Belajar Dari Lukisan Anak Usaha

Seminar Nasional Pendidikan Seni #2: “Reorientasi Pendidikan Seni di Indonesia”
Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya, 15–16 Oktober 2014

Belajar Dari Lukisan Anak
Muchammad Bayu Tejo Sampurno
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
m.bayutejo@gmail.com

Abstrak
Seni merupakan salah satu media bagi anak untuk bermain, baik bermain dengan lingkungannya
sampai bermain dengan imajinasi yang dimilikinya. Seni juga merupakan media pemahaman, yang
membantu anak memahami konsep-konsep yang belum diketahuinya. Orang tua dengan berbagai
argumennya mulai sadar akan pentingnya seni bagi anak, namun mereka kurang memahami apa
yang dibutuhkan anak untuk menunjang kemampuan berkeseniannya. Karya seni yang diciptakan
oleh anak tergolong istimewa. Hal tersebut dikarenakan dalam karya seni anak terdapat nilai-nilai
yang merupakan esensi dan hakikat dari seni itu sendiri. Dari karya seni anak, dapat diambil ilmu
yang penting bagi manusia yaitu mengenai pribadi kreatif yang tidak takut untuk bereksperimen
karena anak tidak memperhatikan faktor eksistensi yang sering menjadi masalah orang dewasa.

Katakunci: Belajar, seni, lukisan, anak


1. Pendahuluan
Budaya instan yang menghalalkan
berbagai cara agar mendapatkan eksistensi
dari apa yang dihasilkan oleh individu
semakin menggerus ‘pribadi asli’ yang
dimiliki manusia. Demi pengakuan,
penghargaan, hati nurani tidak dijadikan
sebagai kuasa tertinggi dalam mengambil
keputusan, termasuk dalam hal mencipta
seperti yang disbutkan di atas. Rasa dari
dalam hati kalah dengan logika yang
merupakan olahan dari kemampuan kognitif
manusia. Dewasa ini sedang marak
mengenai kasus plagiarisme, mulai dari
bidang akademis, bisnis, sampai seni.
Seseorang yang mengklaim dirinya sebagai
seniman seringkali menciptakan karya atas
hasil ‘tiruan’, dan memodifikasinya,
walaupun tidak semua pekerja seni seperti
demikian, dengan kata lain tidak sesuai

dengan orisinalitas dirinya. Hal serupa juga
terjadi dalam berbagai bidang lainnya. Ada
rasa takut yang diakibatkan oleh batasanbatasan berupa pemahaman yang melekat
dalam diri manusia sejak masa kanak-kanak,
yang secara tidak langsung membuat
individu yang mengalaminya terkurung
dalam sebuah kotak, tidak berkembang,
dengan berbagai alasan yang setelah diresapi
menjadi sebuah alasan yang tidak masuk

Muchammad Bayu Tejo Sampurno (Universitas Gadjah Mada)

akal. Jika diresapi dan direnungkan, rasa rindu
akan spontanitas dan keberanian untuk mencoba
hal baru serta keberanian untuk bereksperimen
sering muncul, alih-alih rasa itu muncul ketika
hendak melakukan sesuatu untuk memotivasi diri,
namun pada kenyataannya rasa itu muncul saat ide
dan gagasan yang seharusnya ‘milik kita’ telah
dipakai orang lain atau terlambat ‘dituangkan’

karena suatu hal.
Anak-anak hidup dalam dunia mereka sendiri.
Dunia yang menyenangkan karena penuh dengan
kesenangan, dunia bermain. Di dalam dunia
tersebut, dalam beberapa hal anak dituntut oleh
lingkungannya untuk melakukan sesuatu yang
belum pernah dilakukan oleh anak, biasanya
tuntutan ini berasal dari dirinya sendiri yang
memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Jika
dicermati, anak-anak tidak memiliki rasa takut
dalam melakukan hal baru. Mereka juga
melakukannya dengan asyik, dengan spontanitas
yang dimilikinya. Hal tersebut terjadi tidak hanya
dalam dunia bermain mereka, namun dalam bidang
lain termasuk bidang akademis dan seni. Sering
kita jumpai di dunia maya mengenai seorang anak
yang menjawab soal sesuai dengan ‘kenyataan’,
bukan berdasarkan ‘batasan’, ‘aturan’, atau
‘kebenaran’ versi guru atau instansi. Mereka
menjawab pertanyaan dengan kenyataan versi

mereka sendiri yang bagi sebagian orang, jawaban
versi anak lebih masuk akal daripada jawaban versi

1

Seminar Nasional Pendidikan Seni #2: “Reorientasi Pendidikan Seni di Indonesia”
Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya, 15–16 Oktober 2014

guru, dan sebagian orang tersebut
memberikan label yang baik pada anak.
Begitu
pula
dengan
seni,
anak
mengekspresikan karya seni yang dibuatnya
dengan spontan, ekspresif, menunjukkan
orisinalitas karya mereka yang hal tersebut
membuat karya anak menjadi istimewa.
Kembali pada permasalahan mengenai

bagaimana
‘orang
dewasa’
seakan
kehilangan ‘kemampuan’ anak-anak mereka,
maka perlu untuk orang dewasa untuk
belajar dari anak-anak, dan salah satu media
belajar dari anak-anak adalah belajar dari
lukisannya. Dari lukisan anak dapat dilihat
banyak aspek yang dibutuhkan oleh orang
dewasa.

2. Pembahasan
Anak-anak bagaikan hardisk kosong
yang menanti untuk diisi mengenai konsep
kehidupan yang berada dalam sebuah istilah
yang dinamakan ilmu. Anak-anak tidak
berjuang sendirian dalam proses penerimaan
sebuah konsep. Orang tua menjadi penolong
pertama anak yang akan membantu anak

memecahkan masalah dan mengajarkan
berbagai konsep dalam hidup. Selain orang
tua, terdapat guru yang merupakan pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada jalur pendidikan.1 Setiap orang
tua berupaya meningkatkan kecerdasan pada
anaknya, namun jarang yang menyadari
bahwa kecerdasan sebenarnya mulai
dibentuk sejak dini. Perumbuhan otak yang
sangat pesat justru terjadi pada awal
kehidupan. Itulah sebabnya mengapa orang
tua harus memperhatikan hal-hal yang dapat
menunjang
kecerdasan
anak
seperti
kecukupan akan gizi pada makanan yang
dibutuhkan dan stimulasi otak yang dapat

menggunakan berbagai cara. Otak merekam
apa yang dapat dicatat dari lingkungannya,
dari sinilah konsep pemahaman mulai
diperkenalkan. Orang tua harus menanggapi
respon tersebut mulai dari pengenalan
pemahaman konsep dasar kemudian
memperkuatnya ke pemahaman pengetahuan
dasar. Kemampuan kreativitas berpikir
1

Lihat Supriyadi, Strategi Belajar Mengajar, Yogyakarta:
Cakrawala Ilmu, 2011, 11.

2

dalam memahami dunia sekitar secara nyata adalah
kemampuan penting, dan ketika ditunjang dengan
program yang komprehensif, selain itu proses
analisa menjadi terstruktur. Meninjau kembali
pengertian belajar sama dengan bermain pada anak

dan pengetahuan tidak ada batasnya maka konsep
pemahaman
pengetahuan
dasar
kemudian
dikembangkan kepemahaman secara spesifik. Seni
merupakan salah satu metode dalam
proses
pemahaman kepada anak yang juga memiliki
hubungan erat dengan dunia anak. Seni merupakan
media bermain sekaligus belajar bagi anak. Di
dalam proses pemahaman, seseorang dapat
melakukan beberapa tahap sebagai cara dalam
memahami suatu konsep, salah satunya dengan
penghayatan. Penghayatan dalam pemahaman
diartikan sebagai proses mencerna, menyaring,
merasakan, dimana hasilnya akan diterima oleh
reseptor otak yang memiliki kuasa untuk
menerimanya sebagai sebuah konsep. Pemahaman
mengenai suatu konsep merupakan ilmu yang

harus dicari dan didapatkan seceptanya untuk dapat
memahami ilmu tersebut dengan baik. Kembali
pada kaitannya dengan seni, seni menyangkut
penghayatan dalam sebuah struktur pengalaman
estetis, sedangkan ilmu menyangkut pemahaman
rasional-empiris terhadap suatu objek ilmu.2 Ilmu
dapat meletakkan sebuah karya seni menjadi objek
pengamatannya, dalam kata lain di dalam karya
seni terdapat ilmu yang dapat digunakan sebagai
metode pemahaman anak. Karya seni dalam ilmu
bukan untuk dihayati, melainkan untuk dipahami
secara rasional. Pemahaman terhadap karya seni
akan membantu dalam menghayati karya seni
tersebut.3 Namun, tetap terdapat hubungan erat
antara penghayatan-pemahaman konsep yang
terdapat dalam sebuah karya seni. Oleh karenanya,
seni dapat dijadikan sebagai metode pemahaman
bagi anak.
Pada masa kanak-kanak awal, presentase
perkembangan otak berkembang pesat, dimana

anak pada usia 0-6 tahun mempunyai potensi
perkembangan otak mencapai 80%, sedangkan
pada usia 17-18 tahun hanya berkembang sebanyak
20%.4 Sementara itu, teori neurosains modern
menyatakan bahwa pada masa pertumbuhan
tersebut (golden ages) memungkinkan anak untuk
mengembangkan kreativitas dan juga terjadi
tahapan pra-operasional dalam perkembangan
kognitif. Anak pada usia 3-6 tahun mulai
2
Periksa Jakob Sumardjo, Filsafat Seni, Bandung: Penerbit ITB,
2000, 253.
3
Periksa Jakob Sumardjo, 2000, 254.
4
John W. Santrock, Child Development, Jakarta: Erlangga, 2007, 160.

Belajar Dari Lukisan Anak

Seminar Nasional Pendidikan Seni #2: “Reorientasi Pendidikan Seni di Indonesia”

Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya, 15–16 Oktober 2014

menjelaskan dunia dengan kata-kata dan
gambar, meningkatkan pemikiran simbolis
serta mendapatkan kemampuan untuk
menggambarkan secara mental sebuah objek
yang tidak ada.5 Oleh karenanya, pada usia
tersebut anak akan sering melakukan
kegiatan seni sebagai media penuangan
imajinasinya.
Bagi individu yang belum memiliki
sense dalam seni, seringkali mereka
memandang karya seni terutama karya seni
berupa lukisan hanya sebatas pandangan
atau penilaian di permukaannya saja.
Dengan kata lain, mereka mungkin hanya
mengenal aliran realisme, naturalisme, dan
mungkin dekoratif dalam penilaiannya
mengenai karya seni. Hal tersebut
berdampak pada bagaimana pemahaman
mereka terhadap bentuk aliran lukisan yang
lain. Berkaitan dengan marak diadakannya
kompetisi melukis untuk anak-anak, seiring
dengan mulai munculnya rasa penting ‘seni’
bagi anak-anak. Pola pikir orang tua modern
yang mulai memperhatikan perkembangan
otak kanan anak dalam kaitannya dengan
keseimbangan antara otak kiri yang sering
dianggap sebagai otak akademis yang
berisikan logika, analisis, matematis, dengan
otak kanan yang sering dianggap sebagai
otak kreatif karena dipenuhi oleh imajinasi,
emosi, intuisi, dan spiritual.

Hal
tersebut
bertujuan
selain
untuk
menyeimbangkan atau meningkatkan kemampuan
otak kanan anak, juga terkait dengan kemampuan
berkesenian anak yang nantinya diharapkan dapat
membuahkan hasil dalam sebuah kompetisi
melukis yang tengah marak saat ini. Penambaham
materi melukis bagai dua sisi mata pisau,
memberikan
efek
positif
namun
juga
memungkinkan untuk memberikan efek negatif
pada anak. Pendamping dalam hal ini adalah guru
les baik privat maupun sanggar seringkali
menciptakan anak ke dalam sebuah aliran yang
dinamakan aliran ‘sanggar’. Aliran sanggar adalah
sebuah aliran dimana hasil karya anak memiliki
kemiripan dengan anak lainnya yang ikut dalam
sanggar, mulai dari ide dan gagasan sampai
simbolisasi bentuk dan warna. Interverensi yang
dilakukan oleh guru dalam proses kreatif yang
dilakukan anak ketika menciptakan karya seni
memiliki dampak buruk pada kreativitas yang
dimiliki anak. Guru memberikan interverensi
berupa batasan-batasan pemahaman kepada anak,
antara lain bentuk manusia ‘harus’ seperti ini,
pohon ‘harus’ demikian, warna objek ‘harus’
sesuai, sampai penggunaan warna yang ‘harus’
digradasi. Memang, hal tersebut akan membuat
lukisan anak menjadi lebih ‘bagus’, namun salah
satu hal yang menjadi ironis adalah interverensi
dari guru yang dapat merusak kreativitas dan
spontanitas anak. Ketika proses berkarya seni, anak
menghasilkan ide-ide yang unik, inovatif, kreatif,
dan membuat cara keluar dari permasalahannya
sendiri. Hal tersebut akan terwujud apabila anak
diberi kebebasan dalam menuangkan ide dan
gagasannya ke dalam karya seni nya, baik dalam
lukisan ataupun gerakan tari, tanpa adanya
interverensi yang berlebih dari pendamping baik
guru maupun orang tua.

Gambar 1. Ilustrasi kemampuan otak kanan
dan kiri manusia6
Dengan anggapan demikian, orang tua
memberikan perhatian ekstra kepada anakanak berupa materi tambahan dalam
kaitannya dengan perkembangan otak kanan,
salah satunya adalah les melukis baik secara
privat maupun dalam sebuah sanggar seni.
Gambar 2. Contoh tipe lukisan sanggar7

5

John W. Santrock, 2007, 49.
http://api.ning.com/files/ugvKKEIE2TyLFAxjWILH*9PTo67E1GkKo2xeRsUo8JKRjeg0Z-Lo-rbqFycRhz77
s0Vd7HVSmeASLuxK154Ha-IaNP0W5Qu/mitosotakkana
nvsotakkiri.jpg diunduh pada 20 September 2014 pukul 15.32
6

Muchammad Bayu Tejo Sampurno (Universitas Gadjah Mada)

7

http://4.bp.blogspot.com/_zTPRT_04hfg/TC7af0pIbWI/AAAAAAA
AAAM/iCSJOzF1xwU/s1600/1.jpg diunduh pada 20 September 2014
pukul 06.02.

3

Seminar Nasional Pendidikan Seni #2: “Reorientasi Pendidikan Seni di Indonesia”
Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya, 15–16 Oktober 2014

Pemahaman terhadap objek dan
fenomena kepada anak yang dilakukan oleh
guru dalam kaitannya dengan kegiatan seni,
merupakan hal yang positif jika tidak
berlebihan. Guru sebagai pendidik harus
mengetahui dan memahami karakter dari
masing-masing peserta didiknya guna
mendapatkan
hasil
yang
maksimal.
Seseorang yang ingin mendidik orang lain
harus mempertimbangkan tiga faktor dasar,
(1) mengetahui sifat dasar materi yang akan
disampaikan, (2) setiap pendidik harus
menguasai materi yang akan diajarkan, (3)
pendidik tidak berhak menolak mengenai
situasi dan kondisi dimana tempat dirinya
mengajar.8 Pembahasan pertama mengenai
sifat
dasar
seni,
dimana
untuk
memahaminya seorang ‘pendidik seni’ harus
memahami
seni
sesuai
dengan
kebutuhannya. Seni pada sebagian kalangan
merupakan bumbu pelengkap yang sering
tidak diketahui keberadaannya. Seni lagilagi bagi sebagian orang merupakan
kebutuhan nomor sekian dalam hakekat
hidup seseorang, maka dari itu pendidik
sebagai tokoh utama dalam kampanye
mengenai seni harus paham apa itu seni.
Seni dalam sebuah kerajaan yang dinamai
pendidikan, sebenarnya terletak pada bagian
paling tinggi. Telah diketahui bersama
pendidikan dibagi menjadi tiga, pendidikan
alam (eksak), sosial, dan estetika. Bagi
beberapa kalangan pendidikan estetika
belum banyak diketahui dan bagi beberapa
kalangan yang tahu mengenai pendidikan
estetika, mereka hanya memasukkan seni
dalam pendidikan estetika. Memang,
estetika adalah rumah bagi seni, namun hal
tersebut bukan berarti seni tidak mampu
tinggal dalam bidang eksak maupun sosial.
Sepertihalnya pendidikan sosial yang
meminjam matematika dari pendidikan
eksak untuk mengukur sebuah fenomena
sosial yang disebut sebagai statistik,
sebenarnya bidang eksak dan sosial-pun
meminjam seni baik sebagai media
penyampaian, metode, dan pemahaman
sebuah materi.
Kegiatan berkesenian dalam hal ini
melukis, memiliki peran penting dalam
8

Ralph Tyler, Basic Principles of Curriculum and
Indstruction, dalam Al Hurwitz, dkk., Children and Their
Art: Methods for the Elementary School, United States:
Thomson Wadsworth, 2007, 1.

4

kehidupan anak, yaitu (1) sebagai media
mencurahkan perasaan yang menjadikan warna
dan bentuk sebagai ungkapan perasaan, (2) sebagai
media
berkomunikasi
yang
komprehensif,
pengolahan pikiran sedemikian rupa menjadi
sebuah bentuk gagasan yang diekspresikan pada
proses melukis, (3) sebagai media untuk melatih
ingatan anak, (4) sebagai pengenalan anak pada
kreatif dan mengekspresikan emosional diri yang
lebih baik, dimana terjadi perpaduan antara
emosional dan ide kreatif yang dapat diperoleh
pada proses berkarya. Berkaitan dengan fungsi
melukis sebagai media untuk melatih ingatan anak,
hal tersebut mengingatkan kepada istilah
reprsentasi. Melukis adalah menggambar bayangan
yang ada di benak,9 bayangan di benak seniman
datang dari suatu peristiwa yang dikenang, baik
kenangan indah maupun kenangan yang kurang
menyenangkan. Semua ingatan akan muncul ketika
anak sedang melukis. Melukis dapat melatih proses
berfikir secara menyeluruh yang melatih anak
untuk mengemas berbagai peristiwa menjadi suatu
catatan visual. Melukis juga berpotensi
menawarkan pada semua anak-anak kesempatan
untuk
mengintegrasikan
pengetahuan,
keterampilan, dan pemahaman ke dalam media
lukis. Di dalam lukisan anak, terdapat salah satu
aspek penting yaitu kreativitas. Kreativitas
berkaitan erat dengan karakteristik, ekspresi, dan
imajinasi yang dimiliki seorang individu dalam
sebuah cara atau metode pemecahan masalah.
Kreativitas berasal dari kemampuan merangkai
bagian-bagian kecil dalam pikiran menjadi sebuah
kesatuan
yang merekonstruksi
interpretasi
mengenai pemecahan masalah tersebut.10 Anak
dibiarkan
berpikir
kreatif
yaitu
dengan
membiarkan anak menuangkan imajinasinya.
Karya seni lahir karena adanya imajinasi seniman
yang menghadirkan karya tersebut. Penghadiran
karya seni dapat disebut sebagai representasi,
karena dalam prosesnya seniman bersinggungan
dengan kenyataan objektif di luar dirinya atau
kenyataan dalam dirinya sendiri.11 Persinggungan
ini menimbulkan respons atau tanggapan meskipun
tidak semua kenyataan menimbulkan respons pada
seniman. Mengenai lahirnya karya seni dimana
tanggapan tersebut dimiliki oleh seniman dan
diungkapkan, direpresentasikan ke luar dirinya.
Istilah representasi seni dapat mengandung arti
9
Hajar Pamadhi, dkk., Seni Keterampilan Anak, Yogyakarta:
Universitas Terbuka, 2008, 3.14.
10
Susan Wright, Understanding Creativity in Early Childhood:
Meaning-Making and Children’s Drawing, London: SAGE, 2010, 4.
11
Jakob Sumardjo, 2000, 76.

Belajar Dari Lukisan Anak

Seminar Nasional Pendidikan Seni #2: “Reorientasi Pendidikan Seni di Indonesia”
Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya, 15–16 Oktober 2014

sebuah gambaran yang melambangkan atau
mengacu pada kenyataan eksternal, atau
dapat berarti pula mengungkapkan ciri-ciri
umum yang universal dari alam manusia.12
Representasionalisme adalah pandangan
bahwa seni merupakan suatu cara
merepresentasikan
sesuatu.
Representasionalisme
juga
merupakan
pandangan normatif yang membawa
seseorang untuk menempatkan nilai tinggi
pada karya sama seperti potret ‘lifelike’ atau
sama seperti aslinya. Sebagian orang
menyukai dan memuji potret kehidupan
manusia dan lukisan pemandangan sebagai
representasi kenyataan. Namun mereka juga
beranggapan, seniman bergaya realis tidak
hanya sekedar menyalin apa yang mereka
lihat, tapi lebuh dari itu dimana mereka
mengharapkan
untuk
menawarkan
interpretasi pribadi. Tugas seniman adalah
menciptakan kesadaran sosial atas realitas
itu sndiri; seniman dituntut menciptakan
dunia khayal atau fiksi tertinggi.13

Gambar 3. Lukisan anak: spontan dan
ekspresif14
Dunia yang direpresentasikan dalam karya
seni idealis atau imajinatif adalah dunia
yang segar, sebuah rekonstruksi dari
kesadaran manusia bahwa dunia memang
seperti itu adanya. Kebanyakan orang
cenderung untuk berpikir bahwa representasi
sebagai penjiplakan karena ketentuan pada
umumnya dalam lukisan menginginkan
untuk
mereprentasi
melalui
tingkat
kemiripan yang tinggi, namun hal tersebut
juga tidak melulu diperlukan juga. Gambargambar seni di zaman Mesir kuno seringkali
terlihat aneh bagi kita, seolah-olah sang
seniman tidak mampu untuk melakukan
yang lebih baik. Perbedaan antara

representasi yang kuno (Mesir) dan modern atas
manusia bagaimanapun merupakan hasil dari
perbedaan ketentuan mengenai representasi.15 Seni
bukan sekadar representasi dunia eksternal, atau
sebagai representasi karakteristik umum yang
universal dari suatu kenyataan, atau suatu pelarian
dari dunia nyata untuk sekadar memasuki dunia
transedental.16 Adalah sebuah kesalahan untuk
memikirkan representasi dalam seni visual sebagai
upaya sederhana untuk ‘menyalin’ apa yang
‘dilihat’.

Gambar 4. Representasi lukisan anak sesuai
dengan keinginannya17
Ernst Gombrich dalam Art and Illusion
menyatakan bahwa kekuatan pelukis bukanlah
untuk menghasilkan kembali apa yang ‘ada di
sana’, namun untuk menciptakan sebuah ‘kesan’
meyakinkan bahwa kita sedang melihat sesuatu
yng direpresentasikan.18 Bahkan kebanyakan
representasi yang mirip dengan kehidupan tidak
dapat dipikirkan hanya sebagai jiplakan.
Pembuatnya mengikuti ketentuan yang mana
menentukan bagaimana sesuatu direpresentasikan
dan memakai teknik yang mewajibkan kita untuk
melihatnya dengan cara tertentu. Anak-anak
memiliki visinya sendiri untuk merepresentasikan
apa yang dilihat maupun apa yang dipikirkannya
ke dalam lukisan. Dengan demikian, setelah
menelusuri perkembangan pemikiran karya seni
sebagai representasi tiruan kenyataan atau ekspresi
subjek atas kenyataan, dapatlah disimpulkan
adanya enam pandangan tentang apa yang
seharusnya diwujudkan dalam karya seni yaitu, (1)
seni merupakan representasi sikap ilmiah atas
kenyataan alam dan kenyataan sosial; (2) seni
adalah representasi karakteristik general dari alam
dan emosi manusia; (3) seni adalah representasi
karakteristik general dalam alam dan manusia yang
15

12
13
14

Jakob Sumardjo, 2000, 76.
Jakob Sumardjo, 2000, 129.
Karya Rasya Rizqi Ananda, 8 tahun, dokumentasi penulis.

Muchammad Bayu Tejo Sampurno (Universitas Gadjah Mada)

Gordon Graham, Philosophy of The Arts: An Introduction to
Aesthetics, London: Routledge, 1997, 88.
Jakob Sumardjo, 2000, 129.
17
Karya Rasya Rizqi Ananda, 8 tahun, dokumentasi penulis.
18
Gordon Graham, 1997, 89.
16

5

Seminar Nasional Pendidikan Seni #2: “Reorientasi Pendidikan Seni di Indonesia”
Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya, 15–16 Oktober 2014

dilihat secara subjektif oleh senimannya; (4)
seni adalah representasi bentuk ideal yang
melekat pada alam kenyataan dan alam
pikiran seniman; (5) seni adalah representasi
bentuk ideal yang transedental; (6) seni
adalah representasi dunia seni itu sendiri.19
Pandangan di atas seluruhnya ada di dalam
karya seni yang dihasilkan oleh anak. Orang
dewasa terlalu terpaku dengan aturan-aturan
yang diketahuinya, bukan dipahaminya.
Sebagian besar dari mereka masih sering
mengalami
kebingungan
saat
ingin
merepresentasikan sesuatu. Kebingungan
yang dialami tersebut diakibatkan oleh
keinginan untuk dianggap atau eksistensi.
Hasil dari representasi dari orang dewasa
yang dituangkan, selalu sesuai dengan apa
yang kita ketahui sebelumnya. Misalnya,
representasi mengenai perang, maka yang
dilukiskan adalah simbol tentang perang
secara nyata, atau dalam keadaan yang
mendekatinya, baik dari simbolisasi bentuk
maupun warna. Berbeda dengan anak-anak
yang merepresentasikan dengan hal yang
berbeda sesuai dengan pemahamannya
mengenai suatu kejadian. Anak-anak
berkarya tidak melihat batasan-batasan
tersebut.
Mereka
berkarya
spontan,
ekspresif, dan tentu orisinil, yang memang
benar-benar hasil olahan ide dan gagasan
yang dimilikinya.
Hal lain yang didapatkan dari lukisan
anak adalah mengenai bagaimana anak
mengolah
pengalaman
seni
yang
dimilikinya. Pengalaman dalam seni
dikategorikan menjadi dua jenis yaitu
pengalaman artistik (act of production) dan
pengalaman
estetik (perception and
enjoyment). Pengalaman artistik adalah
pengalaman seni yang terjadi dalam proses
penciptaan karya seni.20 Pengalaman ini
dirasakan oleh seniman pada saat melakukan
aktivitas artistik yang dinamakan proses
kreatif.
Pengalaman
estetik
adalah
pengalaman yang dirasakan oleh penikmat
terhadap karya estetik
dalam
arti
keindahan.21 Kenikmatan yang dihasilkan
oleh keindahan dari sebuah karya seni
memiliki tingkat subjektivitas yang tinggi.
Seseorang tidak dapat menikmati dan tidak
19

Jakob Sumardjo, 2000, 131.
John Dewey, Art as Experience, New York: Perigee Books,
1980, 46.
21
John Dewey, 1980, 46.
20

6

dapat menerima efek dari karya seni apabila tidak
memiliki ketertarikan terhadap seni tersebut.22
Kenikmatan dalam mengapresiasi karya seni
menimbulkan kesenangan pada akal yang nantinya
dapat memberikan pengalaman seni. Hakekat seni
diletakkan pada intuisi serta perasaan seseorang.23
Seseorang senantiasa mengacu pada pengalaman
sebagai unsur hakiki dalam penilaian estetis.
Keindahan dapat dikenal melalui pengalaman, dan
terbentuk oleh pengalaman dengan membayangkan
sesuatu.24 Beberapa istilah di atas yang menjadi
masalah bagi orang dewasa. Lagi-lagi, sebagian
besar dari mereka menganggap seluruh manusia
memiliki interpretasi yang ‘benar’ dan ‘sesuai’
mengenai istilah-istilah di atas. Namun secara
tidak disadari, hal tersebut justru membuat orang
menjadi tidak dapat berkembang dan seakan lebih
memikirkan bagaimana tanggapan orang lain
mengenai dirinya, daripada memperhatikan esensi
seni sebagai media pencurahan perasaan.
Berbicara mengenai representasi, pengalaman
seni, terdapat satu istilah yang erat hubungannya
dengan kesenian, yaitu persepsi. Manusia memiliki
dua macam persepsi yaitu kesan atau ide; kesan
merupakan pengalaman inderawi (realitas lahiriah
atau pengamatan), baik dari luar maupun perasaan
batin sedangkan ide atau gagasan adalah hasil
renungan atau ingatan dari kesan tersebut. Kesan
merupakan jenis yang lebih memiliki kekuatan dan
kekerasan, sedangkan gagasan adalah citra yang
remang-remang tentang keduanya dalam pemikiran
Seniman
berupaya
dan
penalaran.25
mengkomunikasikan idenya lewat benda-benda
seni kepada publik. Publik yang menikmati dan
menilai karya seni tersebut memberikan nilai-nilai
yang merupakan respon estetik publik terhadap
benda seni yang mungkin bisa muncul berbeda.
Hal ini tergantung pada subjek publik sebagai
pemberi nilai. Betapapun seorang seniman banyak
menghasilkan karya, namun jika publik seni tidak
pernah menganggap bahwa karya itu bernilai,
maka karya semacam itu akan lenyap dan tak
pernah memiliki arti apapun.26 Sama halnya
dengan representasi, persepsi yang dimiliki oleh
anak sesuai dengan masa perkembangannya,
namun yang membuatnya istimewa adalah
22

Edmund Burke Feldman, Art as Image and Idea, New Jersey:
Prentice Hall, 1967, 6.
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 2004, 373.
24
Louis O. Kattsoff, 2004, 378.
25
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat: Kaitnnya dengan Kondisi
Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007, 865.
26
Sony Kartika Dharsono, dkk., Pengantar Estetika, Bandung:
Penerbit Rekayasa Sains,2004, 55.
23

Belajar Dari Lukisan Anak

Seminar Nasional Pendidikan Seni #2: “Reorientasi Pendidikan Seni di Indonesia”
Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya, 15–16 Oktober 2014

bagaimana cara anak memvisualisasikan,
mensimbolisasi bentuk dan warna dalam
lukisannya.
Hasil karya memiliki nilai-nilai, dan
salah satu nilai penting dari karya seni
adalah nilai estetis. Seni memiliki nilai
estetis atau keindahan yang disukai oleh
manusia dan mengandung ide-ide yang
dinyatakan dalam bentuk aktivitas atau rupa
sebagai lambang. Seni dapat menyebabkan
seseorang memperoleh kenikmatan sebagai
akibat dari refleksi perasaan terhadap
stimulus yang diterima. Kenikmatan seni
bukanlah
kenikmatan
fisik
lahiriah,
melainkan kenikmatan banitiah yang muncul
ketika menangkap dan merasakan simbolsimbol estetika dari sebuah karya seni.
Penikmatan merupakan proses dimensi
psikologis, proses interaksi antara aspek
intrinsik seseorang terhadap sebuah karya
estetik.27 Hasil dari proses tersebut
merupakan penilaian mengenai senang atau
tidaknya terhadap keberlangsungan terhadap
karya seni. Hal tersebut dipengaruhi oleh
tingkat
relatifitas
seseorang
dalam
menghadapi sebuah sajian karya seni, selain
itu juga dipengaruhi dari tingkat intelektual
seseorang dan latar belakang budayanya.
Standar rasa muncul dari sifat manusia,
sejak mereka berbagi sifat yang sama maka
secara umum mereka menyukai hal yang
sama. Ketika rasa itu datang ke seni,
beberapa bentuk tertentu atau kualitas dari
struktur asli pikiran manusia sudah
memperhitungkan
rasa
senang
atau
sebaliknya.28 Jadi keindahan atau keburukan
bukan terdapat dalam sebuah objek,
melainkan dari perasaan. Orang tua sebagai
pusat kontrol anak, menilai karya seni anak
sesuai dengan visi yang dimilikinya, visi
orang dewasa. Kebanyakan orang tua
menganggap lukisan yang dihasilkan sendiri
oleh anak tidak memiliki arti, maka sering
muncullah kata-kata seperti “menggambar
apa kamu itu, nak?”, “lukisanmu seperti
benang ruwet”, “kuda kok seperti itu, pohon
kok daunnya warna merah, salah!”, dan
kata-kata yang secara tidak langsung
memojokkan anak, mengucilkan sisi kreatif
dan visi anak terhadap berbagai objek dan
fenomena. Jika orang tua memperhatikan

secara kritis, pada dasarnya saat anak melakukan
proses pemindahan ide dan gagasannya ke dalam
bentuk lukisan, pikiran anak dikuasai alam bawah
sadar dan dituangkan dalam bentuk simbolis, yang
sebagian anak telah mampu mengamati objek di
depannya untuk dilukis, akan tetapi dengan
goresan yang belum berujud, misalnya lukisan
tersebut hanya berupa garis atau goresan cat. Hal
tersebut membuat lukisan anak seakan-akan
nirmakna, dan meimbulkan sebuah pertanyaan
klasik “seni macam apa ini?”. Berdasarkan teori
seni konseptual dari akhir 1960-an dan mengatakan
bahwa sesuatu adalah sebuah karya seni jika, dan
hanya jika benda yang ditujukan sebagai karya seni
memenuhi tiga kriteria : pertama, benda atau karya
tersebut harus membuat penonton bertanya
“apakah ini seni?”, yang kedua ‘seniman harus
menyatakannya sebagai sebuah karya seni’, dan
ketiga
‘benda’ atau karya tersebut harus
ditampilkan dalam ruang seni dalam hal ini
pameran. Kita bisa merujuk pada Marcel Duchamp
dengan karya agungnya yang berjudul Fountain.
Karya itu adalah kloset sebagaimana mestinya dan
disimpan begitu saja di galeri. Meski awalnya
ditolak sebagai karya seni, namun hal tersebut
justru menantang setiap orang untuk bertanya
‘apakah ini seni?’. Jelas pertanyaan tersebut telah
mencakup salah satu syarat disebutnya sebagai
karya
seni.
Selanjutnya,
seniman
tentu
menyebutnya sebagai karya seni, dan seniman
meletakkannya dalam ruang publik atau
dipamerkan. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa
Fountain karya Duchamp merupakan sebuah karya
seni.

Gambar 5. Fountain – Marcel Duchamp29
29

27

Sony Kartika Dharsono, dkk., 2004, 95.
28
Gordon Graham, 1997, 4.

Muchammad Bayu Tejo Sampurno (Universitas Gadjah Mada)

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/29/%27Fountain
%27_by_Marcel_Duchamp_%28replica%29.JPG diunduh pada 20
September 2014 pukul 08.25.

7

Seminar Nasional Pendidikan Seni #2: “Reorientasi Pendidikan Seni di Indonesia”
Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Surabaya, 15–16 Oktober 2014

Pendekatan Jung yang merepresentasikan
ilmu psikologis yang dipelajarinya ke dalam
ranah estetika, dimana dirinya menilai
sebuah karya seni melalui pendekatan
psikologis. Pendekatan yang biasa dilakukan
Jung memiliki beberapa masalah atau
kekurangan. Untuk individu masalahnya
adalah mencegah setiap diskusi substansif
pada ada atau tidaknya seni ditinjau dari
kualitasnya. Mereka dengan cara pandang
Jung lebih ke sisi psikologis atau sisi
emosional dalam menilai baik tidaknya
sebuah karya seni. Kembali pada kaitannya
dengan karya anak, pada saat itu sebenarnya
anak telah menciptakan karya seni dengan
tingkat orisinalitas yang maksimal. Sesuai
dengan teori konspetual yang telah
dijabarkan di atas, bagaimana ‘sesuatu’
dikatakan karya sseni jika benda atau karya
tersebut harus membuat penonton bertanya
“apakah ini seni?”, yang kedua ‘seniman
harus menyatakannya sebagai sebuah karya
seni’, dan ketiga ‘benda’ atau karya tersebut
harus ditampilkan dalam ruang seni dalam
hal ini pameran. Di dalam ‘syarat’ tersebut,
pertama, membuat penonton bertanya ”apa
ini seni?”, sekiranya lukisan yang dihasilkan
orisiniloleh anak telah memenuhi syarat
tersebut. Diluar kemampuan motorik anak
dalam
memvisualisasikan
ide
dan
gagasannya, sering kita jumpai lukisan anak
yang membuat kita justru bertanya “gambar
apa ini”, seperti yang telah dicontohkan
dalam pembahasan sebelumnya. Syarat yang
kedua yaitu seniman menyatakan bahwa ini
adalah karya seni. Dalam kaitannya dengan
anak-anak, sebenarnya mereka menciptakan
‘seni’ sesuai dengan hakekatnya. Syarat
ketiga, karya tersebut harus ditampilkan
dalam ruang seni. Anak-anak memiliki
dunianya sendiri, pun dengan ruang seni
yang diciptakannya sendiri. Anak-anak
menganggap dunia ini adalah ruang seni, hal
tersebut dapat kita cermati dan pahami
apabila melihat dunia anak yang merupakan
dunia bermain memiliki kaitan erat dengan
dunia seni. Maka dapat dikatakan setelah
tiga syarat dapat terpenuhi, karya anak tentu
merupakan seni, seni yang terkadang
melebihi pikiran orang dewasa.

3. Kesimpulan
Ilmu pengetahuan adalah suatu produk
pemikiran manusia yang sekaligus menysuaikan
antara hukum-hukum pemikiran dengan dunia luar.
Ilmu pengetahuan memiliki sebuah kontruksi yang
memiliki peran sentral yang disebut konsep. Setiap
pembentukan konsep selalu terkait dengan
kenyataan (reality), teori (theory), kata-kata
(words), dan pemikiran (thought).30 Kenyataan
membutuhkan imajinasi baik dari pengalaman
maupun imajinasi spontan untuk jadi kenyataan.
Salah satu yang tidak dimiliki oleh orang dewasa,
namun dimiliki oleh setiap anak-anak adalah
spontanitas dan keberanian. Teori merupakan
tingkat pengertian tentang sesuatu yang sudah
teruji, sehingga dapat dipakai sebagai titik tolak
bagi pemahaman hal lain.31 Lukisan anak sebagai
teori bagi orang dewasa untuk paham mengenai
esensi seni, bagaimana berkarya seni, yang pada
akhirnya mampu diaplikasikan ke dalam bidangbidang lain yang membantu dalam kehidupan.

30

Periksa Frederick Sontag, Elements of Philosophy, New York:
Charles Schribner’s Son, 1984, 141.
Rizal Muntasyir, dkk., Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2013, 138.
31

8

Belajar Dari Lukisan Anak