STRUKTUR DAN MAKNA DALAM RITUALMEMANGGIL HUJAN(COWONGAN) DI BANYUMAS

  

Tema: 6 Rekayasa sosial dan pengembangan perdesaan

STRUKTUR DAN MAKNA DALAM RITUALMEMANGGIL

HUJAN(COWONGAN) DI BANYUMAS

  

Oleh

Lynda Susana Widya Ayu Fatmawaty, M.Hum, Aidatul Chusna, M.A., Muhammad Taufiqurrahman, M.Hum. Universitas Jenderal Soedirman

  

ABSTRAK

  Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur ritual dan makna dalam ritual memanggil hujan (cowongan) yang dilakukan oleh masyarakatBanyumas.Penelitian ini menggunakan pendekatan budaya dengan metode deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa cowongan merupakan ritual memanggil hujan yang dulunya dilakukan oleh para petani pada musim kemarau. Dalam struktur cowongan dapat ditemukan urutan prosesi yang dimulai dengan pembakaran kemenyan oleh dalang dan para pelaku ritual. Pelaku ritual adalah dalang, bidadari, iblis/setan gundul, sinden dan masyarakat petani. Ritual kedua adalah pembacaan mantra dimana mantra dalam ritual cowongan memegang peranan penting yaitu sebagai media memanggil bidadari agar turun ke bumi untuk membawa hujan.

  Setelah itu, ritual selanjutnya adalah “ngarak” bidadari mengelilingi tempat ritual. Ritual diakhiri dengan menari bersama dan penyampaian pesan yang intinya mengajak manusia untuk menyebarkan kasih sayang kepada sesama, saling menghargai, dan selalu berbuat baik kepada sesama. Kata Kunci: struktur, makna, mantra, cowongan, Banyumas

  ABSTRACT

  This study aims to describe the structure of ritual and its meaning in the ritual of calling rain (cowongan) conducted by the people of Banyumas. This research uses a cultural approach with qualitative descriptive method. The results of this study indicate that cowongan is a ritual summoning rain that was formerly done by farmers during the dry season. In the structure of

  

cowongan can be found a sequence of processions that begin with incense burning by dalang and

  ritual actors. Perpetrators of rituals are dalang, angels, devils / devils bare, sinden and farmer or communities. The second ritual is the mantra recitation where the mantra in the ritual of the

  

cowongan plays an important role that is as a medium called the angels to descend to earth to bring

  rain. After that, the next ritual is the parade of all the perpetrator around the place of ritual. The ritual ends with dancing together and the delivery of messages that essentially invites humans to spread affection to others, respect each other, and always do good to others.

  Keywords: structure, meaning, mantras, cowongan, Banyumas PENDAHULUAN

  Budaya Banyumasan, yang terletak di antara kesenian Jawa kratonan Ngayogyakarta dan kesenian Sunda memiliki ciri khas tersendiri yang sangat unik dan berbeda dari keduanya. Kesenian Banyumas memiliki ciri khas yang menunjukkan nafas kebebasan seperti dalam musik gamelan, tembang-tembang Banyumasan lama, atau dalam kesenian tradisional yang lain (Priyadi,

  2013: 21). Kesenian tradisional tersebut merupakan kesenian rakyat yang dilakukan tidak hanya untuk menghibur masyarakat tapi juga sebagai bentuk ritual untuk keselamatan dan kesejahteraan masyarakat di Banyumas khususnya. Beberapa kesenian tradisional Banyumas yang berkaitan dengan ritual ini memiliki kesamaan, yaitu menggunakan mantra dalam pertunjukannya. Pemimpin ritual memandu ritual pertunjukan dalam kesenian tradisional tersebut dengan mengucap mantra dan dilengkapi sesaji.

  Salah satu kegiatan tradisi di Banyumas yang menggunakan mantra dalam

pelaksanaannya adalah ritual memanggil hujan atau yang lebih dikenal dengan cowongan.

Dalam ritual ini, keberadaan mantra menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan mitos

karena laku yang dijalani akan selalu dikaitkan dengan kepercayaan masyarakat

Banyumas. Secara turun-temurun masyarakat percaya bahwa mantra yang diucapkan

dalam ritual cowongan dapat mendatangkan hujan dan keberkahan bagi mereka. Mantra

dalam cowongan merupakan sebuah penggambaran melalui simbolisasi langit, bumi, dan

nini cowong yang dibungkus dengan filosofi kamasutra versi jawa.

  Masih dipraktikkannya ritual cowongan pada masyarakat Banyumas merupakan fenomena yang menarik, sebab di tengah era modernisasi yang semuanya sudah sangat canggih ada sekelompok masyarakat yang masih setia untuk mempraktikkan bentuk ritual yang merupakan bagian dari budaya mereka. Fenomena ini sangat menarik untuk dikaji sehingga diharapkan kearifan lokal budaya banyumas ini akan mendapat respon positif dari seluruh kalangan dan terjaga eksistensinya. Untuk itu, diperlukan penelitian agar ritual tersebut tidak hanya hidup di masyarakat namun juga terdokumentasi secara akademik, dapat dikaji secara ilmiah dan dapat dikenal oleh masyarakat luas. Penelitian ini kan membahas tentang struktur ritual memanggil hujan/cowongan yang dilaksanakan oleh masyarakat Banyumas.

METODE PENELITIAN

  Lingkup penelitian ini termasuk dalam lingkup kajian sastra dan budaya, dengan

objek penelitian ritual memanggil hujan di Banyumas yaitu cowongan. Berdasarkan tujuan

dari penelitian ini, metode descriptive qualititative dianggap paling tepat dalam

melaksanakan penelitian. Cresswell (1998: 15) menyatakan bahwa dalam Qualitative

Research, peneliti membangun suata gambaran yang kompleks dan utuh, menganalisis

kata, melaporkan pandangan informan secara detail, dan melakukan kajian seperti apa adanya. Tindakan penelitian dalam penelitian ini adalah melalui tiga proses yaitu kategorisasi, identifikasi dan analisis. Proses kategorisasi dimulai dengan memilih ritual memanggil hujan yang dilkaukan di Banyumas. Setelah itu adalah proses identifikasi, yaitu dengan memilah informasi penting melalui interview pelaku ritual dandokumentasi tentang prosesi pelaksanaan ritual cowongan. Tahap terakhir adalah analisis, dimana pada proses ini merupakan bagian krusial untuk mengolah mengolah/menganalisis data yaitu dengan menggambarkan bagaimana struktur dan makna dari ritual memanggil hujan (cowongan) di Banyumas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

  Dalam kajian budaya, kebudayaan dan sastra mempunyai bentuk hubungan yang menarik (Ratna, 2007). Karya sastra memiliki berbagai cara dalam melestarikan kebudayaan, yang secara keseluruhan dapt dimediasi melalui kebudayan yang secara keseluruhan dilakukan melalui bahasa.Di daerah Banyumas, masih terdapat banyak bentuk sastra yang belum mendapatkan perhatian dari kalangan peneliti, dan salah satunya adalah sastra lisan. Bentuk sastra lisan yang masih ada di Banyumas adalah mantra. Masyarakat Banyumas bahkan percaya bahwa mantra bukan hanya sekedar mantra, melainkan juga merupakan doa yang dapat memanggil roh nenek moyang, sehingga ritual dapat berlangsung dengan lancar dan membawa berkah bagi mereka semua.

  Kekayaan budaya Indonesia tercermin dari berbagai ritual-ritual yang dilakukan diberbagai daerah di Indonesia. Salah satu ritual unik yang dilakukan masyarakat adalah ritual memanggil hujan. Ritual memanggil hujan memang masih banyak dilakukan di beberapa tempat di Indonesia, meskipun ritual ini kemudian muncul dengan berbagai nama yang berbeda seperti Ujungan(berasal dari daerah Purbalingga dan Banjarnegara, Jawa Tengah), Manten Kucing(dilaksanakan di desa pelem, Tulungagung, Jawa Timur), Ojung(berasal dari Bondowoso, Jawa Timur), Gebug Ende( berasal dari Bali), dan Cowongan(dilaksankan di Banyumas, Jawa Tengah). Bahkan di daerah banyumas sebenarnya ada dua varian tradisi memanggil hujan yang dikenal dengan cowongan(dilaksanakan di Pangebatan) dan pakeyongan (dilaksanakan di daerah Kembaran).

  Dari berbagai ritual tersebut, ada beberapa yang memiliki kesamaan namun ada pula yang memiliki perbedaan dalam pelaksanaannya. Persamaan dari kesemua ritual tersebut adalah adanya mantra-mantra yang diucapkan untuk memanggil hujan meskipun media yang digunakan dalam pelaksanaan berbeda.Mantra-mantra tersebut dipercaya memiliki kekuatan magis yang mampu membendung segala marabahaya dan melindungi masyarakat di sekitar tempat pertunjukan. Penggunaan mantra-mantra, salah satunya dapat ditemukan dalam ritual memanggil hujan atau cowongan, yang dilakukan oleh masyarakat di Banyumas. Pada dasarnya, mantra bukanlah ekspresi verbal tanpa makna. Mantra dipercaya memiliki kekuatan magis yang dapat mewujudkan keinginan-keinginan baik pembacanya maupun masyarakat sekitarnya. Dalam ranah sastra, mantra adalah bagian dari sastra lisan(oral literature) yang dilestarikan secara turun temurun melalui ritual yang dilaksanakan. Mantra dalam sebuah ritual dianggap sebagai bagian yang sangat penting sehingga merupakan salah satu syarat mutlak dalam sebuah prosesi ritual memanggil hujan di Banyumas atau dikenal dengan cowongan. Karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis struktur ritual memanggil hujan (cowongan) yang dipraktikkan pada kelompok masyarakat di Banyumas, mendeskripsikan mantra- mantra yang digunakan dalam ritual cowonganyang merupakan suatu bentuk sastra lisan, dan menganalisis makna yang terkandung dalam mantra yang digunakan dalam ritual cowongan. Cowongan dalam penelitian ini merupakan sebuah ritual yang dikemas dalam seni pertunjukan rakyat yang dilaksanakan di daerah Pangebatan, Banyumas.

  Menurut budayawan banyumas (Titut edi purwanto, yang juga seorang dalang cowongan), cowongan dulunya berasal dari ritual yang dilakukan oleh petani di Banyumas yang ingin meminta hujan agar berhasil hasil panennya. Secara khusus ritual ini digambarkan sebagai sebuah ritual untuk memanggil bidadari agar turun ke bumi untuk membawa hujan. Secara harfiah cowongan berasal dari kata cowang-coweng yang dapat diartikan sebagai corat coret di muka cowong. Cowong adalah boneka yang dibuat dari tempurung kelapa dan diberi baju dari jerami, rumput, daun, atau kain dan didandani seperti wanita sebagi perlambang perwujudan bidadari. Boneka ini kemudian di corat coret dengan kapur sirih atau yang biasa dikenal dengan njet. Dalam perkembangannya, ritual ini kemudian berubah menjadi seni pertunjukan yang tetap menggunakan aspek-aspek ritual memanggil hujan. Meskipun seringkali pertunjukan cowongan di Banyumas dielaborasi dengan kesenian tradisional lainnya, namun kesan magis dari ritual ini tetap kuat keberadaanya. Hal ini tidak lepas dari peralatan, tata cara dan mantra yang diucapkan selama pelaksanaan ritual.

  Peralatan atau kelengkapan yang ada dalam ritual ini adalah pawang, cowong, penari, bunga- bunga, asap, dan kemenyan. Pawang merupakan pelaku ritual yang memegang kunci berjalannya ritual karena dia dianggap sebagai orang yang memiliki kemampuan lebih untuk merapalkan mantra. Sedangkan cowong merupakan media hadirnya roh yang dipercaya sebagai bidadari pembawa hujan. Sebelum digunakan dalam ritual, biasanya pawang dan cowong melakukan semedi di tempat sepi seperti makam, bawah pohon, atas batu, atau dipinggir sungai. Biasanya cowong akan ditinggal selama 3 hari untuk bermeditasi ditempat tersebut sehingga akan mudah “terisi”. Penari juga penting keberadaannya karena dalam ritual ini penari biasanya sebagai simbol semesta yang memiliki peran berbeda seperti bidadari, punggawa,dan setan/iblis. Bunga-bunga, asap, dan kemenyan juga tidak boleh dilupakan keberadaanya karena tiga hal ini dipercaya sebagai “makanan” yang dapat mengundang semesta untuk mendukung jalannya ritual cowongan. Hal ini akan membuat ritual berjalan lancar. Secara terperinci, semua hal tersebut dapat dijabarkan dalam penjelasan sebagai berikut: Pertama, pawang atau dalang membuka upacara Cowongan dengan memanggil Nini

  Cowong ke Pelataran Cowong Sewu atau ke lapangan/tempat pelaksanaan ritual. Pada ritual pembuka ini Dalang memberikan penjelasan bahwa Cowong tidak sama dengan jelangkung. Menurut leluhur, Cowongan merupakan cara untuk memohon kepada Yang Maha Kuasa dengan perantara batok cumplung. Orang banyumas mendefinisikan Cumplung adalah kelapa yang jatuh dari pohonnya karena digigit oleh tupai. Setelah cumplung ini siap, maka Batok cumplung untuk ritual Cowongan dibawa ke tepi sungai atau tengah-tengah sawah dan dibiarkan bertapa ditempat tersebut selama sehari semalam atau lebih. Menurut Dalang Cowongan yaitu Titut Edi Purwanto, hal ini dimaksudkan agar cumplung tersebut akan “ terisi” atau dihuni oleh makhluk gaib. Kemudian, batok cumplung tersebut dibawa ke tempat dilangsungkannya ritual Cowongan. Dalang juga menyebutkan bahwa sesajen, bunga dan kemenyan harus lengkap serta akan ada lagu-lagu atau mantra untuk mengundang leluhur.

  Setelah semua ubo rampe atau peralatan yang dibutuhkan lengkap tersedia,maka kemenyan mulai dibakar dan sekumpulan laki-laki dengan tubuh dicat hitam yang merupakan simbolisasi setan/iblis masuk ke area ritual. Setelah itu Dalang mulai membacakan mantra yang berbunyi:

  

sulasih sulanjana kukus menyan ngundhang dewa,

Ana dewa dening sukma widadari temuruna Runtung

  • – runtung kesanga, sing mburi karia lima Leng-leng guleng, gulenge pangebatan Gelang – gelang nglayoni, nglayoni putria ngungkung cek
  • – incek raga bali rog rog asem kamilega

    reg regan rog rogan reg regan rog rogan.

  Ritual berlanjut dengan masuknya sinden ke dalam area ritual dan turut mengucapkan mantra.

  sang kamadipa, sang kamadipa Sang kamadadi, sang kamadipa Sang kamadadi, isnu kuning apa rupane, sangkalewa (?) jati arane menyan Sang cublek kuning urubing menyan

  Prosesi selanjutnya dalang mengangkat Cowong yang terbuat dari batok kelapa. Hal ini dimaksudkan agar bidadari dan arwah leluhur akan turun dan merasuki cowong tersebut. Kemudian dalang mengucapkan mantra yang berisi permohonan ampun atas dosa yang dilakukan masyarakat Banyumas kepada leluhur. Dalang juga menambahkan bahwa ritual memanggil hujan atau Cowongan ini dilakukan untuk melestarikan budaya Banyumas seperti halnya lengger atau Ronggeng dan Ebeg. Dalang dalam kesenian cowongan ini juga seringkali disebut sebagai pawang hujan. Ia dipercaya memiliki kekuatan magis yang kuat untuk dapat memanggil hujan.

  Sesudah mengucapkan mantra-mantra tersebut, dalang menjelaskan bahwa leluhur mengumpulkan orang-orang untuk mengundang bidadari yang menurunkan hujan. Sehingga, dalang juga menyematkan pesan mengajak penonton untuk selalu hidup rukun tanpa pertengkaran. Meskipun pilihan dan selera mereka berbeda tetapi mereka harus bersama-sama membangun Banyumas menjadi daerah yang tenteram.

  Kemudian, dalang melanjutkan ritual dengan mengucapkan mantra yang berisi permohonan meminta hujan sementara Nini Cowong menari bersama yang lain. Pawang juga mengingatkan agar tidak membenci kebudayaan Banyumas, terutama Cowongan, yang sering merujuk pada hal- hal yang syirik. Dalam hal ini kemudian pawang mengucapkan mantra yang mengatakan bahwa air kesuburan telah datang. Bumi menjadi lebih segar dan tanaman mulai tumbuh. Orang-orang akan makan dan minum dari tanah Banyumas. Sehingga, orang-orang diharapkan untuk tidak melupakan Banyumas. Hal ini menunjukkan betapa sebenarnya orang Banyumas sangat mencintai budaya dan leluhurnya.

  Sementara dibagian lain, ada beberapa penari yang merupakan gambaran iblis sedang menari nari sambil memandu seorang perempuan cantik. Makna dari kehadiran perempuan ini merupakan sebuah lambang bidadari yang turun ke bumi. Bidadari ini kemudian ditandu dan diarak mengelilingi lapangan. Setelah itu, Dalang dan kumpulan penari seperti laki-laki yang dicat hitam, bidadari, dan sinden terus menari dan mengucapkan mantra untuk mengundang Nini Cowong ke area ritual. Hal ini merupakan prosesi akhir dari ritual ini yang memiliki simbol sebagai kebersamaan. Selain itu juga nyanyian tersebut merupakan kebersamaan dan wujud rasa syukur karena hujan telah turun.

  KESIMPULAN

  Pada dasarnya, kesenian tradisional Banyumas masih dapat dinikmati sampai saat ini karena masyarakatnya masih memegang teguh nilai-nilai budaya luhur nenek moyang. Hal ini tercermin pada hampir semua bentuk kesenian tradisional yang dipentaskan oleh masyarakat. Kesenian rakyat cowongan ini adalah contoh sederhana bagaimana masyarakat menikmatinya tidak hanya sebagai sebuah seni, tapi lebih pada kepercayaan terhadap mitos yang membawa keberkahan bagi mereka. Cowongan dilakukan ketika musim kemarau panjang berlangsung di daerah Banyumas. Masyarakat sangat mempercayai mitos bahwa setelah dilakukan ritual ini maka hujan akan segera turun karena mantra- mantra sakti sebagai perlambang doa telah di panjatkan oleh sesepuh yang sangat berpengalaman. Dapat disimpulkan bahwa setiap prosesi dalam ritual ini memiliki makna yang kuat termasuk dalam mantra-mantranya. Namun tidak pula dapat dipungkiri bahwa mantra- mantra dalam ritual cowongan menggambarkan betapa luhurnya budaya nenek moyang dalam mengajarkan kasih sayang atau welas asih tidak hanya kepada Tuhan tapi juga kepada sesama

  DAFTAR PUSTAKA Teeuw, A.1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Pustaka Jaya. Jakarta.

  Dundes, Alan. 2007. The Meaning of Folklore. (Bronner, Simone J. Ed.) . Utah State University Press. Utah. Danesi, Marcel. 2004. Messages, signs, and Meanings. Canadian Scholar Press Inc. Toronto Hall, Stuart and Paul Du Gay.2002. Questions to Cultural Studies. Sage Publication. London Kothari. C.R. 2004. Research Methodology: Methods and Techniques. New Age International Publishers. New Delhi. Pradopo, Rachmat Djoko. 1999. Semiotika: Teori, Metode, dan Penerapannya dalam Pemaknaan Karya Sastra. Jurnal Humaniora: No. 10, Januari-April. Priyadi, Sugeng. 2013. Sejarah Mentalitas Banyumas. Penerbit Ombak. Yogyakarta. Ratna, Nyoman Kuta. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra . Pustaka Pelajar.

  Yogyakarta. Ratna, Nyoman Kuta. 2007. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

  Sibarani, Robert. 2013. Revitalisasi Folkloresebagai sumber kearifan lokal. Dalam Folklore dan Folklife. Penerbit Ombak. Yogyakarta. Pp. 127-135. Sims, Martha C and Martine Stephens.2005. Living Folklore: an Introduction to the Study of People and Their Traditions. Utah University Press. Utah.

  Thursby, Jacqueline. 2008. Foodways and Folklore. Greenwood Press. London Narasumber interview: Titut Edi Purwanto