DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH (1)

DISUSUN UNTUK MEMENUHI
TUGAS MATA KULIAH FILSAFAT MANUSIA
Rekonstruksi Buku
Pengantar “ILMU DALAM PERSPEKTIF” (Jujun S.
Suriasumantri)

DOSEN PENGAMPU :
Ahmad Chusairi, MA.
Prof. Dr. Cholicul Hadi, Drs., M. Si., Psikolog.
Disusun Oleh:
Ilma Nuriana
(111714253011)

PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI SAINS
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2017

MIND MAPPING

Dasar Aksiologis Ilmu

-

Kegunaan Ilmu

Dasar Epistemologi Ilmu
-

Bagaimana cara mendapatkan Ilmu

Dasar Ontologi Ilmu

- Pengertian Ilmu

MENGAPA BERBENTUK POHON?? Karena menurut saya, perkembangan ilmu
pengetahuan yang digambarkan dalam buku Ilmu Dalam Perkembangan ini selaras
dengan bentuk dan pohon seperti yang telah kita ketahui pada umumnya. Ontologi
sebagai akar dimana posisi sebagai dasar dari segala Ilmu pengetahuan, Epistemologi
sebagai batang, menjembatani antara akar dengan daun, sebagai perantara dalam proses
berpikir manusia hingga memperoleh suatu Ilmu pengetahuan melalui metode keilmuan
tertentu, dan Aksiologis sebagai daun, berada di puncak dari sistematika sebuah pohon

karena sesuai dengan artinya, aksiologis berarti kegunaan.

TENTANG HAKEKAT ILMU
(Mengapa Manusia Berpikir?)
Berbicara tentang Filsafat, hal pertama yang muncul dalam benak saya adalah
tentang sebuah patung termasyhur hasil pahatan Aguste Rodin (1840-1917) sebagai
lambang kemanusiaan. Patung ini merupakan patung seorang laki-laki dewasa tengah
duduk sembari menundukkan kepalanya dan bertumpu pada lengan kanan di dagunya.
Sebuah gambaran tentang lambang manusia sebagai insan yang selalu berpikir atau
lebih dikenal dengan, Homo Sapiens makhluk yang berpikir.
Mengapa demikian? Karena setiap insan manusia secara alamiah dan natural
tidak pernah berhenti berpikir dan atau tidak menggunakan akal pikirannya untuk
memikirkan sesuatu hal. Bahkan mulai dari hal sederhana tentang apa yang akan kita
makan esok hari, hingga perkara apa yang akan kita lakukan di kehidupan selanjutnya
setelah mati nanti. Berpikir itu sendiri lah yang kemudian menjadi ciri manusia sebagai
makhluk hidup, dan karena berpikir lah seorang insan dikatakan sebagai manusia.
Pada dasarnya, berpikir merupakan serangkaian proses yang diperlukan manusia
untuk menghasilkan pengetahuan. Proses ini bermula dari keadaan dimana manusia
mulai mengendalikan akal pikirannya untuk berpikir tentang sesuatu, mengikuti jalan
pikiran atau tradisi-tradisi tertentu yang dianut dan dipercayainya dimana pada akhirnya

sampai

pada

tahap

penarikan

kesimpulan

yang

kemudian

disebut

sebagai

“pengetahuan”. Selama proses berpikir yang dilakukan manusia, terdapat beberapa
lambang yang merupakan abstraksi dari segala sesuatu yang dipikirkan. Bahasa salah

satunya. Bahasa merupakan alat yang digunakan untuk menyatakan objek-objek
kehidupan yang menjadi objek pemikiran manusia menjadi lebih objektif dan konkret.
Pengetahuan sebagai produk kegiatan berpikir merupakan dasar atau fondasi
peradaban dimana manusia dapat menemukan siapa sesungguhnya jati dirinya, seperti
apa, siapa, atau bagaimanakah ia nanti di masa depan, serta berguna bagi manusia itu
sendiri untuk lebih menghayati kehidupannya sendiri dengan lebih sempurna. Pada
hakekatnya, kegiatan berpikir manusia dalam menghasilkan pengetahuan ini dilakukan
atas dasar tiga pokok pertanyaan besar, yakni: apakah sebenarnya yang ingin diketahui,
bagaimana cara memperoleh pengetahuan tersebut, dan apakah nilai pengetahuan
tersebut bagi diri manusia itu sendiri.

(Apakah Sebenarnya Berpikir?)
Setelah mengetahui fakta tentang manusia adalah Homo Sapiens yakni makhluk
yang berpikir, lalu sampailah kita pada pertanyaan tentang, apakah sebenarnya berpikir
itu? Tidak aja penjelasan pasti tentang hal ini, namun yang jelas, ketika orang lain
bertanya kepada kita apakah yang sedang kita pikirkan, kita akan menjawab apa yang
berada di pikiran atau otak kita. Dimana, hal ini berarti berpikir adalah tentang
membayangkan suatu objek, dimana kenangan dan pengalam-pengalaman kita berada
bersamanya dalam kesadaran. Oleh karenanya, seringkali kemudian disebutkan bahwa
berpikir merupakan proses yang berada dalam tataran konsep dan ide.

Namun, ketika pemikiran tersebut terkait dengan Ilmu Pengetahuan, maka bukan
lagi dapat disebut suatu pemikiran biasa. Pemikiran keilmuan adalah proses yang
sungguh-sungguh, dimana merupakan suatu proses berpikir yang disiplin dan
bersungguh-sungguh serta mengikuti kaidah-kaidah tertentu yang dianjurkan untuk
suatu tujuan keilmuan tertentu. Hal ini dimaksudkan agar ide atau konsep yang berada
dalam bayangan seseorang tidak hilang arah atau menjadi pemikiran yang tidak
bertujuan.
Dasar Ontologi Ilmu
(Apakah yang sebenarnya ingin diketahui oleh ilmu?)
Menjawab tiga pertanyaan inti dalam rangka merumuskan pengetahuan oleh
proses berpikir manusia, yakni: apakah sebenarnya yang ingin kita ketahui, maka
disinilah kita berada. Ontologi merupakan bagian dasar dalam Filsafat yang
mempertanyakan tentang apakah yang sebenarnya ingin diketahui oleh ilmu, apakah
yang menjadi bidang telaah ilmu, dan lain sebagainya. Ilmu pada awal kemunculannya
hanya memfokuskan kajiannya pada tataran pengalaman manusia. Pengalaman disini
memiliki penjelasan atas segala sesuatu yang telah dialami manusia dimana kejadian
tersebut dapat diceritakan kembali kepada orang lain. Serangkaian kejadian atau
pengalaman yang terjangkau pancaindera manusia disebut empiris. Fakta empiris adalah
fakta, kenyataan, atau segala sesuatu yang dapat dibuktikan melalui pancaindera
manusia. Oleh karenanya, objek pembahasan dan penelaahan ilmu pengetahuan

mencangkup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji pancaindera manusia. Sehingga,
ilmu dapat dikatakan sebagai suatu pengetahuan empiris karena hanya mempelajari

objek-objek yang nampak dan dapat teruji secara inderawi, dan mengabaikan objek
yang berada diluar jangkauan manusia. Sekali lagi, ini merupakan konsep awal hakekat
Ilmu dalam perkembangannya di abad lampau.
Untuk mencapai penarikan kesimpulan dan mendapatkan pengetahuan, ilmu
membuat beberapa per-andaian (asumsi) mengenai objek-objek empiris. Asumsi-asumsi
ini diperlukan karena pernyataan asumtif inilah yang kemudian member arah dan
landasan dalam proses pengkajian dan penelaahan kita. Sebuah pengetahuan dinyatakan
sebagai

suatu

kebenaran

ketika

kita


bisa

menerima

asumsi-asumsi

yang

dikemukakannya. Secara khusus, ilmu mengemukakan beberapa asumsi mengenai objek
empiris. Ilmu menganggap bahwa objek-objek empiris yang menjadi bidang
penelaahannya mempunyai sifat keragaman, memperlihatkan sifat berulang dan
semuanya saling berkaitan secara teratur. Ilmu menganggap bahwa suatu peristiwa
tidaklah terjadi secara kebetulan, namun tiap peristiwa pasti memiliki pola-pola khusus
yang teratur.
Lebih terperinci, ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai objek empiris. Asumsi
pertama menganggap obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain,
misal dalam hal bentuk, struktur, sifat, jenis, dan lain sebagainya. Berangkat dari asumsi
ini, para pendahulu kita mulai belajar untuk mengelompokkan objek yang serupa
kedalam satu golongan, dimana proses ini kemudian disebut klasifikasi. Asumsi yang
kedua adalah anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka

waktu tertentu. Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu objek
dalam suatu kurun waktu tertentu. Hal ini tidak akan berjalan dengan baik ketika objek
merupakan sesuatu yang sifatnya berubah-ubah dan tidak teratur. Oleh karenanya, ilmu
hanya menuntut adanya kelestarian yang relatif, artinya sifat-sifat pokok dari suatu
benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu. Asumsi yang terakhir yakni
Determinisme. Merupakan sebuah asumsi bahwa segala sesuatu yang terjadi bukanlah
suatu kebetulan. Akan ada pola-pola hubungan sebab akibat terkait dengan pola-pola
hubungan antara suatu objek. Misal, ketika seseorang memasak, maka akan tercium
aroma yang menimbulkan daya rangsang. Hal ini bukanlah sebuah kebetulan, tapi
memang telah menjadi pola hubungan sebab akibat yang saling berkaitan.

(Bagaimanakah proses perkembangan Ilmu?)
Senada dengan julukan manusia sebagai makhluk berpikir yang bertujuan untuk
mencari suatu pengetahuan atau ilmu, kita bisa menelisik perkembangan ilmu sejak
awal perkembangan manusia itu sendiri. Para pendahulu atau nenek moyang kita telah
menemukan beberapa hubungan yang bersifat empiris yang memungkinkan mereka
untuk lebih memahami dan mengerti dunia yang mereka tinggali. Kembali pada masa
primitif ribuan abad yang lalu, dimana dunia masih mengalami evolusi pun dengan
makhluk hidupnya, manusia primitif mulai mengenal Animisme.
Animisme adalah suatu paham yang dipercayai masyarakat primitif bahwa

segala sesuatu yang terjadi di dunia ini baik tentang kebahagiaan pun bencana,
semuanya berasal dari kekuatan dewa-dewa, hantu, setan, roh-roh halus, dan segala
sesuatu yang hubungannya mistis. Beranjak dari fase primitif, manusia mulai
mengalami kemajuan dalam hal berpikir. Manusia mulai menghubungkan berbagai
peristiwa yang terjadi dengan hukum sebab akibat serta keterkaitannya dengan alam.
Pada tahap ini, Ilmu atau pengetahuan yang dimiliki manusia mulai digunakan sebagai
suatu pendekatan sistematis yang digunakan untuk memecahkan masalah. Fase ini
disebut dengan fase Ilmu Empiris.
Pada perkembangannya, fase Ilmu Empiris memang membutuhkan waktu
sedikit lebih lama. Hal ini dikarenakan, terjadi perubahan pola pikir manusia dari yang
tidak terarah menjadi lebih sistematis dan kritis; tahapan selanjutnya yakni pengujian
hipotesis secara sistematis dan teliti dibawah kondisi yang dikontrol meskipun
hipotesis-hipotesis

ini

masih

terpisah;


hingga

pada

akhirnya

sampai

pada

pengembangan teori yang menyatukan penemuan-penemuan yang terpisah tadi kedalam
suatu struktur yang sistematis dan utuh.
Tingkat ketiga, tataran paling akhir dari perkembangan Ilmu adalah fase Ilmu
Teoritis. Dimana pada fase ini, manusia telah mengalami perkembangan yang sempurna
mulai dari evolusi tubuh, akal, dan pemikirannya. Fase Ilmu Teoritis ditandai dengan
keadaan dimana hubungan dan gejala yang ditemukan dalam ilmu empiris diterangkan
dengan dasar suatu kerangka pemikiran tentang sebab-akibat sebagai langkah untuk
meramalkan dan menentukan cara untuk mengontrol suatu kejadian atau peristiwa agar
hasil yang diharapkan dapat tercapai. Ilmu teoritis dapat mempermudah manusia dalam
proses pemecahan masalah. Apabila seseorang tersebut mengerti tentang apa yang


sedang terjadi pun tentang sebab dan akibat suatu kejadian atau peristiwa tersebut, maka
ia dapat mengalokasikan pengetahuannya menjadi sesuatu yang berharga dalam rangka
menemukan sebuah solusi pemecahan masalah. Disinilah kelebihan Ilmu Teoritis
berada, yakni dalam hal memberikan rangsangan pada peneliti (manusia) terkait
penelitian yang dilakukannya, serta memberikan arahan dalam menyusun hipotesis yang
sesuai.
Dasar Epistemologi Ilmu
(Bagaimana cara mendapatkan Ilmu?)
Epistemologi, atau teori pengetahuan membahas secara mendalam segenap
proses yang terlihat dalam usaha seseorang untuk memperoleh pengetahuan. Metode
atau cara yang dilakukan seseorang sedemikian rupa dalam rangka mendapatkan sebuah
pengetahuan disebut metode keilmuan.
Metode Keilmuan
Seperti yang telah tersebut diatas, ilmu pengetahuan diperoleh dari hasil berpikir
manusia atas sesuatu. Pada dasarnya, terdapat dua pola dalam memperoleh pengetahuan
yakni, dengan cara berpikir secara rasional dimana berdasarkan faham rasional ini, ide
tentang kebenaran sebenarnya sudah ada. Secara alamiah pikiran manusia dapat
mengetahui suatu ide tersebut, namun tidak menciptakannya sendiri, pun tidak pula
mempelajarinya melalui pengalaman. Dengan kata lain, ide tentang suatu kebenaran ini
benar-benar diperoleh lewat berpikir secara rasional dan mandiri., terlepas dari
kaitannya dengan pengalaman manusia itu sendiri. Karena sifat rasionalitas yang
diciptakan dalam rangka memperoleh pengetahuan akan berbeda-beda oleh setiap
manusia, maka muncullah kemudian suatu pola berpikir lain yang merupakan cara yang
berlawanan dengan rasionalisme, yang kemudian dikenal dengan empirialisme.
Bagi kaum empirialisme, mereka merasa jengah dengan perdebatan tentang
rasionalitas sehingga mencoba menciptakan cara sendiri untuk memperoleh
pengetahuan yakni atas dasar belajar dari pengalaman. Sadar akan kelebihan dan
kekurangan masing-masing, kaum rasionalisme dan empirialisme mencapai mufakat
untuk menggabungkan kedua cara berpikir untuk hasil yang lebih baik, dimana
kemudian penggabungan ini disebut dengan Metode Keilmuan.

Rasionalisme memberikan kerangka pemikiran yang koheren dan logis,
sedangkan empirialisme merupakan kerangka pengujian dalam memastikan kebenaran.
Dengan kata lain, suatu gejala harus dapat dijelaskan berdasarkan pengetahuan
sebelumnya yang telah dikumpulkan secara sistematis.
Dasar Aksiologis Ilmu
(Apakah Kegunaan Ilmu?)
Kini kita telah sampai pada bahasan untuk pertanyaan ketiga yakni, apakah nilai
atau kegunaan ilmu bagi manusia. Ilmu telah banyak mengubah dunia dalam
menangani dan memberantas penyakit, kemiskinan, kelaparan, kebodohan, dan lain
sebagainya. Namun disisi lain, Ilmu juga mengubah beberapa manusia menjadi
penjahat, pembunuh, pembuat onar, dan sebagainya. Lalu, apakah sebenarnya kegunaan
ilmu?
Pada dasarnya, Ilmu itu sendiri bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat baik
atau buruk, dan si pemilik pengetahuan itulah yang harus memiliki sikap. Maksud dari
pernyataan ini adalah, manusia sebenarnya memiliki andil yang penting tentang
pengetahuan. Jalan mana yang akan dipilih manusia dalam rangka mendapatkan
pengetahuan hingga memanfaatkan pengetahuan tersebut didasarkan pada nilai-nilai
yang dianut tiap manusia. Dalam hal ini, tentu nilai setiap manusia akan berbeda-beda.
Hingga kemudian, keluaran atau output yang akan dihasilkan pun berbeda. Jika kita
menemui handai taulan dengan ilmu yang luar biasa namun berakhir di jerusi besi,
sepatutnya kita tidak menyalahkan atau mempermalahkan ilmu pengetahuan sebagai
sesuatu yang netral, namun kesalahan terletak pada setiap manusia yang merusaknya.