URGENSI PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA NARKOTIKA YANG BERTENTANGAN DENGAN SYARAT PP NO. 99 TAHUN 2012

  

ABSTRAK

URGENSI PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA

NARKOTIKA YANG BERTENTANGAN DENGAN

SYARAT PP NO. 99 TAHUN 2012

  Oleh Hidayah Bekti Ningsih, Maroni, Dona Raisa Monica email:

  Penerapan Peraturan Pememerintah Nomor 99 Tahun 2012 belum berjalan secara maksimal, hal ini terlihat walaupun terhadap narapidana narkotika diperketat pemberian remisinya namun faktanya masih ada narapidana narkotika yang secara mudah mendapatkan remisi. Permasalahan yang dikaji oleh penulis adalah Apakah urgensi pemberian remisi terhadap narapidana narkotika yang bertentangan dengan syarat PP No. 99 tahun 2012 dan apakah pengetatan pemberian remisi terhadap narapidana penyalahgunaan narkotika berdasarkan PP No. 99 tahun 2012 sesuai dengan tujuan pembinaan terpidana. Penelitian ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu studi kepustakaan dan studi lapangan. Analisis data menggunakan analisis data kualitatif. Urgensi pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana narkotika yang bertentangan dengan PP No 99 Tahun 2012 masih ada beberapa narapidana yang mendapatkan remisi dengan mudah bagi narapidana yang mendapat hukuman di bawah 5 tahun, sedangkan bagi narapidana yang mendapatkan hukuman di atas 5 tahun sangat sulit untuk mendapatkan remisi. Hal itu di karenakan overload capacity di dalam lapas. Pengetatan pemberian remisi terhadap narapidana penyalahgunaan narkotika berdasarkan PP No. 99 tahun 2012 tidak sesuai dengan tujuan pembinaan terpidana. Berdasarkan UU No 12 tahun 1995 pasal 14 huruf i talah di atur bahwa setiap narapidana berhak mendapatkan remisi. Saran penulis yakni pemberian remisi bagi narapidana narkotika seharusnya dalam praktik dan Undang-Undang harus relevan, artinya narapidana narkotika yang terbukti sebagai pemakai harus direhabilitasi sedangkan pengedar dikenakan hukuman sesuai dengan Undang- Undang Narkotika. Pemberian remisi bagi narapidana narkotika sebaiknya lebih diperketat lagi dan jika perlu seharusnya dihilangkan saja.

  Kata Kunci: Urgensi, Remisi, Narapidana Narkotika

  

ABSTRACT

THE URGENCY OF GRANTING REMISSION AGAINST THE INMATES

OF NARCOTIC AS OPPOSED TO THE REQUIREMENTS OF

GOVERNMENT REGULATION NO. 99/2012

  By Hidayah Bekti Ningsih, Maroni, Dona Raisa Monica email:

  The implementation of Government Regulation No. 99/2012 has not been executed maximally, this can be seen although to convict narcotic tightened the provision of remissions but in fact there are still convicts a narcotic that easily get remission. The problems in this research are formulated as follows: what is the urgency of giving remission to inmates of narcotic as opposed to the requirements of Government Regulation No. 99/2012 ? and does the remission limitation against the inmates of narcotic as stipulated on the Government Regulation No. 99/2012 is in accordance with the purpose of inmates counseling? The research methods used in this research were normative and empirical approaches. The data sources consisted of primary data and secondary data. The data collection method in this research was done through library research and observation. The data were analyzed using qualitative data analysis. The urgency of granting remission for inmates of narcotic was contradictive to Government Regulation No. 99/2012 where several inmates who are sentenced under 5 years of imprisonment could imprisonment. It was on because right overload capacity in a correctional institution.Further, limiting the remission to inmates of narcotics as stipulated on Government Regulation No. 99/2012 did not match the purpose of inmates counseling. Because based on Law No. 12/1995 Article 14 letters, it has been stated that every inmate has a right to receive a remission. The author suggest that for distribute remission for convicts narcotic should in practice and laws have to relevant, it means convicts a narcotic that proven users have to renovated while dealers subjected to a penalty in accordance with narcotics law. The remission for inmates of narcotic should be limited and if necessary should be eliminated. Keywords: Urgency, Remission, Inmates of Narcotic

  Pidana penjara atau pemasyarakatan merupakan salah satu bagian dari hukuman yang dapat dijatuhkan kepada seorang terpidana yang telah divonis dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkraht). Fungsi pemidanaan pada saat ini tidak lagi sekedar penjeraan, tetapi pemidanaan dimaksudkan sebagai tempat atau sarana pembinaan, rehabilitasi dan reintegrasi warga binaan lembaga pemasyarakatan. Penjeraan dalam sistem pemidanaan memiliki unsur- unsur balas dendam di Lembaga Pemasyarakatan. Para warga binaan pemasyarakatan sering mengalami siksaan, untuk memperbaiki tingkah laku dan perbuatannya. Tindakan semena-mena atau kekerasan memang rentan sekali terjadi terhadap tersangka, terdakwa maupun narapidana.

  Manusia yang menjalani pidana penjara untuk tujuan penghukuman pernah mengalami masa-masa suram. Negara-negara Eropa barat juga kerap kali melakukan kekerasan terhadap narapidana nya, bahkan hingga abad ke -19, di Belanda masih berlaku tindakan memberi cap pada tubuh narapidana dengan besi panas yang membara. Kedua fungsi pemidanaan tersebut mengarahkan supaya narapidana tidak melakukan perbuatan pidana dan menyadarkan serta mengembalikan warga binaan pemasyarakatan tersebut ke dalam lingkungan masyarakat, menjadikan ia bertanggung jawab terhadap dirinya, keluarga dan masyarakat sekitar atau lingkungannya.

  1 Sebagaimana diketahui bahwa

I. PENDAHULUAN

  Sistem Pemasyarakatan yang berlaku dewasa ini, secara konseptual dan historis sangat berbeda dengan apa yang berlaku dalam Sistem Kepenjaraan. Asas yang dianut Sistem Pemasyarakatan menempatkan narapidana sebagai subyek yang dipandang sebagai pribadi dan warga negara biasa serta dihadapi bukan dengan latar belakang pembalasan tetapi dengan pembinaan dan bimbingan. Perbedaan dua sistem tersebut memberi implikasi perbedaan dalam cara-cara pembinaan dan bimbingan yang dilakukan, disebabkan perbedaan tujuan yang ingin dicapai. Pemberian remisi yang sedang hangat diperbincangkan adalah pemberian remisi terhadap narapidana tindak pidna narkotika. Tindak Pidana Narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam Undang-Undang Narkotika bahwa tindak pidana yang diatur di dalamnya adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu disangksikan lagi bahwa semua tindak pidana di dalam Undang- Undang tersebut merupakan kejahatan. Alasannya, kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang 1 Samosir Djisman, Fungsi Pidana Penjara

  Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia, Bandung: Bina Cipta: 1992, hlm. 4. ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah sangat membahayakan bagi jiwa manusia.

  terhadap narapidana tindak pidana narkotika adalah sebanyak 3.310 warga binaan dari 16 lapas/rutan se- Lampung memperoleh remisi hukuman Hari Kemerdekaan dari Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumhan) Lampung. Dalam remisi tersebut, diberikan langsung secara simbolis oleh Gubernur M. Ridho Ficardo di Lapas Wanita. Berdasar pada data yang dihimpun Lampung Post, narapidana yang terbanyak mendapatkan remisi terdapat pada Lapas Rajabasa, Bandar Lampung sebanyak 623 orang dan 1 orang di antaranya langsung merasakan udara bebas.

  Kepala Kantor Wilayah Kemenkum- ham Perwakilan Lampung, Dardiyansyah menjelaskan secara keseluruhan narapidana yang dan 75 orang di antaranya langsung dinyatakan bebas karena masa hukuman yang telah habis dari pemotongan masa hukuman itu. Pemberian remisi itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 tentang pemasyarakatan yang menyebutkan pemberian remisi kepada seluruh narapidana yang telah memenuhi persyaratan. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly juga mengungkapkan bahwa terjadinya over kapasitas dari Lembaga Pemasyarakatan yang ada di Indonesia juga merupakan salah satu 2 Supramono, 2001, Hukum Narkotika

  Indonesia,

  alasan diberikannya remisi kepada narapina narkotika, terlebih lagi narapidana narkotika merupakan penghuni Lembaga Pemasyarakatan yang paling banyak. Yasonna Laoly juga mengungkapkan bahwa pemberantasan narkoba bukan hanya dilakukan untuk menangkap orang yang melakukan tindak pidana narkoba, tetapi tindakan preventifnya juga harus dilakukan.

2 Salah satu contoh pemberian remisi

  3 Narapidana yang mendapatkan

  remisi adalah narapidana telah menjalani masa hukuman enam bulan dan memiliki catatan berkelakuan baik, tidak pernah melakukan keributan, tidak bermasalah, dan tidak melakukan peredaran narkoba di dalam lapas, seluruh warga binaan yang berhak dan memenuhi syarat pemberian remisi telah diberikan tidak terkecuali pada narapidana kasus narkotika dan korupsi. Narapidama korupsi dan narkotika juga mendapat remisi. Bahkan remisi yang diberikan diketahui sebagian besar penghuni narkoba.

  4 Peraturan Pemerintah Nomor 99

  Tahun 2012 menimbulkan berbagai macam persoalan diantaranya adalah pandangan Yusril Ihza Mahendra bahwa Peraturan Pemerintah Nomor

  99 Tahun 2012 mengingkari asas kesamaan hak dihadapan hukum (equality before the law) yang membedakan pemberian remisi bagi 3

  https://www.merdeka.com, Hery H Winarno, Peristiwa Karena Alasan Over Capacity Para Koruptor Dapat Remisi , di akses pada tanggal 18 November 2016, Pukul 19.41 WIB 4 Effran, gubernur beri remisi kepada 3310 warga binaan , diakses pada tanggal 27 Oktober 2016 pukul terpidana kejahatan biasa dengan terpidana pelaku kejahatan luar biasa (extraordinary crime ) terorisme, narkotika, psikotropika dan korupsi di Indonesia. Persoalan lainnya mengenai eksistensi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 lainnya muncul dari Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M. Mahfud MD. yang menegaskan, pembatasan remisi, pembebasan bersyarat, dan hak narapidana lain harus dilakukan dengan payung hukum Undang-Undang bukan dengan Peraturan Pemerintah (PP)

  5

  seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.

  Uraian di atas menurut penulis menunjukkan bahwa pengetatan remisi bagi kejahatan narkotika, psikotropika di Indonesia bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Binaan Pemasyarakatan pasal 34A dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan khususnya Pasal 5 yang mengatur tentang hak-hak yang sama para napi didalam pembinaannya baik perlakuan maupun pelayanan. Berdasarkan uraian diatas Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 memiliki problematik yang secara tidak langsung bertolak belakang dengan hak napi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1999 tentang Pemasyarakatan. 5

  www.kompas.com/Indra Akuntono, Deytri Robekka Aritonang, batasi remisi dengan Undang-Undang, diakses pada tanggal 4 Oktober 2016, pukul 12.25 WIB

  Namun dalam faktanya penerapan Peraturan Pememerintah Nomor 99 Tahun 2012 belum berjalan secara maksimal, faktanya masih ada tindak pidana tertentu yang secara mudah mendapatkan remisi, salah satunya adalah tindak pidana narkotika, oleh karena itu maka penulis membahas lebih mendalam dalam penelitian yang berjudul:

  ”Urgensi Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Narkotika Yang Bertentangan Dengan Syarat PP No. 99 Tahun 2012

  ” Berdasarkan uraian latar belakang dan memperhatikan pokok-pokok pikiran di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1.

  Apakah urgensi pemberian remisi terhadap narapidana narkotika yang bertentangan dengan syarat PP No. 99 tahun 2012? 2. Apakah kaitan pengetatan pemberian remisi terhadap narapidana penyalahgunaan 99 tahun 2012 dengan tujuan pembinaan terpidana?

  Metode penilitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu menggunakan penelitian kepustakaan dan penelitain lapangan. Analisi data menggunakan analisi data kualitatif. Tindak pidana narkotika merupakan suatu perbuatan yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman ataubukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagai- mana terlampir dalam Undang- Undang.

  pidana Narkotika, penulis juga mempertanyakan syarat dan tata cara pemberian remisi, muchamad mulyana mengemukakan bahwa:

  7

  bagi narapidana narkotika yang dipidana dengan pidana penjara lebih dari 5 (lima) tahun masa pidana yang putusannya tehitung sejak tahun 2013, selain harus memenuhi persyaratan yang terkandung dalam Pasal 34 di atas, narapidana juga harus memenuhi persyaratan yang terkandung dalam Pasal 34A ayat 1, 2 dan 3 PP No. 99 Tahun 2012.

  Tentang Narkotika, Pasal 1 ayat 1 7 Hasil wawancara dengan Muchamad Mulyana, Kabid Pembinaan, Bimpas Pengentasan Anak dan Infokom Kanwil Hukum dan Ham Lampung, 7 Februari

  Adapun prosedur usul remisi diajukan kepada Menteri Hukum dan Ham oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Kepala Rumah Tahanan Negara atau Kepala Cabang Rumah Tahanan Negara melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Ham. Keputusan Menteri Hukum dan Ham tentang remisi diberitahukan kepada Narapidana dan Anak Pidana pada hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus bagi mereka yang diberikan remisi pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia atau pada hari besar keagamaan yang dianut oleh Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan. Jika terdapat keraguan tentang hari besar keagamaan yang dianut oleh Narapidana atau Anak Pidana, Menteri Hukum dan Perundang-undangan mengkonsul- tasikannya dengan Menteri Agama.

II. PEMBAHASAN A. Urgensi Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Narkotika Yang Bertentangan Dengan Syarat PP No. 99 Tahun 2012

6 Dalam kaitannya dengan tindak

  Pemberian remisi merupakan salah satu bentuk pergeseran paradigma merupakan salah satu bentuk pengejawantahan bagaimana agar tahanan dapat berbaur dengan masyarakat, orientasi utamanya bukan lagi pada efek jera. Hal ini yang mendasari berubahnya kata penjara menjadi lembaga pemasyarakatan. Hal ini telah di re

  tool dan diperbaharui menjadi

  pemasyarakatan selaras dengan perubahan filosofinya yaitu pembinaan.

  8 Pemberian remisi menjadikan

6 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

  narapidana berusaha tetap menjaga perlakuannya yang baik agar kembali 8 Hasil wawancara dengan Sanusi Husin,

  akademisi Fakultas Hukum Bagian pidana Universitas Lampung, 7 Maret 2017. memperoleh remisi selama dalam lembaga pemasyarakatan. Dengan di terbitkannya Surat Edaran Mentri No. PAS-HM.01-02-42 Tahun 2011 yang mengetatkan pemberian remisi terhadap narapidana Narkotika, hal tersebut substansinya bertentangan dengan Pasal 14 ayat 1 huruf i Undang-Undang No. 12 Tahun 1995. Permasalahan ini menjadi polemik hukum di dalam pelaksanaannya. Fungsi remisi bagi narapidana itu sendiri adalah membantu narapidana untuk termotifasi berbuat baik dan mendapatkan hak-hak yang telah di janjikan oleh pemerintah yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan rasa keadilan.

  hukum untuk pemberian remisi adalah Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Pemberian remisi terhadap narapidana narkotika saat ini sudah semakin ketat sejak diberlakukannya aturan baru yaitu PP No. 99 Tahun 2012 perubahan atas PP No. 28 Tahun 2006, dalam aturan baru ini yang dipidana dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun harus memenuhi syarat yang terdapat dalam Pasal 34 PP No 99 Tahun 2012 dan bagi narapidana yang dipidana penjara paling singkat 5(lima) tahun harus memenuhi syarat tambahan untuk mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi) sesuai yang terkandung dalam Pasal

  34A, PP No 99 Tahun 2012, persyaratan yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah tersebut berlaku sejak 12 November Tahun 2012. Salah satu ketentuan dalam persyarata tersebut yaitu bersedia 9 Hasil Wawancara dengan Sismuslim,

  Ka.Sub. Registrasi Lapas Narkotika Klas II

  bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukakannya, selanjutnya dijelaskan pula pada ayat (3) yaitu harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai ketentuan peraturan Perundang-Undangan. Sistem peradilan pidana erat hubungannya dengan istilah sistem penyelenggaraan peradilan pidana atau

  ‘‘system of administration of a criminal justisce’’. Penyelengaraan

  menunjukan pada adanya kegiatan- kegiatan atau aktivitas-aktivitas lembaga-lembaga tertentu untuk menjalankan atau menggerakkan apa yang menjadi tugas dan kewajiban (fungsi) lembaga tersebut. Berkaitan dengan istilah penyelenggaran ditas terdapat tiga (3) unsur elemen dimana satu dan lainnya sangat berkaitan yaitu: 1.

9 Dasar

  Siapa/ apa (lembaga/ instansi) yang melakukan penyelenggaran peradilan pidana

  Apa kewenangan (kompetensi/ bidang) kegiatan lembaga penyelenggaraan.

  3. Bagaimana prosedur (tata cara) lembaga dalam melaksanakan wewenangnya. Ketiga unsur tersebut berkaitan satu sama lain, apa yang dijadikan oleh suatu lembaga adalah merupakan wewenang yang telah di tetapkan oleh ketentuan sebelumnya, dan bagaimana menjalankan wewenang tersebut menggambarkan suatu urutan yang teratur dan terpadu dalam mencapai tujuan dari penyelenggaraan peradilan pidana.

  10 10 Kadri Husin, Sistem Peradilan Pidana.

  Bandar Lampung: Universitas Lampung. 2012.hlm.9 Jadi sistem peradilan pidana memurut menteri kehakiman dan kemudian pernah menjadi Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah tidak lain bekerjannya lembaga-lembaga yang terlibat dalam peradilan pidana secara terpadu walaupun dalam kebinekaan fungsi dari masing- masing unsur sistem (lembaga tersebut) dalam penghayatan yang sama tentang tujuan sistem pidana.

  Dalam pelaksanaan remisi salah satu hal yang perlu ditekankan adalah narapidana yang dikategorikan berkelakuan baik. Berkelakuan baik yang merupakan salah satu syarat dalam pemberian remisi tentu harus memenuhi beberapa indikator. Berkelakuan baik adalah suatu hal yang diukur secara kualitatif dan harus dikonkretkan, apa saja yang menjadi indikator sehingga tahanan bisa dikategorikan berkelakuan baik. Dalam beberapa kasus misalnya ada tahanan yang dikategorikan berkelakuan baik karena selama di melakukan pelanggaran. Sementara berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Sismuslim menyatakan bahwa: Tolok ukur bahwa seseorang narapidana telah berkelakuan baik adalah tidak memiliki atau mempergunakan alat komunikasi yang tidak diizinkan oleh petugas Lapas, senjata tajam, senjata api, narkotika, minuman keras. Tidak ada percobaan untuk melarikan diri, tidak melakukan provokasi yang mengakibatkan perkelahian, tidak melakukan pengrusakan.

  Dengan diberikannya hak pengurangan masa pidana kepada narapidana tindak pidana narkotika, dengan dasar yang bersangkutan telah berkelakuan baik, penulis menganggap itu sebagai faktor yang melemahkan upaya penegakan hukum di Indonesia, terkhusus dalam pemberantasan Tindak Pidana Narkotika. Dasar kelakuan baik, itu tidak bisa diterapakan khusus bagi narapidana tindak pidana narkotika, hal ini dikarenakan hampir semua narapidana tindak pidana narkotika akan senantiasa berkelakuan baik dalam masa pidana. Berbeda halnya dengannarapidana tindak pidana pembunuhan, atau pemukulan misalnya. Dalam hal narapidana ini, dasar berkelakuan baik dapat dijadikan sebagai indikator untuk memberikan remisi.

  Bahwa urgensi dalam proses pembinaan terhadap napi di Lembaga Pemasyarakatan remisi sebagai sarana untuk melakukan pembinaan sebagai stimulan atau bonus agar narapidana mengikuti tata tertib Lembaga Pemasyarakatan. narkotika pada ketentuannya tidak mendapatkan remisi. Maka timbul kecemburuan antar narapidana dan akhirnya narapidana tidak mau mengikuti proses pembinaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan. Maka dari itu dalam praktiknya hanya narapidana yang hukumannya dibawah 5 tahun yang mendapatkan remisi secara mudah. Berdasarkan uraian di atas penulis menganalisis bahwa urgensi pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana narkotika yang bertentangan dengan PP No 99 Tahun 2012 masih ada beberapa narapidana yang mendapatkan remisi dengan mudah bagi narapidana yang mendapat hukuman di bawah 5 tahun, sedangkan bagi narapidana yang mendapatkan hukuman di atas 5 tahun sangat sulit untuk mendapatkan remisi.

  Pada Lapas Narkotika Klas II A Bandar Lampung penulis mendapat- kan sempel data 58 orang narapaidan mendapat remisi khusus. Namun ada narapidana yang tidak mendapatkan remisi, hal itu di karenakan sudah cukup efektifnya aturan baru yaitu PP No.99 Tahun 2012 tentang perubahan atas PP No 28 Tahun 2006. Hal ini dikarenakan, pemberian remisi sejak diberlaku- kannya Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012, para terpidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun tidak akan mudah mendapatkan remisi karena adanya tambahan persyaratan yang tertuang dalam syarat dan tata cara pelaksanaa hak warga binaan pemasyarakatan tentang pengetatan narapidana yang memperoleh remisi. Di samping efektif, ada juga yang menjadi kelemahan dari aturan antara pemberian remisi bagi narapidana umum dengan narapidana tertentu seperti tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya merupakan kejahatan luar biasa karena mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara atau masyarakat atau korban yang banyak atau menimbulkan kepanikan, kecemasan, atau ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat. Hal ini menimbulkan kontroversi dan pertanyaan mengapa ada perbedaan dalam pemberian remisi terhadap narapidana umum dan narapidana tertentu bukankah hal tersebut akan melanggar hak-hak narapidana dan bertentangan dengan asas hukum yaitu semua orang diperlakukan sama didepan hukum dan asas kepastian hukum.

  Narapidana sebagai warga binaan lembaga pemasyarakatan, sewaktu menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan kurang diperhatikan hak asasi sebagai manusia. Perlu dipahami bahwa dengan pidana yang dijalani narapidana itu bukan berarti hak-haknya dicabut. Di lembaga pemasyarakatan seseorang narapidana mempunyai hak-hak sesuai dengan yang telah di atur di

  Pasal 14. Dengan adanya PP No 99 Tahun 2012 yang memberikan persyaratan tambahan berupa surat keterangan kesedian bekerjasama dengan instansi penegak hukum dan permintaan rekomendasi terhadap instansi terkait dalam pemberian hak remisi dan pembebesan bersyarat bagi warga binaan pemasyarakatan adanya campur tangan dari instansi penegak hukum lainnya dalam proses pembinaan warga binaan pemasyarakatan.

  B. Kaitan Pengetatan Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Penyalahgunaan Narkotika Berdasarkan PP No. 99 Tahun 2012 dengan Tujuan Pemidanaan

  Berdasarkan hasil penelitian penulis bahwa terdapat kendala dalam pemberian remisi terhadap narapidana yang melakukan tindak pidana khusus, yakni karena PP Nomor 99 tahun 2012 masih tergolong baru, maka perlu penyesuaian terhadap narapidana, selanjutnya banyaknya jumlah narapidana di Lapas Narkotika Klas

  II A Bandar Lampung, tidak hanya narapidana pelaku tindak pidana khusus saja yang mendapatkan remisi, semua narapidana berhak mendapatkan remisi sehingga memerlukan waktu dalam sidang TPP, adanya narapidana yang mendapat hukuman disiplin sehingga tidak bisa mendapat remisi. Terkait dengan masalah dampak pemberlakuan PP No. 99 Tahun 2012 ini hasil wawancara penulis dengan Sismuslim, bahwa dampak pemberlakuan PP No. 99 Tahun 2012 terhadap narapidana akan lebih lama menjalani masa hukuman Karena tanpa remisi. Sementara mengenai pengetatan pemberian remisi apakah sudah ketat, kalau untuk semangat pemberantasan tindak pidana narkotika sudah tepat akan tetapi di sisi lain harus sesuai dengan kaidah hukum yang benar, karena tidak boleh PP No. 99 Tahun 2012 bertentangan dengan UU No. hukum Lex superiori derogat lex

  inferiori bahwa secara hierarkis

  suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi.

  lingkungan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) terdapat faktor-faktor yang perlu mendapat perhatian karena dapat berfungsi sebagai faktor pendukung dan dapat pula menjadi faktor penghambat.

  Ka.Sub. Registrasi Lapas Narkotika Klas II

  Berdasarkan uraian di atas penulis menganalisis Pengetatan pemberian remisi terhadap narapidana penyalahgunaan narkotika berdasarkan PP No. 99 tahun 2012 tidak sesuai dengan tujuan pembinaan terpidana. Karena berdasarkan UU No 12 tahun 1995 Pasal 14 huruf i talah di atur bahwa setiap naraidan berhak mendapatkan remisi. Namun dilihat dari dampak pengetatan berdasarkan PP No. 99 tahun 2012 ada dampak positif yaitu pasca penerapan PP No. 99 tahun 2012 dalam penerapannya dari para terpidana bisa berbuat baik, bermasyarakat atau termotivasi untuk mengikuti program-program pembinaan dari Petugas Lapas Narkotika Klas

  II A Bandar Lampung. Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.

  Hal ini bisa dibuktikan dengan surat yang ditetapkan oleh penegak hukum terkait bahwa narapidana yang bersangkutan adalah saksi pelaku mendasari pemberian remisi bagi para pelaku tindak pidana khusus.

  III. PENUTUP A. Simpulan

11 Pada pelaksanaannya pembinaan di

  Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dan diuraikan oleh penulis, maka dapat disimpulkan yaitu:

  1. Urgensi pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana narkotika yang bertentangan dengan PP No 99 Tahun 2012 masih ada beberapa narapidana yang mendapatkan remisi dengan mudah bagi narapidana yang mendapat hukuman di bawah 5 tahun, sedangkan bagi narapidana

11 Hasil Wawancara dengan Sismuslim,

  yang mendapatkan hukuman di atas 5 tahun sangat sulit untuk mendapatkan remisi. Pada Lapas Narkotika Klas II A Bandar Lampung penulis mendapatkan sempel data 58 orang narapidana mendapat remisi khusus. Namun ada narapidana yang tidak mendapatkan remisi, hal itu di karenakan sudah cukup efektifnya aturan baru yaitu PP No.99 Tahun 2012 tentang perubahan atas PP No 28 Tahun 2006. Hal ini dikarenakan, pemberian remisi sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012, para terpidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun tidak akan mudah mendapatkan remisi karena adanya tambahan persyaratan yang tertuang dalam syarat dan tata cara pelaksanaa hak warga binaan pemasyarakatan tentang pengetatan narapidana yang memperoleh remisi. Di samping efektif, ada juga yang menjadi kelemahan dari aturan pembedaan antara pemberian remisi bagi narapidana umum dengan narapidana tertentu seperti tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, dan kejahatan hak asasi manusi yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya merupakan kejahatan luar biasa karena mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara atau masyarakat atau korban yang banyak atau menimbulkan kepanikan, kecemasan, atau ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat. Hal ini menimbulkan kontroversi dan pertanyaan mengapa ada perbedaan dalam pemberian remisi terhadap narapidana umum dan narapidana tertentu bukankah hal tersebut akan melanggar hak-hak narapidana dan bertentangan dengan asas hukum yaitu semua orang diperlakukan sama didepan hukum dan asas kepastian hukum.

  2. Pengetatan pemberian remisi terhadap narapidana penyalahgunaan narkotika berdasarkan PP No. 99 tahun 2012 tidak sesuai dengan tujuan pembinaan terpidana. Karena berdasarkan UU No 12 tahun 1995 pasal 14 huruf i talah di atur bahwa setiap naraidan berhak mendapatkan remisi. Namun dilihat dari dampak pengetatan berdasarkan PP No. 99 tahun 2012 ada dampak positif yaitu pasca penerapan PP No. 99 tahun 2012 dalam penerapannya dari para terpidana bisa berbuat baik, bermasyarakat atau termotivasi untuk mengikuti program- Lapas Narkotika Klas II A Bandar Lampung. Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya. Hal ini bisa dibuktikan dengan surat yang ditetapkan oleh penegak hukum terkait bahwa narapidana yang bersangkutan adalah saksi pelaku yang bekerja sama. Dampak dari pemberian Remisi adalah mengurangi dampak negatif atas perampasan kemerdekaan narapidana yang berkelakuan baik selama masa hukuman dan dapat memberikan kepercayaan diri untuk menjadi lebih baik.

B. SARAN

  Berdasarkan kesimpulan di atas maka dalam hal ini penulis dapat memberikan saran:

  Supramono. 2001. Hukum Narkotika Indonesia, Jakarta: Djambatan. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Pasal

  pada tanggal 27 Oktober 2016 pukul 23.32 WIB No Hp: 08996401070

  gubernur beri remisi kepada 3310 warga binaan , diakses

  4 Oktober 2016, pukul 12.25 WIB Effran,

  batasi remisi dengan Undang- Undang, diakses pada tanggal

  18 November 2016, Pukul 19.41 WIB www.kompas.com/Indra Akuntono, Deytri Robekka Aritonang,

  akses pada tanggal

  Koruptor Dapat Remisi , di

  1 ayat 1 https://www.merdeka.com, Hery H Winarno, Peristiwa Karena

  , Bandung: Gramedia

  1. Pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana narkotika sebaiknya lebih diperketat lagi dan jika perlu seharusnya dihilangkan saja, hal ini diharapkan penjatuhan pidana bagi pelaku tindak pidana narkotika tidak hanya mencakup pembalasan terhadap pelaku saja, melainkan juga harus memberikan dampak rasa takut kepada masyarakat umum khususnya generasi muda bangsa. Sehingga perkara tindak pidana narkotika di negara ini dapat berkurang.

  Penetapan Pidana Penjara Dalam Perundang- undangan dalam Rangka Usaha Penaggulangan Kejahatan

  Muladi, 1992, Lembaga Pidana Bersyarat . Bandung: Alumni. Nawawi, Barda Arif, 1986,

  Undang Hukum Pidana (KUHP) , Jakarta: Bumi Aksara

  Bandung: Bina Cipta: Moeljatno, 2009, Kitab Undang-

  Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia,

  Bandung: Bina Cipta Djisman, Samosir. 1992. Fungsi

  Raja Grafindo Persada Atmasasmita, Romli, 1979, Sistem Pemasyarakatan Di Indonesia .

  Penelitian Hukum , Jakarta:

  Amirudin, 2004, Pengantar Metode

  2. Dalam hal menjatuhkan sanksi pidana maupun dalam hal memberikan hak bagi narapidana, aparat semestinya lebih memberikan perlakuan yang berbeda berdasarkan jenis tindak pidana yang diperbuatnya. Sehingga pemberian hak seperti halnya pemberian remisi bagi berdampak positif bukan hanya bagi narapidana itu sendiri melainkan terhadap berkurangnya tindak pidana narkotika dan tindak pidana tertentu lainnya.

Dokumen yang terkait

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU USAHA KOSMETIK YANG MENGANDUNG BAHAN BERBAHAYA DI PROVINSI LAMPUNG

0 3 13

ANALISIS PUTUSANPERKARA NO. 35/PID.SUS/2015/PN.KBU TENTANG TINDAK PIDANA PERUSAKAN SUMBER DAYA AIR PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI NO. 85/PUU-XI/2013 TENTANG PENGUJIAN UU NO. 7 TH 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR

0 0 12

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP NARAPIDANA YANG MELAKUKAN PENGANIAYAAN DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Bandarlampung)

0 0 16

ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP PUTUSAN BEBAS PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN KORBAN ANAK (Studi Putusan No: 51/Pid.Sus/2016/PN.Kbu)

1 5 12

UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENCURIAN DENGAN CARA PEMBOBOLAN ANJUNGAN TUNAI MANDIRI (ATM) DI BANK BRI LAMPUNG UTARA (Studi Kasus di Polres Lampung Utara)

0 0 15

ANALISIS KRIMINOLOGIS TERJADINYA RECIDIVE PADA PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

0 0 12

TINJAUAN KRIMINOLOGIS KEJAHATAN KEKERASAN DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN NARAPIDANA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung)

0 1 14

ANALISIS KRIMINOLOGIS TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DILAKUKAN SUAMI TERHADAP ISTRI (Studi di Polresta Bandar Lampung)

0 0 11

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) (Studi Kasus Putusan Nomor : 50/Pid./2015/PT.TJK)

0 0 11

UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENIPUAN MELALUI TELEPON GENGGAM YANG DILAKUKAN OLEH NARAPIDANA DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung)

0 0 19