Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhad (1)

Dampak Perubahan Penggunaan Lahan
Terhadap Respons Debit dan Bahaya Banjir
(Studi Kasus di DAS Gesing, Purworejo
berdasarkan Citra Landsat TM dan Aster VNIR)
Arif Pratistoa) dan Projo Danoedorob)
a) Departemen
b) PUSPICS

Kehutanan Republik Indonesia
Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
Ringkasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh perubahan penutup lahan terhadap
debit puncak di DAS Gesing, Purworejo, dan dampaknya terhadap bencana banjir di daerah hilir dari DAS tersebut. Dalam penelitian ini, citra landsat TM tahun perekaman 1992
dan citra Aster VNIR tahun perekaman 2003 digunakan sebagai dasar ekstraksi informasi
penutup lahan. Sementara itu, data penutup lahan yang diperoleh dari citra juga digunakan
sebagai salah satu masukan pemodelan koefisien aliran permukaan (C) untuk masing-masing
tahun, di samping data masukan lain berupa kemiringan lereng, infiltrasi tanah dan simpanan
permukaan. Hasil pemodelan koefisien aliran permukaan pada masing-masing tahun kemudian dijadikan masukan untuk pemodelan debit (Q) dengan menggunakan metode rasional,
di samping data luas area (A) dan intensitas hujan (I) yang juga disajikan secara spasial.
Metode rasional sederhana ini diimplementasikan dengan pendekatan sel (piksel) menggunakan perangkat lunak PCRaster, di mana komputasi terebut menggunakan ukuran piksel

sebagai A parsial sehingga dihasilkan peta distribusi spasial debit pada setiap piksel, dan
menjaid debit puncak di bagian outlet DAS. Hasil pemodelan debit pada dua tahun yang
berbeda ini kemudian dibandingkan dengan perubahan penutup lahan, baik dalam perubahan jenis (hasil klasifikasi multispektral) maupun kualitas (perubahan indeks vegetasi), serta
dibandingkan pula dengan tinggi banjir di lapangan yang merupakan model interpolasi spasial jejak banjir dan wawancara dengan masyarakat lokal. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa perubahan penutup lahan di DAS Gesing bagian hulu telah terjadi secara signifikan,
dan hal ini berpengaruh besar terhadap peningkatan koefisien aliran permukaan serta debit
puncak. Banjir tahun 1992 dan 2003 merupakan dampak langsung dari perubahan tersebut.
Penelitian ini juga mencoba membahas beberapa kelemahan dari model yang digunakan.
Kata kunci : data penginderaan jauh, penutup lahan, DAS, banjir, debit puncak

1

Pengantar

Banyak wilayah di Jawa saat ini telah mengalami peningkatan jumlah dan kepadatan penduduk.
Di wilayah perdesaan, jumlah penduduk yang meningkat pesat juga kebanyakan menggantungkan hidupnya pada aktivitas pertanian. Peningkatan ini secara langsung menyebabkan beberapa masalah lingkungan, di mana kebutuhan akan lahan pertanian dan juga permukiman pada
umumnya dikompensasi dengan penyusutan lahan hutan dan vegetasi alami/semi-alami lainnya.
Dengan demikian, terjadilah proses perubahan penutup dan penggunaan lahan sekaligus.
Perubahan semacam ini membawa efek negatif pada proses-proses hidrologi di suatu daerah
aliran sungai (DAS). Perubahan penutup vegetasi di DAS dapat dihipotesiskan mengakibatkan

dampak negatif terhadap debit aliran sungai dan pada akhirnya juga menimbulkan bencana
banjir. Secara lebih rinci dapat dikatakan bahwa perubahan penutup vegetasi berpengaruh
terhadap karakteristik limpasan permukaan (run off). Peningkatan volume limpasan permukaan
secara cepat pada periode waktu yang pendek menyebabkan peningkatan debit puncak dan
banjir yang parah di daerah hilir.
Penelitian ini difokuskan di DAS Gesing, Purworejo, Jawa Tengah. Di sekitar outlet Sungai Gesing, ada suatu wilayah yang sering terlanda banjir, khususnyta di dusun Piji Kebon. Penelitian
17

ini berangkat dari suatu hipotesis bahwa peritiwa banjir di daerah ini terutama disebabkan oleh
adanya perubahan penutup dan penggunaan lahan di daerah hulu dari DAS Gesing. Hingga
saat penelitian ini dilakukan, belum ada penelitian mengenai pengaruh perubahan penutup lahan di daerah hulu Sub-DAS Geisng terhadap bencana banjir di daerah hilir. Analisis mengenai
fenomena ini diperlukan untuk memahami pengaruh perubahan penutup lahan terhadap debit
sungai dan bencana banjir di DAS Gesing.

Gambar 1: Daerah penelitian

2

Penelitian mengenai banjir dalam perspektif penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG)


Ulasan mengenai penelitian terdahulu secara ringkas dikelompokkan ke dalam (a) bahaya banjir,
(b) pemodelan debit puncak, (c) interpretasi dan pemetaan perubahan penutup lahan, dan (d)
pengolahan citra penginderaan jauh.
Bencana alam merupakan suatu aspek interaksi manusia dengan alam, yang muncul dari suatu
proses biasa, di mana manusia mencoba untuk mencari manfaat dari alam serta mencoba untuk
membatasi hal-hal yang dipandang membahayakan (Kates, 1970). Salah satu bencana alam
ialah banjir yang menimbulkan genangan air di wilayah yang rendah di sekitar sungai. Banjir
merupakan fenomena yang seringkali terkait dengan pemanfaatan lahan yang keliru. Curah hujan yang berlebih dan tidak dapat diramalkan bisa mengakibatkan genangan dan bahkan nbanjir
di wilayah bertopografi rendah. Penentuan luas genangan banjir dan kerusakan yang ditimbulkan sangat diperlukan agar dapat dilakukan langkah-langkah perlindungan dan minimalisasi
risiko.
Pengukuran tinggi genangan banjir yang terjadi di masa lampau dapat dilakukan dengan pemetaan partisipatif (participatory mapping). Pemetaan partisipatif dan juga SIG partisipatif
merupakan upaya melibatkan pengalaman langsung masyarakat lokal atau ingatan kolektif masyarakat mengenai banjir, genangan dan sebagainya. Proses semacam ini merupakan masukan
esensial dalam penilaian ilmiah untuk tingkat keparahan bencana banjir (McCall, 2007).
Pemetaan partisipatif memanfaatkan kuesioner untuk menilai luas area banjir dan kedalamannya. Beberapa responden biasanya diperlukan untuk memperoleh hasil yang bagus dalam me18

nilai bahaya tersebut. Pemberdayaan masyarakat lokal sangat perlu karena mereka biasanya
tahu banyak mengenai riwayat banjir di daerah sekitar tempat tinggal mereka. Di samping itu,
pemberdayaan masyarakat lokal dalam konteks bahaya banjir juga sangat berguna bagi mereka sendiri, khususnya dalam mengenali wilayah-wilayah rawan banjir, sehingga mereka dapat
meningkatkan kewaspadaan.
Debit sungai merupakan volume air yang dialirkan melalui suatu penampang pada satuan waktu

tertentu. Estimasi debit dengan menggunakan metode rasional merupakan suatu pendekatan
yang biasa dilakukan, dan hal ini biasa diterapkan pada suatu DAS atau sub-DAS. Metode
ini sederhana dan mudah diterapkan. Perlu pula untuk dicatat bahwa persyaratan data untuk
metode rasional pada umumnya sama dengan yang diperlukan untuk mengembangkan hidrograf limpasan permukaan dengan menggunakan teori hidrograf satuan (ITC, 2002; Water Ware
Consultant, 2007; ODOT 2005).
Penentuan debit puncak menjurut metode rasional memerlukan data tentang koefisien aliran
permukaan, dan koefisien aliran permukaan memerlukan informasi tentang kualitas penutupan
vegetasi. Penentuan penutup lahan vegetasi dna penutup lahan lain dapat dilakukan secara
efektif dan akurat dengan bantuan data penginderaan jauh. Citra penginderaan jauh seperti
Landsat TM/ETM+ dan Aster dapat digunakan untuk memetakan jenis-jenis penutup lahan.
Penginderaan jauh juga mampu menyajikan variais spasial penutup lahan yang lain, termasuk
misalnya bangunan dan permukaan kedap air lainnya. Proses klasifikasi dan pemetaan penutup
lahan dapat dilakukan secara visual, digital, atau kombinasi keduanya (Mather, 2004).
Sebelum citra digital diekstrak informasinya mengacu ke kriteria atau sistem klasifikasi tertentu,
tahap pra-pemrosesan harus dijalani, baik untuk koreksi geometrik maupun radiometrik. Koreksi geometrik menempatkan kembali piksel-piksel obyek ke posisi yang benar, sesuai dengan
acuan di lapangan atau peta dasar; karena selama proses perekaman tetalh terjadi kesalahan
penempatan posisi piksel yang disebabkan oleh banyak faktor, misalnya kelengkungan dan rotasi
bumi, variasi relief, sudut pandang sensor dan gerakan pesawat. Hasil koreksi geometrik adalah
citra yang terproyeksikan secara ortogonal atau mengacu ke proyeksi standar lain, siap untuk
dipadukan dengan peta-peta tematik dalam suatu pemodelan aplikasi.

Koreksi radiometrik sangat diperlukan apabila citra akan dianalisis respons spektral aslinya,
dengan menghilangkan pengaruh-pengaruh gangguan, seperti misalnya inkonsistensi detektor,
kondisi atmosfer, dan pengaruh topografi. Koreksi atau kalibrasi radiometrik juga diperlukan
apabila terdapat data yang bersifat multitemporal yang perlu dianalisis bersama-sama untuk
memantau ada-tidak perubahan yang terekam pada piksel-piksel citra tersebut (Parodi and
Prakash, 2004).

3

Metode penelitian

Penelitian ini menggunakan kombinasi antara analisis multitemporal berbasis citra satelit dan
pemodelan debit puncak. Analisis multitemporal digunakan untuk memperoleh infromasi tentang kondisi penutup lahan pada tahun 1992 dan 2003, serta laju perubahan yang terjadi;
sementara pemodelan debit puncak dilakukan dengna menggunakan metode rasional, yang memanfaatkan informasi koefisien aliran yang diturunkan dari informasi penutup lahan berbasis
citra. Rumus untuk debit puncak menurut metode rasional adalah sebagai berikut:
Q = 0.278C.I.A

(1)

di mana: Q = Debit puncak (m3 /detik) C = Koefisien aliran permukaan yang menyatakan rasio

19

antara aliran permukaan terhadap curah hujan I = Intensitas hujan (mm/jam) A = Luas DAS
(km2 ) 0.278 = Koefisien
Metode rasional ini dicoba untuk diimplementasikan dengan menggunakan model accufractionflux dalam perangkat lunak PCRAster, di mana semua masukan dipresentasikan pada basis sel
(piksel). Nilai area A dalam model ini sama dengan nilai area sel atau ukuran piksel, sementara
masukan data C dan I merupakan hasil interpolasi spasial.
Untuk penelitian ini, digunakan citra Landsat TM perekaman 1992 dan Aster VNIR perekaman
2003 sebagai dasar ekstraksi kondisi penutup lahan. Peta-peta pendukung berupa peta RBI
skala 1:25.000, peta geologi dan peta tanah. Perangkat pendukung lain adalah komputer dan
perangkat lunak PCRaster dan ILWIS, double ring infiltrometer, serta differential GPS.

3.1

Koefisien aliran permukaan (C)

Nilai koefisien aliran permukaan C dalam penelitian ini merupakan fungsi dari beberapa variabel penutup lahan dan hidrologi, meliputi penutup lahan, kemiringan lereng, inflitrasi tanah,
dan simpanan air permukaan. Metode kalkulasi yang digunakan mengikuti Cook (SCDT, 2003).
Supaya dapat memperoleh koefisien aliran permukaan yang representatif, nilai total koefisien
aliran permukaan ditentukan dengan mempertimbangkan bobot faktor menurut berbgaai penutup lahan dan pengelompokan karakteristik tanah dan hidrologi (ITC, ILWIS Application 11.

Determination of Peak Runoff).
Klasifikasi penutup lahan menurut perannya terhadap limpasan permukaan diklasifikasikan dan
diberi skor seperti tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1: Klasifikasi dan skor penutup lahan untuk limpasan permukaan
Klasifikasi
- Lahan terbuka
- Tanaman pertanian, terutama tanaman pertanian pada dataran aluvial
- Penutup lahan yang tidak efektif, gundul atau sangat jarang
- Campuran bangunan dan vegetasi, termasuk permukiman dan pekarangan yang tidak rapat
- Semak
- Penutup lahan alami yang tidak begitu rapat, hingga 20% tutupan horisontal
- Tanaman perkebunan, terutama yang ditanami dengan cengkeh
- Tutupan cuklup rapat hingga 50% berupa campuran rerumputan dan pepohonan
- Hutan
- Vegetasi campuran, khususnya tanaman buah-buahan seperti hutan rakyat
- Tutupan vegetasi sangat bagus, sekitar 90% area tertutup vegetasi pepohonan atau yang setara
Modifikasi dari SCDT (2003)

Skor


0.14

0.10
0.07

0.05

Kemiringan lereng diklasifikasi seperti tersaji pada Tabel 2. Pada tabel ini kemiringan lereng
dibagi menjadi empat klas dengan deskripsi kategorisasiyang juga memasukkan aspek relief.
Modifikasi dari SCDT (2003)
Untuk infiltrasi tanah digunakan klasifikasi menurut Rickard dan Cossnes (1965, dalam ILRI,
1974). Ada lima kategori yang penilaian skornya terhadap limpasan permukaan mengikuti
kriteria dari SCDT (2003) dengan modifikasi.
Pemetaan kemiringan lereng dilakukan dengan menerapkan interpolasi spasial atas peta kontur
digital. Mengingat bahwa peta kontur yang ada terutama berbasis peta RBI skala 1:25.000, maka
20

Tabel 2: Klasifikasi dan skor kemiringan lereng untuk limpasan permukaan
Klas kemiringan
Relatif datar, dengan rerata kemiringan lereng < 5%

Bergelombang, dengan rerata kemiringan lereng 5 - 10%
Berbukit, dengan rerata kemiringan lereng 10 - 30%
Berbukit curam bergunung, medan berat, dengan rerata kemiringan lereng > 30%
Modifikasi dari SCDT (2003)

Skor
0.1
0.15
0.25
0.3

dilakukan penambahan titik-titik ketinggian secara acak dengan menggunakan GPS diferensial,
agar hasil interpolasi spasial bisa disetarakan dengan peta berskala lebih besar (1:10.000). Hasil
interpolasi spasial adalah model elevasi digital (DEM) yang kemudian diturunkan menjadi peta
lereng.
Tabel 3: Klasifikasi dan skor infiltrasi tanah untuk limpasan permukaan
Klas
Sangat rendah
Rendah
Normal

Tinggi
Sangat tinggi
Modifikasi dari

Infiltrasi (mm/jam)
< 2.5
2.5 - 15
15 - 28
28 - 53
> 53
Rickard and Cossens (1965, dalam ILRI, 1974) dan SCDT (2003)

Skor
0.12
0.08
0.06
0.04
0.02

Pengukuran infiltrasi dilakukan dengan menggunakan double ring infiltrometer. Pengambilan

sampel dilakukan dengan metode stratified random sampling, di mana faktor satuan pemetaan
tanah, lereng dan penutup lahan dijadikan strata.
Simpanan permukaan tidak dapat ditentukan secara langsung, dan diddekati dengan variabel
pengganti (surrrogate). Variabel pengganti ini adalah kerapatan aliran (Dd), yang merupakan
hasil bagi antara panjang sungai total L dengan luas DAS. Rumus kerapatan aliran tersaji pada
rumus 1 menurut Gregory and Walling (1973), Seyhan (1977) dan Linsley (1959).

Dd =

L
A

(2)

Di mana: Dd = Drainage density (km/km2 ) L = Total length of all the stream (km) A =
Drainage area (km2 )
Intensitas hujan ditentukan dengan menggunakan rumus dari Mononobe berikut:
P
×
I=
24



24
t

2/3

(3)

di mana: I = intensitas hujan (mm/jam) P = curah hujan harian (mm) t = durasi hujan (jam)
Metode rasional ini mengasumsikan bahwa durai hujan adalah sama sepanjang waktu konsentrasi. Waktu konsentrasi tc ditentukan dengan menggunakan rumus Kirpich (1940) berikut
tc = 0.0078L0.77 S −0.385

(4)

di mana: tc = waktu konsentrasi (menit) L = panjang saluran (kaki) S = lereng, di mana S =
H/L, H adalah beda tinggi antara titik tertingggi dan terendah dalam DAS.
21

Tabel 4: Klasifikasi kerapatan aliran dan simpanan permukaan untuk klakulasi limpasan permukaan
Kerapatan aliran
(km/km2 )
5
2-5
1-2