Analisis Yuridis Pemberian Iwadh Dalam Gugatan Cerai Menurut Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.248 K AG 2011)

27

BAB II
DASAR HUKUM PEMBERIAN IWADH DALAM PERCERAIAN KHULU
DALAM HUKUM ISLAM
A.

Dasar Hukum Menurut Al Qur’an dan Hadist
Al Qur’an mengajarkan apabila dalam hidup perkawinan tidak ada kesesuaian

antara suami isteri setelah kedua belah pihak menyabarkan diri, tetapi akhirnya tidak
sanggup untuk melanjutkan hidup pernikahan, maka apabila yang menginginkan
bercerai adalah pihak isteri, perceraian dapat dilakukan dengan jalan talak tebus
(khulu’) yaitu isteri meminta kepada suaminya untuk mentalaknya dengan
memberikan kepada suami harta yang pernah diterimanya sebagai mahar.
Mahar atau maskawin adalah suatu pemberian wajib bagi suami kepada isteri
dalam kaitannya dengan pernikahan.56 Islam tidak membatasi jumlah mahar. Islam
hanya memberikan prinspi pokok yaitu secara ma’ruf, artinya dalam batas-batas yang
wajar sesuai dengan kemampuan dan kedudukan suami yang dapat diperkirakan
isteri.57 Tidak ada dosa bagi isteri untuk mengeluarkan tebusan itu kepada suaminya
dan tidak ada dosa pula bagi suaminya atas tebusan yang diterimanya.

Bila seorang wanita tidak menyukai suaminya, mungkin karena akhlaknya
bentuk tubuh, agama, ketuaan, kelemahannya atau karena khawatir tidak bisa

56
57

Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hal.71.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal.55

27

Universitas Sumatera Utara

28

menjalankan perintah Allah berupa ketaatan kepada suami, maka ia boleh meminta
cerai kepada suaminya dengan memberi penggantian sebagai penebus dirinya.58
Sebelumnya telah diuraikan bahwa Khulu’ merupakan salah satu bentuk dari
putusnya perkawinan, namun berbeda dengan bentuk lain dari putusnya perkawinan
itu, didalam khulu’ terdapat uang tebusan atau ganti rugi atau iwadh.

Khulu’ ialah penyerahan harta yang dilakukan oleh isteri untuk menebus dirinya
dari (ikatan) suaminya.59
Selain dari kata khulu’ para ulama menggunakan beberapa kata yaitu fidyah,
shulh dan mubaraah. Meskipun dalam makna yang sama, namun dibedakan
dari segi jumlah ganti rugi atau iwadh yang digunakan. Apabila ganti rugi
untuk putusnya hubungan perkawinan itu adalah seluruh mahar yang diberikan
pada waktu nikah disebut khulu’. Apabila ganti rugi adalah separuh dari mahar
maka disebut shulh dan apabila ganti rugi adalah lebih banyak dari mahar yang
diterima pada waktu nikah disebut fidyah. Sedangkan bila isteri bebas dari
ganti rugi disebut mubaarah.60
Isteri diperbolehkan memberikan uang tebusan kepada suami untuk
menceraikannya dalam keadaan yang membahayakan dirinya. Tebusan itu sebaiknya
tidak melebihi mahar yang diterimanya dari suami. Suami tidak boleh meminta
tebusan lebih tinggi daripada mahar yang diberikannya kecuali jika permintaan cerai
itu diajukan oleh isteri yang membangkang.61
Khulu’ boleh dilakukan karena manusia membutuhkannya akibat adanya
pertikaian dan persengketaan diantara suami isteri dan tidak ada lagi keharmonisan
diantara suami isteri tersebut.
58


Ensiklopedi Ijmak, Pustaka Firdaus, hal.318.
Muhammad Jawad Mughniyah, Op.cit, hal.456.
60
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hal.231.
61
Muhammad Mutawalli Sya’wari, Fiqih Wanita, Pena, Jakarta , 2006, hal. 198.
59

Universitas Sumatera Utara

29

Seorang wanita yang membenci suaminya karena keburukan akhlak, fisik,
ketaatannya terhadap agama, karena kesombongan atau karena hal yang lain. Si isteri
merasa takut jika dia tidak melaksanakan hak Allah untuk mentaati suaminya, oleh
karena itu Islam menetapkan jalan untuknya dalam upaya mengimbangi hak talak
yang dimiliki oleh laki-laki untuk membuatnya terbebas dari ikatan perkawinan, dan
untuk menghilangkan keburukan darinya, maka diperbolehkan baginya untuk mengkhulu’ dengan cara memberikan ganti rugi berupa tebusan untuk menebus dirinya dari
suaminya.
Secara harfiah khulu’ yang berarti “lepas” itu didefinisikan oleh para ulama

adalah perceraian dengan tebusan (dari pihak isteri kepada pihak suami) dengan
menggunakan lafaz talak atau khulu’62
Khulu’ sebagai salah satu jalan keluar dari kemelut rumah tangga yang diajukan
oleh pihak isteri didasarkan atas firman Allah SWT yang terdapat dalam Surah Al
Baqarah ayat 229 yang artinya:63
“….Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.”
Al Qur’an menjelaskan bahwa seorang isteri berhak menuntut cerai dari
suaminya (khulu’) jika ia khawatir kekejamannya.
Sebagaimana dalam Surah An Nisa ayat 128 yang artinya:64

62
63

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, hal.131.
Ensiklopedi Hukum Islam, hal.934.

Universitas Sumatera Utara


30

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nuzyus (kekejaman) atau sikap acuh
tak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi
mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan bila kamu
menggauli isterimu dengan baik dan memelihara dirimu, maka sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Kemudian pula apabila seorang isteri merasa khawatir apabila suaminya tidak
dapat menunaikan kewajibannya dalam masa perkawinan sebagaimana yang
ditetapkan oleh syari’ah, maka dia dapat melepaskan diri dari ikatan pernikahan itu
dengan mengembalikan sebahagian ataupun seluruh yang telah diterimanya kepada
suaminya.
Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadist yang artinya:65
“Seorang wanita menghadap Nabi Muhammad SAW dan berkata:” Aku benci
pada suamiku dan ingin berpisah darinya”. Nabi Muhammad SAW bertanya:
“sudikah engkau mengembalikan kebun yang telah ia berikan sebagai mahar
kepadamu?” Dia menjawab: “ya, bahkan lebih dari itu (kalau perlu).” Maka
nabi Muhammad SAW bersabda: “Adapun selebihnya tidak usah.”
Tetapi tidak ada alasan apapun bagi seorang isteri untuk meminta cerai

kemudian ia meminta tebusan bagi suaminya.
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda yang artinya:66
“Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang
dibenarkan, maka diharamkan baginya bau surga.”
Pengganti khulu’ adalah tebusan yang diberikan isteri kepada suaminya sebagai
penukar talak terhadapnya dan kebebasannya. Hukum pengganti ini berbeda-beda
64
65

Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahannya, hal 129.
Abdul Rahman I.Doi, Perkawinan Dalam Syariah Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal

114.
66

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, hal.306

Universitas Sumatera Utara

31


sesuai dengan perbedaan yang dialami oleh pasangan suami isteri dan khulu’ yang
ditimbulkannya.
Adapun kondisi tebusan tersebut tidak terlepas dari salah satu dari tiga kondisi
berikut antara lain:
1. Isteri yang tidak suka untuk tetap tinggal bersama suaminya, tanpa ada
tindakan menyakitkan dan kemudharatan dari suami terhadapnya. Dalam
kondisi demikian, suami boleh mengambil harta dari pihak isteri sebagai
pengganti dari talak dan kebebasan yang diberikan kepadanya. Dalam hal
ini, suami tidak berdosa bila yang diambilnya dari pihak isteri tidak
melebihi apa yang diberikannya kepada isteri. Mayoritas ulama
membolehkan apabila yang diambilnya itu lebih banyak dari apa yang
diberikan kepadanya.67
Sebagaimana dalam Al Quran Surah al Baqarah ayat 229 yang artinya:
“ Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami isteri) tidak data menjalankan hukum-hukum Allah maka tidak ada
dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untik
menebus dirinya.” 68

2. Ketidaksenangan dan keberpalingan pihak suami saja. Suami ingin
melepaskan diri dari isterinya agar bisa menikah lagi dengan perempuan
lain. Dalam situasi ini, suami tidak boleh mengambil apapun dari isterinya
sebagai tebusan talak terhadapnya baik banyak maupun sedikit, sebesar
apapun mahar yang telah diberikan kepadanya.69
Sebagaimana dalam Al Qur’an Surah An-Nisa ayat 20 yang artinya:
“ Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang
kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang
banyak maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang

67

Abdul Majid Mahmud Mathlub, Op.cit, hal.410.
Al Qur’an Dan Terjemahannya, Op.cit,hal.45
69
Abdul Majid Mahmud Mathlub, Op.cit, hal.410.
68

Universitas Sumatera Utara


32

sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan
tuduhan yang dusta dan (menanggung) dosa yang nyata?”70

Suami yang membenci isterinya lalu mempersulitnya dalam berinteraksi
agar isteri terdesak nuntik cerai dan bebas darinya dengan memberikan
harta tebusan kepadanya maka dalam hal ini suami tidak halal mengambil
apapun dari isterinya secara agama.71
Sebagaimana dalam Al Quran Surah Al-Baqarah ayat 231 yang artinya:
“ Janganlah kamu rujuki mereka umtuk memberi kemudharatan, karena
dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian
maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya.”72
Selain juga firman Allah SWT dalam Al Qur’an An Nisa ayat 19 yang
artinya:
“ Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil
sebahagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya.”73
3. Kebencian itu terdapat pada kedua belah pihak dimana rasa kasih sayang di
antara suami isteri menjadi tidak sepurna, sementara keduanya pun takut
bertindak ceroboh dalam melaksanakan hak-hak suami isteri. Dalam situasi

seperti ini, isteri boleh melepaskan diri dari kehidupan rumah tangga
dengan memberikan harta kepada suami, sementara suami boleh mengambil
harta tersebut sebagai pengganti dari kebebasan yang diberikan kepadanya.
Dalam situasi ini, lebih diutamakan suami tidak mengambil harta lebih
banyak dari mahar yang diberikan kepadanya karena nusyuz tersebut berasal
dari keduanya.74

70

Al Qur’an Dan Terjemahannya, Op.cit, hal.45
Abdul Majid Mahmud Mathlub, Op.cit, hal.410.
72
Ibid, hal.46
73
Ibid, hal.104.
74
Abdul Majid Mahmud Mathlub, Op.cit, hal.410.
71

Universitas Sumatera Utara


33

Iwadh atau tebusan yang dibayarkan isteri kepada suami dalam khulu’ ini dapat
berupa apapun yang memenuhi syarat untuk menjadi mahar, tetapi biasanya berupa
sejumlah harta. Dalam hal sejumlah harta dapat berupa pengembalian mahar yang
pernah diterima oleh isteri dari suami, baik seluruhnya maupun sebahagian. Wujud
iwadh itu bergantung kepada persetujuan bersama antara suami dan isteri.
Tebusan khulu’ atau iwadh tidak diisyaratkan berupa uang yang dipergunakan
oleh banyak orang saja, melainkan juga dibolehkan berupa setiap harta yang bernilai
atau bermanfaat yang dapat ditukar dengan harta, seperti ditimbang, ditakar atau
berupa rumah. 75 Demikian pula dengan rumah untuk ditempati, garapan tanah dalam
waktu yang telah ditentukan dan tebusan dengan menyusui anak dari sang suami,
mengasuhnya, menafkahinya juga termasuk dalam iwadh.
B.

Dasar Hukum Menurut Kompilasi Hukum Islam
Perkawinan pada prinsipnya untuk selama-lamanya dan dilakukan dalam

rangka terciptanya keluarga bahagia, sesuai dengan Hadist Riwayat Ibnu Majah,
“Sesuatu yang halal dan yang sangat dibenci adalah perceraian.”76
Kehidupan pernikahan hanya bisa tegak di atas ketenangan dan kasih sayang,
perlakuan baik dan masing-masing suami isteri saling melaksanakan kewajibannya.
Namun terkadang jika suami membenci isteri dan sebaliknya. Ketika kebencian
berasal dari pihak suami, maka ia memiliki kuasa untuk menjatuhkan talak,

75
76

Abdul Majid Mahmud Mathlub, Op.cit, hal.413.
E. Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, Rajawali Press, Jakarta, 2008,

hal.320.

Universitas Sumatera Utara

34

sedangkan apabila kebencian muncul dari pihak isteri, Islam membolehkan yang
bersangkutan untuk melepaskan diri dari ikatan perkawinan dengan cara khulu’.
Khulu’ adalah salah satu perceraian yang dibolehkan dalam syariat. Khulu’
merupakan salah satu bentuk putusnya perkawinan. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Pasal 1 huruf i yang dimaksud dengan khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas
permintaan isteri dengan memberikan tebus atau iwadh kepada suami dan atas
persetujuan suami.
Masalah khulu’ diatur dalam pasal pasal 148 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam
tahun 1991 yang berbunyi “Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian
dengan jalan khulu’, menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang
mewilayahi

tempat

tinggalnya

disertai

alasan

atau

alasan-alasannya.”

Selanjutnya dalam pasal 124 Kompilasi Hukum Islam berbunyi

“ Khulu’ harus

berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan pasal 116.”
Adapun Kompilasi Hukum Islam pasal 116 disebutkan bahwa yang menjadi
alasan perceraian tersebut antara lain :
a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya;
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

Universitas Sumatera Utara

35

d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g. Suami melanggar taklik talak;
k. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga.
Sehingga bila dilihat dalam uraian pasal 116 Kompilasi Hukum Islam tersebut
bahwa salah satu alasan terjadinya khulu’ karena adanya perselisihan dan
pertengkaran antara suami isteri dan tidak ada harapan untuk rukun kembali dalam
kehidupan rumah tangga.
Tujuan diperbolehkannya khulu’ adalah untuk menghindarkan isteri dari
kesulitan dan kemudharatan yang dirasakannya apabila perkawinan dilanjutkan dan
tanpa merugikan pihak suami karena ia telah mendapat iwadh dari isterinya atas
permintaan cerai dari isterinya.
Baik dalam fiqih maupun dalam Kompilasi Hukum Islam menempatkan khulu’
sebagai salah satu jalan yang ditempuh untuk melakukan perceraian dari pihak isteri.
Khulu’ bukan alasan bagi isteri untuk menanggalkan ikatan perkawinan, tetapi
khulu’ sebagai suatu jalan keluar yang ditetapkan syari’at bagi isteri sebagaimana
syariat menetapkan talak bagi suami.

Universitas Sumatera Utara

36

C.

Pandangan Para Ulama Fiqih Tentang Hukum Khulu’ dan Iwadh
Kata Khulu’ yang terdiri dari lafaz kha-la-a’ yang berasal dari bahasa Arab

secara etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian.77 Dalam suatu ikatan
perkawinan diibaratkan bahwa suami itu sebagai pakaian dari isterinya dan isteri
merupakan pakaian bagi suaminya.
Menurut mazhab Hanafi bahwa khulu’ memiliki lima lafal yaitu: khulu’, almubaara’ah (pembebasan), talak, al-mufaaraqah (perpisahan) dan syiraa’ (membeli).
Mazhab Hanafi kemudian berpendapat bahwa Khulu’ adalah penghilangan
kepemilikan ikatan pernikahan yang bergantung kepada penerimaan si isteri dengan
lafal khulu’ dan kalimat

lain yang memiliki makna yang sama.

78

Kalimat

“kepemilikan ikatan pernikahan” membuat keluar khulu’ yang terjadi akibat
pernikahan yang fasid dan khulu’ yang terjadi setelah talak ba’in dan kemurtadan
karena khulu’ pada kondisi yang seperti ini tidak ada artinya.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa khulu’ mempunyai empat lafal yaitu:
khulu’, al-mubaara’ah, ash-shulhu (perdamaian), al-fidyah atau al-mufaadaah
(tebusan). Semuanya ditafsirkan dengan satu makna, yaitu isteri memberikan iwadh
untuk penalakannya.79Menurut mazhab Maliki bahwa khulu’ mencakup perpisahan
yang terjadi dengan iwadh atau dengan tanpa iwadh’.

77

Amir Syarifuddin, Op.cit, hal.231
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Penterjemah Abdul Hayyie al-Kattani,
Gema Insani, Jakarta, 2007, hal.418.
79
Ibid, hal.420.
78

Universitas Sumatera Utara

37

Menurut mazhab Syafi’i dan Hambali menyebutkan bahwa khulu’ sah dengan
lafal talak yang bersifat sindiran, terang-terangan, sindiran dengan diiringi niat dan
dengan bahasa selain bahasa Arab.
Mazhab Syafi’i menyebutkan definisi khulu’ adalah perpisahan antara suami
isteri dengan iwadh dengan lafal talak atau khulu’.80 Seperti ucapan seorang suami
kepada isterinya, “Aku talak kamu atau aku khulu’ kamu berdasarkan ini.” Maka si
isteri menerima.
Menurut mazhab Hambali yang dimaksud dengan khulu’ adalah perpisahan
suami dengan isterinya dengan iwadh yang dia ambil dari si isteri, atau dari orang
yang selain isteri dengan lafal khusus. 81
Khulu’ menghilangkan kuasa pernikahan dengan kompensasi sejumlah harta.
Tanpa kompensasi maka tidak ada khulu’. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa tidak
ada bedanya antara kebolehan khulu’ dengan kompensasi mahar, sebahagian dari
mahar, atau dengan harta lain, baik nilainya lebih rendah atau lebih tinggi dari
mahar.82 Sehingga apapun yang boleh dijadikan mahar maka boleh dijadikan
kompensasi dalam khulu’.
Secara terminologi, mahar adalah pemberian yang wajib dari calon suami
kepada calon isteri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta
kasih bagi seorang isteri kepada calon suaminya.83

80

Wahbah Az-Zuhaili, Op.cit, hal.419.
Ibid, hal.421.
82
Sulaiman al Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah, Beirut Publishing, Jakarta, 2014, hal.561.
83
Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, Kencana Pernada Media, Jakarta, 2010, hal.84.
81

Universitas Sumatera Utara

38

Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa boleh hukumnya suami mendapatkan
kompensasi lebih dari yang dia berikan kepada isterinya.
Sebagaimana berdasarkan Firman Allah yang artinya:
“Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
isteri untuk menebus dirinya.”( QS Al- Baqarah ayat 229).84
Sebahagian ulama berpendapat bahwa iwadh itu tidak boleh melebihi ukuran
mahar yang diberikan suami sewaktu akad nikah. Suami tidak boleh mengambil
sesuatu melebihi apa yang pernah ia diberikan kepada istrinya.85 Ini berdasarkan
riwayat Daruquthni dengan sanad shahih bahwa Abu Zubair memberi mahar isterinya
berupa kebun. Nabi bertanya kepada isteri Abu Zubair, “Maukah kamu
mengembalikan kebun yang Abu Zubair berikan kepadamu?” Dia menjawab, “ Ya
dan lebih.” Nabi bersabda, “Adapun lebih dari itu maka tidak boleh, bahkan hanya
kebunnya saja.” Dia berkata, ‘Baik”.86
Suami haram untuk menyakiti isteri dengan tidak memberikan sebahagian hak
isteri agar isterinya marah dan menghkulu’ dirinya. Hal tersebut dilarang agar wanita
tidak menanggung dua kerugian sekaligus yaitu berpisah dengan suaminya dan
tanggungan harta yang harus dibayarkan kepada suaminya.

84

Al Qur’an Dan Terjemahannya, hal.45.
Amir Syarifuddin, Op.cit, hal.236
86
Sulaiman al Faifi, Op.cit, hal.561

85

Universitas Sumatera Utara

39

1.

Rukun dan Syarat Khulu’
Di dalam khulu’ terdapat beberapa unsur yang merupakan rukun yang menjadi

karakteristik dari khulu’itu. Adapun dalam khulu’ terdapat beberapa rukun yang
harus dipenuhi:
a. suami.
Syarat suami yang menceraikan isterinya dalam bentuk khulu’ sebagaimana
yang berlaku dalam talak adalah seseorang yang ucapannya telah dapat
diperhitungkan secara syara’ yaitu akil, baligh dan bertindak atas kehendaknya
sendiri dan dengan kesengajaan. Berdasarkan atas syarat ini suami yang belum
dewasa atau suami dalam keadaan gila, maka yang akan menceraikan dengan nama
khulu’ adalah walinya. Demikian pula keadaan seseorang yang berada di bawah
pengampuan yang menerima permintaan khulu’ isterinya adalah walinya.
b. Isteri yang di khulu’
Isteri yang akan mengajukan khulu’ kepada suaminya harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:87
1. Ia adalah seseorang yang berada dalam wilayah si suami dalam arti isterinya
atau yang telah diceraikan, namun masih berada dalam talak raj’i.
2. Ia adalah seorang yang telah dapat bertindak atas harta, karena untuk
keperluan mengajukan khulu’ ini ia harus menyerahkan harta. Untuk syarat
ini ia harus seorang yang telah baligh, berakal dan tidak berada di bawah
pengampuan serta cerdas bertindak atas harta. Apabila tidak memenuhi
persyaratan ini maka yang melakukan khulu’ adalah walinya, sedangkan
uang iwadh dibebankan kepada hartanya sendiri kecuali keinginan datang
dari pihak wali.

87

Amir Syarifuddin, Op.cit, hal.235

Universitas Sumatera Utara

40

Khulu’ boleh terjadi dari pihak ketiga, seperti walinya dengan persetujuan
isteri. Khulu’ seperti ini disebut khulu’ ajnabi. Pembayaran iwadh dalam
khulu’ seperti ini ditanggung oleh pihak ajnabi tersebut.

c. Adanya uang tebusan atau ganti rugi atau iwadh
Terdapat perbedaan tentang iwadh pada para ulama. Mayoritas ulama
menempatkan iwadh sebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan untuk sahnya
khulu’. Menurut Ahmad dan Imam Malik mengatakan bahwa boleh terjadi
khulu’ tanpa iwadh. Alasannya karena khulu’ merupakan salah satu bentuk dari
putusnya perkawinan, oleh karenanya boleh tanpa iwadh sebagaimana dalam
talak.88
d. Shighat atau ucapan cerai yang disampaikan suami yang dalam ungkapan tersebut
dinyatakan “ganti uang” atau “iwadh”. Tanpa menyebutkan ganti ini ia menjadi talak
biasa. “ Saya ceraikan kamu dengan tebusan sebuah sepeda motor.”
Tentang pelaksanaan khulu’ yang harus menggunakan ucapan shighat tertentu,
para ulama memiliki pendapat yang berbeda. Mayoritas ulama berpendapat bahwa
sighat merupakan suatu rukun yang tidak boleh ditinggalkan. Dalam arti apabila
tertinggal maka khulu’ itu batal sehingga terjadi talak biasa.
Menurut ulama ucapan khulu’ terbagi dua macam:89
1. Menggunakan lafaz yang jelas dan terang atau sharih .
Yang termasuk dalam lafaz yang sharih untuk khulu’ itu yaitu: pertama,
lafaz khulu’ seperti ucapan suami : “ Saya khulu’ kamu dengan iwadh
sebuah sepeda motor.” Kedua, lafaz “tebusan” seperti ucapan suami: “Saya

88
89

Ibid, hal.235-236.
Ibid, hal.237.

Universitas Sumatera Utara

41

bercerai denganmu dengan tebusan sekian.” Ketiga, lafaz fasakh, seperti
ucapan suami: “ Saya fasakh kamu dengan iwadh sebuah kitab Al-Qur’an.
2. Menggunakan lafaz kinayah yaitu lafaz lain yang tidak langsung berarti
perceraian tapi dapat digunakan untuk itu. Terjadinya khulu’ dengan lafaz
kinayah ini diisyaratkan harus disertai dengan niat.
Misal ucapan suami: “Pergilah pulang ke rumah orang tuamu dan kamu
membayar iwadh sebanyak sejuta rupiah.”
Beberapa ulama ada salah satunya Ahmad yang tidak menempatkan shighat
sebagai rukun dalam arti khulu’ telah berlangsung dengan semata suami
telah menerima iwadh dari isterinya. Adapun alasan yang digunakan adalah
peristiwa yang terjadi tentang Tsabit bin Qeis dalam pisahnya dengan
isterinya setelah menerima tebusan dari isterinya tanpa mengucapkan
apapun.
e. Alasan untuk terjadinya khulu’
Adanya alasan terjadinya khulu’ yang terdapat dalam Al Qur’an dan hadist
yaitu kekhawatiran isteri yang tidak akan melaksanakan kewajibannya sebagai isteri
yang menyebabkan dia tidak dapat menegakkan hukum Allah SWT.
Terdapat dua pendapat dikalangan ulama:90
1. Menurut jumhur ulama terjadinya khulu’ tidak harus setelah terjadinya
kekhawatiran tidak akan menegakkan hukum Allah dengan arti sah khulu’
walaupun tidak terjadi alasan demikian. Khulu’ ini hukumnya makruh.
Bahkan Imam Ahmad mengatakan bahwa hukumnya adalah haram.

90

Ibid, hal.238.

Universitas Sumatera Utara

42

Alasannya bahwa yang terdapat dalam Al Qur’an maupun hadist Nabi
tentang terjadinya khulu’ itu bukan merupakan syarat.
2. Sebahagian ulama di antaranya Zhahiriy dan Ibnu al –Munzir berpendapat
bahwa khulu’ adalah sah apabila didahului dengan alasan tidak dapat
menegakkan hukum Allah, sedangkan tanpa alasan tidak dapat dilakukan
khulu’. Adapun alasan yang digunakan oleh ulama ini adalah zhahir ayat
yang menyatakan adanya kekhawatiran tidak menegakkan hukum Allah.
Kalau tidak demikian keadaannya tidak boleh suami mengambil kembali apa
yang telah diberikannya kepada isterinya dalam bentuk mahar.
Pengertian khulu’ menurut mazhab Maliki adalah talak dengan iwadh, baik
talak ini berasal dari isteri maupun dari orang lain yang selain isteri yang terdiri dari
wali ataupun orang lain, atau talak yang diucapkan dengan lafal khulu’.91
Dari pengertian diatas menunjukkan bahwa ada dua macam khulu’ yaitu :
1. khulu’ yang terjadi adalah yang berdasarkan iwadh harta.
2. Talak yang terjadi dengan lafal khulu’ meskipun tidak berdasarkan ‘iwadh
apa-apa.
Misal: suami berkata kepada isteri “Aku khulu’ kamu atau “Kamu terkhulu’.”
Dengan perkataan lain si isteri ataupun orang lain memberikan harta kepada
si suami agar mentalak si isteri, atau membuat jatuh hak si isteri yang harus
dipenuhi oleh si suami, maka dengan khulu’ ini jatuh talak ba’in.
Syarat-Syarat khulu’
Persyaratan khulu’ harus diperhatikan dengan baik. Sebab khulu’ tidak boleh
terjadi apabila alasan yang diajukan tidak sesuai dengan tuntunan agama.
Beberapa persyaratan khulu’ tersebut antara lain:92
91

Wahbah Az-Zuhaili, Op.cit, hal.418.

Universitas Sumatera Utara

43

a. Di dalam rumah tangga ada bahaya yang mengancam bagi sang isteri, serta
rasa takut akan keduanya karena tidak dapat melaksanakan perintahperintah Allah SWT dengan baik.
b. Berlangsung hingga selesai tanpa adanya sikap yang menyakiti
(penganiayaan) dari suami kepada isterinya. Apabila terjadi maka suami
tidak berhak ataupun mengambil sesuatu apa pun dari isterinya.
c. Khulu’ berasal dari isteri dan bukan dari suami. Suami yang tidak menyukai
isterinya ataupun tidak hidup senang bersama isterinya, maka ia tidak
berhak mengambil apapun harta isterinya.
d. Kedudukan khulu’ sama dengan talak ba’in, dimana seorang suami tidak
bisa mengajak isterinya, kecuali seorang isteri telah menikah dengan lakilaki lain secara sah dan melalui sebuah akad pernikahan yang baru.
Mazhab Maliki

berpendapat bahwa khulu’ tidak boleh dilakukan kecuali

dengan syarat-syarat berikut ini:
1. Apa yang dibayarkan kepada si suami adalah sesuatu yang sah untuk
dimiliki dan dijual, yang berarti diluar minuman keras, babi dan barangbarang sejenisnya.
2. Jangan sampai menyeret kepada sesuatu yang tidak boleh seperti khulu’
berdasarkan pinjaman ataupun berdasarkan pengakhiran yang berupa hutang
atau kondisi mempercepat dan yang sejenisnya itu yang merupakan jenis
riba.
3. Khulu’ yang dilakukan oleh isteri berdasarkan kehendak si isteri atau
berdasarkan keinginan untuk berpisah dengan suaminya dengan tanpa unsure
paksaan dan tindakan buruk kepada suami. Apabila salah satu dari kedua
syarat ini dilanggar maka jatuh talak dan tidak jatuh khulu’.93
Adapun syarat khulu’ menurut mazhab Hambali sebagai berikut:
1. Membayar iwadh.
2. Dari orang yang sah untuk memberikan sumbangan dan dari suami yang
sah untuk menjatuhkan talak.
3. Keduanya tidak bergurau.
4. Tidak mengahalanginya jika si isteri membayar iwadh.
5. Jatuh khulu’ dengan lafal yang bersifat terang-terangan ataupun sindiran.
Pertama, “Aku lakukan khulu’” dan “Aku batalkan” dan “Aku tebus”.
Kedua, “Aku bebaskan kamu” dan “Aku membebaskanmu” dan “Aku
buat kamu tertalak ba’in.”
92

Honey Miftahulljannah, A-Z Ta’aruf, Khitbah, Nikah dan Talak Bagi Muslimah, PT
Grasindo, Jakarta, 2014, hal.161.
93
Wahbah Az-Zuhaili, Op.cit, hal.432.

Universitas Sumatera Utara

44

6.
7.
8.
9.

Tidak memancangkan niat untuk menjatuhkan talak.
Bersifat langsung.
Dapat terjadi pada semua isteri.
Tidak ada tipu daya.
Khulu’ mengharamkan terjadinya tipu daya untuk menjatuhkan sumpah
talak atau ta’liq-nya dan tidak sah khulu’ dengan tipu daya ini.94

Khulu’ dianggap sumpah dari pihak suami, sebab suami menggantungkan talak
isterinya kepada penerimaan harta, sementara menggantungkan kepada sesuatu
(ta’liq) dianggap sumpah menurut fuqaha. Khulu’ juga dianggap mu’awadhah
(tukar menukar) dari pihak isteri, sebab ia wajib memberikan sejumlah harta
sebagai pengganti kebebasannya dari suaminya. Namun mu’awadhah tersebut
bukanlah mu’awadhah mahdhah (pengganti murni), tetapi ada unsur kesamaan
dari sumbangan.95
Jumhur ulama berpendapat bahwa khulu’ adalah talak ba’in seperti yang
disebutkan dalam hadist Rasullah SAW : “ Ambillah kebun itu dan talaklah dia.”

96

Menurut jumhur ulama tidak tepat memasukkan khulu’ ke dalam fasakh, karena
dalam khulu’ terdapat unsur ikhtiar ( kesadaran untuk melakukan), sedangkan dalam
fasakh unsur ikhtiar tersebut tidak ada.

97

Namun sebahagian ulama diantaranya Abu

Dawud, Ibnu Abbas, Utsman bin Affan dan Ibnu Umar berpendapat bahwa khulu’
adalah fasakh.98
Konsekwensi perbedaan pendapat ini tampak pada penghitungan jumlah talak.
Bagi ulama yang menilai khulu’ sebagai talak maka itu terhitung sebagai talak ba’in.
dan bagi yang menilainya sebagai fasakh maka tidak terhitung sebagai talak. Suami
yang menjatuhkan talak dua kepada isterinya setelah itu di khulu’, kemudian dia ingin

94

Wahbah Az-Zuhaili, Op.cit, hal.432.
Abdul Majid Matlub, Op.cit, hal, 418.
96
Sulaiman Al-Faifi, Op.cit, hal.564.
97
Ensiklopedi Hukum Islam, hal.934.
98
Sulaiman Al-Faifi, Op.cit, hal.564.

95

Universitas Sumatera Utara

45

menikahinya maka dia bisa melakukan hal tersebut selama isterinya belum menikah
dengan laki-laki lain. Karena dia hanya memiliki dua talak saja, sedangkan khulu’
nya nilainya sia-sia. Adapun bagi ulama yang menilai khulu’ sebagai talak, mereka
mengatakan bahwa suami tidak boleh merujuk kembali isterinya hingga ia menikah
dengan laki-laki lain, sebab dengan khulu’ itu talaknya sudah lengkap menjadi talak
tiga.
Menurut jumhur ulama ada beberapa akibat hukum yang ditimbulkan oleh
Khulu’ yaitu sebagai berikut:99
1. Terjadinya talak ba’in apabila ganti ruginya terpenuhi. Apabila ganti rugi
tidak ada maka perceraian tersebut menjadi talak biasa.
2. Isteri harus membayar ganti rugi.
3. Seluruh hak dan kewajiban antara suami isteri menurut Imam Abu Hanifah
menjadi gugur. Sedangkan utang piutang dengan orang lain tidak gugur.
Tetapi menurut jumhur ulama termasuk Muhammad bin Hasan asySyaibani (sahabat Imam Abu Hanifah) menyatakan bahwa seluruh hak dan
kewajiban tidak gugur, kecuali ada kesepakatan antara keduanya
sebelumnya.
4. Menurut jumhur ulama suami yang mengkhulu’ isterinya tidak berhak untuk
rujuk kepada isterinya dalam masa iddahnya. Tetapi jumhur ulama
mengatakan bahwa mantan suami tersebut boleh menikahinya kembali pada
masa iddahnya.
Khulu’ merupakan perceraian dengan kehendak isteri. Ibnu Sirin dan Abi
Qalabah mengatakan bahwa tidak boleh khulu’ kecuali bila jelas di perut isteri itu
telah terdapat janin dalam arti dia sudah membuat suatu perbuatan keji.100
Sebagaimana dalam QS An Nisa ayat 19 yang artinya :

99

Ensiklopedi Hukum Islam, hal.934.
D.A Pakih Sati,Op.cit, hal.241

100

Universitas Sumatera Utara

46

“Janganlah kamu enggan terhadapnya suaya kamu mendapat kembali apa
yang telah kamu berikan, kecuali ia telah jelas memperbuat suatu perbuatan
keji.”101
2.Hukum Khulu’
Hidup dalam hubungan perkawinan itu merupakan sunnah Allah dan sunnah
Rasul. Melepaskan diri dari kehidupan perkawinan adalah menyalahi sunnah Allah
dan sunnah Rasul dan menyalahi kehendak Allah untuk menciptakan rumah tangga
yang sakinah mawwadah dan warahmah.
Hubungan suami isteri yang tidak dapat lagi untuk diperbaiki dan terjadi
konflik terus menerus dan keduanya sudah tidak mampu untuk bersabar, maka
keduanya diperbolehkan untuk bercerai. Islam memberi hak kepada suami untuk
mengakhiri kehidupan suami isteri dengan talak, dan memberikan kepada isteri
dengan jalan khulu’.
Terdapat beberapa alasan dimana isteri dapat menuntut cerai dengan wewenang
Qodhi. Apabila isteri memiliki hak tafriq, maka suami tidak akan memperoleh ganti
rugi.
Adapun perceraian yang diberikan oleh Qodhi karena:102
1.
2.
3.
4.
5.

101
102

Perlakuan menyakitkan yang biasa diterima oleh isteri.
Tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban dalam ikatan perkawinan.
Sakit ingatan.
Ketidakmampuan yang tidak dapat disembuhkan.
Suami pindah tempat tinggal tanpa memberitahu isteri.

Al Qur’an Dan Terjemahannya, Op.cit, hal.104.
Abdul Rahman I.Doi, Op.cit, hal.116.

Universitas Sumatera Utara

47

6. Sebab-sebab lain yang serupa yang menurut pendapat qodhi dapat
dibenarkan untuk bercerai.
Khulu’ hanya dibolehkan ketika ada sebab yang mengharuskan, misalnya
suami memiliki cacat pada fisik, tidak menunaikan hak isteri atau isteri khawatir tidak
dapat menegakkan hukum-hukum Allah yang wajib baginya untuk berlaku dengan
baik. Namun apabila tidak ada sebab, khulu’ tidak boleh dilakukan.
Sebagaimana halnya dengan talak, maka khulu’ hukumnya ada kalanya wajib,
haram, makruh, sunat maupun mubah.103
1. Wajib.
Khulu’ wajib dilakukan ketika permintaan isteri karena suami tidak mau
memberi nafkah atau menggauli isterinya sehingga isteri menjadi tersiksa.
2. Haram.
Hal ini dapat terjadi dari dua pihak antara suami dan isteri. Pertama dari
pihak suami, Khulu’ itu hukumnya

haram

jika dimaksudkan untuk

menyengsarakan isteri dan anak-anaknya. Dimana suami menyusahkan
isterinya sehingga pada akhirnya isteri tidak tahan dan menggugat suami
melalui tebusan atau iwadh. Dan apabila suami menceraikan isteri maka
suami tidak berhak untuk mengambil iwadh tersebut. Kecuali isteri
melakukan perbuatan keji seperti berzina atau perbuatan maksiat maka
suami dapat membuat kondisi dimana membayar tebusan melalui jalan
khulu’.
103

Jamaluddin, Hukum Perkawinan Empat Mazhab, Lembaga Penelitian Dan Pengabdian
Pada Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan, hal.124

Universitas Sumatera Utara

48

Sebagaimana dalam Surah An Nisa ayat 19 yang artinya:104
“Tidak diperbolehkan bagi suami untuk melakukan sesuatu yang
membahayakan isterinya, dan tidak menggauli isterinya dengan baik,
dengan tujuan agar dia meminta khulu’ darinya dan agar menembalikan
harta yang diberikan kepadanya, baik keseluruhan atau sebahagiannya,
selama isteri tidak melakukan perbuatan keji yang nyata. Dalam hal ini
Allah berfirman, “Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena
hendak mengambil kembali sebahagian kecil dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya.”
Kedua dari pihak isteri, dimana isteri yang meminta cerai padahal keadaan
rumah tangganya berjalan baik dan tidak ada alasan syar’i yang
membenarkan perceraiannya melalui jalan khulu’ .
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda yang artinya:105
“Siapa yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada alasan apa-apa
(yang sah), maka bau surga diharamkan baginya.”
Sebahagian ulama diantaranya Abu Bakar bin Abdullah al Muzanniy
berpendapat tidak bolehnya khulu’ tersebut, bahkan bila dilakukan maka
yang berlangsung adalah talak bukanlah khulu’. Alasan yang dikemukakan
oleh ulama ini adalah bahwa khulu’ yang pada hakikatnya si suami
mengambil kembali mahar yang telah diberikannya kepada isterinya dalam
bentuk iwadh.106

104
105

Al Qur’an Dan Terjemahannya, hal.86.
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita, Akbarmedia, Jakarta,2009

,hal.341.
106

Amir Syarifuddin,Op.cit, hal.233.

Universitas Sumatera Utara

49

3. Makruh.
Khulu’ menjadi makruh hukumnya jika tidak ada keperluan untuk itu
kecuali ada kekhawatiran bahwa ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan
Allah tidak akan dapat ditunaikan kalau tidak dengan melepaskan diri
(bercerai).
Menurut mazhab Syafi’i bahwa hukum asal melakukan khulu’ itu adalah
makruh dan ia hanya dapat menjadi sunat apabila isteri ternyata tidak baik
dalam bergaul dengan suaminya.

107

4. Sunat.
Khulu’ menjadi sunat hukumnya jika dimaksudkan untuk mendatangkan
maslahat yang lebih bagi kedua suami isteri.
5. Mubah.
Sedangkan menurut Al-Dasuqi bahwa khulu’ hukumnya mubah bukan
makruh.108
Khulu’ dilakukan atas keridhaan kedua belah pihak (suami dan isteri). Ketika
tidak ada keridhaan antara kedua belah pihak, hakim bisa mengharuskan suami untuk
memberlakukan khulu’. Berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi
Muhammad SAW mengharuskan Tsabit bin Qais menerima kebun dan menalak
isterinya setelah keduanya mengadukan permasalahannya kepada beliau.

107
108

Jamaluddin, Op.cit, hal.124.
Abdul Rahman I. Doi, Op.cit, hal.116.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

6 131 94

Analisis Yuridis Peranan Wali Nikah Menurut Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.261/K/AG/2009)

1 90 131

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122

Analisis Yuridis Pemberian Iwadh Dalam Gugatan Cerai Menurut Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.248 K AG 2011)

0 0 16

Analisis Yuridis Pemberian Iwadh Dalam Gugatan Cerai Menurut Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.248 K AG 2011)

0 0 2

Analisis Yuridis Pemberian Iwadh Dalam Gugatan Cerai Menurut Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.248 K AG 2011)

0 0 26

Analisis Yuridis Pemberian Iwadh Dalam Gugatan Cerai Menurut Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.248 K AG 2011)

0 0 6

Analisis Yuridis Peranan Wali Nikah Menurut Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.261/K/AG/2009)

0 0 16