Ketoprak Dor di Sumatera Utara: Analisis Pertunjukan, Tekstual dan Musik

50
BAB II
MASYARAKAT JAWA DELI DAN KEBUDAYAANNYA

2.1 Istilah Deli
Deli ialah nama kesultanan Melayu mempunyai corak Islam yang berkuasa
di Medan dan sekitarnya pada periode sekitar abad 17 sampai pertengahan abad
20 Masehi. Menurut Avan (2012:42-43) sebutan Deli menunjuk kepada
keseluruhan wilayah yang berada dalam kekuasaan Deli yang merujuk pada nama
resmi kesultanan diwilayah tersebut.
Berkat makmur dan berkembangnya kampung Medan Putri sebagai pusat
koloni kebun di Deli orang-orang lebih mengidentikkan Medan sebagai Deli.
Pamor Labuhan sebagai ibukota Deli mulai meredup perlahan-lahan. Deli
memang telah menjadi koloni Holland (Belanda) yang paling menonjol di
Sumatera Timur. Hindia Belanda yang berpusat di Buitenzorg dan berorientasi ke
pulau Jawa menyebut tempat ini sebagai Het Dollar Landsh. Het Dollar Landsh
adalah sebutan untuk koloni Deli yang berarti Tanah Dolar.
Sedangkan menurut Takari (2012:1-2) istilah Deli merujuk kepada
pengertian kerajaan atau kesultanan yang ada di Sumatera Utara, dengan ikonnya
yaitu Istana Maimun dan Mesjid Raya Al-Maksun. Deli juga merujuk kepada
pengertian Sumatera Timur (Oostkust van Sumatra), yang meliputi kawasankawasan Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan,dan Labuhanbatu pada masa

sekarang ini.

Universitas Sumatera Utara

51

Gambar 2.1
Peta Sumatera Timur
(sum
(sumber Langenberg dalam Takari, 2012)

ya sebagai wilayah
Selain itu istila
tilah Deli juga merujuk kepada pengertiannya
ra yang memiliki
kebudayaan masyarak
rakat Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara
beberapa kesultanan,
an, yang pernah berjaya mengalami masaa keemasan, dan
kemudian mengalami

mi “penurunan” kekuasaan, terutama dalam ko
konteks revolusi
sosialdan pascanya..
Istilah Delii ddigunakan untuk berbagai atributmulai ddari perusahaan
Belanda seperti tembbakau Deli, karet Deli, Deli Spoorweg Mats
atschaapij (DSM),
Deli Rubberplanters
rs Vereeniging, sampai kepada sebutan mer
erantau ke Deli,
Melayu Deli, Jawa D
Deli, irama Melayu Deli, lagak Deli, guit Del
eli, mentiko Deli,
gaya Deli, dan lain-lai
-lainnya.

Universitas Sumatera Utara

52

Gambar 2.2

enjadi
Sepasang
ng Singa, Mahkota, dan Tembakau yang Menj
Lambang Ibu Koloni Tembakau
(Dokumentasi Alexander Avan)

atera Timur (East
Deli juga merupa
erupakan salah satu bagian dari wilayah Sumat
Coast of Sumatra).
ra). W
Wilayah Sumatera Timur terbentang darii pperbatasan Aceh
sampai kerajaan Sia
agai berikut: (1)
iak mempunyai batas-batas geografis sebag
sebelah utara dann ba
barat berbatasan dengan wilayah Aceh; (2) sebelah timur
berbatasan dengan S
Selat Melaka; (3) sebelah selatan dan teng
nggara berbatasan

dengan daerah Riau;
u; dan (4) sebelah barat berbatasan dengan da
daerah Tapanuli
(Volker 1928:192-193
193). Luasnya 94.583 km² atau sekitar 20% (dua puluh persen)
dari luas pulau Suma
matera (Pelzer,1985:31). Diantara daerah Ace
ceh di utara serta
Riau di selatan dan tenggara inilah terletak kesultanan-kesu
esultanan Melayu
Sumatera Timur.14

14

Tentang perkem
kembangan Sumatera Timur ini dapat dilihat dari tulis
lisan Takari, Zaidan,
dan Fadlin (2012).

Universitas Sumatera Utara


53
2.2 Masyarakat Jawa Deli
2.2.1 Asal-usul masyarakat Jawa Deli
Perpindahan para pendatang dapat dikatakan sebagai gerak pindah
penduduk dari satu tempat ketempat lain dengan maksud mencari nafkah atau
menetap. Perpindahan para pendatang tersebut ada yang terjadi karena
didatangkan oleh seseorang atau suatu lembaga. Di sisi lain, perpindahan
dilakukan secara perseorangan atau secara berkelompok.
Menurut Sabrina (1999:1) kedatangan peminat-peminat Belanda ke Tanah
Deli bemula dari peranan seorang turunan Arab yang bernama Sayid Abdullah
Ibnu Umar Bilsagih pada awal tahun 1863. Pedagang tembakau yang pertama
sekali tertarik untuk menanam tembakau di Deli ialah Firma J.F van Leeuwen,
dan mengirim pegawainya antara lain Tuan Jacobus Nienhuys dari pulau Jawa
untuk datang ke Deli menggunakan kapal Josephine. Kemudian, Sultan Mahmud
memberikan kepada mereka tanah dekat Labuhan (Tanjung Sepassai) secara
erfpacht (kesepatana kontrak) selama 20 tahun. Walaupun mengalami berbagai
kesulitan, dengan ketabahan Neinhuys ternyata tembakau Deli yang dikirim ke
Rotterdam pada bulan Maret 1864 memberikan titik terang. Tembakau Deli
sangat baik sebagai pembalut cerutu, hoppig en god brandeddekblad.

Panen tembakau perdana pada tahun 1865 sukses dengan gemilang dan
menjadi perbincangan di Eropa karena mutunya yang sangat baik hingga terjual
189 pak daun tembakau dengan harga jual 149 sen/pound. Tersedianya lahan15
dan kualitas tembakau yang sangat baik kemudian mendorong minat pemodal15

Pada tanggal 7 Juli 1863, Sultan Deli memberikan tanah seluas 4.000 bahu (1
bahu=8.000m2).

Universitas Sumatera Utara

54
pemodal besar untuk menanamkan sahamnya di daerah ini. Untuk melanjutkan
usaha penanaman tembakau, Nienhuys menyediakan dana sebesar $10.000 dan
membentuk perusahaan perkongsian atau bekerja sama dengan P.W Jansen dan
G.C Clemen yang bernama Deli Maatschappij.
Suatu kenyataan sejarah menyebutkan bahwa pada tahun 1889 di Deli
telah terdapat 170 perkebunan tembakau, meskipun jumlah tersebut menurun
secara perlahan-lahan, seperti pada tahun 1914 tercatat 101 perkebunan. Pada
tahun 1930 terdapat 72 perkebunan tembakau dan pada tahun 1940 tercatat 43
perkebunan tembakau.

Tabel. 2.1
Jumlah Perkebunan di Sumatera Timur
dari Tahun 1864-1904
Tahun
Jumlah Perkebunan
1864
1
1873
13
1874
23
1876
40
1881
67
1883
74
1884
76
1885

88
1886
104
1887
114
1888
141
1889
153
1891
169
1892
135
1893
124
1894
111
1900
139
1904

114
(sumber: Breman dalam Damanik, 1997:1)

Universitas Sumatera Utara

55
Suksesnya produksi tersebut didukung oleh tenaga kerja (buruh) yang
membuka lahan, memelihara, memproduksi, serta membuat fasilitas-fasilitas
perkebunan. Tenaga setempat (masyarakat yang mendiami wilayah Sumatera
Timur) yang diharapkan ternyata mengalami kegagalan, karena umumnya
masyarakat tidak terbiasa bekerja sebagai buruh. Pada umumnya mereka terbiasa
bekerja di kebun sendiri yang cukup luas. Akibatnya dipakailah buruh Cina dari
Pulau Pinang dan India (Keling)16 yang berasal dari Semenanjung Malaya
(jajahan Inggris) untuk dijadikan pekerja.
Pada tahun-tahun berikutnya terlihat penurunan jumlah kuli Cina dan
India, hal ini disebabkan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk mendatangkan
mereka serta adanya proteksi oleh Inggeris. Selain itu, kuli-kuli Cina yang dikirim
seringkali adalah para penjahat yang terlibat kejahatan disana. Menurut Sinar
(1971:163) gaji para pekerja kuli kontrak ditaksir sekitar $3.50 sementara gaji
bersih pengusaha Belanda pada saat itu sekitar $60-$70. Terbukti dari seringnya

terjadi konflik sesama buruh maupun dengan pihak perkebunan. Pihak
perkebunan pun akhirnya mencari langsung tenaga kuli Cina ke negerinya, namun

16

Dalam buku ini, yang dimaksud Keling adalah merujuk kepada etnik Tamil dari India
bahagian selatan. Dalam kebudayaan masyarakat Nusantara ini, istilah Keling bukanlah
“penghinaan,” tetapi merujuk kepada orang yang secara fisik berkulit hitam. Bahkan di dalam
kebudayaan Melayu istilah Keling atau juga Hitam untuk menyebut seseorang yang berkulit hitam
dan memiliki aura khusus yang tidak didapat pada kulit sawo matang (warna kulit umum ras
Melayu). Misalnya di dalam kebudayaan Melayu, terdapat penggunaan nama yang menunjukan
hal tersebut seperti Datuk Zainak Keling, Wan Ahmad Zainal bin Megat Hitam, dan lain-lain.
Bahkan raja Deli yang pertama, yakni Tuanku Gocah Pahlawan, juga adalah dari etnik Tamil.
Dalam konteks kota Medan terdapat sebuah kampung orang-orang Tamil ini yang disabut dengan
Kampung Keling. Karena persepsi di kalangan orang Tamil bahwa Keling itu berkonotasi
merendahkan maartabat, maka ramai-ramailah mereka meminta ditukar istilah Kampung Keling
menjadi Kampung Madras, yang berlaku sejak 2000-an hingga kini. Namun hampir sebahagian
besr orang Medan, Sumatera Utara, dan lainnya lebih suka menggunakn istilah Kampung Keling.

Universitas Sumatera Utara


56
karena biaya transportasi dan agen kuli terlalu besar akhirnya usaha tersebut
dihentikan (Said, 1990:38).
Kondisi tersebut membuat pemilik perkebunan akhirnya menggunakan
jasa pencari kerja atau werk (dalam bahasa Inggris disebut broker) yang bernaung
dibawah AVROS (Algemeene Vereniging Rubberplanters Oostkust van Sumatra)
untuk mencari dan mendatangkan tenaga kerja serta buruh Jawa yang tersedia
dalam jumlah besar serta harganya yang relatif murah. Berdasarkan sifat dan
produktivitasnya, buruh-buruh Jawa ini tidak jauh berbeda dengan buruh Cina.
Pengambilan buruh ini sebahagian dilakukan dengan cara menipu dengan
menjanjikan upah yang besar. Ada pula yang dipaksa dengan menangkapi dan
disuruh menandatangani perjanjian yang mereka tidak tahu isinya dan dijanjikan
bujuk rayu dengan pemberian upah yang tinggi atau disebut dengan Penale
Sanctie17.
Jumlah buruh Jawa yang didatangkan pada tahun 1884, ada sekitar 1.771
kuli18, pada tahun 1900 sudah mencapai 25.224 jiwa, dan meningkat terus pada
tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 1929, kuli Jawa diperkebunan Sumatera
Timur telah mencapai 239.281 jiwa, dan pada tahun 1930 total penduduk Jawa di
daerah ini telah mencapai 589.836 jiwa atau 35% dari total penduduk Sumatera
Timur (Reid, 1987:850. Jumlah ini melebihi jumlah penduduk pribumi (Melayu,
Karo, Simalungun) yang berjumlah 580.879 jiwa (34,5%), sedangkan jumlah
17

Penale Sanctie ialah istilah yang digunakan oleh kolonial Holland (Belanda)
untuk para kuli kontrak yang disertai dengan peraturan-peraturan tentang hukuman atas
mereka (kuli kontrak). Lebih dalam dan rinci silahkan lihat Chatib (1995:10)
18
Istilah kuli atau koeli itu sendiri dari asal muasalnya bukan rendah. Ia hanya
bermakna “pengambilan upah,” dari bahasa Tamil dengan ejaan Inggriscooli. Orang yang
mengambil upah ini menggunakan kemampuannya dalam merampungkan sesuatu
pekerjaan yang diminta.

Universitas Sumatera Utara

57
orang Eropa hanya sekitar 11.079 Jiwa, Cina 192.882 jiwa, sedangkan India dan
timur asing lainnya berjumlah 18.904 jiwa.
Menurut Chatib (1995:10), sejak tahun 1911 dengan tiba-tiba kontrak
kerja Penale Sanctie berganti menjadi istilah kontrak kerja bebas. Kontrak kerja
bebas bermakna bahwa setelah kontrak berakhir, para kuli tidak bisa lagi
mendapatkan upah dari kolonial Belanda. Kehidupan tenaga-tenaga kerja
diperkebunan Sumatera Timur berada dibawah naungan pihak pengusaha
perkebunan dan terpisah dengan aktivitas masyarakat diluarnya.
Namun yang terjadi setelah sampai di daerah imigrasi adalah jauh dari
harapan mereka ketika masih ada di pulau Jawa. Karena sebenarnya semua biaya
keberangkatan dari daerah asal sampai ditempat imigrasi dibebankan kepada
mereka semua ditambah lagi dengan adanya judi, madat, pelacuran, serta sistem
feodal Belanda yang menambah beban hutang yang melilit mereka.
Seiring pertumbuhan dan perkembangan perkebunan terjadi mobilitas
penduduk yang tinggi kewilayah Deli. Pada awal abad ke-20 ada gelombang
penduduk dari Jawayang tidak merupakan bagian dari kuli kontrak. Mereka
adalah kelompok orang-orang Jawa priyayiyang datang karena berbagai
kepentingan tugas, baik tugas dinas maupun dagang. Orang-orang Jawa dari
kelompok ini tidak ingin meninggalkan kebudayaan yang mereka bawa dari tanah
asalnya. Interaksi antara Jawa Priyayi dengan orang Jawa perkebunan yang telah
keluar dari perkebunan dan telah tinggal di wilayah pinggiran perkotaan
dimungkinkan terjadi karena adanya perpindahan pemukiman para buruh Jawa
keluar daerah perkebunan.

Universitas Sumatera Utara

58
Tabel 2.2
Jumlah Populasi Kuli Kontrak 1884 Hingga 1929
Tahun
Cina
Jawa
dan lain-lain

1884
1900
1916
1920
1925
1929
21.136
58.516
43.689
23.900
26.800 25.934
1.771
25.224
150.392 212.400 168.400 239.281
1.528
2.460

2.000
1.500
1.019
(sumber: Reid dalam Damanik 1987:299)

Koeli kontrak ialah sebutan untuk perjanjian contract koeli19. Sebutan
ini kemudian lebih ditujukan kepada para pekerja kebun yang berasal dari
Jawa. Para kuli kontrak Jawa yang merupakan pekerja tua yang umumnya dari
generasi pertama, yang sejak lima puluh tahun terakhir berusaha menjauhkan diri
dari status kuli kontrak, dan kebanyakan dari mereka telah memusatkan usahanya
membangun rumah dan pekarangan sendiri untuk produksi pertanian kecil-kecilan
ditepi-tepi perkebunan atau diatas lahan yang diserobot dari perkebunan tersebut.
Setelah selesai dari kontrak dengan perkebunan para bekas kuli banyak
yang menjadi petani penyewa tanah dan banyak mendirikan permukiman yang
selalu disebut sebagai Kampung Jawa, atau menjadi tenaga kerja di kota-kota di
Sumatera Timur.

19

Istilah coentract koeli adalah nama perjanjian kerja yang isinya mengikat
pekerja kebun untuk patuh pada pengusaha perkebunan di Deli. Untuk lebih detil,
silahkan lihat tulisan Avan (2012:126).

Universitas Sumatera Utara

59
Tabel 2.3
Populasi Etnik di Sumatera Timur tahun 1930
Banyaknya
Jumlah (Jiwa)
Persen (%)
Eropa
11.079
0,7
China
192.822
11,4
India dan lainnya
18.904
1,1
SUBTOTAL NON222.805
13,2
PRIBUMI
Jawa
589.836
35
Batak Toba
74.224
4,4
Mandailing-Angkola
59.638
3,5
Minangkabau
50.677
3
Sunda
44.107
2,6
Banjar
31.266
1,8
Aceh
7.795
0,5
Lain-Lain
24.646
1,5
SUBTOTAL PENDATANG
882.189
52,3
Melayu
334.870
19,9
Batak Karo
145.429
8,6
Batak Simalungun
95.144
5,6
Lain-Lain
5.436
0,3
SUBTOTAL PRIBUMI
580.879
34,5
SUMATERA TIMUR
JUMLAH SELURUHNYA
1.685.873
100
(sumber: Reid dalam Simamora, 2011:47)

2.2.2 Persebaran masyarakat Jawa Deli
Suku Jawa menempati jumlah populasi penduduk terbanyak yakni berkisar
35% dari total penduduk di Sumatera Utara. Penyebab perpindahan suku Jawa ke
Sumatera Utara antara lain karena adanya gelombang transmigrasi baik yang
dilakukan oleh kolonialisme Belanda maupun oleh pemerintahan Orde Baru.
Program transmigrasi20 yang dicanangkan Belanda, sebagai bagian dari politik

20

Transmigrasi adalah salah satu bagian dari migrasi, yakni berpindahnya secara menetap
sekelompok orang ke tempat yang baru. Transmigrasi (dari bahasa Belanda: transmigratie) adalah
suatu program yang dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk memindahkan penduduk dari suatu
daerah yang padat penduduk (kota) ke daerah lain (desa) di dalam wilayah Indonesia. Penduduk

Universitas Sumatera Utara

60
etis atau politik balas budi juga. Hal ini mendorong orang Jawa untuk berpindah ke
berbagai wilayah di Indonesia terutama di Sumatera. Sedangkan pada masa orde
baru, perpindahan orang Jawa dilaksanakan dalam rangka mengurangi tingkat
kemiskinan didesa, kekurangan lahan pertanian serta kurangnya lapangan
pekerjaan. Selain itu alasan masuknya gelombang masyarakat Jawa karena faktor
kedinasan dalam pekerjaan serta faktor kemauan sendiri untuk mencari
peruntungan hidup.
Kampung Jawa di sana-sini dibangun sejak zaman dahulu, seperti didaerah
Deli terdapat permukiman orang Jawa kira-kira 500 orang yang disebut kota Jawa
(Luckman Sinar, 1985:6), dan daerah Asahan sekitar Pasir Putih dikatakan
sebagai pemukiman orang Jawa beberapa abad sebelum kunjungan John
Anderson (Anderson, 1971:136). Di Semanjung Malaya juga terdapat sejumlah
migrant orang Jawa yang kini sudah turun temurun dan menetap di situ, terutama
di negeri bagian Johor, Selangor, serta berbagai tempat lainnya, seperti Melaka,
Kedah, Perlis, dan lain-lain.
Awalnya, kedatangan suku Jawa di daerah ini adalah sebagai buruh yang
dipaksa bekerja sebagai budak pada perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara

yang melakukan transmigrasi disebut transmigran. Tujuan resmi program ini adalah untuk
mengurangi kemiskinan dan kepadatan penduduk di pulau Jawa, memberikan kesempatan bagi
orang yang mau bekerja, dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk mengolah sumber daya di
pulau-pulau lain seperti Papua, Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi. Kritik mengatakan bahwa
pemerintah Indonesia berupaya memanfaatkan para transmigran untuk menggantikan populasi
lokal, dan untuk melemahkan gerakan separatis lokal. Program ini beberapa kali menyebabkan
persengketaan dan percekcokan, termasuk juga bentrokan antara pendatang dan penduduk asli
setempat. Seiring dengan perubahan lingkungan strategis di Indonesia, transmigrasi dilaksanakan
dengan paradigma baru sebagai berikut: (1) Mendukung ketahanan pangan dan penyediaan papan;
(2) Mendukung kebijakan energi alternatif (bio-fuel), (3) Mendukung pemerataan investasi ke
seluruh wilayah Indonesia, (4) Mendukung ketahanan nasional pulau terluar dan wilayah
perbatasan, dan (5) Menyumbang bagi penyelesaian masalah pengangguran dan kemiskinan.

Universitas Sumatera Utara

61
disebabkan karena pada waktu itu perkebunan-perkebunan yang dikelola oleh
bangsa asing kekurangan tenaga kerja (1990:53).
Tabel 2.4
Persebaran Perkebunan Tembakau Deli Paruh Kedua Abad Ke-19
No
1
2

Tahun
1865
1869

3

1870

4

1871

5

1872

6

1873

7

1874

8

1875

9
10

1876
1878

11

1879

12

1880

13
14

1881
1882

Derah
Saint Cyrus (Bekala)
Martubung,
Sunggal,
Polonia,
Padang Boelan,
Klambir Lima
Bekalla
Gedong Johore
Petersburg (sukapiring)
Mariendal Estate
Two Rivers (Deli Toewa),
Rotterdam (Sialang Muda)
Medan Estate
Soengai Sikambing, SiPutih

Timbang Langkat
Helvetia
Sungai Beras dan Kloempang
(Terdjoen)
Bandar Klippa (Timbang Deli)
Arendsburg Soengai Bras
Patoembah (Patumbak)
Amplas,
Tandjong Djati Langkat
Paija Bacon (Paya Bakong)
Tabaksonderneming Deli
Toewa Toentoengan
(Tuntungan)
Gloegoer (Glugur) Bekri
Kwala Begumit
Tandem Langkat
Belawan
Gambir dan Leoning
Loeboek Dalam

Nama Perusahaan
Geo Wehry & Co
Deli Maatschappij
Deli Maatschappij
Langkat Association
Amsterdam Deli Company
Arendsburg
Deli Maatschappij
Deli Batavia Maatschappij
Deli Maatschappij
Deli Maatschappij
Baron Baud Association
Deli Maatschappij& Ritgen
Cremer
Deli Maatschappij
MedanTabaksmaatschappij
kemudian bekerja sama
dengan
Tabaks
Maatschappi Franco Deli.
Deli Batavia Maatschappij
Deli Batavia Maatschappij
Onderneming Kloempang
Deli Maatschappij
TabakMaatschappij
Arendsburg
Senembah Maatschappij
Amsterdam Deli Company
Deli Maatschappij
Deli Maatschappij
Deli Mij

Amsterdam Deli Company
Deli Maatschappij
Deli-Batavia Maatschappij
Deli Mij
P en G de Guigne
Deli Maatschappij

Universitas Sumatera Utara

62
Mabar
Boeloeh Tjina (Buluh Cina)
15
16

1883
1884

17

1889

18

1890

19

1896

Oscar Eckels & Werner
Weber
Deli Maatschappij
Deli-Batavia Maatschappij
Arendsburg
Arendsburg

Tandem Hilir
Soengai Krio
Tabaksonderneming Soengai
Mentjirim (Sungai Mencirim)
Poengai dan Tanjong Morawa
Deli Mij
Kala Hoen Pinang
Amsterdam Deli Company
Namoe Oekoer (Namu Ukur)
Deli Maatschappij
Sampali
Deli Maatschappij
Klambir Lima
Deli Maatschappij
Sumber. www.tembakaudeli.blogspot.co.id

Dari penjelasan tabel di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada setiap
perkebunan yang dibangun para kuli kontrak Jawa atau masyarakat Jawa memiliki
peran penting hingga saat ini masyarakat Jawa banyak sekali dijumpai di daerahdaerah tersebut. Kemudian seiring perkembangan zaman, masyarakat Jawa Deli
mulai berkembang, baik itu dalam segi perekonomian, ilmu pengetahuan,
teknologi dan kehidupan sosialnya. Merekapun kemudian keluar dari perkebunan
dan bekerja sesuai keinginan dan keahliannya masing-masing.
Seiring dengan pertambahan waktu, kehidupan ekonomi masyarakat Jawa
di Sumatera Utara mengalami perkembangan yang cukup pesat. Saat ini orang
Jawa ditempat ini telah menggeluti berbagai bidang pekerjaan seperti; Gubernur,
Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara (TNI), Polisi (POLRI), wiraswasta,
mekanik, buruh, petani, seniman, akademisi, politisi dan sebagainya.21

21

Menurut Takari (2008:182) dalam buku Masyarakat Kesenian di Indonesia
dijelaskan bahwa Orang-orang Jawa yang ada di Sumatera Timur (Sumatera Utara
sekarang), secara umum mengalami transformasi-transformasi budaya. Di satu sisi
mereka ingin mempertahankan budaya leluhurnya yang berasal daripada pulau Jawa,
di sisi lain mereka juga harus berinteraksi dengan berbagai etnik setempat dan
pendatang lainnya di Sumatera Timur yang pesat perkembangan ekonominya.

Universitas Sumatera Utara

63

Gambar 2.3
Keberadaan Jawa Deli di Desa Kampung Kolam
Kabupaten Deli Serdang

Dengan persebaran masyarakat Jawa yang sangat luas, mereka kemudian
membuka suatu lahan untuk dijadikan kampung dan biasanya langsung diberi
nama, seperti Kelurahan Karangsari yang ada di kota Medan. Kampung Jawa di
Pematang Siantar, dan masih banyak lagi daerah-daerah yang diberi nama oleh

Orang-orang Jawa ini mata pencaharian utamanya secara umum adalah petani dengan
menggarap lahan untuk perkebunan kelapa sawit, getah (karet), koko (coklat), atau juga
kelapa. Diantara tokoh-tokoh masyarakat Jawa yang terkenal di Sumatera Utara
diantaranya adalah Dr. Budi Agustono, M.S. sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU,
Drs. Kasim Siyo, M.Si., sebagai presiden Pujakesuma Sumatera Utara, kemudian Wagirin
Arman seorang tokoh politik dan aggota parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat) di
Kabupaten Deli Serdang dan kini ketua DPR Sumatera Utara dari Partai Golkar, Djati
Oetomo, manejer radio Pasopati Medan yang menyiarkan khas budaya Jawa, Prof. Dr.
Subanindyo Hadiluwih, S.H, seniman, dosen, dan penulis terkemuka mengenai
kebudayaan Jawa di Sumatera Utara, dan banyak lagi yang lainnya. Dibidang kesenian,
umumnya kebudayaan Melayu di kawasan ini paling banyak didukung oleh seniman
beretnik Jawa ini, di samping seniman Melayu itu sendiri. Diantara seniman-seniman seni
Melayu yang berasal dari etnik Jawa adalah: Sirtoyono yang bergabung dengan kumpulan
kesenian Patria, ia seniman serba bisa, pemusik, penari, koreografer, pelakon, dan penulis
drama sekali gus. Seterusnya adalah Sumardi, sebagai pemain akordion Melayu yang
handal. Di sisi lain ada pula Retno Ayumi, seorang penulis tari dan penari Melayu
terkemuka di Sumatera Utara, dan masih banyakyang lainnya.

Universitas Sumatera Utara

64
suku Jawa yang ada di Sumatera Utara. Disana-sini kampung-kampung Jawa
dibangun dengan nama asal Jawa seperti Desa Sukamulya, Desa Tanjungsari, Sei
Babalan, Tanah Jawa, dan lain-lain meniru nama daerah asal di Jawa.

2.2.3 Religi dan kepercayaan
Menurut Koentjaraningrat (1995:295), suatu sistem religi dalam suatu
kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi
keagamaan itu diantara pengikut-pengikutnya. Dengan demikian, emosi
keagaaman merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga
unsur lain yaitu: (1) sistem keyakinan, (sistem upacara keagamaan), (c) suatu
umat yang menganut religi itu. Mayoritas masyarakat Jawa di Sumatera Utara
adalah pemeluk agama Islam. Berdasarkan tingkat kemurnian dan ketaatan
agamanya, masyarakat Jawa membedakan pemeluk agama menjadi dua
kelompok, yaitu: (1) Wong Putihan, yaitu orang-orang Jawa yang taat
menjalankan ajaran Islam; (2) Wong Lorek, yaitu orang yang yakin terhadap
ajaran agama Islam tetapi tidak menjalankannya secara penuh, bahkan kadangkadang mencampurkan unsur-unsur di luar Islam.
Menurut Naiborhu (2016:18-19), berbagai upacara yang dilakukan oleh
masyarakat Jawa, baik berdasarkan kemurnian agama maupun percampuran
antara agama dan budaya (sinkritisme) ialah upacara perkawinan, selametan, dan
lain-lain. Secara tradisional, orang Jawa percaya kepada kekuatan yang melebihi
kemampuan manusia, yaitu kasakten (arwah atau mahluk-mahluk halus).
Dipercaya bahwa mahluk halus tersebut dapat mendatangkan kebahagian dan

Universitas Sumatera Utara

65
keberuntungan, dan sebaliknya dapat juga mendatangkan gangguan bahkan
kematian. Untuk mengatasi gangguan tersebut dilakukan upacara berpuasa,
berpantang, selamatan dan bersaji dengan maksud agar terhindar dari gangguangangguan pikiran bahkan kemungkinan kematian yang diakibatkannya.
Sedangkan kepercayaan berasal dari kata “percaya” adalah gerakan hati
dalam menerima sesuatu yang logis dan bukan logis tanpa suatu beban atau
keraguan sama sekali kepercayaan ini bersifat murni. Kata ini mempunyai
kesamaan arti dengan keyakinan dan agama akan tetapi memiliki arti yang sangat
luas.
Orang Jawa telah mengenal dan mengakui adanya Tuhan jauh sebelum
agama masuk ke Jawa ribuan tahun yang lalu dan sudah menjadi tradisi sampai
saat ini yaitu agama Kejawen yang merupakan tatanan pugaraning urip atau
tatanan hidup berdasarkan pada budi pekerti yang luhur. Keyakinan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa pada tradisi Jawa diwujudkan berdasarkan pada sesuatu
yang nyata lalu kemudian direalisasikan pada tata cara hidup dan aturan positif
dalam kehidupan masyarakat Jawa, agar hidup selalu berlangsung dengan baik
dan bertanggung jawab.
Kejawen adalah sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dikatakan agama
yang terutama yang dianut di pulau Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap
di Jawa. Ciri khas dari agama Kejawen adalah adanya perpaduan antara animisme,
agama hindu dan budha. Menurut Geetz (2000:142) penggolongan kepercayaan
masyarakat Jawa terbagi menjadi 3 (tiga) tipe kebudayaan yaitu:

Universitas Sumatera Utara

66
1.

Abangan
Struktur sosial desa biasanya diasosiasikan kepada para petani, pengrajin,

dan buruh kecil yang penuh dengan tradisi animisme upacara slametan,
kepercayaan terhadap makhluk halus, tradisi pengobatan, sihir, dan menunjuk
kepada seluruh tradisi keagamaan abangan. Dalam tradisi slametan dikenal
adanya siklus slametan: (1) yang berkisar krisis kehidupan (2) yang berhubungan
dengan pola hari besar Islam namun mengikuti penanggalan Jawa, (3) yang terkait
dengan intregasi desa, dan (4) slametan untuk kejadian yang luar biasa yang ingin
dislameti. Kesemuanya betapa slametan menempati setiap proses kehidupan dunia
abangan. Slametan berimplikasi pada tingkah laku sosial dan memunculkan
keseimbangan emosional individu karena telah dislameti.

2.

Santri
Perbedaan yang mencolok antara abangan dan santri adalah jika abangan

tidak acuh terhadap doktrin dan terpesona pada upacara. Sementara santri lebih
memiliki perhatian terhadap doktrin dan mengalahkan aspek ritual Islam yang
menipis. Untuk mempertahankan doktrin santri, mereka mengembangkan pola
pendidikan yang khusus dan terus menerus. Diantaranya pondok (pola santri
tradisional), langgar, dan masjid (komunitas santri lokal), kelompok tarekat
(mistik Islam tradisional) dan sistem sekolah yang diperkenalkan oleh gerakan
modernis. Kemudian memunculkan varian pendidikan baru dan upaya santri
memasukan pelajaran doktrin pada sekolah negeri.

Universitas Sumatera Utara

67
3.

Priyayi
Dalam kebudayaan Jawa, istilah priyayi atau “berdarah biru” merupakan

satu kelas sosial yang mengacu kepada golongan bangsawan. Suatu golongan
tertinggi dalam masyarakat karena memiliki keturunan dari keluarga kerajaan.
Kelompok ini menunjuk pada elemen Hinduisme lanjutan dari tradisi keraton
Hindu-Jawa. Sebagai halnya masyarakat keraton, maka priyayi lebih menekankan
pada kekuatan sopan santun yang halus, seni tinggi, dan mistisme intuitif dan
potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk mengisi
birokrasi pemerintahannya. Kepercayaan-kepercayaan religius para abangan
merupakan campuran khas penyembahan unsur-unsur alamiah secara animis yang
berakar dalam agama-agama Hinduisme yang semuanya telah ditumpangi oleh
ajaran Islam.
Mayoritas masyarakat Jawa Deli tidak menganut sistem kebudayaan
seperti diatas. Sebagian besar masyarakat Jawa Deli menganut sistem kepercayaan
Abangan. Hal ini disebabkan riwayat dari kedatangan masyarakat Jawa ke
Sumatera Utara yaitu dari golongan petani dan pekerja serta tidak memiliki
pendidikan yang tinggi. Sedangkan sistem kepercayaan santri hanya minoritas
dari jumlah penduduk Jawa Deli. Jawa santri yang ada di Sumatera Utara adalah
orang Jawa yang sengaja menuntuk ilmu keagamaan dengan cara belajar khusus
ke pesantren-pesantren lalu dikembangkan dilingkungan masyarakat. Seperti yang
terdapat pada perkumpulan pengajian Jawa Deli yaitu MTA (Majelis Tafsir
Alquran) yang terdapat didesa Lau Dendang Kabupaten Deli Serdang.

Universitas Sumatera Utara

68
2.2.4 Bahasa
Bahasa merupakan sarana komunikasi dan interaksi yang sangat penting
dalam kehidupan masyarakat. Bahasa mempunyai peranan yang cukup signifikan
dalam pergaulan dalam masyarakat. Tanpa bahasa, hubungan dalam masyarakat,
baik hubungan yang bersifat vertikal maupun horisontal tidak akan berjalan
dengan lancar. Bahasa merupakan sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat
arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi. Bahasa merupakan sebuah
sistem, yang artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola
secara tetap dan dapat dikaidahkan. Setiap lambang dari bahasa itu mengandung
makna atau konsep. Jadi apabila seseorang berbicara dengan orang lain, maka
orang lain tersebut akan mengerti tentang konsep atau makna yang disampaikan
oarang yang bericara, karena dalam dialog tersebut menggunakan bahasa.
Selain digunakan sebagai alat komunikasi, bahasa juga bisa mempunyai
fungsi untuk membedakan tingkatan sosial yang ada di masyarakat. Misalnya
dalam bahasa Jawa sendiri, mempunyai beberapa tingkatan-tingkatan bahasa
untuk membedakan status sosial maupun membedakan dari segi usia lawan bicara
Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa daerah di Indonesia yang masih hidup dan
berkembang atau selalu mengalami perubahan dari masa ke masa dan sampai saat
ini masih digunakan di Jawa Tengah. Bahasa Jawa merupakan salah satu
kekayaan budaya bangsa banyak memiliki variasi, yaitu salah satunya adalah
variasi dialek.
Suku Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur
sehari-hari. Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi

Universitas Sumatera Utara

69
berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan
unggah-ungguh22. Bahasa Jawa memiliki banyak tingkatan derajat penyampaian
pada orang lain, tetapi sekarang di sederhanakan menjadi 3 tingkatan yaitu:
1. Bahasa krama inggil (digunakan pada percakapan dengan orang yang
lebih tua);
2. Kramal madya (digunakan untuk lebih sopan pada seumuran);
3. Ngoko (bahasa yg digunakan kepada orang seumuran).
Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya
Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di
masyarakat. Mayoritas orang Jawa menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa
sehari-hari. Sebagian lainnya menggunakan bahasa Jawa yang bercampur bahasa
Indonesia. Bahasa Jawa bisa dikatakan bahasa yang rumit karena selain memiliki
tingkatan berdasarkan siapa yang diajak bicara, bahasa Jawa juga memiliki
perbedaan dalam hal intonasi. Aspek bahasa ini mempengaruhi hubungan sosial
dalam budaya Jawa. Bahasa Jawa sendiri memiliki berbagai macam variasi dialek
atau pengucapan.

22

Unggah-ungguh dalam ilmu bahasa Jawa merupakan kata dwilingga salin swara dari
kata/tembung 'ungguh' yang diulang dua kali. Arti kata ungguh adalah bagaimana bersikap
terhadap orang lain yang kita ajak berinteraksi, yang didasarkan pada strata/tingkatan/kasta/levelnya.Unggah-ungguh bisa juga berarti (semantik) :Unggah (Indonesia: naik) : menaikkan derajat
seseorang (yang diajak berinteraksi) sesuai dengan status (sosial) martabatnya...Ungguh, asal kata
Lungguh (Indonesia : duduk) : mendudukkan/menempatkan diri kita dan orang lain yang diajak
berinteraksi sesuai porsi, derajat dan martabatnya.Jadi unggah-ungguh = menghargai atau
mendudukkan orang lain sesuai dengan 'Lungguh-e' (kedudukannya) dan siapa yang seharusnya di
'Unggah-ke'(dinaikkan), hal itu untuk menjaga orang yang kita ajak berinteraksi agar juga kembali
ikut meng-unggah (menaikkan) dan me-lungguhke (menempatkan) diri kita. Contoh kalimatnya
'Nyuwun sewu, dipun aturi Dhahar', atau jika sebaya 'Nyuwun Ngapunten, monggo dhahar', tetapi
jika dengan yang lebih muda bisa digunakan : 'Amit dik, ayo di maem'

Universitas Sumatera Utara

70
Dialek-dialek bahasa Jawa juga dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
kelompok. Menurut

Uhlenbeck (1964:192), pengelompokkan dialek ini

didasarkan pada dialek-dialek yang digunakan dalam masyarakat yang
bersangkutan serta dari segi geografisnya. Pembagian kelompok-kelompok
tersebut antara lain:
1) Kelompok Barat
Bahasa Jawa Bagian Barat, yaitu Dialek Banten, Dialek Cirebon, Dialek
Tegal, Dialek Banyumasan, Dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan
Banyumas). Kelompok diatas sering disebut bahasa Jawa ngapak-ngapak.
2) Kelompok Bahasa Jawa Bagian Tengah, yaitu Dialek Pekalongan, Dialek
Kedu, Dialek Bagelen, Dialek Semarang, Dialek Pantai Utara Timur
(Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati), Dialek Blora, Dialek Surakarta,
Dialek Yogyakarta, Dialek Madiun Kelompok kedua diatas sering disebut
Bahasa Jawa Standar, khususnya dialek Surakarta dan Yogyakarta.
3) Kelompok Bahasa Jawa Bagian Timur, yaitu Dialek Pantura Jawa Timur
(Tuban, Bojonegoro), Dialek Surabaya, Dialek Malang, Dialek Jombang,
Dialek Tengger, Dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing).
Kelompok

ketiga

diatas

sering

disebut

Bahasa

Jawa

Timuran.

Bahasa Jawa Dialek Solo-Yogya dianggap sebagai Bahasa Jawa Standar.
Hal ini di karenakan daerah Solo (Surakarta) dan Yogyakarta merupakan
daerah kraton. Dimana Kraton tersebut adalah dianggap simbol yang
penuh makna oleh masyarakat Jawa secara umum.

Universitas Sumatera Utara

71
Dalam bahasa Jawa, pada dasarnya terdiri dari 3 kasta bahasa, yaitu: (1)
Ngoko (kasar), (2) Madya (biasa), (3) Krama (halus) yang penggunaan tingkatan
bahasa tersebut tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa
ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakapcakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian ngoko, namun ketika
berkomunikasi dengan orang tuanya akan menggunakan bahasa halu (krama).
Secara umum masyarakat Jawa menggunakan dua bahasa apabila ditinjau
dari kriteria tingkatannya, yaitu Jawa ngoko dan krama. Bahasa Jawa ngoko
dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab, dan terhadap orang yang lebih
muda usianya serta lebih rendah derajat sosialnya. Sebaliknya, bahasa Jawa krama
dipergunakan untuk yang belum dikenal akrab, tetapi yang sebaya dalam umur
maupun derajat, dan juga terhadap orang yang lebih tinggi umur serta derajat
sosialnya.
Dikalangan masyarakat Jawa Deli, bahasa pengantar adalah bahasa Jawa
ngoko dan krama tanpa variasi dan kombinasi yang rumit sebagaimana halnya di
Jawa. Namun, pada umumnya sebahagian besar menggunakan bahasa Indonesia
sebagai alat berkomunikasi baik antar sesama maupun dengan etnis lain.

2.2.5 Adat istiadat
Sistem budaya dan sistem sosial merupakan komponen yang terdiri dari
pikiran-pikiran, keyakinan serta tindakan manusia baik dalam lingkungan
antarindividu maupun intreaksi lingkungan atau leih lazim disebut adat istiadat.
Sebagai rangkaian tindakan berpola yang berkaitan satu sama dengan yang lain,

Universitas Sumatera Utara

72
sistem sosial bersift
ft llebih konkret dan nyata daripada sistem buda
budaya, dalam arti
bahwa tindakan manusi
anusia itu disatu pihak ditata dan diatur oleh
eh sistem budaya,
tetapi dipihak lainn di
dibudayakan menjadi pranata-pranata olehh ni
nilai dan norma
tersebut.

Diagram 2.1
Lingakaran konsentrik kebudayaan
menurut Koentjaraningrat

Masyarakat Ja
Jawa Deli pada hakekatnya mempunyai watak
ak yang senantiasa
berusaha menyesuaika
suaikan diri dengan orang yang berada disekitar
tar lingkungannya
dn mementingkan me
menjaga keharmonisan. Watak dan kebiasaann yyang ditunjukan
di kehidupan masyar
yarakat biasanya berdasarkan penyampaiann da
dari para orang
tuanya. Orang-orangg Jawa Deli tetap mempertahankan sistem ke
kekerabatan yang
disebut bebrayat. Bebray
ebrayat berasal dari kata brayat yang berartii ke
keluarga ini atau
keluaraga utama. Menur
Menurut Suroso (2012:11) sistem kekerabatan ini dilandasi oleh

Universitas Sumatera Utara

73
sikap gotong royong, dengan konsep sepi ing pamrih, rame ing gawe yang
beramakna tidak mengharapkan pamrih, dan mengutamakan kerja bersama-sama.
Orang Jawa Deli memiliki adat istiadat lingkaran hidup yang diwarisi
turun temurun antara lain adalah adat pernikahan, masa melahirkan, hingga masa
kematian. Seperti upacara pernikahan, mempercayai pantangan di dalam masa
kehamilan, selamatan pemberian nama anak, upacara Ruatan, dan upacara
Khitanan.

2.2.6 Ritual pernikahan
Pernikahan merupakan ritual penting bagi kehidupan setiap orang.
Pernikahan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan
untuk memenuhi tujuan hidup berumah tangga sebagai suami istri yang dengan
mememnuhi syarat dan rukun teah dilakukan oleh syariat Islam.
Sholikin (2010:199-202) menjelaskan tentang tahapan-tahapan adat
pernikahan masyarakat suku Jawa yakni:
a. Peminangan jodoh,
Peminangan adalah suatu ikatan sebagai pernyataan dari dua pihak hendak
melangsungkan perkawinan. Apabila peminangan terputus ditengah jalan
dan tidak sampai hingga di pelaminan, maka pemberian yang diberikan
saat peminangan sebagai tanda ikatan menuju perkawinan boleh diminta
kembali.
b. Utusan atau congkok/tembungan

Universitas Sumatera Utara

74
Utusan ialah orang yang dipercaya dan diutus oleh pihak keluarga calon
pengantin laki-laki, agar melakukan pembicaraan khusus dengan keluarga
calon perempuan.
c. Nglamar, Ngenger, dan Tukar Cincin
Pada umumnya upacara ngalamar dilakukan dari pihak keluarga laki-laki
terhadap keluarga perempuan. Sedangkan Ngenger sendiri dimaksudnya
mengikuti keluarga calon perempuan dalam rangka berbakti.
d. Kumbarkarnan
Acara pelaksanaan rapat penitia kerja hajatan pernikahan. Biasanya
dilakukan tujuh hari atau lima hari (sepasar) sebelum acara pernikahan
dan mengundang sesepuh, tokoh masyarakat, keluarga dan tetangga
terdekat.
e. Pasang Tarub, Siraman, dan Paes
Rangkaian acara mempersiapkan tempat dilaksanakannya acara hajatan
pernikahan secara keseluruhan. Seperti menaikkan tarub (anyaman daun
kelapa) yang diletakkan di gerbang rumah. Siraman adalah upacara mandi
khusus untuk calon mempelai wanita.
f. Sengkeran/pingitan
Tradisi dimana calon pengantin wanita yang sudah disiram tidak
diperbolehkan keluar rumah dari area rumah sampai saat pelaksanaan
pernikahan.

Universitas Sumatera Utara

75
g. Midodareni
Midodareni ialah upacara selamatan yang terdiri dari doa permohonan
kepada Allah SWT, agar semua yang akan dilaksanakan berjalan lancar.
h. Dhaup
Rangkaian upacara mempertemukan pengantin
i. Krobogan
Rangkaian upacara susulan setelah upacara dhaup. Adapun urutan
upacaranya antara lain:
1. Kacar-Kucur, yakni pengantin pria memberikan nafkah berupa
simbolik uang logam kepada pengantin putri. Hal ini menjadi simbol
tanggungJawab suami kepada istri dengan selalu rajin mencari nafkah
untuk memenuhi kebutuhan dunia dan akhirat.
2. Dulangan
Acara penyuapan nasi antara kedua pengantin. Hal ini menjadi simbol
agar kedua pengantin selalu menjadi satu, saling mengasihi.
3. Timbangan
Dilaksanakan oleh ayah pengantin perempuan.
4. Sungkeman
Acara menyalami tangan sambil mencium tangan di kedua lutut orang
tua.
j. Kirab Pengantin
Rangkaian upacara membawa pengantin

berkeliling ditempat-tempat

tertentu seperti teras rumah, dapur, sumur dan tempat berganti pakaian.

Universitas Sumatera Utara

76
Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pelajaran kepada pengantin agar
mengetahui tanggung Jawabnya dalam menjalankan tugas rumah tangga
k. Sabdtama
Acara nasihat-nasihat yang diberikan untuk pengantin agar bijaksana
dalam menjalankan rumah tangga
l. Doa dan penutup acara
Acara yang mendoakan pengantin menjadi keluaraga yang damai, selalu
dipenuhi kasih sayang, dan mendapatkan rahmat Tuhan.

Gambar 2.4
Salah satu rangkaian upacara pernikahan masyarakat Jawa
Menurut wawancara dengan Mbok Sumiati23 (2017) masyarakat Jawa
dalam hal perkawinanya melalui beberapa tahapan. Biasanya seluruh rangkaian
acara perkawinan berlangsung selama kurang lebih dua bulan, mencangkup:

1.

Nontoni yakni melihat calon istri dan keluarganya, dengan mengirim
utusan (wakil).
23

Beliau adalah sesorang sesepuh Jawa. Saat ini beliau berusia 87 tahun.

Universitas Sumatera Utara

77
2.

Nglamar (meminang) yakni tahapan setelah nontoni apabila si gadis
bersedia dipersunting.

3.

Paningset yakni pemberian harta benda, berupa pakaian lengkap disertai
cincin perkawin.

4.

Pasok Tukon yakni upacara penyerahan harta benda kepada keluarga si
gadis berupa uang, pakaian dan sebagainya, diberikan tiga hari sebelum
pernikahan.

5.

Pingitan yakni calon istri tidak diperbolehkan keluar rumah selama 7 hari
atau 40 hari sebelum perkawinan.

6.

Tarub yakni mempersiapkan perlengkapan perkawianan termasuk
menghias rumah dengan janur.

7.

Siraman yakni upacara mandi bagi calon pengantin wanita yang
dilanjutkan dengan selamatan.

8.

Ijab Kabul (akad nikah) yakni upacara pernikahan dihadapan penghulu,
disertai orang tua atau wali dan saksi-saksi.

9.

Temon (Panggih manten) yakni pertemuan pengantin pria dengan wanita.

10.

Ngunduh Mantu (ngunduh temanten) yakni memboyong pengantin wanita
kerumah pengantin pria yang disertai pesta ditempat pengantin pria.
Di dalam beberapa ritual upacara penikahan masyarakat Jawa Deli

terdapat percampuran budaya dan perubahan tata cara pelaksanaan upacara
pernikahan. Misalnya masyarakat Jawa Deli di kecamatan Helvetia terdapat
pengaruh kebudayaan Melayu di dalam upacara melamar. Ditandai dengan adanya
acara Meresek yaitu acara melamar dan penetuan hari baik saat dilaksanakannya

Universitas Sumatera Utara

78
hari perkawinan dan dilanjutkan dengan tepung tawar serta diiringi dengan
ansambel marhaban.
Namun dibeberapa wilayah seperti di kecamatan Percut Sei Tuan
masih melaksanakan upacara pernikahan tradisional seperti panggih yaitu upacara
temu pengantin yang dilanjutkan dengan acara balangan suruh, yaitu lemparlemparan sirih, kemudian acara kacar-kucur yakni acara injak telur serta
sungkeman kepada orang tua sang pengantin.
Selain itu, masyarakat Jawa Deli juga mengamalkan tradisi munjung dan
merewang. Tradisi Munjung adalah tradisi menghantar rantang ke rumah-rumah
tetangga terdekat. Pemilik hajat pesta perkawinan akan mengisi rantang tersebut
dengan nasi dan lauk pauknya. Tetangga yang dikunjungi sudah mengerti
maksudnya. Sebagai balasannya para tetangga akan menitipkan sejumlah uang
kepada penghantar. Uang munjung ini biasanya dipergunakan oleh pembuat hajat
untuk sejumlah modal untuk pesta. Sedangkan merewang ialah kebiasaaan
melakukan masak bersama oleh para kaum ibu-ibu yang dilakukan tiga hari
sebelum hari hajatan pernikahan.

2.2.7 Adat upacara slametan
Selamatan adalah suatu upacara makan bersama atas makanan yang telah
diberi doa sebelum dibagi-bagikan. Berdasarkan wawancara dengan Mbah
Sumiati, sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan sehari-hari
upacara selamatan dapat digolongkan ke dalam empat macam seperti berikut.

Universitas Sumatera Utara

79
1) Selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang. Jenis selamatan ini
meliputi: hamil tujuh bulan, kelahiran, potong rambut pertama, menyentuh
tanah untuk pertama kali, menusuk telinga, sunat, kematian, peringatan
serta saat-saat kematian.
2) Selamatan yang bertalian dengan bersih desa. Jenis selamatan ini
meliputi upacara sebelum penggarapan tanah pertanian, dan setelah panen
padi.
3) Selamatan yang berhubungan dengan hari-hari serta bulan-bulan besar
Islam.
4) Selamatan yang berkaitan dengan peristiwa khusus. Jenis selamatan ini
meliputi : perjalanan jauh, menempati rumah baru, menolak bahaya
(ngruwat), janji kalau sembuh dari sakit (kaul), dan lain-lain.
Diantara jenis-jenis selamatan tersebut, selamatan yang berhubungan
dengan kematian sangat diperhatikan dan selalu dilakukan. Hal ini dilakukan
untuk menghormati arwah orang yang meninggal. Jenis selamatan untuk
menolong arwah orang di alam baka ini, berupa:
1) Surtanah atau geblak, yaitu selamatan pada saat meninggalnya seseorang.
2) Nelung dina, yaitu selamatan hari ketiga sesudah meninggalnya seseorang.
3) Mitung dina, yaitu selamatan hari ketujuh sesudah meninggalnya
seseorang.
4) Matang puluh dina, yaitu selamatan hari ke 40 sesudah meninggalnya
seseorang.
5) Nyatus, yaitu selamatan hari ke 100 meninggalnya seseorang.

Universitas Sumatera Utara

80
6) Mendak sepisan, yaitu selamatan satu tahun meninggalnya seseorang.
7) Mendak pindo, yaitu selamatan dua tahun meninggalnya seseorang.
8) Nyewu, yaitu selamatan genap 1000 hari meninggalnya seseorang. Jenis
selamatan ini kadang-kadang disebut juga nguwis-nguwisi, artinya yang
terakhir kali.
Masyarakat Jawa juga mengenal upacara sesajen selain selamatan.
Upacara ini berkaitan dengan kepercayaan terhadap makhluk halus. Sesajen
diletakkan ditempat-tempat tertentu, seperti dibawah kolong jembatan, dibawah
tiang rumah, dan ditempat-tempat yang dianggap keramat. Bahan sesajen berupa :
ramuan tiga jenis bunga (kembang telon), kemenyan, uang recehan, dan kue apam.
Bahan tersebut diletakkan di dalam besek kecil atau bungkusan daun pisang. Ada
pula sesajen yang dibuat pada setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon
yang wujudnya sangat sederhana karena hanya terdiri atas tiga macam bunga yang
ditempatkan pada sebuah gelas yang berisi air, bersama sebuah pelita, dan
ditempatkan pada sebuah meja. Tujuan menyediakan sesaji tersebut adalah agar
roh-roh tidak mengganggu ketenteraman dan keselamatan anggota seisi rumah.

2.2.8 Ruatan atau ruwat
Ruwat merupakan warisan kebudayaan yang sudah dikenal masyarakat
Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama-jauh sebelum Islam masuk ke tanah Jawa.
Tradisi Ruwat sendiri sebetulnya memiliki arti pelepasan, dan dimaksudkan untuk
membebaskan manusia dari segala bentuk nasib buruk, sial, serta marabahaya
melalui penyelenggaraan sebuah upacara. Ruwat sangat dekat dengan dunia mistis

Universitas Sumatera Utara

81
dan tidak bisa lepas dari pengaruh gaib dalam pelaksanaannya. Kata ruwat dalam
bahasa Jawa Kuno artinya salah; rusak. rinuwat dirusak, dilepaskan. Ruwat
diartikan juga dibuat tidak berdaya (kejahatan, kutuk, pengaruh jahat).
Ngruwat diartikan sebagai membebaskan dari roh jahat. Dari arti kata tersebut
jelas bahwa arah pokok ruwatan ialah membebaskan manusia dari
kutukan, roh jahat, dan dari pengaruh roh-roh yang membawa malapetaka.
Seseorang yang oleh karena sesuatu sebab ia dianggap terkena sukerta/aib
(klesa=JawaKuna), maka ia harus diruwat. Tradisi kepercayaan yang dimiliki
masyarakat Jawa, bahwa seseorang yang oleh karena suatu peristiwa terkena
sukerta, ia akan menjadi mangsa Batara Kala. Untuk dapat melepaskan/
membebaskan seseorang dari ancaman Batara Kala, maka masyarakat
Jawayang meyakini menyelenggarakan upacara ruwatan, yang telah tertata dan
diatur secara tertib. Usaha yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawadengan
mengadakan upacara ruwatan tersebut tak lain adalah untuk melindungi manusia
dari segala ancaman bahaya.
Dalam upacara ruwatan sering dipergelarkan pertunjukan wayang. Wayang
ialah bentuk pertunjukan tradisional yang disajikan oleh seorang dalang dengan
menggunakan boneka atau sejenisnya sebagai alat pertunjukan. Dalam pertunjukan
wayang ini disajikan lakon wayang secara khusus. Lakon wayang yang disajikan
sebagai sarana upacara ruwatan ini biasanya Murwakala dan Sudamala

Universitas Sumatera Utara

82

Gambar 2.5
Acara Ruatan pada Masyarakat Jawa

2.2.9 Sistem kekerab
abatan
beberapa keluarga
Kekerabatann aadalah unit-unit sosial yang terdiri dari beb
Yang termasuk ke
yang mempunyai hubun
hubungan darah atau hubungan perkawinan. Ya
nantu, cucu, kakak,
dalam anggota kekera
kerabatan adalah ayah, ibu, anak-anak, menant
nan membuat dua
paman, bibi, kakekk-nenek, dan seterusnya. Suatu perkawinan
kelompok kerabat be
besar bergabung menjadi satu. Hubungann ini tidak terbatas
lam bidang sosial,
dalam bidang kekelua
luargaan saja, tetapi juga kadang-kadang dalam
budaya, ekonomi,, bahk
bahkan politik.
dalah keluarga yang
Penghubungg aantara kedua kelompok kekerabatan ini adala
ng dibentuk lewat
beranggota suami,, ist
istri, dan anak-anak. Keluarga-keluarga yang
disebut group atau
perkawinan itu laluu m
membentuk kesatuan-kesatuan sosial yang dise
tas beberapa jenis.
kelompok. Kelompok
pok kekerabatan umumnya dapat dibedakan atas
ogi.
Berikut ini jenis-jenis
nis ke
kelompok kekerabatan dalam ilmu sosiologi

Universitas Sumatera Utara

83
1) Keluarga Ambilineal Kecil. Kelompok kekerabatan ini biasanya
beranggotakan kira-kira 25-30 orang. Keluarga ambilineal kecil ini
menghidupkan rasa solidaritasnya karena mereka menguasai sejumlah
harta produktif yang dapat dinikmati bersama. Harta produktif itu biasanya
berupa tanah, kolam, kebun, sawah, dan ternak.
2) Keluarga Ambilineal Besar. Anggota dalam kelompok ini terdiri atas
beberapa generasi hingga jumlah anggotanya mencapai ratusan orang.
Umumnya, akibat jumlah yang demikian banyak itu, anggota kelompok
tidak lagi saling mengenal secara mendalam. Mereka akan berkumpul
pada saat-saat tertentu saja, seperti pada saat upacara keagamaan.
3) Klen Kecil. Klen kecil merupakan suatu bentuk kelompok kekerabatan
berdasarkan ikatan melalui garis-garis keturunan laki-laki saja atau garis
keturunan perempuan saja. Umumnya, mereka mengetahui hubungan
kekerabatan diantara mereka. Mereka saling mengenal dan bergaul karena
sebagian besar masih tinggal bersama dalam satu desa atau lingkungan
pemukiman, bahkan dalam satu rumah.
4) Klen Besar. Klen besar merupakan kelompok kekerabatan yang terdiri dari
semua keturunan seorang nenek moyang baik laki-laki maupun
perempuan. Keanggotaannya ditarik menurut garis keturunan ibu atau
garis keturunan ayah. Karena itu jumlahnya mencapai ribuan orang.
Akibatnya, mereka umumnya tidak saling mengenal. Namun demikian,
warga klen besar umumnya disatukan oleh tanda-tanda lahiriah yang

Universitas Sumatera Utara

84
dimiliki bersama. Tanda-tanda itu biasanya berupa nama, nyanyiannyanyian, dongeng-dongeng suci, dan lambang-lambang.
5) Fratri adalah kelompok-kelompok kekerabatan yang patrilineal (menurut
garis keturunan ayah) atau matrilineal (menurut garis keturunan ibu).
Sifatnya lokal dan merupakan gabungan dari kelompok-kelompok klen
setempat, baik yang berskala besar maupun yang berskala kecil.
6) Paroh Masyarakat (Moeity). Paroh masyarakat adalah kelompok
kekerabatan gabungan klen seperti fratri, tetapi selalu merupakan separoh
dari suatu masyarakat. Paroh masyarakat dapat merupakan gabungan dari
beberapa klen kecil atau klen besar. Contoh, pada suatu daerah terdapat