Pengaruh asetilkolin terhadap gangguan j

No. ID dan Nama Peserta: dr. Saidah Mafisah
No. ID dan Nama Wahana: RSUD Brigjend H. Hasan Basry Kandangan
Topik: Pengaruh Asetilkolin Terhadap Gangguan Jiwa
Tanggal Presentasi: -

Pembimbing: dr. Sofyan Nata Saragih,Sp.KJ

□ Keilmuan □ Keterampilan

Pendamping: dr. Nani Pudji Hastuti
□ Penyegaran □Tinjauan Pustaka

□ Diagnostik

□ Masalah

□ Manajemen

□ Neonatus □ Bayi □ Anak

□ Remaja


□ Istimewa
□ Dewasa

□ Lansia □ Bumil

□ Deskripsi: Asetilkolin mempunyai peranan paling penting dalam penyakit
alzheimer
□ Tujuan : Mengetahui pengaruh neurotransmiter asetilkolin terhadap gangguan
jiwa
Bahan bahasan:

□Tinjauan Pustaka □ Riset

Cara Membahas: □ Diskusi

□ Presentasi dan

□ Kasus □ Audit
□ E-mail □ Pos


diskusi
Hasil Pembelajaran :
Pengaruh asetilkolin terhadap gangguan jiwa

BAB I
PENDAHULUAN

1

Gangguan jiwa atau mental illness adalah kesulitan yang harus dihadapi
oleh seseorang karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena
persepsinya tentang kehidupan dan sikapnya terhadap dirinya sendiri-sendiri.(1)
Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berpikir (cognitive), kemauan
(volition), emosi (affective), tindakan (psychomotor).(2)
Gangguan mental saat ini lebih sering dikemukakan dalam bentuk
penelitian dengan metode pendekatan oleh Atkinson dan Hilgard (1996) yang
secara rinci membagi psikologi menjadi 5 pendekatan, yaitu pendekatan
neurobiologi, perilaku, kognitif, psikoanalitik, dan fenomenologis.
Pendekatan neurobilogis merupakan pendekatan yang kajiannya menitik

beratkan pada pembahasan struktur otak manusia. Dari penelitian yang didapatkan
bahwa pendekatan neurobiologis (neuroscience) sering dinyatakan sebagai
pemicu timbulnya penyakit-penyakit somatis, namun beberapa peneliti masih
meragukan validitas konsep psychosomatic medicine.
Pada berbagai kasus gangguan jiwa, diyakini bahwa dapat disebabkan oleh
adanya gangguan ketidakseimbangan neurotransmiter yang terjadi di dalam otak
seseorang. Hal ini diatur dalam pengaturan neurohormonal pada aktivasi otak.
Mekanisme ini adalah untuk melepaskan bahan-bahan hormonal neurotransmiter
inhibisi atau eksitasi ke dalam substansi otak.(3)
Neurotransmiter adalah zat kimia yang disintesis dalam neuron dan
disimpan dalam gelombang sinaptik pada ujung akson. Zat kimia ini dilepaskan
dari akson terminal melalui eksositoris dan juga direabsorbsi dan didaur ulang.
Neurotransmiter merupakan zat komunikasi antar neuron. Setiap neuron

2

melepaskan satu transmiter. Zat-zat kimia ini menyebabkan perubahan
permeabilitas sel neuron, sehingga dengan bantuan zat-zat kimia ini maka neuron
dapat lebih mudah dalam menyalurkan impuls, bergantung pada jenis neuron dan
transmiter tersebut.(4)

Ada tiga jenis utama neurotransmiter di dalam otak yaitu amin biogenik,
asam amino, dan peptida. Asetilkolin merupakan salah satu neurotransmiter amin
biogenik. Asetilkolin disintesis dalam terminal kolinergik dari asetilkoenzim A
(asetil-KoA) dan kolin oleh enzim kolin asetiltransferase. (5) Fungsi utama dari
Asetilkolin ini adalah mengatut atensi, memori, rasa haus, pengaturan mood, tidur
REM, memfasilitasi perilaku seksual dan tonus otot.(6)
Olehnya itu akan dibahas mengenai neurotransmiter asetilkolin

yang

mempengaruhi aktivasi otak, sehingga menimbulkan tanda dan gejala pada
individu dengan gangguan jiwa.

BAB II
DAFTAR PUSTAKA

1. Neurotransmiter

3


1.1 Definisi
Neourotransmitter merupakan zat kimia yang membawa informasi
menyebrangi celah sinaptik dari suatu neuron menuju neuron berikutnya.
Saat ini terdapat lebih dari 100 berbagai neurotransmiter yang telah dikenali.
Dari penelitian, ditemukan bahwa neurotransmiter yang ditemukan berbeda
dalam bagian atau daerah otak yang berbeda. Neurotransmiter dilepaskan pada
saat terjadinya stimulasi saraf. Neurotransmiter berfungsi dalam membedakan
fungsi dari berbagai jaringan otak.(6)
Untuk molekul yang akan diklasifikasikan sebagai suatu neurotransmiter
harus memenuhi sejumlah kriteria sebagai berikut :
1. Molekul disintesis dalam neuron
2. Molekul ditemukan dalam neuron prasinaptik dan dilepaskan pada
depolarisasi dalam jumlah yang bermakna secara fisiologis
3. Jika diberikan secara eksogen sebagai suatu obat, molekul eksogen
menyerupai efek neurotransmiter endogen
4. Terdapat suatu mekanisme didalam neuron atau celah sinaptik untuk
menghilangkan atau deaktivasi neurotransmiter.(5)

1.2 Klasifikasi Neurotransmiter
Ada tiga jenis neurotransmiter yaitu (5,7)

a. Amin biogenik

4

Masing-masing neurotransmiter amine biogenik disintesis dalam nucleus
dan diproyeksikan ke seluruh bagian otak dan medula spinalis. Oleh
karena itu, transmiter ini memberikan pengaruh yang tidak proporsional
pada kativitas otak, dan menjadi perhatian penting dalam terapi
farmakologi pada gangguan pikiran, suasana hati, dan kecemasa.
Dopamin, norepinefrin, dan epinefrin merupakan produk dari jalur sintesis
katekolamin, sedangkan serotonin, asetilkolin, dan histamin yang berasal
dari prekusor yang berbeda.
b. Asam amino
Asam amino adalah blok bangunan protein. Peran mereka sebagai
neurotransmiter kini telah diterima secara luas. Ada dua neurotransmiter
asam amino yang utama yaitu GABA dan glutamat. GABA adalah asam
amino inhibitorik, dan glutamat adalah asam amino eksitorik.. Penemuan
baru-baru ini semakin meningkatkan pentingnya studi neurotransmiter
asam amino. Penemuan ini termasuk pengamatan bahwa benzodiazepin,
barbiturat, dan beberapa antikonvulsan bertindak terutama melalui

mekanisme GABAnergic dan penyalahgunaan zat, phencyclidine (PCP),
bertindak pada reseptor glutamat. Salah satu daerah yang paling aktif dari
penelitian neuroscience baru-baru ini adalah peran NMDA reseptor
glutamat bekerja dalam proses belajar dan memori. Observasi ini telah
menyebabkan studi intensif reseptor ini berkaitan dengan gangguan
kejiwaan utama, seperti gangguan kecemasan dan skizofrenia.
c. Peptide

5

Peptida adalah protein pendek yang terdiri dari kurang dari 100 asam
amino. Peptida yang dibuat dalam badan sel saraf dengan transkripsi dan
translasi pesan genetik. Peptida disimpan dalam vesikula sinaptik dan
dilepaskan dari terminal akson. Kegiatan peptida diakhiri oleh aksi enzim,
peptidase, yang membelah peptida antara residu asam amino tertentu.
Reseptor peptida adalah anggota dari tujuh transmembran-domain,
keluarga

reseptor


G

protein-linked.

Selain

itu,

sebagian

besar,

neurotransmiter peptida hidup berdampingan dalam vesikel penyimpanan
dengan neurotransmiter lainnya.
Neurotransmiter paling mempengaruhi sikap, emosi, dan perilaku seseorang
yang ada antara lain Asetil kolin, dopamin, serotonin, epinefrin, norepinefrin.
Fungsi masing masing neurotransmiter dapat dilihat dibawah ini(3,5,7):
Neurotransmiter
Kolinergik:
Asetilkolin


Lokasi/Fungsi

Sistem saraf otonom simpatis
dan
parasimpatis, terminal saraf

Implikasinya pada
penyakit jiwa
Meningkatkan derajat
depresi

presinaps parasimpatik, terminal
postsinaps.

Menurunkan derajat
penyakit alzeimer, korea

Sistem saraf pusat: korteks
serebral

hipokampus, struktur limbik,
basal

hutington, penyakit
parkinson.

ganglia
Fungsi: Tidur, bangun persepsi
nyeri, pergerakan memori

6

Monoamin:
Norepinefrin

Sistem saraf otonom terminal
saraf

Menurunkan derajat


postsinaps simpatis
Sistem saraf pusat: talamus,
sistem

depresi

limbik, hipokampus, serebelum,

mania, keadaan

korteks serebri

kecemasan, skizofrenia

Meningkatkan derajat

Fungsi: persarafan, pikiran,
persepsi, daya penggerak, fungsi
kardiovaskular, tidur dan bangun
Dopamin

Korteks frontalis, sistem limbik, Menurunkan penyakit
parkinson dan depresi
ganglia basal, talamus, hipofisis
posterior, medula spinalis
Fungsi: pergerakan dan
koordinasi, emosional, penilaian,

Meningkatkan derajat
mania dan skizofrenia

pelepasan prolaktin
Hipotalamus, talamus, sistem

Menurunkan derajat

7

Serotonin
limbik, korteks serebral,
serebelum,

depresi

medula spinalis
Meningkatkan derajat
Fungsi: tidur, bangun, libido,
nafsu

kecemasan

makan, perasaan, agresi persepsi
Histamin

nyeri, koordinasi dan penilaian
Hipotalamus

Menurunkan derajat
depresi

Asam Amino:
Hipotalamus, hipocampus,
GABA (gkorteks,
serebelum, gnaglia basal,
Aminobutyric medula
acid)

spinalis, retina

Menurunkan derajat
korea huntington,
gangguan ansietas,
skizofrenia, dan berbagai

Fungsi kemunduran aktivitas
tubuh
Glisin

Medula spinalis, batang otak
Fungsi: Mengahambat motor
neuron

jenis epilepsi
Derajat toksik/keracunan
“glycine encephalopaty”

beruang
Glutamat

Sel-sel piramid/kerucut dari

Menurunkan tingkat
8

korteks,
serebelum dan sistem sensori
aferen

derajat yang
berhubungan

primer, hipocampus, talamus,

dengan gerakan motor

hipotalamus, medula spinalis

spastik

Fungsi: menilai informasi
sensori,
mengatur berbagai motor dan
reflek
spinal
Neuropeptida:
Endorfin dan

Modulasi aktivitas

enkefalin

Hipotalamus, talamus, struktur
limbik dan batang otak,
endekalin

(Endogen

juga ditemukan pada traktus

peptida dapat

Opioid)

gastrointestinal

menumpukkan berbagai

dopamin oleh opiod

ikatan terhadap gejala
Fungsi: Modulasi nyeri dan
mengurangi mengurangi
peristaltik
Substansi P

skizofrenia

(enkefalin)
Hipotalamus struktur limbik oleh Menurunkan derajat
otak tengah, batang otak, ganglia korea huntington
basal, dan medula spinalis, juga
ditemukan pada traktus
gastrointestinal dan kelenjar
saliva
Fungsi: mengatur respon nyeri

Somatostatin

Korteks serebral, hipokampus,
talamus, ganglia basal, batang
otak,

Menurunkan derajat
penyakit alzheimer

medula spinalis
Meningkatkan derajat
Fungsi: menghambat pelepasan

korea huntington

9

norepinefrin, merangsang
pelepasan
serotonin, dopamin, dan asetil
kolin
Tabel 1. Fungsi dari neurotransmitter(3,5,7)

1.3 Cara Kerja Neurotransmiter
Proses neurotransmiter berawal dari neuron menyintesis zat kimia yang
akan berfungsi sebagai neurotransmiter. Kemudian neuron menyintesis
neurotransmiter yang berukuran lebih kecil pada ujung-ujung akson dan
menyintesis neurotransmiter yang berukuran lebih besar ¬(peptida) pada
badan sel. Selanjutnya neuron mentransportasi neurotransmiter peptida kearah
ujung-ujung akson (Neuron tidak mentransportasikan neurotransmiter yang
berukuran kecil karena ujung-ujung akson adalah tempat pembuatannya).
Potensial aksi berkonduksi disepanjang akson. Potensial aksi pada terminal
postsinaptik meyebabkan ion kalsium dapat memasuki neuron. Ion kalsium
melepaskan neurotransmiter dari terminal postsinaptik ke celah sinaptik.
Molekul neurotransmiter yang telah dilepaskan, berdifusi lalu melekat dengan
reseptor sehingga mengubah aktifitas neuron postsinaptik. Selanjutnya,
neurotrasmiter melepaskan diri dari reseptor. Neurotrasmiter dapat diubah
menjadi zat kimia yang tidak aktif tergantung pada zat kimia penyusunnya.
Molekul neurotransmiter dapat dibawa kembali ke neuron prasimatik untuk
didaur ulang atau dapat berdifusi dan hilang.pada beberapa kasus, vesikel
yang kosong akan di transportasi kembali kebadan sel. Meskipun belum ada
penelitian yang benar – benar memberi jawaban, tetapi neuron postsinaptik

10

mungkin melepaskan pesan – pesan umpan balik negatif yang akan
memperlambat pelepasan neurotransmiter baru oleh neuron prasinaptik.
Berikut adalah gambarnya(6)

Gambar 1. Cara Kerja Neurotransmiter(6)

2. Asetilkolin
Asetilkolin adalah neurotransmiter pada sambungan neuromuskular, di
sinaps di ganglia sistem motor viseral , dan di berbagai tempat di dalam sistem
saraf pusat. Asetilkolin disintesis di terminal saraf dari asetil koenzim A (asetil
CoA, yang disintesis dari glukosa) dan kolin, dalam reaksi yang dikatalisis
oleh kolin asetiltransferase (CAT). Adanya CAT dalam neuron merupakan
indikasi kuat bahwa ACh digunakan sebagai salah satu transmiternya(8).

11

Gambar 2. Metabolisme asetilkolin di terminal saraf kolinergik
Sintesis asetilkolin dari kolin dan asetil CoA membutuhkan kolin asetiltransferase. Asetil CoA
berasal dari piruvat yang dihasilkan oleh glikolisis, sementara kolin diangkut ke terminal
melalui transporter Na + -independen. Setelah dilepaskan, asetilkolin dimetabolisme dengan
cepat oleh asetilkolinesterase dan kolin dibawa kembali ke terminal(8)

Reseptor kolinergik terdiri dari 2 yaitu : nikotin dan muskarinik .
Klasifikasi ini didasarkan pada dua agen kimia yang meniru efek ACh di
nikotin reseptor situs dan muscarine(9).

12

Tabel 2. Sifat Reseptor Nikotinik dan Muskarinik(9)

Sifat cepat dari transmisi sinaptik yang dimediasi oleh reseptor nikotinik
konsisten dengan perannya di NMJ dan di ganglion dari ANS. Sedikit yang
diketahui tentang peran reseptor nikotinik dalam perilaku SSP. Jelas,
rangsangan nikotin terkait dalam beberapa hal untuk penguatan, seperti yang
ditunjukkan oleh prevalensi kecanduan nikotin di antara manusia(9).
Reseptor muskarinik, sebaliknya, adalah mediator penting dari perilaku
dalam SSP. Salah satu contoh adalah peran reseptor tersebut dalam modulasi
sirkuit kontrol motorik di ganglia basal. Contoh kedua adalah perannya dalam
pembelajaran dan ingatan. Yang terakhir ini disimpulkan dari dua jenis
pengamatan: 1) antagonis muskarinik adalah agen amnesia, dan 2) deteriorasi
persarafan kolinergik dari neokorteks dikaitkan dengan kehilangan memori
pada penyakit Alzheimer(9).
Selama hampir satu abad, ACH telah diakui sebagai neurotransmitter baik
di CNS dan di sistem saraf perifer (PNS). ACh memainkan peran penting
dalam berbagai fungsi CNS dan PNS, termasuk persepsi sensorik, fungsi
motorik, proses kognitif, memori, gairah, perhatian, tidur, nosiseptif, motivasi,
13

penghargaan, suasana hati, psikosis, dan neuroplastisitas (10). Gejala defisit atau
kurangnya inhibisi dari asetilkolin mengakibatkan berkurangnya fungsi
memori, euphoria, antisosial, penurunan fungsi bicara. Gejala berlebihan atau
over-inhibisi mengakibatkan anxietas dan depresi dan keluhan somatic(11).

3. Hubungan Asetilkolin terhadap Gangguan Jiwa
3.1 Asetilkolin terhadap Skizofrenia
Kontribusi asetilkolin terhadap penyakit psikiatri tetap menjadi bidang
penelitian aktif. Sebagai contoh, peningkatan pemahaman mekanisme yang
mendasari modulasi kolinergik fungsi kortikal telah memberikan wawasan
tentang disfungsi atensi pada skizofrenia(12).
Skizofrenia terdiri dari gejala positif, seperti gangguan pikiran, delusi, dan
halusinasi, dan gejala negatif, seperti afek tumpul dan penarikan diri terhadap
sosial. Selain itu, gangguan kognitif termasuk berkurangnya perhatian dan
memori sering juga terjadi pada skizofrenia(12).
Hipotesis yang berlaku dari patofisiologi yang mendasari skizofrenia
sebagian besar terfokus pada monoamina seperti dopamin dan serotonin.
Namun, ada bukti terbaru dari studi klinis dan praklinis bahwa penyimpangan
dari signal ACh juga dapat berkontribusi terhadap skizofrenia(12).
Studi epidemiologis telah lama menunjukkan bahwa skizofrenik
menunjukkan tingkat merokok tembakau yang lebih tinggi dari pada populasi
umum, menunjukkan bahwa pasien dapat menggunakan nikotin (agonis
nAChRs) untuk pengobatan sendiri. Selain itu, studi asosiasi genome

14

menghubungkan variasi nomor salinan dari lokus yang mengandung α7
nAChR dengan peningkatan risiko skizofrenia. Memang, berkurang α7
ekspresi nAChR telah diamati di hippocampus dan cingulate cortex otak postmortem dari pasien skizofrenia Selain itu, individu dengan skizofrenia
menunjukkan sangat menurunnya regulasi afinitas tinggi nAChRs sebagai
akibat dari merokok dibandingkan dengan subjek kontrol, menunjukkan
bahwa tingginya tingkat merokok pada skizofrenia dapat dipengaruhi oleh
efek berkurangnya nikotin pada subkelas resepkolinergik ini. Namun, temuan
ini sebagian dibantah oleh pengamatan bahwa pengobatan antipsikotik juga
dapat mengurangi nAChR binding(12).
Hipotesis muskarinik pada skizofrenia mengatakan bahwa sistem
muscarinic Ach memainkan peran penting dalam patologi dan pengobatan
skizofrenia. Data dari klinis, postmortem, neuroimaging, dan studi praklinis
dan klinis farmakologi mendukung hipotesis. Data postmortem dan
neuroimaging telah menunjukkan penurunan jumlah m1 dan m4 reseptor
muscarinik Ach manusia dengan skizofrenia di beberapa bidang utama,
termasuk nukleus caudate dan putamen, hippocampus, anterior dan posterior
korteks cingulate, dan korteks prefrontal.

Tingkat m2 dan m4 reseptor

muscarinik Ach yang tidak berubah pada skizofrenia. Temuan ini didukung
oleh Single-Photonemission CT (SPECT) studi yang ditemukan penurunan
yang signifikan in Vivo di ketersediaan reseptor muscarinik di korteks dan
basal ganglia pada pasien dengan skizofrenia dibandingkan dengan control
(sehat)(10).

15

3.2 Asetilkolin terhadap Stres, Depresi dan Anxietas
Seperti pada skizofrenia, obat utama untuk MDD menargetkan sistem
monoamina, tetapi kontribusi sistem kolinergik terhadap gangguan afektif
menjadi lebih jelas. Baru-baru ini, penelitian pencitraan manusia mengangkat
kembali ide tersebut, pertama kali diteliti pada tahun 1970-an, yang
meningkatkan signal kolinergik dapat berkontribusi pada depresi. Pemberian
perifer

dari

physostigmine

acetylcholinesterase

(AChE)

antagonis

menginduksi gejala kecemasan dan depresi pada subyek manusia malalui
pengurangan kerusakan ACh dan meningkatkan level neurotransmitter di otak.
Selanjutnya, dalam studi pencitraan SPECT, individu dengan gangguan
depresi mayor atau gangguan bipolar yang secara aktif mengalami depresi
memiliki ketersediaan yang lebih rendah untuk radiotracer 5IA yang mengikat
nAChR di seluruh otak. Hasil ini diamati meskipun tidak ada perubahan
nomor nAChR pada jaringan kortikal postmortem. Meningkatkan kadar ACh
di otak manusia dengan penolakan physostigmine juga menggantikan ikatan
5IA. Dengan demikian, individu yang depresi aktif tampaknya memiliki kadar
ACh ekstraseluler yang jauh lebih tinggi dari pada subjek yang sehat,
menunjukkan bahwa peningkatan signal ACh dapat berkontribusi terhadap
etiologi depresi(12).
Penelitian Rodent mengkonfirmasi bahwa peningkatan kadar ACh melalui
terapi dengan physostigmine akut dapat menginduksi perilaku kecemasan dan
depresi, sedangkan pengobatan kronis dengan antidepresan serotonergik
fluoxetine

meningkatkan

tingkat

dan

aktivitas

AChE,

terutama

di

16

hippocampus. Administrasi lokal physostigmine atau penurunan melonjak dari
AChE di hippocampus cukup untuk memberikan peningkatan perilaku
kecemasan dan depresi yang dapat ditangani dengan pemberian fluoxetine,
menunjukkan bahwa hal tersebut konsisten dengan gejala depresi. Secara
bersama-sama, penelitian ini menunjukkan bahwa pensinyalan ACh hiperaktif
di hippocampus dapat berkontribusi pada gejala depresi(12).
Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa signal ACh di sejumlah area
otak penting untuk respon stres. Selain peran hippocampus dalam pengetahuan
dan memori, amigdala dalam memediasi respon kecemasan atau ketakutan dan
korteks prefrontal (PFC) dalam perhatian, area otak ini juga merupakan
simpul kritis dalam adaptasi dan respons terhadap stress. Disfungsi dalam
aktivitas daerah-daerah ini sangat terlibat dalam gangguan depresi mayor(11).
Signal kolinergik di hippocampus, amygdala, prefrontal cortex (PFC), dan
striatum memodulasi respons perilaku terhadap stressor . Terlepas dari
kenyataan bahwa peningkatan dalam suasana ACH di

global dan

hippocampal mengakibatkan perilaku kecemasan dan depresi, efek signal
kolinergik pada stres dan hubungan perilaku adalah kompleks dan bervariasi
di seluruh area otak. Stres menginduksi pelepasan ACH di hippocampus dan
PFC tetapi tidak amigdala, mungkin karena tingkat pembakaran basal neuron
septum medial yang menginervasi amigdala tinggi dan stres tidak dapat lebih
meningkatkan kadar Ach(12).

17

Gambar 3. Aliran listrik yang terlibat dalam modulasi kolinergik dari
mood (suasana perasaan) dan kecemasan(12).

Skema menunjukkan perbedaan efek dari stres pada pengeluaran ACh.
Stres menginduksi peningkatan pelepasan ACh di hippocampus dan prefrontal
cortex (PFC), memiliki efek lebih sedikit pada peningkatan level ACh di
amygdala, dan mengurangi pengeluaran kolinergik interneuron di striatum /
nucleus accumbens (NAc). Pembebasan stres juga meningkatkan pelepasan
ACh di PFC. Efek akut dari perubahan yang disebabkan oleh stres di area
signing ACh cenderung adaptif dan mengarah pada perilaku belajar mengubah
perilaku

dan

menghindari

stressor,

sedangkan

stres

kronis

dapat

mengakibatkan maladaptif dari signal asetilkolin yang dapat mengakibatkan
anxietas (kecemasan) dan gangguan mood(12).

3.3 Asetilkolin terhadap Alzheimer

18

Penyakit Alzheimer (Alzheimer’s Disease, AD) adalah gangguan
neurologi

progresif

dan

ireversibel

yang

secara

perlahan-lahan

menghancurkan memori (daya ingat) dan kemampuan berpikir, dan akhirnya
mengganggu kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas sederhana seharihari(14).
Sekelompok neuron kolinergik di nucleus basalis dari Meynert proyeksi ke
korteks serebral dan sistem limbik. Neuron kolinergik tambahan dalam proyek
sistem retikuler ke korteks serebral, sistem limbik, hipotalamus, dan thalamus.
Beberapa pasien dengan demensia tipe Alzheimer atau sindrom Down
tampaknya memiliki degenerasi spesifik neuron di nucleus basalis dari
Meynert.(6)
Hubungan yang paling umum dengan asetilkolin adalah demensia tipe
Alzheimer dan demensia lainnya. Agen antikolinergik dapat mengganggu
pembelajaran dan memori pada orang sehat. Dengan identifikasi terbaru dari
struktur protein dari berbagai reseptor muscarinic dan nikotinat, banyak
peneliti yang bekerja pada agonis muskarinik dan nikotinik tertentu yang
mungkin memiliki beberapa manfaat dalam pengobatan demensia tipe
Alzheimer. Asetilkolin juga terlibat dalam gangguan mood dan tidur.(5)
Hipotesis kolinergik mengklaim bahwa penurunan fungsi kognitif pada
demensia terutama terkait dengan penurunan neurotransmisi kolinergik.
Hipotesis ini telah menyebabkan minat yang besar dalam keterlibatan putatif
dari neurotransmisi kolinergik dalam proses pembelajaran dan memori(11).

19

Berbeda dengan hipotesis monoamina tentang gangguan afektif atau
skizofrenia, hipotesis kolinergik pada penyakit Alzheimer saat ini sebagian
besar bergantung pada bukti patologi neurokimia di jaringan yang terkena,
tetapi masih tergantung pada terapi yang efektif untuk validasi akhirnya(13).
Bukti korelasi antara kolinergik dan defisit kognitif (yang terakhir diukur
dengan menggunakan tes sederhana dari memori dan pemrosesan informasi)
menyarankan 10 tahun yang lalu bahwa degenerasi input kolinergik ke korteks
terkait erat kelainan mental tertentu pada penyakit Alzheimer dan mayoritas
manipulasi farmakologis atau bedah dalam eksperimen otak binatang
mendukung gagasan peran asetilkolin dalam pembelajaran. Terkait dengan
penyakit Alzheimer, namun demikian, masih bersifat spekulatif, dan
perbedaan suara secara alamiah akan didengar. Sebagai contoh, pola
kegagalan memori diinduksi pada orang normal dengan skopolamin (yang
menghalangi situs muscarinik) dikatakan berbeda dari yang terlihat dalam
penyakit, meskipun bisa juga diperdebatkan bahwa blokade reseptor
muskarinik secara global kemungkinan akan berbeda dari progresif degenerasi
yang lambat dari input kolinergik kortikal terbukti pada penyakit Alzheimer,
dan ada juga masalah lain seperti mempertimbangkan status reseptor
nikotinik(13).
Penyakit Alzheimer mungkin menjadi kombinasi dari septal dan lesi
Meynert (yang penyakit itu sendiri cenderung mempengaruhi sebagian otak
depan basal neuron kolinergik) dan di sini, perubahan memori dikatakan untuk
meniru mereka yang terlihat pada penyakit Alzheimer(13).

20

3.4 Asetilkolin terhadap Manik
Jika penyimpangan dari mood disebabkan oleh ketidakseimbangan antara
faktor adrenergik dan kolinergik, hal ini logis untuk mengatakan bahwa
peningkatan aktivitas kolinergik sentral mungkin menurunkan gejala manik.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa agonis aktif kolinergik dan
penghambat kolinesterase memiliki sifat antimanik. Dalam studi seminal oleh
Rowntree dkk, inhibitor cholinesterase aktif terpusat DFP diberikan kepada
pasien manik-depresi dan normal. Subjek normal dan manik-depresia
dipulihkan mengalami iritasi, kelesuan, depresi, apati, dan kelambatan dan /
atau kemiskinan pikiran. Dua pasien yang hipomanik pada saat penelitian
membaik dengan DFP dan terus eutimia setelah pemberiannya. Satu pasien
hypomanic menjadi kurang manic dan minimal depresi setelah masing-masing
dua program DFP, tetapi kambuh setelah DFP dihentikan(14).
Janowsky dkk. menemukan bahwa inhibitor aktif kolinesterase secara
sentral menyebabkan pengurangan dramatis tetapi singkat dalam gejala
hipomanik

dan

manik

pada

pasien

bipolar.

Setelah

pemberian

physostigmine,pasien manik menjadi kurang banyak bicara, aktif, euforia,
senang, dan bersahabat, dan menunjukkan penurunan dalam peloncatan ide
(flight of ideas) pada Skala Penilaian Beagle Murphy Mania. Efek dari
physostigmine berlangsung dari 20 hingga 90 menit. Modestin dkk. kemudian
juga melaporkan berkurangnya gejala manik setelah infus physostigmine,
tetapi tidak neostigmine, dan Davis dkk. melaporkan bahwa physostigmine
menyebabkan efek antimanik yang dramatis, terutama pada pasien dengan

21

tingkat permusuhan dan / atau iritabilitas rendah. Carroll dkk. dan Shopsin
dkk. juga melaporkan penurunan euforia dan mobilitas dalam manik setelah
infus physostigmine. Berger dkk. melaporkan data uji coba yang menunjukkan
bahwa RS86, agonis muskarinik (M1) yang relatif spesifik, memiliki efek
antimanik yang signifikan(14).
Meskipun sebagian besar data sampai saat ini mendukung agen
cholinomimetic mengerahkan efek antimanik, beberapa penulis telah
melaporkan efek hanya pada komponen afektif dan motorik mania, dan tidak
ada efek pada aspek kognitif mania seperti pemikiran yang membesarbesarkan dan sifat ekspansif(14).

BAB III
22

KESIMPULAN

Pada berbagai kasus gangguan jiwa, diyakini bahwa dapat disebabkan oleh
adanya gangguan ketidakseimbangan neurotransmiter yang terjadi di dalam otak
seseorang. Neurotransmiter adalah zat kimia yang disintesis dalam neuron dan
disimpan dalam gelombang sinaptik pada ujung akson yang merupakan

zat

komunikasi antar neuron. Dimana setiap neuron melepaskan satu transmitter yang
menyebabkan perubahan permeabilitas sel neuron, sehingga dengan bantuan zatzat kimia ini maka neuron dapat lebih mudah dalam menyalurkan impuls,
bergantung pada jenis neuron dan transmiter tersebut.
Salah satu neurotransmiter yaitu asetilkolin yang memiliki fungsi antara lain
mempengaruhi kesiagaan, kewaspadaan, dan pemusatan perhatian. Asetilkolin
juga berperan pada proses penyimpanan dan pemanggilan kembali ingatan, atensi
dan respon individu. Di otak, asetilkolin ditemukan pada cerebral cortex,
hippocampus (terlibat dalam fungís ingatan), bangsal ganglia (terlibat dalam
fungís motoris), dan cerebelum (koordinasi bicara dan motoris). Fungsi Utama
Acetylcholine (ACh) adalah mengatur atensi, memori, rasa haus, pengaturan
mood, tidur REM, memfasilitasi perilaku sexual dan tonus otot. Apabila terjadi
deficit aaetilkolin maka akan terjadi berkurangnya fungsi memori, euphoria,
antisosial, penurunan fungsi bicara. Dan apabila asetilkolin berlebihan maka akan
terjadi anxietas dan depresi dan keluhan somatik.
Tapi hubungan asetilkolin dengan penyakit jiwa yang paling sering adalah
demensia tipe Alzheimer dengan dibuktikan melalui penelitian biopsi sterotaktik

23

dan otopsi jaringan otak

pada penderita alzheimer didapatkan penurunan

aktivitas kolinasetil transferase, asetikolinesterase dan transport kolin serta
penurunan biosintesa asetilkolin. Adanya defisit presinaptik dan postsynaptik
kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis, temporallis superior,
nukleus basalis, hipokampus. Selain itu juga terdapat beberapa
melaporkan

pada

penyakit

Alzheimer

ditemukannya

suatu

penelitian
degenerasi

spesifik pada neuron kolinergik pada nukleus basalis meynert. Data lain
yang mendukung
ditemukan

adanya

defisit

kolinergik

pada Alzheimer

adalah

konsentrasi asetilkolin dan asetilkolintransferase menurun.

DAFTAR PUSTAKA

24

1. Ancok,

Djamaludin

dan

Fuad

Nashori

Suroso.

Psikologi

Islam.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001.
2. Yosep, Iyus. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama. 2007.
3. Guyton, Arthur C, John E. Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.

Jakarta: EGC. 2009.
4. Muttaqin, Arif. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Perasarafan. Jakarta: Salemba Medika. 2008.
5. Sadock, Bejamin James, Virginia Alcott Sadock. Kaplam & Sadock Buku

Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Jakarta: EGC. 2010.
6. Kalat, J.W. 2011. BIOPSIKOLOGI. Jakarta: Salemba Humanika.
7. Sadock,

Bejamin James, Virginia A. Sadock. Kaplan & Sadock’s

Comprehensive Textbook of Psychiatry Seventh Edition. New York:
Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2000.
8. Purves,D. George J Augustine, David Fitzpatrick,et all. Neuroscience, 2nd

edition. Sunderland (MA): Sinauer Associates; 2001
9. Jack C. Waymire, Ph.D. Acetylcholine Neurotransmission. Department of

Neurobiology and Anatomy, The UT Medical School at Houston: 1997
10. Thomas J. Raedler, MD. The Muscarinic Hypothesis of Schizophrenia.

Psychiatric Times. Apr 16, 2008
11. https://growup-clinic.com/2014/08/09/peranan-neurotransmiter-otak-pada-

gangguan-perilaku-dan-gangguan-psikiatrik/
12. Michael J. Higley, Marina R. Picciotto. Neuromodulation by Acetylcholine:

Examples from Schizophrenia and Depression. HHS Public Access : 2015

25

13. E. Perry. Acetylcholine and Alzheimer’s Disease. British Journal of

Psychiatry: 1988.
14. David S. Janowsky and David H. Overstreet. The Role of Acetylcholine

Mechanisms in Affective Disorders. LongeCity Advocacy & Research for
Unlimited Lifespans: 2000.

26