080 INDEPENDENSI DAN CONFLICT OF INTEREST AUDITOR

FIBRIYANI NUR KHAIRIN BRAMANTIKA OKTAVIANTI

Universitas Mulawarman

IWAN TRIYUWONO

UniversitasBrawijaya

Abstract

The main aim of this research is to understand conflict of interest in auditor profesion because of joint provision and auditor-client relationship, which may impair auditor independence. By applying interpretive qualitative research, the research makes use of Collins’s conflict theory as an analytical instrument. The result of this research are the levels of auditor’s conflict of interest. First level is conflict with client, in this condition client

be able to dominate auditor because there is an emotional feeling in auditor-client relationship and the “strings” between auditor-client, then client may influence the auditor to fulfill their interest or which is called by unconscious bias. Second is conflict with KAP’s environment, the KAP’s circumstances which build KAP’s organization culture may impact auditor’s behavior to ignore auditor independence. And, the third level is conflict in auditor’s himself, this conflict is the accumulation of other conflicts that cause conflict with auditor independence. In this KAP, auditors prefer to choose compromise as the consensus way to solve the conflicts. But, actually it doesn’t solve the problem at all. Instead, it increase conflict with auditor independence.

Keywords: Auditor’s conflict of interest, auditor independence, conflict theory, compromise

Abstrak: Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memahami conflik of interest dalam profesi auditor yang disebabkan oleh perangkapan fungsi dan hubungan auditor-klien, dimana hal ini dapat mengganggu independensi auditor. Melalui penelitian kualitatif interpretif, penelitian ini menggunakan teori konflik Collins sebagai alat analisis. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya level atau tingkatan conflict of interest auditor. Level pertama adalah konflik dengan klien, dalam kondisi ini klien dapat mendominasi auditor karena adanya perasaan emosional dalam hubungan auditor-klien serta “ketergantungan” antar auditor-klien, sehingga klien dapat mempengaruhi auditor untuk memenuhi kepentingannya atau disebut juga sebagai unconscious bias. Kedua adalah konflik dengan lingkungan

KAP, lingkungan KAP yang membentuk budaya organisasi KAP dapat berpengaruh pada perilaku auditor untuk mengabaikan independensinya. Dan ketiga adalah konflik dalam diri auditor, konflik ini merupakan akumulasi dari dua konflik sebelumnya yang mengakibatkan konflik dengan independensi. Dalam KAP ini, auditor lebih memilih kompromi sebagai jalan konsensus untuk menyelesaikan konflik. Namun, sebenarnya hal itu tidak dapat menyelesaikan konflik tersebut. Sebaliknya, malah membuat konflik dengan independensi menjadi semakin besar.

Kata kunci: Conflict of interest auditor, independensi auditor, teori konflik, kompromi

1. Pendahuluan

Independensi dianggap sebagai karakteristik auditor yang paling kritis dan menjadi salah satu komponen dari sikap mental yang harus senantiasa dijaga oleh auditor. Sikap independen yang harus dimiliki oleh auditor ini meliputi independen dalam penampilan (in appearance) maupun dalam fakta (in fact). Namun untuk melaksanakan kegiatan yang independen ternyata tidak seringan seperti saat mengucapkannya. Tudingan pelanggaran terhadap independen dalam penampilan semakin merebak dalam beberapa tahun ini. Gavious (2007) dan Moore et al. (2006:6-

7) menyatakan bahwa mekanisme institusional auditing yang ada sekarang ini dapat menciptakan conflict of interest dan kemungkinan mengandung tiga kondisi yang dapat mengancaman independensi. Pertama, manajer yang menyewa dan memecat auditor (managers hiring and firing auditors). Dalam hal ini klien yang memiliki kebebasan untuk memilih auditornya, mempunyai banyak alasan dalam memilih KAP berdasarkan pada kemungkinan bahwa auditor akan memberikan opini yang menguatkan mereka. Sehingga pada prakteknya klien akan memecat auditor jika mereka tidak mengikuti keinginan klien (Seabright et. al, 1992). Kedua, auditors taking positions with clients, hal ini menerangkan bahwa independensi akan semakin memburuk seiring dengan semakin akrabnya hubungan diantara auditor dan klien (audit tenure), yang dikarenakan lamanya hubungan auditor dan klien ditinjau dari jumlah tahun sebuah Kantor Akuntan Publik mengaudit laporan keuangan klien secara berurutan. Ketiga, auditor yang memberikan jasa non-audit (auditors providing non audit sevices).

Jika mereview kembali kejadian beberapa tahun lalu, kita akan menjumpai berbagai kasus yang mengakibatkan sejumlah perusahaan besar, setaraf Enron, satu per satu berguguran antara lain yaitu WorldCom, Merck, Xerox, Tyco, Bush and Lomb, Rite Aid, Kimia Farma, Lippo, Telkom, dan masih banyak lagi. Perusahaan-perusahaan tersebut dahulunya berpredikat “baik” serta memiliki kualitas audit yang tinggi, namun terlibat dalam kasus manipulasi akuntansi “besar-besaran” atas laporan keuangannya. Jatuhnya perusahaan-perusahaan tersebut turut menyeret sejumlah auditor independen (auditor eksternal) ke dalam masalah. Tidak sedikit dari para auditor yang terlibat terkena jeratan hukum atas hasil kerja dan keterkaitannya didalam “memuluskan” aksi manipulasi akuntansi (Widianingsih, 2007).

Kasus terberat mengenai skandal Enron dan KAP Arthur Andersen dapat menjadi contoh nyata bahwa lama hubungan auditor-klien (auditor tenure) dan adanya dualisme fungsi (audit service dan non-audit service) dapat mempengaruhi Kasus terberat mengenai skandal Enron dan KAP Arthur Andersen dapat menjadi contoh nyata bahwa lama hubungan auditor-klien (auditor tenure) dan adanya dualisme fungsi (audit service dan non-audit service) dapat mempengaruhi

Dampak yang diakibatkan oleh kejadian tersebut yaitu munculnya sejumlah perubahan yang signifikan terhadap lingkungan profesi Akuntan Publik sebagai reaksi atas mencuatnya skandal-skandal keuangan tersebut. Hal ini tentunya telah melukai kepercayaan publik terhadap independensi profesi akuntan. Sehingga hal tersebut, telah memicu pemerintah beserta jajaran ditingkat legislatif untuk meninjau kembali perangkat hukum yang mengatur perusahaan (korporat) dan praktik auditor, dengan diberlakukannya undang-undang “Sarbanes-Oxley Act of 2002 (SOX)” (www.findlaw.com) oleh Amerika Serikat. Seiring dengan hal tersebut, Indonesia turut menetapkan dua keputusan penting, yakni Kepmenkeu No. 423/KMK.06/2002 tanggal

30 September 2002, yang kemudian disempurnakan dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 17/PMK.01/2008 pada 5 Februari 2008, serta dikeluarkannya SK Bapepam No. Kep 20/PM/2002 pada 12 Nopember 2002 (Santoso, 2003:8) yang isinya tidak berbeda jauh dari Sarbanes-Oxley Act.

Lebih lanjut, contoh lain yang menunjukkan pengaruh auditor tenure terhadap independensi auditor adalah kasus yang terjadi di Kantor Akuntan Publik Johan Malonda & Rekan. KAP ini mulai menjadi auditor Great River sejak tahun 2001 dimana pada saat itu perusahaan mengalami kesulitan didalam melunasi kewajibannya (utang). Kemudian pada tahun 2002, perusahaan memperoleh pengurangan pokok utang sebesar 85% yang mana sisanya dibayar dengan menggunakan pinjaman bank. Setahun kemudian (tahun 2003) Great River menerbitkan obligasi sebagai upaya membayar pinjaman bank. Berdasarkan hasil audit investigasi, Bapepam di tahun 2006 menemukan kelebihan pencatatan atau overstatement penyajian account penjualan serta piutang. Kelebihan tersebut berupa penambahan aktiva tetap dan penggunaan dana hasil emisi obligasi tanpa pembuktian. Hal demikian mengakibatkan, Great River mengalami Lebih lanjut, contoh lain yang menunjukkan pengaruh auditor tenure terhadap independensi auditor adalah kasus yang terjadi di Kantor Akuntan Publik Johan Malonda & Rekan. KAP ini mulai menjadi auditor Great River sejak tahun 2001 dimana pada saat itu perusahaan mengalami kesulitan didalam melunasi kewajibannya (utang). Kemudian pada tahun 2002, perusahaan memperoleh pengurangan pokok utang sebesar 85% yang mana sisanya dibayar dengan menggunakan pinjaman bank. Setahun kemudian (tahun 2003) Great River menerbitkan obligasi sebagai upaya membayar pinjaman bank. Berdasarkan hasil audit investigasi, Bapepam di tahun 2006 menemukan kelebihan pencatatan atau overstatement penyajian account penjualan serta piutang. Kelebihan tersebut berupa penambahan aktiva tetap dan penggunaan dana hasil emisi obligasi tanpa pembuktian. Hal demikian mengakibatkan, Great River mengalami

Permasalahan tersebut pada akhirnya memunculkan keraguan dan pertanyaan mengenai kualitas audit. Salah satunya adalah apakah sebenarnya auditor mampu mendeteksi kecurangan-kecurangan dan kelemahan penyajian laporan keuangan klien atau sebenarnya mereka mampu mendeteksinya namun tidak mengumumkannya didalam laporan audit. Hal demikian apabila dikaji lebih dalam bermuara kepada

independensi auditor. Flint (1988) dalam Heang dan Ali (2008) berpendapat bahwa independensi akan hilang jika auditor terlibat dalam hubungan pribadi dengan klien, karena hal ini dapat mempengaruhi sikap mental dan opini mereka.

De Angelo (1981) dalam Kusharyanti (2003) mendefinisikan kualitas audit sebagai kemungkinan (joint probability) dimana seorang auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran yang ada dalam sistem akuntansi kliennya. Kemungkinan dimana auditor akan menemukan salah saji tergantung pada kualitas pemahaman auditor (kompetensi) sementara tindakan melaporkan salah saji tergantung pada independensi auditor. Hal tersebut menyiratkan jika profesi akuntan publik ibarat pedang bermata dua. Disatu sisi auditor harus memperhatikan kredibilitas dan etika profesi, disaat bersamaan disisi lain auditor juga harus menghadapi tekanan dari klien terkait pengambilan keputusan. Kondisi demikian dapat mengakibatkan menurunnya kualitas audit serta independensi auditor apabila auditor tidak mampu menolak tekanan yang berasal dari klien seperti tekanan personal, emosional maupun keuangan.

Melihat perhatian yang diberikan pihak regulator terhadap masalah masa pemberian jasa dan kasus multi service KAP kepada kliennya, hal ini memberikan bukti bahwa kegiatan tersebut dapat merusak kualitas independensi auditor. Bazerman et al. (2002) dalam artikelnya yang berjudul “Why Good Accountants Do Bad Audit” menyuarakan argumen senada. Disini mereka mengemukakan bahwa auditor mempunyai motivasi tinggi untuk tetap memelihara hubungan baik dalam jangka panjang dengan klien dan cenderung “menyetujui” laporan keuangan yang diauditnya, karena dapat menjual jasa non-audit dikemudian hari. Selanjutnya kedekatan hubungan auditor-klien ini dapat membawa dampak negatif berupa self serving biases atas judgement yang dilakukan oleh kliennya. Ini berakibat bahwa auditor secara tidak sadar hanyut dalam alur “unconscious bias.”

Meskipun demikian, Herwidayatmo (2002 dalam Chritiawan, 2002), Wati dan Subroto (2003) serta Blouin et al., (2005) memiliki pendapat yang berbeda. Mereka Meskipun demikian, Herwidayatmo (2002 dalam Chritiawan, 2002), Wati dan Subroto (2003) serta Blouin et al., (2005) memiliki pendapat yang berbeda. Mereka

Berdasarkan uraian di atas dan berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, peneliti tertarik untuk memahami berbagai penyebab yang mengakibatkan adanya kecenderungan seorang auditor mengingkari sikap independensi dalam melaksanakan tugas melalui pendekatan kualitatif. Dengan demikian, maka fokus penelitian ini adalah untuk memahami conflict of interest dalam profesi auditor yang disebabkan oleh perangkapan fungsi dan hubungan antara auditor-klien, yang dapat mengganggu indepedensi auditor ditinjau dari perspektif teori konflik.

1.1. Rumusan Masalah Bagaimana conflict of interest dalam profesi auditor yang diakibatkan oleh perangkapan fungsi dan hubungan antara auditor-klien, yang dapat mengganggu independensi auditor ditinjau dari perspektif teori konflik?

2. Tinjauan Teoritis Dan Kompleksitas Di Balik Independensi

2.1. Independensi Auditor Mautz dan Sharaf (1993:80) mengemukakan lima konsep utama dalam pengauditan yakni bukti (evidence), due audit care, pernyataan yang jujur (fair presentation ), independensi dan kode etik (ethical conduct). Masing-masing konsep ini menempati posisi yang penting dalam pengauditan. Ketiadaan salah satu konsep tersebut dapat melemahkan kualitas audit yang dihasilkan (Tandirerung, 2006). Syarat pengauditan pada Standar Auditing, meliputi tiga hal, yaitu : (SA Seksi 150 SPAP, 2001) adalah: Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup, dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor dan didalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya (kompetensinya) dengan cermat dan seksama. Hal-hal yang terutang 2.1. Independensi Auditor Mautz dan Sharaf (1993:80) mengemukakan lima konsep utama dalam pengauditan yakni bukti (evidence), due audit care, pernyataan yang jujur (fair presentation ), independensi dan kode etik (ethical conduct). Masing-masing konsep ini menempati posisi yang penting dalam pengauditan. Ketiadaan salah satu konsep tersebut dapat melemahkan kualitas audit yang dihasilkan (Tandirerung, 2006). Syarat pengauditan pada Standar Auditing, meliputi tiga hal, yaitu : (SA Seksi 150 SPAP, 2001) adalah: Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup, dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor dan didalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya (kompetensinya) dengan cermat dan seksama. Hal-hal yang terutang

Penelitian ini dipusatkan pada salah satu dari lima konsep pengauditan yang telah diutarakan sebelumnya yaitu independensi, sebab independensi merupakan konsep mendasar bagi konsep lainnya. Jika konsep independensi telah terpenuhi, maka akan cenderung menunjang keterpenuhan keempat konsep lainnya (Tandirerung, 2006). Sikap independen inilah yang membuat hasil kerja auditor yaitu opini atas laporan keuangan memiliki nilai kepercayaan bagi publik. Hal senada juga diutarakan oleh Windsor dan Ashkanasy (1996) dan Falk et al. (1999) bahwa “independence is the cornerstone of the audit profession and an essential ingredient of users’confidence in financial statements.”

Independen dalam arti akuntansinya, dikemukakan oleh Mulyadi dan Puradiredja (1998:3,9), yang dikutip oleh Tandirerung (2006), berarti: “bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada pihak lain.” Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) sendiri menetapkan independensi dalam standar umum nomor dua dari tiga standar auditing, yang menyatakan bahwa dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dan sikap mental harus dipertahankan oleh auditor. Taylor (1997) dalam Susiana dan Herawaty (2007:6) menguraikan penekanan independensi auditor menjadi dua aspek independensi, yang pertama adalah independensi sikap mental (independence of mind/independence of mental attitude ), independensi sikap mental ditentukan oleh pikiran auditor untuk bertindak dan bersikap independen. Kedua, independensi penampilan (image projected to the public/appearance of independence ), independensi penampilan ditentukan oleh kesan masyarakat terhadap independensi auditor. Sedangkan Mulyadi dan Puradiredja (1998:49) dalam Tandirerung (2006) menambahkan satu aspek lain dalam memandang independensi selain independence in fact dan independence in appearance yaitu independensi dipandang dari sudut keahliannya, seseorang dapat mempertimbangkan fakta dengan baik, jika ia mempunyai keahlian mengenai audit atas fakta yang ditemuinya dalam audit.

Namun, independensi bisa dikatakan sebagai salah satu konsep yang sulit untuk diraba. Untuk mempertahankan hal ini auditor juga dihadapkan pada ambiguitas peran, di mana di satu sisi dia ditunjuk dan dibayar oleh manajemen untuk mengaudit laporan keuangannya dan di satu sisi dia tidak boleh berpihak pada siapa pun dalam Namun, independensi bisa dikatakan sebagai salah satu konsep yang sulit untuk diraba. Untuk mempertahankan hal ini auditor juga dihadapkan pada ambiguitas peran, di mana di satu sisi dia ditunjuk dan dibayar oleh manajemen untuk mengaudit laporan keuangannya dan di satu sisi dia tidak boleh berpihak pada siapa pun dalam

2.2. Conflict of Interest Benturan kepentingan (conflict of interest) yang dialami auditor ini dapat menggiringnya untuk melakukan pelanggaran atas sikap independennya. Winarto (2002:19 dalam Yuniarti, 2011) menyatakan ada dua hal yang sering disebut-sebut sebagai penyebab munculnya pelanggaran ini, antara lain Kantor Akuntan Publik (KAP) yang melakukan multi service pada klien yang sama. Misalnya, KAP tersebut di satu sisi sebagai auditor dan pada saat yang bersamaan juga melakukan jasa konsultasi terhadap klien yang sama (Shockley, 1981:785). Kemudian, KAP atau auditor yang memberikan jasa audit secara terus-menerus pada klien yang sama (audit tenure). Dimana, saat lamanya auditor memeriksa meningkat, maka akan meningkatkan anggapan bahwa auditor berjalan sesuai keinginan klien dalam masalah-masalah akuntansi (Mayangsari, 2007b). Audit tenure yang panjang dapat menyebabkan auditor untuk mengembangkan “hubungan yang lebih nyaman” serta kesetiaan yang kuat atau hubungan emosional dengan klien mereka, yang dapat mencapai tahap dimana independensi auditor terancam. Audit Tenure yang panjang juga menimbulkan rasa kekeluargaan yang lebih dan akibatnya, kualitas dan kompetensi kerja auditor dapat menurun ketika mereka mulai untuk membuat asumsi-asumsi yang tidak tepat dan 2.2. Conflict of Interest Benturan kepentingan (conflict of interest) yang dialami auditor ini dapat menggiringnya untuk melakukan pelanggaran atas sikap independennya. Winarto (2002:19 dalam Yuniarti, 2011) menyatakan ada dua hal yang sering disebut-sebut sebagai penyebab munculnya pelanggaran ini, antara lain Kantor Akuntan Publik (KAP) yang melakukan multi service pada klien yang sama. Misalnya, KAP tersebut di satu sisi sebagai auditor dan pada saat yang bersamaan juga melakukan jasa konsultasi terhadap klien yang sama (Shockley, 1981:785). Kemudian, KAP atau auditor yang memberikan jasa audit secara terus-menerus pada klien yang sama (audit tenure). Dimana, saat lamanya auditor memeriksa meningkat, maka akan meningkatkan anggapan bahwa auditor berjalan sesuai keinginan klien dalam masalah-masalah akuntansi (Mayangsari, 2007b). Audit tenure yang panjang dapat menyebabkan auditor untuk mengembangkan “hubungan yang lebih nyaman” serta kesetiaan yang kuat atau hubungan emosional dengan klien mereka, yang dapat mencapai tahap dimana independensi auditor terancam. Audit Tenure yang panjang juga menimbulkan rasa kekeluargaan yang lebih dan akibatnya, kualitas dan kompetensi kerja auditor dapat menurun ketika mereka mulai untuk membuat asumsi-asumsi yang tidak tepat dan

Kekhawatiran akan permasalahan ini dikuatkan oleh pihak regulator dengan dikeluarkannya Sarbanes-Oxley Act tahun 2002 Seksi 207 yang menyatakan bahwa rotasi auditor bersifat mandatory. Hal ini tidak berbeda dengan keputusan yang diambil oleh pihak regulator Indonesia, berkaitan dengan masalah rotasi yang tertuang dalam Kepmenkeu No. 423/KMK.06/2002 tanggal 30 September 2002, yang kemudian disempurnakan dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 17/PMK.01/2008 pada 5 Februari 2008, antara lain mengatur pembatasan masa pemberian jasa bagi akuntan (KAP) dapat memberikan jasa audit umum paling lama lima tahun buku berturut-turut dan untuk seorang akuntan paling lama tiga tahun buku berturut-turut), asosiasi profesi akuntan publik (saat ini IAPI) dan laporan kegiatan.

Faktor lain yang dianggap mampu mempengaruhi independensi auditor adalah muculnya faktor tekanan. Tandirerung (2006) mengungkapkan bahwa adanya faktor tekanan bisa datang dari pihak atasan, pihak klien, dan dari dalam diri auditor itu sendiri. Semua tekanan ini bermuara pada upaya untuk memenangkan klien. Hal yang sama diungkapkan Jamilah dkk. (2007) dalam menguji variabel ketaatan dan menyimpulkan bahwa tekanan ketaatan yaitu perintah dari atasan dan keinginan klien untuk menyimpang dari standar profesional akan cenderung ditaati oleh auditor. Itu berarti audit judgement sangat ditentukan oleh keinginan dan harapan pimpinan KAP.

Profesi auditor merupakan profesi yang didasarkan pada kepercayaan publik (Christiawan, 2002). Sementara selama ini banyak pengaruh dan tekanan yang dapat berdampak pada persepsi negatif terhadap independensi akuntan. O’Connell (2004:744) menyatakan bahwa merupakan hal yang urgent untuk segera mengembalikan integritas auditor melalui komitmen yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan terhadap independensi yang sejati untuk fungsi audit, dan tidak hanya sebatas kata-kata.

2.3. Teori Konflik Collins Konflik merupakan pertentangan yang terjadi karena adanya orang, pemikiran, atau

prinsip yang saling berlawanan, konflik tersebut bisa berupa konflik yang tersembunyi (covert) atau nampak (overt). Konflik independensi auditor yang disebabkan benturan kepentingan (conflict of interest) dapat digolongkan kedalam konflik yang tersembunyi sebab hasil dari proses interaksi yang menciptakan konflik tersebut tidak dapat dilihat langsung secara kasat mata layaknya konflik yang menyebabkan pecahnya perang. Agar memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai konflik yang dialami auditor maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma interpretif. Selanjutnya, teori utama yang digunakan dalam melakukan analisis terhadap kemungkinan terganggunya independensi dalam perangkapan fungsi auditor dan hubungan antara auditor-klien dalam penelitian ini adalah teori konflik Collins. Alasan penggunaan teori konflik Collins (1975) ini karena berorientasi mikro sehingga memungkinkan peneliti untuk mengamati dan memahami konflik dari sudut pandang individu ataupun kelompok. Sebab independensi merupakan sikap yang harus dimiliki oleh masing-masing individu auditor.

Teori konflik dari Collins ini menurunkan 5 prinsip analisis konflik yang akan sebagai instrumen analisis yang dapat digunakan untuk meneropong benturan kepentingan (conflict of interest) yang dihadapi para auditor. Pertama, perhatian akan dipusatkan pada kehidupan nyata ketimbang suatu formulasi abstrak, menurut Collins konflik merupakan proses sentral yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (fenomenologi). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode fenomenologi yang sesuai dengan prinsip tersebut untuk mendekati realitas sosial dalam kehidupan sehari- hari para aktor dalam KAP. Dan melalui fenomenologi diharapkan fenomena-fenomena sosial berkaitan dengan perangkapan fungsi auditor dan hubungan auditor-klien yang diduga dapat menciptakan conflict of interest yang akan berusaha diungkap oleh peneliti hingga mendapatkan “meaningfulness” yang merupakan gambaran yang merefleksikan keadaan apa adanya (Basrowi dan Soenyono, 2004:60). Kedua, meneliti dengan seksama susunan material yang memengaruhi interaksi (materi/sumber daya). Prinsip ini berguna untuk memandang bagaimana auditor dan klien bertindak berdasarkan “materi” atau sumber daya yang dimilikinya. Materi disini dapat diartikan sebagai “kekuatan” (power) yang dimiliki masing-masing pihak dan hal ini dapat mempengaruhi hubungan di antara mereka.

Prinsip ketiga menyatakan bahwa dalam situasi ketimpangan, kelompok yang mengendalikan sumber daya kemungkinan akan mencoba mengeksploitasi kelompok dengan sumber daya terbatas (ketimpangan/dominasi). Setelah memahami sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing pihak, maka ada kemungkinan salah satu pihak dapat memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya untuk mengeksploitasi pihak lain dan bisa saja keadaan ini tidak disadari oleh pihak yang tereksploitasi. “Eksplotasi” yang dilakukan klien terhadap auditor bisa menyebabkan terdistorsinya independensi auditor yang mungkin tidak disadari oleh auditor sendiri. Sebagaimana yang disebut Bazerman et al. (2002) sebagai unconciousness bias. Kemudian prinsip keempat, melihat adanya fenomena kultural yang mendasari terjadinya ketimpangan yang menyebabkan salah satu pihak dapat “mendominasi” pihak lainnya (kultur). Salah satu fenomena kultural yang dapat dirasakan oleh peneliti di lapangan adalah suasana budaya kultural di lingkungan KAP yang dapat mempengaruhi dan membentuk perilaku para anggotanya. Prinsip terakhir (kelima) menunjukkan adanya komitmen ilmiah untuk memperluas analisis ini kebidang sosial lain, peneliti memandang bahwa dengan menggunakan analisis konflik Collins dalam penelitian ini dapat dijadikan salah satu bukti yang menunjukkan komitmen ilmiah tersebut dan ternyata prinsip analisis ini dapat digunakan di setiap kehidupan sosial.

3. Metode Penelitian Dengan Teori Konflik Sebagai Instrumen Analisis

3.1. Situs dan Pengumpulan Data Penelitian Penelitian dilakukan dalam setting sosial salah satu KAP yang berada di kota Samarinda yaitu KAP “ABC dan Rekan,” di mana auditor yang bekerja di sana merupakan unit analisis dalam penelitian ini. Dengan pertimbangan bahwa para auditor yang berada di KAP tersebut merupakan aktor yang terjun langsung dalam proses pengauditan dan pemberian jasa lain yang ditawarkan KAP. Pengumpulan fakta-fakta sosial dilakukan melalui wawancara dan pengamatan berperan serta (participant observation ). Ludigdo (2007b) mengungkapkan bahwa dengan metode participant observation , peneliti harus berusaha terlibat di dalam suatu proses kehidupan sosial sehari-hari di mana interaksi sosial berlangsung, dalam penelitian ini keterlibatan peneliti dalam aktifitas sehari-hari KAP berlangsung selama sepuluh bulan. Dalam metode ini peneliti secara otomatis terlibat dalam dialog-dialog interaktif dengan para staf profesional dalam KAP tersebut. Dialog ini merupakan suatu bentuk wawancara yang berlangsung secara alamiah, bersifat informal dan tidak terstruktur. Selain itu 3.1. Situs dan Pengumpulan Data Penelitian Penelitian dilakukan dalam setting sosial salah satu KAP yang berada di kota Samarinda yaitu KAP “ABC dan Rekan,” di mana auditor yang bekerja di sana merupakan unit analisis dalam penelitian ini. Dengan pertimbangan bahwa para auditor yang berada di KAP tersebut merupakan aktor yang terjun langsung dalam proses pengauditan dan pemberian jasa lain yang ditawarkan KAP. Pengumpulan fakta-fakta sosial dilakukan melalui wawancara dan pengamatan berperan serta (participant observation ). Ludigdo (2007b) mengungkapkan bahwa dengan metode participant observation , peneliti harus berusaha terlibat di dalam suatu proses kehidupan sosial sehari-hari di mana interaksi sosial berlangsung, dalam penelitian ini keterlibatan peneliti dalam aktifitas sehari-hari KAP berlangsung selama sepuluh bulan. Dalam metode ini peneliti secara otomatis terlibat dalam dialog-dialog interaktif dengan para staf profesional dalam KAP tersebut. Dialog ini merupakan suatu bentuk wawancara yang berlangsung secara alamiah, bersifat informal dan tidak terstruktur. Selain itu

3.2. Teknis Analisis Analisis data sebagai upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain (Muhadjir, 2000:142) dilakukan dalam tiga langkah analisis data sebagaimana berikut ini. Pertama, peneliti melakukan reduksi data. Proses ini dilakukan dengan melakukan penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan tertulis di lapangan (fieldnotes) yang dilakukan. Proses ini berlangsung baik pada saat peneliti masih di lapangan maupun pada saat sudah meninggalkan lapangan. Kedua, penyajian data (data display), yaitu merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Spardley (1997) menjelaskan dalam kerangkanya bahwa proses ini boleh disetarakan dengan analisis domain dimana peneliti mengategorikan berbagai ungkapan dan realitas sosial yang ditemui secara tematik. Pada fase ini peneliti dapat memanfaatkan bantuan teori, khususnya untuk menyusun kerangka domain (atau tema). Ketiga, penarikan kesimpulan, verifikasi, dan refleksi. Pada proses ini peneliti melakukan interpretasi terhadap makna dari berbagai bahan empirik yang telah dikumpulkan dan dikategorisasikan secara tematik sebagaimana telah dilakukan dalam proses sebelumnya. Sedangkan proses verifikasi dilakukan secara dinamis dalam berbagai situasi praktis di lapangan dan di luar lapangan, bagaimanapun ini dilakukan untuk memastikan kesesuaian data dan sekaligus menjaga kredibilitas informan. Sementara itu proses refleksi dilakukan untuk mendapatkan pemahaman yang benar dan utuh atas sebuah fenomena dalam realitas sosial. Untuk ini sintesa antara temuan empiris dengan ungkapan-ungkapan konsepsional-teoritis dilakukan.

3.3. Instrumen Analisis Collins (1975) telah menurunkan lima prinsip yang dapat digunakan untuk menganalisis suatu konflik yang diyakininya dapat diterapkan disetiap bidang kehidupan sosial. Dalam penelitian ini, analisis konflik dari Collins tersebut akan digunakan untuk memahami konflik yang terjadi antar auditor dan independensinya. Namun pada bagian ini tidak keseluruhan prinsip tersebut akan dijelaskan dalam 3.3. Instrumen Analisis Collins (1975) telah menurunkan lima prinsip yang dapat digunakan untuk menganalisis suatu konflik yang diyakininya dapat diterapkan disetiap bidang kehidupan sosial. Dalam penelitian ini, analisis konflik dari Collins tersebut akan digunakan untuk memahami konflik yang terjadi antar auditor dan independensinya. Namun pada bagian ini tidak keseluruhan prinsip tersebut akan dijelaskan dalam

Kemudian prinsip lainnya yang tidak akan dijelaskan pada bagian ini adalah prinsip terakhir dalam analisis Collins (1975) yakni menunjukkan adanya komitmen ilmiah untuk memperluas analisis ini ke bidang sosial lain. Peneliti memandang bahwa dengan menggunakan analisis konflik Collins dalam penelitian ini dapat dijadikan salah satu bukti yang menunjukkan komitmen ilmiah tersebut di mana prinsip analisis ini juga dapat digunakan disetiap kehidupan social dan tidak hanya dalam stratifikasi masyarakat saja, dalam penelitian ini prinsip tersebut digunakan untuk menganalisis dan memahami konflik independensi auditor.

Sehingga tiga prinsip yang tersisa adalah prinsip kedua untuk meneliti dengan seksama susunan material yang memengaruhi interaksi (materi/sumber daya). Prinsip ketiga yang menyatakan bahwa dalam situasi ketimpangan, kelompok yang mengendalikan sumber daya kemungkinan akan mencoba mengeksploitasi kelompok dengan sumber daya terbatas (ketimpangan/dominasi). Serta prinsip keempat, melihat adanya fenomena kultural yang mendasari terjadinya ketimpangan yang menyebabkan salah satu pihak dapat “mendominasi” pihak lainnya (kultur). Ketiga prinsip inilah yang akan membantu kita dalam memahami konflik independensi auditor terkait temuan- temuan yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, sehingga diharapkan pada akhirnya diperoleh pemahaman mengenai bagaimana auditor menyikapi konflik tersebut.

4. Temuan Atas Problema Independensi Auditor Dalam Praktik

Dalam merajut pemahaman mengenai independensi auditor dalam praktiknya, pada bagian berikut juga akan digunakan beberapa metafora untuk merefleksikan pemahaman atas keadaan independensi auditor. Bagian ini merupakan hasil refleksi atas pemahaman mengenai sikap auditor terkait dengan independensi auditor dalam realitas praktiknya, yang merupakan hasil temuan peneliti di lapangan.

4.1. Pemahaman 1: Auditor-Client as a “Soulmate” “As the audit engagement lengthens, the “strings” (economic and personal) between auditors and their auditees thicken. These strings impair auditors’ role as independent gatekeepers.” Ungkapan Gavious (2007) ini menunjukkan adanya kekhawatiran bahwa dalam jangka panjang suatu perikatan menciptakan “string” (ketergantungan) antara auditor dan klien, sehingga nantinya dapat merusak independensi auditor. Namun, sebenarnya “ketergantungan” ini bisa datang dari kedua belah pihak, jadi istilah yang lebih tepat sepertinya adalah keadaan “saling ketergantungan” antara auditor dan klien. Sebab di satu sisi auditor khawatir kehilangan fee serta “pelanggannya” dan di sisi lain klien juga membutuhkan auditor yang telah memahami keadaan perusahaannya serta dapat memberikan mereka unqualified opinion .

Keadaan “saling ketergantungan” dalam jangka panjang antar auditor-klien memungkinkan tumbuhnya hubungan emosional, yang mana didalamya telah membaurkan berbagai kepentingan dari masing-masing pihak. Dalam keadaan ini auditor-klien yang “menjalin hubungan” tersebut dapat direfleksikan sebagai sepasang “soulmate,” karena adanya dua pihak yang terlibat dalam suatu hubungan emosional, merasakan adanya kecocokan, rasa saling percaya, dan sama-sama memiliki rasa “takut kehilangan.” Seperti kata pepatah “tak kenal maka tak sayang,” maka semakin lama waktu yang dilalui, semakin saling mengenal dan semakin dalam pula pemahaman yang dimiliki masing-masing pihak maka perasaan “sayangnya” akan semakin besar juga.

Ketika berinteraksi dengan KAP “ABC dan Rekan”, peneliti sempat mengamati dua peristiwa menarik yang terjadi antara auditor dan kliennya. Peneliti berkesempatan mengikuti Roni ketika ia menemui beberapa klien di awal proses pengauditan. Klien pertama adalah perusahaan yang bergerak di bidang pelayaran dan merupakan perusahaan keluarga yang bersifat tertutup (sebut saja PT. PMP). Klien yang satu ini bisa disebut sebagai salah satu “langganan” KAP “ABC dan Rekan,” sebab KAP ABC dan Rekan telah memberikan jasa audit dan konsultasi sistem pada perusahaan ini selama kurang lebih 3 tahun. Klien berikutnya ialah sebuah perguruan tinggi swasta di kota Samarinda dan ini merupakan pertama kalinya klien tersebut di audit oleh KAP “ABC dan Rekan”. Mengamati dua kondisi tersebut, peneliti melihat adanya perbedaan sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin lama hubungan yang terjalin antara auditor-klien maka akan semakin “cair” suasana yang melingkupi mereka dengan Ketika berinteraksi dengan KAP “ABC dan Rekan”, peneliti sempat mengamati dua peristiwa menarik yang terjadi antara auditor dan kliennya. Peneliti berkesempatan mengikuti Roni ketika ia menemui beberapa klien di awal proses pengauditan. Klien pertama adalah perusahaan yang bergerak di bidang pelayaran dan merupakan perusahaan keluarga yang bersifat tertutup (sebut saja PT. PMP). Klien yang satu ini bisa disebut sebagai salah satu “langganan” KAP “ABC dan Rekan,” sebab KAP ABC dan Rekan telah memberikan jasa audit dan konsultasi sistem pada perusahaan ini selama kurang lebih 3 tahun. Klien berikutnya ialah sebuah perguruan tinggi swasta di kota Samarinda dan ini merupakan pertama kalinya klien tersebut di audit oleh KAP “ABC dan Rekan”. Mengamati dua kondisi tersebut, peneliti melihat adanya perbedaan sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin lama hubungan yang terjalin antara auditor-klien maka akan semakin “cair” suasana yang melingkupi mereka dengan

Kembali pada metafora “soulmate” yang telah diungkapkan sebelumnya, dari fenomena di atas dapatlah ditangkap adanya “saling ketergantungan” dan melibatkan perasaan emosional antara auditor-klien. Meier et al. (2004:69) dalam Tandirerung (2006) menjelaskan bahwa emosi melibatkan perasaan suka atau merasa ikut mengambil bagian dalam pengalaman itu, emosi juga terkait erat dengan motivasi, emosi membuat kita cenderung bertindak dengan cara tertentu. Dalam hal ini, di satu sisi auditor akan berusaha menyenangkan klien demi menjaga kelangsungan hubungan baik dengan klien tersebut, agar si klien tidak “lari” maka auditor bersedia mengorbankan keindepedensiannya demi membantu dan mengikuti keinginan klien. Demikian pula sebaliknya, klien pun tidak rela jika sampai kehilangan auditor yang sudah “memahaminya” serta bersedia “membantunya,” lagi pula klien yang sudah merasa nyaman dengan “hubungan” yang dijalaninya dengan auditor akan membuat komunikasi lebih lancar sehingga klien lebih mudah mengungkapkan segala persoalan yang dihadapi perusahaannya kepada auditor tersebut dan kemungkinan yang terjadi berikutnya adalah klien kemudian dapat memposisikan auditor juga sebagai konsultan bisnisnya.

4.2. Pemahaman 2: Kontaminasi Virus “Tau Sama Tau (TST)” Di Indonesia tampaknya budaya “TST” ini sudah berakar kuat dibenak masyarakat, tak terkecuali dunia akuntan. Suatu ketika, peneliti sempat berbincang dengan salah seorang staf di KAP “ABC dan Rekan” dan ia berkeluh kesah tentang pekerjaannya kepada peneliti, dari cerita staf inilah peneliti memperoleh gambaran bahwa dunia akuntan ternyata sangat rawan terinfeksi budaya TST tersebut. Berikut penuturan Rudi yang menjelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi:

“Sebenarnya sekarang aku masih ada kerjaan untuk audit 2 perusahaan. Kebetulan [perusahaan] pelayaran semua dan semua minta cepat. Mereka minta hari ini selesai...mana bisa, kan belum aku kerjain sama sekali. Tapi kalo mereka ngotot bisa aja sih, ambil aja hasil audit perusahaan lain yang sama...selesai deh. Cuma buat ke bank aja kan. Kalo perusahaan rugi terus minta dijadikan laba, ya udah kasih aja. Tergantung permintaan aja de’ [peneliti]..hehe..ini sih off the record aja..TST [Tau sama tau] lah!”

Dari pernyataan di atas, tercermin bahwa kegiatan-kegiatan off the record itu merupakan hal yang tidak jarang dilakukan oleh para auditor. Tuntutan dari klien untuk mengikuti keinginannya membuat para auditor memejamkan mata atas prosedur yang seharusnya mereka patuhi dan dengan berkembangnya budaya TST semakin mempermulus aktifitas tersebut. Sebab kedua belah pihak akan memperoleh win-win solution , auditor tidak akan kehilangan klien dan fee auditnya serta reputasinya juga akan tetap terjaga, klien pun akan dengan mudah memperoleh kredit dari bank yang diharapkannya karena telah memiliki laporan keuangan yang “wajar” dan “lebih cantik” dari sebelumnya. Namun, benarkah win-win solution yang diperoleh? Lantas, bagaimana dengan hilangnya independensi auditor karena “solusi” tersebut?

Mencermati fenomena yang dihadapi para staf dalam aktifitas profesionalnya seolah menjadi cerminan bahwa auditor sering kali berada dalam posisi yang tidak berdaya. Demi menjaga kelangsungan hubungan dengan klien mereka mau tidak mau mengikuti keinginan kliennya. Kekhawatiran KAP untuk ditinggalkan klien, diperkuat juga oleh Ludigdo (2006a) dengan menyatakan bahwa bagaimanapun juga sebuah KAP akan berusaha mempertahankan kelangsungan bisnisnya. Disadari bahwa isu etis atau tidaknya suatu tindakan tak dipungkiri, juga menghinggapi keseharian akuntan publik di KAP “ABC dan Rekan”. Selain fenomena yang berkaitan dengan masalah auditing bagi akses perbankan klien, sudah “tau sama tau” bahwa klien saat ini membuat laporan keuangan lebih dari satu, salah satunya untuk kepentingan pajak. Terkait dengan pajak dan peran akuntan di dalamnya, kemudian memunculkan pertanyaan lain terkait isu independensi auditor: dapatkah seorang auditor yang memberikan jasa audit dan jasa sebagai konsultan pajak tetap mempertahankan independensinya? Kekhawatiran serupa juga diungkapkan oleh Widianingsih (2007), jika seorang praktisi memiliki atau memberikan suatu jasa penasehat pajak, peran advokasi ini dapat menghasilkan kesulitan-kesulitan ketika peran sebagai auditor diasumsikan di sini, dan hal ini dapat menimbulkan konflik. Apalagi jika kondisi ini telah dirasuki oleh budaya “TST,” maka kemungkinan terjadinya “persekongkolan” antar auditor dan klien akan semakin mudah terlaksana dan tentu saja hal ini akan menodai indepedensi auditor.

5. Hasil Penelitian: Cermin Pemahaman Independensi Auditor Dalam Bingkai Teori Konflik

Menggunakan prinsip analisis konflik yang dikemukakan oleh Collins, maka pada bagian ini akan dipaparkan mengenai konflik kepentingan (conflict of interest) Menggunakan prinsip analisis konflik yang dikemukakan oleh Collins, maka pada bagian ini akan dipaparkan mengenai konflik kepentingan (conflict of interest)

5.1. Makna Konflik dengan Klien Memahami indepedensi dalam realitas praktik auditor di KAP “ABC dan Rekan”, telah diungkapkan sebelumnya bahwa staf auditor yang bekerja di KAP ini sering kali berada dalam berbagai kondisi yang dapat mempengaruhi kualitas independensi mereka. Dalam realitas praktiknya, para auditor berada dalam suatu arena di mana kepentingan yang bertentangan dimainkan dan pada bagian ini berkaitan dengan hubungan auditor dan kliennya. Klien sebagai pihak yang menunjuk dan membayar auditor berkepentingan untuk memperoleh opini terbaik yaitu unqualified opinion dari auditornya, sehingga jika harapan mereka tidak terpenuhi maka tidak jarang klien “menekan” auditor untuk memenuhi keinginannya tersebut. Sedangkan, di sisi lain auditor adalah pihak yang harus bersikap independen dalam menjalankan penugasannya demi kepentingan stakeholders (Trisnaningsih, 2007:2). Kedua kondisi ini menunjukkan adanya kepentingan yang berbeda antar auditor dan klien, dan perbedaan ini lah yang dapat memicu timbulnya benturan kepentingan (conflict of interest ). Sehingga, kualitas independensi para auditor tergantung pada bagaimana mereka menyikapi kondisi yang dapat menggiringnya pada pengingkaran independensi ini.

Jika dipandang melalui kacamata teori konflik, maka kita dapat memahami susunan material yang dapat mempengaruhi interaksi kedua pihak (auditor-klien) dari salah satu prinsip yang tertuang di dalamnya. Susunan material atau sumber daya di sini dapat dimaknai sebagai power atau kekuatan yang dimiliki pihak-pihak tersebut dan jika pihak tersebut dapat memanfaatkan kekuatan yang dimilikinya maka mereka akan mempunyai peluang untuk mendominasi pihak lainnya. Bagi klien, power terbesar mereka berasal dari kewenangan yang diberikan sistem kepadanya, di mana klien adalah pihak yang dapat memilih, menunjuk, membayar, sampai dengan memutuskan hubungan dengan auditornya. Sehingga melalui sistem ini, klien dapat dengan leluasa berpindah dari satu KAP ke KAP lain jika mereka tidak merasa “cocok” dengan auditor atau pelayanan dari KAP tersebut. Power berikutnya yang juga dimiliki oleh klien yakni karena adanya hubungan dalam jangka waktu yang cukup lama dengan auditor serta Jika dipandang melalui kacamata teori konflik, maka kita dapat memahami susunan material yang dapat mempengaruhi interaksi kedua pihak (auditor-klien) dari salah satu prinsip yang tertuang di dalamnya. Susunan material atau sumber daya di sini dapat dimaknai sebagai power atau kekuatan yang dimiliki pihak-pihak tersebut dan jika pihak tersebut dapat memanfaatkan kekuatan yang dimilikinya maka mereka akan mempunyai peluang untuk mendominasi pihak lainnya. Bagi klien, power terbesar mereka berasal dari kewenangan yang diberikan sistem kepadanya, di mana klien adalah pihak yang dapat memilih, menunjuk, membayar, sampai dengan memutuskan hubungan dengan auditornya. Sehingga melalui sistem ini, klien dapat dengan leluasa berpindah dari satu KAP ke KAP lain jika mereka tidak merasa “cocok” dengan auditor atau pelayanan dari KAP tersebut. Power berikutnya yang juga dimiliki oleh klien yakni karena adanya hubungan dalam jangka waktu yang cukup lama dengan auditor serta

Kemudian, auditor sendiri juga sebenarnya memiliki power yang sangat besar sehingga klien membutuhkan profesi ini untuk mendukung kemajuan bisnisnya. Auditor merupakan profesi yang memilki kepercayaan publik atas posisi independennya sebagai kekuatan, karena itulah klien juga membutuhkan profesi ini agar memperoleh kepercayaan publik dalam beberapa hal penting bagi proses bisnisnya. Power yang dimiliki auditor ini sebenarnya dapat meningkat dalam kondisi tertentu, yaitu ketika hubungan kerja dengan klien dalam waktu yang cukup lama serta adanya pemberian jasa non audit selain jasa audit kepada klien tersebut. Di sini pemahaman auditor atas seluk beluk bidang usaha klien akan meningkat dan seiring hal tersebut otomatis meningkatkan profesionalisme auditor yang pada akhirnya akan meningkatkan independensi auditor. Namun sangat disayangkan, sebab saat ini para auditor malah tidak sadar akan besarnya kekuatan yang mereka miliki. Bahkan, terkadang menganggap hal ini sebagai kelemahan yang dapat menghalanginya untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dari klien, serta adanya kekhawatiran apabila auditor mempertahankan sikap independennya maka klien akan dengan mudah lari ke KAP lain. Ketidaksadaran para auditor dan ditambah lagi dengan kurangnya pemahaman klien akan posisi independen auditor, telah membuat hubungan antar auditor-klien yang seharusnya berada dalam posisi sejajar seakan menunjukkan adanya perbedaan di antara mereka. Sehingga menempatkan klien pada posisi atas dan auditor di posisi bawah.

Prinsip ketiga dalam analisis konflik Collins menyatakan adanya situasi ketimpangan di mana pihak yang dapat mengendalikan sumber daya kemungkinan akan mencoba mengeksploitasi pihak lain dengan sumber daya terbatas dan bisa saja keadaan ini tidak disadari oleh pihak yang tereksploitasi. Ternyata kondisi yang di sebut

Collins sebagai “ketimpangan” ini yang dialami auditor dalam realitas praktiknya sebagai konsekuensi ketidaksadaran mereka dalam memanfaatkan sumber daya atau kekuatan yang sebenarnya dimilikinya seperti yang telah dijelaskan di atas. Berbeda dengan klien yang mungkin lebih mudah untuk memanfaatkan kekuatannya, dengan begitu mereka mempunyai kesempatan yang lebih besar pula untuk mendominasi auditor.

Dalam realitas KAP “ABC dan Rekan” kondisi ini dapat dilihat dari auditor- klien yang telah menjalin hubungan kerja dalam jangka waktu yang cukup panjang, sekaligus auditor juga memberikan jasa lain selain jasa audit pada klien tersebut. Bisa dibilang klien ini adalah salah satu “pelanggan tetap” dari KAP “ABC dan Rekan”, di mana hubungan antar auditor-klien ini dapat dimetaforakan dengan “soulmate.” Karena dalam lingkup sebagai “soulmate,” antar auditor dan klien dapat lahir emotional feeling yang menjadikan tersamarkannya faktor dominasi klien atas auditornya melalui pelimpahan kepercayaan dari klien pada auditor tersebut. Dan dengan adanya perasaan ini auditor pun menjadi tidak sadar bahwa mereka telah dituntun oleh klien untuk mewujudkan keinginannya. Dengan adanya kondisi ini tanpa disadarinya auditor akan mudah terjebak dalam arus kepentingan klien sehingga menimbulkan bias pada sikap independennya, sebagaimana yang disebut Bazerman et al. (2002) sebagai unconciousness bias .

Kemudian berdasarkan prinsip keempat mengenai fenomena kultural yang mendukung terjadinya kondisi ketimpangan tesebut, dapat ditimbulkan oleh budaya kapitalis yang menganggap aspek materiil sebagai puncak pencapain suatu tujuan. Sehingga, karena para auditor ini juga berada dalam lingkungan yang seperti itu, maka wajar jika mereka menganggap bahwa memperoleh pemasukan yang lebih dari klien dapat dijadikan sebagai ukuran keberhasilannya. Dengan begitu, maka menempatkan klien sebagai pihak yang berposisi lebih tinggi dari mereka (auditor), juga memberikan angin segar bagi klien untuk lebih “memanfaatkan” keberadaan auditornya. Di sini independensi auditor lagi-lagi rela dipertaruhkan untuk memenuhi kepentingan klien dan untuk menjaga kepercayaan serta kepuasan klien terhadap “service” dari KAP tersebut.

5.2. Makna Konflik dengan Lingkungan KAP Dalam pemikiran Marx tentang konsep manusia yang disampaikan oleh Fromm (2002:28), di mana Marx tidak pernah lupa bahwa “bukan hanya lingkungan yang 5.2. Makna Konflik dengan Lingkungan KAP Dalam pemikiran Marx tentang konsep manusia yang disampaikan oleh Fromm (2002:28), di mana Marx tidak pernah lupa bahwa “bukan hanya lingkungan yang

KAP “ABC dan Rekan” tergolong KAP menengah-kecil, maka peran pimpinan dalam banyak hal sangat dominan (Ludigdo, 2007b:115). Kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh sang pimpinan dalam KAP lebih besar daripada para staf auditornya yang hanya berposisi sebagai bawahan. Tampak di sini bahwa para staf auditor bisa dikatakan sebagai aktor yang memiliki sumber daya terbatas dan besar kemungkinan akan berpikir dan bertindak berdasarkan keadaan material mereka (Ritzer dan Goodman, 2004:163) yakni dengan menuruti segala perintah dari pimpinannya. Kondisi seperti ini dijelaskan oleh prinsip kedua dalam analisis konflik Collins (1975) mengenai materi/sumber daya yang dimiliki oleh para aktor.

Kondisi di atas selanjutnya dapat menyebabkan kondisi yang disebut dalam prinsip ketiga sebagai “situasi ketimpangan.” Dominannya peran pimpinan dalam KAP dapat mengintervensi para stafnya untuk menjalankan segala perintahnya, apalagi pimpinan memiliki kewenangan untuk menentukan audit judgement. Faktor dominasi pimpinan membawa serta sikap yang tertanam dalam dirinya, sehingga secara tidak langsung sikap pimpinan ini juga terintegrasi di dalam praktik profesionalnya di KAP yang pada gilirannya ikut mempengaruhi sikap dan tindakan para staf auditor di KAP tersebut. Hal ini berdampak pada praktik profesional di KAP yang cenderung mengarah pada pencapaian keuntungan bagi KAP yang membuat KAP ini tergolong sebagai KAP yang “penuh toleransi” pada klien demi mempertahankannya. Sehingga berdampak pula pada pengabaian sikap independensi dalam praktik di KAP “ABC dan Rekan”. Staf auditor di KAP “ABC dan Rekan” pun akhirnya tumbuh menjadi auditor yang mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan, semata agar mereka terhindar dari konflik dengan pimpinan dan kliennya. Namun, dengan begitu konflik dengan independensi yang kemudian muncul karena adanya sikap dan tindakan tersebut.

Dokumen yang terkait

PENGARUH FAKTOR-FAKTOR TEKNIS DAN KEORGANISASIAN TERHADAP PENGEMBANGAN SISTEM PENGUKURAN KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris Pada Kantor Inspektorat Pemda Sleman)

0 0 29

PENGARUH PENERIMAAN DANA OTONOMI KHUSUS TERHADAP INDEK PEMBANGUNAN MANUSIA PAPUA DAN PAPUA BARAT DENGAN BELANJA MODAL SEBAGAI INTERVENING

0 0 20

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM DAN DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATENKOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH Abstract - 154 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

0 0 19

PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN KEMENTERIANLEMBAGA, KARAKTERISTIK ORGANISASI DAN HASIL AUDIT BPK

0 1 16

KETERTERAPAN SAK ETAP PADA KOPERASI SERTA PERSEPSI PELAKU KOPERASI DAN AKUNTAN PENDIDIK NILUH PUTU DIAN ROSALINA HANDAYANI NARSA ISNALITA

0 0 23

KETEPATAN WAKTU PENETAPAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BEALANJA DAERAH PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA

1 2 23

PENGARUH KOMITMEN PROFESIONAL DAN SOSIALISASI ANTISIPATIF TERHADAP SIKAP MAHASISWA AKUNTANSI ATAS AKUNTABILITAS SOSIAL PERUSAHAAN

0 2 21

EFEKTIVITAS PROGRAM PSG (PENDIDIKAN SISTEM GANDA) PADA DUDI (DUNIA USAHA DAN DUNIA INDUSTRI) BIDANG KEAHLIAN AKUNTANSI SMK NEGERI 7 DAN SMK MUHAMMADIYAH 2 YOGYAKARTA

0 0 29

ANGGARAN WAKTU AUDIT DAN KOMITMEN PROFESIONAL SEBAGAI VARIABEL MODERASI PENGARUH KOMPETENSI DAN INDEPENDENSI AUDITOR TERHADAP KUALITAS AUDIT ABDUL HALIM Universitas Gajayana Malang Abstract - 081 ANGGARAN WAKTU AUDIT DAN KOMITMEN PROFESIONAL, kualitas aud

0 0 26

FUNGSI MEDIASI ELEMEN INSTITUSIONAL BUDAYA TERHADAP HUBUNGAN NILAI-NILAI BUDAYA DAN TINGKAT PENGUNGKAPAN NILAI-NILAI ISLAM PADA LAPORAN TAHUNAN BANK ISLAM: STUDI LINTAS NEGARA

0 6 27