PERAN KEKHAWATIRAN MENDAPAT SANKSI PROFESIONAL DALAM PROFESIONALISMA DAN INDEPENDENSI AUDITOR: PENGUJIAN TEORI KOGNITIF SOSIAL FRANCISCA RENI RETNO ANGGRAINI Universitas Sanata Dharma ZAKI BARIDWAN SUWARDJONO HARDO BASUKI Universitas Gadjah Mada Abstract

  

PERAN KEKHAWATIRAN MENDAPAT SANKSI PROFESIONAL

DALAM PROFESIONALISMA DAN INDEPENDENSI AUDITOR:

PENGUJIAN TEORI KOGNITIF SOSIAL

FRANCISCA RENI RETNO ANGGRAINI

  

Universitas Sanata Dharma

ZAKI BARIDWAN

SUWARDJONO

HARDO BASUKI

  

Universitas Gadjah Mada

Abstract

  

Scandals in auditing have deteriorated the credibility of the accounting

profession. The lower law enforcement and concentrated ownership

structure in Indonesia (La Porta et al, 1999; Siregar, 2006) led to auditor to

lower independence. This study uses social cognitive theory in modeling.

Based on social cognitive theory, law enforcement influences auditor’s

concern to professional sanction. Then, concern to professional sanction is

kognitif which influence to auditor’s independence. The objectives of this

research are examine the effect of work context to the level of auditor’s

concern to professional sanction, the role of auditor’s concern to

professional sanction to his or her professionalism and independence.

Based on scenario-based surveys in Jakarta, Surabaya, Semarang,

Denpasar, Yogyakarta, we got 186 eligible questionnaires (83

questionnaires from auditors working in non big 4 accounting firms and 103

questionnaires from auditors who work in big 4 firms). This study uses

multiple regression analysis and independent sample test.

This study found that work context did not influence the level of auditor’s

concern to professional sanction but auditor’s concern to professional

sanction influence his or her independence to auditee. Finally, this research

provides evidence that professionalism and concern to professional sanction

have substitution effect to auditor’s independence.

  Keywords: concern to professional sanction, auditors independence, work context.

  Pendahuluan

  Kemunculan berbagai macam skandal antara auditor dan kliennya (teraudit) menyebabkan penurunan kepercayaan publik terhadap profesionalisma auditor. Hal ini tidak dapat dihindarkan karena posisi auditor yang mengakibatkan ia tidak dapat bertindak profesional. Di dalam pedoman Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG, 2006) dikatakan bahwa auditor dipilih dan diangkat oleh RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) melalui dewan komisaris. Akan tetapi pada kenyataannya, banyak didapati RUPS menyerahkan kewenangannya kepada dewan direksi. Dalam kondisi demikian, dewan direksi memiliki posisi yang lebih kuat untuk “mengatur” pelaksanaan audit terhadap laporan keuangan perusahaan. Di sisi auditor, kelangsungan usaha mungkin juga menjadi pertimbangan ketika menerima penugasan audit. Hal ini mengakibatkan auditor tidak dapat bertindak profesional sehingga pada gilirannya tidak dapat bertindak independen. Kasus Enron menunjukkan bukti bahwa auditor tidak berdaya menghadapi teraudit ketika teraudit dapat memberikan pendapatan yang besar bagi dirinya (Zeff, 2003).

  Munculnya skandal-skandal audit menimbulkan reaksi dari IAI (Ikatan Akuntan Indonesia), IAPI (Institute Akuntan Publik Indonesia), dan pemerintah untuk mengatur pekerjaaan akuntan dan auditor. Untuk meningkatkan profesionalisma auditor, IAI dan

  IAPI telah membuat kebijakan untuk mengatur kembali proses pendidikan akuntansi di Indonesia (Akuntan Indonesia, 2012: 8). Kebijkan ini dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan auditor. Di samping itu, Pemerintah Indonesia juga telah mengesahkan UU Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik dan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2012 tentang Komite Profesi Akuntan Publik. Salah satu tugas Komite Profesi Akuntan Publik adalah memberikan pertimbangan terhadap kebijakan pemberdayaan, pembinaan, dan pengawasan akuntan publik dan KAP. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan, tata kelola yang baik, dan keperluan perpajakan.

  Kebijakan IAI dan IAPI serta pengesahan dua peraturan di atas diharapkan dapat meningkatkan kualitas pekerjaan auditor dan pada akhirnya akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pasar modal Indonesia. Di sisi lain, kedua peraturan di atas meningkatkan risiko bagi auditor dalam melaksanakan pekerjaannya. Hal ini dapat menimbulkan kekhawatiran bagi auditor bahwa ia kemungkinan akan mendapat sanksi profesional ketika keliru dalam memberikan opini audit. Kekhawatiran auditor opini. Hal ini akan meningkatkan independensi auditor. Oleh karena itu, kekhawatiran mendapat sanksi profesional tidak hanya dipengaruhi oleh ada tidaknya peraturan yang mengatur tetapi juga apakah peraturan tersebut dilaksanakan dengan baik atau tidak.

  Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah kekhawatiran mendapat sanksi profesional berperan penting dalam peningkatan kinerja auditor. Penelitian ini mendasarkan pada teori kognitif sosial (social cognitive theory). Teori kognitif sosial menyatakan bahwa dalam membuat keputusan individu terdapat tiga elemen yang saling terkait satu sama lain yaitu perilaku, kognitif, dan lingkungan. Pengembangan kognitif seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat orang tersebut membuat keputusan. Anggraini et al. (2013) menemukan bahwa pengembangan profesionalisma auditor dipengaruhi oleh tempat auditor bekerja. Hal ini berarti lingkungan kerja berpengaruh terhadap kognitif, yang ditunjukkan oleh profesionalisma. Selain itu, lingkungan kerja juga berpengaruh terhadap perilaku, yang ditunjukkan oleh independensi. Penelitian ini mengidentifikasi lingkungan hukum sebagai faktor yang diduga berpengaruh terhadap pengembangan kognitif dan perilaku seseorang. Berdasar teori kognitif sosial, kekhawatiran mendapat sanksi profesional merupakan suatu hasil proses kognitif yang terbentuk dari pengalaman individu dalam mempersepsikan lingkungan hukum. Pengalaman auditor di dalam suatu lingkungan hukum akan menimbulkan persepsi dan penilaian terhadap risiko terkena sanksi profesional. Hal ini akan menimbulkan tingkat kekhawatiran mendapat sanksi profesional.

  Penelitian ini menunjukkan bukti empiris bahwa pertama, tidak ada perbedaan kekhawatiran mendapat sanksi profesional antara auditor yang bekerja di KAP big 4 maupun non big 4. Kedua, terdapat pengaruh kekhawatiran mendapat sanksi profesional pada independensi auditor. Hal ini berarti mendukung teori kognitif sosial bahwa kognitif berpengaruh pada perilaku. Ketiga, terdapat efek moderasi kekhawatiran mendapat sanksi profesional pada hubungan antara profesionalisma dan independensi auditor. Akan tetapi efek moderasi ini berkebalikan dengan hipotesis karena efek moderasi bersifat negatif. Hal ini berarti profesionalisma dan kekhawatiran mendapat sanksi profesional bersifat substitusi dalam meningkatkan independensi auditor. Jika auditor kurang profesional tetapi ia memiliki tingkat kekhawatiran mendapat sanksi profesional yang tinggi maka independensinya akan tinggi.

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi pada pemerintah dan Komite Profesi Akuntan Publik mengenai peran penegakan hukum (law enforcement) dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti terhadap peran pelaksanaan aturan yang efektif dalam mengubah perilaku auditor menuju ke arah yang lebih baik.

  Rerangka Teoretis dan Pengembangan Hipotesis 1. Teori Kognitif Sosial

  Teori kognitif sosial dikenalkan oleh Bandura pada tahun 1986 yang merupakan pengembangan dari teori pembelajaran sosial (social learning theory) yang juga pernah ditulis oleh Bandura pada tahun 1977 (Bandura, 2001). Menurut teori kognitif sosial, ada tiga aspek yang saling berpengaruh dalam proses pembuatan keputusan individu yaitu kognitif (dan faktor personal lain), lingkungan, serta perilaku. Perilaku independen dari auditor adalah manifestasi dari proses kognitif yang dilakukan auditor dalam memproses informasi. Informasi ini tidak hanya berasal dari pengalaman dirinya, tetapi juga melibatkan konteks sosial tempat auditor berinteraksi dan pengalaman orang lain di masa lalu. Informasi yang berasal dari konteks sosial dan dari pengalaman orang lain disebut sebagai informasi sosial (Salancik dan Pfeffer, 1978). Pemrosesan informasi sosial berkaitan dengan pembelajaran yang dilakukan seseorang selama ia berinteraksi di dalam suatu lingkungan tertentu. Munculan dari pemrosesan informasi ini akan dapat digunakan untuk membentuk regulasi diri yang selanjutnya akan membentuk sistem diri. Munculan dari pemrosesan informasi sosial yang dilakukan dalam interaksinya dengan lingkungan tempat ia bekerja akan nampak pada perilaku yang ditunjukkan oleh individu tersebut.

  Menurut Bandura (2001), regulasi diri berhubungan dengan kapasitas untuk mengkoordinasikan proses kognitif, afektif, dan keperilakuan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Regulasi diri ini akan membentuk efikasi diri yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi seseorang agar dapat melakukan tindakan sesuai sasaran yang ditetapkan. Kekhawatiran auditor mendapat sanksi profesional merupakan munculan dari proses kognitif auditor dalam menghadapi risiko mendapat sanksi profesional. Tinggi rendahnya kekhawatiran akan tergantung pada pengalaman dirinya atau pengalaman orang lain ketika keliru dalam memberikan pendapat. Kekhawatiran mendapat sanksi profesional akan berpengaruh pada perilaku auditor yang ditunjukkan oleh independensi auditor terhadap teraudit.

  Karakteristik hukum dan pelaksanaannya juga akan mempengaruhi kinerja auditor. Penelitian lintas negara menunjukkan bahwa auditor dari KAP big 4 tidak

  4 (Favere-Marches, 2000; Khurara dan Raman, 2004; Francis dan Wang, 2008; dan Michas, 2011). Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat perlindungan investor akan mempengaruhi perilaku auditor. Francis dan Wang (2008) menemukan bahwa tingkat perlindungan investor di suatu negara memiliki pengaruh kuat pada kinerja KAP big 4. KAP big 4 yang beroperasi di negara dengan tingkat perlindungan investor yang lemah menunjukkan kualitas audit yang tidak lebih bagus dibandingkan KAP non big 4. Tingkat perlindungan investor yang lemah mengakibatkan teraudit berani untuk menekan auditor agar memenuhi keinginan dirinya (Fan dan Wong, 2005).

  Di sisi lain, auditor juga berani untuk tidak bertindak independen karena risiko litigasi yang dihadapinya rendah (Francis et al., 2002; Francis dan Wang, 2008). Auditor di Indonesia kemungkinan juga cenderung untuk bertindak tidak independen karena menurut La Porta et al., (2006), Indonesia termasuk negara dengan karakteristik tingkat perlindungan investor yang lemah.

  Di sisi lain, perusahaan-perusahaan di Indonesia memiliki karakteristik kepemilikan yang terkonsentrasi (Siregar, 2006). Kepemilikan yang terkonsentrasi mengakibatkan ekspropriasi dari pemegang saham mayoritas pada pemegang saham minoritas. Dominasi pemegang saham mayoritas di dalam perusahaan juga ditunjukkan oleh kurangnya pemisahan yang jelas antara manager dan pemegang saham mayoritas karena manager juga dijabat oleh pemegang saham mayoritas. Di dalam perusahaan yang kepemilikannya terkonsentrasi pada keluarga, manager atau direksi dan komisaris yang bukan independen umumnya berasal atau masih memiliki hubungan keluarga dengan pemegang saham mayoritas. Dalam kondisi ini, komisaris independen pun kemungkinan juga tidak dapat berfungsi secara optimal karena dominasi pemegang saham mayoritas yang sangat kuat. Bahkan berdasarkan penelusuran terhadap hasil rapat umum pemegang saham (RUPS), penulis menemukan bahwa RUPS pada beberapa perusahaan justru melimpahkan wewenang kepada direksi untuk mengangkat, menghentikan, dan memberi kompensasi pada auditor yang mengaudit laporan keuangan perusahaan. Dalam situasi seperti ini, auditor akan memiliki posisi yang sangat lemah ketika mengaudit perusahaan sehingga auditor tidak dapat bertindak independen dan akhirnya opini yang diberikan tidak objektif.

  Berdasar perspektif psikologis, lingkungan hukum akan berpengaruh pada penilaian seseorang terhadap risiko mendapatkan sanksi. Clarkson et al. (2002) mengatakan bahwa ketika seseorang melihat adanya efek negatif dari munculan sama di masa depan. Hal ini berarti, munculan negatif dari suatu tindakan yang diambil akan menurunkan bias kognitif yang terjadi dalam pemrosesan informasi yang dilakukan oleh auditor. Semakin tinggi risiko mendapatkan sanksi profesional semakin tinggi kekhawatiran auditor mendapat sanksi profesional dan selanjutnya kekhawatiran ini akan meningkatkan independensi bagi auditor.

2. Kekhawatiran Mendapat Sanksi Profesional

  Setiap organisasi profesi memiliki aturan dan standar untuk mengatur perilaku dan pekerjaan dari para anggotanya. Demikian juga dengan auditor, dalam melaksanakan pengauditan ia harus mematuhi norma dan standar pengauditan yang ditetapkan oleh organisasi profesi akuntan publik (di Indonesia adalah IAPI) maupun aturan dan norma yang diterapkan di tempat ia bekerja. Pemerintah Indonesia juga telah mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 5/2011 tentang Akuntan Publik. UU ini diharapkan dapat menjadikan payung hukum tertinggi untuk mengatur dan melindungi profesi auditor swasta dan diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan terhadap profesi auditor Indonesia yang pada gilirannya juga akan mengembangkan pasar modal Indonesia.

  Apabila aturan-aturan yang berlaku tersebut dapat dijalankan dengan baik maka auditor yang melanggar aturan akan terkena sanksi oleh organisasi profesinya atau pemerintah. Menurut UU Nomor 5 Tahun 2011, ancaman hukuman yang dapat dijatuhkan pada akuntan publik atau auditor tidak hanya sebatas pada pemberian sanksi dengan melakukan pembekuan sementara atau pencabutan ijin untuk berpraktik, tetapi pemerintah juga berwenang untuk menjatuhkan ancaman pidana kepada auditor yang melakukan pelanggaran etika profesi yang berat.

  Melumad dan Thoman (1990) menemukan bahwa adanya ancaman litigasi memungkinkan auditor memutuskan untuk bekerja dan membuat laporan secara benar mengenai temuan-temuannya untuk mengurangi prospek terjadinya kerugian di masa depan. Ancaman litigasi yang tinggi menyebabkan auditor berusaha untuk mengurangi risiko ini dengan cara meningkatkan kualitas dan perencanaan audit, meningkatkan ongkos audit, lebih sering mengeluarkan opini dengan modifikasi, dan lebih selektif memilih klien (Khrishnan dan Khrishnan, 1997). Farmer et al. (1987) menemukan bahwa ancaman litigasi mengakibatkan auditor menjadi berhati-hati dalam memeriksa laporan keuangan.

  Lingkungan dengan ancaman litigasi yang tinggi mengakibatkan auditor menjadi lebih bertindak etis dibandingkan lingkungan dengan ancaman litigasi yang rendah. Negara yang memiliki kode etik profesional yang baik akan menunjukkan auditor memililiki tingkat sensitivitas yang lebih tinggi terhadap dilema etis (Douglas et

  

al. , 2001; Dreike dan Moeckel, 1995; Claypool et al., 1990 dikutip oleh Jones et al.,

  2003). Adanya kode etik membuat ambiguitas etis berkurang dan akan membantu auditor dalam mengakui adanya isu etis dan membantu membedakan tindakan yang etis dan tidak etis. Khrisnan dan Khrisnan (1997) mengatakan bahwa risiko litigasi

  

merupakan faktor penting yang menjadi pertimbangan auditor dalam memberikan opini

pada laporan keuangan kliennya.

  Peran penting dari regulasi dalam meningkatkan independensi auditor tergantung pada seberapa kuat penegakan hukum (law enforcement) yang dijalankan di suatu negara. Penegakan hukum yang efektif akan menimbulkan kekhawatiran bagi auditor mengenai kemungkinan ia akan terkena litigasi jika tidak melakukan pengauditan dengan baik. Menurut teori kognitif sosial, seseorang akan berperilaku seperti yang orang lain lakukan ketika perilaku orang lain tersebut memberikan keuntungan (memberi munculan positif) dan tidak akan melakukan apa yang orang lain lakukan ketika tindakannya menyebabkan kerugian (memberi munculan negatif). Oleh karena itu, ketika banyak auditor lain yang mendapat sanksi karena kesalahannya dalam memberikan opini audit maka auditor tertentu akan berhati-hati dalam menjalankan tugasnya.

  Dalam penelitian ini, kekhawatiran terhadap litigasi didefinisi sebagai persepsi auditor mengenai risiko yang mungkin akan ia terima ketika ia tidak melakukan pengauditan sesuai dengan standar pengauditan dan aturan yang berlaku. Penelitian ini menggunakan dua item pertanyaan untuk mengukur konstruk ini, pertama berkaitan dengan apakah aturan yang berlaku akan menjadi bahan pertimbangan bagi proses pengauditan yang dilakukan dan kedua, apakah pengalaman auditor sebelumnya yang melanggar peraturan dan mendapat sanksi akan membuat ia lebih berhati-hati dalam melaksanakan pekerjaannya.

3. Kekhawatiran Mendapat Sanksi Profesional dan Konteks Kerja

  Menurut teori kognitif sosial, lingkungan akan berpengaruh pada pembentukan kognitif seseorang. Hasil penelitian Anggraini et al. (2013) menunjukkan bahwa konteks kerja berpengaruh pada profesionalisma dan independensi auditor. Auditor yang bekerja di dengan KAP non big 4. Hasil penelitian ini mendukung pendapat Gendron et al. (2006) dan Suddaby et al. (2009). Hasil penelitian-penelitian di atas sejalan dengan argumentasi dari teori kognitif sosial bahwa lingkungan akan berpengaruh terhadap kognitif dan perilaku seseorang. Menurut teori kognitif sosial, pengalaman pribadi dan orang lain akan berpengaruh pada pembentukan efikasi diri. Efikasi diri ini akan berpengaruh pada regulasi diri. Profesionalisma dan independensi yang lebih rendah pada auditor di KAP big 4 dibandingkan auditor di KAP non big 4 dapat disebabkan karena auditor di KAP big 4 lebih berani menghadapi risiko mendapat sanksi profesional dibandingkan dengan auditor di KAP non big 4. Hal ini dikarenakan auditor di KAP big 4 mungkin mempersepsikan dirinya tidak akan terkena sanksi profesional karena KAP big 4 memiliki kekuatan yang lebih besar untuk menghindarinya.

  Penelitian yang dilakukan oleh Francis et al. (2002), Khurara dan Raman (2004), Francis dan Wang (2008), dan Michas (2011) menunjukkan bahwa tingkat proteksi investor pada suatu negara berpengaruh pada kinerja auditor di KAP big 4.

  Jeong dan Rho (2004), dengan menggunakan sampel perusahaan-perusahaan di Korea, menemukan bahwa kualitas audit (yang diproksi dengan akrual diskresioner) antara KAP big 4 dan non big 4 tidak berbeda. Hwang dan Chang (2010) menemukan bahwa lingkungan litigasi memiliki pengaruh signifikan pada keputusan auditor.

  Indonesia termasuk negara dengan tingkat perlindungan investor yang lemah dan juga memiliki karakteristik penegakan hukum yang lemah pula (La Porta et al., 2006). Selain itu, Moore et al. (2006) juga mengatakan bahwa kelompok yang memiliki kekuasaan yang lebih besar dapat mempengaruhi regulator dalam membuat peraturan. Di Indonesia, organisasi-organisasi profesi yang ada sebagian besar didominasi oleh orang atau kelompok yang memiliki pengaruh yang kuat karena mereka sanggup untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh organisasi profesi tersebut. Hal yang sama juga terjadi di dalam IAPI, anggota organisasi yang memiliki pengaruh yang kuat adalah auditor-auditor yang berasal dari KAP-KAP besar termasuk KAP big 4. Hal ini dapat dipahami karena KAP big 4 memiliki jumlah auditor yang banyak dan memiliki sumber dana yang besar.

  Dengan kekuatan politis dari KAP tempat auditor bekerja kemungkinan dapat menyebabkan auditor menjadi lebih berani untuk tidak tunduk terhadap peraturan. Ketika auditor berpersepsi bahwa KAP tempat ia bekerja dapat melindungi dirinya dari pengenaan sanksi akibat kelalaiannya dalam melaksanakan pengauditan dengan benar kemungkinan akan memiliki kepercayaan diri yang lebih besar bahwa ia mampu untuk menghindari pengenaaan sanksi profesional sehingga kekhawatiran mendapat sanksi profesional rendah.

  Oleh karena itu, konteks kerja diduga berpengaruh pada besarnya kekhawatiran mendapatkan sanksi profesional ketika auditor tidak melaksanakan pengauditan sesuai dengan standar. Auditor di KAP big 4 akan merasa lebih berani untuk menghadapi risiko ini dibandingkan auditor yang bekerja di KAP non big 4 karena merasa memiliki kemampuan yang lebih besar untuk mengatasi dilema etis yang dihadapi. Jadi, kekhawatiran auditor di KAP non big 4 akan mendapatkan sanksi profesional lebih besar dibandingkan auditor di KAP big 4. Oleh karena itu, dapat dirumuskan hipotesis alternatif sebagai berikut:

  H1: Auditor yang bekerja di KAP big 4 memiliki kekhawatiran mendapat sanksi profesional yang lebih rendah dibandingkan dengan auditor yang bekerja di KAP non big 4.

4. Kekhawatiran Mendapat Sanksi Profesional, Profesionalisma dan Independensi Auditor

  Penelitian mengenai kualitas audit antara KAP big 4 dan non big 4 yang dilakukan setelah skandal Enron, menunjukkan bahwa auditor di KAP big 4 menjadi lebih berhati- hati dalam melaksanakan jasa audit (misalnya Fargher et al., 2001). Hal ini dilakukan untuk mengembalikan reputasi KAP big 4 setelah reputasi ini sempat dihancurkan oleh Andersen dalam skandal Enron. Lu (2006) menemukan bahwa adanya penggantian auditor tidak menurunkan independensi dan kualitas audit pada perioda sesudah muncul skandal Enron. Rama dan Read (2006) juga menemukan bahwa munculnya SOX Acts tahun 2002 menyebabkan auditor semakin berhati-hati dalam memberikan jasanya, terutama ketika ia mendapat tugas pertama kali setelah menggantikan auditor yang lama.

  Hasil penelitian-penelitian di atas menunjukkan bahwa setelah skandal-skandal audit terungkap maka persepsi terhadap risiko yang akan ditanggung ketika auditor salah dalam memberikan opini semakin besar. Ketika teraudit terbukti melakukan kecurangan dan auditor tidak mengetahuinya maka bagi auditor, selain sanksi yang akan diterima, juga reputasinya akan hancur. Semakin tinggi risiko mendapat sanksi mengakibatkan KAP menjadi berhati-hati dalam melakukan pengauditan.

  Pelaksanaan aturan hukum yang ditetapkan akan berpengaruh pada penentuan tingkat risiko mendapat sanksi atas pelanggaran terhadap aturan tersebut. Jika auditor pernah melanggar dan mendapat hukuman atau orang melihat banyak orang yang melanggar peraturan dan mendapat hukuman maka ia akan berhati-hati dalam menjalankan pekerjaannya. Seperti yang dikutip oleh Jones et al. (2003), penelitian- penelitian oleh Douglas et al. (2001), Dreike dan Moeckel (1995), Claypool et al. (1990) memberikan bukti bahwa perilaku seseorang di lingkungan dengan ancaman litigasi yang tinggi akan bertindak lebih etis dibandingkan dengan perilaku orang yang berada di lingkungan dengan ancaman litigasi yang rendah. Orang yang berada di lingkungan dengan ancaman litigasi yang tinggi lebih sensitif terhadap dilema etis dibandingkan orang yang berada di lingkungan dengan ancaman litigasi yang rendah. Hasil penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa persepsi terhadap risiko yang mungkin akan dihadapi dapat mempengaruhi seseorang untuk lebih sensitif terhadap adanya dilema etis dan selanjutnya mereka akan berhati-hati dalam bertindak, terutama tindakan-tindakan yang mungkin dapat berisiko bagi karir dan reputasinya. Hal ini berarti peraturan yang dibuat akan berdampak pada perilaku seseorang jika ia memiliki keyakinan bahwa jika ia melanggar maka kemungkinan besar ia akan mendapat sanksi. Sebaliknya, jika ia memiliki keyakinan bahwa jika ia melanggar tidak akan mendapat sanksi maka ia cenderung akan melanggar.

  Teori kognitif sosial mengatakan bahwa pengalaman diri sendiri dan orang lain akan berpengaruh pada kognitif yang dibentuknya. Kognitif ini digunakan untuk membentuk regulasi diri dan selanjutnya regulasi diri akan membentuk efikasi diri. Efikasi diri akan digunakan sebagai pedoman dan alat kendali dalam melakukan tindakan. Kesuksesan yang diperoleh baik oleh diri sendiri maupun orang lain akan memperkuat efikasi diri dan kegagalan akan melemahkan efikasi diri. Kegagalan dalam menyelesaikan dilema etis di masa lalu akan mengakibatkan seseorang menghindari masalah yang sama di masa depan dan apabila harus menghadapi masalah yang sama maka ia harus menghindari penyelesaian yang di masa lalu mengakibatkan kegagalan. Kekhawatiran auditor mendapat sanksi profesional di masa depan mengakibatkan ia berusaha menghindari permasalahan tersebut.

  Clarkson et al. (2002) menemukan bahwa bias kognitif dapat diturunkan jika seseorang dapat merasakan bahwa akibat tindakan yang dilakukan dapat menimbulkan pengaruh negatif bagi dirinya. Grant et al. (1996), dengan melakukan penelitian mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kualitas audit dan peranan ini menjadi semakin besar ketika terdapat mekanisme pemberian sanksi yang efektif.

  Hasil penelitian Anggraini et al. (2013) menunjukkan bahwa profesionalisma auditor berpengaruh pada independensinya terhadap teraudit. Profesionalisma merupakan hasil dari proses pengembangan kognitif yang dialami oleh auditor dalam suatu lingkungan kerja tertentu. Hal yang sama adalah kekhawatiran mendapat sanksi profesional. Kekhawatiran mendapat sanksi profesional dari organisasi profesinya juga akan menyebabkan auditor berhati-hati dalam melaksanakan pekerjaannya. Hal ini berarti semakin tinggi kekhawatiran auditor akan mendapat sanksi profesional maka ia akan semakin independen terhadap teraudit. Oleh karena itu, hipotesis yang diajukan adalah:

  

H2: Kekhawatiran auditor mendapat sanksi profesional berpengaruh positif pada

independensinya terhadap teraudit.

  Hasil penelitian Anggraini et al. (2013) menunjukkan bahwa konteks kerja berpengaruh pada profesionalisma dan independensi auditor. Akan tetapi, konteks kerja tidak memoderasi hubungan profesionalisma dan independensi. Penulis menduga bahwa kekhawatiran mendapat sanksi profesional dan profesionalisma akan saling menguatkan untuk meningkatkan independensi auditor. Semakin tinggi kekhawatiran mendapat sanksi profesional dan semakin tinggi profesionalismanya maka auditor akan semakin mampu mengatasi dilema etis yang dihadapi dengan bertindak independen terhadap teraudit.Oleh karena itu, hipotesis yang diajukan adalah:

  

H3: Pengaruh positif profesionalisma auditor pada independensinya akan semakin

kuat ketika semakin besar kekawatirannya mendapat sanksi profesional.

  METODA PENELITIAN 1. Subjek Penelitian

  Subjek penelitian (partisipan) dalam penelitian ini adalah auditor yang bekerja di KAP big 4 dan KAP non big 4. Metoda penyampelan yang digunakan adalah purposive

  

sampling karena KAP yang didatangi didasarkan pada alamat yang bisa ditemukan oleh

  peneliti. Kuesioner diberikan kepada auditor dengan jabatan partner sampai auditor yunior pada KAP-KAP yang ada di Jakarta, Surabaya, Semarang, Denpasar, dan Yogyakarta.

  2. Metoda Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan pada tahun 2010-2011 dengan metoda survei berbasis skenario.

  Dalam skenario yang dibuat, partisipan (dalam hal ini adalah auditor) dihadapkan pada permasalahan untuk mengikuti keinginan klien mereka, sementara ia dihadapkan pada aturan yang mengatur pekerjaannya dan apabila ia tidak mentaati maka akan mendapat sanksi berupa pembekuan ijin berpraktik. Subjek diminta bertindak seolah-olah sebagai partner di sebuah KAP dan harus membuat keputusan untuk memenuhi keinginan teraudit atau tidak.

  Dengan menggunakan subjek auditor, penelitian terhadap pembuatan keputusan oleh profesional akan lebih mendekati dengan kondisi yang sebenarnya di dalam praktik sehingga penelitian ini diharapkan dapat menangkap perilaku profesional dalam mengatasi dilema etis yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan keputusan yang diambil oleh profesional akan cenderung didasarkan pada pengalaman mereka selama melakukan pengauditan.

  Skenario yang digunakan berupa kasus yang menunjukkan perbedaan penilaian antara auditor dan teraudit terhadap estimasi cadangan persediaan yang telah usang. Auditor internal telah menyetujui estimasi yang dibuat oleh perusahaan kerena menganggap bahwa estimasi yang dibuat tidak berbeda secara signifikan dengan estimasi yang dibuat pada tahun yang lalu.

  3. Definisi Operasional dari Variabel Penelitian

  a. i ) Tingkat independensi (INDP Pengukuran variabel ini sama seperti yang dilakukan oleh Anggraini et al.

  (2013) yaitu dengan menggunakan instrumen yang dibuat oleh Rahim (1983) yang dikenal dengan ROCI-II (The Rahim Organizational Conflict Inventory-II)

  Penelitian ini hanya menggunakan item-item untuk mengukur tipe strategi mendominasi saja (yaitu item nomor 10, 11, 24, 27) karena independensi auditor lebih banyak terkait dengan pemilihan strategi mendominasi. Skor independensi diukur dari total nilai skor dari empat pertanyaan yang diajukan. Total skor independensi ini selanjutnya disebut skor ROCI-II strategi mendominasi.

  b. Konteks kerja (BIG4)

  Seperti yang dilakukan oleh Anggraini et al. (2013), konteks kerja merupakan variabel dummi yang diukur berdasar tempat subjek bekerja. Subjek akan diberi nilai 0 jika ia bekerja di KAP non big 4 dan jika bekerja di KAP big 4 diberi angka 1.

  c. i ) Kekhawatiran mendapat sanksi profesional (SP

  Variabel ini diukur dengan menggunakan dua pertanyaan berikut: 1)

  Aturan pemerintah berupa pembekuan ijin bagi praktik akuntan publik akan menjadi bahan pertimbangan dalam proses pengauditan yang saya lakukan. 2)

  Karena berdasarkan pengalaman sebelumnya, banyak KAP atau akuntan publik yang dibekukan ijin praktik auditnya, maka saya akan berhati-hati dalam memberikan opini. Skor kekhawatiran mendapat sanksi profesional diukur dari total nilai skor dari 2 pertanyaan yang diajukan. Total skor profesionalisma ini selanjutnya disebut skor sanksi profesional.

  d. i ) Profesionalisma (PROFS

  Seperti yang dilakukan oleh Anggraini et al. (2013), profesionalisma auditor diukur dengan menggunakan pengukuran seperti yang digunakan oleh Lui et al. (2003). Mereka menggunakan pengukuran persyaratan peran profesional dari Miner (1993). Ada empat dimensi yang membentuk profesionalisma yaitu (1) meningkatkan pengetahuan, (2) bertindak secara independen, (3) mengakui status, (4) bersedia membantu, dan (5) menunjukkan komitmen profesional. Skor profesionalisma diukur dari total nilai skor dari 21 pertanyaan yang diajukan. Total skor profesionalisma ini selanjutnya disebut skor Miner.

  e. Variabel Kontrol

  Seperti yang dilakukan oleh Anggraini et al. (2013), penelitian ini memasukkan tiga variabel kontrol yaitu: 1) i )

  Jabatan auditor (JAB

  Subjek dibagi menjadi empat level yang dimulai dari partner, manager, auditor senior, dan auditor yunior. Penilaian dilakukan berdasarkan peringkat jabatan. Partner yang menduduki jabatan tertinggi diberi nilai 4 sampai auditor yunior yang menduduki jabatan terendah diberi nilai 1. 2) )

  i

  Gender (GND Penelitian ini mengukur variabel gender dengan memberi nilai 1 pada subyek wanita dan 0 pada subyek pria.

  3) i , PGLM2 i dan UM i ) Pengalaman (PGLM1

  Pengalaman diukur dengan tiga cara, yaitu lama responden bekerja di KAP (PGLM1 i ) dan lama responden menjadi auditor (PGLM2 i ). 4)

  Konteks Kerja (BIGi) Konteks kerja merupakan variabel dummi, jika auditor bekerja di KAP big 4 diberi angka 1 sedangkan jika tidak diberi angka 0.

4. Model Penelitian dan Metoda Pengujian

  Model penelitian beserta metoda pengujiannya adalah sbb.: a.

  

Pengujian hipotesis 1 dilakukan dengan Uji Beda Sampel Independen

(Independent Sample Test) Hipotesis 4 terdukung jika rata-rata SP i,BIG 4 < rata-rata SP i,NON BIG 4 .

  Keterangan: SP i,BIG 4 = Kekhawatiran mendapat sanksi profesional dari auditor yang bekerja di

  KAP big 4 SP = Kekhawatiran mendapat sanksi profesional dari auditor yang bekerja di

  i,NON BIG 4

  KAP non big 4 b.

   Pengujian hipotesis 2 dan 3 dilakukan dengan Analisis Regresi Berganda

  Model pengujian:

  INDP i

  1 SP i

  4 PROFS i * SP i i

  = β +β + β +Variabel Kontrol+ε Keterangan:

  INDP i = Tingkat Independensi Auditor i PROFS i = Tingkat Profesionalisma Auditor i SP i = Kekhawatiran mendapat sanksi profesional Variabel kontrol meliputi: JAB = Jabatan auditor

  i

  GND i = Gender

  PGLM1 i = Pengalaman di KAP sekarang PGLM2 = Pengalaman menjadi auditor

  i

  UM i = umur auditor

  HASIL 1. Statistik Deskriptif

  Penelitian ini menggunakan responden auditor yang bekerja di KAP big 4 maupun non big 4 yang berada di Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan Denpasar. Khusus untuk auditor yang bekerja di KAP big 4 hanya diambil dari dua KAP big 4 yang berada di Jakarta. Penyebaran kuesioner mulai dilakukan pada bulan Januari 2010 sampai Juli 2011. Kuesioner yang disebarkan sebanyak 350 buah dan kuesioner yang kembali dan diisi dengan lengkap sebanyak 207 buah. Hal ini menunjukkan tingkat respon yang cukup tinggi yaitu sebesar 59,14%. Kuesioner sebanyak 207 buah tersebut terdiri dari 95 responden dari KAP non big 4 dan 112 responden dari KAP big 4. Statistik Deskriptif untuk masing-masing variabel yang diuji disajikan di tabel 1.

  • Masukkan Tabel 1 di sini- 2.

   Hasil Pengujian Hipotesis a. Hipotesis 1

  Hasil pengujian hipotesis 1 disajikan pada tabel 2

  • Masukkan Tabel 2 di sini-

  Tabel 2 menunjukkan bahwa hipotesis 1 tidak didukung hal ini nampak dari tidak terdapat perbedaan rata-rata yang signifikan skor sanksi profesional antara auditor yang bekerja di KAP big 4 dan auditor yang bekerja di KAP non big 4, meskipun nilai rata-rata skor sanksi profesional pada auditor yang bekerja di KAP big 4 lebih rendah dibandingkan auditor di KAP non big 4. Hal ini berarti tingkat kekhawatiran mendapat sanksi profesional dari auditor di KAP big 4 lebih rendah dibandingkan dengan KAP non big 4, akan tetapi perbedaan tersebut tidak signifikan.

b. Hipotesis 2 dan 3

  Hasil pengujian hipotesis 2 dan 3 disajikan pada tabel 3

  • Masukkan Tabel 3 di sini-

  Tabel 3 menunjukkan hasil pengujian regresi berganda dengan dua model pengujian. Model pertama digunakan untuk membandingkan dengan model kedua dengan tujuan untuk mengetahui efek moderasi dari variabel profesionalisma (PROFS i ) dan independensi (INDP i ). Hasil pengujian pengaruh variabel SP dan PROFS secara individual terhadap variabel INDP

  i i i

  menunjukkan bahwa variabel SP i dan PROFS i berpengaruh signifikan terhadap variabel INDP i dengan tingkat signifikansi dibawah 1%. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis 2 didukung. Dengan kata lain, kekhawatiran mendapat sanksi profesional berpengaruh pada independensi auditor. Hasil pengujian ini mendukung teori kognitif sosial yaitu lingkungan hukum berpengaruh pada pembentukan kognitif auditor yang ditunjukkan oleh persepsi terhadap risiko mendapatkan sanksi profesional. Semakin tinggi risiko mendapat sanksi profesional maka auditor semakin khawatir akan mendapat sanksi profesional sehingga ia akan berhati-hati dalam memberikan opini audit atau menjadi semakin independen.

  2 Tabel 3 menunjukkan bahwa adjusted R untuk model tanpa interaksi

  lebih kecil dibandingkan model dengan interaksi. Hal ini berarti variabel interaksi SP *PROFS merupakan faktor penjelas bagi INDP . Dengan kata lain

  i i i

  kekhawatiran mendapat sanksi profesional memoderasi hubungan profesionalisma dan independensi auditor. Akan tetapi hipotesis 3 tidak didukung karena variabel interaksi SP i * PROFS i memiliki koefisien bertanda negatif yang berarti bahwa variabel SP i memperlemah hubungan PROFS i dan

  INDP i . Hal ini berarti, ketika kekhawatiran mendapat sanksi profesional tinggi maka semakin lemah hubungan antara profesionalisma dan independensi auditor. Kekhawatiran mendapat sanksi profesional merupakan faktor yang bersifat substitusi bagi profesionalisma. Ketika profesionalisma auditor rendah tetapi kekhawatiran mendapat sanksi profesional tinggi maka auditor masih dapat bertindak independen.

  Hasil pengujian terhadap pengaruh interaksi SP i * PROFS i memberikan bukti bahwa ketika auditor tidak atau kurang profesional tetapi berada dalam lingkungan yang dipersepsikan oleh auditor memiliki risiko tinggi mendapatkan sanksi profesional maka auditor tidak berani melakukan tindakan yang mengancam independensinya.

KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN KETERBATASAN

  Penelitian ini memberi kesimpulan bahwa pertama, kekhawatiran mendapat sanksi profesional tidak dipengaruhi oleh tempat auditor bekerja. Meskipun kekhawatiran mendapat sanksi profesional dari auditor di KAP big 4 lebih rendah dibandingkan auditor di KAP non big 4 tetapi perbedaan tersebut tidak signifikan. Kedua, kekhawatiran mendapat sanksi profesional dan profesionalisma memiliki sifat substitusi dalam mempengaruhi independensi auditor. Dengan kata lain, ketika salah satu faktor rendah maka independensi auditor masih dapat dipelihara. Jika auditor tidak profesional tetapi memiliki kekhawatiran mendapat sanksi profesional yang tinggi maka ia akan tetap menjaga independensinya karena takut terkena sanksi profesional.

  Implikasi penelitian ini adalah pentingnya penegakan hukum bagi peningkatan kinerja auditor. Auditor di KAP big 4 dan non big 4 terbukti sama-sama memiliki kekhawatiran mendapat sanksi profesional dan semakin tinggi kekhawatiran mendapat sanksi profesional maka semakin tinggi independensi auditor. Jika aturan dilaksanakan secara efektif baik auditor dengan tingkat profesionalisma tinggi, sedang, maupun rendah akan merasa takut untuk memenuhi keinginan klien (teraudit) yang dapat mengancam independensinya. Hasil penelitian ini memberikan kontribusi yang penting bagi regulator baik pemerintah dan Komite Profesi Akuntan Publik agar serius dalam menegakkan aturan yang sudah dibuat.

  Meskipun hasil penelitian ini memberikan implikasi kebijakan yang penting, akan tetapi hasil penelitian ini tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan. Pertama, penggunaan metoda survei berbasis skenario memiliki banyak kelemahan terutama dalam hal validitas internalnya karena peneliti tidak dapat mengontrol secara ketat proses pengisian kuesioner yang diberikan kepada subjek. Kedua, jumlah data yang diperoleh dari penelitian ini tidak proposional antar level jabatan karena sebagian besar kuesioner diisi oleh auditor yunior dan senior. Hal ini tidak dapat dihindari karena jumlah auditor yunior dan senior di setiap KAP jauh lebih banyak dibandingkan manager dan partner. Di samping itu, untuk mendapatkan respon dari partner atau manager agar tertarik untuk mengisi kuesioner juga sangat susah karena mereka tidak memiliki banyak waktu luang untuk mengisi kuesioner yang peneliti serahkan kepada mereka.

Dokumen yang terkait

PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN KEMENTERIANLEMBAGA, KARAKTERISTIK ORGANISASI DAN HASIL AUDIT BPK

0 1 16

KETERTERAPAN SAK ETAP PADA KOPERASI SERTA PERSEPSI PELAKU KOPERASI DAN AKUNTAN PENDIDIK NILUH PUTU DIAN ROSALINA HANDAYANI NARSA ISNALITA

0 0 23

KETEPATAN WAKTU PENETAPAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BEALANJA DAERAH PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA

1 2 23

PENGARUH KOMITMEN PROFESIONAL DAN SOSIALISASI ANTISIPATIF TERHADAP SIKAP MAHASISWA AKUNTANSI ATAS AKUNTABILITAS SOSIAL PERUSAHAAN

0 2 21

EFEKTIVITAS PROGRAM PSG (PENDIDIKAN SISTEM GANDA) PADA DUDI (DUNIA USAHA DAN DUNIA INDUSTRI) BIDANG KEAHLIAN AKUNTANSI SMK NEGERI 7 DAN SMK MUHAMMADIYAH 2 YOGYAKARTA

0 0 29

ANGGARAN WAKTU AUDIT DAN KOMITMEN PROFESIONAL SEBAGAI VARIABEL MODERASI PENGARUH KOMPETENSI DAN INDEPENDENSI AUDITOR TERHADAP KUALITAS AUDIT ABDUL HALIM Universitas Gajayana Malang Abstract - 081 ANGGARAN WAKTU AUDIT DAN KOMITMEN PROFESIONAL, kualitas aud

0 0 26

FUNGSI MEDIASI ELEMEN INSTITUSIONAL BUDAYA TERHADAP HUBUNGAN NILAI-NILAI BUDAYA DAN TINGKAT PENGUNGKAPAN NILAI-NILAI ISLAM PADA LAPORAN TAHUNAN BANK ISLAM: STUDI LINTAS NEGARA

0 6 27

080 INDEPENDENSI DAN CONFLICT OF INTEREST AUDITOR

0 0 26

PENGARUH BIAS SELF FULFILLING PROPHECY DAN INISIATIF PERUBAHAN MANAJEMEN SEBAGAI UPAYA PENGURANGBIASAN GOING CONCERN JUDGMENT

0 0 27

PENGARUH KOMPETENSI, SKEPTISME, HUBUNGAN KLIEN DENGAN AUDITOR, UKURAN KAP TERHADAP KEPUASAN KLIEN DAN KEGUNAAN UNTUK STAKEHOLDER EKSTERNAL DALAM PERSPEKTIF KLIEN IBNU IRAWAN LILI SUGENG WIYANTORO HELMI YAZID EWING YUVISA IBRANI Universitas Sultan Ageng Ti

1 2 21