Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Hartawarisan Dalam Perkawinan Poligami Menurut Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 224 K Ag 2011) Chapter III V

72

BAB III
PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI
BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK
INDONESIA NO. 224/K/AG/2011

A. Pengaturan Tentang Harta Perkawinan Dalam Perkawinan Poligami
Berbicara tentang harta benda dalam perkawinan poligami yang tertuang
dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, UUP tidak memberikan
pengaturan yang terperinci mengenai harta benda dalam perkawinan poligami, serta
pembatasan yang jelas mengenai harta tersebut.
Sebelum menjelaskan pengaturan harta perkawinan dalam hal seseorang lakilaki memilih istri dari lebih seorang, maka terlebih dahulu diuraikan peraturanperaturan yang berkaitan dengan harta perkawinan.
1.

Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Pengaturan tentang harta benda dalam perkawinan menurut Undang-undang

Perkawinan diatur dalam Bab VII, terdiri dari tiga pasal yaitu Pasal 35, 36 dan 37,
lalu dalam Bab XIII Ketentuan Peralihan dengan Pasal 65 ayat (1) huruf b dan c.
Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menentukan :

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

72

Universitas Sumatera Utara

73

Dengan demikian pengertian harta menurut Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 ada dua yaitu :
Pertama : Harta bersama, yaitu harta yang dimiliki dan dikuasai oleh suami
istri bersama-sama. Mengenai harta bersama ini, suami atau istri
dapat bertindak atas persetujuan kedua belak pihak (Pasal 36 ayat
(1)). Yang termasuk harta macam ini harta yang diperoleh selama
perkawinan suami istri134. Misalnya di Jawa disebut dengan harta
gono-gini, di Aceh diistilahkan dengan hareuta sihareukat, di
Minangkabau dinamakan harta suarang, di Sunda digunakan

istilah guna-kaya, di Bali disebut druwe gabro, dan di Kalimantan
digunakan istilah barang berpantangan135.
Kedua :

Harta yang dimiliki dan dikuasai oleh masing-masing suami istri,
sepanjang mereka berdua menentukan lain.
Harta semacam ini berasal dari tiga sumber, yaitu harta yang
sudah dipunyai suami istri sebelum mereka melangsungkan
perkawinan, harta warisan dan harta hadiah yang ditujukan kepada
suami atau istri (pasal 35 ayat (2) dan pasal 36 ayat (2))136.

134

Tesis, Fitria Agustina, Pengaturan Harta Bersama Perkawinan Poligami (Studi di
Kecamatan Medan Maimun), Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara,
Medan, 2004, hal. 67-68
135
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini setelah Perceraian, Visi Media, Jakarta,
2008, hal. 3
136

Ibid, hal. 68

Universitas Sumatera Utara

74

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa harta benda perkawinan dalam
Undang-Undang Perkawinan adalah harta terpisah. Artinya, segala harta yang dibawa
ke dalam perkawinan (yang disebut harta bawaan), tetap dikuasai dan dimiliki oleh
pihak yang membawa. Sedangkan harta yang diperoleh selama perkawinan, menjadi
harta bersama, kecuali diperoleh karena warisan dan hibah. Apabila mau
menyimpang dari prinsip harta benda perkawinan ini, maka dibuat perjanjian kawin
sebelum perkawinan (lihat pasal 29 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974).
Pada dasarnya tidak ada percampuran harta pribadi masing-masing karena
perkawinan. Suami dan istri berhak dan berkuasa penuh untuk melakukan perbuatan
hukum atas harta pribadi masing-masing, kecuali para pihak menentukan lain dalam
perjanjian perkawinan.
Pasal 36 Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa :
(1) Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan

kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Selain itu disebutkan dalam Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan, “bila
perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing”. Yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing ialah hukum
agama, hukum adat dan hukum lainnya.

Universitas Sumatera Utara

75

Pengaturan harta bersama dalam hal perkawinan poligami dapat dilihat dari
Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyebutkan : “Dalam hal seorang
suami beristri lebih dari seorang baik berdasarkan Pasal 3 ayat (2)137 Undang-Undang
ini maka berlakulah ketentuan berikut:
a. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua istri dan
anaknya.
b. Istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang
telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua atau berikutnya itu terjadi.

c. Semua istri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak
perkawinannya masing-masing.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengaturan harta bersama dalam
perkawinan poligami adalah sebagai berikut:
1) Masing-masing isteri memiliki harta bersama secara terpisah dan berdiri
sendiri.
2) Pemilikan harta bersamanya dihitung pada saat berlangsungnya akad nikah
yang kedua, ketiga atau yang keempat.
Menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 36
ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 memberikan kelonggaran
kepada suami/istri untuk mengatur tentang harta bersama dalam perkawinan. Dalam

137

Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan meyebutkan “Pengadilan dapat memberi
izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.

Universitas Sumatera Utara


76

pengaturan itu dikenal dengan Perjanjian Perkawinan yang diatur dalam Pasal 29
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
Bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang
dalam hukum Islam tidak mengenal adanya harta bersama, maka suami istri masingmasing membawa hartanya sendiri-sendiri. Dalam hukum adat, harta bersama ini
lebih dikenal dengan istilah harta gono-gini atau guna-kaya. Dalam hal terjadinya
perceraian maka harta bersama ini dibagi dua dan masing-masing mendapat separoh
dari harta tersebut.
Mengenai harta bersama, menurut Hukum Islam terdapat dua versi jawaban
yang dapat dikemukakan tentang harta bersama, yaitu :
1. Tidak dikenal harta bersama dalam Lembaga Islam kecuali dengan syirkah
(pendapat pertama)
Menurut hukum Islam dengan perkawinan menjadilah sang istri syarikatur
rajuli filhayati yang artinya kongsi sekutu seorang suami dalam melayari
bahtera hidup, maka antara suami istri dapat terjadi Syarikah Abdan
(perkongsian tidak terbatas). Dalam hal ini harta kekayaan bersatu karena
syirkah seakan-akan merupakan harta kekayaan tambahan karena usaha
bersama suami istri selama perkawinan menjadi milik bersama, karena itu
apabila kelak perjanjian perkawinan itu terputus karena perceraian maka harta

syirkah tersebut dibagi antara suami istri menurut pertimbangan sejauh mana
usaha mereka suami/istri turut berusaha dalam syirkah.

Universitas Sumatera Utara

77

Tidak ada harta bersama menurut Hukum Islam antara suami istri, kecuali
adanya syirkah, hal ini mungkin bertitik tolak dari beberapa ayat Al-Qur’an
antara lain :
“Bahwa suami kepala rumah tangga dan mempunyai kewajiban mutlak harus
memberi nafkah baik kepada istri maupun anak-anak: QS.4: 34)
“Berikanlah tempat tinggal yang layak kepada istri (para istri) kamu dimana
kamu bertempat tinggal dan jangan menyusahkan” (QS.65: 6)
Karena istri mendapat perlindungan dari suami baik tentang nafkah, lahir,
sandang, pangan, nafkah batin, moral dan materil maupun rumah tempat
tinggal demikina juga biaya kesehatan, pemeliharaan serta pendidikan anakanak menjadi tanggung jawab penuh suami sebagai kepala rumah tangga.
Sebagaimana yang telah disebut pada ayat diatas, berarti sang istri dianggap
pasif menerima apa yang datang dari suami, maka menurut tafsiran ini tidak
ada harta bersama diluar pembiayaan rumah tangga dan anak-anak, misalnya

hadiah perhiasan, anting gelang, cincin dan yang serupa itu maka itulah yang
menjadi hak istri dan tidak boleh diganggu gugat oleh suami, apa yang
diusahakan oleh suami keseluruhannya tetap menjadi hak milik suami, kecuali
bila ada syirkah (perjanjian bahwa harta mereka bersatu).
2. Pendapat kedua menyatakan bahwa ada harta bersama antara suami istri
menurut Hukum Islam.

Universitas Sumatera Utara

78

Pendapat yang kedua ini disamping mengakui bahwa apa yang diatur UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sepanjang mengenai harta
bersama seperti yang tersebut dalam pasal 35, 36 dan 37 UUP juga sesuai
dengan kehendak atau aspirasi Hukum Islam sebagaimana Firman Allah SWT
berikut ini:
“Bahwa perkawinan adalah perjanjian yang suci, kuat dan kokoh (miitsaaqan
ghalizhaan)”(QS.4:21).
Menurut Hazairin, bahwa harta yang diperoleh suami istri karena usahanya
adalah harta bersama, baik mereka yang bekerja secara bersama-sama
ataupun hanya sang suami saja yang bekerja sedangkan istri hanya mengurus

rumah tangga bersama anak-anak dirumah, sekali mereka itu terikat dalam
perjanjian perkawinan sebagai suami istri maka semuanya menjadi bersatu
baik harta maupun anak-anak seperti yang telah diatur dalam QS. An-Nisa
ayat 21. Tidak perlu diiringi dengan syirkah, sebab perkawinan dengan ijab
kabul serta memenuhi persyaratan lain seperti adanya wali, saksi, mahar,
walimah dan i’lanun nikah sudah dapat dianggap syirkah antara suami istri.
2.

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Berbeda dengan sistem Hukum Perdata Barat (BW), dalam hukum Islam tidak

dikenal percampuran harta kekayaan antara suami dan istri karena perkawinan. Harta
kekayaaan istri tetap menjadi milik istri dan dikuasai sepenuhnya olehnya. Oleh
karena itu pula wanita yang bersuami tetap dianggap cakap bertindak tanpa bantuan

Universitas Sumatera Utara

79

suami dalam soal apapun juga termasuk mengurus harta benda, sehingga ia dapat

melakukan segala perbuatan hukum dalam masyarakat138.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan hukum materil yang pada garis
besarnya meliputi bidang-bidang hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum
perwakafan yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim di lingkungan Badan
Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang
diajukan kepadanya.
Menurut Wasit Aulia dengan tersusunnya Kompilasi Hukum Islam dapat
diharapkan139:
a. Memenuhi asas manfaat dan keadilan berimbang yang terdapat hukum Islam.
b. Mengatasi berbagai masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) untuk menjamin
kepastian hukum.
c. Mampu menjadi bahan baku dan berperan aktif dalam pembinaan hukum
nasional.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pengaturan tentang harta benda dalam
perkawinan tersebut diatur dalam Bab XIII tentang Harta Kekayaan dalam
Perkawinan, terdiri dari sembilan pasal yaitu Pasal 85 sampai dengan Pasal 97
Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 85 KHI menyatakan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu
tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.
138


139

M. Djamil, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 82

Wasit Aulia, HA, Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Pidato
Pengukuhan IAIN Jakarta, 1989, hal. 12

Universitas Sumatera Utara

80

Dengan demikian apabila pasangan suami istri ingin membuat perjanjian mengenai
kedudukan harta dan pemisahan harta dalam perkawinan, menurut Pasal 47 ayat 2
KHI perjanjian tersebut dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan
harta pencarian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dalam hukum
Islam.
Pasal 86 KHI menyebutkan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran
antara harta suami dan istri karena perkawinan140. Harta istri tetap menjadi hak istri
dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan
dikuasai penuh olehnya141. Hal ini berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Pasal 119 yang menentukan bahwa pada saat mulai perkawinan
dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami
dan istri kecuali jika ada perjanjian kawin.
Pasal 87 KHI menentukan :
(1) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.
(2) Suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.
Adapun tanggung jawab suami istri terhadap harta perkawinan adalah :

140
141

Pasal 85 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
Pasal 85 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam

Universitas Sumatera Utara

81

1. Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri dan hartanya
sendiri (Pasal 89 KHI).
2. Istri turut bertanggung menjaga harta bersama maupun harta suaminya yang
ada padanya (Pasal 90).
3. Suami istri tanpa persetujuan pihak lain tidak boleh menjual atau
memindahkan harta bersama (Pasal 92).
4. Apabila ada hutang suami atau istri, maka dibebankan kepada hartanya
masing-masing, hutang keluarga dibebankan kepada hutang keluarga
dibebankan pada harta bersama, jika tidak mencukupi dibebankan pada harta
suami, selanjutnya baru dibebankan pada harta isteri apabila belum
mencukupi (Pasal 93 KHI).
Pasal 88 KHI menyatakan bahwa apabila terjadi perselisihan antara suami istri
tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada
Pengadilan Agama. Pengadilan Agama sebagai pihak ketiga, sebagai tempat
penyelesaian harta bersama apabila urusan pembagian harta bersama tidak dapat
ditempuh dengan jalan perdamaian atau kesepakatan antara para pihak yang
bersengketa tentang bagian yang diterima masing-masing, yang dengan kesepakatan
itu para ahli waris dengan sukarela melepaskan haknya.
Harta bersama dapat dilindungi oleh Pengadilan Agama dengan cara
meletakkan sita jaminan atas harta bersama tersebut. Hal ini untuk mencegah
terjadinya segala sesuatu yang tidak diinginkan atas harta tersebut yang dapat

Universitas Sumatera Utara

82

membahayakan keluarga.142 Hal ini ditentukan dalam Pasal 95 ayat (1) KHI yang
menyatakan suami istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita
jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah
satu perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi,
mabuk, boros dan sebagainya.
Pasal 96 KHI menentukan :
(1)

Apabila cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan hidup
yang lebih lama.

(2)

Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau
suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya hakiki
atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97 KHI menyatakan bahwa harta bersama sepanjang janda atau duda

cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
B. Kasus Posisi Putusan No. 224/K/AG/2011
Kasus posisi perkara berikut ini dikutip dari Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia No. 224/K/AG/2011 adalah sebagai berikut :
Duduk perkara ini dimulai dari meninggalnya MS pada tanggal 20 Pebruari
2005. Semasa hidupnya Almarhum telah melakukan dua kali perkawinan
(poligami). Perkawinan yang pertama dengan SH dilangsungkan pada tanggal 31
142

Neng Djubaedah dkk, Op.Cit, hal, 129

Universitas Sumatera Utara

83

Desember 1951, sesuai dengan Kutipan Akta Nikah No. 151/51/1951 dan
berdasarkan Surat Keterangan yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah
Kecamatan Talawi tanggal 17 November 1978 dan belum pernah bercerai sampai
Almarhum MS meninggal dunia. Dari perkawinan itu, Almarhum MS dan SH
tidak dikaruniai anak atau tidak memiliki keturunan.
Kemudian pada tahun 1983 Almarhum MS melakukan perkawinan yang
kedua kali dengan RP, sesuai dengan Kutipan Akta Nikah No, 27/117/XI/1983
yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah Matraman di Jakarta tanggal 17
November 1983. Dari perkawinan keduanya, Almarhum MS dan RP memiliki
tiga orang anak yang masing-masing bernama IS, (perempuan), RF (laki-laki)
dan AF (laki-laki).
Pada saat perkawinannya atau terikat dalam perkawinan yang sah, ada
terdapat sejumlah harta kekayaan perkawinan baik dalam masa perkawinan
dengan Penggugat maupun Tergugat I antara lain meliputi beberapa bidang
kebun kelapa sawit, beberapa bidang tanah dan rumah-rumah.
Penggugat telah berupaya dan mencoba menyelesaikan secara musyawarah
kekeluargaan akan tetapi para Tergugat tidak menunjukkan itikad baik untuk
menyelesaikan secara kekeluargaan akhirnya Penggugat mengajukan gugatan
waris mal waris143 ke Pengadilan Agama Medan.

143

Waris mal waris adalah penentuan siapa-siapa ahli waris, apa-apa harta yang ditinggalkan,
dan penentuan bagian masing-masing ahli waris. Hasil wawancara, Abdul Halim Ibrahim, Hakim
Pengadilan Agama Klas IA Medan, tanggal 2 Mei 2012.

Universitas Sumatera Utara

84

Adapun yang menjadi dasar gugatan yang dituntut oleh Penggugat adalah
Penggugat menuntut agar ditetapkan sebagai ahli waris yang berhak (mustahiq)
dan menuntut pembagian harta bersama dan pembagian harta warisan yang
belum pernah dibagi dan harta tersebut masih dikuasai oleh Para Tergugat.
Dalam petitumnya Penggugat menyatakan antara lain agar Majelis Hakim
dapat mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya. Menyatakan ahli waris
yang mustahak atau berhak dari Almarhum MS

adalah SH (istri

pertama/Penggugat), RP (istri kedua/Tergugat I), IS (anak perempuan/Tergugat
II), RF (anak laki-laki/Tergugat III) dan AF (anak laki-laki/Tergugat IV). Dan
juga menetapkan harta bersama antara Penggugat dengan Almarhum MS berupa
3 blok perkebunan Kelapa Sawit seluas 42 hektar terletak di Kab. Serdang
Bedagai (Deli Serdang) yang dibeli antara tahun 1974 s/d 1980 dan ½ dari harta
bersama tersebut adalah milik mutlak dari Penggugat dan ½ bagian lainnya jatuh
kepada ahli waris.
Kemudian Penggugat juga menuntut pembagian harta warisan empat bidang
kebun Kelapa Sawit, satu bidang ladang, empat bidang tanah beserta bangunan
rumah permanen diatasnya, dua bidang tanah pemukiman, satu apartemen dan
tiga buah mobil. Dan menetapkan ½ bagian dari harta bersama tersebut adalah
milik mutlak dari Penggugat dan Tergugat I (dengan pembagian masing-masing
¼) dan yang ½ bagian lagi adalah hak mutlak dari ahli waris Almarhum.

Universitas Sumatera Utara

85

Majelis Hakim telah memanggil Penggugat dan para Tergugat untuk
menghadap persidangan, Penggugat dan para Tergugat telah hadir didampingi
kuasanya. Kemudian Majelis Hakim berupaya secara optimal mendamaikan
Penggugat dan para Tergugat dengan cara musyawarah secara kekeluargaan
tetapi upaya perdamaian tersebut tidak tercapai. Lalu persidangan dilanjutkan
dengan pembacaan gugatan dari Penggugat.
Atas gugatan Penggugat, para Tergugat mengakui dan membenarkan sebagian
keterangan Penggugat dan membantah sebagian lainnya. Dalil bantahan para
Tergugat antara lain mengatakan bahwa terhadap objek gugatan harta benda
tidak bergerak, batas-batas yang disebut dalam petitum gugatannya tentang 42
hektar kebun kelapa sawit di Kab. Deli Serdang adalah tidak jelas.

Dan

andaikata jelas pun, ternyata telah sesuai dengan akta pembagian Nomor
592.2/140/1990 yang telah disetujui Penggugat tanggal 20 Oktober 1990 yang
dibuat dihadapan Camat Dolok Masihul, yang menyatakan bahwa perkebunan
sawit tersebut telah diserahkan kepada Tergugat I sampai dengan1 Tergugat IV.
Kebun Gubuk Bakar adalah milik Tergugat I dan Tergugat II karena dibeli
berdasarkan akta Notaris tanggal 25 Juni 2007 setelah MS meninggal dunia.
Kebun Koperasi sebenarnya objeknya tidak ada. Terhadap Kebun Juma Mulia,
Perladangan Tarehan, Kebun Kelapa Sawit Kampung Tanjung Selamat, satu unit
bangunan di Jalan Besar Bangun Purba, dan objek harta lainnya adalah tidak
benar harta-harta tersebut diperoleh Penggugat dengan Almarhum MS.

Universitas Sumatera Utara

86

Para Tergugat juga mengajukan gugatan rekonvensi kepada Penggugat yang
isinya juga menuntut pembagian harta bersama dan harta warisan Almarhum MS
yang masih dikuasai dan diusahai oleh Penggugat yang antara lain meliputi
beberapa bidang kebun kelapa sawit, beberapa bidang tanah, rumah-rumah dan
sebuah yayasan.
Penggugat Rekonvensi menyatakan dalam petitumnya agar Majelis hakim
dapat mengabulkan gugatan para Penggugat Rekonvensi, menetapkan harta-harta
tersebut diatas menjadi harta bersama antara Almarhum MS bersama Tergugat
Rekonvensi/Penggugat I Rekonvensi dan menetapkan ½ bagian dari harta-harta
pada tersebut diatas menjadi harta peninggalan/warisan Almarhum MS dan ½
bagian lagi menjadi hak Penggugat I Rekonvensi bersama dengan Tergugat
Rekonvensi yang dibagi ¼ bagian menjadi hak Penggugat I Intervensi dan ¼
bagian menjadi hak Tergugat Rekonvensi. Dan menetapkan ½ bagian Almarhum
MS menjadi harta warisan yang dibagi kepada para ahli warisnya sesuai dengan
ketentuan hukum Faraidh yaitu istri pertama/Tergugat Rekonvensi, istri
kedua/Penggugat, IS binti MS sebagai anak perempuan, RF bin MS sebagai anak
laki-laki, dan AF bin MS sebagai anak laki-laki.
Dan dalam perjalanan kasus tersebut turut pula pihak ketiga yang mengajukan
gugatan intervensi kepada Penggugat dan para Tergugat yakni anak angkat dari
Almarhum dan Penggugat, yang bermana LS dan TS yang menginginkan bagian
dari harta warisan yang ditinggalkan oleh Almarhum, dengan mendalilkan bahwa

Universitas Sumatera Utara

87

mereka sebagai anak angkat yang telah diurus, dididik serta dibesarkan sejak
masih bayi dan mendalilkan Pasal 209 ayat (2) KHI secara tegas yang
menyatakan terhadap anak angkat yang tidak mendapatkan wasiat diberikan
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orangtua angkatnya.
Dan terhadap gugatan intervensi tersebut, Majelis Hakim telah menjatuhkan
putusan sela nomor 636/Pdt.G/I/Intv/2008/PA-Mdn tanggal 4 Desember 2008
dengan amarnya mengabulkan gugatan Para Penggugat Intervensi untuk
menggabungkan diri dalam perkara nomor 636/Pdt.G/2008/PA-Mdn.
Penggugat di persidangan telah mengajukan bukti-bukti tertulis juga
mengajukan saksi-saksi yang memberi keterangan dibawah sumpah. Demikian
juga halnya para Tergugat juga telah mengajukan bukti-bukti tertulis juga
mengajukan saksi-saksi yang memberi keterangan dibawah sumpah. Sebaliknya
para Penggugat Intervensi hanya mengajukan saksi-saksi yang memberikan
keterangan dibawah sumpah tanpa didukung oleh bukt tertulis yang akurat untuk
mendukung kesaksian para saksi tersebut.
Setelah melalui tahapan-tahapan dan proses pemeriksaan, Pengadilan Agama
Medan dalam intervensi memberikan putusan yang isinya pertama mengabulkan
gugatan Para Tergugat Intervensi untuk sebagian, yang kedua berkaitan dengan
penetapan Para Penggugat Intervensi sebagai anak-anak asuh Almarhum MS
(pewaris) dengan Penggugat dan atas pengabdiannya terhadap pewaris

Universitas Sumatera Utara

88

memperoleh bagian dari harta warisan pewaris berupa sebidang tanah sesuai
dengan sertifikat Nomor 50 Tahun 1986.
Sedangkan dalam konvensi pada pokok perkara Pengadilan Agama Medan
memberikan putusan yang pertama mengabulkan gugatan Pengugat untuk
sebagian. Putusan yang kedua adalah menetapkan ahli waris yang berhak dari
Almarhum MS serta porsinya dengan rincian sebagai berikut : (a) SH (istri
pertama/janda dari Pewaris/ Penggugat) bersama-sama dengan RP (istri
kedua/janda dari Pewaris/Tergugat I) mendapat 1/8 (seperdelapan) bagian atau
10/80 (sepuluh perdelapan puluh bagian) bagian atau masing-masing mendapat
5/80 bagian atau masing-masing 5 bagian; (b) IS (anak perempuan
kandung/Tergugat II) mendapat 14/80 (empat belas perdelapan puluh) atau 14
(empat belas bagian); (c) RF (anak laki-laki kandung/ Tergugat III) mendapat
28/80 (dua puluh delapan perdelapan puluh) bagian atau 28 (dua puluh delapan)
bagian; (d) AF (anak laki-laki kandung/ Tergugat IV) mendapat 28/80 (dua puluh
delapan perdelapan puluh) bagian atau 28 (dua puluh delapan) bagian.
Putusan yang ketiga adalah menetapkan harta warisan Almarhum MS adalah
(a)sebidang tanah beserta 1 (satu) unit bangunan rumah tinggal permanen di
Komplek Taman Setia Budi Indah, Blok J nomor 9 Medan dibagiwariskan
kepada RP (istri kedua/ Tergugat I); (b) sebidang tanah beserta 1 (satu) unit
bangunan rumah tinggal permanen di Komplek Taman Setia Budi Indah Blok D
nomor 16 Medan dibagiwariskan kepada IS (anak perempuan kandung/Tergugat

Universitas Sumatera Utara

89

II); (c) sebidang tanah permukiman seluas lebih kurang 5161 meter persegi di
jalan Suka Senang, lingkungan VII kelurahan Suka Maju Medan dibagiwariskan
RF (anak laki-laki kandung/Tergugat III); (d) sebidang tanah beserta 1 (satu) unit
bangunan rumah tinggal permanen seluas 357 meterpersegi, terletak di jalan
Suka Senang nomor 1 lingkungan VII kelurahan Suka Maju, kecamatan Medan
Johor kota Medan dibagiwariskan kepada AF (anak laki-laki kandung/Tergugat
IV).;
Dalam Rekonvensi Majelis Hakim Pengadilan Agama Medan mengabulkan
gugatan rekonvensi para Pengugat Rekonvensi untuk sebagian dan menetapkan
harta warisan Almarhum MS adalah (a) 3 (tiga) unit bangunan rumah permanen
yang terletak di jalan Gedung Arca nomor 38/40 Medan, di jalan Gedung Arca
nomor 21 kelurahan Pasar Merah Barat kecamatan Medan Kota; dan di jalan
Besar Tanjung Tiram lingkungan I desa Labuhan Ruku kecamatan Talawi
kabupaten Batubara d/h Asahan adalah menjadi milik SH (Penggugat/Tergugat
Rekonvensi); (b) menetapkan para ahli waris sebagaimana disebut diatas sebagai
pemilik dan pengelola Yayasan Pendidikan Nur Hasanah Medan, terletak di jalan
Garu I nomor 28 Medan;
Setelah menerima putusan Pengadilan Agama Medan tersebut para Tergugat
tidak puas, kemudian mereka mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama
Medan melalui surat tanggal 11 Januari 2010. Pengadilan Tinggi Agama Medan
melalui putusannya Nomor 22/Pdt.G/2010/PTA.Mdn tanggal 12 Juli 2010 M/29

Universitas Sumatera Utara

90

Rajab 1431 H, memutuskan menerima permohonan banding Para Pembanding
dan membatalkan putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 636/Pdt.G/PA.Mdn,
tanggal 29 Desember 2009 M/12 Muharram 1431.
Adapun isi putusan Pengadilan Tinggi Agama Medan tersebut dalam
intervensi adalah pertama mengabulkan gugatan Para Tergugat Intervensi untuk
sebagian, kedua menetapkan Penggugat Intervensi sebagai anak angkat
Almarhum MS (pewaris) dengan Penggugat. Sedangkan dalam pokok perkara
Pengadilan Tinggi Agama Medan memutuskan untuk mengabulkan gugatan
Pengugat untuk sebagian dan menetapkan ahli waris dari Almarhum MS. Adapun
rincian ahli waris yang dimaksud adalah SH (istri pertama), RP (istri kedua), IS
(anak perempuan kandung) RF (anak laki-laki kandung), dan AF (anak laki-laki
kandung).
Pengadilan Tinggi Agama Medan juga menetapkan harta bersama antara
Almarhum MS dengan SH (Penggugat) dan juga harta bersama Almarhum MS,
SH (Penggugat) dengan RP (Tergugat I).
Adapun harta bersama antara Almarhum MS dengan SH (Penggugat) yaitu 3
blok Kebun kelapa sawit seluas 42 hektar yang terletak di Kecamatan Dolok
Masihul Kabupaten Serdang Bedagai dengan pembagian ½ (setengah) bagian
merupakan hak Penggugat (SH/istri pertama) dan ½ (setengah) bagian
merupakan harta peninggalan Almarhum untuk dibagikan kepada ahli waris yang
berhak.

Universitas Sumatera Utara

91

Adapun harta bersama Almarhum MS, SH (Penggugat/Terbanding I) dengan
RP (Tergugat I/Pembanding I) adalah 2 (dua) unit bangunan rumah permanen
dan 1 (satu) unit bangunan ruko dengan pembagian 1/3 bagian menjadi hak
Penggugat (SH/istri pertama), 1/3 (sepertiga) bagian hak Tergugat I (RP/istri
kedua) dan 1/3 (sepertiga) bagian lagi merupakan harta peninggalan Almarhum
MS untuk dibagi kepada ahli waris yang berhak.
Selain itu Pengadilan Tinggi Agama Medan juga menetapkan para Penggugat
Intervensi sebagai anak angkat Almarhum dan diberikan wasiat wajibah sebesar
1/6 (seperenam) bagian dari harta peninggalan Almarhum MS.
Pembagian harta warisan tersebut diatas merujuk pada porsi yang ditetapkan
Pengadilan Tinggi Agama Medan sebagai berikut (a) SH (istri pertama)
mendapat 5/80 bagian; (b) RP (istri kedua) mendapat 5/80 bagian; (c) IS (anak
perempuan kandung) mendapat 14/80 bagian; (d) RF (anak laki-laki kandung)
mendapat 28/80 bagian dan (e) AF (anak laki-laki kandung) mendapat 28/80
bagian.
Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Agama Medan tersebut, para Tergugat
keberatan. Kemudian para Tergugat/Para Pembanding mengajukan mengajukan
permohonan pada kasasi ke Mahkamah Agung. Mereka menyampaikan memori
kasasinya dengan alasan-alasan yang disebutkan antara lain :
1. Majelis Hakim Tingkat Banding telah salah menerapkan hukum karena
menyatakan bahwa para turut Termohon/para Tergugat Intervensi sebagai

Universitas Sumatera Utara

92

anak angkat dari Almarhum MS dan SH, adalah keliru dan tidak disertai
dengan pertimbangan yang dikehendaki undang-undang. Sebab dalam
undang-undang telah ditegaskan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam
pemeliharaan untuk hidupnya, biaya pendidikan dan sebagainya beralih
tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya
berdasarkan penetapan Pengadilan. Sedangkan selama proses persidangan
perkara a quo para Turut Termohon/para Penggugat Intervensi tidak dapat
mengajukan bukti tertulis berupa penetapan Pengadilan tentang pengangkatan
anak, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 171 huruf h KHI yang
menyatakan “anak angkat harus berdasarkan penetapan Pengadilan”.
2. Majelis Hakim Tingkat Banding telah salah dan keliru menerapkan hukum
dan membuat pertimbangan hukum yang mengada-ada seolah-olah para
Pemohon Kasasi/para Tergugat diwajibkan beban bukti, sebab dalam
pertimbangan hukum Majlis Hakim Pengadilan Tingkat Pertama karena
menyebutkan bahwa para Pemohon Kasasi/para Tergugat dalam meneguhkan
dalil bantahannya telah mengajukan alat bukti akte pembagian No.
592.2./140/1990 yang dibuat dihadapan Camat Dolok Masihul dan
perkebunan kelapa sawit tersebut telah diserahkan kepada para Pemohon
Kasasi/para Tergugat. Sedangkan menurut versi Termohon Kasasi/Penggugat
akte tersebut bertentangan dengan hukum. Sedangkan sebelumnya, dalam
gugatan tidak ada dimohon pembatalan akte sebelum menuntut pembagian

Universitas Sumatera Utara

93

harta warisan, oleh karenanya batas-batas tanah yang dimaksud menjadi tidak
jelas. Jadi pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat Pertama yang
menyangkut objek perkara adalah tepat dan benar.
3. Majelis Hakim Tingkat Banding kurang memberikan pertimbangan sehingga
dapat dipandang sebagai suatu kelalaian dalam acara (vormverzuim) yang
dapat mengakibatkan batalnya putusan Pengadilan yang bersangkutan dalam
pemeriksaan kasasi (Surat Edaran MARI No. 03 tanggal 25 November 1974.
Majelis Hakim Tingkat Banding dalam putusannya kurang memberikan
mempertimbangankan gugatan rekonvensi mengenai objek sengketa yang
digugat para Pemohon Kasasi/para Penggugat Rekonvensi yang telah
mengajukan bukti tertulis (bukti surat) dan ditambah bukti 4 orang saksi.
Bahkan terhadap bukti fotokopi sertifikat hak milik No. 50 atas nama
Penggugat/Termohon Kasasi tidak memberikan tanggapan, dan mengakui
bahwa rumah tersebut sampai saat ini masih dihuni oleh Penggugat/Termohon
Kasasi

sesuai

dengan

yang

tersebut

dalam

identitas

Termohon

Kasasi/Penggugat Rekonvensi.
Setelah Mahkamah Agung menerima dan mempertimbangkan memori kasasi,
Mahkamah Agung melalui putusannya Nomor 224/K/AG/2011 tanggal 26 Juli
2011M bertepatan dengan 12 Muharram 1430 H memutuskan mengabulkan
permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi (para Tergugat) dan membatalkan
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Medan No. 22/Pdt.G/2010/PTA. Mdn tanggal 12

Universitas Sumatera Utara

94

Juli 2010

yang telah membatalkan putusan Pengadilan Agama Medan No.

636/Pdt.G/2008/PA.Mdn.
Dalam Intervensi Mahkamah Agung menolak gugatan para Penggugat
Intervensi. Sedangkan dalam pokok perkara Mahkamah Agung memutuskan untuk
mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dan menetapkan ahli waris dari
Almarhum MS adalah SH (istri pertama/janda dari Pewaris), RP (istri kedua/janda
dari Pewaris), IS (anak perempuan kandung), RF (anak laki-laki kandung) dan AF
(anak laki-laki kandung).
Dalam pokok perkara Hakim Mahkamah Agung telah menetapkan harta
bersama antara Almarhum dengan SH (istri pertama/janda dari pewaris) dan RP (istri
kedua/janda dari pewaris) adalah 3 (tiga) bidang tanah beserta bangunan rumah
permanen beserta sebidang tanah permukiman seluas lebih kurang 5161 meter
persegi. Setelah itu Mahkamah Agung menetapkan 1/3 bagian dari harta bersama
diatas menjadi bagian Penggugat/istri pertama, 1/3 bagian merupakan bagian
Tergugat/istri kedua dan 1/3 lagi merupakan bagian dari Almarhum menjadi harta
warisan yang akan dibagi kepada ahli waris yang berhak.
Mahkamah Agung menetapkan bagian ahli waris serta porsinya masingmasing sebagai berikut : (a) SH (istri pertama/janda dari Pewaris) mendapat 5/80
bagian dari harta warisan ditambah 1/3 bagian dari harta bersama; (b) RP (istri
kedua/janda dari Pewaris) mendapat 5/80 bagian dari harta warisan ditambah 1/3
bagian dari harta bersama; (c) IS (anak perempuan kandung) mendapat 14/80 bagian

Universitas Sumatera Utara

95

dari harta warisan; (d) RF (anak laki-laki kandung) mendapat 28/80 bagian dari harta
warisan dan (e) AF (anak laki-laki kandung) mendapat 28/80 bagian dari harta
warisan.
Mahkamah Agung juga menyatakan gugatan Penggugat pada petitum 4 huruf
(a), (b), (c) berupa 3 blok kebun kelapa sawit seluas 42 hektar tidak dapat diterima.
Dalam rekonvensi Mahkamah Agung

menolak gugatan rekonvensi para

Penggugat untuk sebagian dan menetapkan harta bersama dalam perkawinan antara
Almarhum, SH (istri pertama/janda dari pewaris) dan RP (istri kedua/janda dari
pewaris) berupa 4 (empat) bidang tanah beserta bangunan rumah permanen dan
sebidang tanah pertapakan Yayasan Pendidikan Nur Hasanah Medan. Atas harta
bersama tersebut ditetapkan 1/3 bagian dari harta bersama tersebut menjadi bagian
Penggugat/istri pertama, 1/3 bagian merupakan bagian Tergugat/istri kedua dan 1/3
lagi merupakan bagian dari Almarhum yang akan menjadi harta warisan yang
dbagikan kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan porsi yang ditetapkan
Mahkamah Agung.
Adapun bagian ahli waris serta porsinya masing-masing adalah (a) SH (istri
pertama/janda dari Pewaris) mendapat 5/80 bagian dari harta warisan ditambah 1/3
bagian dari harta bersama; (b) RP (istri kedua/janda dari Pewaris) mendapat 5/80
bagian dari harta warisan ditambah 1/3 bagian dari harta bersama; (c) IS (anak
perempuan kandung) mendapat 14/80 bagian dari harta warisan; (d) RF (anak laki-

Universitas Sumatera Utara

96

laki kandung) mendapat 28/80 bagian dari harta warisan dan (e) AF (anak laki-laki
kandung) mendapat 28/80 bagian dari harta warisan.
Terhadap Yayasan Pendidikan Nur Hasanah Medan, Hakim Mahkamah
Agung menetapkan para ahli waris sebagaimana disebut diatas sebagai pemilik dan
pengelola Yayasan terletak di jalan Garu I nomor 28 Medan tersebut dan terhadap
gugatan rekonvensi para Penggugat Rekonvensi/para Tergugat pada petitum 3 dan 4
dinyatakan tidak dapat diterima.
C. Pembagian Harta Warisan Dalam Perkawinan Poligami
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 224/K/AG/2011

Putusan

Apabila seorang suami yang memiliki dua orang istri atau lebih meninggal
dunia maka yang berhak menjadi ahli waris adalah mereka yang memenuhi syaratsyarat :
1. Pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan
perkawinan dengan pewaris;
2. Beragama Islam
3. Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Pasal 174 ayat 1 KHI menentukan Kelompok ahli waris menurut hubungan
darah yaitu :
a.

Golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,
paman dan kakek

b.

Golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dan nenek.

Universitas Sumatera Utara

97

Pasal 174 ayat 2 KHI menentukan bahwa apabila semua ahli waris ada, maka
yang mendapat warisan adalah anak, ayah, ibu, duda atau janda. Kompilasi Hukum
Islam telah menetapkan bagian tertentu bagi masing ahli waris. Pembagiannya antara
lain adalah sebagai berikut :
1. Anak perempuan bila hanya seorang mendapat separuh bagian, bila dua orang
tau lebih mereka bersama-sama mendapat duapertiga bagian, dan apabila anak
perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki adalah dua berbanding satu
dengan anak perempuan. (Pasal 176 KHI)
2. Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan
bila pewaris meninggalkan anak, janda memperoleh bagian seperdelapan
bagian. (Pasal 180 KHI)
Berdasarkan kasus diatas, maka dapat diketahui Pewaris dalam perkara ini
adalah Almarhum MS yang telah meninggal dunia di Medan pada tanggal 20
Februari 2005 karena penyakit dan dalam keadaan beragama Islam. Ayah dan ibu
kandungnya telah meninggal terlebih dahulu dari Pewaris. Pewaris meninggalkan ahli
waris yang terdiri yaitu SH (Penggugat), dan RF (Tergugat I) sebagai ahli waris yang
mustahiq (yang berhak) karena pertalian perkawinan, yaitu sebagai istri pertama dan
istri kedua yang sah/janda yang ditinggal mati oleh Pewaris dan selama hidupnya
tidak pernah bercerai. Dan juga meninggalkan ahli waris yang terdiri tiga orang anak
kandung yang bernama masing-masing bernama IS, perempuan (Tergugat II), RF,
laki-laki (Tergugat III) dan AF, laki-laki (Tergugat IV) adalah sebagai ahli waris yang

Universitas Sumatera Utara

98

karena hubungan darah. Semua ahli waris yang tersebut diatas beragama Islam dan
tidak ada penghalang (mawani’) kewarisan seperti yang dimaksud dalam pasal 173
Kompilasi Hukum Islam. Selain itu Almarhum HM. Syafi’i meninggalkan harta
peninggalan (tirkah) yang belum pernah dibagi kepada ahli warisnya yang pada saat
ini dikuasai oleh para Tergugat sebagaimana tertera dalam gugatan.
Mahkamah Agung telah menetapkan ahli waris serta porsi masing-masing ahli
waris sebagai berikut :
1. SH (istri pertama/janda dari Pewaris/Penggugat) mendapat 5/80 bagian dari
harta warisan ditambah 1/3 bagian dari harta bersama.
2. RP (istri kedua/janda dari Pewaris/Tergugat I) mendapat 5/80 bagian dari
harta warisan ditambah 1/3 bagian dari harta bersama.
3. IS (anak perempuan kandung/Tergugat II) mendapat 14/80 bagian dari harta
warisan.
4. RF (anak laki-laki kandung/Tergugat III) mendapat 28/80 bagian dari harta
warisan.
5. AF (anak laki-laki kandung/ Tergugat IV) mendapat 28/80 bagian dari harta
warisan.
Putusan Mahkamah Agung diatas sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam
Indonesia Pasal 190 yang menyatakan bahwa bagi pewaris yang beristri lebih dari
seorang, maka masing-masing istri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari

Universitas Sumatera Utara

99

rumah dengan suaminya sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak
para ahli warisnya.
Sedangkan bila dibandingkan dengan putusan sebelumnya, Majelis Hakim
Pengadilan Agama tidak menentukan dan tidak melakukan pembagian harta bersama
terlebih dahulu, tetapi langsung menetapkan dan membagikan harta warisan pada
masing-masing ahli waris.

Universitas Sumatera Utara

100

BAB IV
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS
PERKARA NO.224/K/AG/2011

A. Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara No.224/K/AG/2011
Setiap putusan hakim memiliki kekuatan hukum yang harus ditaati oleh semua
pihak karena selain putusan itu mempunyai aspek formal yang disebut prosedural
justice juga didasarkan pada prinsip utamanya yaitu aturan-aturan atau norma-norma
yang ada dan benar-benar mengikuti prinsip hukum yang dikenal sebagai legal justice
(putusan hakim harus merupakan putusan yang memenuhi ketentuan formalitas dan
mempunyai persyaratan legitimasi).144
Pedoman bagi seorang hakim dalam mengambil sebuah keputusan pada
sebuah perkara pidana atau perdata ternyata berdasarkan pada legal justice dengan
menempatkan hukum sebagai hukum (law is law). Prinsip filosopis ini sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 5 ayat 1 yang berbunyi “Pengadilan mengadili harus mengadili menurut hukum
dengan tidak membeda-bedakan orang”.
Dalam konteks penegakan hukum dan keadilan, peran hakim perlu mendapat
perhatian lebih luas untuk mendapatkan kualitas putusan yang menggambarkan nilainilai moral yang tinggi disamping putusan-putusan yang berdasarkan ketentuan

144

Gayus Lumbun, Menerobos Goa Hantu Peradilan Indonesia, , Business Information
Service, Jakarta, 2004, hal. 132

100

Universitas Sumatera Utara

101

norma dan prinsip hukum yang dapat menimbulkan rasa keadilan masyarakat dengan
mengingat hukum adalah nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat.145
Dengan demikian maka moralitas dalam sebuah putusan hakim merupakan
dasar yang penting untuk menempatkan putusan itu sebagai sebuah kewibawaan
hukum ditengah-tengah masyarakat, sehingga peran dan kedudukan hakim dapat
berada ditempat yang layak, karena hukum adalah apa yang dilakukan hakim di
Pengadilan yang dapat dilihat dari putusan hakim tersebut146.
Dapat dikatakan pertimbangan hukum merupakan jiwa intisari putusan.
Pertimbangan berisi analisis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan hukum dari
hakim yang memeriksa perkara. Dalam pertimbangan dikemukakan analisis yang
jelas berdasarkan Undang-Undang pembuktian :
1. Alat bukti yang diajukan penggugat dan tergugat memenuhi syarat formil dan
materil.
2. Alat bukti pihak mana yang mencapai batas minimal pembuktian
3. Dalil gugatan apa saja dan dalil bantahan apa saja yang terbukti
4. Sejauhmana nilai kekuatan pembuktian yang dimiliki para pihak147
Selanjutnya diikuti analisis, hukum apa yang diterapkan menyelesaikan
perkara tersebut. Bertitik tolak dari analisis itu pertimbangan melakukan argumentasi

145

Ibid , hal. 133
Ibid
147
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 809
146

Universitas Sumatera Utara

102

yang objektif dan rasional, pihak mana yang mampu membuktikan dalil gugat atau
dalil bantahan sesuai dengan ketentuan hukum yang diterapkan. Dari hasil
argumentasi itulah hakim menjelaskan pendapatnya apa saja yang terbukti dan tidak
terbukti, dirumuskan menjadi kesimpulan hukum sebagai dasar landasan perkara
yang dituangkan dalam diktum putusan.
Mahkamah Agung telah membuat pertimbangan yang antara lain menyatakan
bahwa alasan-alasan yang disebutkan oleh para Pemohon Kasasi dalam memori
kasasinya dapat dibenarkan karena Pengadilan Tinggi Agama Medan telah salah
menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
Asas ijbari berintikan hukum waris Islam bersifat memaksa, artinya ketika
seorang muslim meninggal dunia, maka pada saat itu juga berlakulah hukum waris
yang intinya peralihan hak atas harta warisan kepada ahli warisnya. Kata-kata
peralihan mengandung makna bahwa Allah SWT telah menentukan hak masingmasing ahli waris.
Pengadilan Tinggi Agama telah mengambil kebijakan kepada para
Penggugat Intervensi sebagai anak angkat dan memberi yang bersangkutan hak,
dalam hal ini tidak dibenarkan dalam Islam kecuali atas ridho dari pada ahli waris,
selain itu berdasarkan perundang-undangan yang berlaku para Penggugat
Intervensi (LS dan TS) tidak memenuhi syarat untuk dinyatakan sebagai anak
asuh dan/atau anak angkat, karenanya gugatan para Penggugat Intervensi harus
dinyatakan ditolak.

Universitas Sumatera Utara

103

Para Penggugat Intervensi (LS dan TS) masih belum tertutup kemungkinan
untuk memperoleh bagian sebagai hibah dan/atau wasiat dari SH yang nota bene
mewarisi harta sangat banyak, karena yang memelihara anak tersebut adalah
Penggugat, bukan para Tergugat. Dengan demikian porsi yang diberikan kepada
para Penggugat Intervensi tersebut harus dikembalikan kepada para ahli waris dari
Almarhum MS untuk dibagi waris.
Semua harta benda Almarhum MS baik yang termasuk dalam gugatan
konvensi maupun rekonvensi diperoleh selama dalam perkawinan dengan
Penggugat (istri pertama) dan Tergugat I (istri kedua) berdasarkan ketentuan Pasal
35 ayat (1) Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, harta benda
tersebut harus dinyatakan sebagai harta bersama dalam perkawinan.
Meskipun ketentuan Pasal 96 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menentukan
separoh dari harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama, akan
tetapi karena Almarhum mempunyai dua orang isteri, maka harta bersama tersebut
harus dibagi tiga. Dan oleh karenanya Almarhum hanya berhak atas 1/3 (sepertiga)
harta dan 1/3 (sepertiga) harta tersebut merupakan budel waris yang harus
dibagikan kepada ahli warisnya.
Terhadap objek berupa bidang tanah pertapakan Yayasan Pendidikan Nur
Hasanah Medan, terletak di jalan Garu I No. 28 Medan, dikarenakan objek
tersebut dipergunakan untuk kepentingan pendidikan/sekolah, maka akan lebih

Universitas Sumatera Utara

104

bermanfaat bila yayasan tersebut terus dikelola oleh para ahli waris almarhum MS
bagi kepentingan pendidikan dibandingkan harus dibagi waris.
Dari uraian diatas menunjukkan bahwa pertimbangan hakim dalam memutuskan
perkara yang menjadi judul penelitian ini sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam
Indonesia dan tidak bertentangan Al-Qur’an dan sunnah Rasul.
B. Analisa

terhadap

Putusan

Mahkamah

Agung

Republik

Indonesia

No.224/K/AG/2011
Dalam penelitian ini, analisa dilakukan terhadap Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia No.224/K/AG/2011. Adapun masalah yang disengketakan antara
Penggugat dan Para Tergugat adalah tentang tidak adanya kesepakatan tentang
jumlah harta bersama dan jumlah pembagian harta peninggalan dari Almarhum yang
belum dibagi waris. Selain itu dalam kasus ini terjadi intervensi dari pihak ketiga
yang ingin mendapatkan hak dan pengakuan sebagai anak angkat dari Almarhum.
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai apa dan bagaimana hasil
putusan Mahkamah Agung dibandingkan putusan sebelumnya maka dilakukan
analisa putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.224/K/AG/2011. Analisa
yang dilakukan dikategorikan kedalam tiga aspek yaitu penetapan ahli waris,
pembagian harta bersama dan harta warisan, dan status anak angkat.
1. Penetapan Ahli Waris

Universitas Sumatera Utara

105

Hakim Mahkamah Agung dalam putusannya telah menetapkan siapa-siapa
saja yang termasuk ahli waris Almarhum. Hal ini juga sejalan dengan putusan
Pengadilan Tinggi Agama Medan dan putusan Pengadilan Agama Medan
adalah sama, yaitu SH (istri pertama/janda dari Pewaris), RP (istri kedua/janda
dari Pewaris), IS (anak perempuan kandung), RF (anak laki-laki kandung) dan
AF (anak laki-laki kandung).
Putusan tersebut telah sesuai dengan syarat dalam menetapkan yang berhak
menjadi ahli waris. Adapun syarat-syarat tersebut adalah mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam
dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Juga didukung
oleh pasal 174 ayat 2 KHI yang menentukan bahwa apabila semua ahli waris
ada, maka yang mendapat warisan adalah anak, ayah, ibu, duda atau janda.
2. Pembagian Harta Bersama dan Harta Warisan
Pada perkara tingkat kasasi, Hakim Mahkamah Agung telah menetapkan harta
bersama antara Almarhum dengan SH (istri pertama/janda dari pewaris) dan
RP (istri kedua/janda dari pewaris) meliputi 7 (tujuh) bidang tanah beserta
bangunan rumah permanen, sebidang tanah permukiman seluas lebih kurang
5161 meter persegi serta sebidang tanah pertapakan Yayasan Pendidikan Nur
Hasanah Medan. Atas harta bersama tersebut ditetapkan 1/3 bagian dari harta
bersama tersebut menjadi bagian Penggugat/istri pertama, 1/3 bagian
merupakan bagian Tergugat/istri kedua dan 1/3 lagi merupakan bagian dari

Universitas Sumatera Utara

106

Almarhum yang akan menjadi harta warisan yang dbagikan kepada ahli waris
yang berhak sesuai dengan porsi yang ditetapkan Mahkamah Agung.
Jika dibandingkan dengan putusan pada tingkat banding, Hakim
Pengadilan Tinggi Agama Medan telah membuat dua penetapan harta
bersama, yaitu pertama, penetapan harta bersama antara Almarhum MS
dengan SH (Penggugat) dan kedua, penetapan harta bersama Almarhum MS,
SH (Penggugat) dengan RP (Tergugat I). Adapun

harta bersama antara

Almarhum MS dengan SH (Penggugat) yaitu 3 blok perkebunan kelapa sawit
seluas 42 hektar yang terletak di Kecamatan Dolok Masihul Kabupaten
Serdang Bedagai dengan pembagian ½ (setengah) bagian merupakan hak
Penggugat (SH/istri pertama) dan ½ (setengah) bagian merupakan harta
peninggalan Almarhum untuk dibagikan kepada ahli waris yang berhak.
Adapun harta bersama Almarhum MS, SH (Penggugat) dengan RP (Tergugat)
adalah 2 (dua) unit bangunan rumah permanen dan 1 (satu) unit bangunan
ruko dengan pembagian 1/3 bagian menjadi hak Penggugat (SH/istri pertama),
1/3 (sepertiga) bagian hak Tergugat I (RP/istri kedua) dan 1/3 (sepertiga)
bagian lagi merupakan harta peninggalan Almarhum MS untuk dibagi kepada
ahli waris yang berhak.
Hal ini sesuai dengan Pasal 190 KHI mengatur bahwa pewaris yang
beristri lebih dari seorang, maka masing-masing istri berhak mendapat bagian

Universitas Sumatera Utara

107

atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya sedangkan keseluruhan
bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya.
Pasal 96 ayat (1) KHI mengatur bahwa apabila cerai mati, maka separuh
harta bersama menjadi hak pasangan hidup yang lebih lama. Akan tetapi
karena Almarhum mempunyai dua orang istri maka harta bersama tersebut
dibagi tiga, yaitu 1/3 bagian untuk istri pertama, 1/3 bagian untuk istri kedua
dan 1/3 bagian menjadi harta warisan yang dibagi kepada ahli waris.
Mengapa terjadi perbedaan putusan penetapan dan pembagian harta
bersama antara Hakim Mahkamah Agung dan Hakim Pengadilan Tinggi
Agama, karena masing-masing hakim memiliki pertimbangan yang berbeda.
Hakim Mahkamah Agung mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan,
pertama bahwa tidak ada permintaan Penggugat/Termohon Kasasi untuk
membatalkan akta pembagian harta No.592/140/1990 yang dibuat dihadapan
Camat Dolok Masihul serta Akta Notaris 25 Juni 2007. Pertimbangan kedua,
Hakim Mahkamah Agung tidak akan mengabulkan permohonan yang tidak
dituntut oleh Penggugat/Termohon Kasasi. Oleh karena itu Hakim Mahkamah
Agung menyatakan gugatan Penggugat tidak jelas (obscuur), karenanya
dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Sedangkan pada putusan Hakim Pengadilan Tinggi Agama Medan
terdapat perbedaan dengan putusan Mahkamah Agung mengenai hal in

Dokumen yang terkait

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Analisis Yuridis Pemberian Iwadh Dalam Gugatan Cerai Menurut Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.248 K AG 2011)

0 0 16

Analisis Yuridis Pemberian Iwadh Dalam Gugatan Cerai Menurut Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.248 K AG 2011)

0 0 2

Analisis Yuridis Pemberian Iwadh Dalam Gugatan Cerai Menurut Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.248 K AG 2011)

0 0 26

Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Hartawarisan Dalam Perkawinan Poligami Menurut Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 224 K Ag 2011)

0 1 13

Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Hartawarisan Dalam Perkawinan Poligami Menurut Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 224 K Ag 2011)

0 0 2

Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Hartawarisan Dalam Perkawinan Poligami Menurut Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 224 K Ag 2011)

1 1 26

Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Hartawarisan Dalam Perkawinan Poligami Menurut Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 224 K Ag 2011)

0 1 45

Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Hartawarisan Dalam Perkawinan Poligami Menurut Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 224 K Ag 2011)

1 1 4