KONSTRUKSI REALITAS SOSIAL DAN BUDAYA KONTEMPORER DALAM KAUS OBLONG BANYUMASAN

  

Tema: 6 (rekayasa sosial dan pengembangan perdesaan)

KONSTRUKSI REALITAS SOSIAL DAN BUDAYA KONTEMPORER

DALAM KAUS OBLONG BANYUMASAN

  

Oleh

Sulyana Dadan

Jurusan Sosiologi FISIP UNSOED

kangdadan_garut@yahoo.com

ABSTRAK

  Kaus oblong Banyumasan merupakan salah satu produk industri kreatif di Banyumas yang memiliki fungsi sebagai pajangan budaya. Hal ini karena desain-desain dalam kaus oblong Banyumasan mampu menampilkan berbagai fenomena sosial dan budaya yang aktual yang dikemas dengan berbagai gaya humor dan kritik. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengamati bagaimana konstruksi realitas sosial-budaya kontemporer yang direpresentasikan dalam kaus oblong Banyumasan.Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan mendatangi dan mengobservasi tempat produksi kaus dan menyeleksi desain kaus pada lima merk kaos oblong Banyumasan. Selanjutnya, desain-desain tersebut dianalisa dengan menggunakan pendekatan semiotik dari Rolland Barthes.Dari hasil penelitian ditemukan bahwa desain kaos oblong Banyumasan sejatinya merupakan konstruksi masyarakat Banyumas sebagai sub-kultur budaya Jawa dengan berbagai karakteristiknya. Teks visual dan verbal dalam desain kaus tersebut menampilkan realitas keseharian dan watak orang Banyumas yang (jujur), egaliter, kritis dan humoris.

  cablaka

  Kata kunci: konstruksi realitas, fenomena sosial-budaya kontemporer

  ABSTRACT

  Banyumasan T-shirt is one of the creative industry products in Banyumas that has a function as a cultural display. This is because the designs in Banyumasan T-shirts are able to showcase actual social and cultural phenomena packed with various styles of humor and criticism. Therefore, this study aims to observe how the construction of contemporary socio-cultural realities is represented in Banyumasan's T-shirt.The research method used is qualitative. The data collection was done by visiting and observing the production of T-shirt and selecting T-shirt design on five brands of Banyumasan T-shirts. Furthermore, the designs were analyzed using the semiotic approach of Rolland Barthes. From the result of the research, it is found that Banyumasan T-shirt design is actualy a Banyumas society construction as Javanese sub-culture with various characteristics. Visual and verbal texts in the T-shirt design showcase the daily reality and character of Banyumas such as (truthness), egalitarian, critical and humorous people.

  cablaka

  Keywords: construction of reality, contemporary socio-cultural phenomenon

  PENDAHULUAN

  Kaus oblong ( T-shirt ) telah mengalami transformasi makna dalam dinamika kebudayaan kontemporer. Kaus oblong menjadi produk budaya populer yang memiliki ragam makna; dari simbolisasi gaya hidup, status sosial dan afiliasi identitas tertentu. Gambar dan tulisan (teks) dalam kaus oblong juga semakin variatif dan mampu menampilkan realitas sosial-budaya kontemporer yang beragam. Menurut Antariksa (2009: 2), saat ini kaus oblong telah menjadi wahana tanda untuk menyampaikan teks secara terbuka, dari pengalaman, gerakan politik, ideologi, bisnis, relasi sosial, identitas dan bahkan yang tidak menunjukan identitas si pemakainya.

  Kaus oblong telah dikenal di seluruh dunia, termasuk di Banyumas, Indonesia. Di wilayah ini, bermunculan produsen kaus oblong dengan beragam corak desain yang menunjukan budaya khas Banyumasan, seperti: falsafah hidup, seni-budaya, bahasa, watak masyarakatnya, tradisi, dan lain-lain. Kaus oblong Banyumasan ini sering menampilkan fenomena sosial-budaya kontemporer yang sedang jadi buah bibir masyarakat. Contohnya, isu korupsi, dinamika politik lokal, kritik terhadap dunia pendidikan dan lain-lain.

  Penelitian Shodiq, dkk (2014), menyebutkan bahwa sampai akhir 2014, terdapat 17 (tujuh belas) produsen kaus oblong di wilayah Banyumas. Jumlah ini meningkat pesat dari yang hanya satu merk pada tahun 2006-an, yakni kaos Dablongan . Produsen dan merk kaus oblong Banyumasan yang saat ini eksis antara lain: Bhineka Ceria, Kidal Kolektif, Dablongan, Kreasi

  

Inyong, Bengkong, Ngapak, Kuda Lumping, Orange Clothing, Konveksine Inyong, Maning, Bawor,

Ice Box, Baloeng Gedhe, Youth Attack, Klinik Rebel, Cablaka dan Domong.

  Teks-teks dalam kaus oblong Banyumasan memang sangat menarik untuk dikaji. Beberapa contoh tulisan dalam kaus oblong Banyumasan merk Dablongan misalnya; Rika tah

  “

  meneng bae nglombo, apa maning ngomong (Kamu itu diam saja sudah bohong, apalagi (kalau

  sampai) ngomong),

  Burit kantor,didelah nang pedaringan jelas kesenengan

  “

  (tikus kantor

  (koruptor), disimpan di tempat penyimpanan beras tentu kesenengan),

  ora ngapak, dupak

  “ ” (tidak ngapak, (akan) ditendang), dan lain-lain. Teks tersebut dapat dibaca sebagai ekspresi budaya sekaligus sikap kritis masyarakat Banyumas dalam menyikapi berbagai fenomena sosial-budaya yang terjadi di sekitarnya. Hal ini karena berbagai teks tersebut menampilkan elemen budaya Banyumasan, yakni bahasa Banyumasan yang dikenal sebagai bahasa dan watak

  ngapak masyarakatnya yaitu (jujur/ apa adanya). cablaka

  Penelitian yang mengkaji kaus oblong sudah pernah dilakukan, di antaranya dilakukan oleh Crane (2000) dan Manning dan Cullum-Swan (2006). Crane yang melihat sejarah fashion di Eropa menyatakan,kaus oblong mampu menggeser kedudukan topi sebagai pembeda status sosial. Di era sekarang, kaus oblong mampu mengekspresikan identitas sosial dengan berbagai cara, dari identitas politik sampai gaya hidup. Sementara Manning dan Swan (2006) menyimpulkan bahwa kaus oblong mengkomunikasikan siapa pemakainya, pengalaman, sikap, status dan hubungan sosial, tempat kerja dan kolektivitas komunitas tertentu.

  Kaus oblong juga mampu memproduksi realitas tertentu. Penelitian Wijana (2003) misalnya, mengemukakan bahwa gaya plesetan yang ditampilkan dalam kaus Dagadu-Yogyakarta merupakan representasi kearifan lokal masyarakat Yogyakarta yang suka guyon . Peneliti lain, Wardhani (2006) yang juga meneliti kaus Dagadu Yogyakarta menyimpulkan bahwa sebagai produk budaya populer, kaus Dagadu berfungsi sebagai alat ideologis. Hal ini dikarenakan teks dalam kaus Dagadu bisa ditafsirkan sebagai sebuah konsep nyata oleh konsumen. Identitas kota Yogyakarta yang direpresentasikan dalam kaos Dagadu seperti Yogyakarta sebagai kota wisata, kota pelajar bahkan kota plesetan dikonstruksi melalui representasi sedemikian rupa untuk menimbulkan makna seperti makna yang dinginkan Dagadu.

  Selanjutnya penelitian Bangsawan (2014) yang melihat desain dalam kaus C akcuk Surabaya, melihat bahwa apa pun desain dan bentuknya, kaus oblong Cakcuk selalu merepresentasikan identitas budaya lokal Surabayaan. Bangsawan membagi kaus Cakcuk menjadi lima berdasarkan desainnya. Pertama, desain yang berhubungan dengan surabaya sebagai kota pahlawan. Kedua, Surabaya sebagai kota kuliner. Ketiga, Surabaya sebagai kota misuh (mengumpat). Keempat, Surabaya sebagai kota esek-esek (transaksi seks karena ada lokalisasi yang bernama Gang Dolly). Dan kelima, Surabaya sebagai kota bonek ( Bondo Nekat , nama pendukung tim sepakbola Persebaya).

  Penelitian-penelitian yang telah di paparkan di atas, baik penelitian yang telah dilakukan di luar negeri maupun di Indonesia memang menjelaskan bagaimana realitas ditampilkan dalam kaus oblong. Namun, penelitian-penelitian tersebut cenderung hanya melihat dari sisi tekstualnya saja tanpa memperhatikan konteks sosial-budayanya.Oleh karena itu, maka permasalahan yang diajukan dalam artikel ini difokuskan kepada diskusi untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana konstruksi realitas sosial-budaya kontemporer direpresentasikan dalam teks kaus oblong Banyumasan

  ?

METODE PENELITIAN

  Sasaran dalam penelitian ini berwujud data tekstual, baik tulisan maupun gambar yang terdapat dalam kaus oblong Banyumasan. Tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan dokumentasi. Observasi yang dimaksud di sini adalah mengunjungi outlet kaus oblong Banyumasan untuk mengamati, memilih dan menentukan desain-desain kaus oblong Banyumasan yang akan diteliti. Selanjutnya, analisa data dilakukan dengan analisis tekstual yaitu semiotik. Semiotik digunakan untuk melihat makna-makna yang tersurat maupun tersirat dalam desain kaus Ngapak Banyumasan. Semiotika yang digunakan adalah semiotika Rolland Barrthes yang dikenal dengan semiotika konotatif.

  HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Desain “Bapak Wong Ngapak”

  Gambar 1. Desain Bapak Ngapak

  

Sumber: dokumentasi peneliti

  Pada sistem semiotika tingkat pertama, desain di atas bermakna seorang laki-laki dewasa dengan dandanan perlente sedang berdialog dengan seseorang (mungkin perempuan) yang ia prediksi bahwa bapak orang tersebut berasal dari Cilacap. Ia memiliki prediksi itu karena orang

  mengapakan yang diajak dialog tersebut mampu “ ” hatinya.

  Pada semiotika tataran kedua, teks visual berupa gambar seorang laki-laki berdandan perlente bermakna konotasi sebagai dandanan orang kota, citra gaul dan modis. Selanjutnya, penanda verbalnya dapat bermakna sebagai sebuah rayuan laki-laki tersebut terhadap perempuan asal Cilacap. Pertanyaan “Bapak kamu asli Cilacap ya?” secara konotatif mengindikasikan bahwa laki-laki tersebut mengetahui sesuatu yang berkaitan dengan karakter orang Cilacap sehingga laki- laki tersebut berupaya bertanya untuk meyakinkan atau menegaskan pengetahuannya tentang orang Cilacap. Secara tersirat laki-laki mengetahui bahwa Cilacap merupakan salah satu wilayah budaya

  ngapak

  . Oleh karena itu, ketika dijawab “kok tahu” oleh lawan bicaranya, dengan serta merta laki-

  ngapak ngapak

  laki tersebut segera menjawab “karena kamu telah me an hatiku”. Kata “me an” dapat diartikan sebagai ungkapan untuk menunjukan bahwa laki-laki itu telah jatuh hati atau suka kepada lawan bicaranya itu. Oleh karena itu, desain di atas menawarkan makna bahwa wong ngapak itu menarik sehingga mampu membuat siapa pun jatuh hati pada budaya ngapak .

  Jadi, desain di atas setidaknya juga menawarkan makna konotasi bahwa orang Cilacap mampu menunjukan identitas ngapak nya kepada orang lain sehingga siapa pun yang bergaul dengannya akan mengetahui bahwa dia adalah orang Cilacap. Oleh karena itu, desain di atas juga memiliki pesan bagi orang Cilacap untuk tidak minder dengan budaya ngapak yang dimilikinya dan harus mampu “mengapakan” orang lain atau menjadikan orang lain jatuh cinta kepada budaya .

  ngapak

2. Desain “ Kebo Wis Ora Nusu Gudel”

  Gambar 2. Kebo Nusu udel

  Sumber: ngapak dablongan

  Secara harafiah, desain di atas bermakna gambar kerbau yang sedang mengempeng. Teks verbal dalam desain kaos di atas Kebo siki nusu dot wis ora nusu gudel yaitu “ ” secara harafiah menjelaskan secara detail tentang gambar kerbau adalah bahwa sekarang ini kerbau tidak lagi menyusu ke anaknya, tapi menyusu ke dot (alat bantu yang diperuntukan bagi bayi dalam menghisap ASI berupa tiruan puting payudara perempuan).

  Desain di atas sebenarnya merupakan plesetan dari peribahasa Jawa yang berbunyi “Kebo Nusu Gudhel” . Peribahasa tersebut memiliki arti orang tua yang belajar kepada anaknya tentang sesuatu hal, terutama tentang ilmu pengetahuan. Secara umum, peribahasa ini juga sering diartikan sebagai kondisi kehidupan di era sekarang yang serba modern, sehingga generasi tua harus menimba ilmu dari generasi muda.

  Oleh karena itu, pada semiotika tataran kedua desain di atas menawarkan makna konotasi tentang cara belajar orang tua sekarang ini. Teks verbal

  “Kebo siki nusu dot wis ora nusu gudhel”

  secara konotatif bermakna bahwa telah terjadi perubahan cara belajar dari para orang tua. Dot berkonotasi dengan benda/ alat praktis dan menyiapkan susu bayi secara instan. Dengan kata lain, kalimat di atas secara konotatif menawarkan makna bahwa generasi tua sekarang lebih memilih peralatan yang serba praktis daripada belajar kepada anaknya atau generasi muda dalam menimba ilmu pengetahuan.

  Jadi pada semiotika tingkat kedua, desain di atas menawarkan makna bahwa telah terjadi ekspansi luar biasa dalam bidang ilmu pengetahun. Kemajuan pesat dalam ilmu pengetahuan ini menuntut para orang tua untuk belajar, termasuk kepada generasi muda dalam rangka menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Namun, pengetahuan para generasi muda pun tidak cukup. Saat ini telah terjadi kelimpah-ruahaninformasi sehingga ilmu pengetahuan pun bisa di dapatkan dari mana saja. Oleh karena itu, menimba ilmu pengetahuan pun tidak hanya didapatkan dari generasi muda, tapi dari sesuatu yang bersifat instan, seperti sebuah yang justru tidak

  empeng

  berisikan apa-apa. Dalam beberapa hal, sesuatu yang instan ini sangat membuat para generasi tua menjadi sangat ketergantungan. Artinya para orang tua sekarang sangat tergantung atau

  ngempeng terhadap berbagai hal yang bersifat instan. Sesuatu yang instan ini contohnya adalah tekhnologi seperti internet, televisi, smarthpone dan lain-lain.

  Jadi, desain di atas adalah representasi kalangan orang tua di tlatah Banyumas yang mengalami ketergantungan terhadap teknologi. Ketergantungan teknologi ini dapat ditafsirkan sebagai kondisi gegar budaya ( cultur shock ) yang sedang dialami wong ngapak , khususnya para orang tuanya.

3. Desain “United Ngapak”

  Gambar 3. United Ngapak

  

Sumber: Ngapak Collection

  Pada semiotika tingkat pertama, gambar dan teks di atas dapat diartikan sebagai plesetan dari simbol perserikatan bangsa (PBB) yang diasosiasikan dengan wilayah ngapak. Peta dunia dalam logo PBB dirubah menjadi peta wilayah Banyumas. Kemudian rangkaian dua huruf UN merupakan plesetan dari UNO (United Nation Organization) yang diplesetkan menjadi United Ngapak.

  Pada semiotika tingkat kedua, berbagai penanda di atas secara konotatif menawarkan makna tentang eksistensi budaya Banyumasan. Dua huruf kapital “UN” yang merupakan akronim dari United Ngapak merupakan penambat bagi teks visual berupa gambar peta yang secara konotatif memberikan pesan bahwa peta yang terdapat dalam teks di atas adalah peta wilayah

  ngapak ngapak juga terdiri

  . Selanjutnya, kata “united” memberikan makna konotasi bahwa wilayah dari beberapa wilayah yang bersatu membentuk suatu kesatuan, sama seperti United Nation (PBB) yang terdiri dari banyak negara sebagai anggotanya. Anggota united ngapak yang dimaksud adalah wilayah yang selama ini merupakan wilayah yang diklaim sebagai wilayah ngapak yakni Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Kebumen, Banjarnegara dengan ciri utama berbahasa ngapak .

  Berbagai penanda di atas juga menawarkan makna bahwa wilayah United Ngapak memilki budaya yang sama. Hal ini ditunjukan dengan tampilnya silhuet Bawor yang diposisikan di atas gambar peta. Sebagai simbol karakter , posisi Bawor tersebut memberikan

  wong ngapak

  makna konotasi bahwa Bawor adalah “payung” bagi wong ngapak. Artinya, Bawor dengan berbagai karakteristiknya harus dijadikan pedoman dalam bertingkah laku terutama sifat-sifat baiknya untuk menjaga agar wilayah ke depan semakin maju.

  ngapak Penanda visual lainnya, yakni dua tangkai pohon zaitun dan lapisan lingkaran, dapat ditafsirkan bahwa sama halnya seperti PBB, tlatah ngapak yang bersatu akan dapat membawa kehidupan para anggotanya menuju ke arah kehidupan yang lebih baik/ kesejehteraan. Pohon zaitun berelasi dengan makna kesejahteraan, sementara lapisan lingkaran berelasi dengan makna target yang harus dicapai. Oleh karena itu, wong ngapak juga semestinya memiliki target-target tertentu untuk mencapai kesejehteraan tersebut.

  ora ngapak ora kepenak

  Teks verbal “ ” secara konotatif menunjukan bahwa “bahasa

  wong

  persatuan” dari komunitas “united ngapak” ini adalah bahasa ngapak sehingga sesama ngapak harus menggunakan bahasa ngapak . Bahasa ngapak sudah menjadi pembeda antara wong

  

ngapak dengan budaya lainnya dan oleh sebab itu jika wong ngapak tidak menggunakan bahasa

ngapak, maka suasananya akan menjadi tidak enak.

  Jadi secara umum, seluruh desain di atas merupakan representasi semangat kekeluargaan yang terjalin di antara sesama wong ngapak . Semangat kekeluargaan ini merupakan fragmen ideologi dari sikap guyub dan rukun yang dimiliki wong ngapak dengan karakter cablaka-nya seperti karakternya Bawor. Salah satu pengikat keguyuban wong ngapak adalah bahasa pemersatu mereka yakni bahasa ngapak .

  KESIMPULAN

  Dari hasil analisis data secara semiosis di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, terkait dengan karakter manusianya, wong ngapak dikonstruksikan memiliki identitas tertentu yang membuat orang lain tertarik kepadanya. Kedua, realitas (sosial) masyarakat yang sekarang ini jadi perhatian adalah munculnya fenomena gegar budaya ( cultur shock ) yang dialami sebagian wong ngapak , khususnya para orang tuanya akibat mengalami ketergantungan terhadap teknologi. Ketiga, realitas budaya yang ditampilkan adalah semangat kekeluargaan yang terjalin di antara sesama wong ngapak di tlatah Banyumas Raya. Hal ini merupakan indikasi eksisnya semangat kekeluargaan dan guyub rukunnya sesama wong ngapak. Salah satu pengikat keguyuban wong ngapak adalah bahasa pemersatu mereka yakni bahasa ngapak .

DAFTAR PUSTAKA

  , No. 4 Maret Antariksa, 2009. “Menjadi Modern dengan Kaos Oblong” dalam News Letter Kunci 2009, hal: 3-6.

  Bangsawan, Arjuna. 2014. Lokalitas Konten dalam Visual Kaus Cak-Cuk Surabaya, dalam jurnal Artkita Vol. 1 Nomor 01-Juli 2014, hal: 29-37. Barthes, Rolland. 1972. , Hill and Wang, New York

  Mythologies

  Hall, Stuart..(ed.). 2000. Representation: Cultural Representation and Signifying Practice , Sage Publication, London

  Herusatoto, Budiono.2008. Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak. LkIS. Yogyakarta Manning, P.K dan Swan, Betsy Cullum, 2010. The Semiotics of T-Shirts

  ses tanggal 13 Januari 2014) Priyadi, Sugeng.a. 2003.

  Bahasa dan Seni Vol. 31

  “Beberapa Karakter Orang Banyumas”, Jurnal No. 1/ 2003. UMP Purwokerto, 14-36

  Shodiq, Dalhar, dkk. 2014. “Menata Gelombang Ekonomi Keempat: Perluasan Jaringan Kerja sebagai Model Pemberdayaan dan Pengembangan Subsektor-subsektor Industri Kreatif di Jurusan Sosiologi

  Banyumas dan Sekitarnya”. Laporan Penelitian Riset Institusional FISIP Unsoed. Wardani, Elisa Dwi. 2006.

  “Konstruksi Identitas Yogya dalam Kaos Oblong Dagadu Djogja”,

  Thesis Program Studi Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (tidak dipublikasikan).

  Pidato

  Wijana, I Dewa Putu. 2003. “Wacana Dagadu, Permainan Bahasa dan Ilmu Bahasa”, dalam Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

  Pengukuhan Yogyakarta, 27 Februari 2003.