POLA ALI DASAR PENDIDIKAN ISLAM

1

POLA DASAR PENDIDIKAN ISLAM
Muh. Idris
Email : idristunru02@gmail.com
IAIN Manado
Jl. Dr. SH. Sarundajang Kawasan Ringroad I Manado
A. Pendahuluan
Pendidikan Islam merupakan salah satu disiplin ilmu keislaman yang memiliki daya
tarik sendiri untuk dikaji secara lebih mendalam dan komprehensif sehingga selalu hangat
untuk dibicarakan, terutama oleh kalangan akademisi. Hal ini karena pendidikan Islam
berperan untuk membina manusia secara utuh dan seimbang, baik dari segi aspek rohani
maupun jasmani. ( Mahmud dalam Heri Gunawan: 2014, h. iii). Secara ideal pendidikan
Islam berusaha mengantarkan manusia mencapai keseimbangan pribadi secara menyeluruh.
Hal ini dapat dilakukan melalui latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan
ataupun pancaindra. Oleh karena itu pendidikan Islam berupaya mengembangkan semua
aspek dalam kehidupan manusia yang meliputi spiritual, intelektual, imajinasi, keilmiahan
dan lain-lain baik secara individu maupun kelompok menuju kebaikan dan pencapaian
kesempurnaan hidup baik dalam hubungannya dengan Khalik, sesama manusia, dan alam.
(Muslih Usa: 1991, h. 8)
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Hasan Langgulung (Hasan Langgulung :

1993, h. 62) yang menjelaskan bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses spiritual, akhlak,
intelektual, dan social yang berusaha membimbing manusia baik individu maupun social
yang berusaha membimbing manusia dan memberinya nilai-nilai, prinsip-prinsip dan teladan
ideal dalam kehidupan yang bertujuan mempersiapkan kehidupan dunia akhirat. Sementara
itu menurut Ahmad Watik Pratiknya (Ahmad Watik Pratiknya, “Muslih Usa, (Ed), 1991, h.
99) menjelaskan bahwa pendidikan agama (pendidikan Islam) adalah suatu upaya untuk
mengembangkan/mengarahkan anak didik supaya dapat menjadi manusia masa depan yang
ideal, dengan cara menjadikan anak didik tersebut sebagai manusia yang lebih lengkap dalam
dimensi religiusnya. Hal ini berarti, suatu proses pengkondisian agar anak didik menjadi
lebih mengetahui, memahami, mengimani, dan mengamalkan agamanya sebagai ajaran yang
menjadi pandangan dan pedoman hidup.
Oleh karena itu pendidikan benar-benar merupakan latihan fisik, mental dan moral
bagi individu-individu agar mereka menjadi manusia yang berbudaya sehingga mampu
menunaikan fungsi dan tugas khalifah-Nya di bumi serta berhasil mewujudkan kebahagiaan
di dunia dan akhirat. (Azyumardi Azra : 2002, h. ix). Pendidikan adalah sebuah proses
pembentukan karakter manusia yang tidak pernah berhenti, guna meningkatkan harkat dan
martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat. (Bambang Pranowo dalam Marwan
Saridjo : 2009, h. 25)

2

B.

Pengertian Pendidikan Islam
Dalam sejarah pendidikan Indonesia maupun dalam studi kependidikan, sebutan
pendidikan Islam umumnya dipahami sebatas sebagai “ciri khas” jenis pendidikan yang
berlatar belakang keagamaan. Demikian pula batasan yang ditetapkan dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (A.Malik Fadjar : 1998, h.3).
Batasan yang sama juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem pendidikan Nasional.
A.Malik Fadjar dengan mengutip pendapat Zarkowi Soejoeti mengemukakan bahwa
Pendidikan Islam paling tidak mempunyai tiga pengertian. Pertama, lembaga pendidikan
Islam itu pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat mengejewantahkan nilainilai Islam yang tercermin dalam nama lembaga pendidikan itu dan kegiatan-kegiatan yang
diselenggarakan. Dalam pengertian ini Islam dilihat sebagai sumber nilai yang harus
diwujudkan dalam kehidupan lembaga pendidikan yang bersangkutan. Kedua, lembaga
pendidikan yang memberikan perhatian dan yang menyelenggarakan kajian tentang Islam
yang tercermin dalam program kajian sebagai ilmu dan diperlakukan sebagai ilmu-ilmu lain
yang menjadi program kajian lembaga pendidikan Islam yang bersangkutan. Ketiga,
mengandung dua pengertian di atas dalam arti lembaga tersebut memperlakukan Islam
sebagai sumber nilai bagi sikap dan tingkah laku yang harus tercermin dalam
penyelenggaraannya maupun sebagai bidang kajian yang tercermin dalam program

kajiannya.( A.Malik Fadjar, 2006, h.144-145).
Konsep pendidikan Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Zarkowi Soejoeti
tersebut menurut A.Malik Fadjar walaupun belum memadai secara falsafi untuk disebut
sebagai pendidikan Islam, tetapi dapat dijadikan sebagai pengantar dalam memahami
pendidikan Islam secara lebih mendasar. (A. Malik Fadjar, 199, h. 31)
Berdasarkan pengertian ini A.Malik Fadjar berpendapat bahwa keberadaan pendidikan Islam
tidak sekedar menyangkut persoalan ciri khas, melainkan lebih mendasar lagi yaitu tujuan
yang diidamkan dan diyakini sebagai yang paling ideal yaitu insân kâmil atau muslim
paripurna. (A. Malik Fadjar, 1998, h. 4)
Orientasi pendidikan Islam ini, sekaligus mempertegas bahwa misi dan tanggung
jawab yang diemban pendidikan Islam lebih berat lagi. Dalam pembicaraan ini jenis dan
pengertian pendidikan Islam mencakup ketiga-tiganya, karena memang ketiga-tiganya itu
yang selama ini tumbuh serta berkembang di Indonesia dan sudah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari sejarah maupun kebijakan pendidikan secara nasional. Bahkan tidak
berlebihan kalau secara politis dikatakan bahwa kehadiran dan keberadaannya merupakan
bagian dari andil umat Islam dalam perjuangan maupun dalam mengisi kemerdekaan.
A.Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, h. 4
Azyumardi Azra berpendapat bahwa banyak yang bisa dijual dari Islam, (Azyumardi
Azra : 2000, h.132), termasuk aspek disiplin, kerja keras, keadilan, demokrasi, musawarah,
HAM, perdamaian dan semacamnya. Orang Islam percaya bahwa Islam adalah rahmatan lil


3
álamiin. Oleh karena itu pendidikan Islam bertujuan menciptakan insan kamil. Terbinanya
kepribadian muslim atau insan kamil yang merupakan ketetapan tujuan pendidikan Islam
masih merupakan idea statis. Namun kualitasnya dinamis dan berkembang nilai-nilainya.
Tujuan pendidikan Islam itu sarat dengan nilai-nilai fundamental yang memungkinkan
terwujudnya kepribadian muslim atau insân kâmil yaitu yang kondisi fisik dan mentalnya
merupakan satu kesatuan secara terpadu. Sehingga dalam penampilan dan kegiatannya tidak
terjadi dikotomi antara jasmani dan rohani, duniawi dan ukhrawi. (A.Malik Fadjar, dalam
Imron Nasri dan A. Hasan Kunio, (Ed) : 1994, h. 21-22).
Sedangkan menurut Hamka, bahwa untuk membentuk peserta didik yang memiliki
kepribadian paripurna, maka eksistensi pendidikan agama merupakan sebuah kemestian yang
harus diajarkan, meskipun pada sekolah-sekolah umum. Namun demikian dalam dataran
operasional prosesnya hanya tidak dilakukan sebatas mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi
jauh lebih penting adalah bagaimana ilmu yang mereka peroleh mampun membuahkan suatu
sikap yang baik sesuai dengan pesan nilai ilmu yang dimilikinya. (Hamka, :1962, h. 204).
Pendidikan bukan berarti hanya berorientasi pada hal-hal yang bersifat metafisik belaka.
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalîfah fi al-ardl, manusia juga memerlukan
pendidikan yang bersifat material. Hanya melalui pendekatan kedua proses tersebut manusia
akan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya.

Berkaitan dengan tujuan pendidikan Islam, Hamka menyatakan bahwa pendidikan Islam
bertujuan mengenal dan mencari keridaan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak
mulia, serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna di tengahtengah komunitas sosialnya. (Hamka,: 1983, h. 2-3)
C.Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam pada dasarnya untuk mencapai derajat menuju iman dan
taqwa kepada Allah Swt. Dalam proses pencapaian tersebut, didasarkan pada materi
pembelajarannya, jam pelajarannya dan metode penyampaiannya. Target pencapaiannya
pada dasarnya membentuk insan kamil.
Menurut al-Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman
menyatakan bahwa tujuan umum pendidikan Islam tercermin dalam dua segi yaitu:
1. Insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah
2. Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Kebahagiaan di dunia dan akhirat dalam pandangan al-Ghazali adalah menempatkan
kebahagiaan dalam proporsi yang sebenarnya. Kebahagiaan yang lebih memiliki nilai
universal, abadi, dan lebih hakiki itulah yang diprioritaskan. (Fathiyah Hasan Sulaiman :
1986, h. 24)
Terbinanya kepribadian muslim ini menurut A.Malik Fadjar nampak pada diri K.H
Ahmad Dahlan (1868-1923) yang mencita-citakan pendidikan yang memberikan kedamaian
yang diselenggarakannya dengan a). baik budi dalam agama, b). luas pandangan, dan c).
bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat. Dengan perkataan lain bahwa perwujudan


4
pendidikan Islam K.H Ahmad Dahlan menurut A.Malik Fadjar mengacu pada tiga matra
yang saling terkait, yaitu: 1). Tauhid yang akan mendudukkan harkat manusia sebagai insân
ahsani taqwîm, punya daya tahan terhadap segala ujian hidup dan siap memihak kepada
kebenaran. 2). Jiwa dan pandangan hidup Islam yang akan membawa cita rahmatan lil
alamîn. 3). Kemajuan yang akan menempatkan manusia hidup kreatif.
Tiga matra ini sifatnya masih normatif, oleh karena itu masalah yang dihadapi adalah
bagaimana menfungsikan yang normatif ini sehingga berhasil guna sebagai self realization
maupun pemberi jawaban terhadap realita hidup dan kehidupan kini serta mendatang dalam
perolehan duniawi dan ukhrawi yang hasanah. (A.Malik Fadjar, dalam Imron Nasri dan A.
Hasan Kunio, (Ed : 1994, h. 22)
Athiyah al-Abrasyi dalam kajiannya tentang pendidikan Islam menyimpulkan lima
tujuan yang asasi dalam pendidikan Islam yaitu: untuk membantu pembentukan akhlak yang
mulia, mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat, persiapan untuk mencari rezki dan
menjaga kemaslahatan, menumbuhkan roh ilmiah pada anak didik dan memenuhi rasa
keingintahuannya serta memungkinkan untuk mengkaji berbagai ilmu, menyiapkan anak
didik untuk menguasai profesi tertentu. 1 (Muhammad Athiyah al-Abrasyi :1969, h. 37). Di
samping itu dengan pendidikan, seseorang dimungkinkan mengenal diri dan alam sekitarnya.
(Muhammad Athiyah al-Abrasyi, : t.th, h. 263).

Ahmad Tafsir menyatakan bahwa tujuan pendidikan terkait dengan pandangan hidup.
Jika pandangan hidupnya adalah Islam, maka tujuan pendidikan harus dari ajaran Islam.
(Ahmad Tafsir, : 1994, h. 46), Sementara itu menurut al-Attas tujuan pendidikan Islam adalah
tercapainya manusia yang baik. (Syed Muhammad al-Nuqaib al-Attas, :1979, h. 1),
sedangkan menurut Marimba, tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya kepribadian
muslim.(Ahmad D. Marimba : h. 37). Dengan pendidikan akan terwujudnya keseimbangan
dalam diri seseorang dalam bentuk pemenuhan kebutuhan badan, jiwa, pikiran, dan perbuatan
yang akan melahirkan akhlak yang mulia, kasih sayang, dan tolong menolong. (Hasan
Syahâtah, : 1994, h. 21).
Al-Kailani menyatakan bahwa pendidikan Islam berorientasi pada kelangsungan
eksistensi manusia dan juga peningkatan harkat kemanusiaannya. (Majîd Irsân al-Kailâni, :
1988), h. 83. Sedangkan menurut al-Nahlawi tujuan pendidikan Islam adalah pembebasan
dan penyelamatan anak didik. (Abdurrahman al-Nahlawi : 1996, h. 20) Sehingga ia dapat
mengenal agama baik secara teori maupun prakteknya. (Ahmad Fu’ad al-Ahwani : t.th, h.
97)Sementara itu Muhammad Abduh menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah mendidik
akal dan jiwa dan menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. (Muhammad Rasyid Ridha, : 1931, Jilid II, h. 17).
Dengan tujuan ini ia menginginkan terbentuknya pribadi yang mempunyai struktur jiwa yang
seimbang, yang tidak hanya menekankan pada perkembangan akal, tetapi juga perkembangan
spiritual. Pendidikan akal ditujukan sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berfikir dan

dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk, antara yang berguna dengan yang

5
membawa kemelaratan diri. Di samping pendidikan akal, ia pun mementingkan pendidikan
spiritual. Dengan demikian ia tidak hanya mengharapkan lahirnya generasi yang mampu
berfikir tetapi juga yang memiliki akhlak yang mulia dan jiwa yang bersih. Dengan
pendidikan spiritual diharapkannya moral yang tinggi akan terbentuk, sehingga sikap-sikap
yang mencerminkan kerendahan moral dapat terhapuskan. Dengan demikian kedua aspek,
akal dan spiritual menjadi sasaran utama pendidikan Muhammad Abduh. Ia berkeyakinan
bila kedua aspek tersebut dididik dengan akhlak agama maka umat Islam akan dapat berpacu
dengan Barat dalam menemukan ilmu pengetahuan baru dan dapat mengimbangi mereka
dalam kebudayaan. (Muhammad Rasyid Ridha, Târikh al-Ustâz al-Imâm al-Syaikh
Muhammad Abduh, Jilid II, h. 17, 420).
Pendidikan perlu menjadi bekal demi kesiapan manusia untuk memahami
keberagaman manifestasi nilai-nilai dalam peri kehidupannya sebagai anggota masyarakat.
(Fuad Hassan, 1975, h. 64). Kesanggupan untuk memahami keberagaman itu menurut Fuad
Hasan harus sudah mulai dibentuk melalui sistem pendidikan nasional sejak jenjang
pendidikan dasar dan berlanjut pada jenjang berikutnya. Bentuk penyajiannya tentu
disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. Pendidikan tidak hanya terpusat pada
usaha pencerdasan logika, tetapi juga pada terbentuknya kepedulian etika dan kepekaan

estetika. Upaya peningkatan kesadaran religius bisa ditambahkan sebagaimana berlaku di
Indonesia menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pendidikan melalui upaya dalam lingkungan keluarga juga meliputi usaha sosialisasi yang
menyiapkan manusia sebagai warga masyarakat. Perkenalan peserta didik dengan berbagai
bidang itu dapat disiapkan sepanjang perjalanan pendidikannya, baik melalui jalur sekolah
maupun luar sekolah. Perkenalan dengan berbagai ranah itu memperluas spektrum pilihan
bagi peserta didik untuk memiliki nilai yang dijadikan orientasi bagi perkembangan
dirinya.Peserta didik harus diperkenalkan ke berbagai bidang. Perkenalan itu akhirnya
membuka perspektif bagi seseorang untuk membuat pilihan, apakah ia ingin menjadi homo
religiosus, homo aestheticus, homo politicus, homo economicus, homo academicus, dan
sebagainya. (Fuad Hassan, 1975, h. 64)
Azyumardi Azra menjelaskan bahwa pendidikan Islam mempunyai beberapa
karakteristik, yaitu: Pertama, penekanan pada pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan dan
pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah. Kedua, pengakuan akan potensi dan
kemampuan seseorang untuk berkembang dalam suatu kepribadian, setiap pencari ilmu
dipandang sebagai makhluk Tuhan yang perlu dihormati dan disantuni, agar potensi-potensi
yang dimilikinya dapat teraktualisasi dengan sebaik-baiknya. Ketiga, pengamalan ilmu
pengetahuan atas dasar tanggung jawab kepada Tuhan dan masyarakat manusia. Di sini
pengetahuan bukan hanya untuk diketahui dan dikembangkan, melainkan sekaligus
dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Dengan demikian terdapat konsistensi antara apa-apa

yang diketahui dengan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. (Azyumardi Azra :1999,

6
h. 10).
Dinamika kehidupan manusia mesti merujuk pada ajaran agama. Berbagai
pendidikan di Indonesia menurut A. Malik Fadjar memiliki prinsip dasar yang tertera dalam
al-Quran dan sunnah.(A. Malik Fadjar, kata pengantar dan editor “Islam dan Dinamika
Kebebasan Akademi”, dalam Ahmed O. Altawaijri : 1983, h. 3). Dengan demikian kaidahkaidah agama tidak sekedar menjadi pewarna, tetapi merupakan sumber inspirasi dan
melandasi setiap aktivitas dan derap kehidupan manusia. Sebagai agama terakhir, Islam
menawarkan sekian prinsip mulia yang terkait dengan pendidikan. Surat al-Alaq dan al-Ashr,
misalnya secara implisit mengajarkan prinsip-prinsip pendidikan dalam meningkatkan
kedisiplinan dalam etika perburuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam peningkatan etos
kerja. Surat al-Alaq ayat 1-5, adalah wahyu pertama yang diturunkan Allah kepeda
Muhammad Saw. Melalui firman itu, Allah mengajak dialog kepada manusia untuk membaca
alam semesta, diri manusia dan lingkungan sekitarnya mencakup berbagai aspek kehidupan
pendidikan, sosial, politik, ekonomi dan budaya. A. Malik Fadjar berpendapat bahwa
manusia yang berkualitas menurut al-Qur’an, paling tidak bertumpu pada tiga indikator
yakni: 1)Berkualitas dalam berfikir, 2)Berkualitas dalam berzikir dan berkualitas dalam
berkarya/beramal. (A.Malik Fadjar : 14 Mei 1999)
Ali Ashraf menyatakan bahwa manusia dalam Islam dianggap sebagai wakil Tuhan

di bumi dan seluruh ciptaan lainnya tunduk kepada manusia. (Syed Ali Ashraf :1985, h.3).
Dengan kebesaran-Nya, Tuhan menciptakan segalanya dari tiada menjadi ada. Menurut alQur’an Tuhan adalah awal dan akhir, satu-satunya Yang Maha Kuasa pada awalnya yang
hingga akhirnya tetap satu juga. Kesatuan itulah yang menjadi kekuatan di alam ini dan itulah
yng dijadikan potensi untuk membangun peradaban manusia.
Dalam proses pendidikan untuk memulai segala sesuatu diawali dengan
ketidaktahuan, sebagaimana Nabi Muhammad pertama kali menerima wahyu. Kemudian
secara bertahap dapat mengetahui segala sesuatu sesuai dengan usahanya dan itu melalui
guru (Jibril) sebagai medium pengajaran. Dengan proses pendidikan tersebut dalam konteks
kekinian dilakukan melalui lembaga pendidikan sehingga dapat terukur pada proses
pendidikannya.
Pendidikan Islam memberi semangat untuk selalu menuntut ilmu dari manapun juga.
Nabi secara simbolik menyampaikan pesan edukasinya untuk mencari ilmu walaupun di
negeri Cina (uthlub al-‘ilm wa lau bi al-shin). Di lain sisi Surat al-Ashr menunjukkan betapa
penting dan mahal waktu bagi manusia. Allah mengawali surah itu dengan sumpah “Demi
Masa” ( wa al- Ashri ) kemudian diteruskan dengan penegasan kelompok manusia yang tidak
beruntung. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta mereka yang terbiasa
dengan budaya kritik dan evaluasi dalam kebenaran dan kesabaran. Sumpah Allah tentang
betapa mahal waktu yang menunjukkan bahwa ukuran kesuksesan manusia ditentukan
dengan kecerdasan mempergunakan dan mendayagunakan waktu. Maka maksimalkan waktu
secara efisien dan efektif yakini anda akan beruntung.

7
C. Orientasi Pendidikan Islam
Orientasi umat Islam sekitar tujuh abad menguasai dunia tak terpisah dari semangat
kompetisi positif, dan budaya kritik konstruktif, serta pendidikan yang membebaskan. Masa
kejayaan yang dikenyam umat Islam tidak terbatas pada periode maupun geografis tertentu.
Masa ini melibatkan lebih dari satu periode dan mencakup beberapa kawasan. A.Malik
Fadjar mengutip pandangan Ahmad Othman al-Tawaijri, bahwa masa keemasan itu terbagi
atas tiga tahapan. Pertama, masa Nabi Saw., yang ditandai dengan kemerdekaan
merumuskan pemikiran-pemikiran aktual dan kontekstual atas dasar al-Qur’an dan Sunnah.
Semangat intelektual ini kemudian dikenal dengan sebutan ijtihad yang dirumuskan sebagai
upaya maksimal setiap muslim merumuskan keputusan-keputusan (kesimpulan-kesimpulan)
hukum dari dua ajaran Islam itu. (A. Malik Fadjar, kata pengantar dan editor “Islam dan
Dinamika Kebebasan Akademi”, dalam Ahmed O. Altawaijri, h.6-7).
Pada fase kedua, merupakan masa penafsiran perorangan dan kolektif yang
menjamur setelah Nabi saw. wafat. Kelompok-kelompok suku di Madinah terlibat dalam
perdebatan yang panas tentang berbagai persoalan. Masalah hukum yang bermuara pada
persoalan politik kemudian tercatat sebagai tema sentral yang paling dominan. Pergumulan
pemikiran yang semakin mewarnai dinamika umat Islam ditandai dengan kehadiran para
cendikiawan (ulama) yang menggantikan posisi dan peran Nabi dalam menyebarluaskan
ajaran Islam. Meski tak terhindar dari friksi-friksi yang terlibat dalam perselisihan politik dan
pertikaian fisik, namun secara umum mereka merujuk kepada semangat Islam yang
membolehkan berbeda pendapat.
Ketiga, keterpanggilan para cendikiawan muslim memadukan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi dengan ajaran Islam. (A. Malik Fadjar, kata pengantar dan editor “Islam dan
Dinamika Kebebasan Akademi”, dalam Ahmed O. Altawaijri, h.7-8).
Oleh karena itu berkaitan dengan prestasi yang dicapai oleh umat Islam, semuanya
itu tidak tidak terlepas dari sikap dan wawasan keagamaan yang dimiliki oleh seorang
muslim. Orientasi pada sikap dan wawasan keagamaan seorang muslim tercermin dalam
pandangannya terhadap alam, manusia dan Islam, serta hubungan agama dan ilmu
pengetahuan.
1. Tentang Alam
pandangan Islam tentang alam berbeda dengan pandangan filsafat idealisme ataupun
materialisme. Filsafat idealisme yang mengatakan bahwa dunia materi atau alam ini tidak riil,
yang sebenarnya dalam kenyataan ialah ide, kesadaran dan sebagainya. Sedangkan alam ini
tidak lain adalah bayang-bayang pancaran atau gambaran dari dunia ide. (A. Malik Fadjar
dan Abdul Ghofir : 1981, h.16-25). Pandangan Islam tentang alam adalah bahwa alam
merupakan sesuatu ciptaan Tuhan secara sengaja sehingga wujud alam adalah nyata dan
kongkrit, sebagaimana firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 19. Selain itu Tuhan
menetapkan alam dengan hukum-hukum dan pola-pola yang tidak berubah yang menjadi
hukum dan undang-undang alam (sunnatullah). Hal ini seperti dinyatakan dalam surat alQashas ayat 88.

8
2. Tentang Manusia
Manusia sebagai salah satu makhluk ciptaan Tuhan telah mengundang untuk menjadi
sarana studi atau pembicaraan yang menarik, baik dari sudut ilmu pengetahuan maupun
agama. Namun pembicaraan itu tidak pernah selesai dan tidak pernah secara tuntas
memperoleh kesimpulan yang tepat mengenai keseluruhan aspeknya. Begitulah seterusnya
manusia tetap menjadi objek yang menarik yang tidak ada habis-habisnya sepanjang zaman
dan tetap akan menempati pandangan yang unik. Nilai yang unik tersebut terletak pada
pengembangan intelektual bermuara pada tujuan esensial dari pendidikan.
Pandangan Islam tentang manusia adalah sebagai berikut:
a. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang tertinggi, paling sempurna dan merupakan
makhluk yang paling unik yang merupakan puncak dari ciptaannya.
b. Manusia berkemauan bebas, artinya berbeda dengan makhluk lainnya karena ia
dilengkapi dengan akal pikiran yang melahirkan kemampuan untuk berfikir dan
menentukan sikap. Kemauan bebas (free will) itu antara lain yang terdapat pada
manusia dalam menghadapi hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan Tuhan bagi
manusia sehingga memungkinkan mereka ada yang tunduk dan patuh (muslim) dan
ada yang ingkar (kafir).
c. Manusia diciptakan untuk mengabdi kepada Tuhan.
d. Manusia itu bersifat hanief artinya menurut kodratnya ia condong, mencari dan
memihak kepada kebenaran. Hal ini sesuai dengan fitrah atau kejadian asal yang
bersifat suci.
e. Manusia adalah kholifah atau wakil Tuhan di muka bumi, artinya bahwa manusia
ditugaskan oleh Tuhan untuk menggarap/mengolah masalah dunia karena dunia ini
dijadikan untuk kepentingannya. Amanat ini kemudian akan dipertanggung jawabkan
kepada Tuhan dalam pelaksanaannya.
f. Individu manusia adalah suatu kenyataan, artinya bahwa tiap-tiap dari individu
manusia bertanggung jawab atas segala perbuatannya, baik ataupun buruk.
Mengetahui pandangan tentang hakekat manusia tersebut sangat penting sekali
terutama dalam rangka mengenal Tuhan selaku penciptanya, seperti yang diungkapkan para
ahli tentang ke-Tuhanan bahwa “barang siapa yang mengenal dirinya sendiri, maka ia akan
dapat mengenal Tuhannya”. Juga dalam al-Qur’an, Tuhan menyampaikan pesannya agar
manusia mengenal dirinya.
3. Tentang Islam
Islam sebagai agama mengandung nilai-nilai ajaran yang sejalan dengan fitrah
manusia, artinya bahwa ajaran-ajaran Islam itu sejalan dengan kejadian alamiah manusia dan
sekaligus merupakan kewajiban atas pertanyaan manusia yang ada secara fitriah tentang
bagaimana dan untuk apa sebenarnya manusia ini hidup, itulah sebabnya .
Pada hakekatnya adanya Islam tidak lain adalah sebagai pemenuhan janji Tuhan
bahwa Dia akan memberikan petunjuk kepada manusia tentang tugas manusia dalam
menempuh hidupnya secara wajar sehingga sejalan dan serasi dengan alam disekitarnya.

9
Dalam al-Qur’an Tuhan berfirman sekitar peristiwa turunnya Adam dan Hawa (manusia) ke
dunia. Janji itu perlu diberikan karena manusia tidak mungkin dibiarkan mencari-cari
jalannya sendiri untuk menemukan hukum-hukum objektif tentang hidup dan kehidupannya.
4. Tentang agama dan ilmu
Agama pada umumnya mempunyai ajaran-ajaran yang diyakini turun kepada
masyarakat manusia melalui wahyu dalam arti bahwa ajaran-ajaran itu berasal dari Tuhan dan
oleh karena itu bersifat benar, dan tidak akan berubah-rubah sekalipun masyarakat manusia
berubah menurut perkembangan zaman. Ajaran-ajaran agama itu bersifat absolut, tidak akan
berupah dan tidak akan dapat dirubah menurut peredaran masa, ia merupakan dogma. Inilah
yang menimbulkan sikap dogmatis dalam tiap agama.
Ilmu pengetahuan sebaliknya tidak kenal dan tidak terikat pada waktu. Ilmu
pengetahuan berpijak dan terikat pada pemikiran rasional. Itulah sebabnya secara populer
orang mengatakan bahwa agama bermula dari tidak percaya. Akan tetapi meskipun titik
berangkatnya berbeda, tidak berarti bahwa antara agama dan ilmu itu dalam posisi yang
bertentangan. Kalau agama mempunyai nilai kebenaran yang mutlak, maka ilmu yang sifat
kebenarannya relatif merupakan alat bagi manusia untuk mencari dan menemukan
kebenaran-kebenaran itu. Dengan menggunakan kekuatan daya pikir dan dengan bimbingan
hati nuraninya, manusia dapat menemukan kebenaran-kebenaran dalam hidupnya secara baik,
yaitu beramal shaleh. Dengan kata lain bahwa ilmu pengetahuan adalah persyaratan dari amal
shaleh. (A. Malik Fadjar dan Abdul Ghofir, 1981, h.25)
Sejalan dengan itulah Islam memandang kegunaan dan peranan ilmu, sehingga tidak
membuat garis pemisah antara agama dan ilmu. Manunggalnya agama dan ilmu pengetahuan,
menjadikan manusia betapapun tinggi tingkat ilmunya selalu bertanggung jawab. Karena akal
semata tidak selalu membimbing ke jalan yang benar. Salah satu ciri akal adalah juga
kemungkinannya untuk menyesatkan dan bahkan menimbulkan kerumitan bagi manusia
sendiri. Diterangi oleh nilai-nilai agama, maka proses akal tidak akan terbiarkan menyusuri
garis-garis yang menyesatkan. Tidak terpisahnya agama dan ilmu berarti pula berpadunya
kata-hati dan pengetahuan, satunya “conscience dan science”. Oleh karena itu dapat dipahami
mengapa Islam menganggap perlunya integrasi antara agama dan ilmu dan sekaligus
menempatkan orang-orang yang beriman dan berilmu pada posisi yang lebih tinggi
sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Mujadalah ayat 11. (Fuad Hasan Makalah : 1975.
Agama adalah nilai-nilai panutan yang memberi pedoman pada tingkah laku manusia dan
pandangan hidupnya; ilmu adalah sesuatu hasil yang dicapai oleh manusia berkat bekal
kemampuan-kemampuannya sebagai anugerah dari Tuhan. Ilmu tidak dibekalkan sebagai
barang jadi, ilmu harus dicari dan untuk ikhtiar mencari ilmu ini, Tuhan membekali manusia
dengan berbagai kemampuan yang memang kodratnya sesuai dengan keinginan untuk
mengetahui apa saja.
Dalam pandangan Al-Qur’an, kerja ilmu pengetahuan bukan sekadar dimaksudkan
untuk membaca hasil ciptaan Allah secara deskriptif, semata-mata diletakkan sebagai obyek
ilmu, apalagi seperti paradigma keilmuan modern yang menolak penjelasan metafisis dan

10
filosofis terhadap alam kosmik. Lebih dari itu, ilmu pengetahuan dalam pandangan Al-Qur’an
perlu diarahkan secara teologis dan sosiologis atau zikir dan fikir untuk membangun hubungan yang
lebih dekat antara manusia dengan Allah sebagai sumber pengetahuan serta untuk membantu
manusia menjalankan tugas kekhalifahannya di muka bumi.
Oleh karena itu dapat diketahui bahwa pendidikan Islam menurut adalah suatu upaya
mempertajam dan memperkuat potensi zikir (sains) dan fikir (teknologi) pada peserta didik
sehingga akan mewujudkan manusia yang berwawasan modern dan berjiwa pembaru.
Kesadaran akan kelemahan yang ada dalam dirinya kemudian berupaya meningkatkan
potensi dalam dirinya dan menjalin hubungan secara harmonis dan humanis serta
membesarkan dan menguatkan orang lain maka ia akan menjadi orang yang terbaik (khaira
ummah). Tetapi seseorang yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya dan merasa
benar sendiri, bahkan melemahkan orang lain maka ia sendiri akan menjadi orang yang
lemah sehingga ia termasuk ke dalam golongan asfala sâfilin. Dan yang membedakan antara
khaira ummah dan asfala sâfilin adalah ilmu pengetahuan.
D. PENUTUP
Dari semua penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pola dasar pendidikan Islam
berorientasi pada pemberdayaan, karena merupakan keharusan untuk mengembangkan
potensi manusia yang berusaha bertindak dan berbuat demi mempertahankan hak-haknya
yang terus diperoleh secara adil sesuai fitrah manusianya. Nilai esensial dari hal tersebut
berkorelasi dengan sistem dan hukum kehidupan yang berlangsung yang telah menciptakan
kekuatan-kekuatan yang dapat mempengaruhi dan menentukan sikap umat.
Selanjutnya dapat dipahami bahwa dalam pembentukan watak manusia sebagai
khalifah yang memiliki wawasan yang potensial dalam pengembangan peradaban manusia
didasarkan kepada tauhid. Sebagaimana diyakini oleh setiap muslim, bahwa Islam adalah agama
wahyu terakhir yang mengemban misi rahmatan li al-âlamîn yaitu terciptanya tatanan dunia
yang dinamis, harmonis dan lestari. Sehingga seluruh penghuninya, baik manusia maupun
makhluk-makhluk lain merasa aman dan nyaman di dalamnya. Pendidikan Islam lebih
ditekankan pada pengembangan potensi kualitas SDM manusia yang kompetitif dan
produktif. Dengan kuatnya kualitas potensi pribadi manusia tersebut, ia akan menyadari dan
mendalami makna pendidikan dalam kehidupan untuk menentukan jati dirinya.

11

ALLAH
SWT.
Potonsi zikir (sains)
Potensi fikir (teknologi)
(Tauhid)

Manusia

Sadar akan
kelemahannya
(Tantangan)

Menguatkan/Membesarkan seseorang
(Humanis)
Khaira Ummah

PROSES PENGEMBANGAN
PENDIDIKAN
Hawa Nafsu yang tak
terkendali

Tidak
Sadar/Merasa
benar sendiri

ILMU
Asfala Sâfiliin
Melemahkan/Mengecilkan seseorang

12
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah , Al-Ittijahât al-Hadîtsah fi al-Tarbiyah, Mesir: Isa al-Babi
al-Halabi, t.th
-------, Al-Tarbiyah al-Islâmiyah wa Falsafatuha, Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1969
Al-Ahwani, Ahmad Fu’ad, Al-Tarbiyah fi al-Islâm, Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th
Ashraf, Syed Ali, New Horizons in Muslim Education, Camridge: Antony Rowe Ltd, 1985
Al-Attas, Syed Muhammad al-Nuqaib, Aims and Objective of Islamic Education, Jeddah:
King Abdul Aziz University, 1979
Azra ,Azyumardi, Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, Bandung: Mizan, 2000

------, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi,
Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2002
-------, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: PT.
Logos Wacana Ilmu, 1999
D. Marimba, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : al-Ma’arif, 1980
Fadjar, A. Malik dan Abdul Ghofir, Pendidikan Islam di Perguruan Tinggi, Surabaya:
Lembaga Penerbitan Universitas Brawijaya Malang, 1981
-------, (Sambutan ketika Menteri Agama) pada acara “Pembukaan Madrasah Terpadu
YASUCI Cijantung”, 14 Mei 1999, dalam Himpunan Pidato Menteri Agama RI.,
Tahun, 1999, disusun oleh Biro Hukum dan Humas Sekretaris Jenderal Departemen
Agama RI.
-------, “Mencari Dasar Filosofi Pendidikan Islam; Sebuah Tinjauan Terhadap Pendidikan
Kemuhammadiyahan dan Al-Islam, dalam Imron Nasri dan A. Hasan Kunio, (Ed), Di
Seputar Percakapan Pendidikan Dalam Muhammadiyah, Yogyakarta: Pustaka SM,
1994
-------, kata pengantar dan editor “Islam dan Dinamika Kebebasan Akademi”, dalam Ahmed
O. Altawaijri, Academic Freedom Islam and The West: A Study of The Philosofhical
Foundations of Academik Freedom in Islam, diterjemah oleh Mufid, Islam dan
Kebebasan Akademi, Malang: Citra Mentari Group, 1983
-------, Pidato Pengukuhan Guru Besar, “Pengembangan Pendidikan Islam yang Menjanjikan
Masa Depan”, dalam Muhammad In’am Esha dan Helmi Syaifuddin (Ed.) Kumpulan
Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar UIN Malang Periode 1989-2006, Malang:
UIN Malang Press, 2006
-------, Reorientasi Pandidikan Islam, Jakarata: Fajar Dunia, 1999

13
-------, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan
Penyusunan Naskah Indonesia, 1998
-------,”Pengembangan Pendidikan Islam yang Menjanjikan Masa Depan” dalam Jurnal
Edukasi Volume 2, Nomor 1, Januari-Maret 2004
------,”Pengembangan Pendidikan Islam yang Menjanjikan Masa Depan” dalam Jurnal
Edukasi Volume 2, Nomor 1, Januari-Maret 2004
Fathiyah, Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi al-Ghazali, Penerjemah Fathur Rahman,
Bandung: al-Ma’arif, 1986

Gunawan, Heri, Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya, 2014
Hamka, Lembaga Hidup,Jakarta: Djajamurni, 1962
Hasan, Fuad “Islam Sebagai Motivasi Pembangunan Nasional, Makalah, pada Lokakarya
Alim Ulama di Pandaan Jawa Timur tahun 1975

Hilmi, Masdar, Pendidikan Islam dan Tradisi Ilmiah, Malang : Madani, 2016
Al-Kailâni, Majîd Irsân, Falsafât al-Tarbiyah al- Islâmiyah, Makah: Maktabah Hadi, 1988
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993
Al-Nahlawi, Abdurrahman ,Ushûl al-Tarbiyah al- Islâmiyah fi al-Bait wa al-Madrasah wa
al-Mujtama’, Damaskus: Dar al-Fikr, 1996
Ridha ,Muhammad Rasyid, Târikh al-Ustâz al-Imâm al-Syaikh Muhammad Abduh, Mesir: alManar, 1931
Saridjo, Marwan, ed. Mereka Bicara Pendidikan Islam : Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta :
PT. RajaGrafindo Persada, 2009
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT Remaja Rosda Karya,
1994
Usa, Muslih, “Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Suatu Pengantar, dalam
Muslih Usa, (Ed), Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta,
(Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1991), h. 8