Pengeringan Status Tanah Pertanian Sawah

TUGAS MANDIRI HUKUM AGRARIA

IZIN PENGERINGAN
(IZIN PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH)

DISUSUN OLEH :

NAMA

:

SUNARWATY PUTRI SARI PANGGABEAN

NPM

:

130710019

DOSEN PENGAMPU


:

AGUS RISWANTO. S.H.,M.Kn

Universitas Putera Batam
2015

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Bagi bangsa Indonesia, pembangunan tidak bisa dilepaskan dari tanah. Tanah merupakan bagian
penting dari usaha untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dalam rangka mewujudka tujuan nasional
yang memiliki nilai strategis karena arti khusus dari tanah sebagai Faktor produksi utama
perekonomian bangsa dan Negara.1
Tanah memiliki keterbatasan-keterbatasan baik dari segi kualitas maupun dari segi kuantitas,
dilain sisi kebutuhan manusia untuk kegiatan pembangunan pada dasarnya memerlukan tanah yang
sangat besar untuk pelaksanaannya. Oleh karena tanah sangat terbatas maka kadang kala pembangunan
yang dilaksanakan tidak mengacu pada pola peggunaan tanah yang baik sehinga justru mengakibatkan

tanah tidak bisa memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat. Untuk itu agar tidak terjadi
penggunaan tanah yang tidak baik yang berakibat semakin sedikitnya jumlah lahan subur maka perlu
diatur dalam peraturan perundang-undangan agar dapat diajadikan acuan bagi semua pihak yang
memerlukan tanah.2
Negara Indonesia menganggap tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting maka
pegaturan dan pengelolaannya harus dilakukan oleh lembaga Negara yang berwenang dibidang
tersebut.kewenangan pengaturan dan penegakan hukum (Law inforcement) dibidang pertanaha ada
ditangan pemerintah seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3):
“Bumi, Air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Maka bumi adalah pokok-pokok
kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat termasuk dalam perencanaan penataan ruang.3
Di beberapa wilayah di Pulau Jawa masih terdapat tanah-tanah kosong yang strategis dan
berpotensi untuk di keringkan, dan di ubah menjadi tempat usaha perindustrian dan tempat pemukiman.
Konversi lahan atau berubahnya fungsi lahan sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya
semula seperti direncanakan menjadi fungsi lain yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan
potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam
pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya, sangat banyak terjadi
1 Soni Harsono, 1991, Fungsi dan Nilai Tanah, BPN, Jakarta.
2 Samun Ismaya, 2011, Pengantar Hukum Agraria, Graha Ilmu, Yogyakarta, Hal. 87

3 Samun Ismaya, 2011, Pengantar Hukum Agraria, Graha Ilmu, Yogyakarta, Hal. 88

di Pulau Jawa, Sebagai contoh yaitu berubahnya peruntukan fungsi lahan persawahan beririgasi
menjadi lahan industri, dan fungsi lindung menjadi lahan pemukiman.
Perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian memang menjadi sebuh fenomena di
masyarakat dengan lajunya pembangunan di segala bidang kehidupan.4
Perubahan fungsi tanah dari yang seharusnya merupakan fungsi lahan pertanian menjadi lahan
industry dan pemukiman adalah sesuatu yang patut mendapatkan perhatian, karena keadaan ini
memberi pengaruh yang besar terhadap kehidupan dan lingkungan.

4 Samun Ismaya, 2011, Pengantar Hukum Agraria, Graha Ilmu, Yogyakarta, Hal. 91

B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka, rumusan masalah yang didapat adalah sebagai berikut:
1. Faktor penyebab perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian
2. Kendala-kendala yang dialami dalam perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian
3. Dampak yang ditimbulkan oleh perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian


BAB II
LANDASAN TEORI
Berkaitan dengan kegiatan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian telah diatur
didalam berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait. Sebagai dasar pengaturannya ditentukan
dalam Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1960 tentang PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA
yang selanjutnya disingkat dengan UUPA menyatakan bahwa:
1)

Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1,
Bumi, Air dan Ruang Angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada

2)

tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Hak menguasai Negara termasuk dalam ayat (1) Pasal ini memberi wewenang untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan
ruang angkasa tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang
angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan

hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.5
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas pemerintah mempunyai kewenangan untuk
mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah
termasuk mengatur hubungan orang dengan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan terjadinya
perubahan penggunaan tanah pertanian yang subur kepenggunaan non pertanian.
Ketentuan lebih lanjut dari Pasal 2 UUPA dituangkan dalam ketentuan Pasal 10 UUPA dimana
ditentukan ada kewajiban bagi setiap pemegang hak atas tanah pertanian untuk mengerjakan secara
aktif, menambah kesuburan tanah serta mencegah terjadinya kerusakan tanah. Pelaksanaan lebih lanjut
dari ketentuan Pasal 2 UUPA dituangkan juga dalam ketentuan Pasal 14 UUPA dan Pasal 15 UUPA.
Dalam pasal 14 UUPA ditegaskan bahwa pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat
suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa
serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk keperluan perkembangan produksi pertanian,
peternakan dan perikanan serta yang sejalan dengan itu. Sedangkan Pasal 15 menentukan bahwa
memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban
tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah.

5 Lebih lanjut lihat ketentuan Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria

Berdasarkan ketentuan Pasal 10, Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA maka kegiatan perubahan
penggunaan tanah pertanian ke non pertanian merupakan kegiatan yang tidak sesuai dengan prinsip

penatagunaan tanah serta prinsip pemeliharaan kesuburan tanah. Dengan kata lain perubahan
penggunaan tanah merupakan tindakan perusakan terhadap sumber daya alam yang berupa tanah
pertanian subur.
Ketentuan lebih lanjut terkait dengan perubahan penggunaan tanah diatur dalam Instruksi
Presiden RI No. 3 Tahun 1999 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi, Surat Menteri
Negara Agraria/KBPN No. 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi, Surat Menteri Negara Agraria/KBPN
No.: 460-1594 tentang Pencegahan Konversi Tanah Sawah Beririgasi Teknis Menjadi Tanah Kering,
Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas No.: 5334/MK/9/1994
tentang Perubahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Tanah Non
Pertanian, Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas No.:
5335/MK/9/1994 tentang Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Dati II, Surat Menteri Negara
Agraria/KBPN No. 410-1891 Tahun 1994 tentang Pencegahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi
Teknis untuk Penggunaan Tanah Non Pertanian Melalui Penyusunan Rencana Tata Ruang, serta Surat
Menteri Negara Agraria/KBPN tanggal 15 Juni 1994 tentang Perubahan Penggunaan Tanah Sawah
Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Tanah Non Pertanian.
Secara garis besar ketentuan tersebut berisi pengaturan tentang penggunaan tanah pertanian
yang beririgasi teknis untuk kegiatan non pertanian. Pada prinsipnya tidak diperkenankan
mempergunakan lahan pertanian yang beririgasi teknis untuk kegiatan diluar pertanian dan ini selaras
dengan prinsip-prinsip penatagunaan tanah yang diatur dalam UUPA. Di samping ditujukan dalam
rangka memelihara kelestarian sumber daya tanah subur ketentuan tersebuat juga ditujukan untuk

melestarikan sumber daya air melalui pengelolaan dan pemeliharaan jaringan irigasi yang baik. Selain
itu juga diatur masalah perizinan yang berkaitan dengan perubahan penggunaan tanah dimana izin
untuk melakukan perubahan penggunaan tanah juga didasarkan pada aspek-aspek penguasaan tanah
dan teknis tata guna tanah.
Senada dengan itu juga tidak diperkenankan penyusunan dan atau revisi Rencana Tata Ruang
Wilayah memasukkan sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non pertanian dan merubah
peruntukan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunan non pertanian dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah yang ada kepenggunaan tanah tetap sebagai sawah beririgasi teknis. Tindakan yang dilakukan
dalam hal ini ialah dengan membatasi perizinan dan tidak memberikan izin perubahan penggunaan
tanah pertanian yang beririgasi teknis untuk penggunaan non pertanian.

Tindak lanjut dari ketentuan-ketentuan yang mengatur perubahan penggunaan tanah pertanian
ke non pertanian berdasarkan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: Btu.11/380/II/1977 dikeluarkan
Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sleman No. 170/KDH/1987 tanggal 5 Oktober 1987
tentang Pembentukan Tim Peneliti Permohonan Izin Perubahan Penggunaan Tanah. Kemudian
berdasarkan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: Btu.11/380/II/1977 dan Surat Edaran Menteri Dalam
Negeri Nomor 590/11107/SJ dikeluarkanlah Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sleman No.
37/Kep.KDH/1989 tentang Biaya Permohonan Izin Perubahan Penggunaan Tanah. Perubahan
penggunaan tanah yang diatur dengan SK Bupati tersebut didukung pula dengan Perda Kabupaten
Sleman No. 23 Tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman

dimana Perda inilah yang dijadikan acuan atau dasar pedoman penatagunaan tanah di Kabupaten
Sleman.
Pada tahun 2001 Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman mengeluarkan Peraturan Daerah yang
berkaitan dengan pengaturan peruntukan penggunaan tanah No. 19 Tahun 2001 tentang Izin Peruntukan
Penggunaan Tanah. Perda ini kemudian disusul dengan Keputusan Bupati Sleman No.
04/KRP.KDH/2002 tanggal 28 Januari 2002 tentang Retribusi Izin Peruntukan Penggunaan Tanah.
Pemberian izin perubahan penggunaan tanah berdasarkan Perda Sleman No. 19 Tahun 2001 tentang
Izin Peruntukan Penggunaan Tanah diberikan dengan mempertimbangkan beberapa aspek diantaranya
aspek rencana tata ruang, tanah yang dimohon tidak termasuk tanah pertanian subur/sawah irigasi
teknis, serta setiap perubahan peruntukan tanah harus memperhatikan fungsi tanah dan daya dukung
lingkungan disekitarnya.
Pertimbangan dikeluarkannya Perda No. 19 Tahun 2001 ini dirasakan perlu adanya pengarahan
dan pengendalian terhadap penggunaan tanah agar peruntukannya sesuai dengan tata ruang wilayah
mengingat semakin terbukanya peran swasta dan masyarakat dalam peran pembangunan. Perda ini juga
mengatur mengenai pemberian sanksi terhadap pelanggaran prinsip RTRW dengan ancaman pidana
kurungan maupun denda.
Perubahan penggunaan lahan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ana
Pratami pada 1997 untuk penulisan Skripsi yang berjudul “Perubahan Penggunaan Tanah Sawah
Menjadi Tanah Non Pertanian Untuk Rumah Tinggal dalam Kaitannya dengan Penataan Ruang di
Kabupaten Dati II Sleman” disebabkan karena pertumbuhan penduduk, perkembangan kota, serta

pembangunan sarana transportasi. Dengan bertambahnya jumlah penduduk maka kebutuhan akan
perumahan semakin meningkat seiring dengan itu meningkat pula kebutuhan tanah sebagai wahana
pembangunan perumahan, disamping itu perkembangan kota yang mengarah ke pinggiran kota
mengakibatkan tanah-tanah yang semula tanah pertanian dialihfungsikan menjadi prasarana perkotaan,

serta dengan dengan berkembangnya sarana transportasi berupa pembangunan jalan yang dapat
memudahkan melakukan mobilitas maka banyak bermunculan rumah-rumah ditepi jalan atau
disepanjang jalan.6
Berdasarkan penelitian serupa yang dilakukan oleh Alfred P. Tahun 1995 diperoleh data bahwa
Faktor yang menjadi pendorong perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian
adalah pertumbuhan jumlah penduduk, urbanisasi tenaga kerja, pertumbuhan industry, rencana tata
ruang yang mengakomodasi strategi pekembangan metropolitan serta belum adanya rencana tata ruang
yang berkekuatan hukum baik ditingkat kabupaten maupun kecamatan. Didalam penelitian itu juga
telah dilakukan upaya pengendalian perubahan penggunaan tanah yang dilakukan melalui jalur
penataan ruang yang meliputi pemberian perizinan (yang berupa izin lokasi pembangunan, izin
mendirikan bangunan, serta izin penggunaan bangunan), pengawasan perizinan, dan penertiban
perizinan dan jalur penatagunaan tanah yang meliputi pemantauan penggunaan tanah, pemberian
pertimbangan aspek tata guna tanah serta pemberian rekomendasi penggunaan tanah bagi penyediaan
tanah untuk pembangunan.7
Faktor penyebab perubahan penggunaan tanah yang diakibatkan oleh perkembangan industry

juga disadari oleh Badan Pertanahan Nasional sendiri yang menyatakan bahwa kenyataan dilapangan
menunjukkan bahwa ditengah gemerlap sejumlah industry manufaktur yang sangat dimanjakan
pemerintah dengan proteksi berlebihan pada industry manufaktur hulu, mengakibatkan sector pertanian
kehilangan vitalitas dalam pembangunan nasional.8

6 Ana Pratami, 1997, Perubahan Penggunaan Tanah Sawah Menjadi Tanah Non Pertanian
Untuk Rumah Tinggal Dalam Kaitannnya Dengan Penataan Ruang di Kabupaten II Sleman,
Depdikbud, fakultas hukum UGM, Yogyakarta, Hal. 78-79
7 Alfred P., 1995, Tinjauan Terhadap Pengendalian Penggunaan Tanah Pertanian Menjadi
Tanah Non Pertanian di Kabupaten Bandung, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.
8 BPN (Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional), 2002, Reformasi Pertanahan, Mandar Maju,
Bandung, Hal. 6

BAB III
IZIN PENGERINGAN
(IZIN PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH)
Sejalan dengan perencanaan tata ruang dan penatagunaan tanah dalam TAP.MPR No.
IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2003 disebutkan bahwa kebijaksanaan pemerintah
menerapkan konsep pembangun berkelanjutan dengan pengendalian pengelolaan dan pelestarian
sumber daya alam. Terkait dengan persoalan alih fungsi lahan kebijaksanaan tersebut diwujudkan

dalam bentuk mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan
memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang
berkelanjutan, kepentingan ekonomi, dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang. Disamping
itu juga meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan
melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan, dengan menerapkan teknologi ramah
lingkungan.9
A.

Faktor penyebab perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian
Mengenai penyebab perubahan penggunaan tanah lahan berbagai pendapat yang diambil dari
literature menjelaskan hal tersebut. Menurut Koesnadi Hardjasoemantri bahwa tantangan permasalahan
yang timbul dalam pembangunan dipengaruhi oleh 4 faktor pokok yaitu: perkembangan dan
permasalahan penduduk dalam masyarakat, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam
lingkungan, perkembangan dan perubahan teknologi maupun kebudayaan, serta perkembangan ruang
lingkup Internasional.10 Faktor-faktor inilah yang bisa menyebabkan adanya kegiatan alih fungsi lahan.
Pendapat lain mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk yang sangat pesat akan semakin
menambah tekanan penduduk pada pola penggunaan tanah di daerah pedesaan dan semakin
menyempitnya luas pemilikan tanah. Sebagian penduduk pedesaaan yang masih bergerak dibidang
pertanian sangat merasakan tekanan tersebut karena pertanian merupakan tulang punggung bagi
petani.11
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Agus Salim dan kawan-kawannya yang
mengemukakan bahwa pertumbuhan penduduk, perkembangan kegiatan usaha, dan sosial budaya

9 Lebih lanjut lihat ketentuan TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2003
serta UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propernas) Tahun
2000-2004
10 Koesnadi Hardjasoemantri, 1996, Hukum Tata Lingkungan, Edisi VI, Cetakan ke 12,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Hal. 44-47
11 I Made Sandy, 1998, Penggunaan Tanah di Indonesia, Direktorat Tata Guna Tanah, Dirjen
Agraria, Publikasi No. 25, Hal. 21.

termasuk pembangunan berkaitan juga dengan tuntutan masyarakat akan fasilitas pelayanan yang
semakin berkembang, semua memerlukan ruang untuk menyelenggarakan tuntutan tersebut.12
Menurut Nasution dan Rustiadi bahwa perubahan tersebut disebabkan oleh beberapa hal yaitu
besarnya tingkat urbanisasi akibat lambannya proses pembangunan di wilayah pedesaan, meningkatnya
jumlah anggota kelompok golongan pendapatan menengah dan atas di wilayah perkotaan yang
mengakibatkan bertambah besarnya permintaan sarana pemukiman, serta terjadinya transformasi di
dalam struktur perekonomian Indonesia yang terutama dicirikan oleh cepatnya pertumbuhan sektor
industri yang pada gilirannya akan mendesak kegiatan pertanian dan lahan sawah.13
Perubahan penggunaan tanah pertanian itu tidak terbatas untuk perumahan saja tetapi untuk
kegiatan lain diluar pertanian. Pemekaran daerah industry, penambahan jaringan jalan dan berbagai
prasarana lain sebagai tuntutan pembangunan ikut menentukan dalam pengurangan areal pertanian.14
Dengan demikian disatu pihak perkembangan kota menuju kedaerah-daerah pinggiran dan pedesaan
terpaksa sering mengorbankan tanah pertanian, sedangkan dilain pihak tanah pertanian yang subur
harus dipertahankan.
Faktor lain yang dapat diidentifikasikan ikut berpengaruh terhadap adanya perubahan
penggunaan tanah adalah bidang nafkah atau mata pencaharian penduduk dari bidang tertentu kebidang
lain tersebut juga dianggap sebagai pendorong adanya perubahan pengunaan tanah.15
Berbagai pendapat tentang faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan
pertanian ke non pertanian menurut Maria Sumardjono, sampai saat ini kelihatannya jumlah penduduk
masih merupakan faktor yang menonjol dalam perubahan penggunaan lahan.16
Berbagai faktor dapat menjadi pendorong perubahan fungsi lahan tetapi dilain sisi pelestarian
tanah pertanian subur perlu juga mendapat perhatian. Hal ini disebabkan oleh karena tanah sawah
merupakan media utama produksi padi dan permintaan beras masih terus meningkat, merupakan
ekosistem sawah relative steril, serta biaya investasi fisik untuk pencetakan sawah dan pegembangan
system sawah sangat mahal.17

12 Agus Salim, Dambung Lamuara Djaja, Farida Asni, 1989, Pengelolaan Konversi Lahan
Pertanian ke Lahan Bukan Pertanian di Pinggiran Kota, Karya Tulis Ilmiah dalam rangka
Lomba Karya Ilmiah bidang Ilmu Pengetahuan Alam, Fak Geografi, UGM, Yogyakarta, Hal.
15.
13 Lutfi I Nasution dan Ernan Rustiadi, 1990, Masalah Konservasi Lahan Sawah ke
Penggunaan Non Sawah Fokus Jawa Bali, Makalah PAU Studi Sosial UGM, Hal. 3-4.
14 Maria Sri Wulani Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan antara regulasi dan
implementasi, Kompas, Jakarta, hal. 7
15 Maria Sri Wulani Sumardjono, Op Cit. Hal.4
16 Maria Sri Wulani Sumardjono, Op Cit. Hal.7
17 Lutfi I. Nasution, 1991, Beberapa Masalah Pertanian Nasional Dan Alternatif
Kebijaksanaan Untuk Menangulanginya, Journal Analisis CSIS Tahun XX Nomor 2. 1991, Hal.
118-119

Disamping itu menurut Maria S Sumardjono, penggunaan lahan sawah sangat strategis artinya
dalam pembangunan Indonesia dan pemiliknya mempunyai implikasi kultur politik yang luas.18
Terkait dengan persoalan alih fungsi lahan, kepala BPN Lutfi I. Nasution dalam kompas edisi
13 Juni 2003 menyatakan begitu pentingnya melestarikan lahan pertanian tidak hanya untuk
kepentingan ketahanan pangan saja tetapi juga untuk pelestarian lingkungan. Lahan sawah adalah lahan
yang paling stabil dibandingkan dengan lahan untuk peuntukan lain. Pencucian tanah yang terjadi
sangat rendah, begitu pula tingkat erosinya. Hal ini didukung oleh data bahwa konversi lahan pertanian
untuk kepentingan lain dalam 10 tahun terakhir mencapai 40.000 Ha pertahun. Sepanjang tahun 19831993 terdapat sekitar 935.000 Ha lahan pertanian yang hilang. Kalau dikonversi Satu hektar sawah
irigasi teknis dijawa maka harus dibangun Tiga hektar tanah irigasi teknis diluar jawa dengan waktu
empat atau lima tahun untuk bisa menjadi sawah baru.19
Berbagai pendapat tersebut diatas menggambarkan bahwa perubahan penggunaan tanah
merupakan fenomena yang terjadi dalam masyarakat dan merupakan permasalah yang kompleks bukan
saja masalah hukum tetapi juga masalah-masalah lain seperti ekonomi, kependudukan, tuntutan
pembangunan.
Secara formal yuridis, perubahan penggunaan tanah bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, akan tetapi karena pengaruh tekanan ekonomi dan politik kebijakan menjadi
perubahan di dalam prakteknya. Secara ekonomis perubahan lahan ini memberikan kontribusi kepada
kas PEMDA serta mampu menyerap tenaga kerja.20 Untuk itu pemerintah harus mulai menggalakka
perkembangan sector industry keluar pulau jawa, kalau tidak ingin lahan irigasi dijawa yang dikenal
cukup subur habis dilalap perkembangan sector non pertanian. Akan tetapi pembukaan lahan baru
diluar jawa memakan biaya tiga kali lipat dan waktu serta kesiapan petani penggarap untuk berfungsi
secara optimal.21
Menurut Menteri Pemukiman dan Prasarana wilayah DR.IR.Soenarno Dipl HE dalam seminar
“Menggagas penerapan teknologi sipil yang berbasis kerakyatan, kontekstual dan ekologis” di
auditorium MM UGM tanggal 8 September 2003, bahwa rumah susun (Rusun) bisaq menjadi
alternative untuk mengurangi alih fungsi lahan. Kabupaten atau kota harus menjadikan pembangunan
Vertikal sebagai kebijakannya termasuk Yogyakarta. Hal ini didukung fakta bahwa kondisi lahan
18 Maria Sri Wulani Sumardjono, 1993, Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian menjadi
Lahan Non Pertanian Di Provinsi DIY Tahun 1983-1987, Mimbar Hukum, No.17/VI/93,
Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, Hal.3
19 Kompas, 2003, Ely, Pertahankan Lahan Pertanian Pantura, Edisi Jum’at 13 Juni 2003,
Hal.15, Kolom 4-7
20 Ali Sofyan Husein, 1997, konflik Pertanahan, Cetakan I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
Hal.58
21 Soenarno, 1999, Jangan Korbankan Lahan Irigasi Di Pulau Jawa, Reformasi D isektor
Pengairan, Buletin Pegairan, Edisi Februari 1999, Hal. 48

pertanian di Indonesia sudah memprihatinkan. Pertahun sekitar 10-20 ribu hektar lahan telah beralih
fungsi menjadi perumahan dan perindustrian.22
B.

Kendala-kendala yang dialami dalam perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian
Pembahasan dan penanganan masalah alih fungsi lahan pertanian yang dapat mengurangi
jumlah lahan pertanian, terutama lahan sawah, telah berlangsung sejak dasawarsa 90-an. Akan tetapi
sampai saat ini pengendalian alih fungsi lahan pertanian belum berhasil diwujudkan. Selama ini
berbagai kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah pengendalian konversi lahan sawah sudah
banyak dibuat. Setidaknya ada 10 peraturan/perundangan yang berkenaan dengan masalah ini (Tabel
1).

Namun demikian, implementasinya tidak efektif karena tidak didukung oleh data dan sikap
proaktif yang memadai. Tiga kendala mendasar yang menjadi alasan peraturan pengendalian konversi
lahan sulit dilaksanakan yaitu: (i) Kebijakan yang kontradiktif; (ii) Cakupan kebijakan yang terbatas;
(iii) Kendala konsistensi perencanaan (Nasoetion, 2003).
Penyebab pertama, kebijakan yang kontradiktif terjadi karena di satu pihak pemerintah
berupaya melarang terjadinya alih fungsi, tetapi di sisi lain kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur
dan sektor non pertanian lainnya justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan-lahan pertanian. Yang
kedua, cakupan kebijakan yang terbatas. Peraturan-peraturan tersebut di atas baru dikenakan terhadap
perusahaan-perusahaan/badan hukum yang akan menggunakan tanah dan/atau akan merubah tanah
22 Lihat lebih lanjuta harian Radar Jogja, Terbitan Selasa 9 September 2003 Halaman 3
Kolom Ekonomi dan Bisnis

pertanian ke non pertanian. Perubahan penggunaan tanah sawah ke non pertanian yang dilakukan
secara individual/peorangan belum tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut. Padahal perubahan
fungsi lahan yang dilakukan secara individual secara langsung diperkirakan cukup luas. Kendala
konsistensi perencanaan disebabkan karena Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dilanjutkan
dengan mekanisme pemberian ijin lokasi adalah instrumen utama dalam pengendalian untuk mencegah
terjadinya konversi lahan sawah beririgasi teknis. Dalam kenyataannya banyak RTRW yang justru
merencanakan untuk mengkonversi tanah sawah beririgasi teknis menjadi non pertanian.
C.

Dampak yang ditimbulkan oleh perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian
Meskipun alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian membuka lapangan kerja baru di sektor

non pertanian seperti konstruksi, industri dan perdagangan akan tetapi juga menimbulkan dampak
negative.
Menurut Firman (2005) dalam Widjianarko (2006) bahwa alih fungsi lahan yang terjadi
menimbulkan dampak langsung maupun tidak langsung. Hilangnya lahan pertanian subur, hilangnya
investasi dalam infrastruktur irigasi, kerusakan natural lanskap, dan masalah lingkungan merupakan
dampak langsung sedangkan untuk dampak tidak langsung dapat berupa inflasi penduduk dari wilayah
perkotaan ke wilayah tepi kota.
Furi (2007) menjelaskan bahwa perubahan dalam pengusaan lahan di pedesaan membawa
implikasi bagi perubahan pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat yang menjadi indikator
kesejahteraan masyarakat desa. Terbatasnya akses untuk menguasai lahan menyebabkan terbatas pula
akses masyarakat atas manfaat lahan yang menjadi modal utama mata pencaharian sehingga terjadi
pergeseran kesempatan kerja ke sektor non pertanian (sektor informal).
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar pemilik lahan mengubah lahan pertaniannya
karena alasan ekonomi. Selain karena adanya kebutuhan yang mendesak, pemilik lahan menjual lahan
pertanianya karena mendapat tawaran dari masyarakat pendatang dan tergiur oleh harga jual lahan yang
tinggi.
Dampak yang ditimbulkan akibat adanya perubahan penggunaan tanah pertanian adalah
dampak negatif bagi lahan pertanian karena mengalami penyusutan lahan, tidak jarang sebagian
besar pemilik lahan menjual tanah pertaniannya untuk diubah menjadi lahan non pertanian demi
memenuhi tututan hidup seperti biaya pendidikan putra-putri mereka, hal ini bisa saja
menimbulkan dampak positif bagi kondisi sosial ekonomi petani. Dilihat dari segi
pendidikannya, pendidikan putra-putri mereka mengalami peningkatan dibandingkan orang tua

mereka, dilihat dari kondisi tempat tinggal yang tergolong rata-rata baik dan meratanya anggota
keluarga mereka.

BAB IV
PENUTUP
A.

Kesimpulan
Tanah memiliki keterbatasan-keterbatasan baik dari segi kualitas maupun dari segi
kuantitas, dilain sisi kebutuhan manusia untuk kegiatan pembangunan pada dasarnya
memerlukan tanah yang sangat besar untuk pelaksanaannya. Oleh karena tanah sangat terbatas
maka kadang kala pembangunan yang dilaksanakan tidak mengacu pada pola peggunaan tanah
yang baik sehinga justru mengakibatkan tanah tidak bisa memberikan manfaat yang optimal
bagi masyarakat.
Negara Indonesia menganggap tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting maka
pegaturan dan pengelolaannya harus dilakukan oleh lembaga Negara yang berwenang dibidang
tersebut. Kewenangan pengaturan dan penegakan hukum (Law inforcement) dibidang pertanahan ada
ditangan pemerintah seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3):
“Bumi, Air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Maka bumi adalah pokok-pokok
kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat termasuk dalam perencanaan penataan ruang.23
Perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian memang menjadi sebuh
fenomena di masyarakat dengan lajunya pembangunan di segala bidang kehidupan.
Berkaitan dengan kegiatan perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian telah diatur
didalam berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait. Sebagai dasar pengaturannya ditentukan
dalam Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1960 tentang PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah termasuk mengatur
hubungan orang dengan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan
tanah pertanian yang subur kepenggunaan non pertanian.
Ketentuan lebih lanjut dari Pasal 2 UUPA dituangkan dalam ketentuan Pasal 10 UUPA
dimana ditentukan ada kewajiban bagi setiap pemegang hak atas tanah pertanian untuk
mengerjakan secara aktif, menambah kesuburan tanah serta mencegah terjadinya kerusakan
tanah. Pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan Pasal 2 UUPA dituangkan juga dalam ketentuan
Pasal 14 UUPA dan Pasal 15 UUPA.
23 Samun Ismaya, 2011, Pengantar Hukum Agraria, Graha Ilmu, Yogyakarta, Hal. 88

Berdasarkan ketentuan Pasal 10, Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA maka kegiatan perubahan
penggunaan tanah pertanian ke non pertanian merupakan kegiatan yang tidak sesuai dengan prinsip
penatagunaan tanah serta prinsip pemeliharaan kesuburan tanah. Dengan kata lain perubahan
penggunaan tanah merupakan tindakan perusakan terhadap sumber daya alam yang berupa tanah
pertanian subur.
Faktor penyebab perubahan penggunaan tanah yang diakibatkan oleh perkembangan
industry juga disadari oleh Badan Pertanahan Nasional sendiri yang menyatakan bahwa
kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa ditengah gemerlap sejumlah industry manufaktur
yang sangat dimanjakan pemerintah dengan proteksi berlebihan pada industry manufaktur hulu,
mengakibatkan sector pertanian kehilangan vitalitas dalam pembangunan nasional.
Menurut Koesnadi Hardjasoemantri bahwa tantangan permasalahan yang timbul dalam
pembangunan dipengaruhi oleh 4 faktor pokok yaitu: perkembangan dan permasalahan penduduk
dalam masyarakat, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam lingkungan, perkembangan dan
perubahan teknologi maupun kebudayaan, serta perkembangan ruang lingkup Internasional. Faktorfaktor inilah yang bisa menyebabkan adanya kegiatan alih fungsi lahan.
Pendapat lain mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk yang sangat pesat akan
semakin menambah tekanan penduduk pada pola penggunaan tanah di daerah pedesaan dan
semakin menyempitnya luas pemilikan tanah. Sebagian penduduk pedesaaan yang masih
bergerak dibidang pertanian sangat merasakan tekanan tersebut karena pertanian merupakan
tulang punggung bagi petani.
Faktor lain yang dapat diidentifikasikan ikut berpengaruh terhadap adanya perubahan
penggunaan tanah adalah bidang nafkah atau mata pencaharian penduduk dari bidang tertentu
kebidang lain tersebut juga dianggap sebagai pendorong adanya perubahan pengunaan tanah.
Pembahasan dan penanganan masalah alih fungsi lahan pertanian yang dapat
mengurangi jumlah lahan pertanian, terutama lahan sawah, telah berlangsung sejak dasawarsa
90-an. Akan tetapi sampai saat ini pengendalian alih fungsi lahan pertanian belum berhasil
diwujudkan. Selama ini berbagai kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah pengendalian
konversi lahan sawah sudah banyak dibuat.
Namun demikian, implementasinya tidak efektif karena tidak didukung oleh data dan sikap
proaktif yang memadai. Tiga kendala mendasar yang menjadi alasan peraturan pengendalian konversi
lahan sulit dilaksanakan yaitu: (i) Kebijakan yang kontradiktif; (ii) Cakupan kebijakan yang terbatas;
(iii) Kendala konsistensi perencanaan (Nasoetion, 2003).

Penyebab pertama, kebijakan yang kontradiktif terjadi karena di satu pihak pemerintah
berupaya melarang terjadinya alih fungsi, tetapi di sisi lain kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur
dan sektor non pertanian lainnya justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan-lahan pertanian. Yang
kedua, cakupan kebijakan yang terbatas. Peraturan-peraturan tersebut di atas baru dikenakan terhadap
perusahaan-perusahaan/badan hukum yang akan menggunakan tanah dan/atau akan merubah tanah
pertanian ke non pertanian. Perubahan penggunaan tanah sawah ke non pertanian yang dilakukan
secara individual/peorangan belum tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut. Padahal perubahan
fungsi lahan yang dilakukan secara individual secara langsung diperkirakan cukup luas. Kendala
konsistensi perencanaan disebabkan karena Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dilanjutkan
dengan mekanisme pemberian ijin lokasi adalah instrumen utama dalam pengendalian untuk mencegah
terjadinya konversi lahan sawah beririgasi teknis. Dalam kenyataannya banyak RTRW yang justru
merencanakan untuk mengkonversi tanah sawah beririgasi teknis menjadi non pertanian.
Furi (2007) menjelaskan bahwa perubahan dalam pengusaan lahan di pedesaan membawa implikasi
bagi perubahan pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat yang menjadi indikator kesejahteraan
masyarakat desa. Terbatasnya akses untuk menguasai lahan menyebabkan terbatas pula akses
masyarakat atas manfaat lahan yang menjadi modal utama mata pencaharian sehingga terjadi
pergeseran kesempatan kerja ke sektor non pertanian (sektor informal).
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar pemilik lahan mengubah lahan pertaniannya
karena alasan ekonomi. Selain karena adanya kebutuhan yang mendesak, pemilik lahan menjual lahan
pertanianya karena mendapat tawaran dari masyarakat pendatang dan tergiur oleh harga jual lahan yang
tinggi.
Dampak yang ditimbulkan akibat adanya perubahan penggunaan tanah pertanian adalah
dampak negatif bagi lahan pertanian karena mengalami penyusutan lahan, tidak jarang sebagian
besar pemilik lahan menjual tanah pertaniannya untuk diubah menjadi lahan non pertanian demi
memenuhi tututan hidup seperti biaya pendidikan putra-putri mereka, hal ini bisa saja
menimbulkan dampak positif bagi kondisi sosial ekonomi petani. Dilihat dari segi
pendidikannya, pendidikan putra-putri mereka mengalami peningkatan dibandingkan orang tua
mereka, dilihat dari kondisi tempat tinggal yang tergolong rata-rata baik dan meratanya anggota
keluarga mereka.
B.

Saran

Seperti halnya pepatah yang mengatakan “Tiada Gading yang Tak Retak” maka seperti
itu pulalah adanya makalah ini. Masih terdapat banyak kekurangan disetiap bagiannya
dikarenakan keterbatasan ilmu dan pengetahuan yang penulis miliki.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat penulis
harapkan demi perbaikan makalah ini kedepannya.