asuhan keperawatan lansia dengan ganggua (1)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pada usia lanjut terjadi perubahan anatomi-fisiologi dan dapat
timbul pula penyakit-penyakit pada sistem pernafasan. Usia harapan hidup
lansia di Indonesia semakin meningkat karena pengaruh status kesehatan,
status gizi, tingkat pendidikan, ilmu pengetahuan dan sosial ekonomi yang
semakin meningkat sehingga populasi lansia pun meningkat. Pada tahun
2010 jumlah warga lanjut usia (lansia) di Indonesia akan mencapai
19.079.800 jiwa (BAPPENAS, BPS, UNFPA. 2005) pada tahun 2014 akan
berjumlah 22.232.200 jiwa atau 9,6% dari total penduduk dan pada tahun
2025 akan meningkat sampai 414% dibandingkan tahun 2004 (WHO,
2005).
Fungsi primer dari sistem pernafasan adalah menghantarkan udara
masuk dan keluar dari paru sehingga oksigen dapat dipertukarkan dengan
karbondiaoksida. Sistem pernafasan atas meliputi hidung, rongga hidung,
sinus-sinus, dan faring. Sistem pernafasan bawah meliputi trakhea,
bronkus-bronkus, dan paru.
Rongga
thoraks
tersusun
atas
susunan
tulang
iga
yang
membatasi/rib cage (sebagai “dinding”) dan diafragma (sebagai “lantai”).
Mediastinum membagi dua rongga pleura. Tiap paru terletak di dalam satu
rongga pleura, yang dilapisi dengan membran serosa disebut pleura. Pleura
parietal menutupi permukaan dalam dinding thoraks dan meluas hingga
diafragma dan mediastinum. Pleura viseralis menutupi permukaan luar
paru dan meluas hingga fisura antara lobus. Membran pleura mensekresi
cairan pleura dalam jumlah sedikit, yang menciptakan kelembaban dan
mantel licin untuk lubrikasi saat bernafas. Paru terbagi atas beberapa lobus
yang terpisah dengan jelas. Paru kanan terdiri dari tiga lobus : lobus
superior, media dan inferior. Paru kiri hanya memiliki dua lobus: lobus
1
superior, dan inferior. Dasar setiap paru terletak di atas permukaan
diafragma.
Menurut ilmu demografi Indonesia dalam masa transisi demografi
yaitu perubahan pola penduduk berusia muda ke usia tua. Infeksi saluran
nafas bagian bawah akut dan tuberkulosis paru menduduki 5 penyakit
terbanyak yang diderita oleh masyarakat. Gangguan sistem respirasi
merupakan gangguan yang menjadi masalah besar di dunia khususnya
Indonesia diantaranya adalah penyakit pneumonia, TBC, dan asma.
Menurut laporan WHO pada tahun 2006, Indonesia merupakan negara
dengan tingkat kejadian pneumonia tertinggi ke-6 di seluruh dunia.
Berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2001,
pneumonia merupakan urutan terbesar penyebab kematian pada balita.
Pneumonia dapat mengenai anak di seluruh dunia, bila diumpamakan
kematian anak-anak di seluruh dunia akibat pneumonia, maka setiap jam,
anak-anak sebanyak 1 pesawat jet penuh (230 anak) meninggal akibat
pneumonia, yang mencapai hampir 1 dari 5 kematian balita di seluruh
dunia. Insiden pneumonia di negara berkembang adalah 10-20 kasus/100
anak/tahun (10-20%). Sedangkan insiden TBC, WHO mencatat peringkat
Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebesar
429 ribu orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada
tahun 2009 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia
(WHO, 2010).
Peningkatan insiden dan prevalensi pneumonia pada lansia juga
dikaitkan dengan penyakit komorbid yang diderita pasien, seperti diabetes
melitus, penyakit jantung, malnutrisi, dan penyakit hati kronik. Sebagai
contoh, diabetes melitus menyebabkan penurunan fungsi sistim imun
tubuh baik proses kemotaksis maupun fagositosis. Pada gagal jantung
kongestif yang disertai edema paru, fungsi clearance paru berkurang
sehingga kolonisasi kuman pernafasan mudah berkembangbiak. Pasien
yang sebelumnya sering mengonsumsi obat-obatan yang bersifat sedatif
atau hipnotik berisiko tinggi mengalami aspirasi sehingga mempermudah
2
terjadinya infeksi. Hal itu disebabkan kedua obat tersebut menekan
rangsang batuk dan kerja clearance mukosilier (WHO, 2010).
Dampak yang diakibatkan meliputi masa rawat yang lebih
panjang, biaya rawat yang lebih besar serta sering timbulnya komplikasi
berat sehingga menimbulkan penurunan kualitas hidup. Infeksi saluran
nafas atas dan influenza malah sering berlanjut menjadi pneumonia yang
gejala dan tanda pneumonia pada lansia sering tidak khas yang
menyebabkan
keterlambatan
diagnosis,
belum
lagi
meningkatnya
resistensi mikroba terhadap antibiotika. Adapun peran kita sebagai
seorang perawat dalam mencegah ataupun menangani gangguan yang
terjadi pada sistem pernapasan lansia adalah memberikan pendidikan
kesehatan pada lansia untuk mencegah terjadinya gangguan yang lebih
kronis dan memberikan tindakan keperawatan sesuai wewenang kita
sebagai seorang perawat sesuai indikasi yang diderita oleh lansia (Geffen,
2006).
B. Tujuan penulisan
1. Tujuan umum
Mahasiswa mengetahui bagaimana konsep teori serta asuhan
keperawatan yang tepat untuk lansia dengan gangguan sistem
pernafasan.
2. Tujuan Umum
a. Untuk mengetahui konsep lansia
b. Untuk mengetahui perubahan anatomi dan fisiologi sistem
respirasi pada lansia
c. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada lansia dengan
gangguan sistem respirasi
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Lansia
1. Pengertian
Usia lanjut adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh
semua orang yang dikaruniai usia panjang, terjadinya tidak bisa di
hindari siapapun. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang
hidup seseorang, yaitu periode dimana seseorang telah “beranjak
jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau beranjak
dari waktu yang penuh dengan manfaat (Hurlock, 2000).
Menurut Undang-Undang RI nomor 13 tahun 1998, Depkes
(2001) yang dimaksud dengan usia lanjut adalah seorang laki – laki
atau perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih, baik yang secara
fisik masih berkemampuan ( potensial) maupun karena sesuatu hal
yang tidak mampu
berperan aktif dalam pembangunan (tidak
potensial).
Wheeler, mengungkapkan usia tua tidak hanya dilihat dari
perhitungan kronologis atau berdasarkakan kalender saja, tetapi juga
menurut kondisi kesehatan seseorang ( health age ). Sehingga umur
sesungguh nya dari seseorang merupakan gabungan dari ketiga tiganya (Nugroho, 2008).
Jadi
dapat disimpulkan bahwa lansia adalah suatu periode
penutup dalam hidup seseorang baik laki-laki maupun perempuan
yang berusia 60 tahun atau lebih yang secara fisik masih potensial
maupun tidak potensial.
2. Batasan Lansia
Menurut Setyonegoro, dalam Nugroho ( 2008), pengelompokkan
usia lanjut adalah sebagai berikut :
4
a. Usia dewasa muda ( Elderly adulhood), 18 atau 20 – 25 tahun
b. Usia dewasa penuh ( middle years ) atau maturitas, 25 – 60 atau
65 tahun
c. Lanjut usia ( geriatric age ), lebih dari 65 atau70 tahun. Terbagi
untuk umur 70 – 75 tahun ( young old), 75– 80 tahun (old), dan
lebih dari 80 tahun ( very old ).
Sedangkan menurut WHO tahun 2005, Lanjut usia meliputi usia
pertengahan yakni kelompok usia 45-59 tahun, Lanjut usia (Elderly)
yakni 60-74 tahun, usia lanjut tua (Old) yakni 75-90 tahun, dan usia
sangat tua (very old) yakni lebih dari 90 tahun.
3. Tipe Lansia
Beberapa tipe lansia tergantung dari karakter, pengalaman hidup,
lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial dan ekonomi (Nugroho,
2008). Tipe tersebut antara lain :
a. Tipe arif bijaksana kaya dengan hikmah, pengalaman,
menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai
kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan,
memenuhi undangan, dan menjadi panutan
b. Tipe mandiri mengganti kegiatan yang hilang dengan yang
baru, selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman,
dan memenuhi undangan
c. Tipe tidak puas konflik lahir batin menentang proses penuaan
sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung,
sulit dilayani, pengkritik dan banyak menuntut
d. Tipe pasrah menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti
kegiatan agama, dan melakukan pekerjaan apa saja
e. Tipe bingung kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan
diri, minder, menyesal, pasif, dan acuh yak acuh
4. Proses penuaan
Penuaan merupakan konsekuensi yang tidak bisa dihindari oleh
setiap manusia. Walaupun proses penuaan merupakan suatu proses
5
yang normal, akan tetapi keadaan ini lebih menjadi beban. Hal ini
secara keseluruhan tidak dapat dipungkiri oleh beberapa orang yang
lebih merasa menderita karena pengaruh penuaan. Proses penuaan
mempunyai konsekuensi terhadap aspek biologis, psikologis dan sosial
(Watson, 2003).
B. Perubahan-perubahan yang terjadi pada usia lanjut
1.
Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai
dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda
( multiple pathology ), misalnya tenaga berkurang, energi menurun,
kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh dan
sebagainya. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah
memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda.
Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi
fisik,
psikologik
maupun
sosial,
yang
selanjutnya
dapat
menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain.
Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi
fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan
fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak
mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat
memforsir fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara
hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja
secara seimbang (Nugroho, 2008).
2.
Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering
kali berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti :
Gangguan jantung, gangguan metabolisme, misal diabetes millitus,
vaginitis, baru selesai operasi : misalnya prostatektomi, kekurangan
gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat
kurang, penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi,
golongan steroid, tranquilizer.
6
Factor psikologis yang menyertai lansia adalah :
a.
Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual
pada lansia.
b.
Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta
diperkuat oleh tradisi dan budaya.
c.
Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam
kehidupannya.
d.
Pasangan hidup telah meninggal.
e.
Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah
kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dan
sebagainya.
(Nugroho, 2008)
3.
Perubahan Aspek Sosial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia
mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi
kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian,
perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku
lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik
(konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan
kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat
bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia
juga mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan
dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut
dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia sebagai
berikut :
a.
Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy),
biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan
mantap sampai sangat tua.
b.
Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada
tipe ini ada kecenderungan mengalami post power sindrome,
7
apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan
yang dapat memberikan otonomi pada dirinya.
c.
Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada
tipe ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga,
apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa
lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal
maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana,
apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
d.
Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada
tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas
dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadangkadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga
menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-marit.
e.
Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada
lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya
sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat
susah dirinya.
(Nugroho, 2008)
4.
Perubahan yang Berkaitan dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun.
Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat
menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam
kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering
diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan,
peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang
memasuki
masa
pensiun
lebih
tergantung
dari
model
kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada point tiga di atas.
Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut kehilangan,
ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua dan ada juga
yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-masing
sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing
8
individu, baik positif maupun negatif. Dampak positif lebih
menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan mengganggu
kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif
sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang benar-benar diisi
dengan kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan hanya
diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji
penuh.
Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi
dan terarah bagi masing-masing orang yang akan pensiun. Jika
perlu dilakukan assessment untuk menentukan arah minatnya agar
tetap
memiliki
kegiatan
yang
jelas
dan
positif.
Untuk
merencanakan kegiatan setelah pensiun dan memasuki masa lansia
dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan arah
minatnya masing-masing. Misalnya cara berwiraswasta, cara
membuka usaha sendiri yang sangat banyak jenis dan macamnya.
Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung
terlihat hasilnya sehingga menumbuhkan keyakinan pada lansia
bahwa disamping pekerjaan yang selama ini ditekuninya, masih
ada alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam menghadapi
masa tua, sehingga lansia tidak membayangkan bahwa setelah
pensiun mereka menjadi tidak berguna, menganggur, penghasilan
berkurang dan sebagainya (Nugroho, 2008).
5.
Perubahan dalam Peran Sosial Dimasyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan,
gerak fisik dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau
bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya menjadi
bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan
sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu
sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan
aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak
merasa terasing atau diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi
9
akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan
kdang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah
menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak
berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang
lain sehingga perilakunya seperti anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada
umumnya lansia yang memiliki keluarga bagi orang-orang kita
(budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota
keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat
umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh
kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya
keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya
pasangan hidup namun tidak punya anak dan pasangannya sudah
meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri, seringkali
menjadi terlantar (Nugroho, 2008).
C. Perubahan anatomi fisiologi sistem pernapasan pada lansia
Berikut adalah penjelasan tentang penyakit pernapasan pada lansia
yang dimulai dengan penjelasan tentang perubahan anatomic dan
fisiologik jantung:
1.
Perubahan anatomik pada respirasi
Efek penuaan tersebut dapat terlihat dari perubahan-perubahan
yang terjadi baik dari segi anatomi maupun fisiologinya. Perubahanperubahan anatomi pada lansia mengenai hampir seluruh susunan
anatomik tubuh, dan perubahan fungsi sel, jaringan atau organ.
Perubahan anatomi yang terjadi turut berperan terhadap perubahan
fisiologis sistem pernafasan dan kemampuan untuk mempertahankan
homeostasis. Penuaan terjadi secara bertahap sehingga saat seseorang
memasuki masa lansia, ia dapat beradaptasi dengan perubahan yang
terjadi. Perubahan anatomik sistem respirastory akibat penuaan adalah
sebagai berikut :
a.
Paru-paru kecil dan kendur.
10
b.
Pembesaran alveoli.
c.
Penurunan kapasitas vital ; penurunan PaO2 dan residu
d.
Kelenjar mucus kurang produktif
e.
Pengerasan bronkus dengan peningkatan resistensi
f.
Penurunan sensivitas sfingter esophagush.
g.
Klasifikasi kartilago kosta, kekakuan tulang iga pada kondisi
pengembangani.
h.
Hilangnya tonus otot toraks, kelemahan kenaikan dasar paru.
Penurunan sensivitas kemoreseptor.
(Stanley,2006).
2.
Perubahan Fisiologik pada pernapasan
Menurut Stanley, 2006 perubahan anatomi dan fisiologi yang
terjadi pada lansia, yaitu:
Hilangnya silia serta terjadinya penurunan reflex batuk dan
muntah pada lansia menyebabkan terjadinya penurunan perlindungan
pada sistem respiratory. Hal ini terjadi karena saluran pernafasan tidak
akan segera merespon atau bereaksi apabila terdapat benda asing
didalam saluran pernafasan karena reflex batuk dan muntah pada
lansia telah mengalami penurunan.
Penurunan
kompliants
paru
dan
dinding
dada. Hal
ini menyebabkan jumlah udara (O2) yang dapat masuk ke
dalam saluran pernafasan menurun dan menyebabkan terjadinya
peningkatan kerja pernafasan guna memenuhi kebutuhan tubuh.
Atrofi
otot
pernafasan
dan
penurunan
kekuatan
otot
pernafasan. Kedua hal ini menyebabkan pengembangan paru tidak
terjadi sebagai mestinya sehingga klien mengalami kekurangan suplay
O2 dan hal ini dapat menyebabkan kompensasi penigkatan RR yang
dapat menyebabkan kelelahan otot-otot pernafasan pada lansia.
Perubahan interstisium parenkim dan penurunan daerah
permukaan
11
alveolar menyebabkan menurunnya tempat difusi oksigen yang menye
babkan klien kekurangan suplay O2.
Penurunan mortilitas esophagus dang aster serta hilangnya
tonus sfringter kardiak.Hal ini menyebabkan lansia mudah mengalami
aspirasi yang apabila terjadi dapat mengganggu fisiologis pernafasan.
Paru-paru kecil dan mengendur. Paru-paru yang mengecil
menyebabkan
ruangatau
permukaan difusi gas berkurang bila
dibandingkan dengan dewasa.
3.
Faktor-Faktor Yang Memperburuk Fungsi Paru
Selain penurunan fungsi paru akibat proses penuaan,
terdapat beberapa faktor yang dapat memperburuk fungsi paru, Faktorfaktor yang memperburuk fungsi paru antara lain :
a. Faktor merokok
Merokok akan memperburuk fungsi paru, yaitu terjadi
penyempitan saluran nafas. Pada tingkat awal, saluran nafas akan
mengalami obstruksi clan terjadi penurunan nilai VEP1 yang
besarnya tergantung pada beratnya penyakit paru.
(Dharmojo dan Martono, 2006)
b. Obesitas
Kelebihan berat badan dapat memperburuk fungsi paru
seseorang. Pada obesitas, biasanya terjadi penimbunan lemak
pada
leher,
dada dan
(finding
perut,
akan
dapat
mengganggu compliance dinding dada, berakibat penurunan volume
paru atau terjadi keterbatasan gerakan pernafasan (restriksi) dan
timbul gangguan fungsi paru tipe restriktif.
(Dharmojo dan Martono, 2006)
c. Imobilitas
Imobilitas akan menimbulkan kekakuan atau keterbatasan
gerak saat otot-otot berkontraksi, sehingga kapasitas vital paksa
atau volume paru akan relatif' berkurang. Imobilitas karena
kelelahan otot-otot pernafasan pada usia lanjut dapat memperburuk
12
fungsi paru (ventilasi paru). Faktor-faktor lain yang menimbulkan
imobilitas (paru), misalnya efusi pleura, pneumotoraks, tumor paru
dan
sebagainya.
Perbaikan
fungsi
paru
dapat
dilakukan
dengan menjalankan olah raga secara intensif.
(Dharmojo dan Martono, 2006)
d. Operasi
Tidak semua operasi (pembedahan) mempengaruhi faal
paru. Dari pengalaman para ahli diketahui bahwa yang pasti
memberikan pengaruh faal paru adalah:
1) Pembedahan toraks (jantung dan paru)
2) Pembedahan abdomen bagian atas.
3) Anestesi atau jenis obat anastesi tertentu
Peruhahan fungsi paru yang timbul, meliputi perubahan
proses ventilasi, distribusi gas, difusi gas serta perfusi darah
kapiler paru. Adanya perubahan patofisiologik paru pasca
bedah mudah menimbulkan komplikasi paru : atelektasis,
infeksi atau sepsis dan selanjutnya mudah terjadi kematian,
karena timbulnya gagal nafas.
(Dharmojo dan Martono, 2006)
4.
Penyakit pernapasan pada Usia Lanjut
Pada proses menua terjadi penurunan compliance dinding dada,
tekanan maksimalinspirasi dan ekspirasi menurun dan elastisistas
jaringan paru juga menurun. Pada pengukuranterlihat FEV1, FVC
menurun, PaO2 menurun, V/Q naik. Penurunan ventilasi alveolar,
merupakanrisiko untuk terjadinya gagal napas. Selain itu terjadi
perubahan berupa (Lukman, 2009):
a.
Otot pernafasan kaku dan kehilangan kekuatan, sehingga
volume udara inspirasiberkurang, sehingga pernafasan cepat dan
dangkal.
b. Penurunan aktivitas silia menyebabkan penurunan reaksi batuk
sehingga potensialterjadi penumpukan sekret.
13
c.
Penurunan aktivitas paru ( inspirasi & ekspirasi ) sehingga
jumlah udara pernafasan yangmasuk keparu mengalami
penurunan, kalau pada pernafasan yang tenang kira kira 500 ml.
d. Alveoli semakin melebar dan jumlahnya berkurang (luas
permukaan normal 50m²), menyebabkan terganggunya prose
difusi.
e.
Penurunan oksigen (O2) Arteri menjadi 75 mmHg menggangu
proses oksigenasi darihemoglobin, sehingga O2 tidak terangkut
semua kejaringan.
f.
CO2 pada arteri tidak berganti sehingga komposisi O2 dalam
arteri juga menurun yang lama kelamaan menjadi racun pada
tubuh sendiri.
g.
Kemampuan batuk berkurang, sehingga pengeluaran sekret &
corpus alium dari salurannafas berkurang sehingga potensial
terjadinya obstruksi.
Penyebab kegawatan napas
pada lansia meliputi
obstruksi jalan napas atas, hipoksi karenapenyakit paru
obstruktif kronik (PPOK), pneumotoraks, pneumonia aspirasi,
rasa nyeri, bronkopneumonia, emboli paru, dan asidosis
metabolik. Akan tetapi penyakit respirasi yang sering terjadi
pada lansia adalah pneumonia, tuberkulosis paru, sesak napas,
nyeri dada.
D. Gangguan-gangguan pada sistem pernafasan lansia
1. Pneumonia
a. Pengertian
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim
paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup
bronkiolus
respiratorius,
konsolidasi jaringan
alveoli,
serta
menimbulkan
paru dan menimbulkan
gangguan
pertukaran gas setempat. Pneumonia memiliki tanda klasik
berupa demam, batuk, sesak. Tetapi pada usia lanjut usia,
14
gejalanya menjadi atipikal, yaitu suhu normal, takada batuk,
status mental terganggu, nafsu makan menurun, aktivitas
berkurang. Pemeriksaan fisik didapatkan ronki, bronkofoni,
suara napas menurun. Leukosit naik, dan pada rontgen thoraks
terlihat infiltrat (Lukman, 2009).
Perubahan sistem respirasi yang berhubungan dengan
usia yang mempengaruhi kapasitasdan fungsi paru meliputi:
1) Peningkatan diameter anteroposterior dada
2) Kalsifikasi kartilago kosta dan penurunan mobilitas kosta
3) Penurunan efisiensi otot pernapasanPeningkatan rigiditas
paru
4) Penurunan luas permukaan alveoli.
b. Etiologi
1) Bakteri
Pneumonia bakteri biasanya didapatkan pada usia lanjut.
Organisme gram positif seperti streptococcus pnemonia, S.
Aureus dan S. Pyogenesis. Bakteri gram negatif seperti
Haemophilus influenza, klabsiella pneumonia dan P.
Aeruginosa.
2) Virus
Disebabkan oleh virus influensa yang menyebar melalui
transmisi droplet. Cytomegalovirus dalam hal ini di kenal
sebagai penyebab utama pnemonia virus.
3) Jamur
Infeksi yang disebabkan jamur seperti histoplasmosis
menyebar melalui penghirupan udara yang mengandung
spora dan biasanya ditemukan pada kotoran burung, tanah
serta kompos.
4) Protozoa
15
Menimbulkan terjadinya pneumocystis sarini pneumonia
(CPC). Biasanya menjangkiti pasien yang mengalami
imunosupresi.
c. Manifestasi klinis
1) Kesulitan dan sakit pada saat bernapas
2) Nyeri pleurutik, nafas dangkal dan mendengkur, takipnea
3) Bunyi napas diatas area yang mengalami konsulidasi
4) Mengecil, kemudian menjadi hilang, krekels, ronkhi,
egofoni
5) Gerakan dada tidak simetris
6) Menggigil dan demam 38,8-41,10C, delirium
7) Batuk kental, produktif
8) Sputum kuning kehijauan kemudian berubah menjadi
kemerahan/berkarat.
d. Pemeriksaan penunjang
1) Sinar X: mengidentifikasi distribusi struktural, dapat juga
menyatakan abses luas/infiltrat, emfiema (staphyococcus),
infiltrat menyebar atau terlokalisasi (bakterial), atau
penyebaran/perluasan infiltrat nodul (virus). Pneumonia
mikoplasma sinar X dada mungkin bersih
2) GDA: tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas
paru yang terlibat dan penyakit paru yang ada.
3) Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah: diambil
dengan biopsi jarum, aspirasi transtrakheal, bronkoskopi
fiberotik atau biopsi pembukaan paru untuk mengatasi
organisme penyebab.
4) JDL: leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih
rendah terjadi pada infeksi virus, kondisi tekanan imun
memungkinkan berkembangnya pnemonia bakterial.
5) Pemeriksaan serologi: titer virus atau legionella, aglutinin
dingin.
16
e. Penatalaksanaan
1) Kemoterapi
Pemberian kemoterapi harus berdasarkan petunjuk
penemuan kuman penyebab infeksi (hasil kultur sputum
dan tes sensitivitas kuman terhadap antibodi). Bila
penyakitnya ringan antibiotik diberikan secara oral,
sedangkan bila berat deberikan secara parenteral. Apabila
terdapat penurunan fungsi ginjal akibat proses penuaan,
maka harus diingat kemungkinan penggunaan antibiotik
tertentu perlu penyusaian dosis.
a) Pengobatan umum
b) Terapi oksigen
c) Hidrasi, bila ringan hidrasi oral, tetapi jika berat
dehidrasi dilakukan secara parenteral
d) Fisioterapi
e) Penderita perlu tirah baring dan posisi penderita
perlu diubah-ubah untuk menghindari pneumonia
hipografik, kelemahan dan dekubitus.
2. TB paru
a.
Pengertian
Paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
basilmikobakterium tuberkulosa tipe humanus (jarang oleh
tipe M. Bovinus). TB Paru merupakan penyakit infeksi
penting saluran napas bagian bawah. Basil mikobakterium
tuberculosa tersebut masuk kedalam jaringan paru melalui
saluran napas (droplet infeksion) sampai alveoli, terjadilah
infeksi primer (ghon). Selanjutnya menyebar ke kelenjar
getah bening setempat dan terbentuklah primer kompleks
(ranke). Tb paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang sangat
bervariasi (harrison, 2002).
17
b. Etiologi
Penyebabnya adalah kuman mycobacterium teberculosa.
Sejenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang
1-4/mm dan tebal 0,3-0,6/mm. Sebagian besar kuman terdiri
dari asam lemak (lipid). Lipid ini adalah yang membuat
kuman lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik.
Kuman ini tahan hidup pada udara kering maupun dalam
keadaan dingin (dapat bertahan-tahan dalam lemari es).
c. Tanda dan gejala
1) Berkeringat
2) Batuk disetai dahak lebih dari 3 minggu
3) Sesak napas dan nyeri dada
4) Badan lemah, kurang enak badan pada malam hari walau
tanpa kegiatan
5) Berat badan menurun (penyakit infeksi TB paru dan
ekstra paru, misnadiary).
d. Pemeriksaan diagnostik
1) Kultur sputum adalah mikobakterium tuberkolosis positif
pada tahap akhir penyakit
2) Tes tuberkalin adalah mantolix test reaksi positif (area
indurasi 10-15 mm terjadi 48-72 jam)
3) Foto toraks adalah infiltrasi lesi awal pada area paru atas:
pada tahap dini tampak gambaran bercak-bercak seperti
awan dengan batas tidak jelas: pada aktivitas bayangan,
berupa cincin: pada klasifikasi tampak bayangan bercakbercak padat dengan densitas tinggi
4) Bronchografi adalah untuk melihat kerusakan bronkus
atau kerusakan paru karen Tb paru
5) Darah adalah peningkatan leukosit dan laju endapan
darah (LED)
18
6) Spirometriadalah
penurunan
fungsi
paru
dengan
kapasitas vital menurun.
e. Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkolosis terbagi menjadi 2 fase yaitu: fase
intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan
obat yang digunakan terdiri dari obat utama dan obat
tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan
rekomendasi WHO adalah rifampisin, INH, pirasinamid,
streptomisin dan etambutol. Sedangkan jenis obat tambahan
adalah kanamisin, kulnolon, makvolide, dan amoksilin
ditambah dengan asam klavulanat, derivat rifampisin/INH.
3. Asma
a. Pengertian
Asma adalah penyakit pernapasan obstruktif yang ditandai
oleh spasme otot polos bronkiolus.
Asma adalah obstruksi akut pada bronkus yang disebabkan
oleh penyempitan yang intermiten pada saluran napas di
banyak tingkat mengakibatkan terhalangnya aliran udara.
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik jalan napas
yang mengakibatkan berbagai sel inflamasi. Dasar penyakit
ini adalah hiperaktivitas bronkus dalam berbagai tingkat,
obstruksi jalan nafas dan gejala pernafasan (mengi atau
sesak).
Asma adalah gangguan pernapasan pada bronkus yang
menyebabkan
penyempitan
intermiten
pernafasan.
b. Etiologi
Secara etiologis asma dibagi dalam 3 tipe :
1) Asma tipe non atopik (intrinsik)
19
pada
saluran
Pada golongan ini, keluhan tidak adanya hubungan
dengan paparan (exposure) terhadap alergen dan sifatsifatnya adalah :
a) Serangan timbul setelah dewasa.
b) Pada keluarga tidak ada yang menderita asma.
c) Penyakit infeksi sering menimbulkan serangan.
d) Ada hubungan dengan pekerjaan dan beban fisik.
e) Rangsangan / stimuli psikis mempunyai peran untuk
menimbulkan serangan reaksi asma.
f) Perubahan-perubahan cuaca atau lingkungan yang
non spesifik merupakan keadaan yang peka bagi
penderita.
2) Asma tipe atopik (ekstrinsik)
Pada golongan ini, keluhan ada hubungannya
dengan paparan (exposure) terhadap alergen yang
spesifik. Kepekaan ini biasaanya ditimbulkan dengan uji
kulit atau provokasi bronkial. Pada tipe ini mempunyai
sifat-sifat :
a) Timbul sejak kanak-kanak
b) Pada famili ada yang mengidap asma
c) Ada eksim waktu bayi
d) Sering menderita rinitis
e) Di Inggris penyebabnya house dust mite, di USA
tepung sari bunga rumput
3) Asma Campuran (mixed)
Pada golongan ini, keluhan diperberat oleh faktorfaktor intrinsik maupun ekstrinsik.
c. Tanda dan Gejala
1) Bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan/tanpa
stetoskop
2) Batuk produktif, sering pada malam hari
20
3) Nafas atau dada seperti tertekan, ekspirasi memanjang
d. Pemeriksaan diagnostic
1) Pemeriksaan test kulit → untuk menunjukkan adanya
alergi dan adanya antibodi kadar Ig E yang spesifik dalam
tubuh.
2) Pemeriksaan kadar Ig E total dan Ig E serum → untuk
menyokong adanya penyakit atopi
3) Pemeriksaan analisa gas darah → dilakukan dengan
pasien asma berat
4) Pemeriksaan eosinofil damal darah → jumlah eosinofil
total dalam darah sering meningkat
5) Pemeriksaan sputum → untuk menilai adanya misellium
aspergius fumigatus
6) Radiologi → dilakukan apabila dan kecurigaan terhadap
proses patologik dipar
e. Penatalaksanaan
1) Pegobatan Medika Mentosa
a) Waktu serangan
Bronkodilator
Korkhosteroid
Ekspektoransia
Antihistamin
Antibiotika
b) Diluar serangan
disodium chomoglycate (DSCG)
ketotijen
2) Pengobatan non Medika Mentosa
a) Waktu serangan
Pemberian O2
Pastural drainase
21
Pemberian cairan
Menghindari paparan alergen
b) Diluar serangan
Pendidikan
Immunoteraphy/desensitasi
Pelayanan / kontrol emosi
Tujuan pelaksanaan terapi asma
1) Menyembuhkan dan menendalikan gejala asma
2) Mencegah kekambuhan
3) Mengupayakan fungsi paru senormal mungkin serta
mempertahankan
4) Mengupayakan aktivitas harian pada tingkat normal
5) Menghindari efek samping obat asma
6) Mencegah obstruksif jalan nafas yang irreversible
Terapi awal :
1)
O2 4-6 liter/menit
2)
Agonis B2
3)
Amnofium bolus IV 5 – 6 mg
4)
Kortikosteroid hidrokortison
100 – 200 mg IV
Terapi asmak kronik
1) Asma ringan : agnosis B2 inhalasi
2) Asma sedang : anti inflamsi / hr dan agonis B2 inhalasi
bila perlu
3) asmaAberat : steroid inhalasi / hr B 2 long acting, steroid
sedang sehari/dosis tunggal harian dan agnosis B2 inhalasi
sesuai kebutuhan
22
Respon terapi awal baik didapatkan keadaan :
1) Respon menetap selama 60 menit setelah pengobatan
2) Pemeriksaan fisik normal
3) Arus puncak ekspirasi > 70 %
4. Bromkiektasis
a. Pengertian
Bronkiektasis merupakan kelainan morfologis yang terdiri
dari pelebaran bronkus yang abnormal dan menetap disebabkan
kerusakan komponen elastis dan muscular dinding bronkus.
Bronkiektasis berarti suatu dilatasi yang tak dapat pulih
lagi dari bronchial yang disebabkan oleh episode pnemonitis
berulang dan memanjang,aspirasi benda asing, atau massa
( mis. Neoplasma) yang menghambat lumen bronchial dengan
obstruksi.
Bronkiektasis adalah dilatasi permanen abnormal dari salah
satu atau lebih cabang-vabang bronkus yang besar.
b. Etiologi
1) Infeksi
2) Kelainan heriditer atau kelainan konginetal
3) Faktor mekanis yang mempermudah timbulnya infeksi
4) Sering penderita mempunyai riwayat pneumoni sebagai
komplikasi campak, batuk rejan, atau penyakit menular
lainnya semasa kanak-kanak.
c. Tanda dan Gejala
1) Batuk yang menahun dengan sputum yang banyak terutama
pada pagi hari,setelah tiduran dan berbaring.
2) Batuk dengan sputum menyertai batuk pilek selama 1-2
minggu atau tidak ada gejala sama sekali ( Bronkiektasis
ringan )
23
3) Batuk yang terus menerus dengan sputum yang banyak
kurang lebih
200 - 300 cc, disertai demam, tidak ada
nafsu makan, penurunan berat badan, anemia, nyeri pleura,
dan lemah badan kadang-kadang sesak nafas dan sianosis,
sputum sering mengandung bercak darah,dan batuk darah.
4) Ditemukan jari-jari tabuh pada 30-50 % kasus.
d. Pemeriksaan diagnostic
1) Pemerisaan Laboratorium.
a) Pemeriksaan sputum meliputi Volume sputum, warna
sputum, sel-sel dan bakteri dalam sputum.
Bila terdapat infeksi volume sputum akan meningkat,
dan menjadi purulen dan mengandung lebih banyak
leukosit
dan
bakteri.
menghasilkan
flora
Biakan
normal
streptokokus
pneumoniae,
stapilokokus
aereus,klebsiela,
sputum
dari
hemofilus
dapat
nasofaring,
influenza,
aerobakter,proteus,
pseudomonas aeroginosa. Apabila ditemukan sputum
berbau busuk
menunjukkan adanya infeksi kuman
anaerob.
b) Pemeriksaan darah tepi.
Biasanya ditemukan dalam batas normal. Kadang
ditemukan adanya leukositosis menunjukkan adanya
supurasi yang aktif dan anemia menunjukkan adanya
infeksi yang menahun.
c) Pemeriksaan urina
Ditemukan dalam batas normal, kadang
ditemukan
adanya proteinuria yang bermakna yang disebabkan
oleh
amiloidosis,
Namun
Imunoglobulin
serum
biasanya dalam batas normal Kadan bisa meningkat
atau menurun.
d) Pemeriksaan EKG
24
EKG biasa dalam batas normal kecuali pada kasus
lanjut yang sudah ada komplikasi korpulmonal atau
tanda pendorongan jantung. Spirometri pada kasus
ringan mungkin normal tetapi pada kasus berat ada
kelainan obstruksi dengan penurunan volume ekspirasi
paksa 1 menit atau penurunan kapasitas vital, biasanya
disertai
insufisiensi
pernafasan
yang
dapat
mengakibatkan :
Ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi
Kenaikan perbedaan tekanan PO2 alveoli-arteri
Hipoksemia
Hiperkapnia
e) Pemeriksaan
tambahan
untuk
mengetahui
faktor
predisposisi dilakukan pemerisaan :
Pemeriksaan imunologi
Pemeriksaan spermatozoa
Biopsi bronkus dan mukosa nasal( bronkopulmonal
berulang).
2) Pemeriksaan Radiologi.
a) Foto dada PA dan Lateral
Biasanya ditemukan corakan paru menjadi lebih kasar
dan
batas-batas
corakan
menjadi
kabur,
mengelompok,kadang-kadang ada gambaran sarang
tawon
serta
gambaran
kistik
dan
batas-batas
permukaan udara cairan. Paling banyak mengenai lobus
paru kiri, karena mempunyai diameter yang lebih kecil
kanan dan letaknya menyilang mediastinum,segmen
lingual lobus atas kiri dan lobus medius paru kanan.
b) Pemeriksaan bronkografi
25
Bronkografi tidak rutin dikerjakan namun bila ada
indikasi dimana untuk mengevaluasi penderita yang
akan dioperasi yaitu pendereita dengan pneumoni yang
terbatas pada suatu tempat dan berulang yang tidak
menunjukkan
pengobatan
perbaikan
konservatif
klinis
atau
setelah
penderita
mendapat
dengan
hemoptisis yang masif.
Bronkografi dilakukan sertalah keadaan stabil,setalah
pemberian antibiotik dan postural drainage yang
adekuat sehingga bronkus bersih dari sekret.
e. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah memperbaiki drainage sekret dan
mengobati infeksi.
Penatalaksanaan meliputi :
1)
Pemberian antibiotik dengan spekrum luas
( Ampisillin,Kotrimoksasol, atau amoksisilin ) selama 5- 7
hari pemberian
2)
Drainage postural dan latihan fisioterapi untuk
pernafasan serta batuk yang efektif untuk mengeluarkan
sekret secara maksimal
Pada saat dilakukan drainage perlu diberikan bronkodilator
untuk mencegah bronkospasme dan memperbaiki drainage
sekret. Serta dilakukan hidrasi yang adekuat untuk mencegah
sekret menjadi kental dan dilengkapi dengan alat pelembab
serta nebulizer untuk melembabkan sekret.
5. Efusi pleura
a. Pengertian
Efusi pleural adalah penumpukan cairan di dalam ruang
pleural, proses penyakit primer jarang terjadi namun biasanya
terjadi sekunder akibat penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan
26
jernih, yang mungkin merupakan transudat, eksudat, atau dapat
berupa darah atau pus.
Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang
pleura yang terletak diantara permukaan visceral dan parietal,
proses
penyakit
primer
jarang
terjadi
tetapi
biasanya
merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara
normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5
sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan
permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi.
Efusi
pleura
adalah
istilah
yang
digunakan
bagi
penimbunan cairan dalam rongga pleura.
b. Etiologi
1) Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya
bendungan seperti pada dekompensasi kordis, penyakit
ginjal, tumor mediatinum, sindroma meig (tumor ovarium)
dan sindroma vena kava superior.
2) Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang
(tuberculosis, pneumonia, virus), bronkiektasis, abses
amuba subfrenik yang menembus ke rongga pleura, karena
tumor dimana masuk cairan berdarah dan karena trauma. Di
Indonesia 80% karena tuberculosis.
Kelebihan cairan rongga pleura dapat terkumpul pada proses
penyakit neoplastik, tromboembolik, kardiovaskuler, dan
infeksi. Ini disebabkan oleh sedikitnya satu dari empat
mekanisme dasar :
1) Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik
2) Penurunan tekanan osmotic koloid darah
3) Peningkatan tekanan negative intrapleural
4) Adanya inflamasi atau neoplastik pleura
c. Tanda dan gejala
27
1) Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit
karena pergesekan, setelah cairan cukup banyak rasa sakit
hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas.
2) Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam,
menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas
tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat,
batuk, banyak riak.
3) Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi
jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan.
4) Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan
berlainan, karena cairan akan berpindah tempat. Bagian
yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan,
fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati
daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan
membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
5) Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi
redup timpani dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga
Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan
mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah
ini didapati vesikuler melemah dengan ronki.
6) Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi
pleura.
d. Pemeriksaan diagnostic
1) Pemeriksaan radiologik (Rontgen dada), pada permulaan
didapati menghilangnya sudut kostofrenik. Bila cairan lebih
300ml,
akan
tampak
cairan
dengan
permukaan
melengkung. Mungkin terdapat pergeseran di mediatinum.
2) Ultrasonografi
3) Torakosentesis
/
pungsi
pleura
untuk
mengetahui
kejernihan, warna, biakan tampilan, sitologi, berat jenis.
Pungsi pleura diantara linea aksilaris anterior dan posterior,
28
pada sela iga ke-8. Didapati cairan yang mungkin serosa
(serotorak), berdarah (hemotoraks), pus (piotoraks) atau
kilus (kilotoraks). Bila cairan serosa mungkin berupa
transudat (hasil bendungan) atau eksudat (hasil radang).
4) Cairan pleural dianalisis dengan kultur bakteri, pewarnaan
gram, basil tahan asam (untuk TBC), hitung sel darah
merah dan putih, pemeriksaan kimiawi (glukosa, amylase,
laktat dehidrogenase (LDH), protein), analisis sitologi
untuk sel-sel malignan, dan pH.
5) Biopsi pleura mungkin juga dilakukan
e. Penatalaksanaan
1) Tujuan pengobatan adalah untuk menemukan penyebab
dasar, untuk mencegah penumpukan kembali cairan, dan
untuk menghilangkan ketidaknyamanan serta dispneu.
Pengobatan spesifik ditujukan pada penyebab dasar (co;
gagal jantung kongestif, pneumonia, sirosis).
2)
Torasentesis dilakukan untuk membuang cairan, untuk
mendapatkan specimen guna keperluan analisis dan untuk
menghilangkan disneu.
3) Bila penyebab dasar malignansi, efusi dapat terjadi kembali
dalam beberapa hari tatau minggu, torasentesis berulang
mengakibatkan nyeri, penipisan protein dan elektrolit, dan
kadang pneumothoraks. Dalam keadaan ini kadang diatasi
dengan pemasangan selang dada dengan drainase yang
dihubungkan
pengisapan
ke
untuk
system
drainase
water-seal
mengevaluasiruang
pleura
atau
dan
pengembangan paru.
4) Agen yang secara kimiawi mengiritasi, seperti tetrasiklin
dimasukkan kedalam ruang pleura untuk mengobliterasi
ruang pleural dan mencegah akumulasi cairan lebih lanjut.
29
5) Pengobatan lainnya untuk efusi pleura malignan termasuk
radiasi dinding dada, bedah plerektomi, dan terapi diuretic.
E. Asuhan
keperawatan
pada
lansia
dengan
gangguan
system
pernafasan
1.
Pengkajian
a.
Chest X-Ray : dapat menunjukkan
hiperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan ruang udara
retrosternal,
penurunan
peningkatan
bentuk
tanda
vaskular/bulla
bronchovaskular
(emfisema),
(bronchitis),
normal
ditemukan saat periode remisi (asthma)
b.
Pemeriksaan
Fungsi
Paru
:
dilakukan untuk menentukan penyebab dari dyspnea, menentukan
abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi,
memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari
terapi, misal : bronchodilator
c.
TLC : meningkat pada bronchitis
berat dan biasanya pada asthma, menurun pada emfisema
d.
Kapasitas Inspirasi : menurun pada
emfisema
e.
FEV1/FVC : ratio tekanan volume
ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital (FVC) menurun
pada bronchitis dan asthma
f.
ABGs : menunjukkan proses penyakit
kronis, seringkali PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau
meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi seringkali
menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis
respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema
sedang atau asthma)
30
g.
Bronchogram : dapat menunjukkan
dilatasi dari bronchi saat inspirasi, kollaps bronchial pada tekanan
ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus (bronchitis)
h.
Darah
Komplit
:
peningkatan
hemoglobin (emfisema berat), peningkatan eosinofil (asthma)
i.
Kimia Darah : alpha 1-antitrypsin
dilakukan untuk kemungkinan kurang pada emfisema primer
j.
Sputum Kultur : untuk menentukan
adanya infeksi, mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sitologi
untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi
k.
ECG
:
deviasi
aksis
kanan,
gelombang P tinggi (asthma berat), atrial disritmia (bronchitis),
gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi (bronchitis,
emfisema), axis QRS vertikal (emfisema)
l.
Exercise
ECG,
Stress
Test
:
menolong mengkaji tingkat disfungsi pernafasan, mengevaluasi
keefektifan obat bronchodilator, merencanakan/evaluasi program.
2.
Rencana asuhan keperawatan pada klien
COPD
Intervensi dan rasional pada penyakit ini didasarkan pada konsep
Nursing Intervention Classification (NIC) dan Nursing Outcome
Classification (NOC).
No
1
Diagnoa Keperawatan
(NANDA)
Bersihan jalan nafas
efektif
yang
berhubungan Jalan
dengan :
Bronchospasme
Peningkatan
sekret
Perencanaan
Tujuan (NOC)
Intervensi (NIC) & Rasional
tak Status Respirasi : Kepatenan
a. Manajemen jalan nafas
nafas
tertahan, kental)
dengan
Rasional
:
skala…….. (1 – 5) setelah
menghindari
diberikan
nya
perawatan
produksi selama…….
(sekret
#
Hari,
yang kriteria :
dengan
31
terjadi
jalan
nafas yang disebabkan
oleh
Tidak ada demam
obtruktif
untuk
sekret
peningkatan
Menurunnya
Tidak ada cemas
energi/fatique
RR dalam batas normal
Rasional : bertujuan
Irama nafas dalam batas
untuk
Data-data
Klien mengeluh sulit
normal
Pergerakan sputum keluar
untuk bernafas
dari jalan nafas
Perubahan
Bebas dari suara nafas
kedalaman/jumlah
nafas, penggunaan otot
tambahan
bantu pernafasan
b. Latih batuk efektif
mengeluarkan
sekrek
c. Terapi oksigen
Rasional : untuk
memenuhi kebutuhan
oksigen
d. Pemberian posisi
Suara nafas abnormal
Rasional : mengatur
seperti
posisi dapat
:
wheezing,
ronchi, crackles
Batuk
meningkatkan sirkulasi
(persisten)
e. Monitoring tanda vital
dengan/tanpa produksi
Rasional : untuk
sputum.
mengetahui keadaan
umum pasien
menghindari
2
Kerusakan Pertukaran gas Status Respirasi :
yang berhubungan dengan :
Kurangnya
Pertukaran gas # dengan skala
suplai ……. (1 – 5) setelah diberikan
komplikasi
a. Manajemen asam dan
basa tubuh
Rasional : mencegah
oksigen (obstruksi jalan perawatan selama……. Hari
komplikasi akibat
nafas
penurunan atau
oleh
sekret, dengan kriteria :
bronchospasme,
air
trapping)
batas normal
Destruksi alveoli
Data-data :
Dyspnea
Confusion, lemah
Tidak
Status mental dalam
mampu
mengeluarkan secret
peningkatan PCO2
b. Manajemen jalan nafas
Bernafas dengan mudah
Rasional : untuk
Tidak ada cyanosis
memfasilitasi
PaO2 dan PaCO2 dalam
kepatenan jalan nafas
batas normal
c. Terapi oksigen
Saturasi O2 dalam
Rasional : memberikan
rentang normal
oksigen dan memantau
32
Nilai ABGs abnormal
(hipoxia
aktivitas
dan
d. Monitoring tanda vital
hiperkapnia)
Rasional
Perubahan tanda vital
mengetahui
Menurunnya
umum
toleransi
terhadap aktifitas.
3
Ketidakseimbangan
:
untuk
keadaan
pasien
menghindari
nutrisi Status Nutrisi : Intake cairan
komplikasi
a. Manajemen cairan
Kurang dari kebutuhan tubuh dan makanan gas # dengan
Rasional : membantu
yang berhubungan dengan :
kebutuhan cairan tubuh
Dyspnea, fatique
Efek
diberikan
perawatan
samping selama…….
pengobatan
Produksi sputum
Anorexia,
nausea/vomiting.
Data :
Penurunan berat badan
Kehilangan masa otot,
tonus otot jelek
skala ……. (1 – 5) setelah
Hari
dengan
kriteria :
b. Monitoring cairan
Rasional : menghindari
kelebihan
Asupan makanan skala (1
kekurangan cairan
c. Manajemen gangguan
– 5) (adekuat)
Intake cairan peroral (1–
makan
Rasional
5) (adekuat)
Intake cairan (1 – 5)
Status Nutrisi : Intake Nutrien
Dilaporkan
adanya gas # dengan skala ……. (1 –
perubahan sensasi rasa 5) setelah diberikan perawatan
Hari
dengan
untuk
alternatif
memenuhi
kebutuhan nutrisi
d. Terapi nutrisi
Rasional : memenuhi
kebutuhan nutrisi
e. Kontroling nutrisi
Intake kalori (1 – 5)
Rasional
:
mempertahankan
(adekuat)
Intake
:
mencari
untuk
(adekuat)
Tidak bernafsu untuk selama…….
makan.
kriteria :
atau
protein,
karbohidrat dan lemak (1
– 5) (adekuat)
intake dan output
f. Manajemen
berat
badan.
Kontrol Berat Badan gas #
Rasional
dengan skala ……. (1 – 5)
apakah terapi diet yang
33
:
untuk
setelah diberikan perawatan
selama…….
Hari
diberikan berhasil
dengan
kriteria :
Mampu
intake
memeliharan
kalori
secara
optimal (1 – 5)
Mampu
memelihara
keseimbangan cairan (1 –
5)
Mampu
mengontrol
asupan makanan secara
adekuat (1 – 5).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Usia
lanjut
adalah
suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang yang
dikaruniai usia panjang, terjadinya tidak bisa di hindari siapapun. Usia
tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu
periode dimana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu
yang lebih menyenangkan atau beranjak dari waktu yang penuh
dengan manfaat (Hurlock, 2000).
2.
Batasan
Lansia
menurut Setyonegoro, dimana usia dewasa muda ( Elderly adulhood)
20 – 25 tahun, usia dewasa penuh ( middle years ) atau maturitas
25 – 60 atau 65 tahun, lanjut usia ( geriatric age ), lebih dari 65 atau70
tahun. Terbagi untuk umur 70 – 75 tahun ( young old), 75– 80 tahun
(old), dan lebih dari 80 tahun ( very old ).
34
3.
Menurut WHO tahun 2005, Lanjut usia
meliputi usia pertengahan yakni kelompok usia 45-59 tahun, Lanjut
usia (Elderly) yakni 60-74 tahun, usia lanjut tua (Old) yakni 75-90
tahun, dan usia sangat tua (very old) yakni lebih dari 90 tahun.
4.
Tipe
lansia
tergantung
dari
karakter,
pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial dan
ekonomi
5.
Proses penuaan merupakan konsekuensi
yang tidak bisa dihindari oleh setiap manusia. Walaupun proses
penuaan merupakan suatu proses yang normal, akan tetapi keadaan ini
lebih menjadi beban.
6.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada usia
lanjut seperti penurunan kondisi fisik, penurunan fungsi dan potensi
seksual, perubahan aspek sosial, perubahan yang berkaitan dengan
pekerjaan, dan perubahan dalam peran sosial dimasyarakat
7.
Perubahan
anatomi
fisiologi
sistem
pernapasan pada lansia yaitu perubahan anatomik pada respirasi,
perubahan
fisiologik
pada
pernapasan,
faktor-faktor
yang
memperburuk fungsi paru, dan penyakit pernapasan pada usia
lanjut
8.
Gangguan pada sistem pernafasan pada
lansia seperti pneumonia, tb paru, asma, bromkiektaksis, dan epusi
pleura
9.
Asuhan keperaw
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pada usia lanjut terjadi perubahan anatomi-fisiologi dan dapat
timbul pula penyakit-penyakit pada sistem pernafasan. Usia harapan hidup
lansia di Indonesia semakin meningkat karena pengaruh status kesehatan,
status gizi, tingkat pendidikan, ilmu pengetahuan dan sosial ekonomi yang
semakin meningkat sehingga populasi lansia pun meningkat. Pada tahun
2010 jumlah warga lanjut usia (lansia) di Indonesia akan mencapai
19.079.800 jiwa (BAPPENAS, BPS, UNFPA. 2005) pada tahun 2014 akan
berjumlah 22.232.200 jiwa atau 9,6% dari total penduduk dan pada tahun
2025 akan meningkat sampai 414% dibandingkan tahun 2004 (WHO,
2005).
Fungsi primer dari sistem pernafasan adalah menghantarkan udara
masuk dan keluar dari paru sehingga oksigen dapat dipertukarkan dengan
karbondiaoksida. Sistem pernafasan atas meliputi hidung, rongga hidung,
sinus-sinus, dan faring. Sistem pernafasan bawah meliputi trakhea,
bronkus-bronkus, dan paru.
Rongga
thoraks
tersusun
atas
susunan
tulang
iga
yang
membatasi/rib cage (sebagai “dinding”) dan diafragma (sebagai “lantai”).
Mediastinum membagi dua rongga pleura. Tiap paru terletak di dalam satu
rongga pleura, yang dilapisi dengan membran serosa disebut pleura. Pleura
parietal menutupi permukaan dalam dinding thoraks dan meluas hingga
diafragma dan mediastinum. Pleura viseralis menutupi permukaan luar
paru dan meluas hingga fisura antara lobus. Membran pleura mensekresi
cairan pleura dalam jumlah sedikit, yang menciptakan kelembaban dan
mantel licin untuk lubrikasi saat bernafas. Paru terbagi atas beberapa lobus
yang terpisah dengan jelas. Paru kanan terdiri dari tiga lobus : lobus
superior, media dan inferior. Paru kiri hanya memiliki dua lobus: lobus
1
superior, dan inferior. Dasar setiap paru terletak di atas permukaan
diafragma.
Menurut ilmu demografi Indonesia dalam masa transisi demografi
yaitu perubahan pola penduduk berusia muda ke usia tua. Infeksi saluran
nafas bagian bawah akut dan tuberkulosis paru menduduki 5 penyakit
terbanyak yang diderita oleh masyarakat. Gangguan sistem respirasi
merupakan gangguan yang menjadi masalah besar di dunia khususnya
Indonesia diantaranya adalah penyakit pneumonia, TBC, dan asma.
Menurut laporan WHO pada tahun 2006, Indonesia merupakan negara
dengan tingkat kejadian pneumonia tertinggi ke-6 di seluruh dunia.
Berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2001,
pneumonia merupakan urutan terbesar penyebab kematian pada balita.
Pneumonia dapat mengenai anak di seluruh dunia, bila diumpamakan
kematian anak-anak di seluruh dunia akibat pneumonia, maka setiap jam,
anak-anak sebanyak 1 pesawat jet penuh (230 anak) meninggal akibat
pneumonia, yang mencapai hampir 1 dari 5 kematian balita di seluruh
dunia. Insiden pneumonia di negara berkembang adalah 10-20 kasus/100
anak/tahun (10-20%). Sedangkan insiden TBC, WHO mencatat peringkat
Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebesar
429 ribu orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada
tahun 2009 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia
(WHO, 2010).
Peningkatan insiden dan prevalensi pneumonia pada lansia juga
dikaitkan dengan penyakit komorbid yang diderita pasien, seperti diabetes
melitus, penyakit jantung, malnutrisi, dan penyakit hati kronik. Sebagai
contoh, diabetes melitus menyebabkan penurunan fungsi sistim imun
tubuh baik proses kemotaksis maupun fagositosis. Pada gagal jantung
kongestif yang disertai edema paru, fungsi clearance paru berkurang
sehingga kolonisasi kuman pernafasan mudah berkembangbiak. Pasien
yang sebelumnya sering mengonsumsi obat-obatan yang bersifat sedatif
atau hipnotik berisiko tinggi mengalami aspirasi sehingga mempermudah
2
terjadinya infeksi. Hal itu disebabkan kedua obat tersebut menekan
rangsang batuk dan kerja clearance mukosilier (WHO, 2010).
Dampak yang diakibatkan meliputi masa rawat yang lebih
panjang, biaya rawat yang lebih besar serta sering timbulnya komplikasi
berat sehingga menimbulkan penurunan kualitas hidup. Infeksi saluran
nafas atas dan influenza malah sering berlanjut menjadi pneumonia yang
gejala dan tanda pneumonia pada lansia sering tidak khas yang
menyebabkan
keterlambatan
diagnosis,
belum
lagi
meningkatnya
resistensi mikroba terhadap antibiotika. Adapun peran kita sebagai
seorang perawat dalam mencegah ataupun menangani gangguan yang
terjadi pada sistem pernapasan lansia adalah memberikan pendidikan
kesehatan pada lansia untuk mencegah terjadinya gangguan yang lebih
kronis dan memberikan tindakan keperawatan sesuai wewenang kita
sebagai seorang perawat sesuai indikasi yang diderita oleh lansia (Geffen,
2006).
B. Tujuan penulisan
1. Tujuan umum
Mahasiswa mengetahui bagaimana konsep teori serta asuhan
keperawatan yang tepat untuk lansia dengan gangguan sistem
pernafasan.
2. Tujuan Umum
a. Untuk mengetahui konsep lansia
b. Untuk mengetahui perubahan anatomi dan fisiologi sistem
respirasi pada lansia
c. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada lansia dengan
gangguan sistem respirasi
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Lansia
1. Pengertian
Usia lanjut adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh
semua orang yang dikaruniai usia panjang, terjadinya tidak bisa di
hindari siapapun. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang
hidup seseorang, yaitu periode dimana seseorang telah “beranjak
jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau beranjak
dari waktu yang penuh dengan manfaat (Hurlock, 2000).
Menurut Undang-Undang RI nomor 13 tahun 1998, Depkes
(2001) yang dimaksud dengan usia lanjut adalah seorang laki – laki
atau perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih, baik yang secara
fisik masih berkemampuan ( potensial) maupun karena sesuatu hal
yang tidak mampu
berperan aktif dalam pembangunan (tidak
potensial).
Wheeler, mengungkapkan usia tua tidak hanya dilihat dari
perhitungan kronologis atau berdasarkakan kalender saja, tetapi juga
menurut kondisi kesehatan seseorang ( health age ). Sehingga umur
sesungguh nya dari seseorang merupakan gabungan dari ketiga tiganya (Nugroho, 2008).
Jadi
dapat disimpulkan bahwa lansia adalah suatu periode
penutup dalam hidup seseorang baik laki-laki maupun perempuan
yang berusia 60 tahun atau lebih yang secara fisik masih potensial
maupun tidak potensial.
2. Batasan Lansia
Menurut Setyonegoro, dalam Nugroho ( 2008), pengelompokkan
usia lanjut adalah sebagai berikut :
4
a. Usia dewasa muda ( Elderly adulhood), 18 atau 20 – 25 tahun
b. Usia dewasa penuh ( middle years ) atau maturitas, 25 – 60 atau
65 tahun
c. Lanjut usia ( geriatric age ), lebih dari 65 atau70 tahun. Terbagi
untuk umur 70 – 75 tahun ( young old), 75– 80 tahun (old), dan
lebih dari 80 tahun ( very old ).
Sedangkan menurut WHO tahun 2005, Lanjut usia meliputi usia
pertengahan yakni kelompok usia 45-59 tahun, Lanjut usia (Elderly)
yakni 60-74 tahun, usia lanjut tua (Old) yakni 75-90 tahun, dan usia
sangat tua (very old) yakni lebih dari 90 tahun.
3. Tipe Lansia
Beberapa tipe lansia tergantung dari karakter, pengalaman hidup,
lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial dan ekonomi (Nugroho,
2008). Tipe tersebut antara lain :
a. Tipe arif bijaksana kaya dengan hikmah, pengalaman,
menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai
kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan,
memenuhi undangan, dan menjadi panutan
b. Tipe mandiri mengganti kegiatan yang hilang dengan yang
baru, selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman,
dan memenuhi undangan
c. Tipe tidak puas konflik lahir batin menentang proses penuaan
sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung,
sulit dilayani, pengkritik dan banyak menuntut
d. Tipe pasrah menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti
kegiatan agama, dan melakukan pekerjaan apa saja
e. Tipe bingung kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan
diri, minder, menyesal, pasif, dan acuh yak acuh
4. Proses penuaan
Penuaan merupakan konsekuensi yang tidak bisa dihindari oleh
setiap manusia. Walaupun proses penuaan merupakan suatu proses
5
yang normal, akan tetapi keadaan ini lebih menjadi beban. Hal ini
secara keseluruhan tidak dapat dipungkiri oleh beberapa orang yang
lebih merasa menderita karena pengaruh penuaan. Proses penuaan
mempunyai konsekuensi terhadap aspek biologis, psikologis dan sosial
(Watson, 2003).
B. Perubahan-perubahan yang terjadi pada usia lanjut
1.
Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai
dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda
( multiple pathology ), misalnya tenaga berkurang, energi menurun,
kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh dan
sebagainya. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah
memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda.
Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi
fisik,
psikologik
maupun
sosial,
yang
selanjutnya
dapat
menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain.
Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi
fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan
fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak
mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat
memforsir fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara
hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja
secara seimbang (Nugroho, 2008).
2.
Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering
kali berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti :
Gangguan jantung, gangguan metabolisme, misal diabetes millitus,
vaginitis, baru selesai operasi : misalnya prostatektomi, kekurangan
gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat
kurang, penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi,
golongan steroid, tranquilizer.
6
Factor psikologis yang menyertai lansia adalah :
a.
Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual
pada lansia.
b.
Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta
diperkuat oleh tradisi dan budaya.
c.
Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam
kehidupannya.
d.
Pasangan hidup telah meninggal.
e.
Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah
kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dan
sebagainya.
(Nugroho, 2008)
3.
Perubahan Aspek Sosial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia
mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi
kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian,
perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku
lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik
(konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan
kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat
bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia
juga mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan
dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut
dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia sebagai
berikut :
a.
Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy),
biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan
mantap sampai sangat tua.
b.
Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada
tipe ini ada kecenderungan mengalami post power sindrome,
7
apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan
yang dapat memberikan otonomi pada dirinya.
c.
Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada
tipe ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga,
apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa
lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal
maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana,
apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
d.
Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada
tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas
dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadangkadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga
menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-marit.
e.
Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada
lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya
sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat
susah dirinya.
(Nugroho, 2008)
4.
Perubahan yang Berkaitan dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun.
Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat
menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam
kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering
diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan,
peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang
memasuki
masa
pensiun
lebih
tergantung
dari
model
kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada point tiga di atas.
Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut kehilangan,
ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua dan ada juga
yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-masing
sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing
8
individu, baik positif maupun negatif. Dampak positif lebih
menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan mengganggu
kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif
sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang benar-benar diisi
dengan kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan hanya
diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji
penuh.
Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi
dan terarah bagi masing-masing orang yang akan pensiun. Jika
perlu dilakukan assessment untuk menentukan arah minatnya agar
tetap
memiliki
kegiatan
yang
jelas
dan
positif.
Untuk
merencanakan kegiatan setelah pensiun dan memasuki masa lansia
dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan arah
minatnya masing-masing. Misalnya cara berwiraswasta, cara
membuka usaha sendiri yang sangat banyak jenis dan macamnya.
Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung
terlihat hasilnya sehingga menumbuhkan keyakinan pada lansia
bahwa disamping pekerjaan yang selama ini ditekuninya, masih
ada alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam menghadapi
masa tua, sehingga lansia tidak membayangkan bahwa setelah
pensiun mereka menjadi tidak berguna, menganggur, penghasilan
berkurang dan sebagainya (Nugroho, 2008).
5.
Perubahan dalam Peran Sosial Dimasyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan,
gerak fisik dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau
bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya menjadi
bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan
sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu
sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan
aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak
merasa terasing atau diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi
9
akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan
kdang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah
menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak
berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang
lain sehingga perilakunya seperti anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada
umumnya lansia yang memiliki keluarga bagi orang-orang kita
(budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota
keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat
umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh
kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya
keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya
pasangan hidup namun tidak punya anak dan pasangannya sudah
meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri, seringkali
menjadi terlantar (Nugroho, 2008).
C. Perubahan anatomi fisiologi sistem pernapasan pada lansia
Berikut adalah penjelasan tentang penyakit pernapasan pada lansia
yang dimulai dengan penjelasan tentang perubahan anatomic dan
fisiologik jantung:
1.
Perubahan anatomik pada respirasi
Efek penuaan tersebut dapat terlihat dari perubahan-perubahan
yang terjadi baik dari segi anatomi maupun fisiologinya. Perubahanperubahan anatomi pada lansia mengenai hampir seluruh susunan
anatomik tubuh, dan perubahan fungsi sel, jaringan atau organ.
Perubahan anatomi yang terjadi turut berperan terhadap perubahan
fisiologis sistem pernafasan dan kemampuan untuk mempertahankan
homeostasis. Penuaan terjadi secara bertahap sehingga saat seseorang
memasuki masa lansia, ia dapat beradaptasi dengan perubahan yang
terjadi. Perubahan anatomik sistem respirastory akibat penuaan adalah
sebagai berikut :
a.
Paru-paru kecil dan kendur.
10
b.
Pembesaran alveoli.
c.
Penurunan kapasitas vital ; penurunan PaO2 dan residu
d.
Kelenjar mucus kurang produktif
e.
Pengerasan bronkus dengan peningkatan resistensi
f.
Penurunan sensivitas sfingter esophagush.
g.
Klasifikasi kartilago kosta, kekakuan tulang iga pada kondisi
pengembangani.
h.
Hilangnya tonus otot toraks, kelemahan kenaikan dasar paru.
Penurunan sensivitas kemoreseptor.
(Stanley,2006).
2.
Perubahan Fisiologik pada pernapasan
Menurut Stanley, 2006 perubahan anatomi dan fisiologi yang
terjadi pada lansia, yaitu:
Hilangnya silia serta terjadinya penurunan reflex batuk dan
muntah pada lansia menyebabkan terjadinya penurunan perlindungan
pada sistem respiratory. Hal ini terjadi karena saluran pernafasan tidak
akan segera merespon atau bereaksi apabila terdapat benda asing
didalam saluran pernafasan karena reflex batuk dan muntah pada
lansia telah mengalami penurunan.
Penurunan
kompliants
paru
dan
dinding
dada. Hal
ini menyebabkan jumlah udara (O2) yang dapat masuk ke
dalam saluran pernafasan menurun dan menyebabkan terjadinya
peningkatan kerja pernafasan guna memenuhi kebutuhan tubuh.
Atrofi
otot
pernafasan
dan
penurunan
kekuatan
otot
pernafasan. Kedua hal ini menyebabkan pengembangan paru tidak
terjadi sebagai mestinya sehingga klien mengalami kekurangan suplay
O2 dan hal ini dapat menyebabkan kompensasi penigkatan RR yang
dapat menyebabkan kelelahan otot-otot pernafasan pada lansia.
Perubahan interstisium parenkim dan penurunan daerah
permukaan
11
alveolar menyebabkan menurunnya tempat difusi oksigen yang menye
babkan klien kekurangan suplay O2.
Penurunan mortilitas esophagus dang aster serta hilangnya
tonus sfringter kardiak.Hal ini menyebabkan lansia mudah mengalami
aspirasi yang apabila terjadi dapat mengganggu fisiologis pernafasan.
Paru-paru kecil dan mengendur. Paru-paru yang mengecil
menyebabkan
ruangatau
permukaan difusi gas berkurang bila
dibandingkan dengan dewasa.
3.
Faktor-Faktor Yang Memperburuk Fungsi Paru
Selain penurunan fungsi paru akibat proses penuaan,
terdapat beberapa faktor yang dapat memperburuk fungsi paru, Faktorfaktor yang memperburuk fungsi paru antara lain :
a. Faktor merokok
Merokok akan memperburuk fungsi paru, yaitu terjadi
penyempitan saluran nafas. Pada tingkat awal, saluran nafas akan
mengalami obstruksi clan terjadi penurunan nilai VEP1 yang
besarnya tergantung pada beratnya penyakit paru.
(Dharmojo dan Martono, 2006)
b. Obesitas
Kelebihan berat badan dapat memperburuk fungsi paru
seseorang. Pada obesitas, biasanya terjadi penimbunan lemak
pada
leher,
dada dan
(finding
perut,
akan
dapat
mengganggu compliance dinding dada, berakibat penurunan volume
paru atau terjadi keterbatasan gerakan pernafasan (restriksi) dan
timbul gangguan fungsi paru tipe restriktif.
(Dharmojo dan Martono, 2006)
c. Imobilitas
Imobilitas akan menimbulkan kekakuan atau keterbatasan
gerak saat otot-otot berkontraksi, sehingga kapasitas vital paksa
atau volume paru akan relatif' berkurang. Imobilitas karena
kelelahan otot-otot pernafasan pada usia lanjut dapat memperburuk
12
fungsi paru (ventilasi paru). Faktor-faktor lain yang menimbulkan
imobilitas (paru), misalnya efusi pleura, pneumotoraks, tumor paru
dan
sebagainya.
Perbaikan
fungsi
paru
dapat
dilakukan
dengan menjalankan olah raga secara intensif.
(Dharmojo dan Martono, 2006)
d. Operasi
Tidak semua operasi (pembedahan) mempengaruhi faal
paru. Dari pengalaman para ahli diketahui bahwa yang pasti
memberikan pengaruh faal paru adalah:
1) Pembedahan toraks (jantung dan paru)
2) Pembedahan abdomen bagian atas.
3) Anestesi atau jenis obat anastesi tertentu
Peruhahan fungsi paru yang timbul, meliputi perubahan
proses ventilasi, distribusi gas, difusi gas serta perfusi darah
kapiler paru. Adanya perubahan patofisiologik paru pasca
bedah mudah menimbulkan komplikasi paru : atelektasis,
infeksi atau sepsis dan selanjutnya mudah terjadi kematian,
karena timbulnya gagal nafas.
(Dharmojo dan Martono, 2006)
4.
Penyakit pernapasan pada Usia Lanjut
Pada proses menua terjadi penurunan compliance dinding dada,
tekanan maksimalinspirasi dan ekspirasi menurun dan elastisistas
jaringan paru juga menurun. Pada pengukuranterlihat FEV1, FVC
menurun, PaO2 menurun, V/Q naik. Penurunan ventilasi alveolar,
merupakanrisiko untuk terjadinya gagal napas. Selain itu terjadi
perubahan berupa (Lukman, 2009):
a.
Otot pernafasan kaku dan kehilangan kekuatan, sehingga
volume udara inspirasiberkurang, sehingga pernafasan cepat dan
dangkal.
b. Penurunan aktivitas silia menyebabkan penurunan reaksi batuk
sehingga potensialterjadi penumpukan sekret.
13
c.
Penurunan aktivitas paru ( inspirasi & ekspirasi ) sehingga
jumlah udara pernafasan yangmasuk keparu mengalami
penurunan, kalau pada pernafasan yang tenang kira kira 500 ml.
d. Alveoli semakin melebar dan jumlahnya berkurang (luas
permukaan normal 50m²), menyebabkan terganggunya prose
difusi.
e.
Penurunan oksigen (O2) Arteri menjadi 75 mmHg menggangu
proses oksigenasi darihemoglobin, sehingga O2 tidak terangkut
semua kejaringan.
f.
CO2 pada arteri tidak berganti sehingga komposisi O2 dalam
arteri juga menurun yang lama kelamaan menjadi racun pada
tubuh sendiri.
g.
Kemampuan batuk berkurang, sehingga pengeluaran sekret &
corpus alium dari salurannafas berkurang sehingga potensial
terjadinya obstruksi.
Penyebab kegawatan napas
pada lansia meliputi
obstruksi jalan napas atas, hipoksi karenapenyakit paru
obstruktif kronik (PPOK), pneumotoraks, pneumonia aspirasi,
rasa nyeri, bronkopneumonia, emboli paru, dan asidosis
metabolik. Akan tetapi penyakit respirasi yang sering terjadi
pada lansia adalah pneumonia, tuberkulosis paru, sesak napas,
nyeri dada.
D. Gangguan-gangguan pada sistem pernafasan lansia
1. Pneumonia
a. Pengertian
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim
paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup
bronkiolus
respiratorius,
konsolidasi jaringan
alveoli,
serta
menimbulkan
paru dan menimbulkan
gangguan
pertukaran gas setempat. Pneumonia memiliki tanda klasik
berupa demam, batuk, sesak. Tetapi pada usia lanjut usia,
14
gejalanya menjadi atipikal, yaitu suhu normal, takada batuk,
status mental terganggu, nafsu makan menurun, aktivitas
berkurang. Pemeriksaan fisik didapatkan ronki, bronkofoni,
suara napas menurun. Leukosit naik, dan pada rontgen thoraks
terlihat infiltrat (Lukman, 2009).
Perubahan sistem respirasi yang berhubungan dengan
usia yang mempengaruhi kapasitasdan fungsi paru meliputi:
1) Peningkatan diameter anteroposterior dada
2) Kalsifikasi kartilago kosta dan penurunan mobilitas kosta
3) Penurunan efisiensi otot pernapasanPeningkatan rigiditas
paru
4) Penurunan luas permukaan alveoli.
b. Etiologi
1) Bakteri
Pneumonia bakteri biasanya didapatkan pada usia lanjut.
Organisme gram positif seperti streptococcus pnemonia, S.
Aureus dan S. Pyogenesis. Bakteri gram negatif seperti
Haemophilus influenza, klabsiella pneumonia dan P.
Aeruginosa.
2) Virus
Disebabkan oleh virus influensa yang menyebar melalui
transmisi droplet. Cytomegalovirus dalam hal ini di kenal
sebagai penyebab utama pnemonia virus.
3) Jamur
Infeksi yang disebabkan jamur seperti histoplasmosis
menyebar melalui penghirupan udara yang mengandung
spora dan biasanya ditemukan pada kotoran burung, tanah
serta kompos.
4) Protozoa
15
Menimbulkan terjadinya pneumocystis sarini pneumonia
(CPC). Biasanya menjangkiti pasien yang mengalami
imunosupresi.
c. Manifestasi klinis
1) Kesulitan dan sakit pada saat bernapas
2) Nyeri pleurutik, nafas dangkal dan mendengkur, takipnea
3) Bunyi napas diatas area yang mengalami konsulidasi
4) Mengecil, kemudian menjadi hilang, krekels, ronkhi,
egofoni
5) Gerakan dada tidak simetris
6) Menggigil dan demam 38,8-41,10C, delirium
7) Batuk kental, produktif
8) Sputum kuning kehijauan kemudian berubah menjadi
kemerahan/berkarat.
d. Pemeriksaan penunjang
1) Sinar X: mengidentifikasi distribusi struktural, dapat juga
menyatakan abses luas/infiltrat, emfiema (staphyococcus),
infiltrat menyebar atau terlokalisasi (bakterial), atau
penyebaran/perluasan infiltrat nodul (virus). Pneumonia
mikoplasma sinar X dada mungkin bersih
2) GDA: tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas
paru yang terlibat dan penyakit paru yang ada.
3) Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah: diambil
dengan biopsi jarum, aspirasi transtrakheal, bronkoskopi
fiberotik atau biopsi pembukaan paru untuk mengatasi
organisme penyebab.
4) JDL: leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih
rendah terjadi pada infeksi virus, kondisi tekanan imun
memungkinkan berkembangnya pnemonia bakterial.
5) Pemeriksaan serologi: titer virus atau legionella, aglutinin
dingin.
16
e. Penatalaksanaan
1) Kemoterapi
Pemberian kemoterapi harus berdasarkan petunjuk
penemuan kuman penyebab infeksi (hasil kultur sputum
dan tes sensitivitas kuman terhadap antibodi). Bila
penyakitnya ringan antibiotik diberikan secara oral,
sedangkan bila berat deberikan secara parenteral. Apabila
terdapat penurunan fungsi ginjal akibat proses penuaan,
maka harus diingat kemungkinan penggunaan antibiotik
tertentu perlu penyusaian dosis.
a) Pengobatan umum
b) Terapi oksigen
c) Hidrasi, bila ringan hidrasi oral, tetapi jika berat
dehidrasi dilakukan secara parenteral
d) Fisioterapi
e) Penderita perlu tirah baring dan posisi penderita
perlu diubah-ubah untuk menghindari pneumonia
hipografik, kelemahan dan dekubitus.
2. TB paru
a.
Pengertian
Paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
basilmikobakterium tuberkulosa tipe humanus (jarang oleh
tipe M. Bovinus). TB Paru merupakan penyakit infeksi
penting saluran napas bagian bawah. Basil mikobakterium
tuberculosa tersebut masuk kedalam jaringan paru melalui
saluran napas (droplet infeksion) sampai alveoli, terjadilah
infeksi primer (ghon). Selanjutnya menyebar ke kelenjar
getah bening setempat dan terbentuklah primer kompleks
(ranke). Tb paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang sangat
bervariasi (harrison, 2002).
17
b. Etiologi
Penyebabnya adalah kuman mycobacterium teberculosa.
Sejenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang
1-4/mm dan tebal 0,3-0,6/mm. Sebagian besar kuman terdiri
dari asam lemak (lipid). Lipid ini adalah yang membuat
kuman lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik.
Kuman ini tahan hidup pada udara kering maupun dalam
keadaan dingin (dapat bertahan-tahan dalam lemari es).
c. Tanda dan gejala
1) Berkeringat
2) Batuk disetai dahak lebih dari 3 minggu
3) Sesak napas dan nyeri dada
4) Badan lemah, kurang enak badan pada malam hari walau
tanpa kegiatan
5) Berat badan menurun (penyakit infeksi TB paru dan
ekstra paru, misnadiary).
d. Pemeriksaan diagnostik
1) Kultur sputum adalah mikobakterium tuberkolosis positif
pada tahap akhir penyakit
2) Tes tuberkalin adalah mantolix test reaksi positif (area
indurasi 10-15 mm terjadi 48-72 jam)
3) Foto toraks adalah infiltrasi lesi awal pada area paru atas:
pada tahap dini tampak gambaran bercak-bercak seperti
awan dengan batas tidak jelas: pada aktivitas bayangan,
berupa cincin: pada klasifikasi tampak bayangan bercakbercak padat dengan densitas tinggi
4) Bronchografi adalah untuk melihat kerusakan bronkus
atau kerusakan paru karen Tb paru
5) Darah adalah peningkatan leukosit dan laju endapan
darah (LED)
18
6) Spirometriadalah
penurunan
fungsi
paru
dengan
kapasitas vital menurun.
e. Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkolosis terbagi menjadi 2 fase yaitu: fase
intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan
obat yang digunakan terdiri dari obat utama dan obat
tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan
rekomendasi WHO adalah rifampisin, INH, pirasinamid,
streptomisin dan etambutol. Sedangkan jenis obat tambahan
adalah kanamisin, kulnolon, makvolide, dan amoksilin
ditambah dengan asam klavulanat, derivat rifampisin/INH.
3. Asma
a. Pengertian
Asma adalah penyakit pernapasan obstruktif yang ditandai
oleh spasme otot polos bronkiolus.
Asma adalah obstruksi akut pada bronkus yang disebabkan
oleh penyempitan yang intermiten pada saluran napas di
banyak tingkat mengakibatkan terhalangnya aliran udara.
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik jalan napas
yang mengakibatkan berbagai sel inflamasi. Dasar penyakit
ini adalah hiperaktivitas bronkus dalam berbagai tingkat,
obstruksi jalan nafas dan gejala pernafasan (mengi atau
sesak).
Asma adalah gangguan pernapasan pada bronkus yang
menyebabkan
penyempitan
intermiten
pernafasan.
b. Etiologi
Secara etiologis asma dibagi dalam 3 tipe :
1) Asma tipe non atopik (intrinsik)
19
pada
saluran
Pada golongan ini, keluhan tidak adanya hubungan
dengan paparan (exposure) terhadap alergen dan sifatsifatnya adalah :
a) Serangan timbul setelah dewasa.
b) Pada keluarga tidak ada yang menderita asma.
c) Penyakit infeksi sering menimbulkan serangan.
d) Ada hubungan dengan pekerjaan dan beban fisik.
e) Rangsangan / stimuli psikis mempunyai peran untuk
menimbulkan serangan reaksi asma.
f) Perubahan-perubahan cuaca atau lingkungan yang
non spesifik merupakan keadaan yang peka bagi
penderita.
2) Asma tipe atopik (ekstrinsik)
Pada golongan ini, keluhan ada hubungannya
dengan paparan (exposure) terhadap alergen yang
spesifik. Kepekaan ini biasaanya ditimbulkan dengan uji
kulit atau provokasi bronkial. Pada tipe ini mempunyai
sifat-sifat :
a) Timbul sejak kanak-kanak
b) Pada famili ada yang mengidap asma
c) Ada eksim waktu bayi
d) Sering menderita rinitis
e) Di Inggris penyebabnya house dust mite, di USA
tepung sari bunga rumput
3) Asma Campuran (mixed)
Pada golongan ini, keluhan diperberat oleh faktorfaktor intrinsik maupun ekstrinsik.
c. Tanda dan Gejala
1) Bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan/tanpa
stetoskop
2) Batuk produktif, sering pada malam hari
20
3) Nafas atau dada seperti tertekan, ekspirasi memanjang
d. Pemeriksaan diagnostic
1) Pemeriksaan test kulit → untuk menunjukkan adanya
alergi dan adanya antibodi kadar Ig E yang spesifik dalam
tubuh.
2) Pemeriksaan kadar Ig E total dan Ig E serum → untuk
menyokong adanya penyakit atopi
3) Pemeriksaan analisa gas darah → dilakukan dengan
pasien asma berat
4) Pemeriksaan eosinofil damal darah → jumlah eosinofil
total dalam darah sering meningkat
5) Pemeriksaan sputum → untuk menilai adanya misellium
aspergius fumigatus
6) Radiologi → dilakukan apabila dan kecurigaan terhadap
proses patologik dipar
e. Penatalaksanaan
1) Pegobatan Medika Mentosa
a) Waktu serangan
Bronkodilator
Korkhosteroid
Ekspektoransia
Antihistamin
Antibiotika
b) Diluar serangan
disodium chomoglycate (DSCG)
ketotijen
2) Pengobatan non Medika Mentosa
a) Waktu serangan
Pemberian O2
Pastural drainase
21
Pemberian cairan
Menghindari paparan alergen
b) Diluar serangan
Pendidikan
Immunoteraphy/desensitasi
Pelayanan / kontrol emosi
Tujuan pelaksanaan terapi asma
1) Menyembuhkan dan menendalikan gejala asma
2) Mencegah kekambuhan
3) Mengupayakan fungsi paru senormal mungkin serta
mempertahankan
4) Mengupayakan aktivitas harian pada tingkat normal
5) Menghindari efek samping obat asma
6) Mencegah obstruksif jalan nafas yang irreversible
Terapi awal :
1)
O2 4-6 liter/menit
2)
Agonis B2
3)
Amnofium bolus IV 5 – 6 mg
4)
Kortikosteroid hidrokortison
100 – 200 mg IV
Terapi asmak kronik
1) Asma ringan : agnosis B2 inhalasi
2) Asma sedang : anti inflamsi / hr dan agonis B2 inhalasi
bila perlu
3) asmaAberat : steroid inhalasi / hr B 2 long acting, steroid
sedang sehari/dosis tunggal harian dan agnosis B2 inhalasi
sesuai kebutuhan
22
Respon terapi awal baik didapatkan keadaan :
1) Respon menetap selama 60 menit setelah pengobatan
2) Pemeriksaan fisik normal
3) Arus puncak ekspirasi > 70 %
4. Bromkiektasis
a. Pengertian
Bronkiektasis merupakan kelainan morfologis yang terdiri
dari pelebaran bronkus yang abnormal dan menetap disebabkan
kerusakan komponen elastis dan muscular dinding bronkus.
Bronkiektasis berarti suatu dilatasi yang tak dapat pulih
lagi dari bronchial yang disebabkan oleh episode pnemonitis
berulang dan memanjang,aspirasi benda asing, atau massa
( mis. Neoplasma) yang menghambat lumen bronchial dengan
obstruksi.
Bronkiektasis adalah dilatasi permanen abnormal dari salah
satu atau lebih cabang-vabang bronkus yang besar.
b. Etiologi
1) Infeksi
2) Kelainan heriditer atau kelainan konginetal
3) Faktor mekanis yang mempermudah timbulnya infeksi
4) Sering penderita mempunyai riwayat pneumoni sebagai
komplikasi campak, batuk rejan, atau penyakit menular
lainnya semasa kanak-kanak.
c. Tanda dan Gejala
1) Batuk yang menahun dengan sputum yang banyak terutama
pada pagi hari,setelah tiduran dan berbaring.
2) Batuk dengan sputum menyertai batuk pilek selama 1-2
minggu atau tidak ada gejala sama sekali ( Bronkiektasis
ringan )
23
3) Batuk yang terus menerus dengan sputum yang banyak
kurang lebih
200 - 300 cc, disertai demam, tidak ada
nafsu makan, penurunan berat badan, anemia, nyeri pleura,
dan lemah badan kadang-kadang sesak nafas dan sianosis,
sputum sering mengandung bercak darah,dan batuk darah.
4) Ditemukan jari-jari tabuh pada 30-50 % kasus.
d. Pemeriksaan diagnostic
1) Pemerisaan Laboratorium.
a) Pemeriksaan sputum meliputi Volume sputum, warna
sputum, sel-sel dan bakteri dalam sputum.
Bila terdapat infeksi volume sputum akan meningkat,
dan menjadi purulen dan mengandung lebih banyak
leukosit
dan
bakteri.
menghasilkan
flora
Biakan
normal
streptokokus
pneumoniae,
stapilokokus
aereus,klebsiela,
sputum
dari
hemofilus
dapat
nasofaring,
influenza,
aerobakter,proteus,
pseudomonas aeroginosa. Apabila ditemukan sputum
berbau busuk
menunjukkan adanya infeksi kuman
anaerob.
b) Pemeriksaan darah tepi.
Biasanya ditemukan dalam batas normal. Kadang
ditemukan adanya leukositosis menunjukkan adanya
supurasi yang aktif dan anemia menunjukkan adanya
infeksi yang menahun.
c) Pemeriksaan urina
Ditemukan dalam batas normal, kadang
ditemukan
adanya proteinuria yang bermakna yang disebabkan
oleh
amiloidosis,
Namun
Imunoglobulin
serum
biasanya dalam batas normal Kadan bisa meningkat
atau menurun.
d) Pemeriksaan EKG
24
EKG biasa dalam batas normal kecuali pada kasus
lanjut yang sudah ada komplikasi korpulmonal atau
tanda pendorongan jantung. Spirometri pada kasus
ringan mungkin normal tetapi pada kasus berat ada
kelainan obstruksi dengan penurunan volume ekspirasi
paksa 1 menit atau penurunan kapasitas vital, biasanya
disertai
insufisiensi
pernafasan
yang
dapat
mengakibatkan :
Ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi
Kenaikan perbedaan tekanan PO2 alveoli-arteri
Hipoksemia
Hiperkapnia
e) Pemeriksaan
tambahan
untuk
mengetahui
faktor
predisposisi dilakukan pemerisaan :
Pemeriksaan imunologi
Pemeriksaan spermatozoa
Biopsi bronkus dan mukosa nasal( bronkopulmonal
berulang).
2) Pemeriksaan Radiologi.
a) Foto dada PA dan Lateral
Biasanya ditemukan corakan paru menjadi lebih kasar
dan
batas-batas
corakan
menjadi
kabur,
mengelompok,kadang-kadang ada gambaran sarang
tawon
serta
gambaran
kistik
dan
batas-batas
permukaan udara cairan. Paling banyak mengenai lobus
paru kiri, karena mempunyai diameter yang lebih kecil
kanan dan letaknya menyilang mediastinum,segmen
lingual lobus atas kiri dan lobus medius paru kanan.
b) Pemeriksaan bronkografi
25
Bronkografi tidak rutin dikerjakan namun bila ada
indikasi dimana untuk mengevaluasi penderita yang
akan dioperasi yaitu pendereita dengan pneumoni yang
terbatas pada suatu tempat dan berulang yang tidak
menunjukkan
pengobatan
perbaikan
konservatif
klinis
atau
setelah
penderita
mendapat
dengan
hemoptisis yang masif.
Bronkografi dilakukan sertalah keadaan stabil,setalah
pemberian antibiotik dan postural drainage yang
adekuat sehingga bronkus bersih dari sekret.
e. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah memperbaiki drainage sekret dan
mengobati infeksi.
Penatalaksanaan meliputi :
1)
Pemberian antibiotik dengan spekrum luas
( Ampisillin,Kotrimoksasol, atau amoksisilin ) selama 5- 7
hari pemberian
2)
Drainage postural dan latihan fisioterapi untuk
pernafasan serta batuk yang efektif untuk mengeluarkan
sekret secara maksimal
Pada saat dilakukan drainage perlu diberikan bronkodilator
untuk mencegah bronkospasme dan memperbaiki drainage
sekret. Serta dilakukan hidrasi yang adekuat untuk mencegah
sekret menjadi kental dan dilengkapi dengan alat pelembab
serta nebulizer untuk melembabkan sekret.
5. Efusi pleura
a. Pengertian
Efusi pleural adalah penumpukan cairan di dalam ruang
pleural, proses penyakit primer jarang terjadi namun biasanya
terjadi sekunder akibat penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan
26
jernih, yang mungkin merupakan transudat, eksudat, atau dapat
berupa darah atau pus.
Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang
pleura yang terletak diantara permukaan visceral dan parietal,
proses
penyakit
primer
jarang
terjadi
tetapi
biasanya
merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara
normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5
sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan
permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi.
Efusi
pleura
adalah
istilah
yang
digunakan
bagi
penimbunan cairan dalam rongga pleura.
b. Etiologi
1) Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya
bendungan seperti pada dekompensasi kordis, penyakit
ginjal, tumor mediatinum, sindroma meig (tumor ovarium)
dan sindroma vena kava superior.
2) Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang
(tuberculosis, pneumonia, virus), bronkiektasis, abses
amuba subfrenik yang menembus ke rongga pleura, karena
tumor dimana masuk cairan berdarah dan karena trauma. Di
Indonesia 80% karena tuberculosis.
Kelebihan cairan rongga pleura dapat terkumpul pada proses
penyakit neoplastik, tromboembolik, kardiovaskuler, dan
infeksi. Ini disebabkan oleh sedikitnya satu dari empat
mekanisme dasar :
1) Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik
2) Penurunan tekanan osmotic koloid darah
3) Peningkatan tekanan negative intrapleural
4) Adanya inflamasi atau neoplastik pleura
c. Tanda dan gejala
27
1) Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit
karena pergesekan, setelah cairan cukup banyak rasa sakit
hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas.
2) Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam,
menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas
tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat,
batuk, banyak riak.
3) Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi
jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan.
4) Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan
berlainan, karena cairan akan berpindah tempat. Bagian
yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan,
fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati
daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan
membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
5) Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi
redup timpani dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga
Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan
mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah
ini didapati vesikuler melemah dengan ronki.
6) Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi
pleura.
d. Pemeriksaan diagnostic
1) Pemeriksaan radiologik (Rontgen dada), pada permulaan
didapati menghilangnya sudut kostofrenik. Bila cairan lebih
300ml,
akan
tampak
cairan
dengan
permukaan
melengkung. Mungkin terdapat pergeseran di mediatinum.
2) Ultrasonografi
3) Torakosentesis
/
pungsi
pleura
untuk
mengetahui
kejernihan, warna, biakan tampilan, sitologi, berat jenis.
Pungsi pleura diantara linea aksilaris anterior dan posterior,
28
pada sela iga ke-8. Didapati cairan yang mungkin serosa
(serotorak), berdarah (hemotoraks), pus (piotoraks) atau
kilus (kilotoraks). Bila cairan serosa mungkin berupa
transudat (hasil bendungan) atau eksudat (hasil radang).
4) Cairan pleural dianalisis dengan kultur bakteri, pewarnaan
gram, basil tahan asam (untuk TBC), hitung sel darah
merah dan putih, pemeriksaan kimiawi (glukosa, amylase,
laktat dehidrogenase (LDH), protein), analisis sitologi
untuk sel-sel malignan, dan pH.
5) Biopsi pleura mungkin juga dilakukan
e. Penatalaksanaan
1) Tujuan pengobatan adalah untuk menemukan penyebab
dasar, untuk mencegah penumpukan kembali cairan, dan
untuk menghilangkan ketidaknyamanan serta dispneu.
Pengobatan spesifik ditujukan pada penyebab dasar (co;
gagal jantung kongestif, pneumonia, sirosis).
2)
Torasentesis dilakukan untuk membuang cairan, untuk
mendapatkan specimen guna keperluan analisis dan untuk
menghilangkan disneu.
3) Bila penyebab dasar malignansi, efusi dapat terjadi kembali
dalam beberapa hari tatau minggu, torasentesis berulang
mengakibatkan nyeri, penipisan protein dan elektrolit, dan
kadang pneumothoraks. Dalam keadaan ini kadang diatasi
dengan pemasangan selang dada dengan drainase yang
dihubungkan
pengisapan
ke
untuk
system
drainase
water-seal
mengevaluasiruang
pleura
atau
dan
pengembangan paru.
4) Agen yang secara kimiawi mengiritasi, seperti tetrasiklin
dimasukkan kedalam ruang pleura untuk mengobliterasi
ruang pleural dan mencegah akumulasi cairan lebih lanjut.
29
5) Pengobatan lainnya untuk efusi pleura malignan termasuk
radiasi dinding dada, bedah plerektomi, dan terapi diuretic.
E. Asuhan
keperawatan
pada
lansia
dengan
gangguan
system
pernafasan
1.
Pengkajian
a.
Chest X-Ray : dapat menunjukkan
hiperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan ruang udara
retrosternal,
penurunan
peningkatan
bentuk
tanda
vaskular/bulla
bronchovaskular
(emfisema),
(bronchitis),
normal
ditemukan saat periode remisi (asthma)
b.
Pemeriksaan
Fungsi
Paru
:
dilakukan untuk menentukan penyebab dari dyspnea, menentukan
abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi,
memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari
terapi, misal : bronchodilator
c.
TLC : meningkat pada bronchitis
berat dan biasanya pada asthma, menurun pada emfisema
d.
Kapasitas Inspirasi : menurun pada
emfisema
e.
FEV1/FVC : ratio tekanan volume
ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital (FVC) menurun
pada bronchitis dan asthma
f.
ABGs : menunjukkan proses penyakit
kronis, seringkali PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau
meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi seringkali
menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis
respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema
sedang atau asthma)
30
g.
Bronchogram : dapat menunjukkan
dilatasi dari bronchi saat inspirasi, kollaps bronchial pada tekanan
ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus (bronchitis)
h.
Darah
Komplit
:
peningkatan
hemoglobin (emfisema berat), peningkatan eosinofil (asthma)
i.
Kimia Darah : alpha 1-antitrypsin
dilakukan untuk kemungkinan kurang pada emfisema primer
j.
Sputum Kultur : untuk menentukan
adanya infeksi, mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sitologi
untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi
k.
ECG
:
deviasi
aksis
kanan,
gelombang P tinggi (asthma berat), atrial disritmia (bronchitis),
gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi (bronchitis,
emfisema), axis QRS vertikal (emfisema)
l.
Exercise
ECG,
Stress
Test
:
menolong mengkaji tingkat disfungsi pernafasan, mengevaluasi
keefektifan obat bronchodilator, merencanakan/evaluasi program.
2.
Rencana asuhan keperawatan pada klien
COPD
Intervensi dan rasional pada penyakit ini didasarkan pada konsep
Nursing Intervention Classification (NIC) dan Nursing Outcome
Classification (NOC).
No
1
Diagnoa Keperawatan
(NANDA)
Bersihan jalan nafas
efektif
yang
berhubungan Jalan
dengan :
Bronchospasme
Peningkatan
sekret
Perencanaan
Tujuan (NOC)
Intervensi (NIC) & Rasional
tak Status Respirasi : Kepatenan
a. Manajemen jalan nafas
nafas
tertahan, kental)
dengan
Rasional
:
skala…….. (1 – 5) setelah
menghindari
diberikan
nya
perawatan
produksi selama…….
(sekret
#
Hari,
yang kriteria :
dengan
31
terjadi
jalan
nafas yang disebabkan
oleh
Tidak ada demam
obtruktif
untuk
sekret
peningkatan
Menurunnya
Tidak ada cemas
energi/fatique
RR dalam batas normal
Rasional : bertujuan
Irama nafas dalam batas
untuk
Data-data
Klien mengeluh sulit
normal
Pergerakan sputum keluar
untuk bernafas
dari jalan nafas
Perubahan
Bebas dari suara nafas
kedalaman/jumlah
nafas, penggunaan otot
tambahan
bantu pernafasan
b. Latih batuk efektif
mengeluarkan
sekrek
c. Terapi oksigen
Rasional : untuk
memenuhi kebutuhan
oksigen
d. Pemberian posisi
Suara nafas abnormal
Rasional : mengatur
seperti
posisi dapat
:
wheezing,
ronchi, crackles
Batuk
meningkatkan sirkulasi
(persisten)
e. Monitoring tanda vital
dengan/tanpa produksi
Rasional : untuk
sputum.
mengetahui keadaan
umum pasien
menghindari
2
Kerusakan Pertukaran gas Status Respirasi :
yang berhubungan dengan :
Kurangnya
Pertukaran gas # dengan skala
suplai ……. (1 – 5) setelah diberikan
komplikasi
a. Manajemen asam dan
basa tubuh
Rasional : mencegah
oksigen (obstruksi jalan perawatan selama……. Hari
komplikasi akibat
nafas
penurunan atau
oleh
sekret, dengan kriteria :
bronchospasme,
air
trapping)
batas normal
Destruksi alveoli
Data-data :
Dyspnea
Confusion, lemah
Tidak
Status mental dalam
mampu
mengeluarkan secret
peningkatan PCO2
b. Manajemen jalan nafas
Bernafas dengan mudah
Rasional : untuk
Tidak ada cyanosis
memfasilitasi
PaO2 dan PaCO2 dalam
kepatenan jalan nafas
batas normal
c. Terapi oksigen
Saturasi O2 dalam
Rasional : memberikan
rentang normal
oksigen dan memantau
32
Nilai ABGs abnormal
(hipoxia
aktivitas
dan
d. Monitoring tanda vital
hiperkapnia)
Rasional
Perubahan tanda vital
mengetahui
Menurunnya
umum
toleransi
terhadap aktifitas.
3
Ketidakseimbangan
:
untuk
keadaan
pasien
menghindari
nutrisi Status Nutrisi : Intake cairan
komplikasi
a. Manajemen cairan
Kurang dari kebutuhan tubuh dan makanan gas # dengan
Rasional : membantu
yang berhubungan dengan :
kebutuhan cairan tubuh
Dyspnea, fatique
Efek
diberikan
perawatan
samping selama…….
pengobatan
Produksi sputum
Anorexia,
nausea/vomiting.
Data :
Penurunan berat badan
Kehilangan masa otot,
tonus otot jelek
skala ……. (1 – 5) setelah
Hari
dengan
kriteria :
b. Monitoring cairan
Rasional : menghindari
kelebihan
Asupan makanan skala (1
kekurangan cairan
c. Manajemen gangguan
– 5) (adekuat)
Intake cairan peroral (1–
makan
Rasional
5) (adekuat)
Intake cairan (1 – 5)
Status Nutrisi : Intake Nutrien
Dilaporkan
adanya gas # dengan skala ……. (1 –
perubahan sensasi rasa 5) setelah diberikan perawatan
Hari
dengan
untuk
alternatif
memenuhi
kebutuhan nutrisi
d. Terapi nutrisi
Rasional : memenuhi
kebutuhan nutrisi
e. Kontroling nutrisi
Intake kalori (1 – 5)
Rasional
:
mempertahankan
(adekuat)
Intake
:
mencari
untuk
(adekuat)
Tidak bernafsu untuk selama…….
makan.
kriteria :
atau
protein,
karbohidrat dan lemak (1
– 5) (adekuat)
intake dan output
f. Manajemen
berat
badan.
Kontrol Berat Badan gas #
Rasional
dengan skala ……. (1 – 5)
apakah terapi diet yang
33
:
untuk
setelah diberikan perawatan
selama…….
Hari
diberikan berhasil
dengan
kriteria :
Mampu
intake
memeliharan
kalori
secara
optimal (1 – 5)
Mampu
memelihara
keseimbangan cairan (1 –
5)
Mampu
mengontrol
asupan makanan secara
adekuat (1 – 5).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Usia
lanjut
adalah
suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang yang
dikaruniai usia panjang, terjadinya tidak bisa di hindari siapapun. Usia
tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu
periode dimana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu
yang lebih menyenangkan atau beranjak dari waktu yang penuh
dengan manfaat (Hurlock, 2000).
2.
Batasan
Lansia
menurut Setyonegoro, dimana usia dewasa muda ( Elderly adulhood)
20 – 25 tahun, usia dewasa penuh ( middle years ) atau maturitas
25 – 60 atau 65 tahun, lanjut usia ( geriatric age ), lebih dari 65 atau70
tahun. Terbagi untuk umur 70 – 75 tahun ( young old), 75– 80 tahun
(old), dan lebih dari 80 tahun ( very old ).
34
3.
Menurut WHO tahun 2005, Lanjut usia
meliputi usia pertengahan yakni kelompok usia 45-59 tahun, Lanjut
usia (Elderly) yakni 60-74 tahun, usia lanjut tua (Old) yakni 75-90
tahun, dan usia sangat tua (very old) yakni lebih dari 90 tahun.
4.
Tipe
lansia
tergantung
dari
karakter,
pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial dan
ekonomi
5.
Proses penuaan merupakan konsekuensi
yang tidak bisa dihindari oleh setiap manusia. Walaupun proses
penuaan merupakan suatu proses yang normal, akan tetapi keadaan ini
lebih menjadi beban.
6.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada usia
lanjut seperti penurunan kondisi fisik, penurunan fungsi dan potensi
seksual, perubahan aspek sosial, perubahan yang berkaitan dengan
pekerjaan, dan perubahan dalam peran sosial dimasyarakat
7.
Perubahan
anatomi
fisiologi
sistem
pernapasan pada lansia yaitu perubahan anatomik pada respirasi,
perubahan
fisiologik
pada
pernapasan,
faktor-faktor
yang
memperburuk fungsi paru, dan penyakit pernapasan pada usia
lanjut
8.
Gangguan pada sistem pernafasan pada
lansia seperti pneumonia, tb paru, asma, bromkiektaksis, dan epusi
pleura
9.
Asuhan keperaw