PERBANDINGAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS. pdf

PERBANDINGAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS ANTARA SISWA
YANG DIAJAR DENGAN MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF DAN
MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE CONCEPTUAL
UNDERSTANDING PROCEDURES (CUPS)
Nur Juniar Afifi, Anton Noornia, Dwi Antari
Gedung FMIPA, Kampus-B UNJ
Jl. Pemuda, Jakarta-13220
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kemampuan koneksi matematis siswa yang diajar
dengan model pembelajaran generatif lebih tinggi daripada siswa yang diajar dengan model pembelajaran
kooperatif tipe CUPs di SMP Negeri 216 Jakarta. Metode penelitian yang digunakan adalah metode quasi
experiment (eksperimen semu). Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik two stage random sampling
yang terdiri dari teknik purposive sampling dan cluster sampling. Kedua kelas eksperimen yang terpilih berasal
dari populasi yang homogen. Instrumen penelitian yang digunakan posttest kemampuan koneksi matematis
pada pokok bahasan fungsi dan persamaan garis lurus.
Berdasarkan perhitungan data posttest, didapatkan rata-rata kemampuan koneksi matematis kelas
eksperimen I adalah 80,69 sedangkan kelas eksperimen II adalah 75,35. Karena data posttest kedua kelas
eksperimen berdistribusi normal dan homogen dilakukan pengujian hipotesis dengan uji-t untuk varians
kelompok yang homogen. Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis dengan menggunakan uji-t pada taraf
signifikansi � = , , didapatkan nilai ℎ
dan

= ,99. Karena ℎ
, maka dapat
� = ,
� >
disimpulkan bahwa kemampuan koneksi matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran generatif
lebih tinggi daripada siswa yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe Conceptual Understanding
Procedures (CUPs) di SMP Negeri 216 Jakarta pada pokok bahasan fungsi dan persamaan garis lurus.
Kata kunci : Kemampuan Koneksi Matematis, Model Pembelajaran Generatif, Model Pembelajaran
Kooperatif, Conceptual Understanding Procedures.

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Matematika adalah ilmu yang sangat lekat dengan kehidupan manusia sehari-hari.
Hampir semua aktivitas yang ada dalam kehidupan manusia berkaitan dengan konsep-konsep
yang ada dalam matematika. Sementara itu, NCTM (Van De Walle, 2008:4) menyatakan bahwa
terdapat lima standar proses dalam pembelajaran matematika, yaitu pemecahan masalah,
pemahaman dan pembuktian, komunikasi, koneksi, dan representasi matematis. Koneksi dapat
diartikan sebagai hubungan atau keterkaitan. Koneksi matematis diilhami karena ilmu
matematika tidak terpartisi dalam berbagai topik yang saling terpisah, namun matematika
merupakan satu kesatuan (Sugiman, 2008:2). Karena itulah koneksi matematis merupakan salah

satu aspek penting yang harus dimiliki siswa untuk mempelajari matematika di sekolah. Hasil
survei TIMSS pada tahun 1999, 2003, dan 2007 berturut-turut Indonesia menempati peringkat
34 dari 38 negara, peringkat 35 dari 46 negara, dan peringkat 35 dari 46 negara (Balitbang
Kemdikbud, 2011).
Model pembelajaran matematika yang digunakan oleh guru sangat mempengaruhi
kemampuan matematis siswa di dalam kelas, tak terkecuali kemampuan koneksi matematis.
Permasalahan sering terjadi pada saat guru menggunakan model pembelajaran yang cenderung
monoton serta tidak dioptimalkannya berbagai alat bantu pembelajaran dalam proses
pembelajaran di dalam kelas. Salah satu dari model pembelajaran yang dianggap akan
dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa adalah model pembelajaran
generatif. Siswa aktif mengonstruksi sendiri pengetahuannya melalui beberapa tahapan
pembelajaran. Osborne dan Freyberg (Hassard, 2000) membagi tahapan pembelajaran yang
terdapat dalam model pembelajaran generatif menjadi tahap eksplorasi, pemfokusan, tantangan,
dan penerapan konsep. Selain model pembelajaran generatif, model pembelajaran yang juga
dianggap akan meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa adalah model pembelajaran
kooperatif tipe Conceptual Understanding P rocedures (CUP s ). Gunstone (McKittrick &
Mulhall, 2003) menyatakan tiga tahap utama dalam CUP s, yaitu: tahap individual, triplet, dan
diskusi seluruh kelas.

1


Kedua model pembelajaran yang telah diuraikan di atas dianggap dapat
meningkatkan kemampuan koneksi matematis karena dianggap dapat meningkatkan keaktifan
siswa dalam membangun pengetahuan baru berdasarkan pengetahuan awal yang dimilikinya.
Berdasarkan uraian-uraian singkat di atas, akan dilakukan penelitian untuk membandingkan
kemampuan koneksi matematis antara siswa yang diajar dengan model pembelajaran generatif
dan model pembelajaran kooperatif Tipe CUPs dalam pembelajaran matematika di SMP Negeri
216 Jakarta.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah terdapat perbedaan kemampuan koneksi matematis antara siswa yang diajar
dengan model pembelajaran Generatif dan model pembelajaran kooperatif tipe
Conceptual Understanding Procedures (CUPs) dalam pembelajaran matematika di SMP
Negeri 216 Jakarta?
2. Jika terdapat perbedaan kemampuan koneksi matematis, manakah yang lebih tinggi?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan kemampuan
koneksi matematis antara siswa yang diajar dengan model pembelajaran Generatif
dan model pembelajaran kooperatif tipe Conceptual Understanding Procedures (CUPs). Jika
terdapat perbedaan, model pembelajaran manakah yang lebih unggul dalam mengembangkan

kemampuan koneksi matematis pada pembelajaran matematika di SMP Negeri 216 Jakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memberi banyak manfaat untuk berbagai pihak, yaitu
siswa, guru, sekolah, dan peneliti. Manfaat-manfaat tersebut adalah:
1. Bagi siswa, agar dapat mengetahui pentingnya kemampuan koneksi matematis dalam
mempelajari matematika dan menjadi bahan latihan untuk menyelesaikan permasalahan
matematika atau masalah dalam kehidupan sehari-hari.
2. Bagi guru, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk mencari model
pembelajaran alternatif yang akan meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa.
3. Bagi sekolah, sebagai dasar pertimbangan dalam membuat kebijakan dalam rangka
peningkatan kualitas proses dan hasil pembelajaran matematika di sekolah.
4. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan akan menambah wawasan tentang model-model
pembelajaran alternatif yang akan meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa.
II. KAJIAN TEORETIS
A. Kemampuan Koneksi Matematis
Koneksi matematis adalah kata yang merupakan terjemahan dari mathematical
connection dalam bahasa Inggris. Koneksi dalam kaitannya dengan matematika disebut dengan
koneksi matematis. NCTM (Sugiman, 2008:1) menyatakan bahwa kemampuan koneksi matematis
merupakan kemampuan siswa dalam mengaitkan ide-ide matematika dan melihat keterkaitan
antar topik dalam matematika, di luar konteks selain matematika, serta pengalaman hidup sehari hari. NCTM (Langrall, 2008:3) menyatakan standar proses koneksi dalam pembelajaran harus

memungkinkan siswa untuk dapat:
a. Mengenali dan menggunakan koneksi antara ide-ide matematika.
b. Memahami keterkaitan matematika dan membangun satu prosedur ke prosedur lain dalam satu
kesatuan yang utuh.
c. Mengenali dan menerapkan matematika dalam konteks di luar matematika.
Terdapat hal-hal yang dapat diamati untuk mengukur kemampuan
koneksi
matematis
yang
dimiliki
siswa. Beberapa indikator yang dapat menjadi acuan untuk
mengukur kemampuan koneksi matematis yang dimiliki siswa, diantaranya indikator koneksi
matematis menurut Purnamasari (2013:47) dan Sumarmo (Ramdani, 2013:68). Indikator
kemampuan koneksi matematis yang akan menjadi acuan dalam penelitian ini diambil
berdasarkan empat indikator menurut Sumarmo yang telah dituliskan pada halaman sebelumnya,
yaitu: memahami representasi ekuivalen suatu konsep, menerapkan matematika dalam bidang lain
atau dalam kehidupan sehari-hari, menerapkan hubungan antar topik matematika dan antara topik
matematika dengan topik di luar matematika, serta mencari hubungan berbagai representasi

2


konsep dan prosedur. Indikator tersebut diambil karena dianggap sesuai dengan kompetensi inti,
kompetensi dasar, dan indikator pencapaian kompetensi pada materi yang akan diteliti.
B. Model Pembelajaran Generatif
Pembelajaran generatif ditemukan oleh M. C. Wittrock dari University of California
pada tahun 1974 (1974:181). Pembelajaran generatif adalah pembelajaran yang berlandaskan pada
paham konstruktivisme. Kegiatan-kegiatan dalam pembelajaran generatif mengarahkan siswa
untuk tidak hanya pasif belajar mencatat informasi yang diberikan dalam model pembelajaran
generatif tetapi juga aktif mengonstruksi sendiri pengetahuan yang telah dimilikinya. Hal ini
sejalan dengan Wittrock (1974:193) bahwa belajar adalah kegiatan konstruktif, yang berarti siswa
membangun pengetahuan awal dari ingatannya sendiri, selanjutnya sikap mereka menentukan apa
yang akan mereka ingat dan pelajari. Osborne dan Freyberg (Hassard, 2000) membagi tahapan
pembelajaran yang terdapat dalam model pembelajaran generatif menjadi tahap eksplorasi,
pemfokusan, tantangan, dan penerapan konsep.
Guru mengarahkan siswa untuk berusaha menggali pengetahuan awal, begitu juga
dengan pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari pada tahap eksplorasi. Aktivitas-aktivitas
dalam tahap ini diharapkan akan membuat siswa mengetahui ide awal konsep dan membuat
siswa lebih tertarik dengan apa saja yang akan mereka pelajari dalam pembelajaran. Tahap
pemfokusan dirancang untuk membantu guru dan siswa mengklarifikasi ide awal siswa. Osborne
& Freyberg (Hassard, 2000) mengungkapkan bahwa tahap pemfokusan adalah waktu untuk

melibatkan siswa dalam kegiatan yang berfokus pada fenomena yang terkait dengan konsep, untuk
mendapatkan siswa berpikir tentang fenomena ini dalam kata-katanya sendiri. Peran guru dalam
tahap ini adalah memberikan motivasi lebih lanjut untuk lebih membuat siswa lebih tertarik untuk
lebih menggali ide secara mendalam. Tahap tantangan difokuskan untuk menantang ide-ide siswa.
Guru, melalui diskusi kelompok kecil, atau diskusi seluruh kelas, menciptakan kondisi di mana
masing-masing siswa dapat mengutarakan gagasan mereka, dan mendengarkan pandangan siswa
lain. Melalui proses diskusi, siswa diharapkan akan dapat memahami konsep yang benar,
menghargai pendapat siswa lain, dan mengembangkan ide berdasarkan pengetahuan awal masingmasing. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menerapkan konsep yang didapatkan
dari kegiatan pada tahap sebelumnya dalam berbagai permasalahan dalam tahap penerapan
konsep. Proses penyelesaian masalah yang ada dalam tahap penerapan konsep akan membuat
siswa menyadari kegunaan konsep tersebut dalam kehidupan sehari-hari, maupun bidang lain.
C. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe CUPs
Lie (2007:12) berpendapat bahwa pembelajaran kooperatif merupakan sistem
pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja sama dengan sesama siswa
dalam tugas terstruktur. Semakin berkembangnya dunia pendidikan mendorong terciptanya tipe
pembelajaran baru dalam model pembelajaran kooperatif. Salah satu tipe pembelajaran baru
dalam model pembelajaran kooperatif adalah tipe conceptual understanding procedures (CUPs).
CUPs pada awalnya dikembangkan oleh David Mills dan Susan Feteris dari Jurusan Fisika,
Monash University, Australia pada tahun 1996 serta Pam Mulhall dari Fakultas Pendidikan,
University of Melbourne dan Brian McKittrick.

Kurniawati (2013:16) menyebutkan CUPs adalah salah satu tipe pembelajaran yang
berlandaskan paham konstruktivisme yang meyakini bahwa siswa mampu mengonstruksi send iri
pemahaman atas suatu teori maupun konsep dengan mengeksplorasi dan memperbaharui
pandangan yang sudah ada. Pada penerapannya, CUPs memerlukan peran aktif dan
tanggungjawab siswa atas pencapaian pemahaman bersama dalam kelompok yang juga salah satu
komponen dari pembelajaran kooperatif . Oleh karena itulah CUPs adalah salah satu tipe
pembelajaran kooperatif. Untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe CUPs, terdapat
beberapa hal yang dapat dijadikan panduan oleh guru sebelum dilakukan proses pembelajaran.
Beberapa panduan yang telah dirangkum dari artikel yang dipublikasikan oleh Monash University
Australia (Kloot, 2006) adalah persiapan, perangkat pembelajaran, aturan pembentukan
kelompok, kebutuhan untuk percaya, dan tahap pembelajaran dalan CUPs. Gunstone (McKittrick
& Mulhall, 2003) menyatakan tiga tahap utama dalam CUPs, yaitu: tahap individual, triplet, dan
diskusi seluruh kelas.
Guru menjelaskan langkah, tujuan, dan aturan yang harus dipatuhi siswa pada tahap
individual. Selanjutnya siswa diminta untuk menyelesaikan permasalahan mandiri dalam kertas
A4 selama 5-10 menit. Siswa yang sudah berusaha menyelesaikan permasalahan individual,

3

diarahkan oleh guru untuk berpindah ke kelompok triplet pada tahap triplet. Kemudian siswa siswa yang telah duduk dalam tripletnya berdiskusi dan saling bertukar pendapat tentang

permasalahan yang diberikan guruselama 15-20 menit. Semua hasil diskusi pada tahap
sebelumnya yang dituliskan dalam kertas A3 atau kertas karton harus ditempel di dinding atau di
papan tulis dan semua siswa diperkenankan untuk duduk lebih dekat dalam membentuk huruf U
di dekat papan tulis sehingga kertas hasil diskusi masing-masing kelompok dapat terlihat dengan
mudah pada tahap diskusi kelas.
Berdasarkan perbandingan karakteristik di atas, semua kegiatan pada tahap-tahap
dalam kedua model pembelajaran yang akan diteliti dapat meningkatkan kemampuan koneksi
matematis siswa. Hal itu dikarenakan kegiatan-kegiatan tersebut membuat siswa dapat
mengonstruksi konsep baru dari ide-ide awal yang dimiliki siswa. Namun, dalam tahap tantangan
pada model pembelajaran generatif dipercaya akan lebih menimbulkan rasa ingin tahu yang lebih
banyak dalam diri siswa. Hal itu dikarenakan dalam tahap tantangan, selain harus mengaitkan ide
awal kepada konsep baru, siswa juga diharuskan untuk membandingkan pandangannya dengan
pandangan siswa lain dan seluruh kelompok mengenai konsep baru. Selain itu, tahap penerapan
konsep dalam model pembelajaran generatif juga akan dapat mengembangkan kemampuan
koneksi matematis siswa. Siswa yang telah mengetahui kegunaan dari materi tersebut, dituntun
untuk mencoba menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan
konsep tersebut. Pada akhirnya kemampuan koneksi matematis siswa yang diajar dengan model
pembelajaran generatif lebih tinggi daripada koneksi matematis siswa yang diajar dengan model
pembelajaran kooperatif tipe CUPs.
III. Metodologi Penelitian

A. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kuasi eksperimen atau eksperimen semu. Metode
penelitian ini digunakan karena tidak memungkinkan peneliti melakukan pengontrolan penuh
terhadap variabel dan kondisi kelas eksperimen yang diteliti (Sugiyono, 2010:114). Ukuran
sampel seluruhnya adalah 72 siswa dari kedua kelas eksperimen, dengan jumlah siswa pada kelas
eksperimen I sebanyak 36 siswa dan 36 siswa dari kelas eksperimen II. Desain penelitian yang
digunakan dalam penelitian adalah desain kelompok kontrol hanya-postes (Russefendi, 2010:51).
Desain penelitian ini dapat digambarkan dalam tabel berikut:
E1 (R): X1
0
E2 (R): X2
0
Keterangan:
E1
: Kelas eksperimen pertama
E2
: Kelas eksperimen kedua
R
: Pengelompokkan subjek secara acak
X1

: Kelas yang diajar dengan model pembelajaran generatif
X2
: Kelas yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe CUPs
0
: Adanya postes.
Instrumen yang dalam penelitian ini digunakan adalah tes kemampuan koneksi
matematis berbentuk uraian sebanyak 8 soal. Tes ini bertujuan untuk melihat sejauh mana
kemampuan koneksi matematis yang dimiliki siswa pada materi pada pokok bahasan fungsi dan
persamaan garis lurus. Butir-butir yang terdapat pada instrumen tes kemampuan koneksi matematis
dibuat berdasarkan kompetensi inti, kompetensi dasar, serta indikator pencapaian kompetensi yang
telah disesuaikan dengan pokok bahasan yang dipilih pada kurikulum 2013 untuk tingkat SMP kelas
VIII dan aspek koneksi matematis yang akan diukur.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil UH II kelas VIII-7, VIII-8, dan
VIII-9 pada pokok bahasan aljabar untuk analisis kondisi awal kelas dan hasil posttest kemampuan
koneksi matematis siswa pada pokok bahasan fungsi dan persamaan garis lurus yang di peroleh dari
kelas eksperimen I dan kelas eksperimen II setelah kedua kelas diberi perlakuan. Adapun uji statistik
yang digunakan bila data-datanya berdistribusi normal dan homogen adalah perhitungan statistik
uji-t untuk kelompok homogen.
B. Teknik Analisis Data
1) Sebelum Perlakuan
Uji normalitas data sebelum perlakuan dilakukan dengan menggunakan uji Lilliefors

4

dengan taraf signifikasi � = , .
Sebelum perlakuan dilakukan uji normalitas data menggunakan uji Lilliefors dengan taraf
signifikasi � = , . Data yang digunakan untuk adalah nilai ulangan tengah semester ganjil. Di
mana hipotesisnya adalah sebagai berikut:
H0 : Data berasal dari populasi berdistribusi normal
H1 : Data berasal dari populasi berdistribusi tidak normal
Rumus uji Lilliefors yang digunakan adalah:
� |� � − � |

� =
dengan � =
� =

n

�� −�̅

dan

n

,

Keterangan:
�̅


� �

:
:
:
:

Kriteria pengujian:

n

,…, n

n ≤ i

rata-rata skor data
skor data
simpangan baku data
peluang � � dan menggunakan daftar distribusi normal baku

Tolak H0 jika Lhitung > Ltabel (Sudjana, 2008: 466)
Hasil perhitungan uji normalitas data awal kelas VIII-7, VIII-8, dan VIII-9 dirangkum
dalam tabel berikut:
Kelas
VIII-7
VIII-8
VIII-9

� �
0,096541
0,112062
0,111719

Jumlah Siswa
36
36
36

� ��
0,147667
0,147667
0,147667

Keterangan

� <

� <

� <

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa nilai ℎ � dari ketiga kelas yang diujikan
kurang dari
. Karena kriteria pengujiannya adalah tolak � jika ℎ � >
, maka �
diterima, dapat disimpulkan bahwa data awal dari ketiga kelas tersebut berdistribusi normal.
Sebelum perlakuan dilakukan uji homogenitas dengan menggunakan uji Bartlett dengan
taraf signifikasi � = , . Data yang digunakan adalah nilai ulangan tengah semester genap. Di
mana hipotesisnya adalah sebagai berikut.
H0 : � = � = � = �
H : �in. ∃ � ≠ � ,
≠ ; , = , ,
Rumus uji Bartlett : � = �n
{� − ∑ = [
− �og ]}
dengan varians gabungan dari semua data:

dan harga satuan B:

Keterangan:

=

∑= [
∑=

� = [ �og





=

]



]

: varianshasil tes pemahaman konsep matematis kelas eksperimen
: varians gabungan sampel
: ukuran sampel kelas eksperimen
: banyak kelas

Kriteria pengujian: Tolak � jika �
� −� − , di mana � −� − didapat dari daftar
distribusi chi-kuadrat dengan peluang
− � dan � =

(Sudjana, 2008:263). Kriteria
pengujian adalah tolak H0 jika �
� −� − .
Perhitungan uji Bartlett menghasilkan nilai � � � = ,
9 . Sementara itu,
didapatkan nilai � �
= ,99
. Karena � � � = ,
9
� �
= ,99
,
maka � diterima, dapat disimpulkan bahwa ketiga kelas tersebut relatif homogen.
Sebelum perlakuan dilakukan uji kesamaan rata-rata dengan menggunakan uji analisis
varians (anava) satu arah dengan taraf signifikasi � = , . Data yang digunakan adalah nilai
ulangan tengah semester ganjil kelas VII.1-VII.4. Hipotesisnya adalah sebagai berikut.

5

H0 : � = � = � = �
H : �in. ∃ � ≠ � ,
≠ , , = , , ,
Berikut ini adalah tabel ringkasan untuk memudahkan perhitungan dengan menggunakan
anava satu arah.
Tabel 3.6 ANAVA Satu Arah
SV

Dk

Tot



Ant
Dal





Jumlah Kuadrat (JK)

∑� −






Mean Kuadrat (MK)



Fhitung

Tabel F







Keterangan:
SV : sumber variansi
Tot : total kelompok
Ant : antar kelompok
Dal : dalam kelompok
: jumlah seluruh anggota sampel
: jumlah kelompok sampel (Sugiyono, 2009:173).

Kriteria pengujian: Tolak H0 jika �ℎ � > � , dengan pembilang −
Hasil pengujian kesamaan rata-rata adalah sebagai berikut:
SV
Tot
Ant
Dal

Ftabel

JK
39822,629630
26,796296
39795,833333

Dk
107
2
105

MK

13,398148
379,007937

dan � penyebut
Fhitung

Ftabel

0,035351

3,082852



.

Tabel di atas menunjukkan bahwa berdasarkan perhitungan uji kesamaan rata-ratasebelum
perlakuan pada keempat kelas memperoleh hasil F n < F e . Dengan demikian H diterima,
sehingga dapat disimpulkan bahwa keempat kelas tersebut memiliki kesamaan rata-rata atau
keempat kelas berawal dari keadaan yang sama.
2) Analisis Data Posttest
Terdapat dua hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Hipotesis yang akan diujikan
adalah sebagai berikut:
a)

H0 : � = �
H1 : � ≠ �

b)

H0 : �

H1 : � > �

Uji normalitas data sesudah perlakuan dilakukan menggunakan uji Lilliefors dengan taraf
signifikasi � = , . Sementara itu, setelah uji normalitas dengan menggunakan uji Lilliefors,
dilakukan uji homogenitas menggunakan uji Fisher dengan taraf signifikan � = , .
Analisis data posttest untuk kedua hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya dilakukan
dengan menggunakan statistik uji-t. Rumus uji-t untuk dua kelompok bebas dengan varians
homogen:
� −�
̅̅̅
̅̅̅
=
√ +

dengan,

=



+



+ −
Keterangan:

̅̅̅
: Rata-rata kemampuan koneksi matematis siswa pada kelas eksperimen I

̅̅̅
: Rata-rata kemampuan koneksi matematis siswa pada kelas eksperimen II
S
: Simpangan baku gabungan kelas eksperimen I dan kelas eksperimen II
: Varians kelas eksperimen I
: Varians kelas eksperimen II
: Banyaknya data kelas eksperimen I
: Banyaknya data kelas eksperimen II.
Taraf signifikansi yang digunakan untuk pengujian hipotesis pada pertama adalah 0,025,
sedangkan Taraf signifikansi yang digunakan untuk pengujian hipotesis pada pertama adalah 0,05.
(Sudjana, 2008:239).
Kriteria pengujiannya adalah tolak H0 jika ℎ � >

6

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Pelaksanaan posttest kemampuan tes koneksi matematis kelas eksperimen I dan II
menghasilkan statistik deskriptif data yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Statistik
Kelas Eksperimen I (Generatif)
Kelas Eksperimen II (CUPs)
36,00
36,00
60,00
50,00

100,00
100,00
� �
50,00
35,00
80,69
75,35

75,00
65,00
8,93
12,25
96,64
150,05
Berdasarkan tabel di atas, rata-rata nilai posttest kelas eksperimen I berbeda dengan
rata-rata nilai posttest kelas eksperimen II. Rata-rata nilai posttest yang didapatkan kelas eksperimen
I adalah 80,694444 dengan simpangan baku 8,934284, sedangkan rata-rata nilai posttest yang
didapatkan kelas eksperimen II adalah 75,347222 dengan simpangan baku 12,249676. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa kemampuan koneksi matematis siswa kelas eksperimen I lebih tinggi daripada
kelas eksperimen II.
Hasil perhitungan uji normalitas dengan menggunakan uji Liliefors data posttest kelas
eksperimen I dan kelas eksperimen II menunjukkan bahwa data posttest kelas eksperimen I dan II
berdistribusi normal.Hasil perhitungan tersebut dirangkum dalam tabel berikut:
� �
Kelas
N
� ��
Keterangan
Eksperimen I (Generatif)
36 0,093806
0,147667
Terima �
Eksperimen II (CUPs)
36 0,064121
0,147667
Terima �
Sementara itu, hasil perhitungan uji homogenitas dengan menggunakan uji Fisher data
posttest kelas eksperimen I dan kelas eksperimen II juga menunjukkan bahwa data posttest kelas
eksperimen I dan II berdistribusi homogen. Hasil perhitungan tersebut dirangkum dalam tabel
berikut:
Kelas
s2
s
FHitung
FTabel (0,975;35;35) FTabel (0,025;35;35)
Eksperimen I
96,646825 9,830912
0,644078
0,509921
1,961089
Eksperimen II
150,054563 12,249676
Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji-t untuk sampel yang saling
independen pada taraf signifikansi 0,025 dan 0,05. Hasil perhitungan uji hipotesis data posttest kelas
eksperimen I dan II dirangkum dalam tabel berikut.
Kelas
N
S gab
tHitung
S2
S 2 gab
EI
36
80,694444 8,934284
123,35069 11,106336 2,042649
E II
36
75,347222 12,249676
Berdasarkan tabel di atas, � � > �
, maka � ditolak, dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan antara rata-rata kemampuan koneksi matematis matematis siswa kelas
eksperimen I dan kemampuan koneksi matematis siswa kelas eksperimen II serta kemampuan
koneksi matematis
siswa
kelas
eksperimen I lebih
tinggi dari kemampuan
koneksi matematis siswa kelas eksperimen II.
B. Pembahasan Hasil Penelitian
Kegiatan pembelajaran dengan model pembelajaran generatif dan CUPs yang
dilaksanakan pada kelas eksperimen I dan II berhasil membuat siswa lebih aktif daripada
sebelumnya. Siswa pada kedua kelas eksperimen antusias untuk membangun pengetahuannya
mengenai konsep yang dipelajari melalui setiap kegiatan dalam kedua model pembelajaran tersebut
sehingga proses pembelajaran matematika menjadi lebih bermakna. Namun, kegiatan-kegiatan
dalam model pembelajaran generatif lebih baik dalam mengembangkan kemampuan koneksi
matematis siswa.
Proses pembelajaran generatif yang diterapkan pada kelas eksperimen I dimulai dengan
tahap eksplorasi pendahuluan. Kegiatan pertama yang dilakukan oleh guru dalam tahap eksplorasi
pendahuluan adalah memancing ide awal siswa

7

mengenai konsep yang akan dipelajari. Kegiatan untuk memancing ide awal siswa
yang dilakukan guru dalam penelitian ini adalah memperlihatkan gambar atau video yang berkaitan
dengan konsep yang akan diajarkan. Pengamatan gambar atau video yang diberikan oleh guru
membuat siswa mencoba mengaitkan konsep yang akan dipelajari dengan pengetahuan yang
dimiliki sebelumnya. Hal ini sejalan dengan Wittrock (1974:193) bahwa belajar adalah kegiatan
konstruktif, yang berarti siswa membangun pengetahuan awal dari ingatannya sendiri, selanjutnya
sikap mereka menentukan apa yang akan mereka ingat dan pelajari.
Siswa sangat antusias pada saat guru memperlihatkan gambar atau video tersebut. Hal
ini mengakibatkan siswa juga aktif berpartisipasi dalam proses tanya jawab yang dilakukan oleh
guru pada tahap pemfokusan. Karena proses tanya jawab untuk memastikan ide awal berjalan baik,
ide awal yang dikumpulkan dari semua siswa juga sangat beragam. Guru berperan untuk
mengonfirmasi ide awal mana yang sesuai dengan konsep yang akan dipelajari pada tahap ini.
Keberagaman ide awal yang diperoleh siswa membuat proses diskusi kelompok
berjalan sangat menarik. Terdapat beberapa kali perbedaan pendapat antara anggota dalam satu
kelompok dan dengan anggota kelompok lain. Hal ini membuat siswa lebih dalam menggali
pengetahuan tentang konsep yang dipelajari. Proses perbedaan pendapat juga membuat siswa saling
bertukar pengetahuan dan belajar menghargai pendapat siswa lain. Guru berperan menjadi penengah
jika terjadi perdebatan dalam diskusi kelompok kecil maupun diskusi kelas.
Tahap aplikasi dalam pembelajaran generatif membuat siswa mengetahui
permasalahan apa saja yang merupakan aplikasi dari konsep yang sedang dipelajari. Karena siswa
mengetahui kegunaan konsep tersebut untuk memecahkan suatu masalah, siswa akan lebih
memperdalam konsep tersebut. Kemampuan koneksi matematis yang dimiliki siswa akan menjadi
lebih baik. Hal ini sejalan dengan pendapat NCTM (Langrall, 2008:28): “when students can
connect mathematical ideas, (that) their understanding is deeper and more lasting”.
Sejalan dengan proses pembelajaran generatif pada kelas eksperimen I, penerapan
model pembelajaran kooperatif tipe CUPs pada kelas eksperimen II juga dapat mengembangkan
kemampuan koneksi matematis siswa. Proses pembelajaran model pembelajaran kooperatif tipe
CUPs diawali dengan membagikan LKS dalam kertas A4 yang akan dikerjakan oleh siswa secara
individu. Siswa mencoba membangun konsep yang akan dipelajari berdasarkan kegiatan-kegiatan
dalam LKS tersebut. Seluruh aktivitas dalam LKS disusun untuk membuat siswa mengaitkan
pengetahuan yang dimiliki sebelumnya atau kegiatan dalam kehidupan sehari-hari dengan konsep
yang akan dipelajari. Hal tersebut dapat membuat kemampuan koneksi matematis siswa
berkembang.
Kegiatan presentasi pada tahap diskusi seluruh kelas dalam penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe CUPs hanya dilakukan kelompok terbaik yang dipilih oleh guru. Hal
ini menyebabkan siswa kurang antusias untuk memberikan tanggapan saat diskusi berlangsung.
Kurangnya antusiasme siswa disebabkan karena hasil diskusi kelompok lain yang hanya ditempel
di papan tulis membuat siswa kurang memperhatikan secara jelas persamaan dan perbedaan hasil
diskusi tersebut. Pada akhirnya, kemampuan koneksi kelas eksperimen I yang diajar dengan
menggunakan model pembelajaran generatif lebih tinggi dari kemampuan koneksi matematis siswa
kelas eksperimen II yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe CUPs.
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Terdapat perbedaan kemampuan koneksi matematis siswa yang diajar menggunakan
model pembelajaran generatif dengan kemampuan koneksi matematis siswa yang
diajar menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe CUPs dalam pembelajaran
matematika di SMP Negeri 216 Jakarta
2. Kemampuan koneksi matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran generatif
lebih tinggi dari kemampuan koneksi matematis siswa yang diajar dengan model
pembelajaran kooperatif tipe CUPs dalam pembelajaran matematika di SMP Negeri 216
Jakarta.
B. Implikasi
Kesimpulan dari hasil penelitian ini berimplikasi kepada kegiatan pembelajaran dengan
penerapan model pembelajaran generatif memberikan pengaruh terhadap aspek kemampuan koneksi

8

matematis siswa terutama pada pokok bahasan fungsi dan persamaan garis lurus. Dapat dikatatakan
bahwa penerapan model pembelajaran generatif perlu dipertimbangkan oleh guru dalam upaya
meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa.
Setiap tahapan dari model pembelajaran generatif disusun untuk membuat siswa membangun
pengetahuan baru berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya atau fenomenafenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Siswa membangun pengetahuannya mengenai
konsep baru dengan mengamati fenomena, berdiskusi dalam kelompok kecil, dan diskusi kelas.
Selain kegiatan-kegiatan tersebut, terdapat tahap penerapan (application) dimana siswa mencoba
menyelesaikan permasalahan dengan menerapkan konsep yang baru dipelajari pada tahap
selanjutnya. Hal ini sejalan dengan salah satu indikator yang menjadi tolak ukur kemampuan koneksi
matematis siswa, yaitu menyelesaikan permasalahan matematika atau kehidupan sehari-hari dengan
menggunakan suatu konsep matematika. Berdasarkan hal-hal tersebut, penerapan model
pembelajaran generatif dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif model pembelajaran untuk
mengembangkan kemampuan koneksi matematis siswa.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh beberapa saran sebagai berikut:
1. Bagi guru, sebaiknya dilakukan perencanaan yang matang sebelum kegiatan
pembelajaran serta lebih mengawasi jalannya proses diskusi kelompok atau diskusi
kelas yang ada dalam setiap pertemuannya.
2. Bagi siswa, sebaiknya memperhatikan kesiapan dan kondisi kelas sebelum proses
pembelajaran berlangsung.
3. Bagi pembaca, diharapkan dapat dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai kemampuan koneksi matematis siswa pada materi serta pokok bahasan lain
dengan sampel penelitian yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Balitbang Kemdikbud. (2011). “Survei internasional TIMSS”. Diambil 06 Januari 2014, dari situs
http://litbang.kemdikbud.go.id/ detail.php?id= 214
Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). “Standar Isi untuk Pendidikan Dasar dan Menengah”.
Diambil 12 Desember 2013, dari situs world wide web http://bsnpindonesia.org/id/?page_id= 103.
Hassard, J. (2000). “Generative Model”. Diambil 21 Oktober 2012, dari situs world wide web
http://artofteachingscience.org/mos/7.6.html
Isjoni. (2012). Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi
Antar Peserta Didik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kurniawati, E. (2013). “Pengaruh Penerapan Pembelajaran Modifikasi Conceptual Understanding
Procedures (M-CUPs) Terhadap Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa
SMP”. Tesis Universitas Terbuka . Jakarta: Tidak diterbitkan.
Langrall, C. W., dkk. (2008). Introduction to Connections Grades: 6-8. Portsmouth: Heinemann.
Lie, A. (2007). Cooperative Learning Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas,
Jakarta: Grasindo.
McKittrick, B. & Mulhall, P. (2003). “CUPs”. Diambil 20 Oktober 2012, dari situs
http://www.educationmonash.edu.au/research/groups/smte /CUPs.html.
Mullis, I. V.S., dkk. (2012). “TIMSS 2011 International Results in Mathematics”. Boston: TIMSS
& PIRLS International Study Center. Diambil 12 Desember 2013, dari situs world wide
web http://timss.bc.edu/timss2011/downloads /T11_IR_Mathematics_FullBook.pdf.
Purnamasari, Y. (2013). “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams-GamesTournament (TGT) terhadap Kemandirian Belajar dan Peningkatan Kemampuan Penalaran
dan Koneksi Matematik Peserta Didik SMPN 1 Kota Tasikrnalaya” . Tesis Universitas
Terbuka . Jakarta: Tidak diterbitkan.
Ramdhani, S. (2012). “Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Problem Posing untuk
Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematis Siswa”. Tesis
Universitas Pendidikan Indonesia . Bandung: Tidak diterbitkan.
Ruseffendi, E.T. (2010). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya.
Bandung: Tarsito.

9

Singletary, L. M. (2012). “Mathematical Connections Made In Practice: An Examination of
Teachers’ Belief and Practices”. Desertasi University of Georgia . Georgia: Tidak
diterbitkan.
Soejadi, R. (2007). Masalah Kontekstual Sebagai Batu Sendi Matematika Sekolah . Surabaya: PSMS
UNESA.
Sudjana. (2008). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.
Sugiman. (2008). “Koneksi Matematik dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah Menengah
Pertama”. Jurnal Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta (Vol 4, No. 1).
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Suherman, E., dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer . Bandung: JICA.
Van De Walle, J. A. (2008). Pengembangan Pengajaran Matematika Sekolah Dasar dan Menengah.
Jakarta: Erlangga.
Wena, M. (2009). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer . Jakarta: Bumi Aksara.
Wittrock, M. C. (1974). “A Generative Models of Mathematics Learning. Journal for Research in
Mathematics Education” (Vol. 5, No. 4, h. 181-196). Virginia: NCTM.

10

Dokumen yang terkait

ANALISIS KEMAMPUAN SISWA SMP DALAM MENYELESAIKAN SOAL PISA KONTEN SHAPE AND SPACE BERDASARKAN MODEL RASCH

69 778 11

PENGARUH METODE THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS) DAN GENDER TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIKA SISWA

34 139 204

HUBUNGAN ANTARA KELENTUKAN DAN KESEIMBANGAN DENGAN KEMAMPUAN BACK OVER DALAM SENAM PADA SISWA SMA NEGERI 05 BANDAR LAMPUNG

0 42 1

STUDI PERBANDINGAN HASIL BELAJAR DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DITINJAU DARI PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

6 77 70

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) DENGAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL)

11 75 34

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING(PBL) DAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP INVESTIGATION (GI)

6 62 67

PENGARUH KEMAMPUAN AWAL MATEMATIKADAN MOTIFBERPRESTASI TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

8 74 14

ANALISIS KEMAMPUAN LABA OPERASI DALAM MEMPREDIKSI LABA OPERASI, ARUS KAS OPERASI DAN DIVIDEN KAS MASA DEPAN ( Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur di BEI 2009-2011)

10 68 54

PENGARUH PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF EXAMPLE NON EXAMPLE TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR RASIONAL SISWA PADA MATERI POKOK PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Eksperimen pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Waway Karya Lampung Timur Tahun Pela

7 98 60

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR IPS TERPADU ANTARA PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN AUDIO-VISUAL DENGAN MEDIA PEMBELAJARAN GRAFIS KELAS VII SMP NEGERI 3 TERBANGGI BESAR LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2014/2015

3 51 68