Ketoprak Dor di Sumatera Utara: Analisis Pertunjukan, Tekstual dan Musik

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Sumatera Utara adalah salah satu wilayah administratif dan juga
kebudayaan di pulau Sumatera yang mempunyai sistem sosial masyarakat
heterogen.1 Menurut data dari Badan Pusat Statistik tahun 2010 dijelaskan bahwa
jumlah total penduduk Sumatera Utara adalah 12.980.000 jiwa yang terdiri atas
beberapa kelompok etnik,2 yang terbagi atas penduduk asli (native people) yang
terdiri atas etnik-etnik: Batak Toba, Mandailing, Simalungun, Karo, Nias, Pakpak,
dan Nias dengan total persentase 48,31% dan Melayu 4,92%. Sumatera Utara juga
dihuni oleh masyarakat pendatang, dengan populasi terbanyak yang terdiri atas
suku Jawa 32,62%, Minangkabau 2,66%, Tionghoa 3,07%, serta suku pendatang

1

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah heterogen berarti terdiri atas berbagai
unsur yang berbeda sifat atau berlainan jenis; beraneka ragam. Lihat, Kamus Besar Bahasa
Indonesia pada edisi IV (2010:344). Dalam tesis ini, terminologi heterogen digunakan untuk
menggambarkan beraneka ragam dan berlainan jenis berbagai kelompok etnik dan kebudayaannya

masing-masing di Provinsi Sumatera Utara.
2
Pengertian kelompok etnik (ethnic group) yang dalam bahasa Indonesia lazim digunakan
kata suku bangsa atau suku, dalam tesis ini mengacu kepada pendapat Naroll, yang
didefinisikannya sebagai populasi yang: (1) secara biologis mampu berkembang biak dan
bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam
sebuah bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4)
menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari
kelompok populasi lain. Dalam konteks menganalisis kelompok etnik ini adalah pentingnya
asumsi bahwa mempertahankan batas etnik tidaklah penting, karena hal ini akan terjadi dengan
sendirinya, akibat adanya faktor-faktor isolasi seperti: perbedaan ras, budaya, sosial, dan bahasa.
Asumsi ini juga membatasi pemahaman berbagai faktor yang membentuk keragaman budaya. Ini
mengakibatkan seorang ahli antropologi berkesimpulan bahwa setiap kelompok etnik
mengembangkan budaya dan bentuk sosialnya dalam kondisi terisolasi. Ini terbentuk karena
faktor ekologi setempat yang menyebabkan berkembangnya kondisi adaptasi dan daya cipta dalam
kelompok tersebut. Kondisi seperti ini telah menghasilkan suku bangsa dan bangsa yang berbedabeda di dunia. Tiap bangsa memiliki budaya dan masyarakat pendukung tersendiri (lihat R.
Narroll, 1964).

Universitas Sumatera Utara


2
lain 8,5 %.3 Sedangkan Pola persebaran masyarakat terbagi menjadi masyarakat4
perbukitan, wilayah daratan, perkebunan, serta wilayah pesisir.
Masyarakat yang menetap dalam kurun waktu lama di Sumatera Utara
telah mengalami fase perubahan pola sosial termasuk dibidang kebudayaan.
Menurut Kayam (2000:339) kesenian tradisional yang hidup dan berkembang di
dalam masyarakat mempunyai fungsi yang penting. Fungsi tersebut dapat terlihat
dari dua segi yaitu dari segi wilayah jangkauannya dan dari segi fungsisosialnya.
Dari segi wilayah jangkauannya kesenian tradisional dapat menjangkau seluruh
lapisan masyarakat dan dari segi fungsi sosialnya, daya tarik pertunjukan rakyat
terletak pada kemampuannya sebagai pembangun dan memelihara solidaritas
kelompok. Dari pertunjukan rakyat masyarakat dapat memahami kembali nilainilai dan pola perilaku yang berlaku dalam lingkungan sosialnya.
Mulai bergesernya makna dan fungsi kebudayaan leluhur disebabkan oleh
faktor lingkungan dan faktor sosial disekitarnya. Disamping itu, dalam
3

Dalam data ini, BPS berusaha menyatukan etnik-etnik Batak Toba, Mandailing,
Simalungun, Karo, dan Pakpak menjadi satu kelompok etnik. Dalam kenyataannya, masyarakat
ini lebih cenderung mengelompokkan dirinya sebagai etnik yang berbeda, walau disadari terdapat
juga berbagai persamaan kebudayaan. Perbedaan dapat dilihat dari segi linguistik serta cerita

rakyat (folklor) asal-usul mereka, dan sejumlah perbedaan lain. Persamaannya adalah memakai
sistem tripartit sosial kemasyarakatan berdasarkan hubungan darah dana perkawinan, yang disebut
dengan dalihan natolu (rakut sitelu atau daliken sitelu).
4
Masyarakat yang dimaksud di dalam tesis magister ini adalah sesuai dengan definisi dari
Koentjaraningrat, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu
sistem adat-istiadat tertentu yang bersifiat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas
bersama (Koentjaraningrat, 1990: 146-147). Definisi itu menyerupai suatu definisi yang diajukan
oleh J.L. Gillin dan J.P. Gillin, yang merumuskan bahwa masyarakat atau society adalah: ... the
largest grouping in which common customs, traditions, attitudes and feelings of unity are
operative" (J.L. Gillin dan J.P. Gillin, Cultural Sociology (1954:139). Unsur grouping dalam
definisi itu menyerupai unsur "kesatuan hidup" dalam definisi kita, unsur common customs,
traditions, adalah unsur "adat-istiadat," dan unsur "kontinuitas" dalam definisi kita, serta unsur
common attitudes and feelings of unity adalah sama dengan unsur "identitas bersama.” Suatu
tambahan dalam definisi Gillin bersaudara tersebut adalah unsur the largest, yang "terbesar," yang
memang tidak kita muat dalam definisi ini. Walaupun demikian konsep itu dapat diterapkan pada
konsep masyarakat sesuatu bangsa atau negara, seperti misalnya konsep masyarakat Indonesia,
masyarakat Filipina, masyarakat Belanda, masyarakat Amerika, dalam contoh di atas.

Universitas Sumatera Utara


3
perkembangannya, berbagai bentuk kebudayaan ini juga mengalami perubahanperubahan baik dari segi bentuk maupun dari segi isi pertunjukannya. Merriam
mengemukakan bahwa perubahan dapat berasal dari dalam lingkungan
kebudayaan atau intemal, dan juga dapat berasal dari luar kebudayaan atau
ekstemal. Perubahan secara internal dilakukan oleh pelaku-pelaku kebudayaan itu
sendiri dan disebut juga inovasi. Sedangkan perubahan eksternal merupakan
perubahan yang timbul akibat pengaruh dari luar lingkup kebudayaan tersebut
(Merriam, 1964:172).
Masyarakat Jawa yang berdomisili di Sumatera Utara disebut dengan
masyarakat Jawa Deli atau Jawa kontrak. Jawa Kontrak adalah sebutan bagi
mereka yang memiliki ikatan kerja dengan para penguasa pada zaman
kolonialisme, mereka ditempatkan dikawasan-kawasan terdalam atau daerahdaerah terpencil yang memiliki potensi perkebunan seperti perkebunan karet,
sawit dan juga kopi. Ketika masa kontrak mereka habis, sebagian dari orang-orang
Jawa tersebut tidak kembali lagi ke Pulau Jawa, mereka memilih tetap bertahan
diperkebunan yang mereka mencari tempat.
Istilah Jadel atau Jawa Deli, adalah sebutan bagi mereka yang datang dan
bekerja sebagai kuli perkebunan di Tanah Deli (Sumatera Utara). Mereka bekerja
sebagai kuli pada perkebunan tembakau di Medan atau pada saat itu lebih dikenal
dengan sebutan Perkebunan Tembakau Deli, ketika masa kontrak habis mereka

memilih untuk tinggal dipedalaman atau mencari tempat baru yang lebih tenang.
Menurut Sinar bahwa kerajaan-kerajaan yang muncul di pulau Sumatera
diantaranya banyak yang silsilah raja-raja atau golongan bangsawan yang

Universitas Sumatera Utara

4
merupakan keturunan orang-orang Jawa atau yang menjalin hubungan perkawinan
dengan pihak kerajaan Jawa. Menurut Reid (2001:232):
Perpindahan orang Jawa di Sumatera secara besar-besaran dan
mencolok dalam sejarah Indonesia yaitu sengaja didatangkan oleh
pihak perkebunan sebagai tenaga kerja di Sumatera Timur. Sejak
tahun 1880-an, bersama-sama dengan kuli orang Tionghoa mereka
dibawa ke Sumatera Timur.
Disisi lain Said (1977:188) menjelaskan bahwa:
Jumlah kuli kontrak pribumi adalah mencapai 40.000 jiwa sebagian
besarnya adalah orang Jawa. Setelah tahun 1910 kedatangan mereka
bertambah banyak lagi disebabkan untuk menggantikan orang Cina
yang pada masa itu sudah tidak terlalu menguntungkan VOC.
Masyarakat Jawa yang sudah lama berdomisili di Sumatera Utara

memiliki beberapa kebudayaan yang dibawa dari tanah Jawa seperti wayang kulit,
wayang wong, angguk, reog Ponorogo, jathilan, kuda kepang, tayub, ludruk,
sintren, dan ketoprak. Dari sekian banyak kesenian Jawa yang masih ada dan
berkembang hingga saat ini, paling banyak menarik perhatian ialah kesenian
Ketoprak Dor. Ketika masyarakat Jawa yang berasal dari pulau Jawa khususnya
dari daerah Surakarta atau Jawa Tengah melihat pertunjukan Ketoprak Dor Jawa
Deli akan mengalami keterkejutan budaya (cultureshock). Karena sebagian besar
dari pertunjukan Ketoprak Dor tidak sama bahkan sangat berbeda dengan
Ketoprak Mataraman.
Ketoprak merupakan teater rakyat yang paling populer di Jawa Tengah,
namun terdapat juga di Jawa Timur. Ketoprak berasal dari kata tok dan prak yaitu
bunyi dari kentongan dan keprak. Dua alat musik yang terbuat dari bambu dan
dipakai dalam teater rakyat tersebut. Kentongan yang bila dipukul berbunyi tok
sedangkan keprak bagian samping kanan kirinya dipecahkan, sehingga ketika

Universitas Sumatera Utara

5
dipukul berbunyi prak. Kesenian Ketoprak berbentuk pertunjukan drama musikal
atau opera tradisional Jawa. Di dalam pertunjukannya seni tradisional ini terdapat

beberapa unsur yang saling terkait dalam membangun bentuk pertunjukannya.
Seperti unsur gerak tari atau gaya tarian, unsur sastra, unsur teater, nyanyian
rakyat (folksong), perlakonan watak, unsur musik tradisional serta tata panggung.
Menurut Sudarsono (2002:228) genre pertunjukan tradisional Ketoprak
berasal dari Surakarta. Para senimannya kemudian menyebutnya sebagai
Ketoprak Mataram atau Ketoprak Nengnong. Pertunjukan Ketoprak konon
merupakan sebuah pertunjukan yang sangat ramai dikunjungi oleh penontonnya di
pulau Jawa, khusunya didaerah Yogyakarta dan sekitarnya. Pertunjukan Ketoprak
yaitu seni teater yang menggunakan dialog, drama, tarian, dan musik. Digelar
disebuah panggung dengan mengambil cerita dari sejarah, cerita panji, dongeng
dan lainnya dengan diselingi lawak.
Sedangkan di daerah Sumatera Utara terdapat juga jenis pertunjukan yang
bernama Ketoprak Dor, yang mencirikannya sebagai khas Sumatera Utara, yang
berbeda dengan kesenian sejenis dalam konteks kebudayaan Jawa didunia ini.
Istilah Dor merupakan onomatope5 dari suara alat musik utama bernama kendang
Jidor yang menghasilkan suara “dor” jika alat musik tersebut dipukul. Dalam
konteks sejarah, menurut penjelasan para informan, keberadaan Ketoprak Dor
sudah ada di Sumatera Utara sejak tahun 1940-an yaitu di daerah Pematang
Siantar. Menurut Suroso keberadaan Ketoprak Dor di Pematang Siantar


5

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Jilid IV halaman 235 pengertian dari
onomatope atau dalam bahasa Inggris bernama onomatopoeia ialah kata tiruan dari bunyi aslinya.
Seperti kata dangdut yang berasal dari bunyi suara alat musik tabla.

Universitas Sumatera Utara

6
disebabkan migrasi pertama masyarakat Jawa didaerah perkebunan Sidamanik
dan Tanah Jawa (Suroso, 2006:6).
Ketoprak Dor merupakan seni pertunjukan yang lahir ditengah situasi
buruh perkebunan dan perbudakan dan telah menjadi sejarah masyarakat Jawa di
Jawa Deli. Awalnya Ketoprak Dor dipertunjukan oleh masyarakat Jawa di
perkebunan untuk menghilangkan rasa rindu terhadap kesenian Ketoprak
Mataram. Namun, perlakuan brutal yang diberikan oleh tuan kebun Belanda
membuat para kuli kontrak melakukan pertunjukan Ketoprak secara sederhana
dengan pakaian, alat musik, dan tata panggung yang sederhana juga.
Menurut Ladislao Székely dalam Rizaldi6 bahwa:
Diantara para imigran Jawa nenek moyang para pemain Ketoprak

Dor sampai ke Medan. Mereka didatangkan dari berbagai tempat di
Jawa dan dikontrak selama tiga tahun, berdasarkan undang-undang
kolonial, Ordonansi Kuli 1880. Kalau dalam masa kontrak melarikan
diri, mereka diburu, ditangkap, dan dihukum dengan brutal.
Perlakuan buruk itu sering membuat para kuli mengamuk, marah
membabi-buta karena tekanan keputus-asaan. Di tengah-tengah
situasi seperti itu dan naluri untuk bertahan melalui seni, Ketoprak
Dor lahir. Gending-gending yang masih mereka ingat dari kampung
mereka mainkan dengan menggunakan alat musik Melayu,
harmonium, alat musik sejenis akordion, ‘Jidor’ atau ‘tektek Dor’,
yaitu gendang sejenis tambur yang dilengkapi kentongan (slit drum)
berukuran kecil, dan kendang Jawa yang biasa dipakai mengiring
wayang. Para kuli tak mungkin berharap ada gamelan tersedia,
apalagi mengharap pendopo megah berlantai marmer, adem, dan
angin yang berhembus semilir, seperti di Jawa. Di luar sana, dilahan
buka kebun, hanya ada alas: hutan belantara yang digambarkan
melalui pewayangan sebagai tempat yang “pekat dan ganas,” tempat
dimana segala yang buas, jin, dan konsep kejahatan bersembunyi,
atau sebalik-nya, garing setelah “babat alas” dilakukan dengan
tunggul tegakan yang terbakar dan harus dicangkul dengan teknik

membalik tanah yang terkenal dikuasai orang-orang Banyumas itu.

6

Baca Harian Kompas dengan judul “Di tengah Perbudakan Lahir Ketoprak Dor” Edisi
13 Desember 2015

Universitas Sumatera Utara

7
Secara umum pertunjukan Ketoprak Dor mempunyai babak atau adegan
yaitu adegan pembuka, klimaks atau adegan yang biasanya berbentuk perkelahian,
serta adegan penutup. Menurut Naiborhu dan Karina (2016:26) cerita atau lakon
yang dibawakan adalah cerita dari babad Tanah Jawa serta cerita dari masyarakat
Deli. Cerita yang menyangkut sejarah, seperti Arya Panangsang, Amandoko,
Lutung Lasarung, Damarwulan, Raden Panji, Menakjinggo, Joko Bodo/Topeng
Hitam, Pantai Solo, Tiga Putra Kembar, Ibu Tiri, Paman Berdosa, Air Mata Ibu
yang berfungsi sebagai sarana pendidikan dan kenangan terhadap nilai-nilai
sejarah Jawa juga sering ditampilkan. Cerita yang bertemakan pertanian seperti
Dewi Sri yang sangat dihormati sebagai dewi kesuburan juga mereka ceritakan.

Cerita setempat yang diangkat dalam pertunjukan Ketoprak Dor antara
lain adalah 1001 Malam yang berasal dari Baghdad (ibukota Irak), yang mereka
sebut dengan Stambul Jawi (Istambul, atau Mesiran). Cerita Hang Tuah dan asal
mula Sialang Buah, Legenda Putri Hijau, Anak Durhaka, Bersumpah di Sungai
Deli juga dibawakan, atau cerita lainnya yang bersifat kekinian sesuai permintaan
dan kebutuhan masyarakat penikmatnya. Sedangkan komposisi instrumen musik
pengiring selama pertunjukan adalah gendang jedor, keprak, akordion, keyboard,
serta drumset.
Melodi yang digunakan dalam pertunjukan Ketoprak Dor memiliki skala
(scale) tangga nada pentatonis minor, zigana minor, dan slendro yang dimainkan
secara berulang-ulang berdasarkan adegan yang dimainkan. Setiap melodi yang
dimainkan mewakili adegan pertunjukan. Misalnya untuk membuka pertunjukan
biasanya menggunakan motif Panembromo deng an menggunakan tangga nada

Universitas Sumatera Utara

8
pentatonis dan diatonis minor.
Dalam penggunaan tembang atau lagu-lagu Jawa Ketoprak Dor
mengunakan beberapa bentuk tembang yang dianggap lazim dilagukan yaitu
tembang Macapat Matra Pucung, Mijil, Kinanti, Gamboh dalam cengkok7
ketoprakan atau gaya khas untuk panggung Ketoprak, sehingga biasa disebut juga
mijil Ketoprakan atau pucung Ketoprakan atau kinanti Ketoprakan. Menurut
Suroso (2015:43) gaya tembang ketoprakan ini dianggap tidak lagi sesuai dengan
kaidah nilai seni-tembang yang baku, yang menjadi acuan kalangan kaum priyayi
atau elit Jawa di Sumatera Utara, tembang pada Ketoprak dipandang sebagai
"rendah" atau "kasar."
Tiga bentuk iringan komposisi musik Ketoprak Dor yang dianggap
penting dalam mengiringi adegan atau babakan adalah sebagai berikut:
1) Bentuk komposi panembrama adalah komposisi musik yang dimainkan
pada saat pertunjukan pertama sekali dimulai, dengan melantunkan
tembang pembuka dalam bentuk mijil8 dan kemudian dilanjutkan dengan
menyanyikan tembang giar-giar9 untuk tari persembahan atau pembuka.
Berikut adalah cuplikan bentuk musik panembrama yang ditulis dalam
notasi balok dan tembang-tembang pembuka yang ditulis secara berurutan
berdasarkan reportoar pertunjukan.
2) Bentuk komposisi suka-suka adalah bentuk komposisi musik yang
digunakan dalam mengiringi adegan peperangan atau perkelahian. Musik
7

Cengkok adalah gaya atau gramatik dalam olah vokal beberapa tradisi musikal di
Indonesia seperti Jawa, Sunda, Bali, dan juga Melayu.
8
Mijil/mi·jil/ n bentuk komposisi tembang macapat, biasanya untuk melukiskan
rasa sedih atau kisah nasihat.
9
Giar-giar adalah salah satu jenis dari tembang macapat.

Universitas Sumatera Utara

9
suka-suka menurut pengamatan sementara peneliti, yaitu dimainkan
dengan cara improvisasi bebas, tergantung pilihan melodi oleh pemainnya,
dan biasanya dimainkan secara berulang ulang hingga puncak perkelahian
selesai.
3) Bentuk komposisi sampak adalah bentuk komposisi musik yang digunakan
dalam mengiringi hampir seluruh adegan. Musik sampak menurut
pengamatan peneliti dibagi dalam dua bentuk, yaitu sampak yang cepat
dan sampak yang lambat. Musik sampak ini terutama juga digunakan
dalam adegan pertempuran dengan bentuk melodi yang refetitif atau
berulang-ulang.
Di dalam pertunjukan Ketoprak Dor terdapat percampuran dialek yang
diucapkan oleh para pemain. Menurut pengamatan sementara peneliti, dialek yang
digunakan sangat unik seperti penggunaan dialek Jawa, Melayu, Tioghoa, serta
Batak Toba di dalam sebuah pertunjukan Ketoprak Dor. Para pemain kebanyakan
tidak menggunakan teks cerita atau lakon yang baku. Hal ini sangat berbeda
dengan pertunjukan Ketoprak Mataram yang disetiap lakon pertunjukannya
pemain membaca teks yang sudah disiapkan. Selain itu, di dalam pertunjukannya
terdapat banyak sekali penggunaan bahasa lokal (slang)10 dan dialek tradisional
yang sudah berasimilasi dengan kebudayaan lokal diucapkan oleh para pemain
Ketoprak Dor. Seperti alamak jang, cak, awak, balek, begadoh, iya pulak, dan
lain sebagainya.

10

Slang adalah ragam bahasa tidak resmi dan belum baku yang sifatnya musiman.
Biasanya digunakan oleh kelompok sosial tertentu untuk berkomunikasi internal agar
yang bukan anggota kelompok tidak mengerti.

Universitas Sumatera Utara

10
Fenomena pertunjukan Ketoprak Dor ini menarik untuk dikaji serta di
dalami bagaimana struktur pertunjukan Ketoprak Dor serta struktur musik yang
disajikan di dalam sebuah pertunjukan Ketoprak Dor. Fokus yang dilakukan
dalam menganalisis struktur pertunjukan dan struktur musik Ketoprak Dor ini
menggunakan dua disiplin ilmu utama dalam bidang seni, yakni yang pertama
kajian seni pertunjukan dan yang kedua etnomusikologi (kadangkala di Indonesia
disebut musikologi etnik).
Yang dimaksud kajian seni pertunjukan atau kajian pertunjukan
(performance study) adalah sebuah disiplin (ilmu) yang relatif baru, yang dalam
pendekatan saintifiknya berdasar kepada interdisiplin atau multidisiplin ilmu,
yaitu mempertemukan antara lain: antropologi, kajian teater, antropologi tari atau
etnologi tari, etnomusikologi, folklor, semiotika, sejarah, linguistik, koreografi,
kritik sastra, dan lainnya. Dua orang tokoh terkernuka pada disiplin ini adalah
Victor Turner (antropolog) dan Richard Schechner (aktor, sutradara teater, pakar
pertunjukan, dan editor majalah The Drama Review).
Sasaran kajian pertunjukan tidak terbatas kepada pertunjukan yang
dilakukan diatas panggung saja, tetapi juga yang terjadi di luar panggung, seperti
olah raga, permainan, sirkus, karnaval, perjalanan ziarah, nyekar, dan upacara. Dia
menulis buku yang terkenal From Ritual to Theater On the Edge of the Bush:
Anthropology as Experience, The Anthropology of Performance, dan The
Anthropology of Experience. Buku yang terakhir ini, disuntingnya bersama Victor
Turner dan Edward M. Bruner tahun 1982 setahun sebelum ia meninggal dunia.
Pada karya-karyanya tersebut secara saintifik Schechner dan Turner tampaknya

Universitas Sumatera Utara

11
menawarkan pentingnya pendekatan pengalaman, pragmatik, praktik, dan
pertunjukan dalam mengkaji kesenian. Tentunya pendekatan ini diperlukan
berdasarkan asumsi dasar bahwa pengalarnan yang kita alami tidak hanya dalam
bentuk verbal tetapi juga dalam bentuk imajinasi dan impresi (kesan).
Disiplin kajian pertunjukan ini, menurut peneliti relevan untuk digunakan
dalam konteks mengkaji Ketoprak Dor di Sumatera Utara sebagai sebuah
pertunjukan budaya, yang mencerminkan aspek sosial kemasyarakatan orangorang Jawa yang berada di Sumatera Utara, dan “jauh” dari pusat peradabannya,
yakni Surakarta dan Yogyakarta. Ketoprak Dor sebagai seni pertunjukan, adalah
dipentaskan, dengan melibatkan seniman (tari, teater, musik), juga tata panggung,
lighting, kostum, cerita, sound system, dan hal-hal sejenisnya. Secara kesejarahan
pula Ketoprak Dor berbeda dan membedakan ekspresinya dengan ketoprak
Mataram di Jawa Tengah. Ketoprak Dor sebagai pertunjukan, mengekspresikan
kebudayaan Jawa terutama masyarakat kuli kontrak, yang hidup dalam tekanan
sosiopolitis Belanda kala awal pertumbuhannya, dan perkembangannya yang
melakukan pola-pola adaptasi dengan kebudayaan multikultural di Sumatera
Utara. Selanjutnya seni Ketoprak Dor ini sanggat relevan dikaji menggunakan
disiplin etnomusikologi.
Menurut Merriam, yang dimaksud dengan etnomusikologi adalah sebagai
berikut.

Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own
division, for it has always been compounded of two distinct parts,
the musicological and the ethnological, and perhaps its major
problem is the blending of the two in a unique fashion which
emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of

Universitas Sumatera Utara

12
the field is marked by its literature, for where one scholar writes
technically upon the structure of music sound as a system in
itself, another chooses to treat music as a functioning part of
human culture and as an integral part of a wider whole. At
approximately the same time, other scholars, influenced in
considerable part by American anthropology, which tended to
assume an aura of intense reaction against the evolutionary and
diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context.
Here the emphasis was placed not so much upon the structural
components of music sound as upon the part music plays in culture
and its functions in the wider social and cultural organization of
man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it
is possible to characterize German and American "schools" of
ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The
distinction to be made is not so much one of geography as it is one
of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative
studies were made by early German scholars in problems not at
all concerned with music structure, while many American studies
heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam,
1964:3-4).11

Menurut

pendapat

Merriam

seperti

kutipan

diatas,

para

ahli

etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu,
untuk itu selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu
musikologi dan etnologi (antropologi). Selanjutnya menimbulkan kemungkinankemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan
cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap
mengandung kedua disiplin tersebut.
Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari
bahan-bahan

bacaan

yang

dihasilkannya.

Katakanlah

seorang

sarjana

11

Sebuah buku yang terus populer di kalangan etnomusikologi dunia sampai sekarang ini,
dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi
seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lainlainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika
Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” diantara karya-karya yang bersifat etnomusikologis
di seluruh dunia.

Universitas Sumatera Utara

13
etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu
sistem tersendiri. Dilain sisi, sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik
sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang
integral dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama, beberapa
sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, cenderung
untuk mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran yang
mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi
musik dalam konteks etnologisnya. Di dalam kerja yang seperti ini, penekanan
etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian
struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam
kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan
manusia yang lebih luas.
Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Bruno Nettl yaitu
terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan
Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi
etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode,
pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan
oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan
hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana
Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.
Dari kutipan diatas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi
dibentuk dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun
terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing ahlinya.

Universitas Sumatera Utara

14
Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam
konteks kebudayaan.
Khusus mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah
dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada penelitian edisi
berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU)
Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah
mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam
buku yang bertajuk etnomusikologi tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu
Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat
di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi
etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh
Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.12

12

Buku ini diedit oleh Rahayu Supanggah, diterbitkan tahun 1995, dengan tajuk
Etnomusikologi. Diterbitkan di Surakarta oleh Yayasan Bentang Budaya, Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar
etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay;
yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis
tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’:
Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c)
“Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel
yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi:
Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul
“Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai
alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam konteks Indonesia
diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri,
untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan
buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh
berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi
Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya. Berbagai buku bertema
etnomusikologis yang berbahasa Indonesia, sampai saat ini adalah seperti yang ditulis oleh Deni
Hermawan, Rithaony, Santosa, dan kawan-kawan. Selain itu ada pula beberapa jurnal di bidang
disiplin ini, seperti Jurnal Etnomusikologi FIB USU, Jurnal Selonding ISI Yogyakarta, dan lainlainnya.

Universitas Sumatera Utara

15
Lebih jauh lagi, dalam konteks perkembangan disiplin etnomusikologi
masa kini, penjelasan mengenai apa itu etnomusikologi adalah seperti kutipan dari
laman web resmi Society for Ethnomusicology sebagai berikut.

Ethnomusicology encompasses the study of music-making
throughout the world, from the distant past to the present.
Ethnomusicologists explore the ideas, activities, instruments, and
sounds with which people create music.European and Chinese
classical musics, Cajun dance, Cuban song, hip hop, Nigerian juju,
Javanese gamelan, Navajo ritual healing, and Hawaiian chant are a few
examples of the many varieties of music-making examined in
ethnomusicology. Ethnomusicology is interdisciplinary--many
ethnomusicologists have a background not only in music but in such
areas as anthropology, folklore, dance, linguistics, psychology, and
history.Ethnomusicologists generally employ the methods of
ethnography in their research. They spend extended periods of time
with a music community, observe and document what happens, ask
questions, and sometimes learn to play the community’s types of
music. Ethnomusicologists may also rely on archives, libraries, and
museums for resources related to the history of music traditions.
Sometimes ethnomusicologists help individuals and communities to
document
and promote their musical
practices.
Most
ethnomusicologists work as professors at colleges and universities,
where they teach and carry out research. A significant number work
with museums, festivals, archives, libraries, record labels, schools, and
other institutions, where they focus on increasing public knowledge
and appreciation of the world’s music. Many colleges and universities
have programs in ethnomusicology. To see a list of some of these
programs, visit our guide to Program in Ethnomusicology
(http://webdb.iu.edu)

Dalam situs web tersebut dipaparkan dengan tegas bahwa etnomusikologi
adalah kajian keilmuan yang menjangkau terbentuknya musik di seluruh dunia ini,
dari masa dahulu hingga sekarang. Etnomusikologi mengeksplorasi segala
gagasan, kegiatan, alat-alat musik, suara yang dihasilkan (alat-alat musik atau
vokal), dengan masyarakat yang menghasilkan musik tersebut. Musik klasik
Eropa dan China, tarian Cajun, nyanyian masyarakat Kuba, hip hop, juju dari

Universitas Sumatera Utara

16
Nigeria, gamelan Jawa, ritual penyembuhan penyakit masyarakat Indian Navaho,
nyanyian keagamaan Hawai, adalah beberapa contoh budaya kajian terhadap
musik di seluruh dunia, yang dilakukan oleh para etnomusikolog.
Etnomusikologi merupakan disiplin ilmu pengetahuan yang sifatnya
interdisiplin. Beberapa etnomusikolog mempunyai latar belakang tidak hanya di
dalam musik tetapi ada yang berasal dari bidang ilmu antropologi, folklor, tari,
linguistik, psikologi, dan sejarah. Etnomusikologi secara umum melibatkan
metode etnografi dalam penelitiannya. Para etnomusikolog mengkaji musik dalam
dimensi waktu dan komunitas pendukungnya, mengamati, mengumpulkan
dokumen tentang apa yang terjadi, bertanya tentang apa yang diteliti, dan juga
turut terlibat memainkan musik seperti yang dilakukan komunitasnya. Para
etnomusikolog juga melakukan studi terhadap arsip, perpustakaan, dan museum,
untuk mencari sumber-sumber yang berkaitan dengan sejarah musik. Kadangkala
etnomusikolog melakukan dokumentasi dan mempromosikan pertunjukan musik.
Sebahagian besar etnomusikolog biasanya menjadi ilmuwan diberbagai jenis
pendidikan dan universitas. Sejumlah karya penting mereka berkaitan dengan
museum, festival, arsip, perpustakaan, label rekaman, sekolah, berbagai institusi,
dimana mereka memfokuskan pencerahan kepada pengetahuan dan apresiasi
musik diseluruh dunia. Beberapa perguruan tinggi dan universitas mempunyai
program etnomusikologi.
Dari kutipan di atas dengan jelas menyatakan bahwa etnomusikologi
adalah ilmu yang mengkaji budaya musik diseluruh dunia dari masa dahulu
sampai sekarang. Diantara kajian itu adalah tentang musik dalam dimensi waktu

Universitas Sumatera Utara

17
dan masyarakat pendukungnya, yang artinya adalah pendekatan kesejarahan.
Begitu juga dengan studi terhadap teks nyanyian dan gaya musik adalah salah satu
lingkup kajian di dalam disiplin etnomusikologi. Dengan demikian ilmu ini sangat
relevan digunakan dalam mengkaji struktur musik daan juga konteks sosiobudaya
pada pertunjukan Ketoprak Dor di Sumatera Utara.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan
masalah dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimanakah struktur pertunjukan serta tekstual dalam Ketoprak Dor?
2. Bagaimanakah makna pertunjukan serta tekstual dalam Ketoprak Dor?
3. Bagaimanakah struktur musik pada pertunjukan Ketoprak Dor?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk menganalisis struktur pertunjukan serta tekstual dalam sebuah
pertunjukan Ketoprak Dor.
2. Untuk menganalisis makna pertunjukan serta tekstual dalam sebuah
pertunjukan Ketoprak Dor.
3. Untuk menganalisis struktur musik yang digunakan dalam pertunjukan
Ketoprak Dor.

Universitas Sumatera Utara

18
1.3.2 Manfaat penelitian
Manfaat yang diambil dari penelitian yang diwujudkan dalam laporan
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Menambah referensi bagi lembaga-lembaga pendidikan (sekolah)
sehingga dapat digunakan oleh guru kesenian sebagai bahan
pembelajaran
2) Sebagai bahan masukan bagi tim pengajar sendratari dan musik
3) Sebagai bahan masukan bagi pembaca khususnya mahasiswa seni tari
dan musik, agar dapat mengetahui penyajian pertunjukan Ketoprak
Dor sesungguhnya.
4) Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah dalam menentukan
kebijakan yang berkaitan dengan budaya daerah.
5) Menambah pengetahuan bagi peneliti baik teori maupun pengetahuan
tentang bentuk penyajian Ketoprak Dor.

1.4 Tinjauan Pustaka
Pada studi kepustakaan untuk mempelajari literatur yang berkaitan dengan
penelitian Ketoprak Dor di Jawa Deli ini, Buku-buku yang peneliti gunakan
dalam menunjang penelitian ini adalah:
1. Torang Naiborhu dan Nina Karina yang berjudul Model Pengembangan
Kesenian Tradisional Ketoprak di Sumatera Utara, 2016, Medan:
Univesitas Sumatera Utara. Secara umum, hasil penelitian ini berisikan
tentang model pengembangan kesenian ketoprak di Sumatera Utara agar

Universitas Sumatera Utara

19
terus berlansung di zaman modern ini. Dalam konteks penelitian tesis ini,
peneliti mengambil bagian sejarah, manajemen dan model-model
pertunjukan ketoprak yang ada di Sumatera Utara.
2. Tutik Sugiarti yang berjudul Ketoprak Dor: Perkembangan, Fungsi, dan
tantangannya di Sumatera Utara (1920-1985), 1989. Medan: Universitas
Sumatera Utara. Secara umum, hasil penelitian ini berisikan tentang
penjelasan perkembangan dan tantangan Ketoprak Dor di Sumatera Utara.
Dalam konteks penelitian tesis ini, peneliti mengambil bagian sejarah awal
Ketoprak Dor, cerita yang dibawakan serta tantangannya.
3. Anthony Reid yang berjudul Menuju Sejarah Sumatera, 2011, diterbitkan
di Jakarta oleh Obor Indonesia. Secara umum, buku ini berisikan tentang
perkembangan masyarakat Jawa di Sumatera Timur (Oostkust van
Smatra). Dalam konteks penelitian tesis ini, peneliti mengambil bagian
perkembangan pekerja Jawa yang masuk ke Sumatera pada tahun 1880
sampai tahun 1887 berjumlah 2.210 sebagai pekerja kuli kontrak sebagai
pekebun tembakau, kopi, teh, dan karet bersama dengan pekerja Cina.
4. Lailatul Husna Rangkuti yang berjudul Peranan Gerak Dalam Ketoprak
Dor di Sanggar Langen Setio Budi Deli Serdang, 2015. Medan:
Universitas Negeri Medan. Secara umum hasil penelitian ini menjelaskan
tentang pola dan nama gerak dalam tarian Ketoprak Dor di Deli Serdang.
Dalam konteks penelitian tesis ini, peneliti mengambil bagian tentang
nama, motif dan pola gerakan dalam pertunjukan Ketoprak Dor di Deli
serdang.

Universitas Sumatera Utara

20
5. Clifford Geertz yang berjudul Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat
Jawa, 2010, Jakarta: Pustaka Jaya. Buku ini berisi tentang kelompok dan
identitas masyarakat Jawa. Peneliti mengambil bagian tentang sandiwara
rakyat Jawa yaitu Ketoprak yang lahir pada abad ke-19. Ketoprak
diidentikkan dengan kebudayaan rakyat atau sandiwara panggung bersifat
serio-comic populer karena memiliki cerita serta lakon berunsur lawak
atau lelucon di dalam pertunjukan yang ditampilkan.
6. Lestari Wulandari yang berjudul Pergeseran Ketoprak Dor Sebagai Salah
Satu Upaya Dalam Mempertahankan Identitas Etnis Jawa Deli di Dusun
VII Desa Sei Mencirim Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang,
2016. Medan: Universitas Negeri Medan. Secara umum hasil penelitian ini
menjelaskan tentang pergeseran pertunjukan Ketoprak Dor di Deli
Serdang. Dalam konteks penelitian tesis ini, peneliti mengambil bagian
tentang bentuk pola pergeseran pertunjukan pada Ketoprak Dor di Deli
serdang.
7. Pono Banoe menulis buku yang berjudul Kamus Musik, 2003, Jakarta:
Kanisius. Secara general, buku ini berisi tentang istilah dan penjelasan
mengenai istilah-istilah yang lazim digunakan dalam musikolologi Barat.
Peneliti mengambil bagian tentang pengertian istilah musik yang biasa
digunakan dalam orkestra seperti dinamik, skala, melodi, harmoni, dan
komposisi.
8. James Danandjaja yang berjudul Folklor Indonesia, 1984, Jakarta: Grafiti
Pers. Buku ini berisikan tentang cerita rakyat dan dongeng (folklor) di

Universitas Sumatera Utara

21
Indonesia. Peneliti mengambil bagian tentang hakikat folklor sebagai
disiplin pengetahuan, sejarah perkembangan folklor di Indonesia serta
contoh cerita dongeng yang populer di Indonesia seperti cerita 1001
Malam, Malin Kundang, dan Bujang Lapok sebagai salah satu cerita dalam
Ketoprak Dor.
9. Muhammad Sholikin yang berjudul Ritual dan Tradisi Islam Jawa, 2010,
Jakarta: Gramedia. Narasi utama buku ini berisikan tentang ritual dan
kehidupan sehari-hari kehidupan masyarakat Jawa. Peneliti mengambil
bagian pada sistem pola kehidupan masyarakat Jawa di kehidupan seharihari seperti tradisi pernikahan, sistem ekonomi dan lingkungan
masyarakat. Bagian ini dianggap penting bagi Peneliti karena sebagai
bahan perbandingan antara masyarakat Jawa dengan masyarakat Jawa
Deli.
10. Slamet Hariadi yang berjudul StudiDeskriptif Ketoprak Dor Oleh Sanggar
Langen Setio Budi Lestari Pada Upacara Adat Perkawinan Jawa Di
Kelurahan Jati Makmur Kecamatan Binjai Utara Kota Binjai, 2015.
Medan: Universitas Sumatera Utara. Secara umum, hasil penelitian ini
berisikan tentang penjelasan struktur pertunjukan Ketoprak Dor di kota
Binjai serta peranannya di dalam upacara perkawinan masyarakat Jawa di
kota Binjai. Dalam konteks penelitian tesis ini, peneliti mengambil bagian
struktur pertunjukan Ketoprak Dor, cerita yang dibawakan serta
keberadaan masyarakat Jawa di kota Binjai.

Universitas Sumatera Utara

22
11. Rosmawaty yang berjudul Seni Drama, 2011, Medan: Unimed Press.
Buku ini berisikan tentang seni drama di Indonesia. Peneliti mengambil
bagian tentang sejarah teater rakyat di Indonesia, istilah istilah dalam
teater, jenis jenis teater serta fungsi teater untuk masyarakat. Hal ini
dianggap penting karena Ketoprak Dor merupakan pertunjukan teater
rakyat.
12. Soetandyo yang berjudul Kamus Istilah Karawitan, 2002, Surakarta:
Wedatama Widya Sastra. Buku ini berisi tentang istilah dan penjelasan
mengenai istilah karawitan. Peneliti mengambil bagian tentang pengertian
istilah musik yang biasa digunakan dalam karawitan seperti panembrana,
gobyong, mijil, dan istilah karawitan lainnya.
13. Panji Suroso yang berjudul Ketoprak Dor di Helvetia, 2012, Medan:
Unimed Press. Buku ini berisikan tentang kajian secara antropologi dan
sosiologi masyarakat Helvetia sebagai pelaku Ketoprak Dor. Peneliti
mengambil bagian tentang perkembangan Ketoprak Dor di Sumatera
Utara khususnya di Helvetia mulai dari sejarah, struktur pemain, alat
musik yang digunakan serta fungsi dari Ketoprak Dor sebagai sebuah
identitas kebudayaan masyarakat Jawa Deli di Helvetia.
14. Herry Lisbijanto yang berjudul Ketoprak, 2014, Jakarta: Graha Ilmu. Buku
ini berisikan tentang sejarah Ketoprak Mataram atau Ketoprak Nengnong
sebagai kebudayaan masyarakat Jawa Tengah. Peneliti mengambil bagian
tentang sejarah, perkembangan, pelaku, dan hal hal penting pada kesenian
Ketoprak secara umum.

Universitas Sumatera Utara

23
15. Ann Laura Stoler yang menulis sebuah buku berjudul Kapitalisme dan
Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera Tahun 1870-1979, 2005,
Jakarta: Karsa. Buku ini berisikan tentang cerita para pekerja perkebunan
diera kolonialisasi Belanda di Sumatera. Peneliti mengambil bagian
tentang cerita masuknya pekerja Jawa ke Sumatera sebagai pekebun
tembakau, politik kekerasan yang ditunjukkan oleh para mandor
perkebunan serta cerita perlawan dari para pekerja perkebunan.
16. Mohammad Said yang menulis sebuah buku berjudul Suatu Zaman Gelap
di Deli : Koeli Kontrak Tempo Doeloe dengan Derita dan Kemarahnnya,
1977, Medan: Waspada. Buku ini berisikan tentang cerita para kuli
kontrak di Tanah Deli. Peneliti mengambil bagian tentang cerita masuknya
pekerja Jawa ke Deli sebagai kuli kontrak, peta persebaran Deli, beberapa
dokumentasi tentang kuli kontrak, serta jumlah populasi pekerja kuli
kontrak di Tanah Deli.
17. Buku karya Kaelan yang berjudul Metode Penelitian Kualitatif
Interdisipliner Bidang Sosial, Budaya, Filsafat, Seni, Agama, dan
Humaniora, 2012, Jakarta: Paradigma. Buku ini berisikan tentang metode
lapangan di dalam melakukan penelitian dan analisis data melalui
pendekatan kemasyarakatan. Peneliti mengambil bagian di dalam buku ini
tentang bagaimana cara mengolah data yang diperoleh dari penelitian yang
melibatkan kelompok masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

24
1.5 Konsep dan Teori
1.5.1 Konsep
Konsep merupakan suatu definisi secara singkat dari kelompok fakta atau
gejala Koentjaraningrat (1991:21). Konsep ini dalam rangka penelitian
etnomusikologi boleh diambil dari kamus, para ahli dibidangnya maupun dari
masyarakat yang kita teliti. Dalam konteks penelitian ini, konsep yang digunakan
mencakup apa yang dikemukakan oleh para ahli dan para informan kunci dalam
penelitian ini.
Menurut Murgianto (1996:156), pertunjukan adalah sebuah komunikasi
yang dilakukan satu orang atau lebih, pengirim pesan merasa bertanggung jawab
pada seseorang atau lebih penerima pesan, dan kepada sebuah tradisi yang
mereka pahami bersama melalui seperangkat tingkah laku yang khas. Dalam
sebuah pertunjukan harus ada pemain, penonton, pesan yang dikirim, dan cara
penyampaian yang khas. Sesuai dengan konsep yang diatas maka Ketoprak Dor
dikategorikan sebagai seni pertunjukan, karena dalam pertunjukannya ada
penyaji (pemain), penonton, pesan yang dikirim, dan dengan penyampaian yang
khas.
Brandon dan Soedarsono dalam Naiborhu dan Karina (2016:6)
mengatakan bahwa beberapa fungsi seni pertunjukan dalam lingkungan etnik di
Indonesia, ialah: (1) Pemanggil kekuatan gaib, (2) Penjemput roh-roh pelindung
untuk hadir ditempat pemujaan, (3) Memanggil roh-roh baik untuk mengusir rohroh jahat, (4) Peringatan pada nenek moyang dengan menirukan kegagahan dan
kesigapannya, (5) Pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat-

Universitas Sumatera Utara

25
tingkat hidup seseorang, (6) Pelengkap upacara sehubungan dengan saat-saat
tertentu dalam perputaran waktu, (7) Perwujudan daripada dorongan untuk
mengungkapkan

keindahan

semata,

(8)

Sebagai

ritual

kesuburan,

(9)

Memperingati daur hidup manusia sejak kelahiran hingga ia mati, (10) Mengusir
wabah penyakit, (11) Melindungi masyarakat dari berbagai ancaman bahaya, (12)
Sebagai hiburan pribadi, (13) Sebagai representasi estetis (tontonan), (14) Sebagai
media propaganda, (15) Sebagai penggugah solidaritas sosial, (16) Sebagai
pembangun integritas sosial, (17) Sebagai pengikat solidaritas nasional, (18)
Sebagai alat komunikasi, dan sebagainya.
Selain hal tersebut seni pertunjukan dibagi ke dalam dua kategori yaitu:
(1) Seni pertunjukan sebagai tontonan, dimana ada pemisah yang jelas antara
penyaji dan penonton, dan (2) Seni pertunjukan pengalaman bersama, dimana
antara

penyaji

dan

penonton

saling

berhubungan

satu

sama

lain

(Sedyawati,1981:58-60).
Di dalam pertunjukan Ketoprak Dor terdapat beberapa ciri khas yang
menjadi pedoman tidak tertulis walaupun sebenarnya tidak ada pakem yang baku
dalam penyajiannya. Diantara ciri khas tersebut adalah:
a. Dialog berbahasa Jawa
b. Cerita yang ditampilkan merupakan cerita tentang raja-raja yang merupakan
dongeng rakyat, legenda, mitos, ataupun cerita baru yang merupakan gubahan
sutradara Ketoprak Dor itu sendiri.
c. Iringan musik dalam pertunjukan Ketoprak Dor yang paling utama adalah
kentrung (berbentuk kentongan kecil) dan jidor, dan irama dan melodi

Universitas Sumatera Utara

26
musiknya bersifat repetitif atau pengulangan-pengulangan disaat selingan
atau pergantian adegan.

1.5.2 Teori
Peneliti menggunakan menggunakan beberapa teori yang berhubungan
dengan permasalahan yang akan dibahas dan dianggap relevan. Dalam meneliti
perubahan pertunjukan dan budaya dalam Ketoprak Dor, peneliti menggunakan
teori asimilasi budaya. Menurut Koentjaraningrat (2009:209) pengertian asimilasi
(assimilation) adalah proses sosial yang timbul bila ada: (a) golongan-golongan
manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda, (b) saling bergaul
langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga (c) kebudayaankebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas,
dan juga unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur kebudayaan
campuran.
Untuk mengkaji sejauh apa fungsi seni pertunjukan, serta bagaimana
fungsi lagu dan tari dalam masyarakat, biasanya digunakan teori fungsionalisme.
Menurut Lorimer dalam Takari dan Heristina (2008:15-16), teori fungsionalisme
adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan
pada saling ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan
kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu.
Secara umum fungsi komunikasi terdiri dari empat kategori utama yaitu:
(1) fungsi memberitahu, (2) fungsi mendidik, (3) memujuk khalayak mengubah
pandangan, dan (4) untuk menghibur orang lain. Fungsi untuk memberi tahu,

Universitas Sumatera Utara

27
artinya adalah melalui komunikasi berbagai konsep atau gagasan diberitahukan
kepada orang lain (penerima komunikasi), dan penerima ini menerimanya, yang
kemudian dampaknya ia tahu tentang gagasan yang dikomunikasikan tersebut.
Fungsi komunikasi lainnya adalah mendidik. Artinya adalah bahwa
komunikasi berperan dalam konteks pendidikan manusia. Komunikasi menjadi
saluran ilmu dari seseorang kepada orang lainnya. Ilmu pengetahuan dipindahkan
dari sesorang yang tahu kepada orang yang belum tahu. Berkat terjadinya
komunikasi maka kelestarian kebudayaan akan terus berlanjut antara generasi ke
generasi, dan dampak akhirnya masyarakat itu cerdas dan dapat mengelola alam
melalui ilmu pengetahuan.
Komunikasi juga berfungsi untuk mengubah pandangan manusia atau
memujuk khalayak untuk merubah pandangannya. Melalui komunikasi,
pandangan seseorang atau masyarakat dapat diubah, dari satu pandangan ke
pandangan lain. Apakah pandangan yang lebih baik atau lebih buruk menurut
stadar norma-norma sosial. Fungsi komunikasi lainnya adalah menghibur orang
lain. Maksudnya adalah bahwa melalui komunikasi seorang penyampai atau
sumber komunikasi akan menghibur orang lain sebagai penerima komunikasi,
yang memang dalam konteks sosial diperlukan.
Untuk mengkaji struktur musik dalam pertunjukan Ketoprak Dor, peneliti
menggunakan teori bobot tangga nada (weighted scale) yang ditawarkan oleh
Malm (1977). Untuk mendeskripsikan struktur musik seperti instrumentasi atau
alat-alat musik yang digunakan dalam pertunjukan digunakan sistem klasifikasi

Universitas Sumatera Utara

28
Sachs dan Hornbostel serta etnoklasifikasi. Untuk menganalisis unsur-unsur
pertunjukan digunakan metode dekripsi pertunjukan oleh Milton Singer.
Teori weighted scale adalah sebuah teori yang mengkaji

keberadaan

melodi berdasarkan kepada delapan unsurnya. teori ini dikemukakan oleh Malm
(1977:15). Kedelapan unsur melodi itu menurut Malm adalah: (1) tangga nada;
(2) nada pusat atau nada dasar; (3) wilayah nada (ambitus); (4) jumlah nada; (5)
penggunaan interval; (6) pola kadensa; (7) formula melodi; dan (8) kontur.
Teori ini dipergunakan untuk menganalisis melodi lagu yang dipergunakan
dalam pertunjukan Ketoprak Dor Jawa Deli, tentunya dengan melihat beberapa
kali pertunjukan Ketoprak Dor Jawa Deli kemudian mencatat lagu-lagu yang
sering dimainkan dalam pertunjukan, mencatat pada saat kapan saja lagu tersebut
dimainkan, kemudian merekam lagu-lagu yang sering dimainkan. Milton Singer
pernah mengeluarkan pendapatnya yang bisa dipergunakan untuk menganalisis
seni pertunjukan. Bahwa seni pertunjukan memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1) Waktu pertunjukan yang terbatas,
2) Mempunyai awal dan akhir,
3) Acara kegiatan yang terorganisir,
4) Sekelompok pemain,
5) Sekelompok penonton,
6) Tempat pertunjukan, dan
7) Kesempatan

untuk

mempertunjukkan

(dalam

Sal

Murgiyanto

1996:164-165).

Universitas Sumatera Utara

29
Brandon dan Soedarsono dalam Naiborhu (2016:9) mengatakan bahwa
beberapa fungsi seni pertunjukan dalam lingkungan etnik di Indonesia, ialah: (1)
pemanggil kekuatan gaib, (2) penjemput roh-roh pelindung untuk hadir ditempat
pemujaan, (3) memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat, (4)
peringatan pada nenek moyang dengan menirukan kegagahan dan kesigapannya,
(5) pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat-tingkat hidup
seseorang, (6) pelengkap upacara sehubungan dengan saat-saat tertentu dalam
perputaran waktu, (7) perwujudan daripada dorongan untuk mengungkapkan
keindahan semata, (8) sebagai ritual kesuburan, (9) memperingati daur hidup
manusia sejak kelahiran hingga ia mati, (10) mengusir wabah penyakit, (11)
melindungi masyarakat dari berbagai ancaman bahaya, (12) sebagai hiburan