Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Hartawarisan Dalam Perkawinan Poligami Menurut Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 224 K Ag 2011)

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam diyakini sebagai agama yang menebar rahmatan lil-alamiin (rahmat
bagi semesta alam), dan salah satu bentuk rahmat yang dibawanya adalah ajaran
tentang perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu sunatullah bagi mahluk
ciptaan Allah SWT. Ia mencakup pada semua jenis makhluk seperti hewan dan
demikian juga alam manusia. Firman Allah didalam surat Adz-Dzaariyah (51) ayat
49, yang artinya: “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
mengingat akan kebesaran Allah.” Dari ayat diatas jelas bahwa kehendak Allah SWT
terhadap ciptaan-Nya didunia ini juga berlaku pada umat manusia yang dikenal
dengan perkawinan.
Didalam Al-Qur’an dijumpai tidak kurang dari 80 ayat yang berbicara soal
perkawinan, baik yang memakai kata nikah (berhimpun) maupun menggunakan kata
zawwaja (berpasangan). Keseluruhan ayat tersebut memberikan tuntunan kepada
manusia bagaimana seharusnya menjalani perkawinan agar perkawinan itu dapat
menjadi jembatan yang mengantarkan manusia, laki-laki dan perempuan menuju
kehidupan sakinah (damai, tenang dan bahagia) yang diridhai Allah. Untuk itu, Islam

merumuskan sejumlah ketentuan yang harus dipedomani, meliputi tata cara seleksi
calon suami atau istri, peminangan, penentuan mahar, cara ijab kabul, hubungan

1

Universitas Sumatera Utara

2

suami istri, serta pengaturan hak-hak dan kewajiban-kewajiban keduanya dalam
rumah tangga.1
Dalam pandangan Islam perkawinan adalah salah satu cara yang berguna
untuk menjaga kebahagiaan umat dari kerusakan dan kemerosotan akhlak. Selain itu
perkawinan juga dapat menjaga keselamatan individu dari pengaruh kerusakan
masyarakat karena kecenderungan nafsu kepada jenis kelamin yang berbeda dapat
dipenuhi melalui perkawinan yang sah dan hubungan yang halal. Justru oleh karena
itu Islam memberikan perhatian khusus kepada kaum muda mengenai masalah
perkawinan, untuk menyelamatkan jiwa mereka dari perbuatan dan kerusakan akhlak
seperti zinah dan seumpamanya.2
Tujuan perkawinan dalam hukum Islam dapat dipahami dari pernyataan AlQur’an yang menegaskan bahwa di antara tanda-tanda kekuasaan Allah SWT ialah

bahwa ia menciptakan isteri-isteri bagi para lelaki dari jenis mereka sendiri, agar
mereka merasa tenteram (sakinah). Kemudian Allah SWT menjadikan atau
menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di antara
mereka. Yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi mereka
yang mau berfikir3. Dalam ayat lain mengisyaratkan bahwa para isteri adalah pakaian

1

Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, Lembaga Kajian Agama dan JenderSolidaritas Perempuan, Jakarta,1999, hal.1-2
2
Iman Jauhari, Perlindungan Hukum terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Pustaka
Bangsa, Jakarta, 2003, hal.1
3
QS. Al-Rum;21

Universitas Sumatera Utara

3

(libas) bagi para suami, demikian pula sebaliknya, para suami adalah pakaian bagi

para isteri4.
Poligami bukanlah merupakan masalah baru, telah ada sejak dulu kala
diantara berbagai kelompok masyarakat diberbagai kawasan dunia. Orang-orang Arab
telah berpoligami jauh sebelum kedatangan Islam, demikian pula masyarakat lain
disebagian besar kawasan dunia pada masa itu. Bahkan dimasa sebelum datangnya
Islam, telah dipraktekkan poligami yang tanpa batas.5
Dalam catatan sejarah, utamanya dalam masyarakat jahiliyah telah terdapat
beberapa bentuk perkawinan dimana seorang istri mempunyai beberapa orang suami
dan seorang laki-laki mempunyai beberapa orang istri, atau sebaliknya seorang lakilaki hanya mempunyai seorang istri atau sebaliknya seorang istri hanya mempunyai
seorang suami.6
Banyak orang salah paham tentang poligami. Mereka mengira poligami itu
baru dikenal setelah Islam. Mereka menganggap Islamlah yang membawa ajaran
tentang poligami. Praktek poligami telah ada jauh sebelum Islam dan menjadi
kebiasaan yang diperbolehkan. Pada masa itu, poligami biasanya banyak dilakukan
para raja yang notabene merupakan lambang ketuhanan, sehingga perbuatan tersebut

4

QS. Al-Baqarah;187
M. Hasballah Thaib & Marahalim Harahap, Hukum Keluarga dalam Syariat Islam,

Universitas Al Azhar, Medan, 2010, hal.89
6
M. Ahnan & Ummu Khoiroh, Poligami di Mata Islam, Putra Pelajar, Surabaya, 2001,
hal.159-160.
5

Universitas Sumatera Utara

4

dianggap suci. Hal seperti ini terjadi dikalangan orang Hindu, Media, Babilonia,
Persia dan Israil.7
Bangsa Mesir purba misalnya, menjalankan poligami seperti ketika zaman
Deodor Sesle.8 Ajaran Zarathrusta Persia menggalakkan poligami untuk memacu
kelahiran generasi laki-laki, yang angka kematiannya sangat tinggi akibat budaya
perang. Mereka menganggap siapa yang beristri banyak akan mendapatkan pahala
yang banyak pula diakhirat.9
Orang-orang di Roma, seperti di zaman kekuasaan Raja Seila, biasa
mengawini lima perempuan sekaligus. Raja Pompey dan Caesar, diriwayatkan
masing-masing mempunyai empat orang istri, Demikian pula telah berpoligami Raja

Constantin dan anak-anaknya. Bahkan Raja Valentinianus mengeluarkan satu
undang-undang khusus tentang poligami. Undang-undang yang memperkenankan
rakyatnya mengawini beberapa orang wanita jika mereka mau. Ini terjadi pada
pertengahan kurun keempat Masehi.10
Kitab Taurat mewajibkan poligami dan tidak membatasi hanya empat istri.
Adapun Talmud membatasi jumlah istri untuk dipoligami, sesuai kemampuan suami
dalam membiayai dan memelihara istri-istrinya kelak.11

7

Anik Farida, Menimbang Dalil Poligami antara Teks, Konteks dan Praktek , Balai
Penelitian dan Pengembangan Agama, Jakarta, 2008, hal.16
8
Nurbowo A.J. Mulyono, Indahnya Poligami, Pengalaman Keluarga Sakinah Puspo
Wardoyo, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2003, hal. 2
9
Ibid
10
Ibid
11

Ibid, hal. 3

Universitas Sumatera Utara

5

Selanjutnya, dikalangan nabi pun dikatakan bahwa Nabi Sulaiman
mempunyai seratus orang istri. Rabbaiyun (pengikut-pengikut Nabi Isa yang dekat
dengannya) berpoligami sebanyak empat orang istri berdalilkan kepada Nabi Yakub
yang telah mengumpulkan empat orang istri saja.12
Dengan demikian, Islam bukan agama yang pertama kali membolehkan
poligami. Dalam perkembangannya, Islam justru memberikan pembatasan gerak
terhadap kebolehan perkawinan poligami. Inilah yang membedakan poligami dalam
Islam dan agama lain dimana dalam Islam hanya memperbolehkan maksimal empat
orang istri.
Adanya poligami yang berakar dari kehidupan umat manusia adalah sangat
terkait erat dengan keberadaan infrastruktur suatu masyarakat. Perubahan yang
terjadi, banyak dipengaruhi oleh perubahan infrastruktur masyarakat. Sebagaimana
yang diketahui pada awalnya poligami adalah suatu kebiasaan yang dilakukan oleh
setiap masyarakat dengan adanya contoh yang diberikan oleh para pemimpinnya.

Namun dalam perkembangannya poligami semakin berkurang dengan mulai
menyingsingnya fajar modernisasi. Masyarakat tradisional dibandingkan masyarakat
modern tentu berbeda karena adanya akses yang berbeda dalam masalah ilmu
pengetahuan dan teknologi. Hal inilah yang menjadikan perempuan dapat lebih
berperan dalam kehidupan rumah tangga tanpa meninggalkan perannya sebagai ibu
untuk mendidik anaknya.13

12
13

Ibid,
Musdah Mulia, Op.Cit, hal.20

Universitas Sumatera Utara

6

Poligami bertujuan untuk memelihara hak-hak wanita dan memelihara
kemuliaannya. Kebolehan poligami terdapat pesan-pesan strategis yang dapat
diaktualisasikan untuk kebahagiaan manusia. Poligami memiliki nilai sosial

ekonomis untuk mengangkat harkat dan martabat wanita. Poligami hanya dibolehkan
jika memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan. Persyaratan dan pembatasan itu
adalah14
1. Jumlah wanita yang boleh dikawini tidak boleh lebih dari empat orang (Q.S.
4:2 dan hadist nabi riwayat An-Nasai). Hadist ini menceritakan bahwa Nabi
menyuruh Gailan bin Salamah al Tasqafi, seorang musyrik Mekkah yang baru
masuk Islam dan beristri sepuluh orang, agar menceraikan istri-istrinya yang
lebih dari empat orang dan hanya boleh meneruskan hubungan perkawinannya
dengan empat orang saja.
2. Sanggup berlaku adil terhadap semua istri-istrinya. Barangsiapa belum
sanggup berlaku adil, dia tidak boleh mengawini lebih dari satu orang
(Q.S.4:129). Keadilan yang diisyaratkan dalam ayat ini mencakup keadilan
dalam tempat kediaman, nafkah lahir batin serta kasih sayang.
3. Wanita yang akan dikawini seyogyanya adalah wanita yang mempunyai anak
yatim, agar anak yatim itu berada dibawah pengawasan laki-laki yang akan
berpoligami tersebut, supaya ia dapat berlaku adil terhadap anak yatim dan
harta anak yatim tersebut (Q.S.4:3 jo Q.S.4:129). Jadi perempuan yang
tertentu yang boleh dikawini lagi disamping istri yang telah ada adalah
perempuan yang ada hubungannya dengan pemeliharaan anak yatim.
4. Tidak boleh dengan wanita yang mempunyai hubungan saudara atau dengan

wanita yang mempunyai hubungan sepersusuan dengan istri(Q.S.4:23).
5. Tidak bermaksud hendak mempermainkan atau menganiaya wanita yang akan
dikawini itu (Q.S.4:24).
Poligami juga mengandung beberapa manfaat dalam mengatasi masalah
antara lain15:

14

Neng Zubaidah, Sulaikin Lubis, Farida Prihartini, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
Hecca Mitra Publising dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, Jakarta, 2005, hal. 98-99
15
Ibid

Universitas Sumatera Utara

7

1. Mengatasi problem sosial
a. Bertambahnya jumlah wanita melebihi jumlah pria
b. Berkurangnya kaum pria akibat perang sebab politik maupun agama.

2. Mengatasi problem pribadi
Istri dalam keadaan mandul, sementara suami sangat berharap untuk memiliki
keturunan.
3. Mengatasi kerusakan akhlak
4. Merealisasikan prinsip bahu membahu
Banyak wanita yang ditinggal wafat suami, hidup sendirian tidak menentu
kemana harus melangkah untuk memperbaiki kehidupannya atau memelihara
diri dan anak-anaknya dari berbagai bahaya yang mengancam.
5. Membina keluarga agar berinteraksi dengan masyarakat luas.
Pandangan Islam terhadap poligami, disebutkan dalam firman Allah SWT
dalam Q.S. An Nisaa’ ayat 3 , yang artinya :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.”
Dari ketentuan ayat tersebut maka Islam memperbolehkan seseorang untuk
melakukan poligami tetapi harus memenuhi syarat, yaitu adil. Keadilan yang
dimaksudkan dari ayat diatas adalah keadilan yang mampu diwujudkan manusia
dalam kehidupan sehari-harinya, yaitu persamaan dalam urusan sandang, pangan,

tempat tinggal dan perlakuan yang layak terhadap mereka.16
Dalam hal ini perlu ditelusuri sebab musabab turunnya ayat itu. Ayat itu
diturunkan di Madinah setelah Perang Uhud. Sebagai dimaklumi, karena kecerobohan
dan ketidakdisiplinan kaum Muslim dalam perang itu mengakibatkan mereka kalah

16

M. Ahnan & Ummu Khoiroh, Op.Cit, hal. 175-176

Universitas Sumatera Utara

8

telak. Banyak prajurit Muslim yang gugur di Medan perang. Dampak selanjutnya,
jumlah janda dan anak-anak yatim dalam komunitas Muslim meningkat drastis.
Tanggung jawab pemeliharaan anak-anak yatim itu tentu saja dilimpahkan kepada
walinya. Tidak semua anak yatim berada dalam kondisi papa dan miskin, banyak
diantara mereka yang mewarisi banyak harta peninggalan mendiang orangtua
mereka.17
Pada situasi dan kondisi yang disebutkan terakhir, muncul niat jahat di hati
sebagian wali yang memelihara anak yatim. Dengan berbagai cara mereka berbuat
curang dan culas terhadap harta anak yatim tersebut. Terhadap anak yatim perempuan
yang kebetulan memiliki wajah yang cantik, para wali itu mengawini mereka, dan
jika tidak cantik mereka menghalanginya agar tidak menikah meskipun ada laki-laki
yang melamarnya. Tujuan para wali menikahi anak yatim yang berada dalam
kekuasaan mereka semata-mata agar harta anak yatim itu tidak beralih kepada orang
lain, melainkan jatuh ke dalam genggaman mereka sendiri. Dan tujuan mereka
menghalangi anak yatim perempuan untuk menikah dengan laki-laki lain juga sama,
yaitu agar harta mereka tidak jatuh kepada orang lain. Kedua bentuk perbuatan itu
sangat tidak adil.
Karena tujuan utama para wali adalah menguasai harta anak yatim, akibatnya
tujuan luhur perkawinan tidak terwujud. Tidak sedikit anak yatim yang telah dinikahi
oleh para wali mereka sendiri mengalami kesengsaraan akibat perlakuan yang tidak
adil. Anak-anak yatim itu dikawini, tapi hak-hak mereka sebagai istri, seperti mahar
17

Musdah Mulia, Op.Cit, hal. 32

Universitas Sumatera Utara

9

dan nakah tidak diberikan. Bahkan harta mereka dirampas oleh suami mereka sendiri
untuk menafkahi istri-istrinya yang lain yang jumlahnya lebih dari batas kewajaran. 18
Menurut

Abduh,

disinggungnya

persoalan

poligami

dalam

konteks

pembicaraan anak yatim bukan tanpa alasan. Hal itu memberikan pengertian bahwa
persoalan poligami identik dengan persoalan anak yatim,19 karena dalam dua
persoalan

tersebut

terkandung

persoalan

yang

mendasar

yaitu

persoalan

ketidakadilan. Anak yatim seringkali menjadi korban ketidakadilan karena hak-hak
mereka tidak terlindungi. Sementara dalam poligami yang menjadi korban
ketidakadilan adalah kaum perempuan.20
Kendatipun Islam tidak menghapus praktek poligami, namun Islam
membatasi kebolehan poligami hanya sampai empat orang istri dengan syarat-syarat
yang ketat pula seperti keharusan adil di antara istri.
Ketentuan poligami diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan Nomor
1 Tahun 1974 yang menyatakan :
(1)Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana yang
disebut pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2)Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada
seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
18

Ibid, hal. 33
Ibid. hal. 34
20
Ibid. hal. 35
19

Universitas Sumatera Utara

10

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan :
(1)Untuk mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan istri/istri-istri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anakanak mereka.
(2)Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan
bagi

seorang

suami,

apabila

istri-istrinya

tidak

mungkin

dimintai

persetujuannya, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurangkurangnya 2 tahun atau karena sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian
hakim pengadilan.
Salah satu fenomena yang cukup mendapat perhatian masyarakat dari
perkawinan poligami adalah masalah pembagian harta warisan. Tidak dapat
dipungkiri bahwa terjadi banyak konflik didalam masyarakat berkaitan dengan
masalah pembagian harta warisan dalam perkawinan poligami. Hal ini dapat terjadi
karena berbagai macam sebab, salah satu diantaranya adalah minimnya pengetahuan

Universitas Sumatera Utara

11

masyarakat tentang hukum dan kaedah-kaedah yang berlaku dalam pembagian harta
warisan pada perkawinan poligami.
Berdasarkan penelusuran perkara-perkara yang masuk di Pengadilan Agama
Medan diketahui bahwa terdapat salah satu kasus pembagian harta warisan poligami
menurut hukum Islam yaitu Putusan No. 636/Pdt.G/2008/PA-Mdn. Putusan ini telah
dibatalkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Agama No. 22/Pdt.G/2010/PTA.Mdn dan
juga telah dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.
224/K/AG/2011.
Kasus ini dimulai dari meninggalnya MS, sebagai kepala rumah tangga atau
sebagai pewaris yang semasa hidupnya telah melakukan perkawinan poligami dengan
istri pertama yang bernama SH (menikah tahun 1951) dan istri kedua yang bernama
RP (menikah tahun 1983). Dari perkawinan yang pertama, MS tidak memiliki anak.
Dari perkawinannya dengan RP, MS memiliki 3 orang anak kandung yakni IS
(perempuan), RF (laki-laki) dan AF (laki-laki).
Kedudukan SH dalam kasus ini adalah sebagai Penggugat Konvensi/Tergugat
Rekonvensi/Tergugat I Intervensi. Adapun kedudukan RP, IS, RF dan AF adalah
sebagai Para Tergugat Konvensi/Para Penggugat Rekonvensi/ Para Tergugat II
Intervensi. Adapun kedudukan LS dan TS adalah sebagai Penggugat Intervensi.
Yang menjadi masalah pokok dalam perkara ini adalah Penggugat menuntut
pembagian harta bersama dan pembagian harta warisan yang belum pernah dibagi
yang masih dikuasai oleh Para Tergugat. Tergugat pun mengajukan gugatan

Universitas Sumatera Utara

12

Rekonvensi yang isinya menuntut pembagian harta bersama dan harta warisan
Almarhum MS yang masih dikuasai dan diusahai oleh Penggugat/Tergugat
Rekonvensi.
Berdasarkan uraian sebagaimana yang disebutkan diatas, maka dilakukan
penelahaan lebih lanjut tentang akibat hukum pembagian harta warisan dalam
perkawinan poligami menurut hukum Islam dari kasus tersebut. Penelitian ini
kemudian dituangkan dalam tesis dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap
Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Dalam Perkawinan Poligami Menurut
Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
No. 224/K/AG/2011)”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah diatas, maka dirumuskan beberapa
masalah yang perlu dibahas dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan pembagian harta warisan dalam hal terjadinya
poligami menurut perspektif Hukum Waris Islam?
2. Bagaimana pelaksanaan pembagian harta warisan dalam perkawinan poligami
berdasarkan

putusan

Mahkamah

Agung

Republik

Indonesia

No.

224/K/AG/2011?
3. Apa yang menjadi pertimbangan Hakim dalam memutus perkara No.
224/K/AG/2011?

Universitas Sumatera Utara

13

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan
penelitian diatas adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pengaturan pembagian harta warisan dalam hal terjadinya
poligami menurut perspektif Hukum Waris Islam.
2. Mengetahui pelaksanaan pembagian harta warisan dalam perkawinan
poligami berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.
224/K/AG/2011
3. Mengetahui hal-hal yang menjadi pertimbangan Hakim dalam memutus
perkara No. 224/K/AG/2011
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat bagi semua pihak baik bagi
peneliti, para pihak yang nantinya dihadapkan dalam tuntutan pembagian harta
warisan dalam perkawinan poligami menurut hukum Islam.

1.. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur
kepustakaan tentang pembagian harta waris perkawinan poligami menurut hukum
Islam, dan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan
hukum pada umumnya dan hukum pembuktian pada khususnya, terutama tentang
akibat hukum pembagian harta waris perkawinan poligami menurut hukum Islam.

Universitas Sumatera Utara

14

2.. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
kalangan praktisi dalam menangani suatu perkara termasuk perkara perkawinan
poligami yang saat ini diketahui banyak terjadi di masyarakat. Selain itu, penelitian
ini juga diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan masukan bagi praktisi
hukum, penasehat perkawinan, advokat, mahasiswa dan masyarakat umum.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan sementara di lingkungan
Universitas Sumatera Utara, khususnya dilingkungan Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan beberapa judul tesis yang
berhubungan dengan judul topik dalam tesis ini antara lain:
1.

Penelitian dengan judul “Pengaturan Harta Bersama Dalam Perkawinan
Poligami (Studi di Kecamatan Medan Maimun) oleh Fitria Agustina Nim.
017011021/MKn. Rumusan masalah yang dibahas adalah
(a) Bagaimanakah pengaturan tentang harta bersama dalam perkawinan
poligami?
(b) Bagaimanakah pembagian harta bersama dalam hal terjadinya perceraian?
(c) Bagaimanakah pelaksanaan pembagian harta bersama dalam perkawinan
poligami di Kecamatan Medan Maimun?

Universitas Sumatera Utara

15

2.

Penelitian dengan judul “Perkawinan Poligami Pegawai Negeri Sipil” oleh
Ridho Surya Chandra Nim 017011048/MKn. Rumusan masalah yang dibahas
adalah
(a) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan seorang suami yang statusnya
sebagai Pegawai Negeri Sipil melakukan perkawinan poligami?
(b) Apakah akibat hukum dari perkawinan poligami yang dilakukan oleh
Pegawai Negeri Sipil?
(c) Bagaimana pelaksananaan sanksi hukum bagi Pegawai Negeri Sipil yang
melalukan poligami?

3.

Penelitian dengan judul “Akibat Hukum Perkawinan Poligami Yang
Dilangsungkan Tanpa Izin Pengadilan (Studi Kasus Putusan Pengadilan
Agama Padang) oleh Nani Ilka Nim 047011048/MKn. Rumusan masalah yang
dibahas adalah
(a) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan suami melakukan perkawinan
poligami tanpa izin Pengadilan?
(b) Mengapa tercatatnya perkawinan poligami yang belum mendapatkan izin
pengadilan?
(c)n Bagaimanakah

akibat

hukum

terhadap

perkawinan

poligami

yang

dilangsungkan tanpa izin dari pengadilan?
Dari ketiga judul diatas terlihat tidak ada kesamaaan dengan penelitian yang
penulis

lakukan.

Dengan

demikian

judul

“Tinjauan

Yuridis

Terhadap

Universitas Sumatera Utara

16

Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Dalam Perkawinan Poligami Menurut
Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia No. 224/K/AG/2011)” ini belum ada yang membahasnya, sehingga
penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsional
1.

Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, atau

teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis.21
Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau
proses itu terjadi22, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada faktafakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.23
Oleh sebab itu, teori atau kerangka teori mempunyai kegunaan paling sedikit
mencakup hal-hal sebagai berikut :
a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan
fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.
b. Teori sangat berguna didalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta,
membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan defenisi-defenisi.

21

M.Solly Lubis, Filsafat dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal.80
M.Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, hal.203
23
Ibid

22

Universitas Sumatera Utara

17

c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui
serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.
d. Teori memberikan kemungkinan pada suatu prediksi fakta mendatang, oleh
karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin
faktor-faktor tersebut akan lagi timbul dimasa mendatang.
e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada
pengetahuan peneliti.24
Penelitian ini membahas tentang pembagian harta warisan dalam perkawinan
poligami menurut perspektif Hukum Waris Islam. Dalam kasus ini Penggugat (istri
pertama) mengajukan gugatan menuntut pembagian harta bersama dan pembagian
harta warisan yang belum pernah dibagi dan masih dikuasai oleh para Tergugat (istri
kedua dan anak-anaknya).
Terhadap masalah harta bersama maupun harta peninggalan Almarhum,
Penggugat telah berupaya dan coba menyelesaikan secara musyawarah kekeluargaan
akan tetapi sampai gugatan ini diajukan kepada Pengadilan Agama Medan, para
Tergugat tidak menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan secara kekeluargaan.
Pada putusan No. 224/K/AG/2011 yang akan dianalisa dalam tesis ini adalah
bagaimana hukum waris Islam mengatur tentang pembagian harta warisan dalam
perkawinan poligami dan bagaimana pula seharusnya hakim menetapkan putusan
yang memenuhi rasa keadilan para pihak yang bersengketa dengan tetap
memperhatikan kemaslahatan bagi para pihak.
24

Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1998, hal. 3

Universitas Sumatera Utara

18

Apabila dikaitkan dengan identifikasi masalah yang diteliti dalam tesis ini
maka penelitian ini menggunakan dasar teori keadilan sebagai grand theory dan teori
kemaslahatan sebagai teori pendukung.
Kemaslahatan secara etimologi dapat diartikan sebagai sesuatu yang
mendatangkan kebaikan, keselamatan, faedah, atau kegunaan dan manfaat.25
Kemaslahatan menurut Al Ghazali dan Al Syatibi dalam Kitab al Muwafaqat fi ushul
al Syariah, adalah mewujudkan tujuan-tujuan agama, yaitu menjaga lima hal : agama,
jiwa, akal keturunan dan harta benda (hifdz ad-din, an-nafs, al-‘aql, an-nasl, al-mal).
Setiap hal yang mengandung terhadap lima hal ini adalah kemaslahatan, dan setiap
yang mengabaikan kemaslahatan adalah kerusakan. Maka menolak kerusakan adalah
kemaslahatan.26
Kata adil dalam bahasa Arab “al ‘adl” yang artinya sesuatu yang baik, sikap
yang memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil
keputusan. Untuk menggambarkan keadilan juga digunakan kata-kata lain (sinonim)
seperti qisth, hukm, dan sebagainya. Sedangkan akar kata ‘adl dalam berbagai bentuk
konjugatifnya bisa saja kehilangan kaitannya yang langsung dari sisi keadilan itu
(misalnya “ta’dilu” dalam arti mempersekutukan Tuhan dan ‘adl dalam arti tebusan).
Ada sebagian ulama mendefinisikan Adil dengan menempatkan sesuatu pada
tempat yang semestinya, memberikan sesuatu yang berhak menerimanya,

25

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga,
Balai Pustaka, Jakarta, 2007, hal. 634
26
Gus
Arifin,
Menikah
untuk
Bahagia
http://books.gogle.co.idbook?.id.zUSO
AAAAIrg=teori+ kemaslahatan+alghazali, diakses pada 17 Juli 2012

Universitas Sumatera Utara

19

menyerahkan suatu jabatan kepada yang profesional.27 Beragam objek keadilan
dibicarakan dalam kasus kasus yang terdapat dalam Al-Qur’an, menunjukkan
pengertian adil pada satu kasus berbeda dengan arti adil pada kasus orang lain.
Keadilan hakiki tidak mampu dilakukan manusia. Hal ini terjadi pada berlaku adil
terhadap para istri yang dipoligami oleh suami.28
Firman Allah dalam Surat An Nisa’ ayat 129 yang artinya:
“Dan kamu pasti tidak akan dapat berlaku adil diantara wanita-wanita (istriistri dalam cinta). Walaupun kamu berusaha sekuat tenaga ingin berbuat
demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai) dan membiarkan yang lain terkatung-katung.”
Dari itu ulama fiqih (ahli hukum) sepakat mengutarakan bahwa adil yang
dituntut bagi para suami yang berpoligami adalah adil pada lahir (nafkah) karena adil
pada bathin tidak seorangpun yang mampu.29
Defenisi Adil tidak keluar dari 4 (empat) arti30 :
1.

Adil dalam arti sama.
Artinya tidak membedakan antara yang satu dengan yang lain, sebagai contoh
Hakim di pengadilan harus sama menempatkan tempat yang sama antara
penggugat dan tergugat. Maksudnya penggugat dan tergugat memiliki hak yang
sama.
Allah berfirman dalam Surat An Nisaa’ ayat 58, yang artinya :

27

M. Hasballah Thaib & Zamakhsyari Hasballah, Tafsir Tematik Al Qur’an II, Pustaka
Bangsa, Medan, 2007, hal. 239
28
Ibid, hal. 243
29
Ibid, hal. 244
30
Ibid, hal. 245

Universitas Sumatera Utara

20

“Apabila kamu memutuskan perkara diantara manusia, maka hendaklah kamu
memutuskannya dengan adil.”
Ayat ini memberi petunjuk hakim untuk menempatkan pihak-pihak yang
bersengketa dalam posisi yang sama.
2.

Adil artinya seimbang dalam arti proporsional.
Arti keadilan kedua ini biasanya diperlukan dalam hukum waris Islam. Misalnya
hak anak laki-laki dua kali bahagian anak perempuan karena tanggung jawab
anak laki-laki lebih berat. Anak laki-laki bakal jadi ayah, bakal jadi suami, tentu
saja kewajiban mengeluarkan harta lebih banyak dibanding anak perempuan
yang bakal menjadi isteri atau ibu yang selalu mendapatkan haknya dari calon
suami atau anak-anaknya.

3. Adil dalam arti hak-hak individu.
Artinya setiap orang memiliki haknya masing-masing. Arti ketiga ini biasa
disebut dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya.
4.

Keadilan yang keempat adalah Keadilan Allah yang tidak mampu akal manusia
untuk memahaminya. Keadilan Allah pada hakikatnya merupakan rahmat dan
kebaikannya.
Dalam pandangan filsafat tujuan akhir hukum adalah keadilan. Kaitannya

dengan hukum Islam, keadilan yang harus dicapai mesti mengacu pada pokok agama
yaitu Al-Qur’an dan Hadist. Artinya tujuan keadilan melalui jalur hukum harus
berawal dari dua segi yaitu Al-Qur’an dan Hadist disatu segi harus mampu menyatu
dengan pedoman prinsip keadilan secara umum menurut pandangan manusia dilain

Universitas Sumatera Utara

21

segi. Tugas awal yang kemudian adalah upaya formulasi Al-Qur’an dan Hadist
khusus yang berkaitan dengan hukum agar mampu tampil sebagai prinsip keadilan
umum. Perpaduan dua segi ini diharapkan menjadi produk standar panduan mencari
keadilan lewat jalur hukum. Pada akhirnya pedoman tersebut mampu tampil menjadi
standar hukum universal yang mampu tampil di manapun dan kapanpun sesuai
dengan fitrah diturunkanya Islam ke muka bumi.31
Maksud dari muara keadilan dari dua segi adalah tujuan akhir berupa keadilan
yang harus dicapai oleh sebuah sistem hukum universal mesti berorientasi pada
keadilan terhadap manusia dan keadilan kepada Allah. Keadilan bagi manusia
mengarah kepada berbagai definisi keadilan yang bukan tidak mungkin antara satu
masyarakat manusia dengan masyarakat dengan lainnya berbeda dalam mengartikan
keadilan hukum. Artinya fleksibilitas produk keadilan mutlak diperlukan dalam
heterogenitas manusia dan linngkungannya, sedangkan muara keadilan kepada Allah
adalah produk hukum yang menempatkan keadilan sesuai dengan proporsinya. 32
2. Konsepsional
Kerangka konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang
lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk
konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum.
Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu

31

Abdul Ghofur Anshari, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, UII Press, Yogyakarta 2005,

hal.153
32

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

22

proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.33 Kerangka
konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan
dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.34
Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai
berikut:
a. Harta warisan adalah harta bawaaan ditambah bagian harta bersama setelah
dipergunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya,
biaya pengurusan jenazah (tajhiz) pembayaran hutang dan pemberian untuk
kerabat.35
b. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa36.
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat

(mistaaqon

gholidhan)

untuk

mentaati

perintah

Allah

dan

melaksanakannya merupakan ibadah37.
c. Poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak atau (suami)
mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan.38

33

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.397
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 7
35
Pasal 171 huruf e Kompilasi Hukum Islam
36
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
37
Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam
38
Musdah Mulia, Op.Cit, hal.2
34

Universitas Sumatera Utara

23

d. Pengadilan Agama adalah badan peradilan khusus orang yang beragama
Islam, yang memeriksa dan memutuskan perkara perdata tertentu sesuai
dengan Undang-undang yang berlaku.39
e. Hukum Kewarisan Islam adalah Hukum yang mengatur segala sesuatu yang
berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta kekayaan seseorang
setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.40
f. Perspektif adalah sudut pandang.41
g. Tinjauan Yuridis adalah pandangan menurut hukum; berdasarkan ketentuan
hukum.
G. Metode Penelitian
1.

Sifat dan Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu penelitian yang akan

memaparkan dan menganalisa permasalahan yang akan dikemukakan dalam
penelitian ini. Metode penulisan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif
(penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma
hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai
pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu
kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran
baru (suatu tesis) dan kebenaran-keberanan induk teoritis.

39

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 8
M.Hasbalah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam, Magister Kenotariatan, USU, Medan, hal.1
41
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 268

40

Universitas Sumatera Utara

24

Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini
merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau
dilakukan hanya pada peraturan perundang-undangan yang relevan dengan
permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek
normatif yang kemudian dihubungkan dengan data dan kebiasaan yang hidup
ditengah-tengah masyarakat.
2.

Sumber Data
Sumber data berasal dari penelitian kepustakaan (library research) yang

diperoleh dari :
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang terdiri dari :
a. Al-Qur’an dan Hadist
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
c. Kompilasi Hukum Islam
d. Putusan No.224/K/AG/2011
2. Bahan hukum sekunder, terdiri dari bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan
hukum primer, misalnya buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan,
tulisan para ahli, makalah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya
yang relevan dengan penelitian ini.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahanbahan hukum primer dan sekunder untuk memberikan informasi tentang

Universitas Sumatera Utara

25

badan hukum sekunder, misalnya majalah, surat kabar, kamus hukum, kamus
bahasa Indonesia.
Selain itu, juga dilakukan penelitian lapangan (filed research) dimaksudkan
untuk memperoleh data sekunder yang tidak diperoleh dalam penelitian kepustakaan
dan data primer untuk mendukung analisis permasalahan yang dirumuskan.
3.

Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian tesis ini dipergunakan teknik pengumpulan data sebagai

berikut:
a. Penelitian Kepustakaan (library research)
Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data yang berasal dari
kepustakaaan, berupa buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah, majalahmajalah, peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan
masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait dengan pembagian harta
warisan perkawinan poligami menurut hukum Islam.
b. Penelitian Lapangan (field research)
Penelitian lapangan dimaksudkan untuk memperoleh data

yang berkaitan

dengan materi penelitian yang tidak diperoleh dalam kepustakaan. Metode
yang digunakan yaitu wawancara (depth interview) secara langsung kepada
Hakim Pengadilan Agama Medan sebagai informan dengan menggunakan
pedoman wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu.

Universitas Sumatera Utara

26

4.

Alat Pengumpulan Data
Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka

alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Studi dokumen dengan meneliti dokumen-dokumen yaitu tentang hukum
Islam. Dokumen ini merupakan sumber informasi penting.
b. Wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide).
Wawancara dilakukan terhadap informan dengan menggunakan pedoman
wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Wawancara ini dilakukan
dengan Hakim Pengadilan Agama Medan sebanyak 2 (dua) orang.
5.

Analisis Data
Dalam analisis data dilakukan penyusunan data primer dan data sekunder

secara sistematis. Selanjutnya data primer dan data sekunder yang telah disusun
secara sistematis dianalisis dengan menggunakan metode deduktif yang dilakukan
dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan sumber yang berhubungan
dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini sehingga diperoleh kesimpulan
sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa analisis data akan dilakukan dengan
pendekatan kualitatif dengan kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan
jawaban yang jelas dan benar.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Yuridis Pemberian Iwadh Dalam Gugatan Cerai Menurut Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.248 K AG 2011)

0 0 16

Analisis Yuridis Pemberian Iwadh Dalam Gugatan Cerai Menurut Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.248 K AG 2011)

0 0 2

Analisis Yuridis Pemberian Iwadh Dalam Gugatan Cerai Menurut Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.248 K AG 2011)

0 0 26

Analisis Yuridis Pemberian Iwadh Dalam Gugatan Cerai Menurut Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.248 K AG 2011)

0 0 23

Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Hartawarisan Dalam Perkawinan Poligami Menurut Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 224 K Ag 2011)

0 1 13

Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Hartawarisan Dalam Perkawinan Poligami Menurut Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 224 K Ag 2011)

0 0 2

Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Hartawarisan Dalam Perkawinan Poligami Menurut Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 224 K Ag 2011)

0 1 45

Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Hartawarisan Dalam Perkawinan Poligami Menurut Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 224 K Ag 2011) Chapter III V

0 1 45

Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Hartawarisan Dalam Perkawinan Poligami Menurut Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 224 K Ag 2011)

1 1 4