Hubungan Askariasis dengan Kadar Eosinofil di SDN 060923 Medan Amplas Tahun 2015

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Infeksi cacing usus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
negara berkembang termasuk Indonesia. Di antara cacing usus yang menjadi
masalah kesehatan adalah kelompok Soil Transmitted Helminth seperti
Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan Ancylostoma sp. . Soil
Transmitted Helminth adalah nematoda yang dalam siklus hidupnya
memerlukan tanah untuk mencapai stadium infektifnya.
Menurut Margono (2000) dalam Oktavianto (2009), di Indonesia
prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak. Frekuensinya sekitar 6090%. Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah
dengan tinja di sekitar halaman rumah, bawah pohon, tempat mencuci dan
tempat pembuangan sampah. Di negara-negara tertentu terdapat kebiasaan
memakai tinja sebagai pupuk. Tanah liat, kelembapan tinggi dan suhu yang
berkisar antara 25˚-30˚C merupakan hal-hal yang sangat baik untuk
berkembangnya telur Ascaris lumbricoides menjadi bentuk infektif
Menurut Elmi et al (2004) dalam Oktavianti (2009), pada penelitian
epidemiologi yang telah dilakukan hampir diseluruh Indonesia, terutama pada
anak-anak sekolah dan umumnya didapatkan angka prevalensi tinggi yang

bervariasi. Prevalensi askariasis di provinsi DKI Jakarta adalah 4-91%, Jabar
20-90%, Yogyakarta 12-85%, Jatim 16-74%, Bali 40-95%, NTT 10-75%,
Sumut 46-75%, Sumbar 2-71%, Sumsel 51-78%, Sulut 30-72%, di bagian
ilmu kesehatan anak RS Tembakau Deli dan Rumah Sakit Pirngadi Medan
prevalensi Ascariasis 55,8%.
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan pada Kecamatam Tigapanah,
Kabupaten Tanah Karo prevalensi A.lumbricoides mencapai 89%, intensitas
sedang pada penelitian ini dinyatakan dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan (Soedarmo, 2008). Di seluruh dunia terdapat sekitar 300 juta
penduduk dengan infeksi cacing yang berat dan sekitar 150.000 kematian

Universitas Sumatera Utara

2

terjadi setiap tahun akibat infeksi Soil Transmitted Helminth. Anak usia
Sekolah Dasar (SD) merupakan golongan paling rentan terhadap cacingan,
karena perilaku anak-anak yang tidak sehat antara lain sebelum makan dan
sesudah buang air besar tidak cuci tangan dengan menggunakan sabun dan air
mengalir, kuku dibiarkan kotor, tidak biasa memakai alas kaki dan bermainmain tanah di sekitar rumah.

Beberapa studi telah menunjukkan hubungan eosinofilia dengan infeksi
cacing. Peningkatan eosinofil sering dikaitkan dengan penyakit yang
disebabkan oleh cacing dan alergi. Eosinofilia merupakan penanda umum
adanya infeksi cacing dan telah lama diduga bahwa sel tersebut sitotoksik dan
diperlukan pada destruksi patogen multisel yang berukuran besar. Terdapat 13% eosinofil dalam sel darah putih orang sehat yang tidak alergi. Di Amerika,
pemeriksaan eosinofil dilakukan untuk mengidentifikasi infeksi cacing pada
pengungsi anak-anak. Studi di Filipina menunjukkan bahawa 58% siswa
dengan eosinofilia, 65% telah didiagnosis adanya infeksi Soil Transmitted
Helminth, siswa yang terinfeksi lebih dari satu jenis cacing memiliki eosinofil
yang lebih tinggi dibanding siswa yang terinfeksi satu jenis cacing.
Respon imun manusia terhadap kecacingan berkaitan dengan peningkatan
IgE, eosinofil jaringan dan mastocytosis, yang menstimulasi produksi Th2,
yaitu interleukin 4 (IL-4) dan interleukin 5 (IL-5). Eosinofilia terjadi akibat
efek sintesis IL-5 dari sel Th2. IL-5 merupakan sitokin paling penting pada
transformasi dan pembentukan eosinofil dan bertindak sebagai aktivator
eosinofil. Eosinofil bekerja sebagai efektor dalam melawan infeksi parasit dan
dapat juga memakan kompleks antigen antibodi.
Mekanisme imun pada cacing Askaris adalah antigen Askaris yang
dihasilkan oleh cacing dewasa akan merangsang respon imun tubuh berupa sel
Th2 yang akan menghasilkan eosinofil, Ig A, Ig E, mastositosis dan

mengeluarkan sekresi mukus melalui aktivasi sitokin IL-4, IL-5, dan IL-3. IL4 akan merangsang terbentuknya Ig E, Ig G, dan Ig M, sedangkan IL-5 akan
merangsang produksi eosinofil.

Universitas Sumatera Utara

3

Eosinofil yang diaktifkan melepas MBP dan MCP yang dapat merusak
cacing. Sel mast diikat Ig E pada permukaan cacing dan menimbulkan
degranulasi. Isi granul sel mast mengandung amin vasoaktif, sitokin seperti
TNF dan mediator lipid yang menginduksi inflamasi lokal. Respon tersebut
adalah untuk menyingkirkan infeksi cacing dan dapat juga berperan terhadap
beberapa ektoparasit. Cacing terlalu besar untuk dimakan dan lebih resisten
terhadap aktivitas mikrobisidal makrofag dibanding kebanyakan kuman dan
virus.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian hubungan askariasis dengan kadar eosinofil pada siswa SD. Sekolah
Dasar Negeri 060923 merupakan lokasi yang dipilih untuk dilakukan
penelitian ini. Pertimbangan pemilihan lokasi ini karena kebersihan
lingkungan sekolah dan sekitar rumah buruk. Faktor-faktor inilah dapat

mendukung siklus hidup Ascaris lumbricoides.

1.2.Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan Askariasis dengan kadar eosinofil pada siswa SDN
060923 Medan Amplas?

Universitas Sumatera Utara

4

1.3.Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan Askariasis dengan kadar eosinofil pada siswa SDN
060923 Medan Amplas
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui karakteristik siswa berdasarkan umur dan jenis
kelamin
2. Untuk mengetahui jumlah siswa SDN 060923 yang menderita
Askariasis

3. Mengetahui perbedaan kadar eosinofil darah pada anak yang
mengalami askariasis dengan anak yang tidak mengalami askariasis
pada siswa SDN 060923 Medan Amplas

1.4.Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi hubungan
askariasis dengan kadar eosinofil
1.4.2. Manfaat Praktis
1. Memberikan informasi mengenai kadar eosinofil pada infeksi
kecacingan khususnya askariasis
2. Memberikan informasi perbedaan jumlah eosinofil pada anak dengan
infeksi askariasis dengan anak yang tidak terinfeksi askariasis

Universitas Sumatera Utara