UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENIPUAN MELALUI TELEPON GENGGAM YANG DILAKUKAN OLEH NARAPIDANA DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung)

UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENIPUAN MELALUI
TELEPON GENGGAM YANG DILAKUKAN OLEH NARAPIDANA
DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN
(Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung)

JURNAL

Oleh
Ihsan Naufal

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017

ABSTRAK
UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENIPUAN MELALUI
TELEPON GENGGAM YANG DILAKUKAN OLEH NARAPIDANA
DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN
(Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung)
Oleh :

Ihsan Naufal, Tri Andrisman, Eko Raharjo
Email : ihsannaufal147@gmail.com
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah tempat dimana narapidana menjalani
pembinaan atas tindak pidana yang telah dilakukan, Lapas merupakan tempat
isolasi bagi para pelaku kriminal dengan sistem birokrasi yang tertutup dan tidak
bisa secara bebas berkomunikasi dengan orang luar, serta dirampas kebebasannya
karena memang demikian pembinaan yang diterapkan dengan tujuan untuk
memberikan unsur jera dan memperbaiki kelakuan agar menjadi baik, namun
dalam prakteknya tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Sering terjadi
penyimpangan-penyimpangan dalam implementasi pembinaan di dalam Lapas,
sehingga tujuan yang diharapkan tidaklah tercapai. Penyimpangan yang dimaksud
adalah narapidana yang berada di dalam Lapas yang seharusnya telah dirampas
kemerdekaannya, namun narapidana tersebut dapat berkomunikasi dengan orang
di luar Lapas secara bebas dan bahkan bisa mengendalikan kejahatan dari dalam
Lapas, antara lain adalah penipuan. Kejahatan penipuan yang dilakukan
narapidana di dalam Lapas beredar dengan modus operandi dan media yang
bervariasi contohnya adalah penipuan melalui telepon genggam. Permasalahan
yang diteliti penulis adalah apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
kejahatan penipuan melalui telepon genggam yang dilakukan oleh narapidana di
dalam Lembaga Pemasyarakatan dan bagaimanakah upaya penanggulangan

terhadap penipuan yang dilakukan oleh narapidana di dalam Lembaga
Pemasyarakatan.
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer yang
diperoleh dengan cara wawancara serta data sekunder yang diperoleh melalui
studi kepustakaan. Sedangkan pengolahan data yang diperoleh dengan cara
identifikasi, klasifikasi, dan penyusunan data serta penarikan kesimpulan.
Data hasil pengolahan tersebut dianalisis secara kualitatif dimana data tersebut
dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian-uraian kalimat sehingga
memudahkan interpretasi dan pemahaman hasil analisis guna menjawab
permasalahan yang ada.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan penipuan melalui telepon
genggam yang dilakukan oleh narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan
adalah faktor ekonomi, faktor lingkungan dan peniruan, dan faktor kesempatan.

Sedangkan upaya penanggulangan terhadap penipuan yang dilakukan oleh
narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan, Lapas lebih menekankan ke
tindakan preventif sehingga tindakan represif dapat diminimalisir. Upaya
preventif meliputi penyuluhan hukum kepada narapidana, melakukan peningkatan

kualitas dan kuantitas kegiatan, dan melakukan razia rutin. Sedangkan upaya
represif dilakukan dengan sanksi hukuman disiplin.
Adapun saran yang diajukan penulis yaitu, dalam hal ini keluarga dan kerabat
narapidana berperan penting dalam keberhasilan pembinaan narapidana di dalam
Lapas, karena keluarga dan kerabat narapidanalah yang memiliki kedekatan
emosional dengan narapidana sehingga diharapkan dapat mengarahkan narapidana
untuk melakukan kegiatan positif di dalam Lapas. Selain itu perlu dilakukan
penambahan waktu dalam melakukan razia rutin di dalam Lembaga
Pemasyarakatan.

Kata Kunci : Penipuan, Telepon Genggam, Narapidana

ABSTRACT
FRAUD CRIME PREVENTION EFFORTS THROUGH
MOBILE PHONE BY THE PRISONERS
IN THE CORRECTIONAL INSTITUTIONS
(Case Study at the Correctional Institution Class IA Bandar Lampung)
By
Ihsan Naufal, Tri Andrisman, Eko Raharjo
Email : ihsannaufal147@gmail.com

Penitentiary (Prison) is a place where inmates undergoing training for a criminal
offense has been done, prison is a place of isolation for criminals with a
bureaucratic system that is closed and can not freely communicate with the
outside world, as well as deprived of their liberty because it is so coaching applied
with the aim of providing a deterrent and correcting elements in order to be good,
but in practice it does not achieve the desired objectives. Often deviations in the
implementation of coaching in prison, so that the desired objectives are not
achieved. Irregularities in question is inmates who are in prison who should have
been deprived of their liberty, but the inmates can communicate with people
outside the prison freely and can even control crime from within prisons, among
others, is a fraud. Fraud committed crimes within the prison inmates circulated
with the modus operandi and varied media such example is fraud via mobile
phone. The problem is whether the authors studied the factors that led to the crime
of fraud via mobile phone made by inmates at the Correctional Institution and
how the response to the fraud committed by the inmates at the Penitentiary.
Approach the problem in this research using normative juridical approach and
empirical jurisdiction. The data used are primary data obtained through interviews
and secondary data obtained through library research. While processing the data
obtained by means of identification, classification, and preparation of the data and
drawing conclusions.

Data processing results are analyzed qualitatively where the data is described in
terms of explanations and descriptions of the sentence so as to facilitate the
interpretation and understanding of the results of the analysis in order to address
existing problems.
Based on the results of research and discussion it can be concluded that the factors
that led to the crime of fraud via mobile phone made by inmates at the
Correctional Institution are economic factors, environmental factors and
impersonation, and the factor of chance. While prevention efforts against fraud
committed by inmates at the Penitentiary, prisons more emphasis to preventive
measures so that repressive measures can be minimized. Preventive efforts include
legal counseling to inmates, to improve the quality and quantity of activities and
conduct regular raids. While the repressive efforts made under penalty of
discipline.

The suggestions made by the author that, in this case the family and relatives of
prisoners play an important role in fostering the success of inmates in prisons, as
families and relatives narapidanalah who have emotional intimacy with inmates
that are expected to drive inmates to do positive activities within the prison. In
addition it is necessary to increase the time in conducting regular raids in the
Penitentiary.


Keywords: Fraud, Mobile, Inmates

I. PENDAHULUAN
Narapidana merupakan seseorang
yang dipidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dan menjalani
pidana hilang kemerdekaan di
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Kehidupan
seorang
narapidana
berbeda
dengan
kehidupan
masyarakat pada umumnya, ketika
seseorang berada di Lapas hak haknya dibatasi oleh peraturan dan
norma yang berlaku di Lapas
tersebut. Hal ini dikarenakan

kebebasan yang dimiliki seorang
narapidana telah hilang saat hakim
sudah menjatuhkan hukuman dan
menghilangkan kemerdekaan orang
tersebut. Pemenuhan kebutuhan
setiap para Narapidana sudah diatur
melalui aturan- aturan yang ketat.
Semua
orang
yang
berstatus
narapidana pada dasarnya memiliki
hak yang sama dikarenakan mereka
adalah sama-sama yang didakwa
atau dijadikan tersangka karena
melakukan pelanggaran hukum.
Sistem pemidanaan dari tahun
ketahun
selalu
mengalami

perubahan, sebelum adanya Sistem
Pemasyarakatan
narapidana
dimasukan ke dalam penjara sebagai
sarana balas dendam dari masyarakat
dan negara, akan tetapi Sistem
Pemasyarakatan tidak dijumpai lagi
dan Lapas menjadi sarana pembinaan
bagi narapidana, namun dalam
kenyataannya tidak jarang Lapas
menjadi tempat untuk narapidana
melakukan kejahatan baru, antara
lain adalah penipuan.
Indonesia sebagai negara hukum
berfungsi sebagai sarana untuk
mencapai cita-cita bangsa Indonesia,
dalam usahanya mencapai hal

tersebut negara menjumpai banyak
rintangan yang ditimbulkan, antara

lain adanya pelanggaran hukum atau
pelaku kejahatan. Kejahatan itu akan
ada dan muncul di tengah-tengah
masyarakat,
walaupun
cara
pencegahannya selalu dilaksanakan,
bahkan negara telah mempunyai
lembaga-lembaga
yang
diperuntukkan
khusus
untuk
menangani kejahatan tersebut salah
satunya
adalah
Lembaga
Pemasyarakatan,
yaitu
tempat

dimana
narapidana
menjalani
pembinaan atas tindak pidana yang
telah dilakukan, namun seiring
berkembangnya zaman, kejahatan
tetap saja muncul dengan gaya baru
dan modus operandi yang baru.
Sebagai contoh, salah satu kasus di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA
Rajabasa, Bandar Lampung, pada
tahun 2015 lalu Kepolisian Daerah
Lampung
mengungkap
kasus
penipuan lewat telepon seluler yang
dikendalikan narapidana bernama
Mulyadi dari balik penjara. Penipuan
yang dilakukan bersama seorang
rekannya di luar penjara itu,

merugikan korban hingga miliaran
rupiah. Mendekam di dalam penjara
dengan
segala
keterbatasan,
tampaknya tak pernah membatasi
kreativitas Mulyadi untuk melakukan
penipuan.
Narapidana
kasus
perkosaan ini berhasil menipu para
korbannya hingga miliaran rupiah.
Dengan bermodalkan telepon seluler,
beberapa kartu sim dari berbagai
operator, 20 buah kartu Anjungan
Tunai Mandiri (ATM) dan komputer
tablet,
Mulyadi
berhasil
mengumpulkan uang senilai Rp1,063
miliar. Dalam satu hari, Mulyadi
pernah berhasil mengumpulkan uang
haram senilai Rp80 juta. Sepak
terjang Mulyadi mulai terungkap

akhir Januari lalu. Diawali dengan
ditangkapnya Windarto seorang sopir
taksi rekan Mulyadi di luar penjara,
oleh anggota Reserse dan Kriminal
(Reskrim)
Kepolisian
Daerah
Lampung. Windarto, tertangkap
petugas saat melakukan penarikan
uang tunai hasil penipuan di sebuah
ATM yang terdapat di Rumah Sakit
Immanuel Bandar Lampung. Warga
Bandar Lampung ini bertugas
sebagai eksekutor yang menarik
uang dari ATM. Atas informasi
tersebut, sehari kemudian petugas
dari Reskrim Polda Lampung
meringkus Mulyadi di dalam selnya.
Selain itu, dari sel Mulyadi polisi
berhasil menyita barang bukti berupa
uang Rp2,5 juta, 2 unit telepon
seluler, 6 chip kartu identitas ponsel,
komputer tablet, dan 20 kartu
ATM.”1
Melihat dari kejadian tersebut, Lapas
yang seharusnya merupakan tempat
isolasi bagi para pelaku kriminal
dengan sistem birokrasi yang
tertutup dan tidak bisa secara bebas
berkomunikasi dengan orang luar,
serta dirampas kebebasannya karena
memang demikian pembinaan yang
diterapkan dengan tujuan untuk
memberikan
unsur
jera
dan
memperbaiki kelakuan agar menjadi
baik, namun dalam prakteknya tidak
mencapai tujuan yang diharapkan.
Sering
terjadi
penyimpanganpenyimpangan dalam implementasi
pembinaan di dalam Lapas, sehingga
tujuan yang diharapkan tidaklah
tercapai.
Penipuan merupakan salah satu
kejahatan yang mempunyai obyek
1

http://www.jejakkasus.com/berita/di-baliklapas-lampung-muliadi-napi-di-tangkappolisi-gunakan-facebook-sebagai-m-aliyusuf/

harta benda. Di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) tindak pidana ini di atur
dalam bab XXV BUKU II dan
terbentang dari Pasal 378 s/d 395.
Dalam Pasal 378 yang berbunyi:
“Barangsiapa dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum,
dengan memakai nama palsu atau
martabat palsu, dengan tipu muslihat,
ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan
barang
sesuatu
kepadanya, atau supaya memberikan
hutang maupun menghapus piutang,
diancam karena penipuan dengan
pidana penjara paling lama empat
tahun.”2
Pasal 378 terkandung unsur-unsur
penipuan, dalam ketentuan Pasal
378, penipuan terdiri dari unsurunsur obyektif yang meliputi
perbuatan (menggerakkan), yang
digerakkan (orang), perbuatan itu
ditujukan
pada
orang
lain
(menyerahkan
benda,
memberi
hutang, dan menghapuskan piutang),
dan cara menggerakkan dengan
memakai nama palsu, memakai
martabat palsu, memakai tipu
muslihat, dan memakai serangkaian
kebohongan. Selanjutnya adalah
unsur-unsur subyektif yang meliputi
meksud untuk menguntungkan diri
seniri dan orang lain dan maksud
melawan hukum.
Lapas
merupakan
salah
satu
penyelenggara peradilan pidana
yang bekerja untuk mencapai tujuan
peradilan
pidana
berdasarkan
wewenangnya. Peradilan Pidana
adalah suatu proses yang bekerja
2

Lihat Pasal 378 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)

dalam
suatu
jaringan
yang
melibatkan lembaga penegak hukum.
Pencapaian
tujuan
pemidanaan
berupa perbaikan terpidana sehingga
ia
tidak
lagi
mengulangi
3
perbuatannya lagi. Pasal 2 UndangUndang Nomor 12 Tahun 1995
Tentang
Pemasyarakatan
menyatakan
bahwa
sistem
pemasyarakatan ini diselenggarakan
dalam rangka narapidana menyadari
kesalahan, memperbaiki diri, dan
tidak mengulangi lagi tindak pidana
yang pernah dilakukan. Hal tersebut
adalah untuk menyiapkan narapidana
agar dapat berintegrasi secara sehat
dengan masyarakat. Oleh sebab itu,
untuk
melaksanakan
sistem
pemasyarakatan
dibutuhkan
keikutsertaan
masyarakat
baik
dengan mengadakan kerja sama
dalam pembinaan maupun dengan
sikap bersedia menerima kembali
narapidana yang telah selesai
menjalani pidananya.4
Tujuan pembinaan di dalam Lapas,
yaitu agar seorang Narapidana yang
dimasukan ke dalam Lapas dapat
dididik dan dibina supaya menjadi
baik, namun dalam kenyataannya,
seorang narapidana yang dimasukan
ke dalam Lapas lebih profesional
dalam melakukan tindakan kriminal
dibanding
dengan
perilakunya
sebelum dimasukan ke dalam Lapas.
Hal ini telah membuktikan adanya
penyimpangan dalam implementasi
pembinaan di dalam Lapas, sehingga
tujuan
pembinaan
dalam
3

Kadri Husin dan Budi Rizki..Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia. Lembaga
Penelitian Universitas Lampung. Bandar
Lampung, 2012, hlm. 67.
4
Adi Sujatno, “Sistem Pemasyarakatan
Indonesia Membangun Manusia Mandiri”,
Jakarta : Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Departemen Hukum dan
Ham RI, 2004, hlm.22-23.

implementasinya
tidak
tercapai
seratus persen. Lapas seharusnya
menjadi tempat pembinaan dan
penyadaran bagi para pelaku tindak
pidana sehingga nantinya tidak akan
kembali melakukan tindak pidana
lainnya dan kembali diterima di
masyarakat begitu keluar dari Lapas,
tapi kenyataannya tidak sedikit para
Narapidana yang masuk Lapas
mendapatkan ilmu kejahatan yang
baru, salah satunya adalah menjadi
penipu melalui teknologi telepon
genggam dengan bermodus dunia
maya yang berdampak pada kerugian
yang dialami korban yang berada
diluar Lapas.
Bertolak dari uraian di atas, penulis
tertarik mengangkat permasalahan
tersebut dan membahasnya dengan
mengambil judul Skripsi mengenai
“Upaya Penanggulangan Kejahatan
Penipuan melalui Telepon Genggam
yang Dilakukan oleh Narapidana di
dalam Lembaga Pemasyarakatan”.
Berdasarkan uraian latar belakang
diatas maka permasalahan yang akan
dibahas dalam penulisan ini adalah:
a. Apakah
faktor-faktor
yang
menyebabkan
terjadinya
kejahatan
penipuan
melalui
telepon genggam yang dilakukan
oleh narapidana di dalam
Lembaga Pemasyarakatan ?
b. Bagaimanakah
upaya
penanggulangan
terhadap
penipuan yang dilakukan oleh
narapidana di dalam Lembaga
Pemasyarakatan ?
Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan secara
yuridis normatif dan yuridis empiris.
Data yang digunakan berupa data
primer
dan
data
sekunder.
Pengumpulan data dilakukan dengan
studi
kepustakaan
dan
studi

lapangan. Analisis data yang
digunakan yaitu analisis kualitatif
dan penarikan kesimpulan dilakukan
dengan metode induktif.
II. PEMBAHASAN
A. Faktor-Faktor
yang
Menyebabkan
Terjadinya
Kejahatan Penipuan Melalui
Telepon
Genggam
yang
Dilakukan oleh Narapidana di
dalam
Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IA
Bandar Lampung
Kejahatan penipuan sering sekali
terjadi
di
masyarakat
dan
menimbulkan kerugian bagi para
korban. Kejahatan penipuan terjadi
tidak pandang bulu dalam mencari
korban, dari korban dengan tingkat
ekonomi menengah keatas bahkan
menengah kebawah. Tindak pidana
penipuan sangatlah sering terjadi di
lingkungan
masyarakat,
untuk
memenuhi
kebutuhan
atau
keuntungan
seseorang
dapat
melakukan suatu kejahatan penipuan.
Unsur-unsur penipuan yang meliputi
perbuatan (menggerakkan), yang
digerakkan (orang), perbuatan itu
ditujukan
pada
orang
lain
(menyerahkan
benda,
memberi
hutang, dan menghapuskan piutang),
dan cara melakukan perbuatan
menggerakkan dengan memakai
nama palsu, memakai tipu muslihat,
memakai martabat palsu, dan
memakai rangkaian kebohongan.
Dan selain daripada unsur-unsur
objektif, maka dalam sebuah
penipuan juga terdapat unsur-unsur
subjektif dalam sebuah kejahatan
penipuan meliputi maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau

orang lain dan maksud melawan
hukum.
Di Indonesia seringnya terjadi tindak
pidana penipuan dikarenakan banyak
faktor-faktor
yang
mendukung
terjadinya suatu tindakan penipuan,
misalnya karena kemajuan teknologi
sehingga dengan mudah melakukan
tindakan penipuan, keadaan ekonomi
yang kurang sehingga memaksa
seseorang
untuk
melakukan
penipuan, terlibat suatu utang dan
lain sebagainya. Kejahatan penipuan
dapat dilakukan dimanapun dan tidak
menutup kemungkinan terjadi di
tempat yang memiliki birokrasi
tertutup
dan
sangat
terjaga
keamanannya
yaitu
Lembaga
Pemasyarakatan.
Banyak faktor yang menyebabkan
terjadinya kejahatan penipuan di
dalam lapas, salah satu penyebabnya
adalah faktor ekonomi. Menurut
pendapat Bonger dalam buku Kartini
Kartono yang berjudul patologi
sosial, kejahatan yang terjadi
disebabkan oleh kondisi ekonomi
dan
kemiskinan
sehingga
menimbulkan demoralisasi pada
individu serta membelenggu naluri
sosialnya sehingga pada akhirnya
membuat individu melakukan tindak
pidana.5 Faktor ekonomi yang timbul
disebabkan oleh desakan kebutuhan
hidup yang tinggi namun keadaan
ekonomi yang rendah, dengan
demikian pelaku kejahatan dituntut
untuk memenuhi kebutuhan yang
tinggi itu dengan berbagai cara
walaupun pelaku kejahatan tersebut
sedang berada di tempat dengan
tingkat keamanan yang tinggi seperti
Lembaga Pemasyarakatan. Faktor
ekonomi
yang
menyebabkan
narapidana melakukan kejahatan
5

Kartini Kartono, Patologi Sosial. hlm.108

baru di dalam lapas, yaitu kejahatan
penipuan.
Faktor ekonomi merupakan faktor
penting
yang
menyebabkan
narapidana melakukan kejahatan
penipuan. Hal ini dikarenakan
meningkatnya biaya kebutuhan hidup
yang semakin melonjak tinggi,
sedangkan
penghasilan
yang
harusnya
bisa
didapat
oleh
narapidana terhenti dikarenakan
narapidana harus menjalani hukuman
yang di putuskan oleh pengadilan di
dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Sehingga narapidana tidak dapat
membiayai kebutuhan sehari-hari
dirinya sendiri dan keluarganya.
Maka dari itu, beberapa narapidana
memutuskan untuk melawan hukum
dengan melakukan tindak kejahatan
di dalam Lembaga Pemasyarakatan
yang dapat menghasilkan uang untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya.
Berdasarkan hasil wawancara penulis
dengan
Sugiyono,
narapidana
melakukan
tindak
kejahatan
penipuan didasari atas status
kemiskinan narapidana, dimana
narapidana merupakan seorang lakilaki berusia 35 tahun dan memiliki
seorang istri dan anak serta pelaku
juga merupakan tulang punggung
bagi
keluarganya.
Sebelum
narapidana menjalani hukuman di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA
Bandar Lampung, Ia bekerja sebagai
petani, namun saat Pelaku telah
menjalani hukuman di Lapas,
Pelaku tidak memiliki pekerjaan
yang mampu menopang hidupnya
beserta keluarganya.6

6

Berdasarkan hasil wawancara penulis
dengan Sugiyono, A.Md. IP,S.H.,M.H. pada
29 November 2016

Menurut pernyataan Sugiyono, dapat
disimpulkan bahwa, setelah pelaku
menjalani hukuman di dalam
Lembaga Pemasyarakatan, pelaku
tidak memiliki sumber penghasilan
sehingga pelaku melakukan tindak
kejahatan penipuan atau dapat
dikatakan faktor ekonomi yang
mendasari
pelaku
melakukan
tindakan tersebut.
Kejahatan penipuan di dalam Lapas
tidak hanya disebabkan oleh faktor
ekonomi saja, melainkan disebabkan
juga oleh faktor lingkungan dan
faktor peniruan (teori asosiasi
diferensial).
Teori
Lingkungan
sebagai
penyebab
kejahatan
dipelopori A. Lacassagne dalam teori
sebab-sebab terjadinya kejahatan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
tersebut adalah :
1. Lingkungan
yang
memberi
kesempatan untuk melakukan
kejahatan
2. Lingkungan pergaulan yang
memberi contoh dan teladan
3. Lingkungan
ekonomi,
kemiskinan dan kesengsaraan
Faktor lingkungan merupakan salah
satu faktor yang juga mendasari
pelaku melakukan tindak kejahatan.
Kurangnya kesadaran masyarakat
terhadap modus-modus penipuan
sehingga dengan mudah tertipu oleh
narapidana
yang
melakukan
penipuan dari dalam Lembaga
Pemasyarakatan
serta
keluarga
pelaku yang acuh-tak acuh terhadap
pelaku bahkan mendukung pelaku
melakukan kejahatannya. Adanya
faktor peniruan pun tidak terlepas
dari
sebab-sebab
narapidana
melakukan kejahatannya. Teori
asosiasi diferensial (differential
association theory) dari Gabriel
Tarde, menyatakan bahwa kejahatan

yang dilakukan seseorang adalah
hasil peniruan terhadap tindakan
kejahatan
yang
ada
dalam
masyarakat. Orang menjadi jahat
disebabkan
karena
pengaruh
imitation, yaitu seseorang melakukan
kejahatan karena orang tersebut
meniru keadaan sekelilingnya.
Berdasarkan hasil wawancara penulis
dengan Rizal Effendi, tidak dapat
dipungkiri
bahwa
terjadinya
penipuan di dalam Lapas salah
satunya disebabkan oleh faktor
lingkungan dan peniruan yang
berasal dari tindakan serupa yang
dilakukan oleh narapidana pelaku
kejahatan penipuan yang ada di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA
Bandar Lampung. Faktor utama yang
menyebabkan terjadinya kejahatan
penipuan melalui telepon genggam
adalah masuknya telepon genggam
(smartphone) ke dalam Lembaga
Pemasyarakatan. Menurut Rizal
Effendi, hal itu disebabkan karena
tata tertib kunjungan ke dalam Lapas
dan profesionalitas Petugas Lapas
belum efektif untuk mencegah
masuknya
barang-barang
yang
dilarang untuk masuk ke dalam
Lapas. Sehingga smartphone dapat
masuk ke dalam lapas melalui
perantara keluarga atau kerabat
narapidana. Selain itu Rizal Effendi
menjelaskan
bahwa
masuknya
smartphone ke dalam Lapas tidak
menutup kemungkinan disebabkan
oleh
Petugas
Lembaga
Pemasyarakatan
yang
tidak
professional dalam menjalankan
tugasnya. Sedangkan faktor yang
mendorong narapidana melakukan
kejahatan penipuan melalui telepon
genggam adalah sering terjadinya
kejahatan serupa di dalam Lapas
sehingga hal tersebut menjadi contoh
bagi narapidana lainnya untuk

melakukan hal serupa mengingat
besarnya
keuntungan
yang
didapatkan dari melakukan kejahatan
penipuan tersebut.7
Melihat
pernyataan
yang
dikemukakan oleh Rizal Effendi,
dapat diketahui bahwa tata tertib
kunjungan dan tidak profesionalnya
Petugas Lapas dan kurangnya
kontrol yang dilakukan oleh Petugas
Lapas adalah faktor utama masuknya
smartphone ke dalam Lapas yang
merupakan penyebab dari timbulnya
kejahatan penipuan melalui telepon
genggam.
Sedangkan
faktor
pendorong narapidana melakukan hal
tersebut adalah sering terjadinya
kejahatan serupa di dalam Lapas
sehingga hal tersebut menjadi contoh
bagi narapidana lainnya. Menurut
analisa penulis, kejahatan penipuan
di dalam Lapas terjadi tidak terlepas
dari tempat dimana narapidana
tersebut berada yaitu Lembaga
Pemasyarakatan
yang memiliki
sistem birokrasi yang tertutup
sehingga penegak hukum dibatasi
kewenangannya untuk melakukan
penindakan
terhadap
penghuni
Lembaga Pemasyarakatan.
Melihat dari faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya kejahatan
penipuan di atas, ada pula faktor
pendukung
yang
menyebabkan
narapidana
untuk
melakukan
kejahatan tersebut yaitu faktor
kesempatan.
Teori
kesempatan
(opportunity theory) dari Richard A.
Cloward dan Lloyd E. Ohlin,
menyatakan
bahwa
munculnya
kejahatan
dan
bentuk-bentuk
perilakunya
bergantung
pada
kesempatan, baik kesempatan patuh
norma,
maupun
kesempatan
7

Berdasarkan hasil wawancara dengan Rizal
Effendi, S.H.,M.H. pada 29 November 2016

penyimpangan norma. Kesempatan
merupakan faktor yang menentukan
bagi narapidana pelaku kejahatan
untuk
melakukan
kejahatan
penipuan, ada orang-orang yang bisa
berubah menjadi seorang penjahat
jika muncul suatu peluang besar
dalam melakukan tindak kejahatan.
Serta perhitungan terhadap resiko
tertangkap tangan ketika melakukan
aksi kejahatan kecil, serta kecilnya
peluang untuk tertangkap setelah
dilakukan
penyidikan
dapat
memperbesar dorongan seseorang
untuk berbuat kejahatan penipuan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis
memilih contoh seperti yang terjadi
dengan narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IA Bandar
Lampung bernama Moch. Mansur
alias Mansur bin Dastro. Ia
melakukan
kejahatan
penipuan
melalui telepon genggam yang salah
satunya
dilatarbelakangi
oleh
kesempatan yang ada di dalam
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA
Bandar Lampung. Hasil wawancara
yang penulis lakukan kepada Mansur
pada
30
November
2016
menerangkan
bahwa
kejahatan
penipuan yang ia lakukan terjadi saat
malam hari atau kejahatan penipuan
terjadi diluar jam kerja Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IA Bandar
Lampung yaitu diluar jam 08.00 –
14.30 WIB, sehingga pengawasan
terhadap
narapidana
menjadi
berkurang atau dengan kata lain
pengawasan terhadap narapidana
tidak seketat pengawasan yang
dilakukan di jam kerja. Dan dari
penjelasan yang diterangkan oleh
para
petugas
Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IA Bandar
Lampung diatas, dibenarkan oleh
Mansur sebagai narapidana pelaku
penipuan di dalam Lapas bahwa

faktor utama yang melatarbelakangi
ia melakukan kejahatan penipuan
adalah faktor lingkungan yaitu dapat
masuknya smartphone ke dalam
kamarnya dan faktor ekonomi
dikarenakan sebelum ia dijatuhi
hukuman oleh pengadilan, ia adalah
tulang punggung keluarganya. 8
Lembaga Pemasyarakatan yang
seharusnya
menjadi
tempat
pembinaan bagi narapidana, namun
pada kenyataannya menjadi tempat
oleh narapidana untuk melakukan
kejahatan penipuan.
Menurut
analisis
penulis,
berdasarkan
wawancara yang dilakukan penulis
dengan para responden diatas dan
dari sekian banyak faktor penyebab
terjadinya
kejahatan
penipuan
melalui telepon genggam yang
dilakukan oleh narapidana di dalam
Lapas bahwa kesempatan adalah
faktor utama penyebab teradinya
kejahatan penipuan di dalam Lapas.
Faktor ini yang pada mulanya terjadi
di Lembaga Pemasyarakatan Kelas
IA Bandar Lampung dan kemudian
diikuti oleh faktor lainnya yang
menjadi faktor pendukung terjadinya
kejahatan penipuan tersebut. Faktorfaktor itulah yang menyebabkan
narapidana mengendalikan penipuan
dari dalam Lapas dan kurang
maksimalnya kontrol yang dilakukan
oleh petugas Lapas diluar jam kerja
sehingga merugikan korban hingga
miliaran
rupiah
dengan
cara
mengelabuhi
korban
melalui
smartphone yang dimilikinya dari
dalam Lembaga Pemasyarakatan.

8

Berdasarkan hasil wawancara dengan
Moch. Mansur alias Mansur bin Dastro pada
30 November 2016

B. Upaya
Penanggulangan
Terhadap Penipuan
yang
Dilakukan oleh Narapidana di
dalam
Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IA
Bandar Lampung
Upaya penanggulangan kejahatan
seperti dijelaskan oleh Barda
Nawawi Arief yang mengutip dari G.
P Hoefnagel9, yang pertama yaitu
penerapan hukum pidana atau
criminal
law
application.
Penanggulangan dengan penerapan
hukum pidana yang dimaksud adalah
dengan
cara
represif
setelah
terjadinya
kejahatan
tersebut.
Penanggulangan kejahatan juga
dapat dilakukan dengan cara
preventif,
yaitu
dengan
cara
penegahan tanpa pidana atau yang
juga dikenal dengan prevention
without punishment. Selain itu
penanggulangan kejahatan juga dapat
dilakukan
dengan
cara
mempengaruhi
pandangan
masyarakat mengenai kejahatan dan
juga pembinaan media massa.
Barnest dan Teeters dalam buku
Ramli Atmasasmita yang berjudul
Bunga
Rampai
Kriminologi
menunjukkan beberapa cara untuk
menanggulangi kejahatan yaitu:
1. Menyadari bahwa akan adanya
kebutuhan-kebutuhan
untuk
mengembangkan
dorongandorongan sosial atau tekanantekanan sosial dan tekanan
ekonomi
yang
dapat
mempengaruhi tingkah laku
seseorang ke arah perbuatan
jahat.
2. Memusatkan perhatian kepada
individu-individu
yang
9

Barda Nawawi Arief, Berbagai Aspek
Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum
Pidana. hlm. 59

menunjukkan
potensialitas
kriminal atau sosial, sekalipun
potensialitas tersebut disebabkan
gangguan-gangguan biologis dan
psikologis atau kurang mendapat
kesempatan sosial ekonomis
yang cukup baik sehingga dapat
merupakan suatu kesatuan yang
harmonis.10
Upaya penanggulangan kejahatan
mencakup aktivitas preventif dan
sekaligus
berupaya
untuk
memperbaiki perilaku seseorang
yang telah dinyatakan bersalah
(sebagai seorang narapidana) di
lembaga pemasyarakatan. Dengan
kata lain upaya penanggulangan
kejahatan dapat dilakukan secara
preventif dan represif. Melihat pada
kejahatan penipuan yang dilakukan
oleh narapidana di dalam Lembaga
Pemasyarakatan,
upaya
penanggulangan
dengan
cara
preventif merupakan cara utama
dalam penanggulangan kejahatan
penipuan
di
dalam
Lapas.
Penanggulangan kejahatan secara
preventif dilakukan untuk mencegah
terjadinya atau timbulnya kejahatan
yang pertama kali . Mencegah
kejahatan lebih baik daripada
mencoba untuk mendidik kembali
narapidana yang harusnya menjadi
lebih baik ketika ia pertama kali
dibina di Lembaga Pemasyarakatan,
usaha-usaha
memperbaiki
narapidana
yang
melakukan
kejahatan di dalam Lapas perlu
diperhatikan dan diarahkan agar
tidak terjadi lagi kejahatan ulangan.
Sangat beralasan bila upaya preventif
diutamakan karena upaya preventif
dilakukan tanpa adanya kejahatan
yang telah terjadi.
10
Romli Atmasasmita, Bunga Rampai
Kriminologi, Jakarta: Rajawali, 1984. hlm.
79

Barda
Nawawi
Arief
juga
menjelaskan
mengenai
upaya
penanggulangan kejahatan melalui
sarana non-penal dan penal.
1. Sarana Non-Penal
Sarana non penal atau upaya
preventif yang dilakukan sebelum
terjadinya kejahatan, erat sekali
hubungannya dengan kebijakan
sosial. Upaya ini bertujuan untuk
mencegah
sebelum
terjadinya
kejahatan dan memperbaiki kondisi
menjadi lebih baik. Secara tidak
langsung
upaya
non
penal
meminimalisasi kuantitas dari suatu
kejahatan yang ada.11 Contohnya
yaitu penyuluhan hukum atau
konseling kepada narapidana yang
sedang
menjalani
hukuman
pembinaan di dalam Lembaga
Pemasyarakatan mengenai tindak
pidana umum maupun khusus.
Upaya ini juga dapat diterapkan
dalam kegiatan-kegiatan pembinaan
yang
dilakukan
Lembaga
Pemasyarakatan
dalam
rangka
perbaikan diri narapidana sebelum
kembali ke masyarakat.
Narapidana seharusnya mengetahui
dan
memahami
upaya
yang
dilakukan Lembaga Pemasyarakatan
dalam penanggulangan kejahatan
penipuan di dalam Lapas. Penulis
telah melakukan penelitian di
Lembaga pemasyarakatan Kelas IA
Bandar
Lampung,
menurut
Sugiyono, dalam hal ini Lapas telah
melakukan upaya non penal.
Sebelum
terjadinya
kejahatan
penipuan di dalam Lapas, Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IA Bandar
Lampung telah melakukan upaya
non penal melalui Bidang Pembinaan
Narapidana
dengan
melakukan
11

Barda Nawawi Arief, Op,Cit,. hlm. 59

peyuluhan
hukum
kepada
narapidana, hal tersebut dilakukan
rutin untuk memberikan pengetahuan
hukum kepada narapidana agar tidak
mengulangi lagi tindak pidananya.
Selain itu Bidang Pembinaan
Narapidana
di
Lembaga
Pemasyaakatan Kelas IA Bandar
Lampung
telah
melakukan
peningkatan kualitas dan kuantitas
kegiatan di dalam Lapas dalam
rangka
pembinaan
terhadap
narapidana yang menghuni Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IA Bandar
Lampung. Kegiatan tersebut meliputi
peningkatan terhadap pembinaan
yang bersifat keagamaan yaitu
pengajian bagi narapidana yang
beragama Islam dan kebaktian bagi
narapidana yang beragama Kristen.
Setelah itu melakukan pembinaan
yang
bersifat
meningkatkan
produktifitas narapidana sehingga
waktu yang dimiliki narapidana di
dalam Lapas dapat diisi dengan
kegiatan positif dan mengurangi
kemungkinan terjadinya kejahatan di
dalam Lapas.12
Pembinaan dan bimbingan yang
dilakukan
di
Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IA Bandar
Lampung dibagi menjadi dua bidang
yaitu:
1. Pembinaan kepribadian yang
melliputi:
a. Pembinaan
kesadaran
beragama.
b. Pembinaan
kesadaran
berbangsa dan bernegara,
dengan mengadakan upacara
kesadaran
nasional setiap
tanggal 17

12

Berdasarkan hasil wawancara dengan
Sugiyono, A.Md.IP.,S.H.,M.H. pada 29
November 2016

c. Pembinaan
kemampuan
intelektual (kecerdasan)
d. Pembinaan kesadaran hukum,
menyelenggarakan kegiatan:
temu wicara dan ceramah,
dan penyuluhan hukum
e. Pembinaan mengintegrasikan
diri
dengan
masyarakat
menyelenggarakan kegiatan:
2. Pembinaan kemandirian yang
meliputi:
Penyelenggaraan
pembinaan
meliputi program-program dan
usaha-usaha:
a. Kerja Produktif
yaitu
meliputi: rotan, tapis, perajin
ban, menjahit pertukangan
kayu, bingkai dan keset, pot
kembang, cukur, pertanian,
sangkar burung, paving blok,
bengkel mobil, majelis ta’lim,
budidaya lele, pijat refleksi,
pembuatan sandal hotel,
pembuatan
batu
akik,
pembuatan miniatur kapal
dari
bambu,
aquarium,
laundry, cucian motor dan
mobil.
b. Kegiatan kerja rumah tangga
yaitu meliputi: pramuka, juru
masak, pembantu kantor,
kebersihan,
pertamanan,
pondok.
Berdasarkan
beberapa
hasil
wawancara
diatas,
penulis
sependapat dengan Sugiyono, upaya
non penal yang efektif dalam
penanggulangan kejahatan penipuan
di dalam Lembaga Pemasyarakatan
yaitu
dengan
diadakannya
penyuluhan hukum atau konseling.
Penyuluhan hukum ini bertujuan
untuk mensosialisasikan hukuman
yang
akan
didapat
seorang
narapidana
yang
melakukan
kejahatan penipuan di dalam Lapas,
sehingga
terciptalah
kesadaran

hukum bagi narapidana. Selain itu
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA
Bandar Lampung juga melakukan
razia rutin delapan kali dalam
sebulan, dengan kata lain razia
tersebut dilakukan dua kali dalam
seminggu. Serta lebih meningkatkan
pengawasan terhadap narapidana
disaat narapidana tidak melakukan
kegiatan-kegiatan
yang
telah
ditentukan oleh Lapas. Upaya
tersebut dilakukan untuk mencegah
masuknya telepon genggam dan
barang-barang yang dilarang ke
dalam kamar narapidana. Hal itu
dilakukan agar tidak ada lagi
kerugian yang dialami masyarakat
yang menjadi korban penipuan
tersebut. Sedangkan peningkatan
kualitas dan kuantitas kegiatan pun
harus dilakukan, hal tersebut
bertujuan untuk mengisi waktu
narapidana yang ada di Lembaga
Pemasyarakatan dengan kegiatan
yang
positif
sehingga
meminimalisasi kejahatan penipuan
yang terjadi di dalam Lapas.
2. Sarana Penal
Sarana penal atau upaya represif
dilakukan
sebagai
upaya
penanggulangan terhadap kejahatan.
Upaya ini dilakukan pada saat telah
terjadi tindak pidana/kejahatan yang
tindakan berupa penegakan hukum
(law
enforcement)
dengan
menjatuhkan
hukuman.
Upaya
represif
adalah
suatu
upaya
penanggulangan kejahatan secara
konsepsional yang ditempuh setelah
terjadinya
kejahatan.
Penanggulangan
dengan
upaya
represif untuk menindak para pelaku
sesuai dengan perbuatannya serta
memperbaikinya
kembali
agar
mereka sadar bahwa perbuatan yang
dilakukannya
adalah
perbuatan

melanggar hukum dan merugikan
masyarakat,
sehingga
tidak
mengulanginya dan orang lain juga
tidak akan melakukannya mengingat
sanksi yang ditanggungnya sangat
berat. Dalam penanggulangan secara
represif cara-cara yang ditempuh
bukan lagi pada tahap bagaimana
mencegah terjadinya suatu kejahatan
tetapi bagaimana menanggulangi
atau mencari solusi atas kejahatan
yang sudah terjadi. Atas dasar itu
kemudian, langkah-langkah yang
biasa
ditempuh
cenderung
bagaimana menindak tegas pelaku
kejahatan
atau
bagaimana
memberikan efek jera terhadap
pelaku kejahatan.
Rizal
Effendi
yang
penulis
wawancarai
ketika
melakukan
penelitian
di
Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IA Bandar
Lampung menyatakan bahwa adanya
pelaksanaan penanggulangan penal
yang dilakukan oleh Lembaga
Pemasyarakatan
mengacu
pada
Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata
Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan
Rumah Tahanan Negara. Upaya non
penal yang dilakukan Bidang
Keamanan dan Ketertiban Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IA Bandar
Lampung berupa razia rutin yang
dilakukan oleh Keamanan Lapas
dalam jangka waktu 8 kali razia
selama satu bulan. Razia tersebut
bertujuan untuk mencegah masuknya
barang-barang yang dilarang di
dalam Lapas.13 Apabila upaya non
penal telah dilakukan namun tetap
terjadi kejahatan penipuan di dalam
13

Berdasarkan hasil wawancara
dengan Rizal Effendi, S.H.,M.H.
pada 29 November 2016

Lapas, maka upaya penal yang harus
dijalankan secara tegas sebagai cara
terakhir
untuk
menanggulangi
kejahatan penipuan di dalam Lapas.
Narapidana atau Tahanan yang
melanggar tata tertib dapat dijatuhi
hukuman disiplin tingkat ringan,
hukuman disiplin tingkat sedang atau
hukuman disiplin tingkat berat.
Dalam Pasal 10 ayat (3) huruf f dan
n Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata
Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan
Rumah Tahanan Negara, dijelaskan
bahwa narapidana dan tahanan yang
jika
melakukan
pelanggaran
memiliki,
membawa,
atau
menggunakan alat komunikasi atau
alat elektronik, dan atau melakukan
pencurian, pemerasan, perjudian,
atau penipuan dijatuhi Hukuman
Disiplin tingkat berat.14 Rizal Effendi
menjelaskan
bahwa
Hukuman
Disiplin tingkat berat berupa
memasukkan dalam sel pengasingan
selama 6 (enam) hari dan dapat
diperpanjang selama 2 (dua) kali 6
(enam) hari dan tidak mendapatkan
hak remisi, cuti mengunjungi
keluarga, cuti bersyarat, asimilasi,
cuti
menjelang
bebas,
dan
pembebasan bersyarat dalam tahun
berjalan
dan
untuk
alasan
kepentingan keamanan, seorang
narapidana dapat dimasukkan dalam
pengasingan. Dan apabila dalam hal
pelanggaran yang dilakukan oleh
narapidana diduga tindak pidana,
Kepala Lapas meneruskan kepada

14

Lihat Pasal 10 ayat (3) huruf f dan
n Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata
Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan
Rumah Tahanan Negara

instansi yang berwenang dalam hal
ini adalah Kepolisian.
Upaya mendidik dan membina untuk
memasyarakatkan kembali, pada
hakekatnya
bermaksud
untuk
pencegahan. Secara lebih umum,
upaya penanggulangan kriminalitas
dilakukan dengan metode moralistik
yaitu dengan membina mental
spiritual yang dapat dilakukan oleh
para ulama , para pendidik, dan lain
sebagainya, dan dengan metode
abolisionistik yaitu dengan cara
penanggulangan
yang
bersifat
konsepsional
yang
harus
direncanakan.
Berdasarkan
hasil
wawancara
tersebut, penulis sependapat dengan
Rizal Effendi bahwa apabila upaya
non penal telah dilakukan namun
tetap terjadi suatu tindakan kejahatan
penipuan maka upaya penal yang
harus dijalankan. Namun upaya
penal disini tidak hanya bertujuan
untuk memberi hukuman semata
kepada narapidana pelaku kejahatan
penipuan di dalam Lapas namun juga
menambahkan bekal yang didapat
seseorang
narapidana
selepas
menjalankan masa hukumannya
tersebut.
Narapidana
pelaku
kejahatan penipuan di dalam Lapas
harus menunjukan perubahan positif
setelah melaksanakan hukumannya.
sedangkan tujuan dari upaya
penanggulangan itu sendiri yaitu
sebagai upaya pencegahan dan
penyadaran
terhadap
pelaku
kejahatan agar tidak melakukan halhal
yang lebih
buruk
lagi
dimaksudkan agar narapidana pelaku
kejahatan ini di kemudian hari tidak
lagi melakukan pelanggaran hukum,
baik dari pelanggaran-pelanggaran
yang mungkin lebih besar merugikan
masyarakat dan pemerintah.

III. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian dan
pembahasan maka kesimpulan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya kejahatan penipuan
melalui telepon genggam yang
dilakukan oleh narapidana di
dalam Lembaga Pemasyarakatan
adalah faktor ekonomi yaitu
dikarenakan
pelaku
tidak
memiliki sumber penghasilan
ketika narapidana berada di
dalam Lapas sehingga untuk
memenuhi kebutuhan dirinya dan
keluarganya, pelaku melakukan
tindak kejahatan penipuan di
dalam Lapas. Selanjutnya adalah
faktor
lingkungan
yaitu
dikarenakan
kurangnya
kesadaran masyarakat terhadap
modus-modus penipuan sehingga
dengan mudah tertipu dan
kurangnya kontrol dan tata tertib
kunjungan yang dilakukan oleh
Petugas Lapas serta tidak
profesionalnya oknum petugas
Lapas
dalam
menjalankan
tugasnya sehingga barang yang
seharusnya dilarang namun dapat
masuk
ke
dalam
kamar
narapidana. Sedangkan faktor
pendorong
narapidana
melakukan hal tersebut adalah
pernah terjadinya kejahatan
serupa di dalam Lapas sehingga
hal tersebut menjadi contoh bagi
narapidana lainnya. Kejahatan
penipuan di dalam Lapas terjadi
tidak terlepas dari sistem
birokrasi yang tertutup di dalam
Lapas sehingga penegak hukum
dibatasi kewenangannya untuk
melakukan penindakan terhadap
penghuni
Lembaga

Pemasyarakatan. Faktor yang
terakhir yaitu faktor kesempatan
yang dapat dilihat dari waktu
narapidana melakukan kejahatan
penipuan yang terjadi saat diluar
jam
kerja
Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IA Bandar
Lampung sehingga pengawasan
terhadap narapidana menjadi
berkurang.
2. Upaya penanggulangan terhadap
kejahatan
penipuan
yang
dilakukan narapidana di dalam
Lembaga
Pemasyarakatan
dilakukan dengan cara preventif
dan represif. Upaya preventif
yang
dilakukan
dengan
melakukan pembinaan yaitu
penyuluhan
hukum
kepada
narapidana,
hal
tersebut
dilakukan
rutin
untuk
memberikan pengetahuan hukum
kepada
narapidana
dan
melakukan peningkatan kualitas
dan kuantitas kegiatan di dalam
Lapas. hal tersebut bertujuan
untuk mengisi waktu narapidana
yang
ada
di
Lembaga
Pemasyarakatan dengan kegiatan
yang
positif
sehingga
meminimalisasi
kejahatan
penipuan yang terjadi di dalam
Lapas. Selain itu Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IA Bandar
Lampung juga melakukan razia
rutin delapan kali dalam sebulan,
dengan kata lain razia tersebut
dilakukan dua kali dalam
seminggu.
Serta
lebih
meningkatkan
pengawasan
terhadap
narapidana
disaat
narapidana tidak melakukan
kegiatan-kegiatan yang telah
ditentukan oleh Lapas. Upaya
tersebut
dilakukan
untuk
mencegah
masuknya telepon
genggam dan barang-barang

yang dilarang ke dalam kamar
narapidana. Tidak hanya secara
preventif, upaya penanggulangan
kejahatan penipuan di dalam
Lapas juga dilakukan secara
represif dengan sanksi hukuman
disiplin yang dilakukan Lembaga
Pemasyarakatan
yaitu
jika
narapidana
melakukan
pelanggaran
memiliki,
membawa, atau menggunakan
alat komunikasi atau alat
elektronik, dan atau penipuan
dijatuhi hukuman disiplin tingkat
berat ataupun oleh instansi terkait
yang berwenang menanangani
dugaan adanya tindak pidana.
B. Saran
Melalui
skripsi
ini
penulis
menyampaikan beberapa saran yang
terkait dengan penelitian penulis
antara lain :
1. Perlunya keterlibatan keluarga
dan kerabat narapidana, karena
keluarga an kerabat narapidana
berperan
penting
dalam
keberhasilan
pembinaan
narapidana di dalam Lapas,
karena keluarga dan kerabat
narapidanalah yang memiliki
kedekatan emosional dengan
narapidana sehingga diharapkan
dapat mengarahkan narapidana
untuk melakukan kegiatan positif
di dalam Lapas demi terciptanya
keamanan dan ketertiban di
dalam ataupun diluar Lembaga
Pemasyarakatan.
2. Perlu ditingkatkannya waktu
razia rutin di dalam Lapas,
mengingat bahwa
Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IA Bandar
Lampung hanya melakukan razia
rutin delapan kali dalam sebulan,
dengan kata lain razia tersebut

dilakukan hanya dua kali dalam
seminggu. Hal ini dirasa tidak
cukup
mengingat
sering
terjadinya kejahatan penipuan
melalui telepon genggam yang
dilakukan narapidana di dalam
Lembaga Pemasyarakatan Kelas
IA Bandar Lampung. Upaya
penal juga harus ditegakan
dengan tegas dan baik sesaui
dengan prosedur yang diatur
dalam peraturan perundangundangan. Sanksi hukum harus
dilaksanakan secara tegas dengan
harapan agar narapidana di dalam
Lembaga
Pemasyarakatan
menyadari kesalahannya dan
tidak mengulangi kejahatannya
lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi.1998.
Berbagai Aspek Kebijakan
Penegakan Pembangunan
Hukum Pidana, Bandung: PT
Citra Aditia Bakti.
Atmasasmita, Romli. 1984, Bunga
Rampai Kriminologi, Jakarta:
Rajawali Press.
Husin, Kadri & Budi Rizki. 2012.
Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia. Bandar Lampung:
Lembaga Penelitian
Universitas Lampung.
Kartono, Kartini. 2005. Patologi
Sosial. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Sujatno, Aji. 2004. Sistem
Pemasyarakatan Indonesia
Membangun Manusia
Mandiri, Jakarta :Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan

Departemen Hukum dan Ham
RI.
Sumber lain
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP)

Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata
Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan
Rumah Tahanan Negara
http://www.jejakkasus.com/berita/di-baliklapas-lampung-muliadi-napi-di-tangkappolisi-gunakan-facebook-sebagai-m-aliyusuf/

No HP : 085380673161

Dokumen yang terkait

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU USAHA KOSMETIK YANG MENGANDUNG BAHAN BERBAHAYA DI PROVINSI LAMPUNG

0 3 13

UPAYA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH MELALUI PENERAPAN PEMBELIAN LANGSUNG BERDASARKAN SISTEM KATALOG ELEKTRONIK (E-PURCHASING)

0 6 12

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP NARAPIDANA YANG MELAKUKAN PENGANIAYAAN DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Bandarlampung)

0 0 16

ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP PUTUSAN BEBAS PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN KORBAN ANAK (Studi Putusan No: 51/Pid.Sus/2016/PN.Kbu)

1 5 12

EKSISTENSI BARANG BUKTI DALAM PROSES PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMERASAN (Studi Putusan Nomor 102/Pid/B/2016/PN.TJK)

0 2 13

UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENCURIAN DENGAN CARA PEMBOBOLAN ANJUNGAN TUNAI MANDIRI (ATM) DI BANK BRI LAMPUNG UTARA (Studi Kasus di Polres Lampung Utara)

0 0 15

ANALISIS KRIMINOLOGIS TERJADINYA RECIDIVE PADA PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

0 0 12

TINJAUAN KRIMINOLOGIS KEJAHATAN KEKERASAN DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN NARAPIDANA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung)

0 1 14

ANALISIS KRIMINOLOGIS TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DILAKUKAN SUAMI TERHADAP ISTRI (Studi di Polresta Bandar Lampung)

0 0 11

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) (Studi Kasus Putusan Nomor : 50/Pid./2015/PT.TJK)

0 0 11