Apakah Islam Memiliki Doktrin tentang Si
Apakah Islam Memiliki Doktrin tentang Sistem Politik?
Di Indonesia, persoalan Islam dan negara sudah ramai dibicarakan bahkan sejak sebelum
proklamasi. Pada 1938 hingga 1940, melalui media cetak, M. Natsir dan Soekarno berdebat
tentang bentuk negara Indonesia masa depan. Natsir mewakili golongan santri sedangkan
soekarno merepresentasikan golongan nasionalis.
Anehnya, hingga pertengahan orde baru, polemik tersebut belum juga memantik tekad
kalangan cendekiawan muslim untuk menulis risalah yang komprehensif dan relatif tuntas
tentang kedudukan negara dalam Islam. Munawir Sjadzali mengisi kekosongan intelektual itu
dengan menyusun Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran.
Islam dan Tata Negara telah menjadi referensi klasik dalam lingkungan keilmuan Islam
Indonesia. Ditebitkan pada 1990, Nurcholis Madjid menyatakan bahwa buku ber-genre al-Fiqh
al-Siyasi ini “ialah sebuah karya ilmiah yang unik karena merupakan karya pertama di
bidangnya” (h. viii).
Islam dan Tata Negara bermaksud menjawab pertanyaan yang kini amat menggelisahkan:
apakah Islam memiliki doktrin tentang sistem politik? Jika ada, apakah sistem politik tersebut
masih relevan diterapkan sekarang? (h. 2). Jawaban dari pertanyaan ini penting bagi legitimasi
ideologi kelompok islamis yang berhasrat mendirikan negara Islam, baik dengan perjuangan
parlementarian maupun dengan perjuangan bersenjata.
Bila pertanyaan di atas dijawab secara positif, maka ideologi kelompok islamis dibenarkan
agama. Bila dijawab sebaliknya, maka ideologi mereka jelas tidak mendapat legitimasi agama.
Lalu, dengan pasti kita dapat mengatakan bahwa ideologi tersebut hanyalah satu tafsir, dari
sekian banyak tafsir, atas doktrin agama.
Sebelum melihat jawaban yang ditemukan Sjadzali, supaya tak terjadi kebingungan semantik
yang berujung pada debat kusir, perlu diperhatikan terlebih dahulu persepsi Sjadzali tentang
sistem politik. Sistem politik merupakan konsepsi yang berisi empat komponen. Pertama,
ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan negara. Kedua, siapa pelaksana kekuasaan
tersebut. Ketiga, apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan kepada siapa kewenangan
melaksanakan kekuasaan itu diberikan. Keempat, kepada siapa pelaksana kekuasaan itu
bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawab itu (h. 2).
Dengan kacamata teoretis tersebut, Sjadzali memeriksa kembali kandungan al-Quran dan
Sunah Nabi tentang tata negara, melakukan pengamatan historis tentang tata negara Islam sejak
masa Nabi hingga masa pasca-al-Khulafa al-Rasyidin, meneliti pemikiran politik Islam pada
zaman klasik dan kontemporer, lalu membandingkan bentuk dan dinamika negara-negara Islam
pada zaman modern, yaitu Arab Saudi, Maroko, Jordania, Mesir, Aljazair, Irak, Suriah, Turki,
dan Pakistan. Lebih dari sekadar mengulas teori tata negara dalam Islam, Sjadazali juga
mendiskusikan bagaimana implementasi teori tersebut dalam kancah sejarah.
1
Sjadzali tidak menemukan doktrin tentang sistem politik dalam al-Quran dan Sunah Nabi.
Al-Quran memang mengajarkan prinsip-prinsip tauhid, musyawarah, ketaatan kepada pemimpin,
persamaan, keadilan, kebebasan beragama, dan sikap saling menghormati antarumat beragama
(h. 2-7). “Tetapi,” tulis Syadzali, selain prinsip dan tata nilai politik itu, “baik al-Quran dan
Sunah Rasul tidak mengajarkan sistem pemerintahan tertentu yang harus dianut oleh umat islam”
(h. 233).
Semasa hidup, Nabi memang membangun semacam negara di Madinah dengan konstitusi
yang kelak dikenal sebagai Piagam Madinah. Namun demikian, Nabi meninggal tanpa memberi
petunjuk tentang mekanisme pengangkatan kepala negara, pengaturan hubungan antara
pemimpin dan rakyat, masa jabatan kepala negara, dan tata cara pelengseran pemimpin yang
gagal menjalankan amanah politik (h. 8-20; 233).
Karena itu, periode al-Khulafa al-Rasyidin menerapkan mekanisme yang bervariasi dalam
urusan politik. Khalifah pertama, Abu Bakar al-Shiddiq, diangkat berdasarkan musyawarah
terbatas yang tidak direncanakan. Khalifah kedua, Umar bin al-Khattab, diangkat menjadi kepala
negara setelah ditunjuk langsung oleh Abu Bakar. Khalifah ketiga, Usman bin Affan, naik tahta
setelah dipilih dewan formatur yang keanggotaannya ditentukan Umar. Khalifah keempat, Ali
bin Abi Thalib, juga dipilih berdasarkan musyawarah sejumlah tokoh politik (h. 21-33; 233-234).
Sjadzali menjelaskan tata negara Islam masa al-Khulafa al-Rasyidin dengan catatan merah.
Lanskap politik pada periode itu tidak indah sebagaimana bayangan sebagian pemikir politik
muslim, khususnya Abu al-A’la al-Maududi. Periode al-Khulafa al-Rasyidin diselimuti atmosfer
konflik dan pemberontakan. Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib bahkan gugur di tangan
pemberontak. Realitas politik saat itu jauh dari gambaran ideal tentang negara Islam (h. 32-33;
234).
Tidak banyak hal yang dapat diteladani dari periode al-Khulafa al-Rasyidin yang karut-marut
secara politik. Selain itu, kebutuhan politik saat itu yang masih sederhana berbeda dengan
kebutuhan politik saat ini yang sudah berkembang sedemikian kompleks. Mengakui realitas ini,
Sjadzali mengajak kita untuk berpikir, “Apakah kita yang hidup pada tingkat peradaban yang
jauh lebih maju ini harus meneladani pola politik yang diikuti umat hampir empat belas abad
yang lalu?” (h. 234-235).
Realitas politik pasca-al-Khulafa al-Rasyidin, yaitu masa Dinasti Umayyah dan Dinasti
Abbasyiah, juga tidak ideal. Muawiyah, khalifah pertama Dinasti Umayyah, menjadi kepala
negara melalui “ketajaman pedang dan tipu muslihat”, bukan melalui musyawarah (h. 34).
Sahabat Nabi itu merebut kekuasaan dari tangan menantu Nabi, Ali bin Abi Thalib, dengan caracara yang sangat “politis”.
2
Perkembangan tata negara Islam pasca-al-Khulafa al-Rasyidin diulas singkat saja. Sebab,
“selama kekuasaan Umayyah dan Abbasyiah hampir sama sekali tidak pernah terjadi perubahanperubahan yang diprakarsai atau dilakukan para penguasa yang bersifat konsepsional dan yang
mencerminkan pengembangan atau aplikasi ajaran Islam tentang negara” (h. 34).
Setelah menelisik sejarah ketatanegaraan Islam, Sjadazali menguraikan pemikiran tentang
tata negara Islam pada era klasik dan kontemporer. Pemikir klasik yang dibicarakan adalah Ibnu
Abi Rabi’, Farabi, Mawardi, Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Khaldun. Selain pemikiran Sunni,
dibicarakan pula pemikiran politik Syiah, Khawarij, dan Mu’tazilah secara ringkas. Pada era
kontemporer, pemikiran tentang tata negara Islam dikembangkan oleh Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Ali Abd al-Raziq, Thaha Husein, al-Ikhwan alMuslimin, Abu al-A’la Maududi, dan Mohammad Husain Haikal. Sjadzali juga mengomentari
pemikiran ketatanegaraan di Indonesia.
Menurutnya, pemikiran politik Islam klasik memiliki dua ciri utama. Pertama, para pemikir
politik klasik dipengaruhi alam pikiran Yunani, terutama pandangan Plato, meskipun kadar
pengaruh itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir lain. Kedua, selain Farabi, mereka
mendasarkan pikirannya atas penerimaan terhadap sistem kekuasaan yang ada pada zaman
mereka masing-masing, yaitu sistem monarki. “Bahkan”, kata Sjadzali, “di antara mereka, ada
yang dalam penyajian gagasannya bertitik tolak pada pemberian legitimasi/keabsahan kepada
sistem pemerintahan yang ada, atau mempertahankan status quo bagi kepentingan penguasa, dan
baru kemudian menawarkan saran-saran perbaikan dan reformasi” (h. 42).
Usaha dan saran mereka untuk perbaikan dan pembaruan tetap dalam rangka penerimaan
keabsahan dan pelestarian bentuk monarki. Pemikiran mereka tidak pernah melampaui atau
keluar dari batas itu. Mereka tidak pernah secara serius mendambakan kembali kepada pola
politik periode al-Khulafa al-Rasyidin (h. 235).
Menjelang akhir abad ke-19, pemikiran politik Islam mengalami perkembangan setelah
berjalan di tempat selama berabad-abad. Mulai timbul keanekaragaman dan perbedaan pendapat
yang cukup mendasar di antara para pemikir politik muslim. Variasi pemikiran ini disebabkan
tiga faktor. Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan oleh sebab-sebab
internal. Kedua, tantangan negara-negara Eropa terhadap integritas politik dan wilayah dunia
Islam yang berujung pada dominasi atau penjajahan. Ketiga, keunggulan negara-negara Eropa di
bidang ilmu, teknologi, dan organisasi (h. 204).
Sjadazali membagi pemikiran politik Islam kontemporer ke dalam tiga aliran. Pertama,
aliran yang berpendirian bahwa Islam adalah agama yang paripurna. Islam memberikan petunjuk
yang lengkap dalam semua aspek kehidupan manusia, termasuk sistem pemerintahan. Periode alKhulafa al-Rasyidin merupakan model ideal pemerintahan Islam (h. 235). Pionir aliran keras ini
adalah Rasyid Ridha, Abu al-A’la al-Maududi, dan tokoh-tokoh al-Ikhwan al-Muslimin, yaitu
Hasan al-Banna dan Sayyid Quthb (h. 1; 205).
3
Aliran kedua berkeyakinan bahwa Islam sama dengan agama-agama lain. Islam dimengerti
sebagai agama yang tidak total dan integral, yang hanya menata wilayah privat manusia secara
vertikal-spiritual. Nabi Muhammad dipandang sebagai nabi biasa tanpa misi untuk mendirikan
negara (h. 235). Juru bicara aliran sekuler ini adalah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein (h. 1;
208).
Seperti aliran kedua, aliran ketiga juga menolak anggapan bahwa dalam Islam terdapat
segala-galanya, termasuk sistem politik. Namun, pada sisi lain, aliran ini tidak setuju dengan
anggapan bahwa Islam adalah agama yang sama persis dengan agama-agama lain. Dalam Islam,
terdapat separangkat prinsip dan tata nilai etika bagi kehidupan bermasyarakat dan benegara
yang memiliki kelenturan dalam penerapannya dengan memperhatikan perbedaan zaman dan
budaya (235-6). Mohammad Husain Haikal adalah tokoh garda depan aliran moderat ini.
Komentar Syadzali tentang Mohammad Abduh dan M. Natsir, dua pemikir muslim
kontemporer, cukup mengejutkan. Menurutnya, Abduh termasuk pemikir politik yang moderat
(h. 208). Jalan politik yang ditempuh Abduh ternyata berseberangan dengan jalan politik yang
dipilih cucu muridnya: Rasyid Ridha. Natsir mengambil sikap politik yang ambivalen. Semula
dia mengambil jalan moderat seperti Mohammad Husain Haikal. Namun, dinamika politik
kemudian mendorongnya untuk berpihak pada aliran pemikiran politik pertama yang keras dan
formalistis. Lawan debatnya, Soekarno, menggali inspirasi politik dari Ali Abd al-Raziq (h. 191203).
Dalam pemikiran politik Islam, keberpihakan Sjadazali jelas. Menteri agama dua periode
semasa pemerintahan Soeharto tersebut mengambil posisi moderat. Melalui buku ini, Sjadzali
menyatakan bahwa Islam tidak memiliki doktrin sistem politik yang baku dan kaku. Di sisi lain,
Islam tidak sama dengan agama lain yang hanya memperhatikan masalah spiritual yang sifatnya
vertikal. Islam juga menata hubungan horizontal antarmanusia.
Karena itu, kendati tidak memiliki doktrin sistem politik, Islam mengajarkan prinsip dan tata
nilai politik. Doktrin ini tidak bertentangan dengan Pancasila, ideologi negara republik
Indonesia. Dari segi prinsip dan tata nilai politik, Sjadzali menegaskan bahwa al-Quran dan
Pancasila memiliki persamaan, termasuk juga dalam hal semangatnya (h. 236). Setelah
mencermati bentuk dan dinamika negara-negara Islam pada masa modern, dia juga
menyimpulkan bahwa “pengembangan dan pengamalan Islam di negara kita yang berdasarkan
Pancasila ini paling kurang sama maju dan semaraknya bila dibandingkan dengan negara-negara
Islam yang ada” (h. 237).
4
Judul Buku
: Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Edisi ke-5)
Pengarang
: Munawir Sjadzali
Penerbit
: UI Press
Tahun Terbit
: Ed. I, 1990; Ed. II, 1990; Ed. III, 1991; Ed. IV, 1992, Ed. V, 1993.
Halaman
: 240 + xii
5
Di Indonesia, persoalan Islam dan negara sudah ramai dibicarakan bahkan sejak sebelum
proklamasi. Pada 1938 hingga 1940, melalui media cetak, M. Natsir dan Soekarno berdebat
tentang bentuk negara Indonesia masa depan. Natsir mewakili golongan santri sedangkan
soekarno merepresentasikan golongan nasionalis.
Anehnya, hingga pertengahan orde baru, polemik tersebut belum juga memantik tekad
kalangan cendekiawan muslim untuk menulis risalah yang komprehensif dan relatif tuntas
tentang kedudukan negara dalam Islam. Munawir Sjadzali mengisi kekosongan intelektual itu
dengan menyusun Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran.
Islam dan Tata Negara telah menjadi referensi klasik dalam lingkungan keilmuan Islam
Indonesia. Ditebitkan pada 1990, Nurcholis Madjid menyatakan bahwa buku ber-genre al-Fiqh
al-Siyasi ini “ialah sebuah karya ilmiah yang unik karena merupakan karya pertama di
bidangnya” (h. viii).
Islam dan Tata Negara bermaksud menjawab pertanyaan yang kini amat menggelisahkan:
apakah Islam memiliki doktrin tentang sistem politik? Jika ada, apakah sistem politik tersebut
masih relevan diterapkan sekarang? (h. 2). Jawaban dari pertanyaan ini penting bagi legitimasi
ideologi kelompok islamis yang berhasrat mendirikan negara Islam, baik dengan perjuangan
parlementarian maupun dengan perjuangan bersenjata.
Bila pertanyaan di atas dijawab secara positif, maka ideologi kelompok islamis dibenarkan
agama. Bila dijawab sebaliknya, maka ideologi mereka jelas tidak mendapat legitimasi agama.
Lalu, dengan pasti kita dapat mengatakan bahwa ideologi tersebut hanyalah satu tafsir, dari
sekian banyak tafsir, atas doktrin agama.
Sebelum melihat jawaban yang ditemukan Sjadzali, supaya tak terjadi kebingungan semantik
yang berujung pada debat kusir, perlu diperhatikan terlebih dahulu persepsi Sjadzali tentang
sistem politik. Sistem politik merupakan konsepsi yang berisi empat komponen. Pertama,
ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan negara. Kedua, siapa pelaksana kekuasaan
tersebut. Ketiga, apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan kepada siapa kewenangan
melaksanakan kekuasaan itu diberikan. Keempat, kepada siapa pelaksana kekuasaan itu
bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawab itu (h. 2).
Dengan kacamata teoretis tersebut, Sjadzali memeriksa kembali kandungan al-Quran dan
Sunah Nabi tentang tata negara, melakukan pengamatan historis tentang tata negara Islam sejak
masa Nabi hingga masa pasca-al-Khulafa al-Rasyidin, meneliti pemikiran politik Islam pada
zaman klasik dan kontemporer, lalu membandingkan bentuk dan dinamika negara-negara Islam
pada zaman modern, yaitu Arab Saudi, Maroko, Jordania, Mesir, Aljazair, Irak, Suriah, Turki,
dan Pakistan. Lebih dari sekadar mengulas teori tata negara dalam Islam, Sjadazali juga
mendiskusikan bagaimana implementasi teori tersebut dalam kancah sejarah.
1
Sjadzali tidak menemukan doktrin tentang sistem politik dalam al-Quran dan Sunah Nabi.
Al-Quran memang mengajarkan prinsip-prinsip tauhid, musyawarah, ketaatan kepada pemimpin,
persamaan, keadilan, kebebasan beragama, dan sikap saling menghormati antarumat beragama
(h. 2-7). “Tetapi,” tulis Syadzali, selain prinsip dan tata nilai politik itu, “baik al-Quran dan
Sunah Rasul tidak mengajarkan sistem pemerintahan tertentu yang harus dianut oleh umat islam”
(h. 233).
Semasa hidup, Nabi memang membangun semacam negara di Madinah dengan konstitusi
yang kelak dikenal sebagai Piagam Madinah. Namun demikian, Nabi meninggal tanpa memberi
petunjuk tentang mekanisme pengangkatan kepala negara, pengaturan hubungan antara
pemimpin dan rakyat, masa jabatan kepala negara, dan tata cara pelengseran pemimpin yang
gagal menjalankan amanah politik (h. 8-20; 233).
Karena itu, periode al-Khulafa al-Rasyidin menerapkan mekanisme yang bervariasi dalam
urusan politik. Khalifah pertama, Abu Bakar al-Shiddiq, diangkat berdasarkan musyawarah
terbatas yang tidak direncanakan. Khalifah kedua, Umar bin al-Khattab, diangkat menjadi kepala
negara setelah ditunjuk langsung oleh Abu Bakar. Khalifah ketiga, Usman bin Affan, naik tahta
setelah dipilih dewan formatur yang keanggotaannya ditentukan Umar. Khalifah keempat, Ali
bin Abi Thalib, juga dipilih berdasarkan musyawarah sejumlah tokoh politik (h. 21-33; 233-234).
Sjadzali menjelaskan tata negara Islam masa al-Khulafa al-Rasyidin dengan catatan merah.
Lanskap politik pada periode itu tidak indah sebagaimana bayangan sebagian pemikir politik
muslim, khususnya Abu al-A’la al-Maududi. Periode al-Khulafa al-Rasyidin diselimuti atmosfer
konflik dan pemberontakan. Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib bahkan gugur di tangan
pemberontak. Realitas politik saat itu jauh dari gambaran ideal tentang negara Islam (h. 32-33;
234).
Tidak banyak hal yang dapat diteladani dari periode al-Khulafa al-Rasyidin yang karut-marut
secara politik. Selain itu, kebutuhan politik saat itu yang masih sederhana berbeda dengan
kebutuhan politik saat ini yang sudah berkembang sedemikian kompleks. Mengakui realitas ini,
Sjadzali mengajak kita untuk berpikir, “Apakah kita yang hidup pada tingkat peradaban yang
jauh lebih maju ini harus meneladani pola politik yang diikuti umat hampir empat belas abad
yang lalu?” (h. 234-235).
Realitas politik pasca-al-Khulafa al-Rasyidin, yaitu masa Dinasti Umayyah dan Dinasti
Abbasyiah, juga tidak ideal. Muawiyah, khalifah pertama Dinasti Umayyah, menjadi kepala
negara melalui “ketajaman pedang dan tipu muslihat”, bukan melalui musyawarah (h. 34).
Sahabat Nabi itu merebut kekuasaan dari tangan menantu Nabi, Ali bin Abi Thalib, dengan caracara yang sangat “politis”.
2
Perkembangan tata negara Islam pasca-al-Khulafa al-Rasyidin diulas singkat saja. Sebab,
“selama kekuasaan Umayyah dan Abbasyiah hampir sama sekali tidak pernah terjadi perubahanperubahan yang diprakarsai atau dilakukan para penguasa yang bersifat konsepsional dan yang
mencerminkan pengembangan atau aplikasi ajaran Islam tentang negara” (h. 34).
Setelah menelisik sejarah ketatanegaraan Islam, Sjadazali menguraikan pemikiran tentang
tata negara Islam pada era klasik dan kontemporer. Pemikir klasik yang dibicarakan adalah Ibnu
Abi Rabi’, Farabi, Mawardi, Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Khaldun. Selain pemikiran Sunni,
dibicarakan pula pemikiran politik Syiah, Khawarij, dan Mu’tazilah secara ringkas. Pada era
kontemporer, pemikiran tentang tata negara Islam dikembangkan oleh Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Ali Abd al-Raziq, Thaha Husein, al-Ikhwan alMuslimin, Abu al-A’la Maududi, dan Mohammad Husain Haikal. Sjadzali juga mengomentari
pemikiran ketatanegaraan di Indonesia.
Menurutnya, pemikiran politik Islam klasik memiliki dua ciri utama. Pertama, para pemikir
politik klasik dipengaruhi alam pikiran Yunani, terutama pandangan Plato, meskipun kadar
pengaruh itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir lain. Kedua, selain Farabi, mereka
mendasarkan pikirannya atas penerimaan terhadap sistem kekuasaan yang ada pada zaman
mereka masing-masing, yaitu sistem monarki. “Bahkan”, kata Sjadzali, “di antara mereka, ada
yang dalam penyajian gagasannya bertitik tolak pada pemberian legitimasi/keabsahan kepada
sistem pemerintahan yang ada, atau mempertahankan status quo bagi kepentingan penguasa, dan
baru kemudian menawarkan saran-saran perbaikan dan reformasi” (h. 42).
Usaha dan saran mereka untuk perbaikan dan pembaruan tetap dalam rangka penerimaan
keabsahan dan pelestarian bentuk monarki. Pemikiran mereka tidak pernah melampaui atau
keluar dari batas itu. Mereka tidak pernah secara serius mendambakan kembali kepada pola
politik periode al-Khulafa al-Rasyidin (h. 235).
Menjelang akhir abad ke-19, pemikiran politik Islam mengalami perkembangan setelah
berjalan di tempat selama berabad-abad. Mulai timbul keanekaragaman dan perbedaan pendapat
yang cukup mendasar di antara para pemikir politik muslim. Variasi pemikiran ini disebabkan
tiga faktor. Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan oleh sebab-sebab
internal. Kedua, tantangan negara-negara Eropa terhadap integritas politik dan wilayah dunia
Islam yang berujung pada dominasi atau penjajahan. Ketiga, keunggulan negara-negara Eropa di
bidang ilmu, teknologi, dan organisasi (h. 204).
Sjadazali membagi pemikiran politik Islam kontemporer ke dalam tiga aliran. Pertama,
aliran yang berpendirian bahwa Islam adalah agama yang paripurna. Islam memberikan petunjuk
yang lengkap dalam semua aspek kehidupan manusia, termasuk sistem pemerintahan. Periode alKhulafa al-Rasyidin merupakan model ideal pemerintahan Islam (h. 235). Pionir aliran keras ini
adalah Rasyid Ridha, Abu al-A’la al-Maududi, dan tokoh-tokoh al-Ikhwan al-Muslimin, yaitu
Hasan al-Banna dan Sayyid Quthb (h. 1; 205).
3
Aliran kedua berkeyakinan bahwa Islam sama dengan agama-agama lain. Islam dimengerti
sebagai agama yang tidak total dan integral, yang hanya menata wilayah privat manusia secara
vertikal-spiritual. Nabi Muhammad dipandang sebagai nabi biasa tanpa misi untuk mendirikan
negara (h. 235). Juru bicara aliran sekuler ini adalah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein (h. 1;
208).
Seperti aliran kedua, aliran ketiga juga menolak anggapan bahwa dalam Islam terdapat
segala-galanya, termasuk sistem politik. Namun, pada sisi lain, aliran ini tidak setuju dengan
anggapan bahwa Islam adalah agama yang sama persis dengan agama-agama lain. Dalam Islam,
terdapat separangkat prinsip dan tata nilai etika bagi kehidupan bermasyarakat dan benegara
yang memiliki kelenturan dalam penerapannya dengan memperhatikan perbedaan zaman dan
budaya (235-6). Mohammad Husain Haikal adalah tokoh garda depan aliran moderat ini.
Komentar Syadzali tentang Mohammad Abduh dan M. Natsir, dua pemikir muslim
kontemporer, cukup mengejutkan. Menurutnya, Abduh termasuk pemikir politik yang moderat
(h. 208). Jalan politik yang ditempuh Abduh ternyata berseberangan dengan jalan politik yang
dipilih cucu muridnya: Rasyid Ridha. Natsir mengambil sikap politik yang ambivalen. Semula
dia mengambil jalan moderat seperti Mohammad Husain Haikal. Namun, dinamika politik
kemudian mendorongnya untuk berpihak pada aliran pemikiran politik pertama yang keras dan
formalistis. Lawan debatnya, Soekarno, menggali inspirasi politik dari Ali Abd al-Raziq (h. 191203).
Dalam pemikiran politik Islam, keberpihakan Sjadazali jelas. Menteri agama dua periode
semasa pemerintahan Soeharto tersebut mengambil posisi moderat. Melalui buku ini, Sjadzali
menyatakan bahwa Islam tidak memiliki doktrin sistem politik yang baku dan kaku. Di sisi lain,
Islam tidak sama dengan agama lain yang hanya memperhatikan masalah spiritual yang sifatnya
vertikal. Islam juga menata hubungan horizontal antarmanusia.
Karena itu, kendati tidak memiliki doktrin sistem politik, Islam mengajarkan prinsip dan tata
nilai politik. Doktrin ini tidak bertentangan dengan Pancasila, ideologi negara republik
Indonesia. Dari segi prinsip dan tata nilai politik, Sjadzali menegaskan bahwa al-Quran dan
Pancasila memiliki persamaan, termasuk juga dalam hal semangatnya (h. 236). Setelah
mencermati bentuk dan dinamika negara-negara Islam pada masa modern, dia juga
menyimpulkan bahwa “pengembangan dan pengamalan Islam di negara kita yang berdasarkan
Pancasila ini paling kurang sama maju dan semaraknya bila dibandingkan dengan negara-negara
Islam yang ada” (h. 237).
4
Judul Buku
: Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Edisi ke-5)
Pengarang
: Munawir Sjadzali
Penerbit
: UI Press
Tahun Terbit
: Ed. I, 1990; Ed. II, 1990; Ed. III, 1991; Ed. IV, 1992, Ed. V, 1993.
Halaman
: 240 + xii
5