Aplikasi biomol dalam farmasi. docx

1. Pengembangan produk farmasi (sintesis produk biosimiliar; vaksin virus hepatitis B, produksi
insulin rekombinan, dll)
Peranan biologi molekular juga diyakini dapat mempercepat penemuan obat baru dengan
menelusuri proses perkembangan penyakit pada tingkat molekular dan genetika sehingga dapat
ditentukan cara apa yang akan dipilih untuk suatu penyakit tertentu dengan obat yang akan
dikembangkannya. Pengembangan obat baru dapat pula dilakukan dengan pendekatan struktur
molekular suatu obat yang disesuaikan dengan struktur target. Struktur target ini dapat diasumsikan
sebagai suatu protein baik dalam bentuk reseptor, enzim, ataupun DNA yang dapat ditentukan
menggunakan perangkat bioinformatik atau aktivitas farmakologinya. Jika suatu struktur target telah
diketahui, misalnya dengan spektroskopi NMR, maka akan dapat ditentukan molekul obat yang akan
masuk ke dalam struktur target, sehingga kita dapat melakukan simulasi untuk membuktikannya apakah
terdapat interaksi atau tidak. Struktur target yang baik adalah yang mampu menyeleksi beberapa calon
molekul obat yang secara aktif dapat berinteraksi dengan target dan obat tersebut dapat efektif.

Beberapa produk farmasi yang diproduksi dengan teknologi DNA rekombinan adalah sebagai
berikut:
No
1
2
3
4

6
7
8
9
10
11
12
13

Produk
Hormone adenococorticotropic
Alfa dan gamma interferon
Sel beta factor pertumbuhan
Erythropoietin
Hormone pertumbuhn manusia
Lympotoxin
Vaksin hepatitis B
Interleukin-2
Antibody monoclonal
Nerve growth factor

Praurokinase
Platelet derivate growth factor

Kegunaan
Pengobatan penyakit reumatik
Terapi kanker dan infeksi virus
Pengobatan kelainan imun
Pengobatan anemia
Terapi defisiensi pertumbuhan pada anak
Anti tumor
Mencegah hepatitis B
Pengobatan kanker, merangsang system imun
Terapi kanker dan rejeksi transplantasi
Memperbaiki saraf yang rusak
Antikoagulan, terapi serangan jantung
Mengobati artherosclerosis

2. Terapi gen dalam pengobatan penyakit genetik
Terapi gen adalah penyiapan gen ke dalam sel individu dan jaringan untuk mengobati
penyakit, seperti penyakit keturunan dimana suatu alel mutan merusak diganti dengan yang

fungsional. Terapi gen dapat diartikan pula sebagai teknik untuk mengoreksi gen-gen yang cacat
yang bertanggungjawab terhadap suatu penyakit.
Terdapat beberapa pendekatan dalam terapi gen, meliputi:
 Menambahkan gen-gen normal ke dalam sel yang mengalami ketidaknormalan
 Melenyapkan gen abnormal dengan gen normal melalui rekombinasi homolog
 Mereparasi gen abnormal dengan cara mutasi balik selektif
 Mengendalikan regulasi ekspresi gen abnormal.
Terapi gen dikelompokan sebagai berikut:
a. Terapi gen germ-line
Terapi ini dimaksudkan untuk memasukkan gen ke dalam sel germ atau sel embrio
omnipoten. Dalam hal ini, sel-sel kuman yaitu sperma dan sel telur dimodifikasi oleh

pengenalan gen fungsional yang biasanya diintegrasikan ke dalam genom mereka. Oleh
karena itu, perubahan akibat terapi akan diwariskan ke generasi berikutnya.
Namun atas dasar teknis dan etika, penerapan terapi dengan metode ini masih belum dapat
diaplikasikan pada manusia.
b. Terapi gen somatik
Dilakukan dengan memasukkan suatu gen kedalam sel somatik. Gen terapeutik dipindahkan
ke dalam sel somatik pasien. Setiap modifikasi dan efek dibatasi hanya pada pasien yang
bersangkutan, dan tidak diturunkan pada generasi berikutnya.

Terapi gen ex vivo
Sel dari sejumlah organ atau jaringan (seperti kulit, sistem hemopoiteik, hati) atau jaringan
tumor dapat diambil dari pasien dan dibiakkan dalam laboratorium. Selama pembiakan, sel
tersebut dimasuki suatu gen tertentu untuk terapi penyakit, diikuti dengan reinfusi atau
reimplementasi dari sel tertransduksi ke pasien tersebut. Terapi gen ex vivo banyak digunakan
pada uji klinis dengan menggunakan vektor retrovirus untuk memasukkan suatu gen ke dalam sel
penerima. Contohnya adalah terapi gen p53 untuk kondisi karsinoma squamus kepala dan leher,
sedangkan sel targetnya adalah sel tumor.
Terapi gen in vivo
Organ seperti paru-paru, otak, jantung tidak cocok untuk terapi gen ex vivo, sebab
pembiakan sel target dan retransplantasi tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu, terapi gen
somatik dilakukan dengan pemindahan gen in vivo. Sistem penghantar gen in vivo yang ideal
adalah efisiensi tinggi masuknya gen terapeutik dalam sel target. Gen tersebut dapat masuk
kedalam inti sel dengan sedikit mungkin terdegradasi, dan tetap terekspresi walaupun ada
perubahan kondisi.

Terapi siRNA pada penderita HIV/ AIDS
Salah satu strategi dalam menyembuhkan penderita HIV/AIDS dengan terapi antisense
adalah dengan menggunakan short interfering RNA (siRNA).
Prinsip dari terapi ini adalah menggunakan small RNA yang dapat menghambat ekspresi

beberapa gen spesifik virus HIV/AIDS, sehingga dapat menghentikan sintesis protein yang
digunakan virus untuk bertahan hidup, diantaranya adalah protein yang terlibat dalam replikasi.
Selain itu, terapi dengan siRNA juga dapat menghambat ekspresi gen spesifik pada sintesis
protein yang mendukung infeksi virus HIV/AIDS ke dalam sel host.
siRNA adalah RNA double stranded yang terdiri dari 21 -23 pasangan basa yang mampu
membentuk komplement dengan target sekuen spesifik mRNA. SiRNA berasosiasi dengan
molekul helikase dan nuclease membentuk kompleks dengan RISC (RNA-inducing silencing
compleks) yang akan melepaskan komplemen siRNA membentuk ss-siRNA dan kemudian
kompleks ini akan dapat berkomplement dengan mRNA target, sehingga akan memotong mRNA
target. Selanjutnya potongan-potongan mRNA akan didegradasi oleh enzim RNase (Kitabwalla
dan Ruprecht, 2002).
Penghancuran mRNA virus HIV/AIDS yang dimediasi oleh siRNA selanjutnya akan
menghentikan sintesis protein yang essensial bagi virus untuk melakukan replikasi di dalam sel
host dan atau tidak dapat keluar dari sel host, sehingga akan membatasi infeksi pada sel-sel sehat
lainnya.

Terapi pasien yang terinfeksi virus HIV/AIDS saat ini didasari pada ekspresi beberapa
protein penting dalam virus HIV/AIDS yang mendukung infeksi virus ke dalam sel host,
replikasi dan pembentukan lapisan kapsid, serta protein-protein yang terlibat pada tahap akhir
replikasi dan protein yang dibutuhkan untuk proses lisis (keluar dari sel).

Beberapa protein yang mendukung proses infeksi ke dalam host (disebut juga sebagai protein
kofaktor selular) diantaranya adalah NF-B, CD4 reseptor HIV, co-reseptor CXCR4 dan CCR5.
Berbagai protein ini bisa dijadikan sebagai target dalam terapi HIV/AIDS dengan menggunakan
siRNA.
Beberapa hasil penelitian yang direview oleh Reddy, et.al. (2006) menyimpulkan bahwa
semua ekspresi gen dalam sintesis protein NFB, CD4 reseptor HIV, co-reseptor CXCR4 dan
CCR5 telah berhasil dihambat oleh siRNA dan mengakibatkan penghambatan dalam replikasi
virus HIV dalam beberapa cell line manusia, sel limposit T dan hematopoetics stem cells yang
berasal dari magropagh.
Selain itu, siRNA juga telah terbukti menghambat ekspresi gen pada sintesis protein CD4,
protein gag dan nef (protein yang terlibat dalam regulasi mRNA virus di dalam sel host). CD4siRNA mampu mengurangi ekspresi gen protein CD4 pada sel Magi CCR5 yang terinfeksi virus
HIV-1 sebesar 75% (Novina, et.al., 2207).
Poliprotein gag (diekspresikan oleh gag gen virus HIV/AIDS) akan dipecah secara proteolitik
menjadi polipeptida p24, p17 dan p15 dan akan membentuk struktur inti kapsul virus.
Polipeptida p24 berfungsi sebagai pelapis atau kemasan materi genetik virus.
p24-siRNA telah terbukti mengakibatkan degradasi pada region gag mRNA virus,
mengakibatkan penghambatan akumulasi genomik virus dan p24. Akibatnya adalah terjadinya
penghambatan replikasi virus HIV-1 dalam sel host. Dua hari setelah pemberian p24-siRNA
terjadi penurunan protein virus HIV-1 sebesar empat kali lipat dibanding kontrol. Protein nef
adalah salah satu protein regulasi (non-struktural protein) yang diekspresikan oleh virus HIV-1

sebelum terintegrasi dengan genom host. Penghambatan ekspresi gen p24 dan nef akan
menghambat perbanyakan virus pada tahap awal selama infeksi berlangsung (Novina, et.al.,
2002).
Para peneliti merekayasa kombinasi ketahanan genetik ke dalam sel induk yang bertujuan
untuk menghapus sel-sel sistem kekebalan yang rentan terhadap HIV dan diganti dengan sel-sel
yang mampu melawan serangan virus.
Ada tiga langkah sebagai berikut:
a. Untuk menghentikan HIV dari penetrasi sel inang, para peneliti memberikan sel-sel enzim RNA
yang akan memberi pesan kode untuk protein yang disebut CCR5, mencegah HIV menggunakan
protein sebagai reseptor untuk masuk sel.
b. Para peneliti menggunakan modus kedua dan memasukkan umpan RNA dengan protein virus
disebut tat yang penting untuk replikasi, disebabkan mix CCR5 yang tidak aman karena HIV
dapat berkembang dengan cara lain untuk menembus sel.
c. Menggunakan teknik yang disebut RNA interference (RNAi) yang ditempatkan pada untaian
pendek RNA untuk mendegradasi pesan coding protein virus yang sama dan mitra jahat.
Mekanisme yang berbeda tersebut akan mempersulit resistensi virus untuk berkembang. (John
Rossi, biologi molekuler dari Beckman Research Institute City of Hope di Duarte, California,
2010)

3. Diagnosis penyakit

Penggunaan teknik DNA rekombinan untuk diagnosis penyakit dengan memanfaatkan sifat polimorfisme
DNA. Seperti diketahui bahwa polimorfisme dalam genom berfungsi sebagai dasar bagi penggunaan
teknik DNA rekombinan dalam diagnostik penyakit. Polimorfisme adalah variasi dalam urutan DNA.
Dalam genom manusia terdapat jutaan polimorfisme yang berlainan. Yang pertama kali diidentifikasi
adalah mutasi titik, substitusi (penggantian) satu basa oleh basa lain. Penelitian selanjutnya
menunjukkan bahwa delesi (penghilangan) dan insersi (penyisipan) juga bertanggung jawab atas variasi
dalam urutan DNA. Sebagian polimorfisme terjadi di dalamdaerah pengkode gen.Untuk mendeteksi
adanya polimorfisme menggunakan polimorfisme panjang fragmen restriksi (RFLP : restriction fragment
length polymorphism). Mutasi titik bisa terjadi di tepat pengenalan untuk enzim restriksi sehingga enzim
restriksi dapat melakukan pemotongan di tempatpengenalan restriksi yang lain tetapi tidak di tempat
mutasi. Akibatnya, fragmen restriksi yang dihasilkan untuk individu dengan mutasi akan berukuran lebih
besar dibandingkan denganindividu normal. Mutasi juga dapat menciptakan tempat restriksi yang tidak
terdapat di dalamgen normal, sehingga fragmen restriksi yang dihasilkan akan lebih pendek pada
individu mutasi dibandingkan dengan individu normal. Variasi dari panjang fragmen restriksi dinamakan
dengan restriction fragment length polymorphism (RFLP).




Terdapat dua cara diagnosa penyakit menggunakan teknologi DNA rekombinan, yaitu:

Melibatkan penggunaan antibodi
Berdasarkan teknik hibridisasi DNA

3. Diagnose penyakit genetic
Penyakit genetik adalah penyakit yang disebabkan karena kerusakan informasi genetik baik
tingkat gen maupun tingkat kromosom yang diturunkan ke generasi berikutnya.
Prinsip diagnosa berdasarkan teknik hibridisasi dapat digunakan untuk diagnose penyakit
genetik.
Seperti pada penyakit alzeimer, probe (oligonukleutida pendek) DNA yang dirancang dapat
berhibridisasi untuk mendeteksi mutasi tersebut.

4. Forensik dengan “DNA fingerprint”
Pengujian DNA (DNA testing), juga dikenal sebagai profiling DNA (DNA profiling), penyidikan
genetik/DNA, atau penyidikjarian genetik/DNA (genetic/DNA fingerprinting, adalah suatu pengujian
forensik yang melibatkan teknik biologi molekuler untuk mendapatkan profil DNA sejumlah materi uji
yang merupakan bahan biologis. Profil DNA ini biasa disebut sebagai sidik jari DNA (DNA fingerprint).
Melalui suatu alur penalaran tertentu, profil DNA dari berbagai sumber dapat dicocokkan untuk
menunjukkan keterkaitan biologis berbagai materi uji, sehingga dapat mendukung suatu pembuktian
forensik.


Teknik ini berdasarkan pada aplikasi RFLP (Restriction Fragmen Length Polymorphism)
yang didasarkan dengan fakta akan setiap individu yang walaupun memiliki gen yang sama,
tetapi mempunyai perbedaan pada materi genetiknya (DNA).
Metode ini bertujuan untuk mengidentifikasi perbedaan materi genetik, dalam rangka
menentukan apakah dua sampel DNA berasal dari orang yang sama atau berbeda.
Metode yang digunakan adalah PCR, RFLP, elektroforesis dan hibridisasi.