Struktur Komunitas Amfibi di Kawasan Ekowisata Lau Bertu Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat Sumatera Utara

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Struktur Komunitas
Struktur komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari sususan
atau komposisi spesies dan kelimpahannya dalam suatu komunitas. Secara umum
ada tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk mennggambarkan struktur
komunitas yaitu keanekaragaman spesies, interaksi spesies dan interaksi
fungsional (Schowalter, 1996).

2.2. Amfibi
Amfibi merupakan salah satu fauna penyusun ekosistem dan merupakan bagian
keanekaragaman hayati yang menghuni habitat perairan, daratan hingga arboreal.
Sebagai salah satu komponen ekosistem, amfibi memegang peranan penting pada
rantai makanan dan dalam lingkungan hidupnya, juga bagi keseimbangan alam
serta bagi manusia, selain itu juga jenis-jenis tertentu dapat dijadikan bio-indikator
kerusakan lingkungan (Primack et al. 1998).
Amfibi berasal dari kata amphi yang berarti ganda dan bio yang berarti
hidup. Secara harfiah amfibi diartikan sebagai hewan yang hidup di dua alam,
yakni dunia darat dan air. Amfibi dikenal sebagai hewan bertulang belakang yang
suhu tubuhnya tergantung pada lingkungan, mempunyai kulit licin dan berkelenjar

serta tidak bersisik. Sebagian besar mempunyai anggota gerak dengan jari
(Liswanto, 1998).
Brotowidjoyo (1989) menyatakan bahwa amfibi adalah hewan yang secara
tipikal dapat hidup dengan baik di air tawar maupun di darat. Sebagian besar
amfibi mengalami metamorfosis dari berudu (akuatis dan bernapas dengan insang)
ke dewasa (amfibius dan bernapas dengan paru-paru), namun beberapa spesies
amfibi tetap mempunyai insang selama hidupnya. Spesies-spesies yang sekarang
ada tidak mempunyai sisik luar, kulit biasanya tipis dan basah. Tengkorak lebar
dengan rongga otak yang kecil. Kaki depan umumnya memiliki 4 jari sedangkan
kaki belakang 5 jari.

5

2.3. Klasifikasi Amfibi
Amfibi terdiri dari 3 ordo yaitu Sesilia , Caudata dan Anura . Ordo Sesilia dikenal
juga dengan nama Apoda atau Gymnophiona . Ini adalah amfibi yang tidak
memiliki kaki dan sepintas mirip dengan cacing. Hewan ini jarang muncul di
permukaan, biasanya berada di dalam tanah, di dalam tumpukan serasah atau di
air. Sesilia dijumpai di Amerika Selatan dan Amerika Tengah, Afrika dan Asia,
termasuk Indonesia. Berbeda dengan kebanyakan katak yang kawin secara

eksternal, diduga semua Sesilia memiliki fertilisasi internal. Beberapa larva
Sesilia memiliki larva yang bersifat akuatik namun beberapa jenis lainnya

memiliki telur yang akan berkembang langsung menjadi bentuk dewasa teresterial
atau bahkan melahirkan anak (Kusrini, 2013).
Ordo Caudata merupakan amfibi yang bentuk dewasanya mempunyai
ekor. Tubuhnya terbentuk seperti bengkarung (kadal). Sabuk-sabuk skelet
memiliki peranan sedikit dalam menyokong kaki. Tubuhnya terbagi menjadi 3
bagian yaitu kepala, badan dan ekor, kaki-kakinya memiliki ukuran yang sama
besar. Jika akuatis bentuk larva sama seperti yang dewasa. Dari larva menjadi
dewasa memerlukan waktu beberapa tahun (Brotowidjoyo, 1989).
Ordo Anura merupakan ordo yang paling dikenal orang masyarakat luas
dan ditemukan hampir diseluruh belahan dunia. Sebagian besar amfibi Indonesia
umumnya masuk ke dalam kelompok ini. Anggota ordo inilah yang disebut
sebagai katak dan kodok dalam bahasa Indonesia. Tubuh umumnya pendek dan
lebar, terdiri dari kepala dan bagian badan serta memiliki dua pasang tungkai
dimana tungkai belakang lebih besar daripada tungkai depan. Umumnya kaki
memiliki selaput yang digunakan untuk melompat dan berenang. Anura memiliki
pita suara dan jantan akan mengeluarkan suara untuk menarik betina. Fertilisasi
umumnya berlangsung eksternal. Telur yang menetas biasanya akan tumbuh

menjadi larva yang berbeda dengan bentuk dewasa dan dikenal dengan nama
berudu. Hampir semua berudu akan mengalami metamorfosis saat berubah
menjadi dewasa, walau ada yang langsung menjadi bentuk dewasa
2013).

(Kusrini,

6

2.4. Ekologi Amfibi
Pada dasarnya semua amfibi adalah karnivora, untuk jenis amfibi yang berukuran
kecil makanan utamanya adalah Arthropoda , cacing dan larva serangga. Untuk
jenis amfibi yang berukuran lebih besar makanannya adalah ikan kecil, udang,
kerang, katak kecil atau katak muda, kadal kecil dan ular kecil (Darmawan, 2008).
Pada saat berudu, kebanyakan merupakan herbivora. Ada jenis-jenis
tertentu yang bersifat karnivora dan tidak memerlukan makan sama sekali,
kebutuhan makanan sudah tercukupi dari kuning telurnya (Iskandar 1998).
Sebagian besar amfibi mencari makan dengan strategi diam dan menunggu
(Duellman & Carpenter, 1998 dalam Darmawan, 2008).
Amfibi tidak memiliki alat fisik untuk mempertahankan diri. Sebagian

besar Anura melompat untuk melarikan diri dari predator. Jenis-jenis yang
memiliki kaki yang relatif pendek memiliki strategi dengan cara menyamarkan
warnanya menyerupai lingkungannya untuk bersembunyi dari predator. Beberapa
jenis Anura memiliki kelenjar racun pada kulitnya, seperti pada famili
Bufonidae (Iskandar, 1998).

2.5. Habitat Amfibi
Habitat utama amfibi adalah hutan primer, hutan rawa, sungai besar, sungai
sedang, anak sungai, kolam dan danau (Mistar, 2003). Duellman & Trueb (1994)
dalam Darmawan (2008) menyatakan bahwa sebagian katak beradaptasi agar

dapat hidup di pohon. Walaupun sangat tergantung pada air, katak pohon
seringkali tidak turun ke air untuk bertelur. Katak pohon melakukan kawin dan
menyimpan telurnya di vegetasi atau pohon di atas air. Saat menetas berudu katak
akan jatuh ke dalam air. Selain itu, juga terdapat katak yang menyimpan telurnya
di lubang berair pada kayu dan tanah, di punggung betina atau membawa ke
daerah dekat air.
Kusrini (2013) menyatakan bahwa amfibi menghuni berbagai habitat,
mulai dari pohon-pohon di hutan hujan tropis, halaman di sekitar pemukiman
penduduk, di sawah-sawah, kolam-kolam di dalam hutan, sampai celah-celah batu

di sungai yang mengalir deras. Oleh karena itu secara umum amfibi bisa
dikelompokkan berdasarkan habitat dan kebiasaan hidup, yaitu:

7

a. Teresterial: hidup di atas permukaan tanah dan agak jauh dari air kecuali pada
saat musim kawin. Kodok buduk Duttaphrynus melanostictus merupakan salah
satu contoh.
b. Arboreal: kelompok yang hidup di atas pohon. Jenis-jenis katak pohon
umumnya arboreal misalkan Rhacophorus reinwardtii, R. margaritifer ,
Nyxticalus margaritifer dan Polypedates leucomystax.

c. Akuatik: kelompok yang sepanjang hidupnya selalu terdapat di sekitar badan
air. Phrynoidis aspera , Limnonectes kuhlii dan Limnonectes macrodon
merupakan jenis yang umum dijumpai di sekitar perairan.
d. Fossorial: kelompok yang hidup di dalam lubang-lubang tanah. Jenis-jenis
seperti Kalaula baleata atau K. Pulchra biasanya berada di dalam lubanglubang tanah dan hanya keluar pada saat hujan. Sesilia juga umumnya bersifat
fossorial.
Sudrajat (2001) membagi amfibi menurut perilaku dan habitatnya menjadi
tiga grup besar yaitu: jenis yang terbuka pada asosiasi dengan manusia dan

tergantung pada manusia, jenis yang dapat berasosiasi dengan manusia tapi tidak
tergantung pada manusia, dan jenis yang tidak berasosiasi dengan manusia.
Amfibi teresterial mempunyai daya adaptasi tersendiri dan perlahan-lahan
dalam mengatasi kehilangan cairan dalam tubuh ketika mempertahankan
kelembaban kulit pada saat pertukaran udara. Amfibi teresterial umumnya
nokturnal, dengan mempertahankan temperatur harian yang tinggi dan
kelembaban yang rendah. Pada siang hari biasanya amfibi mempunyai kandungan
kelembaban yang lebih tinggi daripada lingkungan sekitarnya yang terbuka dari
sinar matahari dan udara yang hangat. Tempat berlindung pada siang hari yaitu di
bawah batu, batang pohon daun jerami, celah-celah yang terlindung dan daundaun (Duellman & Trueb, 1986).

2.6. Manfaat dan Peranan Amfibi
Kusrini (2013) menyatakan bahwa sebagai bagian dari suatu ekosistem,
amfibi memegang peranan penting dalam rantai makanan. Kebanyakan amfibi
adalah predator yang memakan berbagai jenis serangga atau larva serangga. Katak
yang tinggal di daerah persawahan diketahui memakan berbagai jenis serangga

8

yang menjadi hama bagi pertanian. Katak juga dapat menekan keberadaan

serangga yang merugikan kesehatan manusia. Amfibi terutama pada tahap telur
dan berudu sangat sensitif terhadap kerusakan lingkungan. Seringkali terjadi
perubahan yang terukur baik secara morfologis maupun pada populasi satu jenis
amfibi sebelum hewan lain terkena dampak kerusakan lingkungan. Oleh karena
itu, amfibi menjadi indikator biologi yang penting dimana adanya perubahan
populasi katak menjadi ukuran kesehatan lingkungan di sekitarnya.
Manfaat amfibi sangat beragam baik itu untuk konsumsi, sibernetik
maupun bahan percobaan penelitian. Di samping sebagai sibernetik, amfibi
berperan besar dalam dunia kedokteran di mana amfibi telah lama digunakan
sebagai alat tes kehamilan. Beberapa ahli pada saat sekarang telah banyak
melakukan penelitian untuk mencari bahan anti bakteri dari berbagai spesies
amfibi yang diketahui memiliki ratusan kelenjar yang terdapat di bawah kulitnya
(Siregar, 2010). Iskandar (1998) menjelaskan bahwa amfibi telah banyak dimakan
khususnya di restoran-restoran Cina. Dua spesies yang paling sering dikonsumsi
adalah Fejervarya cancrivora dan Limnonectes macrodon yakni spesies yang
cukup bertubuh besar yang sering dijadikan sumber protein tinggi.

2.7. Konservasi Amfibi
Stuart et al. (2005) dalam Kusrini (2007) menyatakan bahwa tahun 2004 IUCN
melakukan evaluasi terhadap 5743 jenis amfibi di dunia yang dikenal dengan

nama Global Amphibian Assessment (GAA) dengan melibatkan tidak kurang dari
500 peneliti dari 60 negara termasuk Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa
sedikitnya 1,856 jenis (32%) terancam punah, sedikitnya 9 jenis punah sejak
1980, 113 species tidak ditemukan lagi akhir-akhir ini dan 43% dari semua jenis
mengalami penurunan populasi.
Penyelamatan amfibi tidak bisa dilepaskan dari kerusakan habitat maupun
pemanasan global. Suhu atmosfer bumi saat ini telah meningkat 0,5ÂșC dibanding
suhu pada zaman praindustri (Murdiyarso, 2003). Terutama karena amfibi
merupakan satwa yang membutuhkan kondisi lingkungan yang stabil. Secara
umum diketahui amfibi memiliki persebaran yang luas namun perlindungan
mikrohabitatnya mutlak dilakukan karena amfibi diketahui berendemisitas yang

9

tinggi (Mistar, 2003). Sesuai dengan penjelasan Iskandar (1998) bahwa ordo
Anura (katak dan kodok) di Sumatera didapatkan 89 jenis di mana sekitar 21 jenis

di antaranya adalah endemik.
Ancaman kelestarian amfibi dapat berupa satu atau kombinasi dari
berbagai penyebab seperti pengurangan habitat, pencemaran, introduksi spesies

eksotik, penyakit dan parasit, serta penangkapan lebih. Amfibi sangat tergantung
pada air. Lahan basah dan tempat memijah amfibi lainnya seringkali menjadi
tempat pembuangan dan penampungan bahan pencemar. Lahan basah dan hutan
tempat tinggal katak kini banyak yang hilang umumnya untuk pembangunan
(Kusrini, 2013).
Mistar (2003) menyatakan bahwa upaya konservasi amfibi yang mutlak
dilakukan adalah usaha perlindungan dan pengelolaan habitat yang lebih baik dan
efesien. Untuk itu pengetahuan dan pemahaman tentang mikrohabitat sangatlah
penting. Pada skala makro amfibi dapat ditemukan di hutan primer, sekunder,
hutan rawa, aliran sungai dengan air jernih serta tutupan tajuk hutan yang masih
baik. Perubahan iklim global juga menyebabkan banyak spesies amfibi yanng
mengalami penurunan populasi akibat meningkatnya radiasi Ultra Violet B
terutama pada spesies-spesies yang hidup di dataran tinggi dan daerah subtropik.
Pemakaian pestisida dan pupuk kimia yang terus meningkat di negara-negara
berkembang juga menjadi ancaman yang besar bagi kelestarian berbagai spesies
amfibi yang hidup di kawasan pertanian dan pemukiman.
Kusrini (2007) menyatakan bahwa salah satu upaya konservasi amfibi
adalah dengan memberikan pendidikan konservasi amfibi melalui berbagai cara
antara lain penyuluhan bagi anak-anak sekolah dan masyarakat umum baik secara
langsung (di kelas) maupun melalui media lainnya (misalkan penyebaran poster

dan leaflet), pelatihan bagi guru sekolah, maupun pelatihan khusus bagi peneliti
muda mengenai metode penelitian amfibi. Diharapkan dengan adanya pendidikan
ini dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat akan kekayaan hayati Indonesia,
meningkatkan simpati dan dukungan publik bagi konservasi amfibi, dan
meningkatkan efektivitas dari aksi konservasi dan kampanye konservasi amfibi.
Pendidikan herpetologi diharapkan juga dapat menginspirasi beberapa orang agar
dapat menjadi peneliti amfibi di masa depan.