence). Pemimpin harus cukuup cerdas agar dapat mengumpulkan, menyatukan, dan menafsirkan banyak informasi, memecehakan permasalahan, dan emngambil keputusan yang tepat.

6. Pengetahuan yang relevan mengenai pekerjaan (job-relevant

  knowledge) . Pemimpin yang efektif memiliki pengetahuan

  tingkat tinggi mengenai perusahaan, industry, dan permasalahan teknis.

  7. Extraversion. Pemimpin adalah orang yang enerjik dan penuh semangat.Suka bergaul, tegas, dan jarang sekali berdiam atau menarik diri.

2. Teori Perilaku (Behavioral Theories)

  Teori perilaku ialah teori kepemimpinan yang mengidentifikasi perilaku yang membedakan antara pemimpin efektif dan tidak efektif.

  (Robbins dan Coulter, 2010: 149): sependapat dengan Kets de Vries dan Miller yang membagi gaya kepemimpinan berdasarkan Psychodynamic dalam lima gaya sebagai berikut (Tika, 2006: 67): 1.

  Gaya paranoid Pemimpin selalu merasa curiga dan tidak percaya pada bawahannya.

  Pemimpin semacam ini mempunyai kewaspadaan tinggi baik ke dalam maupun keluar, sinis, reaktif dengan pengembangan strategi, mempunyai kekuatan yang tersentralisasi, konservatif dan perhatian.

  2. Gaya kompulsif (mendorong) Pemimpin yang takut terhadap kejadian- kejadian yang tidak diharapkan atau diinginkan. Pemimpin semacam ini adalah kompulsif, seorang perfeksionis, berhati hati dalam berpikir dan kaku dalam mengimplementasikan strategi.

  3. Gaya dramatik Pemimpin yang banyak memerlikan perhatian perhatian orang, memprioritaskan kepentingan diri sendiri, berlebihan ketika emosi, mengeksploitasi orang lain, berani mengambil keputusan dan risiko yang tinggi, tidak mempunyai struktur organisasi yang jelas.

4. Gaya depresif

  Seorang pemimpin yang kurang percaya diri, mempunyai tendensi birokratis terhadap lingkungan, dan mempunyai konservatisme yang ekstrim. Gaya schizoid Pemimpin yang tidak mengarahkan bawahannya dan juga tidak mendelegasikan wewenang tetapi menangani dan menyelesaikan semua nya sendiri. Tidak memberikan perhatian kepada bawahannya atau hal hal yang perlu dikembangkan seperti misalnya pemasaran produk.

2.2.3 Tipe dan Gaya Kepemimpinan

  Pemimpin itu mempunyai sifat, kebiasaan, temperamen, watak dan kepribadian sendiri yang unik khas sehingga tingkah laku dan gayanya yang membedakan dirinya dari orang lain.

  Menurut Kartono (2005: 34), Gaya atau style hidupnya ini pasti akan mewarnai perilaku dan tipe kepemimpinannya sehingga muncullah beberapa tipe kepemimpinan. Misalnya tipe- tipe karismatis, paternalistis, militeristis, otokratis, laissez- faire, populis, administratif, demokratis dan sebagainya.

  Menurut Hasibuan (2006: 169), ada beberapa tipe kepemimpinan, antara lain: 1.

  Tipe karismatis Tipe pemimpin ini memiliki kekuatan energi, daya tarik dan pembawaan yang luar biasa untuk mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya dan dapat dipercaya. Memiliki inspirasi keberanian dan berkeyakinan teguh pada pendirian sendiri.

2. Tipe paternalistis dan maternalistis

  Tipe paternalistis selalu menganggap bawahannya sebagai manusia yang belum atau tidak dewasa. Terlalu bersikap melindungi dan jarang sendiri. Tipe kepemimpinan paternalistis memiliki kepribadian keayahan. Sedangkan untuk tipe maternalistis (keibuan) memiliki ciri yang hampir mirip dengan paternalistis. Namun yang membedakan adalah sikap yang terlalu melindungi yang lebih menonjol disertai dengan kasih sayang yang berlebihan.

3. Tipe militeristis

  Perlu dipahami bahwa tipe kepemimpinan militeristis itu berbeda dengan tipe kepemimpinan organisasi militer. Sifat dari pemimpin yang militeristis antara lain lebih banyak menggunakan sistem perintah terhadap bawahannya dan sering kali kurang bijaksana. Menghandaki kepatuhan mutlak dari bawahan. Menyenangi formalitas, menuntut adanya disiplin keras dan komunikasi yang berlangsung searah juga merupakan sifat dari pemimpin militeristis.

  4. Tipe otokratis Sifat dari pemimpin otokratis adalah memberikan perintah- perintah yang dipaksakan dan harus dipatuhi. Tidak pernah memberikan informasi secara detail tentang rencana- rencana yang akan datang. Setiap perintah dan kebijakan ditetapkan tanpa berkonsultasi dengan bawahannya. Semua pujian dan kritik terhadap segenap anak buah diberikan atas pertimbangan pribadi pemimpin sendiri.

  Tipe laissez- faire Tipe kepemimpinan laissez- faire praktis tidak memimpin. Dia membiarkan kelompoknya dan setiap orang berbuat semau sendiri.

  Pemimpin tidak berpartisipasi sedikit pun dalam kegiatan bawahan atau kelompoknya. Semua pekerjaan dan tanggung jawab harus dilakukan oleh bawahan sendiri. Pemimpin laissez- faire biasanya tidak memiliki keterampilan teknis.

  6. Tipe populistis Kepemimpinan populistis berpegang teguh pada nilai- nilai masyarakat yang tradisional. Juga kurang mempercayai dukungan kekuatan serta bantuan luar negeri.

  7. Tipe administratif Tipe kepemimpinan ini mampu menyelenggarakan tugas- tugas administratif secara efektif. Sedangkan para pemimpinnya terdiri dari para teknorat dan para administrator yang mampu menggerakkan dinamika modernisasi dan pembangunan .

  8. Tipe demokratis Kepemimpinan demokratis berorientasi pada manusia dan memberikan bimbingan yang efisien kepada para pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan pada semua bawahan, dengan penekanan pada rasa tanggung jawab internal (pada diri sendiri) dan kerja sama yang baik. Kekuatan pemimpin demokratis ini bukan terletak pada “person atau individu pemimpin”, akan tetapi kekuatan justru terletak pada partisipasi aktif dari setiap anggota kelompok.

  Sedangkan menurut Kartono (2005: 35), ada beberapa tipe kepemimpinan: 1. Tipe deserter (pembelot)

  Sifatnya: bermoral rendah, tidak memiliki rasa keterlibatan, tanpa pengabdian, tanpa loyalitas dan ketaatan, sukar diramalkan.

  2. Tipe birokrat Sifatnya: correct, kaku, patuh pada peraturan dan norma- norma, ia adalah manusia organisasi yang tepat, cermat, berdisiplin dan keras.

  3. Tipe misionaris (missionary) Sifatnya: terbuka, penolong, lembut hati dan ramah- tamah 4. Tipe developer (pembangun)

  Sifatnya: kreatif, dinamis, inovatif, memberikan/ melimpahkan wewenang dengan baik, menaruh kepercayaan pada bawahan.

  5. Tipe otokrat Sifatnya: keras, diktatoris, mau menang sendiri, keras kepala, sombong, bandel dan tidak mempercayain kelompok atau bawahannya.

  6. Benevolent autocrat (autokrat yang bijak) Sifatnya: lancar, tertib, ahli dalam mengorganisir, besar rasa keterlibatan diri.

  7. Tipe compromiser (kompromis) Sifatnya: plintat- plintut, selalu mengikuti angin tanpa pendirian, tidak mempunyai keputusan, berpandang pendek dan sempit.

  Tipe eksekutif Sifatnya: bermutu tinggi, dapat memberikan motivasi yang baik, berpandang jauh dan tekun.

2.2.4 Indikator dan dimensi Kepemimpinan

  Campbell dan Samiec (2005: 123-128) menyatakan bahwa kesuksesan seorang pemimpin menuju kinerja mengesankan apabila ia menjalankan 5 dimensi kepemimpinan, antara lain: 1.

  Commanding: mengambil alih tanggung jawab dan segera mengambil keputusan untuk pencapaian kinerja secara cepat.

  2. Visioning: kecakapan komunikasi pemimpin dalam menjelaskan kepada seluruh konstituen akan masa depan perusahaan.

  3. Enrolling: kecakapan dari sang pemimpin dalam menciptakan peluang- peluang, membuat keputusan dan menyelesaikan masalah. Hal ini berhubungan dengan kecakapan manajerial.

  4. Relating: inti dari relating adalah satu yaitu harmoni. Sebagai pemimpin, ia harus bisa membuat hubungan yang harmonis antara dirinya dengan para anak buah atau bawahan. Di samping itu, para bawahannya juga memiliki hubungan yang harmonis antara mereka.

  5. Coaching: ialah keahlian melatih. Seorang pemimpin akan melatih bawahannya secara berkelanjutan untuk meningkatkan kinerja karyawan melalui proses pengembangan pada aktivitas sehari- hari, yang dimaksudkan disini adalah bagaimana seorang pemimpin dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.

2.3 Kepuasan Kerja

2.3.1 Pengertian Kepuasan Kerja

  Setiap orang yang bekerja mengharapkan agar mencapai dan mendapatkan kepuasan dari tempatnya bekerja. Kepuasan kerja akan memengaruhi produktivitas yang sangat diharapkan manajer. Untuk itu, manajer perlu memahami apa yang harus dilakukan untuk menciptakan kepuasan kerja karyawannya.

  Pekerjaan memerlukan interaksi dengan rekan kerja dan atasan, mengikuti peraturan dan kebijakan organisasi, memenuhi standar kerja, bekerja dengan kondisi kerja yang kadang kuang ideal dan semacamnya. Bilamana orang berbicara tentang sikap- sikap pekerja, biasanya dimaksudkan dengan kepuasan kerja. Kepuasan kerja mencerminkan sikap dan bukan perilaku. Wibowo (2012: 502) menjelaskan bahwa kepuasan kerja merupakan variabel tergantung utama karena dua alasan yaitu: (1) menunjukkan hubungan dengan faktor kinerja; dan (2) merupakan preferensi nilai yang dipegang banyak peneliti perilaku organisasi.

  Sofyandi dan Garniwa (2007: 90) menjelaskan bahwa kepuasan kerja adalah sikap umum seseorang dalam menghadapi pekerjaannya, seorang yang tinggi kepuasan kerjanya memiliki sikap positif terhadap pekerjaannya, sedangkan seseorang yang tidak memperoleh kepuasan di dalam pekerjaannya memiliki sikap yang negatif terhadap pekerjaannya. adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi para karyawan memandang pekerjaan mereka. Robbins dalam Wibowo (2012: 501) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, yang menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima.

  Kreitner dan Kinicki dalam Wibowo (2012: 502) menyatakan kepuasan kerja sebagai respons affective atau emosional terhadap berbagai segi pekerjaan seseorang.

  Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Kepuasan kerja adalah sikap seseorang dalam menghadapi pekerjaanya, seseorang yang memiliki kepuasan kerja yang tinggi akan memperlihatkan sikap yang positif terhadap pekerjaannya, sedangkan seseorang yang tidak puas akan memperlihatkan sikap yang negatif terhadap pekerjaan itu sendiri.

2.3.2 Teori Kepuasan Kerja

  Menurut Wibowo (2012: 503), kepuasan kerja memiliki dua teori, dalam pendapatnya dikatakan bahwa teori kepuasan kerja mencoba mengungkapkan apa yang membuat sebagian orang lebih puas terhadap pekerjaanya daripada beberapa lainnya. Teori ini juga mencari landasan tentang proses perasaan orang terhadap kepuasan kerja. Di antara teori kepuasan kerja adalah two- factor theory dan value theory.

  Two- Factor Theory Teori dua faktor ini merupakan teori kepuasan kerja yang mengusulkan bahwa satisfaction (kepuasan) dan dissatisfaction (ketidakpuasan) adalah bagian dari kelompok variabel yang berbeda yaitu, motivators dan hygiene factors.

  Pada teori ini, ketidakpuasan dihubungkan dengan kondisi di sekitar pekerjaan itu seperti misalnya kondisi kerja, upah, keamanan, hubungan antar karyawan dan atasan. Sebaliknya, kepuasan ditarik dari faktor yang berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri atau hasil langsung dari pada pekerjaan itu seperti misalnya sifat pekerjaan, prestasi dalam pekerjaan, promosi, pengembangan karir dan acknowledgement.

2. Value Theory

  Pada teori ini, kepuasan terjadi pada tingkat dimana hasil pekerjaan diterima individu seperti yang diharapkan. Semakin banyak orang yang menerima hasil, maka akan semakin puas. Semakin dikit orang yang menerima, maka akan kurang puas.

  Implikasi teori ini menekankan bahwa aspek pekerjaan perlu diubah untuk mendapatkan kepuasan kerja. Teori ini juga mengusulkan bahwa kepuasan kerja dapat diperoleh dari banyak faktor. Oleh karena itu, Wibowo (2012: 504) menganjurkan bahwa cara yang efektif untuk memuaskan pekerja adalah dengan menemukan apa yang mereka inginkan dan apabila mungkin memberikannya.

  Kepuasan merupakan sebuah hasil yang dirasakan oleh karyawan. Jika karyawan puas dengan pekerjaannya, maka ia akan betah bekerja pada organisasi atau perusahaan tersebut. Dengan mengerti output yang dihasilkan, maka perlu kita ketahui penyebab yang bisa mempengaruhi kepuasan tersebut. Menurut Sutrisno (2009: 80) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu: 1.

  Faktor psikologi Merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan, yang meliputi minat, ketentraman dalam kerja, sikap terhadap kerja, bakat dan keterampilan.

  2. Faktor sosial Merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial antar karyawan maupun karyawan dengan atasan.

  3. Faktor fisik Merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik karyawan , meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur, dan sebagainya.

  4. Faktor finansial Merupakan faktor berhubungan dengan jaminan serta kesehatan karyawan, yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial, sebagainya.

  Menurut Kreitner dan Kinicki dalam Wibowo (2012: 504-505) terdapat lima faktor yang dapat memengaruhi timbulnya kepuasan kerja, yaitu sebagai berikut: 1.

  Need Fulfillment (pemenuhan kebutuhan) Kepuasan ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan memberikan kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.

  2. Discrepancies (perbedaan) Kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan yang diperoleh individu dari pekerjaan. Apabila harapan lebih besar daripada apa yang diterima, orang akan tidak puas.

  Sebaliknya diperkirakan individu akan puas apabila mereka menerima manfaar di atas harapan.

  3. Value attainment (pencapaian nilai)

  

Value attainment atau pencapaian nilai adalah bahwa kepuasan

  merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting.

  4. Equity (keadilan) Kepuasan terdapat dari seberapa adil seorang individu diperlakukan di tempat nya bekerja.

  Dispositional/ genetic components (komponen genetik) Kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Perbedaan individu mempunyai arti penting dalam menentukan kepuasan kerja seperti halnya karakteristik lingkungan.

2.3.4 Ketidakpuasan Kerja Karyawan Ketidakpuasan karyawan dapat dinyatakan dengan sejumlah cara.

  Misalnya, berhenti, karyawan dapat mengeluh, tidak patuh, mencuri milik organisasi, atau mengelakkan sebagian dari tanggung jawab kerja mereka.

  Robbins dan Judge dalam Wibowo (2012: 515-516) menunjukkan empat respons atau tanggapan yang berbeda satu sama lain, yang dapat didefinisikan sebagai berikut: 1.

  Exit (keluar) Ketidakpuasan ditunjukkan melalui perilaku diarahkan pada meningalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru atau mengundurkan diri.

2. Voice (suara)

  Ketidakpuasan ditunjukkan melalui usaha secara aktif dan konstuktif untuk memperbaiki keadaan, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan, dan berbagai bentuk cara lainnya.

  Loyalty (kesetiaan) Ketidakpuasan ditunjukkan secara pasif, tetapi dengan menunggu secara optimistik hingga membaiknya kondisi, termasuk dengan berbicara bagi organsisasi di hadapan kritik luar dan mempercayai organisasi dan manajemennya untuk melakukan hal yang terbaik dan tepat.

4. Neglect (pengabaian)

  Ketidakpuasan tinjukkan dengan membiarkan kondisi memburuk, termasuk keterlambatan atau tingkat absen yang tinggi, mengurangi usaha dan meningkatkan tingkat kesalahan.

2.3.5 Indikator Kepuasan Kerja

  Robbins dan Judge (2008: 99) mendefinisikan Kepuasan kerja sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya. Kepuasan kerja adalah suatu sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Pekerjaan menuntut interaksi denga n rekan kerja, atasan, per-aturan dan kebijakan organisasi, standar kinerja, kondisi kerja dan sebagainya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi menunjukkan sikap positif terhadap kerja itu dan sebaliknya. Ada beberapa indikator kepuasan kerja karyawan, yaitu sebagai berikut:

  1. Persepsi yang berkaitan dengan pekerjaan 2.

  Kepuasan karyawan terhadap situasi kerja.

  3. Kesesuaian antara kemampuan dan keinginan pegawai terhadap kondisi organisasi.

2.4.1 Pengertian Komitmen Organisasi Dalam organisasi, komitmen sering kali dikaitkan dengan kepuasan kerja.

  Sutrisno (2010: 295) mengasumsikan bahwa semakin tinggi kepuasan kerja karyawan maka akan semakin tinggi pula komitmen kerja. Banyak organisasi dalam perkembangannya mengalami berbagai macam masalah akibat munculnya kelompok- kelompok kecil yang membuat organisasi itu tersebut menjadi kacau.

  Perbedaan peran, harapan, kepentingan, persepsi dan sebagainya menjadi sumber konflik yang dapat mengancam kehidupan kelompok tersebut dan menimbulkan masalah masalah seperti misalnya pemogokan karyawan, absensi yang tinggi dan tingkat turnover yang tidak terkendali. Semua ini merupakan gejala yang muncul dan disebabkan oleh ketidakpuasan karyawan terhadap organisasi. Ini dikarenakan rendahnya komitmen kerja dari para karyawannya.

  Dalam perilaku organisasi, terdapat berbagai macam definisi tentang komitmen. Luthans dalam Sutrisno (2010: 292) menyatakan komitmen organisasi merupakan: (1) keinginan yang kuat untuk menjadi anggota dalam suatu kelompok, (2) kemauan usaha yang tinggi untuk organisasi, (3) suatu keyakinan tertentu dan penerimaan terhadap nilai- nilai dan tujuan- tujuan organisasi.

  Buchanan dalam penelitian oleh Yeh & Hong (2012: 51) menegaskan bahwa komitmen organisasi adalah semacam keyakinan yang menghubungkan nilai- nilai organisasi dan tujuannya dengan perasaan dan tujuan seorang individu.

  Komitmen juga berarti keinginan yang abadi untuk memelihara hubungan yang bernilai. (Zaltman dan Dashpande dalam Sutrisno, 2010: 292). Sutrisno penting bagi organisasi, terutama untuk menjaga kelangsungan dan pencapaian tujuan. Namun untuk memperoleh komitmen yang tinggi, diperlukan kondisi kondisi yang memadai untuk mencapainya.

  Jadi dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi itu adalah loyalitas karyawan atau pekerja terhadap perusahaan atau organisasinya dan juga merupakan suatu proses mengekspresikan perhatian dan partisipasinya terhadap organisasi itu tersebut.

2.4.2 Teori- Teori Dasar Komitmen

  Menurut Moreland dkk dalam Sutrisno (2010: 298), ada beberapa teori yang menjelaskan dasar dasar motivasional munculnya komitmen individu dalam organisasi, yaitu teori sosialisasi kelompok, teori pertukaran sosial, teori kategorisasi diri dan teori identitas.

1. Teori Sosialisasi Kelompok

  Menurut model ini, baik kelompok maupun individu melakukan proses evaluasi dalam hubungan bersama dan membandingkan value nya dengan hubungan yang selama ini berlangsung. Dalam evaluasi ini, Moreland menjelaskan bahwa perubahan perasaan akan berpengaruh terhadap komitmen yang dimiliki individu. Semakin tinggi perasaan positif semakin besar juga komitmen oganisasinya. Ada lima tahap yang dilalui dalam model ini, yaitu investasi, sosialisasi, maintanance, rasionalisasi dan kenangan dan ada juga empat transisi peran yang dilakukan mulai dari

  entry, acceptance, divergence dan exit. Teori Pertukaran Sosial Setiap hubungan akan selalu melibatkan pertimbangan untung dan rugi bagi partisipannya. Reward dan cost akan menjadi faktor penting dalam menentukan nilai suatu hubungan. Partisipan akan termotivasi untuk meningkatkan dan memaksimalkan reward tersebut dan menurunkan cost yang diakibatkan hubungan tersebut. Orang dapat bergabung dalam beberapa hubungan secara simultan.

  3. Teori Kategorisasi Diri Paling tidak ada dua cara perubahan terjadinya komitmen organisasi.

  Pertama, komitmen juga dapat berubah karena prototype kelompok bersifat untabel. Kedua, komitmen juga dapat berubah karena karakteristik keanggotaan kelompok juga untabel. Dengan perubah kedua prototype tersebut, maka masing masing individu akan menyesuaikan diri dengan prototype kelompok yang dimasukinya dan begitu pula sebaliknya. Tampaknya konflik muncul setelah terjadinya perubahan pada prototype ini. Sehingga pemogokan, konflik dan kasus- kasus negatif yang tidak diharapkan dalam organisasi dapat muncul. (Sutrisno, 2010: 302).

  4. Teori Identitas Stryker dalam Sutrisno (2010: 302) menyampaikan bahwa teori ini menawarkan perspektif lain pada komitmen dan perannya dalam kelompok sosial. Pertama, pran sosial yang merupakan representasi dari suatu harapan tertentu dari seseorang memiliki pengaruh yang kuat terhadap perilaku. Kedua, peran sosial yang merupakan representasi dari terhadap perilaku. Pada saat yang sama, seseorang bisa menjalankan suatu peran. Karena itu beberapa peran bisa mengalami inkonkruensi dengan peran lainnya.

2.4.3 Indikator dan dimensi Komitmen Organisasi

  Menurut Robbins dan Judge (2008: 100-102), Komitmen organisasi adalah suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan- tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Jadi, keterlibatan pekerjaan yang tinggi berarti memihak pada pekerjaan tertentu seorang individu, sementara komitmen organisasional yang tinggi berarti memihak organisasi yang merekrut individu tersebut. Tiga dimensi terpisah komitmen organisasional adalah: 1.

  Komitmen afektif (affective commitment): yaitu perasaan emosional untuk organisasi dan keyakinan dalam nilai- nilainya.

  2. Komitmen berkelanjutan (continuance commitment): yaitu nilai ekonomi yang dirasa dari bertahan dalam suatu organisasi bila dibandingkan dengan meninggalkan organisasi tersebut. seorang karyawan mungkin berkomitmen kepada pemberi kerja karena ia dibayar tinggi dan merasa bahwa pengunduran diri dari perusahaan akan menghancurkan keluarganya.

3. Komitmen normatif (normative commitment): yaitu kewajiban untuk bertahan dalam organisasi untuk alasan- alasan moral atau etis.

2.5.1 Pengertian Kinerja Karyawan

  Setiap manusia mempunyai potensi untuk bertindak dalam berbagai bentuk aktivitas. Keberhasilan suatu organisasi dipengaruhi oleh kinerja karyawan, untuk itu setiap perusahaan akan berusaha untuk meningkatkan kinerja karyawannya guna mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Kinerja berasal dari pengertian performance. Ada pula yang memberikan pengertian performance sebagai hasil kerja atau prestasi kerja. Namun sebenarnya kinerja mempunyai arti yang lebih luas, bukan hanya hasil kerja, tetapi termasuk bagaimana proses pekerjaan berlangsung. Suntoro dalam Pabundu (2006: 30) mengemukakan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu.

  Armstrong dan Baron di dalam Wibowo (2012: 2) mengemukakan bahwa kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi pada ekonomi. Dengan demikian, kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakanya. Menurut Costello dalam Wibowo (2012: 3), seberapa baik kita mengelola kinerja bawahan akan secara langsung memengaruhi tidak tetapi juga kinerja seluruh organisasi.

  Pengertian kinerja atau performance menurut Moeheriono (2009: 60) merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi, dan misi organisasi yang dituangkan melalui perencanaan strategis suatu organisasi.

  Handoko dalam Pabundu (2006: 31) mendefinisikan kinerja sebagai proses di mana organisasi mengevaluasi atau menilau prestasi kerja karyawan. Dari lima definisi kinerja di atas, dapat diketahui bahwa unsur- unsur yang terdapat dalam kinerja terdiri dari:

1. Hasil- hasil fungsi pekerjaan 2.

  Faktor- faktor yang berpengaruh terhadap prestasi karyawan/ pegawai.

  3. Pencapaian tujuan organisasi 4.

  Periode waktu tertentu Berdasarkan hal- hal di atas, penulis mendefinisikan kinerja sebagai output atau hasil pekerjaan atau kegiatan seseorang atau kelompok dalam suatu organisasi yang dipengaruhi beberapa faktor untuk mencapai tujuan organisasi. Keberhasilan suatu perusahaan dipengaruhi oleh kinerja karyawan atau job performance yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melakukan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya untuk mencapai tujuan organisasi. Seseorang apabila bekerja untuk dirinya sendiri, kelompok yang disebut teamwork. Kinerjanya juga akan dapat menjadi lebih baik dan meningkat, namun sering kali menurun apabila salah dalam menanganinya.

2.5.2 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kinerja

  Menurut Mangkunegara (2005: 14), kinerja (performance) dipengaruhi oleh tiga faktor:

  1. Faktor individual yang terdiri dari, Kemampuan dan keahlian, latar belakang, dan demografi.

  2. Faktor psikologis yang terdiri dari, Persepsi, attitude (sikap), personality (kepribadian), pembelajaran dan motivasi.

  3. Faktor organisasi yang terdiri dari, Sumber daya, kepemimpinan, penghargaan, struktur dan job-design.

  Kinerja karyawan adalah tingkat keberhasilan karyawan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Kinerja karyawan secara umum dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal (Taurisa dan Ratnawati, 2012: 170).

  1. Faktor internal merupakan faktor yang berdasar dari dalam diri karyawan, yang meliputi: kepuasan kerja dan komitmen organisasional.

  2. Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri karyawan, antara lain meliputi: kepemimpinan, keamanan dan keselamatan kerja, serta budaya organisasi.

  Menurut Mathis (2002:78) kinerja karyawan adalah hal-hal yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi, antara lain: 1.

  Kualitas kerja, yaitu kerapian, ketelitian, keterkaitan hasil dengan tidak mengabaikan volume kerja.

  2. Kuantitas kerja, yaitu volume kerja yang dihasilkan dibawah kondisi normal.

  3. Kerja sama, yaitu kemampuan menangani hubungan kerja antar karyawan.

  4. Pemanfaatan waktu, yaitu penggunaan masa kerja yang disesuaikan dengan ketaatan dan penyelesaian tugas dengan tepat waktu.

2.6 Penelitian Terdahulu

  Penelitian terdahulu sangat penting sebagai upaya memperjelas tentang variabel- variabel dalam penelitian ini, sekaligus untuk membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya.

  

Penelitian Terdahulu

Nama peneliti dan Tahun Penelitian Judul Penelitian Variabel Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

  1. Budaya organisasional berpengaruh terhadap komitmen organisasi.

  5. Terdapat pengaruh antara budaya organisasi dan kinerja karyawan.

  4. Terdapat pengaruh antara komitmen organisasi dan kinerja karyawan.

  3. Terdapat pengaruh antara kepuasan kerja dan komitmen organisasional

  2. Terdapat pengaruh antara budaya organisasi dan komitmen organisasional.

  1. Terdapat pengaruh antara budaya organisasi dan kepuasan kerja.

  

3. Budaya

Organisasi Analisis Faktor Konfirmatori.

  Independen:

  1.Komitmen Organisasional

  Dependen:

  Budaya Organisasi dan Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasional dalam Meningkatkan Kinerja Karyawan (Studi pada PT. Sido Muncul Kaligawe Semarang)

  Chaterina Melina Taurisa & Intan Ratnawati (2012) Analisis Pengaruh

  3. Komitmen organisasi berpengaruh terhadap kinerja karyawan.

  2. Budaya organisasional tidak berpengaruh terhadap kinerja karyawan.

  3.Budaya Organisasional Analisis jalur

  Sudarwanti Retnaningsih (2007) Analisis Pengaruh

  

2. Kinerja

Organisasional Karyawan Independen:

  

1. Komitmen kerja

karyawan

  Dependen:

  Terhadap Komitmen Kerja Karyawan Dalam Peningkatan Kinerja Organisasional Karyawan Pada Koperasi BMT Di Kecamatan Jepara

  3. Terdapat pengaruh signifikan dan positif antara komitmen organisasi terhadap kinerja karyawan. Noor Arifin (2010) Analisis Budaya Organisasional

  2. Terdapat pengaruh signifikan dan positif antara kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi.

  1. Terdapat pengaruh signifikan dan positif antara peran kepemimpinan terhadap komitmen organisasi.

  5. Kepuasan kerja Analisis jalur

  4. Peran kepemimpinan

  Keadilan

kompensasi

  Komitmen

organisasi

Independen: 3.

  Kinerja

karyawan

Intervensi: 2.

  Dependen: 1.

  Keadilan Kompensasi, Peran Kepemimpinan dan Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi dalam Meningkatkan Kinerja Karyawan

2. Kinerja Karyawan

  Nama peneliti dan Tahun Penelitian Judul Penelitian Variabel

Penelitian

Metode

  Independen: 4.

  3. Komitmen organisasional berpengaruh tidak signifikan terhadap kinerja karyawan

  2. Motivasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan.

  1. Kompensasi secara parsial berpengaruh tidak signifikan terhadap Kinerja Karyawan.

  Analisis Regresi Linier Berganda

  Kompensasi 3. Motivasi 4. Komitmen

Organisasi

  Kinerja

Karyawan

Independen: 2.

  Dependen: 1.

  Kompensasi, Motivasi dan Komitmen Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan Bagian Akuntansi (Studi Kasus Pada Perusahaan Manufaktur di Surabaya).

  3. Kepemimpinan partisipatif berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai. Windy Aprilia Murty Gunasti Hudiwinarsih (2012) Pengaruh

  2. Kepemimpinan partisipatif berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja .

  1. Kepemimpinan partisipatif berpengaruh positif dan signifikan terhadap Komitmen Organisasi.

  Kepemimpinan Analisis Multivariat

  2. Kepuasan Kerja

  Penelitian Hasil Penelitian Dr. Hueryren Yeh and Dachuan Hong (2012) The Mediating

  Komitmen

Organisasi

  Dependen: 1.

  Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Komitmen Organsisasi, Kepuasan Kerja dan Kinerja (Studi Pada Pegawai Di Lingkungan Sekretariat Daerah Kota Denpasar).

  Ardhi Krisna Yuliawan dan Wayan Gede Supartha (2012)

  3. Gaya kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap prestasi kerja

Dokumen yang terkait

Pengaruh Audit Sumber Daya Manusia Terhadap Efektivitas Organisasi Pada Pegawai PT. Perkebunan Nusantara III (Persero)

0 0 15

2.2 Jenis - Jenis Audit - Pengaruh Audit Sumber Daya Manusia Terhadap Efektivitas Organisasi Pada Pegawai PT. Perkebunan Nusantara III (Persero)

0 3 15

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Audit Sumber Daya Manusia Terhadap Efektivitas Organisasi Pada Pegawai PT. Perkebunan Nusantara III (Persero)

0 0 8

Pengaruh Audit Sumber Daya Manusia Terhadap Efektivitas Organisasi Pada Pegawai PT. Perkebunan Nusantara III (Persero)

0 2 10

Lampiran 2 : Distribusi Jawaban Uji Validitas dan Reliabilitas Nomor Responden Pengetahuan Kewirausahaan Ketersediaan Informasi Keinginan Berwirausaha

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengetahuan Kewirausahaan - Pengaruh Pengetahuan Kewirausahaan dan Ketersediaan Informasi terhadap Keinginan Menjadi Wirausaha pada Mahasiswa S-1 Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera U

0 0 15

Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan pada Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Utara

1 2 38

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan Emosional 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosional - Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan pada Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Utara

0 0 23

Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Karyawan pada Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Utara

0 0 11

Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan dan Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi dan Kinerja Karyawan PT. Telkom Medan

0 1 17