DAMPAK EKONOMI DAN SOSIAL PENANGKAPAN IKAN PORA-PORA ( Pontius Binotatus) DAN IMPLIKASINYA BAGI SEKTOR PERTANIAN DI KECAMATAN BAKTI RAJA, KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN Parulian Simanjuntak

DAMPAK EKONOMI DAN SOSIAL PENANGKAPAN IKAN PORA-PORA (Pontius Binotatus) DAN IMPLIKASINYA BAGI SEKTOR PERTANIAN DI KECAMATAN BAKTI RAJA, KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

Parulian Simanjuntak

Fakultas Ekonomi Universitas HKBP Nommensen

Jusmer Sihotang

Fakultas Ekonomi Universitas HKBP Nommensen

Elvis F. Purba*

Fakultas Ekonomi Universitas HKBP Nommensen

ABSTRACT

Fishing pora-pora (Pontius binotatus) has become another important sources of income to some people and households around Lake Toba. Many households around Lake Toba has implemented two jobs in the same time, as farmer and fisheries, to fund their life’s activities. Until now, this fisheries subsector has a promising future for fisherman’s income.

This research was done in Bakti Raja District in Humbang Hasundutan Regency in order to see the social and economy effect of pora-pora fishing to agriculture. This research used 53 households as random samples from four villages around the district. Descriptive analysis was used in this research in order to explain the behavior of the samples.

The result shows that (1) By fishing pora-pora, the households could increase their income as indicated by the increasing ability to pay for children’s education and medication, higher saving and assets. It indicates that their life is better than before. (2) There is a significant social effect on these households which is indicated by increasing their participation in social activities such as religion and cultural activities. (3) Fishing pora-pora doesn’t have a significant effect on their agriculture activities. These households still keep doing their traditional activities in agriculture while doing pora-pora fishing.

Methodologically, this research has some weakness mainly in sampling method. Samples taken for this research, haven’t been a representation of most of the population. Future research should incorporate this weakness in order to gain a better result. Therefore, the future research can

be used as a comparison to present research. At the end, from result, a generalization could be drawn about the effect as fisherman to agriculture activities. Beside that, the future research should analyze deeply the consequences of taking a lot of pora-pora nowdays to the future income of the people.

Keywords: Agriculture, Fishing Pora-pora, Income

1. PENDAHULUAN

Pada tahun 2000-an yang lalu telah ditabur ikan yang dapat berkembangbiak dengan cepat di Danau Toba, yang terkenal dengan sebutan “ikan pora-pora”. Sebenarnya ikan ini sama dengan ikan bilih yang ada di Danau Singkarak Sumatera Barat (mystacoleucus padangensis) namun karena kesamaan morfologinya dengan ikan pora-pora (pontius binotatus) asli Danau Toba yang dahulu (Sitorus, 2012), sehingga sebutan ikan pora-pora menjadi sangat terkenal hingga saat ini. Ikan ini sangat potensil dikembangkan mengingat lingkungan danau sesuai dengan habitat dan budidaya ikan bernilai ekonomis tersebut. Masih menurut Sitorus (2012), ikan bilih tersebut diintrodusir oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan ke Danau Toba pada 3 Januari 2003 yang lalu. Dalam 5 tahun sejak penaburan pertama, populasi ikan melimpah karena satu ekor induk dapat menetaskan anak hingga 7.500 ekor sepanjang umurnya. Sejak itu hingga sekarang menjadi mata pencaharian masyarakat seputar Danau Toba. Ikan tersebut bukan hanya dapat ditangkap di danau tetapi juga di sungai-sungai karena ikan tersebut senang memijah di daerah aliran sungai. Oleh karena itu pinggiran danau dan sungai-sungai yang ada di seputar danau menjadi tempat mencari nafkah.

Sektor Pertanian di Kecamatan Bakti Raja, Kabupaten Humbang Hasundutan Potensi pengembangan ikan ini cukup menjanjikan karena membuka peluang usaha bagi

masyarakat sekitar untuk meningkatkan pendapatan mereka. Dari sumber sekunder yang terbit tahun 2011, misalnya, diketahui bahwa hasil tangkapan ikan pora-pora di berbagai kabupaten yang ada di seputar Danau Toba bervariasi antara 5 hingga 40 ton setiap hari. Kabupaten Samosir yang dikelilingi Danau Toba menempati urutan tertinggi dengan hasil 40 ton setiap hari diikuti Kabupaten Toba Samosir yang mencapai 20 ton disusul Kabupaten Tapanuli Utara dan Simalungun masing-masing 10 ton (Waspada, 06 Oktober 2011 dalam www.waspada.co.id, diakses 14 Mei 2013). Kabupaten yang dapat menghasilkan dalam jumlah yang lebih kecil adalah Kabupaten Karo, Dairi, dan Humbang Hasundutan. Bervariasinya hasil tangkapan tersebut disebabkan perbedaan dalam jumlah nelayan, alat tangkap yang digunakan, dan luas areal tangkapan di masing-masing kabupaten tersebut (Simanjuntak et.al, 2013).

Kecamatan Bakti Raja merupakan satu-satunya kecamatan di Kabupaten Humbang Hasundutan yang langsung berbatasan dengan Danau Toba. Terdapat empat dari enam desa di kecamatan tersebut yang berada di pinggir danau dan sebagian dari penduduknya turut menjadi nelayan ikan pora-pora. Mereka menangkap ikan dengan jaring walaupun banyak juga membuat kerambah. Menurut keterangan informan bahwa kecamatan ini dapat menghasilkan sekitar 5 ton setiap hari, suatu jumlah yang tidak kecil artinya untuk menambah pendapatan masyarakatnya.

Sebelum tahun 2000-an banyak yang mengerjakan sawah dan ladang sebagai pekerjaan utama. Kalau pun ada yang menjadi nelayan yang dikenal dengan sebutan “partoba” (Purba, 2010), jumlahnya tidak banyak. Namun semenjak 2004 semakin banyak yang menekuni penangkapan ikan pora-pora dan saat penelitian dilakukan diperkirakan jumlah nelayan di Kecamatan Bakti Raja telah mencapai 150 keluarga, sekitar enam sampai delapan kali lipat dibandingkan dengan tiga dasawarsa yang lalu. Pertambahan yang sangat signifikan ini bukan hanya merupakan indikasi kuat bahwa subsektor perikanan ini menjadi sumber pendapatan yang menjanjikan dibandingkan dengan bertani, tetapi juga dapat mendorong pembangunan ekonomi perdesaan. Diperkirakan sumberdaya yang renewable ini dapat menjadi sumber pencaharian masyarakat dalam jangka panjang asalkan ada upaya untuk menjaga kelestariannya.

Berdasarkan survei pendahuluan diketahui bahwa anak sekolah dasar pun turut juga membantu orang tuanya, segera sesudah mereka pulang dari sekolah. Selain itu ada juga lahan pertanian padi sawah dan ladang yang terkendala karena waktu dan perhatian sebagian petani terarah ke subsektor perikanan ini. Oleh karena itu menarik untuk diteliti tentang pendapatan mereka dari mata pencarian yang baru ini termasuk bagaimana implikasinya bagi kegiatan- kegiatan pertanian yang digeluti selama ini. Berdasarkan itu, tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui dampak ekonomi ikan pora-pora bagi nelayan khususnya dan masyarakat umumnya serta (2) implikasi aktivitas tersebut terhadap sektor pertanian di Kecamatan Bakti Raja.

2. METODE PENELITIAN

2.1. Sampel Penelitian

Sampel diambil dengan metode purposive sampling dengan kriteria sebagai berikut: (1) penduduk dari 4 desa yang berbatasan langsung dengan Danau Toba, yaitu Desa Tipang, Marbun Toruan, Sinambela, dan Simangulampe. (2) telah berkeluarga dan bekerja sebagai nelayan, apakah masih mengerjakan sawah dan atau ladangnya, atau telah meninggalkan pertanian tetapi masih berprofesi sebagai nelayan ikan pora-pora. (3) nelayan yang sudah bekerja minimal satu tahun saat penelitian dilaksanakan. Atas dasar keriteria tersebut, jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 53 keluarga yang diambil secara proporsional dan dianggap cukup representatif untuk masing-masing desa penelitian. Pengambilan sampel dilakukan secara acak.

2.2. Pengumpulan Data

Data primer bersumber dari responden yang dikumpul melalui pengisian kuesioner. Selain itu dilakukan wawancara mendalam (in-depth interview) dengan beberapa orang informan yang dipilih diluar sampel penelitian untuk memperoleh tambahan informasi umum yang lebih akurat mengenai dampak penangkapan ikan pora-pora terhadap kehidupan ekonomi nelayan atau Data primer bersumber dari responden yang dikumpul melalui pengisian kuesioner. Selain itu dilakukan wawancara mendalam (in-depth interview) dengan beberapa orang informan yang dipilih diluar sampel penelitian untuk memperoleh tambahan informasi umum yang lebih akurat mengenai dampak penangkapan ikan pora-pora terhadap kehidupan ekonomi nelayan atau

2.3. Analisis Data

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Dalam rangka itu ada sejumlah tahap yang diikuti: (1) mengedit data, yaitu penyortiran data dalam kuesioner sebelum dilakukan tabulasi data. (2) mengolah dan menabulasi data primer dan ditampilkan dalam bentuk tabulasi sesuai dengan tujuan penelitian sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih tepat tentang masalah penelitian. (3) penafsiran data berdasarkan frekuensi atau persentasenya dan membandingkannya dengan informasi yang diperoleh dari para informan. Hasil interpretasi dapat memberikan gambaran yang jelas tentang keadaan yang sebenarnya akan dampak penangkapan ikan pora- pora bagi kehidupan ekonomi dan sosial nelayan Kecamatan Bakti Raja.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Karakteristik Responden

Karakteristik responden yang disajikan dalam Tabel 1 adalah berdasarkan umur, pendidikan, jumlah anggota keluarga, dan tingkat pendidikan anak.

a. Umur

Dilihat dari umurnya, sebagian besar di bawah 54 tahun yang terdiri dari umur 35-44 tahun sekitar 54 persen dan umur 45-54 tahun sekitar 34 persen. Penduduk yang menjadi nelayan terdiri dari penduduk umur menengah. Gambaran tentang umur ini, bagaimanapun dipengaruhi oleh kriteria sampel penelitian, yakni nelayan yang telah berkeluarga dan telah melakukan kegiatan tersebut paling sedikit setahun yang lalu. Selain itu, minimnya penduduk yang berumur di atas 54 tahun dapat disebabkan oleh relatif rentannya mereka terhadap penyakit sehubungan dengan cuaca (angin dan ombak danau) yang dapat mempengaruhi kesehatan sehingga kurang tertarik dengan aktivitas di air. Data menunjukkan adanya kecenderungan semakin sedikit persentase nelayan sejalan dengan meningkatnya umur kendatipun tidak ada batasan umur menjadi pelaku di subsektor perikanan ini.

Tabel 1. Jumlah Responden Berdasarkan Umur dan Pendidikan

Pendidikan : 1. Tamat SD

2. SMP sederajat

3. SMA sederajat

Anggota Keluarga : 1. 4-5 orang

2. 6-8 orang

3. 9-10 orang

Pendidikan Anak: 1. SD

2. SMP sederajat

3. SMA sederajat

Sumber : Data primer (diolah) Sumber : Data primer (diolah)

Dilihat dari tingkat pendidikan responden, pada umumnya relatif tinggi. Lebih dari 50 persen mempunyai tingkat pendidikan SMA sederajat hingga diploma. Hanya sekitar 40 persen tamat SMP sederajat. Jadi sebagian besar nelayan telah mengecap pendidikan menengah. Sebenarnya pekerjaan yang tergolong sektor informal ini tidak tertutup bagi siapa saja tanpa memandang tingkat pendidikannya. Siapa saja yang mau dan bersedia dapat menjadi nelayan. Semakin ketat persaingan untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal merubah komposisi dalam lapangan kerja. Kaum terdidik mungkin akan memilih bekerja sebagai nelayan khususnya, dan menjadi pelaku aktivitas ekonomi informal umumnya, bila gagal memasuki sektor formal.

c. Jumlah Anggota Keluarga

Sesuai dengan nilai-nilai filosofis yang hidup di masyarakat, setiap keluarga masih menginginkan jumlah anak (keturunan) yang relatif banyak. Hal tersebut terekam juga dalam hasil penelitian ini. Terdapat sekitar 85 persen yang mempunyai anggota keluarga antara 6-10 orang yang berarti mempunyai anak antara 4-8 orang. Hanya sekitar 11 persen yang mempunyai anggota keluarga antara 4-5 orang. Jumlah anggota keluarga 6-8 orang dominan di masing- masing desa.

d. Pendidikan Anak Responden

Masih dari Tabel 1, dari 128 orang anak yang sedang mengikuti pendidikan saat penelitian dilaksanakan, sekitar 90 persen berada di tingkat SD hingga SMA sederajat. Kebanyakan dari mereka berada di tingkat SMP sederajat. Walaupun demikian tidak berarti nelayan tidak mampu membiayai pendidikan anak hingga tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Hanya sekitar 10 persen yang sedang berada dalam bangku kuliah, yakni sekitar 6 persen berada di tingkat diploma dan sekitar 4 persen untuk tingkat Strata Satu. Data ini menunjukkan bahwa nelayan tetap memikirkan pendidikan anak-anaknya. Suku bangsa Batak mempunyai hasrat yang tinggi bagi pendidikan anak-anaknya, antara lain dapat dibaca dalam hasil penelitian Aritonang (1988) serta hasil Purba dan Purba (1997). Apa yang dituangkan dalam syair lagu gubahan Nahum Situmorang berjudul Anakhonhi do Hamoraon di Ahu, merupakan manifestasi dari hasrat masyarakat Batak Toba untuk mengejar tingkat pendidikan yang setinggi-tingginya.

Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa butir kesimpulan. Pertama, dilihat dari umur ternyata sebagian besar nelayan berada dalam umur menengah walaupun setiap tenaga kerja boleh menjadi nelayan tanpa ada batasan umur. Kedua, dilihat dari tingkat pendidikan yang ditamatkannya, kebanyakan nelayan mengecap pendidikan menengah walaupun tidak tertutup kemungkinan bagi yang tidak mengecap pendidikan, dapat menjadi nelayan. Ketiga, berdasarkan jumlah anggota keluarga, ternyata sebagian besar nelayan mempunyai anggota keluarga 6 orang atau lebih. Keempat, sebagian besar dari nelayan mempunyai tanggungan yang masih sekolah mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.

4.2. Keragaan Usahatani dan Penangkapan Ikan Pora-pora

Keragaan usahatani yang akan diuraikan dalam bagian ini adalah jenis usahatani yang ditekuni dan pendapatan dari usahatani tersebut.

a. Jenis Usahatani yang Ditekuni Saat Penelitian

Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu, misalnya Purba (2007, 2009, 2010) diketahui bahwa sumber mata pencaharian utama penduduk adalah pertanian yang didominasi oleh padi sawah dan bawang dengan metode rotasi. Pada masa lalu kaum tani menanam padi sawah sekali setahun dan diselingi dengan tanaman bawang atau tanaman sela lainnya, satu hingga dua kali dalam tahun yang sama. Namun ada juga yang menanam bawang dari tahun ke tahun di lahan tadah hujan. Bawang dan padi sawah merupakan 2 jenis tanaman utama penduduk setempat. Akan tetapi karena musim sering tidak menentu sehingga ada kalanya penduduk hanya menanam bawang atau padi, atau gabungan dari kedua-duanya. Pada saat penelitian dilaksanakan, pada umumnya penduduk menanam padi. Sehubungan dengan itu hasil penelitian menunjukkan sekitar 83 persen responden mengerjakan padi sawah.

Data Tabel 2 menunjukkan jenis usahatani yang ditekuni responden saat penelitian adalah kombinasi dari beberap jenis tanaman, seperti palawija, bawang, beternak, berkebun, dan Data Tabel 2 menunjukkan jenis usahatani yang ditekuni responden saat penelitian adalah kombinasi dari beberap jenis tanaman, seperti palawija, bawang, beternak, berkebun, dan

Tabel 2. Keragaan Usahatani Responden

No.

Usahatani yg Ditekuni

skor

1. Padi sawah

6. Perikanan lainnya

79 100,0 Angka dalam kurung adalah persentase dari jumlah responden Sumber : Data primer (diolah)

Jumlah

Pada umumnya mereka menanam padi sawah adalah untuk memenuhi konsumsi dan kalaupun ada yang menjualnya adalah karena keadaan terpaksa. Sebaliknya, tanaman bawang, mangga, kelapa, kopi, cengkeh dan jenis tanaman tahunan lainnya, hampir semua hasil panen ditujukan untuk memenuhi permintaan pasar. Jadi ketika petani menanam bawang berarti mereka akan membeli beras dan sebaliknya ketika menanam padi berarti mereka lebih “mengutamakan selamat” untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Hal tersebut menunjukkan bahwa kaum tani tetap lebih rasional, yakni mencari keuntungan yang lebih tinggi dari usaha taninya dengan menanam bawang dari pada padi sawah. Namun ketika cuaca tidak harmonis dengan tanaman palawija, kaum tani akan menanam padi sawah.

b. Pendapatan dari Usahatani

Dilihat dari luasnya, petani yang ada di Kecamatan Bakti Raja tergolong sebagai petani gurem. Mereka tidak memiliki catatan tentang pendapatan dan pengeluaran, atas jenis tanaman yang ada setiap musim panen dan musim tanam. Oleh karena itu informasi tentang pendapatan dan sumber-sumber pendapatan pun dapat dipastikan kurang akurat; mungkin overlavued bila menyangkut pengeluaran atau undervalued bila menyangkut penerimaan. Walaupun mereka tidak mencatatnya, terdapat sekitar 85 persen yang menyatakan pendapatan dari usahatani tidak mampu untuk menutupi biaya hidup anggota keluarga. Itulah sebabnya mereka mencari sumber pendapatan tambahan. Sebaliknya 15 persen lagi menganggap pendapatan dari usahatani cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Anggapan ini dapat dibenarkan apabila lahan yang mereka usahai tergolong luas dan rotasi tanaman antara padi sawah dengan bawang memberi hasil yang memadai sehingga pendapatan dari kedua jenis usahatani tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarganya.

Adalah rasional apabila kaum tani harus mengerjakan usaha lain apakah pekerjaan sampingan atau menjadi pekerjaan utama jika pendapatan dari usahatani tidak memadai. Salah satunya ialah menjadi nelayan ikan pora-pora, yang dapat memberi pendaptan setiap hari bagi pelakunya. Pekerjaan ini “lebih pasti” bila dibandingkan dengan pertanian padi sawah atau bawang yang memerlukan waktu beberapa bulan supaya dapat dipanen. Walaupun dimikian pada umunya nelayan tetapi tidak meninggalkan pertaniannya.

c. Lamanya Telah Menjadi Nelayan

Lamanya telah menjadi nelayan dalam penelitian ini diartikan sebagai jangka waktu yang telah dilalui responden dalam aktivitasnya sebagai nelayan ikan pora-pora yang dinyatakan dalam tahun. Jangka waktu tersebut tentu berbeda dengan jangka waktu nelayan lain yang bukan Lamanya telah menjadi nelayan dalam penelitian ini diartikan sebagai jangka waktu yang telah dilalui responden dalam aktivitasnya sebagai nelayan ikan pora-pora yang dinyatakan dalam tahun. Jangka waktu tersebut tentu berbeda dengan jangka waktu nelayan lain yang bukan

Tabel 3. Lama Menjadi Nelayan dan Pihak yang Mendorong Menjadi Nelayan

No.

Keterangan

Lama menjadi nelayan :

1. ≤ 1 tahun

2. 2-3 tahun

3. 4-5 tahun

4. 6-7 tahun

Pihak yg mendorong menjadi nelayan :

1. Tidak ada/sendiri

2. Sanak keluarga

53 100,0 Sumber: Data primer (diolah)

Jumlah

d. Lokasi Tangkapan dan Jenis Alat Tangkap Ikan

Pada umumnya lokasi tangkapan adalah di pinggiran Danau Toba dan sungai Aek Silang. Khusus nelayan dari desa Tipang dan Simangulampe yang melakukan penangkapan ikan di pinggiran danau, nelayan dari desa Marbun Toruan dan Sinambela adalah di danau dan sungai Aek Silang yang merupakan batas alam antara Desa Marbun Toruan dengan Desa Sinambela. Setidaknya sejak pertengahan 2004 semakin banyak penduduk yang menjaring ikan di sungai Aek Silang dan secara perlahan-lahan semakin banyak juga di danau hingga ada yang membangun bagan. Oleh karena itu lokasi tangkapan dapat dibedakan atas 2, yaitu menetap dan berpindah- pindah. Pada umumnya lokasi tangkapan seseorang nelayan relatif tetap, baik di sungai maupun di pinggiran danau. Nampaknya sudah menjadi suatu konvensi yang tidak perlu diintervensi orang lain bila nelayan yang pertama kali menebarkan jalanya di lokasi tertentu menjadi “penguasa” di sana. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa lokasi tangkapan menetap adalah terutama bagi nelayan-nelayan yang sudah lama sedangkan yang tergolong baru biasanya berpindah-pindah. Gambaran adanya lokasi menetap atau berpindah-pindah terekam juga dari hasil tabulasi data primer. Sekitar 72 persen menyatakan mempunyai lokasi menetap dan 28 persen menyatakan berpindah-pindah (Tabel 4). Kendatipun ada yang berpindah-pindah namun jaraknya relatif dekat dari tempat semula dengan radius puluhan hingga ratusan meter.

Tabel 4. Lokasi Tangkapan dan Jenis Alat Tangkap Nelayan

No

Keterangan

Lokasi penangkapan :

Jenis alat tangkap:

53 100,0 Sumber : Data primer (diolah).

Jumlah

Seiring dengan menurunnya populasi ikan yang memasuki sungai dan semakin banyaknya nelayan menebarkan jaring dan membangun bagan di pinggiran danau, sungai pun lambat laun ditinggalkan. Sekitar tahun 2012 nelayan semakin terlokalisir di seputar pinggiran danau dan saat penelitian ini dilaksanakan, sungai Aek Silang sudah sepi dari aktivitas nelayan karena semuanya sudah beralih ke pinggiran danau.

Semua nelayan menggunakan jaring atau jala (doton) dan tidak seorang pun dari responden yang menggunakan pancing. Mereka ingin agar hasil tangkapan sebanyak mungkin. Nelayan menyadari bahwa probabilitas untuk mendapat hasil tangkapan yang lebih banyak haruslah menggunakan jaring, kecuali kalau seseorang mempunyai hobbi memancing akan menggunakan pancing. Penggunaan jaring ini dapat dipadukan dengan bagan sehingga lokasi tangkapan sudah menetap dan tidak bisa berpindah-pindah. Sebaliknya nelayan yang tidak mempunyai bagan dapat berpindah-pindah tergantung kepada nelayannya di lokasi yang mana ditebarkan jalanya. Jadi lokasi menetap hanya berlaku pada nelayan yang memiliki bagan, sedangkan bagi yang lain sangat mungkin berpindah-pindah karena mereka bebas menebarkan jalanya di seputar Tao Bakara.

Penjelasan dari sejumlah informan, terutama Kepada Desa Marbun Toruan, yaitu Bapak O. Banjarnahor, mengemukakan pemilik bagan mempunyai investasi yang lebih besar dibandingkan dengan nelayan lainnya. Menurutnya, sebelum harga pemium naik (dari Rp. 6.500/liter menjadi R. 8.500/liter), mendirikan satu bagan membutuhkan dana sekitar sepuluh juta rupiah. Namun sesudah kenaikan BBM, biaya pembuatannya bisa mencapai limabelas juta rupiah untuk setiap unit, yang umur ekonomisnya antara 2 hingga 3 tahun.

e. Alasan Menjadi Nelayan

Ada dua bagian jawaban yang diberikan responden tentang mengapa mereka menjadi nelayan, yaitu (1) untuk menambah pendapatan keluarga dikemukakan sekitar 13 persen responden dan (2) untuk menambah pendapatan dan sekaligus untuk konsumsi oleh sekitar 87 persen. Tidak ada yang menjawab “hanya untuk dikonsumsi” atau “hanya untuk memanfaatkan waktu luang”. Adalah benar bahwa ikan pora-pora dapat dijadikan sebagai lauk, sama halnya dengan ikan mujahir pada masa-masa yang lalu. Namun rasa ikan mujahir lebih enak dibandingkan dengan ikan pora-pora sehingga tidak banyak mengonsumsinya. Sekitar 50 persen dari responden mengonsumsi dibawah 15 kilogram sebulan dan sekitar 22 persen mengonsumsi sampai 30 kilogram sebulan. Oleh karena ikan pora-pora mempunyai nilai ekonomi sehingga jumlah yang dikonsumsi nelayan biasanya terbatas dan lagi pula masyarakat kurang pintar meraciknya menjadi lauk yang enak. Ikan pora-pora menjadi berkah bagi penduduk setempat yang mampun menambah pendapatan keluarga secara signifikan. Jadi alasan menjadi nelayan adalah alasan ekonomi.

Menjadi nelayan berbeda dengan pekerjaan di pertanian padi sawah dan jenis-jenis pertanian pangan lainnya. Apabila petani harus menunggu beberapa bulan sebelum panen, maka nelayan bekerja hanya beberapa jam setiap hari dan hasil tangkapan dijual kepada pedagang pengumpul atau kepada orang lain dan mendapatkan uang pada hari itu juga. Itulah sebabnya Menjadi nelayan berbeda dengan pekerjaan di pertanian padi sawah dan jenis-jenis pertanian pangan lainnya. Apabila petani harus menunggu beberapa bulan sebelum panen, maka nelayan bekerja hanya beberapa jam setiap hari dan hasil tangkapan dijual kepada pedagang pengumpul atau kepada orang lain dan mendapatkan uang pada hari itu juga. Itulah sebabnya

Berdasarkan keterangan informan diketahui bahwa sekitar satu tahun belakangan semakin sedikit anak responden yang ikut membantu orangtuanya seiring dengan terlokalisirnya nelayan menangkap ikan pora-pora di pinggiran danau. Pada tahun-tahun yang lalu, setelah pulang sekolah banyak anak yang turut beraktivitas di sepanjang sungai Aek Silang. Mereka dapat memperoleh hasil tangkapan antara 5-10 kilogram dalam kurun waktu sekitar 2-3 jam. Bila dinilai dalam uang dapat mencapai Rp. 10.000-20.000 setiap harinya. Oleh karena itu anak sekolah dapat mengantongi uang setiap hari sebesar jumlah tersebut dan orang tua merasa terbantu karena tidak mengeluarkan uang harian lagi bagi anak-anaknya.

f. Hari dan Jam Kerja Nelayan

Hari kerja dalam penelitian ini adalah hari-hari kalender yang digunakan responden menjalankan aktivitasnya sebagai nelayan. Sebagian besar responden menjalankan aktivitas mulai hari Senin sampai Minggu. Sisanya sekitar 10 persen menyatakan antara 5 sampai 6 hari (Tabel 5). Situasi alam seperti musim hujan dan ombak danau turut mempengaruhi sehingga ada kalanya pada hari-hari tertentu termasuk pada hari Minggu tidak bekerja.

Tabel 5. Hari dan Jam Kerja Nelayan

No.

Keterangan

Hari kerja :

1. Setiap hari:

2. Tidak setiap hari

Jam kerja :

1. Subuh s/d Pagi

3. Sore s/d senja

4. Malam s/d subuh

53 100,0 Sumber : Data primer (diolah).

Jumlah

Menurut jam kerja, yaitu waktu yang dimanfaatkan responden melakukan aktivitas sebagai nelayan setiap hari, jam kerja saat ini lebih sedikit dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Ketika sungai Aek Silang turut menjadi lokasi tangkapan, puluhan keluarga bisa bertahan selama sepuluh jam atau lebih setiap hari di sungai. Mereka menebarkan jaring beberapa kali dalam satu jam dan mendapat hasil yang lumayan. Ikan masuk dan senang melawan arus sungai sehingga semakin banyak penduduk yang turut serta menjaring ikan pora-pora di sungai Aek Silang seiring dengan banyaknya ikan menuju sungai. Pada saat itu pernah dilakukan pembagian jam aktivitas menjadi dua shift, yang diatur sedemikian rupa sehingga ada yang bekerja pada pagi hingga siang hari dan yang lain mulai sore hingga malam hari. Pembagian tersebut dilakukan oleh tokoh informal yang ada di Bakara agar tidak timbul konflik dikalangan nelayan. Dan setelah nelayan berpindah ke pinggir danau, pembagian shift tersebut otomatis hapus.

Jam kerja nelayan dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu: (1) mulai subuh hingga pagi hari, (2) siang hari, (3) sore hingga senja, dan (4) malam hingga subuh. Artinya, nelayan yang memiliki bagan maupun yang tidak memiliki, sudah mempunyai jam kerja tertentu. Sebagai contoh, pemilik bagan biasanya menjalankan aktivitas mulai pada pukul 4 subuh hingga Jam kerja nelayan dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu: (1) mulai subuh hingga pagi hari, (2) siang hari, (3) sore hingga senja, dan (4) malam hingga subuh. Artinya, nelayan yang memiliki bagan maupun yang tidak memiliki, sudah mempunyai jam kerja tertentu. Sebagai contoh, pemilik bagan biasanya menjalankan aktivitas mulai pada pukul 4 subuh hingga

g. Pendapatan dan Pengeluaran Nelayan

Pada umumnya nelayan mengandalkan ingatan tentang berapa banyak hasil tangkapan setiap hari dan rata-rata setiap bulan. Kepada Desa Marbun Toruan yang menjadi salah satu penampung ikan pora-pora mengemukakan jumlah bagan yang ada di pinggiran Danau Toba di seputar wilayah Kecamatan Bakti Raja lebih dari 100 unit, menurut perhitungannya pada Agustus 2013. Jumlah tersebut bertambah secara signifikan dalam 2 tahun terakhir sehingga rata-rata hasil tangkapan setiap nelayan semakin menurun dari masa ke masa. Hal itu terekam juga dalam penelitian ini.

Dilihat dari hasil tangkapan, jumlah terendah adalah antara 50-350 kg setiap bulan, tertinggi antara 100-1.000 kilogram dan rerata antara 75-250 kilogram. Data Tabel 6 menyajikan data hasil tangkapan tersebut, dimana sekitar 64 persen menyatakan di bawah 100 kilogram dan tidak sampai 4 persen yang memperoleh di atas 300 kilogram. Untuk hasil tangkapan paling tinggi, sekitar 60 persen menyatakan di bawah 200 kilogram dan 17 persen menyebutkan di atas 400 kilogram. Pada umumnya hasil tangkapan tertinggi adalah yang memiliki bagan. Pada masa lalu, pendapatan nelayan di seputar Danau Toba cukup tinggi. Dalam laporannya tahun 2011, usaha ikan pora-pora di kolong jembatan Ajibata bias mendulang jutaan rupian (Media Komunikasi, 2011).

Tabel 6. Hasil Tangkapan

Paling rendah :

1. <100 kg

2. 100-300 kg

Paling Tinggi :

1. <200 kg

2. 200-400 kg

53 100,0 Sumber : Data primer (diolah)

Jumlah

h. Pendapatan dan Biaya Nelayan

Pendapatan nelayan ternyata berbeda dari hari ke hari dengan tingkat variasi yang tidak besar. Besarnya pendapatan terendah bervariasi mulai dari Rp. 150.000-500.000, pendapatan tertinggi mulai Rp. 175.000-1.200.000 dan pendapatan rata-rata berkisar antara Rp. 200.000-750.000 setiap bulan. Untuk pendapatan terendah, lebih 50 persen menyatakan di bawah Rp. 200.000 dan hanya 7,5 persen antara Rp. 601.000-800.000. Ada kecenderungan semakin sedikit persentase responden yang menyatakan pendapatan terendahnya meningkatnya. Kemudian untuk pendapatan tertinggi, sekitar 7 persen menyatakan antara Rp. 201.000-400.000 dan sekitar 21 persen menyatakan di atas Rp. 1.000.000. Namun yang paling banyak adalah antara Rp. 401.000- 800.000, yaitu sebanyak 45 persen. Untuk pendapatan rata-rata, sekitar 11 persen menyatakan antara Rp. 401.000-Rp. 600.000 dan sekitar 32 persen menyatakan di atas Rp. 1.000.000 (Tabel 7). Jumlah pendapatan yang dilaporkan responden tergolong undervalued dan lagi pula menurun secara signifikan seiring dengan semakin banyaknya penduduk yang menggeluti aktivitas ini dengan menggunakan bagan.

Masih menurut informan, pendapatan ini ternyata jauh lebih kecil dari rata-rata pendapatan nelayan tahun-tahun sebelumnya. Para responden dan informan mengakui, setidaknya mulai April 2013 pendapatan rata-rata nelayan menurun karena jumlah nelayan semakin bertambah banyak sehingga hasil tangkapan rata-rata semakin menurun. Apakah penurunan tersebut bukan disebabkan semakin berkurangnya populasi ikan seiring dengan upaya nelayan mengambil ikan yang besar hingga kecil? Apabila mereka menyapu semua ikan yang masuk ke jarring termasuk ikan kecil, maka suatu ketika dapat terjadi apa yang dinamakan dengan tragedy of the common (tragedi bersama) bagi semua nelayan di seputar Danau Toba termasuk di Kecamatan Bakti Raja.

Tabel 7. Besarnya Pendapatan Nelayan

No.

Keterangan

Paling rendah (Rp) :

Paling Tinggi (Rp) :

Rerata (Rp) :

53 100,0 Sumber : Data primer (diolah).

Jumlah

Selanjutnya, biaya nelayan adalah dana yang digunakan untuk pembelian alat tangkap ikan, seperti jaring, biaya perbaikan solu, biaya alat penerangan, termasuk membeli beberapa peralatan lain. Menurut mereka biaya tersebut berkisar antara Rp. 150.000-500.000 setiap bulan tetapi belum termasuk hari kerja nelayan. Tanpa memperhitungkan hari kerja mereka sebagai biaya, ternyata hamper 55 persen yang mempunyai biaya di bawah Rp. 200.000 per bulan dan hanya 4 persen antara Rp. 401.000-500.000 (Tabel 8). Berdasarkan data tersebut, dapat dikemukakan terdapat kecenderungan semakin sedikit persentase responden yang “bersedia” mengeluarkan biaya yang semakin besar. Mereka perlu menghemat pengeluaran sedemikian rupa agar pendapatan bersih dari pekerjaan ini semakin besar sesuai dengan harapannya.

Tabel 8. Besarnya Biaya Nelayan

No.

Keterangan

Biaya (Rp) :

53 100,0 Sumber : Data primer (diolah).

Jumlah

Apabila dihitung pendapatan bersih yaitu pendapatan bruto dikurangi dengan biaya operasional nelayan, ternyata pendapatan bersih terendah berkisar antara Rp. 200.000-800.000, pendapatan bersih tertinggi dalam kisaran Rp. 200.000-1.200.000 dan pendapatan rata-rata antara Rp. 200.000-1.100.000 setiap bulannya. Untuk pendaatan terendah, sekitar 35 persen menyatakan dibawah Rp. 200.000 dan sekitar 24 persen menyatakan antara Rp. 600.000-800.000. Untuk pendapatan tertinggi, hanya sekitar 7 persen antara Rp. 200.000-400.000 dan sekitar 13 persen menyatakan diatas Rp. 1.000.000. Dilihat dari rata-ratanya, sekitar 40 persen antara Rp. 601.000- 800.000 dan hanya 3 persen di bawah Rp. 401.000 (Tabel 9).

Tabel 9. Pendapatan Bersih Nelayan

No.

Keterangan

Paling rendah (Rp) :

Paling Tinggi (Rp) :

Rerata (Rp):

53 100,0 Sumber : Data primer (diolah).

Jumlah

Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, dilihat dari jenis usahatani yang ditekuni saat ini ternyata keberadaan ikan pora-pora tidak menyebabkan mereka meninggalkan usahataninya. Sebagian besar mengerjakan padi sawah dan kombinasi dengan tanaman lain, misalnya bawang atau tanaman palawija lainnya. Kedua, sebagian besar dari nelayan menyatakan pendapatan dari usahatani tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Oleh karena itulah mereka mencari sumber pendapatan lain, yang dalam hal ini adalah penangkapan ikan pora-pora. Ketiga, pada umumnya petani yang menggeluti penangkapan ikan Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, dilihat dari jenis usahatani yang ditekuni saat ini ternyata keberadaan ikan pora-pora tidak menyebabkan mereka meninggalkan usahataninya. Sebagian besar mengerjakan padi sawah dan kombinasi dengan tanaman lain, misalnya bawang atau tanaman palawija lainnya. Kedua, sebagian besar dari nelayan menyatakan pendapatan dari usahatani tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Oleh karena itulah mereka mencari sumber pendapatan lain, yang dalam hal ini adalah penangkapan ikan pora-pora. Ketiga, pada umumnya petani yang menggeluti penangkapan ikan

4.3. Kehidupan Ekonomi Keluarga Setelah Menekuni Penangkapan Ikan Pora-pora

Uraian akan diawali dari keadaan pendapatan, keadaan kehidupan keluarga, kemampuan membiayai pendidikan anak, kemampuan menabung, ada tidaknya pemilikan polis asuransi, jenis harta yang bertambah, dan perubahan ekonomi lain yang dirasakan nelayan.

a. Keadaan Pendapatan dan Kehidupan Keluarga

Keadaan pendapatan sebelum dan sesudah menekuni penangkapan ikan pora-pora dapat dinilai oleh nelayan berdasarkan pengalaman atau ingatan mereka tentang sumber-sumber pendapatan selama ini. Hampir 70 persen menyatakan pendapatan mereka meningkat sesudah menggeluti penangkapan ikan pora-pora. Kalaupun ada yang menyatakan menurun namun jumlahnya hanya kurang dari 10 persen dan hampir 20 persen menyatakan sama dengan keadaan sebelumnya (Tabel 10). Dua jawaban terakhir wajar dipertanyakan karena hasil wawancara dengan sejumlah informan menyatakan kalau pendapatan sebagian besar penduduk Kecamatan Bakti Raja meningkat sesudah ada ikan pora-pora.

Bapak S. Purba, seorang pedagang alat-alat nelayan dan barang-barang lainnya mengemukakan bahwa uang bisa mengalir ke Kecamatan Bakti Raja sekitar sepuluh juta rupiah setiap hari ketika harga ikan Rp. 2.000/kg pada tahun yang lalu dan tahun-tahun sebelumnya. Jadi sebenarnya tidak ada alasan bagi nelayan untuk menyatakan pendapatan total mereka menurun kecuali lahan pertaniannya ditelantarkan. Jawaban tersebut dapat dibenarkan karena memang pendapatan rata-rata responden beberapa bulan sebelum pelaksanaan penelitian ini mulai menurun bila dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Namun jika dibandingkan dengan pendapatan sebelum menekuni penangkapan ikan pora-pora dan sesudahnya, maka pendapatan penduduk yang menggeluti penangkapan ikan pora-pora meningkat secara signifikan.

Besar kecilnya pendapatan kaum tani, baik dari hasil pertanian dan hasil tangkapan ikan menentukan keadaan kehidupan ekonomi keluarga nelayan. Selain mempertanyakan pendapatan yang merupakan variabel kuantitatif, ditanyakan juga bagaimana keadaan kehidupan keluarga nelayan. Pertanyaan kualitatif ini memberi 4 pilihan jawaban bagi responden, yang juga berupa data kualitatif. Ternyata hanya sekitar 34 persen menyatakan “biasa saja” dalam arti sama dengan waktu sebelumnya dan lebih dari 64 persen menyatakan meningkat. Hanya sekitar 2 persen yang menyatakan semakin buruk (Tabel 10), sesuatu yang ironi di kalangan nelayan.

Tabel 10. Keadaan Pendapatan dan Kehidupan Keluarga Nelayan

No.

Keterangan

Keadaan pendapatan :

1. Meningkat

2. Sama dengan sebelumnya

Keadaan kehidupan keluarga:

1. Biasa saja

2. Semakin baik

3. Semakin menurun

53 100,0 Sumber : Data primer (diolah).

Jumlah

b. Kemampuan Membiayai Pendidikan Anak, Perobatan, dan Menabung

Ada tidaknya perbaikan dalam kehidupan ekonomi nelayan dapat juga dilihat dari kemampuan mereka untuk membiayai pendidikan anaknya, biaya perobatan, dan menabung. Bila pendapatan nelayan meningkat karena ikan pora-pora, maka kemampuan membiayai pendidikan anak akan meningkat pula. Hampir 65 persen menyatakan demikian. Sementara itu sekitar 53 persen menyatakan kemampuan membiayai perobatan meningkat serta sekitar 32 menyatakan kemampuan menabungnya meningkat (Tabel 11). Kemampuan meningkatkan pendidikan, perobatan dan menabung adalah gambaran dari adanya kenaikan penghasilan kaum tani sesudah menggeluti penangkapan ikan pora-pora.

Tabel 11. Kemampuan Membiayai Pendidikan, Perobatan, dan Menabung

No.

Keterangan

Membiayai pendidikan anak :

1. Meningkat

2. Sama dengan yg lalu

Membiayai perobatan:

1. Bertambah

2. Sama dengan yang lalu

Kemampuan menabung:

1. Meningkat

2. Sama dengan yg lalu

53 100,0 Sumber : Data primer (diolah).

Jumlah

c. Polis dan Jenis Harta Lain yang Bertambah

Polis asuransi dapat dianggap sebagai barang sekunder bagi kaum tani apalagi bagi petani gurem yang tinggal di daerah perdesaan, karena sangat kecil kemungkinan mereka untuk membayar preminya. Sebagai salah satu bentuk proteksi, sesorang dapat memilih asuransi jiwa, pendidikan, kesehatan, atau yang lainnya tergantung pada pilihan dan kemampuannya untuk membayar premi. Selain karena kurangnya informasi, barangkali ketidakmampuan untuk membayar premi menjadi salah satu penyebab mengapa penduduk daerah perdesaan sangat Polis asuransi dapat dianggap sebagai barang sekunder bagi kaum tani apalagi bagi petani gurem yang tinggal di daerah perdesaan, karena sangat kecil kemungkinan mereka untuk membayar preminya. Sebagai salah satu bentuk proteksi, sesorang dapat memilih asuransi jiwa, pendidikan, kesehatan, atau yang lainnya tergantung pada pilihan dan kemampuannya untuk membayar premi. Selain karena kurangnya informasi, barangkali ketidakmampuan untuk membayar premi menjadi salah satu penyebab mengapa penduduk daerah perdesaan sangat

Gambaran naiknya pendapatan nelayan sesudah menggeluti penangkapan ikan pora-pora dapat juga dipantau dari jenis-jenis harta lain yang dimiliki. Lebih dari 75 persen menyatakan jenis hartanya bertambah sesudah menggeluti penangkapan ikan pora-pora. Ada yang menambah perabot rumahtangga, membeli sepeda motor, membeli TV, merehabilitasi rumah, membeli tanah (Tabel 12) dan bahkan membangun rumah baru. Menurut informan, yang membangun rumah baru antara lain Abner Bakara (A. Lisda Bakara), A. Fitri Hutasoit, Nimrot Purba, dan beberapa orang lain. Secara singkat, yang paling dirasakan kaum tani dan sekaligus menjadi nelayan adalah meningkatnya konsumsi, kemampuan membiayai sekolah anak, dan kemampuan menabung.

Tabel 12. Kepemilikan Polis Asuransi dan Harta Lainnya

No

Keterangan

Pemilikan polis asuransi:

2. Ada rencana memiliki

3. Tidak ada rencana

Jenis harta yang bertambah:

1. Perabot rumahtangga

2. Sepeda motor

3. Rumah baru

4. Rehabilitasi rumah

5. Membeli tanah

6. Membeli TV

7. Usaha lain

8. Tidak ada

53 100,0 Sumber : Data primer (diolah).

Jumlah

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa butir kesimpulan. Pertama, pada umumnya pendapatan kaum tani yang menggeluti penangkapan ikan pora-pora meningkat dan keadaan kehidupan ekonomi keluarga pun meningkat. Kedua, sesudah menggeluti penangkapan ikan pora-pora, kemampuan keluarga untuk membiayai pendidikan anak, membiayai perobatan, dan juga kemampuan menabung meningkat. Ketiga, dampak lain dari tambahan pendapatan kaum tani dari ikan pora-pora adalah bertambahnya kepemilikan harta termasuk polis asuransi.

4.4. Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial dan Lahan Pertanian

Implikasi dari penangkapan ikan pora-pora dapat dinilai dari kehidupan social dan pengusahaan lahan pertanian.

a. Kehadiran dan Kepedulian dalam Acara Suka dan Dukacita

Adat-istiadat pada acara suka maupun duka tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sosial masyarakat setempat. Salah satu acara sukacita adalah pesta perkawinan yang pada umumnya melibatkan horja. Acara ini diikuti penduduk dari satu atau dua desa yang berdekatan atau penduduk yang diikat oleh hubungan kekerabatan (marga). Demikian juga dengan acara adat bagi Adat-istiadat pada acara suka maupun duka tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sosial masyarakat setempat. Salah satu acara sukacita adalah pesta perkawinan yang pada umumnya melibatkan horja. Acara ini diikuti penduduk dari satu atau dua desa yang berdekatan atau penduduk yang diikat oleh hubungan kekerabatan (marga). Demikian juga dengan acara adat bagi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir 42 persen responden menyatakan tingkat kehadiran dan kepedulian termasuk memberikan uang (tumpak) dalam acara sukacita atau dukacita meningkat setelah ada tambahan pendapatan dari penjualan ikan pora-pora. Terdapat sekitar 32 persen responden mengatakan bahwa tingkat kehadiran dan kepedulian dalam mengikuti acara sukacita dan dukacita adalah sama dengan sebelumnya. Hal ini dapat terjadi, karena pada masa sebelum penangkapan ikan pora-pora, sebagian besar pendapatan yang mereka peroleh masih digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok, sehingga tambahan pendapatan yang diperoleh masih digunakan untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga. Namun data yang masih diragukan kebenarannya adalah adanya satu orang responden menyatakan kehadiran dan kepedulian mengikuti acara sukacita dan dukacita justru menurun (Tabel 13). Kemungkinan penyebabnya adalah karena terlalu sibuk dengan pekerjaan penangkapan ikan pora-pora sehingga hampir tidak ada waktu untuk mengikutinya. Selain itu, ada kalanya hanya istri yang menghadirinya.

Tabel 13. Kehadiran dan Kepedulian Dalam Acara Suka dan Duka

No.

Keterangan

1. Sama dengan yg lalu

4. Tidak tahu

53 100,0 Sumber : Data primer (diolah).

Jumlah

Seorang informan menambahkan, bahwa peningkatan kehadiran dan kepedulian masyarakat dalam mengikuti acara sukacita semakin nampak dengan melihat wajah yang bersemangat sambil menikmati kopi dari sebagian mereka di warung-warung kopi yang dekat dengan lokasi acara pesta, karena telah menerima uang hasil penjualan ikan. Namun ketika harga ikan pora-pora menurun, wajah letih seperti kurang bersemangat sangat mudah kelihatan baik di warung-warung kopi maupun dalam hal memberian bantuan uang, kata informan menambahkan. Data ini menunjukkan terdapat indikasi kuat bahwa adanya peningkatan pendapatan akan memotivisi penduduk ikut dan berpartisipasi dalam acara-acara dimaksud.

b. Kehadiran dan Partisipasi Masyarakat dalam Acara Keagamaan/Gereja

Sebelum penduduk menganut agama Kristen, upacara keagamaan yang dilaksanakan adalah memuja Mulajadi Nabolon melalui apa yang dinamakan dengan upacara mangase taon. Upacara ini adalah sakral untuk memuja pencipta alam semesta sehubungan dengan sektor pertanian. Masyarakat merasa wajib untuk melaksanakan upacara ini karena hasil pertanian melimpah ruah dan mermohon agar pada masa panen berikutnya hasil pertanian mereka tetap diberkati. Upacara mangase taon dipimpin oleh Parbaringin, yang menurut para tetua adalah atas anjuran Si Singamangaraja (Sijabat, 2002; Purba, 2007). Namun upacara serupa itu lama kelamaan ditinggalkan penduduk sehubungan dengan semakin banyaknya penduduk yang menganut agama Kristen.

Sesudah kekristenan, upacara keagamaan adalah acara ritual Kristen. Selain ikut dalam acara kebaktian setiap minggu, termasuk acara keagamaan adalah pesta pembangunan gereja.

Makna kehadiran dalam penelitian ini adalah keikutsertaan mereka dalam acara keagamaan, yakni mengikuti kebaktian minggu dan acara kebaktian hari-hari besar agama Kristen. Sedangkan arti partisipasi adalah adanya dukungan material bagi upacara keagamaan tersebut, yang akan digunakan majelis gereja untuk meningkatkan pelayanan kepada jemaat. Hasil penelitian menunjukkan lebih dari 90 persen responden melakukan aktivitas penangkapan ikan pora-pora pada hari Senin sampai Minggu. Namun hanya sekitar 9 persen dari responden mengatakan tingkat kehadiran dan kepedulian mereka dalam menghadiri acara keagamaan mengalami penurunan. Hal yang patut dibanggakan adalah adanya sekitar 53 persen responden yang tingkat kehadiran dan kepedulian mereka dalam mengikuti acara keagamaan/gereja meningkat dan sekitar 23 persen mengatakan sama saja dengan keadaan yang sebelumnya (Tabel 14).

Tabel 14. Kehadiran dan Partisipasi Dalam Acara Keagamaan

Keterangan

1 Sama dengan yang lalu

4 Tidak tahu

53 100,0 Sumber: Data primer (diolah)

Jumlah

c. Kunjungan Silaturahmi dengan Sanak Saudara

Frekuensi kunjungan silaturahmi dengan sanak keluarga terutama yang berada di luar kota pada umumnya adalah sesuatu yang jarang dilakukan. Alasannya antara lain adalah membutuhkan biaya yang besar dalam perjalanan dan mengganggu waktu untuk melakukan pekerjaan rutin, terutama di bidang pertanian yang tidak boleh tertunda karena tergantung kepada musim. Hasil penelitian menunjukkan sekitar 40 persen menyatakan melakukan hubungan silaturahmi dengan sanak saudara terutama yang berada di luar kota sama seperti sebelum melakukan kegiatan penangkapan ikan pora-pora. Hampir 42 persen menyatakan semakin jarang karena terlalu sibuk dalam kegiatan penangkapan ikan pora-pora (Tabel 15). Meninggalkan pekerjaan selama sehari atau lebih, mungkin dirasakan kaum nelayan sebagai “sia- sia” atau menghilangkan pendapatan karena pekerjaan ini berbeda dengan pertanian padi sawah atau tanaman bawang, dimana hasilnya dapat diterima setiap hari.

Walaupun cukup banyak yang menyatakan “semakin jarang” namun ada juga yang menyatakan “sering” atau meningkat oleh hampir 20 persen responden. Jawaban yang terakhir ini bermakna positif dalam hubungan silaturahmi dengan sanak keluarga. Meninggalkan pekerjaan sehari atau dua hari tidak dinilai tidak lebih besar nilainya dibandingkan dengan semakin eratnya hubungan silaturahmi. Selain itu, juga memberi arti bahwa kunjungan silaturahmi dengan sanak keluarga tidak boleh dikurangi kendatipun semakin banyak pekerjaan yang bernilai ekonomis.

Tabel 15. Tingkat Frekuensi Kunjungan Silaturahmi

Keterangan

1 Sama dengan yang lalu

2 Semakin sering

3 Semakin jarang

53 100,0 Sumber : Data primer (diolah)

Jumlah Jumlah

Dari data Tabel 16 menunjukkan terdapat hampir 72 persen responden menyatakan tidak ada jenis usahatani yang ditinggalkan walaupun mereka telah menggeluti penangkapan ikan pora-pora. Mereka tetap mengerjakan semua jenis usahatani sebelumnya adalah dengan dua alasan utama. Pertama, karena tidak terganggu waktunya walaupun melakukan pekerjaan menangkap ikan pora-pora (sekitar 30 persen). Alasan ini terutama adalah bagi keluarga responden yang dalam melakukan penangkapan ikan pora-pora dilakukan oleh suami sehingga istri dan anggota keluarga lainnya dapat mengunakan waktu untuk mengelola usahatani mereka. Kedua , karena pendapatan dari hasil penjualan ikan pora-pora tidak mencukupi kebutuhan keluarga sehingga mereka tetap mengerjakan semua jenis usahatani sebelumnya, yakni oleh sekitar 41 persen responden.

Tabel 16. Ada Tidaknya Usahatani yang Ditinggalkan Responden Setelah Menekuni Penangkapan Ikan Pora-pora

% No

Keterangan

1 Tidak ada jenis usahatani yang ditinggalkan

a. Alasan tidak terganggu waktu

b. Alasan pendapatan dari penangkapan ikan pora-

pora tidak cukup

2 Ada jenis usahatani yang ditinggalkan

a. Alasan tidak cukup waktu

b. Alasan pendapatan dari penangkapan ikan pora-

pora sudah mencukupi

c. Alasan lainnya

Dokumen yang terkait

PERATURAN KEPALA BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERTANIAN NOMOR : 112PerOT.140J1014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KLASIFIKASI BALAI PENYULUHAN PERTANIAN PERIKANAN DAN KEHUTANAN (BP3K) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PEN

0 1 52

STUDI TENTAhIG RUGI-RUGI DAYA DAN TEGANGAN PADA JARINGAN DISTRIBUSI TEGANGAT{

0 2 15

PENGARUH IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI LINGKUNGAN DINAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA PROPINSI SUMATERA UTARA

0 0 87

PENGARUH MOTIVASI DAN KREATIFITAS KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA PADA KANTOR DINAS PEMERINTAH KABUPATEN TOBA SAMOSIR

0 2 92

PENGARUH MOTIVASI KERJA, KOMITMEN KERJA DAN PENINGKATAN MUTU TERHADAP KINERJA GURU.pdf

0 7 131

LAPORAN PENELITIAN PERBANDINGAN PENERIMAAN PAJAK SEBELUM DAN SESUDAH SUNSET POLICY PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK (KPP) MEDAN TIMUR Peneliti :

0 0 62

LAPORAN HASIL PENELITIAN ANALISA PENGARUH KEPUASAN KERJA, KEPEMIMPINAN, DAN KEMAMPUAN PEGAWAI TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PEGAWAI BALAI PELAYANAN PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA (BP3TKI) MEDAN

0 0 71

JURNAL EKONOMI DAN BISNIS

0 2 58

ANALISIS SEKTOR BASIS DAN POTENSI EKONOMI DI KABUPATEN DELI SERDANG Marlina Mahdalena Fakultas Ekonomi Universitas HKBP Nommensen Parulian Simanjuntak Fakultas Ekonomi Universitas HKBP Nommensen Nancy Nopeline Fakultas Ekonomi Universitas HKBP Nommensen A

0 0 10

DAMPAK EKONOMI DAN SOSIAL PENANGKAPAN IKAN PORA-PORA ( Pontius Binotatus) DAN IMPLIKASINYA BAGI SEKTOR PERTANIAN DI KECAMATAN BAKTI RAJA, KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN Parulian Simanjuntak

0 0 19