Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas Di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat Sumatera Utara

(1)

PERENCANAAN PENGEMBANGAN EKOWISATA

BERBASIS KOMUNITAS DI KAWASAN WISATA TANGKAHAN

KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA

TESIS

OLEH :

HARIS SUTAN LUBIS

037024034/SP

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2006


(2)

PERENCANAAN PENGEMBANGAN

EKOWISATA BERBASIS KOMUNITAS

DI KAWASAN WISATA TANGKAHAN

KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA

Nama Mahasiswa

: Haris Sutan Lubis

Nomor Induk Mahasiswa : 037024034

Program Magister

: Studi Pembangunan

Menyetujui,

Komisi Pembimbing:

Anggota,

Ketua,

(Drs.Goestanto,

M.Hum.) (Drs.R.Hamdani Harahap,M.Si)

Ketua Program Studi,

Direktur SPs USU,

(Drs.Subhilhar, MA)

(Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B, MSc)

NIP.131754528

NIP. 130535852


(3)

PERNYATAAN

PERENCANAAN PENGEMBANGAN EKOWISATA

BERBASIS KOMUNITAS DI KAWASAN WISATA TANGKAHAN

KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleg orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 7 September 2006


(4)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Haris Sutan Lubis

Tempat/Tgl.Lahir : Padangsidempuan / 07 September 1959 Agama : Islam

Alamat : Jl. PWS Gg. Dewi No. 45 F Medan 20118 Pendidikan :

1. SDN 42 : Umum : Medan : 1967 / 1972 2. SMPN I : Umum : Medan : 1973 / 1975 3. SMAN II : IPA : Medan : 1976 / 1979 4. Fakultas Sastra USU : Sastra

Indonesia : Medan : 1979 / 1985 5. SPs USU : Magister Studi

Pembangunan : Medan : 2003 / 2006 Pekerjaan :

1. 1986 – 2002 : Staf Pengajar Jurusan Sastra Indonesia FS. USU 2. 2003 – Sekarang : Staf Pengajar D3 Pariwisata FS.USU

3. 1989 – 1999 : Staf Pengajar Akademik Kesehatan YBS Medan 4. 1995 – Sekarang : Anggota / Pengurus HISKI Komda Sumut

5. 1989 - 1998 : Anggota Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) 6. 1989 : Kursus Metodologi Survey untuk penelitian pembangunan pedesaan . PAU-UGM, Yogyakarta.

7. 2003 : Lokakarya pemberdayaan masyarakat kawasan TNGL se- Sumut dan NAD. UML – USU, Medan

8. 2006 : Pelatihan bagi pengelola ekowisata. DEPSENIBUD. Medan.

Status : Kawin

Istri : Hotnida Siagian

Anak : 1. Gading Hidayat Malaon Lubis 2. Gerry Aulia Palaon Lubis

3. Galih Muhammad Soaloon Lubis 4. Givanie Singgarniari Lubis


(5)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan menganalisis perencanaan pengembangan ekowisata di kawasan wisata Tangkahan, Kabupaten Langkat Suimatera Utara secara komprehensif melalui proses partisipatif, dengan memperhatikan sensitifitas ekosistem, potensi sumberdaya alam dan optimalisasi peranserta masyarakat.

Pendekatan yang digunakan adalah analisis deskriptif secara kualitatif terhadap data primer yang diperoleh melalui diskusi kelompok (focusing group discussion) serta wawancara yang dilakukan dengan masyarakat setempat. Teknik analisis deskriptif ini dimaksudkan agar data dapat diinterpretasikan sesuai dengan persepsi dan keinginan masyarakat berdasarkan masukan dari bawah ke atas (bottom-up),sesuai dengan Teori Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Komunitas yang kemudian diadopsi untuk pembangunan kepariwisataan yang mengisyaratkan pentingnya hubungan yang hormonis antara masyarakat lokal, sumberdaya dan wisatawan, sebagi kunci utama keberhasilan pembangunan.

Berdasarkan data yang diperoleh, ditetapkan kesepakatan bahwa kawasan Tangkahan layak dikembangkan sebagai kawasan ekowista yang menawarkan berbagai produk/atraksi wisata sesuai dengan konsep pengembangan ekowisata, yakni : bersadarkan konservasi, partisipasi/pemberdayaan masyarakat, peningkatan kesadaran dan apresiasi pengetahuan, bermanfaat secara ekonomi, mengedepankan aspek legalitas, serta dibangun dengan pola kemitraan.

Pengembangan kawasan disepakati harus menggunakan konsep perencanaan tata ruang dengan menetapkan fungsi utama kawasan, dan pembagian zonasi kawasan, yang terdiri dari zona intensif, zona semi intensif, zona ekstensif primer dan zona ekstensif sekunder. Sementara kegiatan wisata yang disesuaikan dengan arahan pengembangan di setiap zonasi adalah : wisata pendidikan / konservasi, jelajah hutan, bersepeda, petualangan dan pengamatan satwa liar, wisata perkebunan, wisata tirta, wisata budaya, berkemah, rekreasi keluarga dengan beberapa atraksi alam/buatan, serta wisata goa, di samping pengembangan fasilitas penunjang yang diharapkan mampu memberi kontribusi kepada masyarakat lokal sebagai bagian dari proses pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itulah kawasan ekowisata Tangkahan harus dikelola secara bersama (co-managenet) antara pihak-pihak yang terkait, agar pada saat yang tepat Tangkahan akan menjadi kawasan ekowisata yang eksotik dan handal.


(6)

ABSTRACT

This research provides an analysis of ecotourism development plan in tourism sphere of Tangkahan, Langkat Regency of North Sumatra Province. The analysis covers a comprehensive participation process that includes ecosystem sensitivity, potential of natural resource and the optimum of community participation.

The approach applied in analyzing the data is qualitatively descriptive analysis. They have been collected from the group discussion and interview with the local community. Thus, the analysis is meant to interpret the data in accordance with the community’s will and perception which represent the bottom-up input. In reference to the adopted theory of human resource based community management, the tourism development is closely connected with the creation of harmony among local community, resource and tourist as primary key-success of development.

It is reasonable, from the collected data, that Tangkahan sphere can be developed as ecotourism region through offering various products in the sense of tourism attractions. These must be related to the ecotourism development concept which covers conservation, community participation and empower, consciousness upgrade, knowledge appreciation over tourism advantage economically and legality aspect propose which are all constructed with partnership pattern.

The sphere development has been agreed to apply the space arrangement concept by determining sphere primary function and division of zones. They consist of intensive, semi intensive, primary extensive, and secondary extensive zones. Meanwhile, the tourism activity is adjusted with development instruction to each zone i.e. educational tourism or conservations, forest cruise, bicycle, adventure and wild animal monitor, plantation, water, cave and culture tourism, family creation and the creation of artificial nature attractions. Besides, the development of supporting facility is expected to give contribution as part of empowering process of the community. By so doing, the Tangkahan sphere must be managed entirely (co-management) by interrelated parties in order to make it be exotic and top ecotourism sphere.


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ……… i

KATA PENGANTAR ………... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ………. vi

DAFTAR ISI ……… vii

DAFTAR TABEL ……… ix

DAFTAR GAMBAR ……… x

BAB I PENDAHULUAN……….. 1

1.1 Latar Belakang ………. 1

1.2 Perumusan masalah ………. 22

1.3 Tujuan Penelitian ………. 23

1.4 Manfaat Penelitian ... 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……… 26

2.1 Pariwisata Alternatif dan Ekowisata ……… 26

2.2 Prinsip dan Kriteria Pembangunan Ekowisata ... 44

2.3 Ekowisata Berkelanjutan ... 51

2.4 Teori Pengelolaan sumberdaya Berbasis Komunitas ……….. 63

BAB III METODOLOGI ………. 68

3.1 Penentuan Lokasi Penelitian ... 68

3.2 Desain Penelitian ………. 71

3.3 Data dan Sumber Data ... 71

3.4 Teknik Pengumpulan Data ……….. 72

3.5 Teknik Analisis dan Interpretasi Data ... 72

BAB IV GAMBARAN UMUM KAWASAN ... 76

4.1 Gambaran umum Kabupaten Langkat ………. 76

4.2 Kawasan Tangkahan ……… 81

a. Geografi ……… 81

b. Kependudukan ………. 83

c. Sarana dan Prasarana ……… 87

d. Potensi Kepariwisataan ……… 91

e. Kearifan Tradisional ………. 96

f. Kelambagaan dan SDM ... 107

BAB V ANALISIS PENGEMBANGAN DAN PAKET WISATA BERBASIS KOMUNITAS ……… 110

5.1 Kebijakan Pemkab Langkat ………. 115

5.2 Analisis Lingkungan Internal dan Ekstenal ………. 117

5.3 Analisis Kawasan ………. 124

a. Fungsi Kawasan ……… 124


(8)

5.4 Ekowisata Berbasis Komunitas ……… 140

5.4.1 Paket / Produk Wisata ……… 143

5.4.2 Pemberdayaan / Pelibatan Masyarakat ……….. 150

5.4.3 Bentuk Pengelolaan ………... 151

BAB VI PENUTUP ………. 154

6.1 Kesimpulan ………. 154

6.2 Rekomendasi / Saran ……… 157 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Pertumbuhan Pariwisata Internasional ………. 2

Table 2 Objek Wisata di Kabupaten Langkat ………..76

Tabel 3 Penggunaan Lahan di Kabupaten Langkat ………..77


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Plang Selamat Datang ……… 25

Gambar 2 Elemen Kunci Penegembanagan Pariwisata ………29

Gambar 3 Model untuk Sustainable Tourisem Devolepmen ………35

Gambar 4 Tipe Pariwisata dan Ragamnya ………38

Gambar 5 Visi Misi dan Perencanaan Nasional Pengembangan Ekowisata ………....42

Gambar 6 Atraksi Gajah ……….. 43

Gamabr 7 Kawasan Tangkahan dari atas………...43

Gabmar 8 Pembangunan Pariwisata Berbasis Masyarakat ……….. 67

Gambar 9 Peta Kawasan Ekowista Tangkahan ………81

Gambar 11 Akomodasi Pemondokan di Tangkahan ………88

Gambar 10 Peta Potensi SDA Tangkahan ………94

Gambar 12 Sungai Hijau Tangkahan ………..116

Gambar 13 Peta Zonasi Kawasan ……….. 127

Gambar 14 Zona Ekstensif …..……….. 128

Gambar 15 Zona Semi Intensif ……….. 129

Gambar 16 Zona Ekstensif Primer ………. 130

Gambar 17 Zona Esktensif Sekunder ……… 131

Gambar 18 Peta Pengaturan Arus Wisatawan ……….. 132


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Telaah pustaka mengenai sejarah pariwisata mengungkapkan adanya tulisan tentang awal perniagaan internasional di zaman “Phoenisia”, bahkan ada yang berpendapat bahwa penemuan roda adalah awal kegiatan pariwisata. Tulisan yang lain merujuk pada perjalanan ibadah, tentu saja dalam hal ini termasuk yang menyangkut objek wisata terkenal di dunia, seperti yang terdapat di Indonesia semisal Candi Borobudur dan Prambanan. Namun, apabila kita menggali akar-akar pariwisata masa modern, barangkali lebih berkait bila merujuk kepada penemuan mesin uap sebagai saat atau peristiwa yang menentukan. Mesin uap tidak hanya membawa kita berkenalan dengan bentuk sarana angkutan bermesin yang dapat mengangkut lebih banyak orang dan dapat menempuh jarak yang lebih jauh dalam waktu yang lebih cepat bila dibandingkan dengan sarana angkutan yang lain sebelumnya; namun juga mendorong munculnya masyarakat kota yang industrial (dan kemudian pasca-industrial) dan modern.

Masyarakat kota yang industrial tersebut juga mendorong perkembangan ilmu dan teknologi sampai terciptanya sarana angkutan yang lebih cepat daripada sarana yang didayai mesin uap. Mula-mula kita mengenal mobil yang lebih luwes yang memungkinkan orang bergerak ke mana-mana, sehingga meningkatkan perjalanan wisata domestik, dan pada tahap selanjutnya penemuan pesawat jet untuk angkutan penumpanglah yang memicu perkembangan pesat pariwisata internasional.

Perkiraan World Tourism International (WTO) pada tahun 2001 jumlah wisatawan dunia mencapai 661 juta dan 15,28% diserap oleh kawasan Asia Timur dimana Indonesia berada. Apabila kita melihat catatan lebih jauh lagi, tingkat perjalanan internasional meningkat enam kali lipat dalam periode dua puluh tahun sejak 1950-1970, dan kemudian tiga kali lipat dalam masa 20 tahun


(12)

selanjutnya. Proyeksi tingkat pertumbuhan sebesar 50 persen selama dekade ini memperlihatkan jumlah pokok yang lebih besar dalam periode berikutnya.

Tabel 1

Pertumbuhan Pariwisata Internasional 1950-2001 Tahun Jumlah Pergerakan

Wisatawan Internasional (juta) 1950

1970 1991 2001 2011

25 160 450 661 ?

Sumber: WTO

Memang harus diakui pasang-surut perkembangan sektor pariwisata sebagai salah satu industri terbesar abad 21 ini sangat mempengaruhi jumlah devisa yang bisa diraih Indonesia yang menempatkan pariwisata sebahai penghasil devisa terbesar di luar migas. Sejak tahun 1998, kemerosotan jumlah wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia terus berlangsung mengiringi tragedi-tragedi eksternal dan internal yang sangat mempengaruhi kinerja kepariwisataan. Kalau pada tahun 1997 tercatat jumlah 5,2 juta orang dengan penghasilan devisa sebesar 5,3 juta dollar, maka tiga tahun berikutnya berubah menjadi 4,6 juta, 4,7 juta, dan 5,0 juta (Ardika, 2003).

Sementara itu untuk wilayah Sumatera Utara sebagai salah satu daerah tujuan wisata juga mengalami kondisi yang cukup memprihatinkan. Hanya dalam waktu lebih kurang tiga tahun telah


(13)

terjadi penurunan jumlah wisatawan mancanegara sebesar 65 persen. Berbagai hal diperkirakan menjadi penyebab terjadinya stagnasi perkembangan pariwisata di Sumatera Utara tersebut, baik hal yang berhubungan dengan persoalan-persoalan mikro maupun persoalan kondisi objektif produk wisata, semisal kualitas infrastruktur yang sangat menentukan aksesibilitas.

Ketidakmemadaian infrastuktur serta produk wisata yang relatif homogen menjadikan salah satu kelemahan Sumatera Utara sebagai daerah tujuan wisata. Atraksi-atraksi wisata yang disuguhkan sangat tidak menarik, karena nilai otentisitas, originilitas, dan keunikannya tidak begitu menonjol. Masing-masing daerah menawarkan produk wisata yang relatif sama, dan atraksi buatan yang disuguhkan relatif tidak unik. Oleh karena itulah, kinerja pariwisata ini sangat beralasan untuk dibenahi, karena pengalaman yang tidak nyaman akan meninggalkan kesan buruk terhadap produk wisata (Weiler, 1992).

Salah satu terobosan yang potensial sebenarnya ialah dengan mengembangkan pariwisata alternatif, maupun pengembangan pasar wisatawan domestik sebagai basis pengembangan pariwisata nasional, sekaligus dalam rangka menumbuhkan masyarakat wisata. Para perencana pembangunan kepariwisataan seharusnya dapat menyusun kebijakan-kebijakan yang tidak saja mendorong peningkatan arus perjalanan penduduk di dalam negeri, tetapi juga memperkuat basis industri pariwisata nasional.

Sementara itu di sisi lain pengembangan industri kepariwisataan sebaiknya didasarkan pada permintaan riel pasar wisatawan. Riset pasar yang dilakukan oleh Australian Tourist Commission misalnya, menunjukkan bahwa ciri-ciri alam Australia seperti hutan hujan, terumbu karang, pantai dan daerah pedalaman akan terus dimanfaatkan untuk menarik wisatawan dalam jumlah besar. Riset ini juga mencatat bahwa pemandangan yang indah, keluasan daerah, keajaiban alam, kehidupan liar dan pantai yang bagus sebagai sifat-sifat utama dalam peringkat pariwisata internasional (Pitts, dalam Gunawan, 1997).


(14)

Berbagai isu yang dikaitkan dengan munculnya konsep ekowisata yang mutakhir termasuk meningkatnya kesadaran akan lingkungan di masyarakat, publik yang semakin cerdas, dalam hal selera dan dambaan mereka akan pengalaman wisata di luar rumah, yaitu yang berbasis alam. Masyarakat yang semakin pandai ini juga memperlihatkan penghargaan atas kepekaan yang meningkat terhadap bentang alam biofisik dan budaya.

Ekowisata merupakan salah satu bentuk wisata alternatif, yang mencakup perjalanan ke daerah alami yang masih belum cemar dengan tujuan khusus hendak mempelajari, mengagumi, dan menikmati pemandangan alam serta flora, fauna dan hidupan liarnya. Ekowisata dikembangkan berdasar prinsip hendak melestarikan lingkungan alam dan budaya serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang menjadi tuan rumahnya. Pengembangan pariwisata alternatif ini dilakukan dengan pendekatan yang memperhatikan perubahan persepsi tentang pariwisata, kriteria pengembangan pariwisata, pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan.

Sektor pariwisata yang berorientasi pada pengembangan pariwisata berbasis komunitas, merupakan salah satu alternatif yang mendapatkan perhatian, terutama dalam konsep pengembangan pariwisata jangka panjang. Dengan mencermati berbagai kondisi alam wilayah yang dimiliki Indonesia, diversitas budaya, serta komunitas yang berkualitas, pengembangan sektor pariwisata berbasis komunitas dianggap sangat potensial untuk ditingkatkan mutunya agar dapat menjadi sektor andalan devisa di luar migas. Dengan demikian diharapkan sektor pariwisata yang dikembangkan melalui konsep pariwisata berbasis komunitas dapat menjadi salah satu lokomotif penggerak perekonomian nasional. Sebab pengembangan sektor pariwisata memiliki keterkaitan yang erat dengan banyak sektor lainnya, serta memberikan dampak ekonomi yang menjangkau banyak elemen, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat.


(15)

Di sisi lain, potensi pariwisata memang masih belum tergali secara optimal, padahal telah disadari bahwa sektor ini cenderung menghasilkan sangat banyak keuntungan, baik dari pasar domestik, dan terutama pasar internasional.

Seiring dengan keadaan tersebut dan dengan menyadari multiplier effect ekonomi yang demikian besar, maka Pemerintah pun telah mengagendakan pengembangan sektor pariwisata yang berbasis komunitas sejak Repelita VI dengan orientasi pengembangan pariwisata yang berwawasan wilayah pada setiap propinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Pengembangan sektor pariwisata di daerah pastilah diarahkan untuk dapat memantapkan sumbangan ekonominya pada pendapatan daerah guna meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah, dan peningkatan pendapatan masyarakat maupun sebagai sarana promosi daerah di kancah kepariwisataan nasional dan bahkan internasional (global tourism).

Investasi kepariwisataan diharapkan dapat memberikan lapangan kerja dan kegiatan usaha bagi masyarakat luas, mulai dari yang bergerak dalam bisnis transportasi, hotel dan bentuk-bentuk penginapan lain, rumah makan dan restoran, bahkan usaha-usaha sistem paket acara tour sampai kepenyediaan barang-barang kerajinan industri rumah tangga milik masyarakat setempat (souvenir) dan jasa-jasa kepariwisataan lainnya (tourism services).

Disamping itu, pengembangan sektor pariwisata seperti pariwisata alternatif --ekowisata-- diharapkan juga untuk sekaligus menumbuhkan proses-proses pembelajaran program konservasi bagi pemeliharaan dan pelestarian kawasan hijau Indonesia guna menjaga keharmonisan ekosistem bagi kelangsungan hidup manusia.

Sehubungan dengan pengembangan pariwisata berbasis komunitas, maka hal terpenting yang tidak dapat dilepaskan dari sektor ini ialah pendekatan perencanaan kepariwisataan yang meliputi pendekatan kemasyarakatan sebagai daya dukung utama pada sektor pariwisata ini. Hal ini sejalan dengan pendapat tentang pentingnya suatu pendekatan dalam menunjang strategi perencanaan


(16)

pembangunan dan pengembangan kepariwisataan berbasis komunitas sebagaimana pernah diungkapkan oleh Inskeep (1991), bahwa:

“Commnunity approach – There is maximum involvement of the local community in the planning and decision making process of tourism and to the extent feasible and desirable, there is maximum community participation in the actual development and management of tourism and it’s socioeconomic benefits”

Berdasarkan konsep tersebut, haruslah diakui bahwa pada umumnya untuk mengembangkan kepariwisataan diperlukan pendekatan komunitas dalam rangka mendukung pembangunan dan kemandirian daerah di Indonesia yang melibatkan partisipasi masyarakat secara aktual agar dapat memberikan keuntungan sosio-ekonomis. Meskipun harus diakui bahwa pengembangan dan bahkan pelaksanaan konsep pengembangan kepariwisataan berbasis komunitas belum sepenuhnya direncanakan dan dilaksanakan secara profesional, sehingga kerapkali memunculkan pertanyaan, apakah memang Pemerintah dan termasuk juga Pemerintah Daerah benar-benar sungguh-sungguh atau tidak dalam menjalankan kebijakan tentang pengembangan pariwisata berbasis komunitas yang sebenarnya telah pernah ditetapkan dalam Repelita yang lalu?

Pertanyaan lain yang mungkin pula muncul ialah sudah sejauh mana Pemerintah Daerah telah melaksanakan kebijakan pengembangan pariwisata berbasis komunitas yang menuju kepada hal-hal yang bisa menopang ekosistem dan kegiatan ekonomi masyarakat untuk jangka waktu yang lama dan untuk selalu berkesinambungan. Karena suatu kegiatan ekonomi dari sektor pariwisata yang ingin bertahan lama, tentunya tidak bisa hanya mengandalkan infrastruktur aksesibilitas, semisal jalan raya, pelabuhan laut dan lapangan udara yang skalanya terbatas, melainkan secara terpadu dilakukan bersama dengan pengembangan kualitas individu pelaku kepariwisataan dan respons positif komunitas di sekitarnya.

Pengembangan sektor pariwisata yang berbasis komunitas, harus pula ditentukan berdasarkan perhitungan yang matang, dan kini harus pula sesuai dengan konsep otonomi daerah, yakni mengacu


(17)

kepada kemampuan masyarakat, dan skalanya lebih besar dalam kapasitas spesifikasi daerah yang bersangkutan.

Pentingnya pengembangan kepariwisataan berbasis komunitas dalam perspektif otonomi daerah, pernah dinyatakan oleh Djamhur (1999), bahwa:

“Dari sisi pariwisata, otonomi daerah mengarah pada pengembangan pariwisata berbasis komunitas. Tujuannya memaksimalkan sumberdaya lokal dan kemampuan masyarakat setempat. Ini paradigma baru. Untuk itu ada beberapa elemen penting yang perlu diperhatikan dalam penerapannya,

yaitu: 1) Produk; 2) Promosi; 3) Sumberdaya Manusia (SDM); 4) Pemberdayaan Masyarakat Setempat; 5) Investasi. Dalam hal

pemberdayaan masyarakat setempat, pariwisata perlu menggalakkan program Community Tourism Development (CTD), yakni kegiatan pariwisata berdasarkan kemampuan masyarakat setempat. Dari, oleh, dan untuk masyarakat. Konsep CTD atau ekonomi rakyat ini mampu menciptakan produk wisata lokal dan ketahanan serta kestabilan kondisi sosioekonomi masyarakat. CTD menumbuhkan rasa saling membutuhkan dan bahkan memberdayakan semua pihak terkait. Masyarakat dapat langsung berpartisipasi dan menikmati keuntungan. Contohnya Desa Wisata”

Secara tegas dikatakan pula bahwa pemberdayaan masyarakat setempat akan pula turut menentukan keberhasilan pengembangan sektor pariwisata dalam mendukung pelaksanaan program otonomi daerah dengan segala dinamikanya.

Memang secara terus-menerus masalah untung-rugi pngembangan pariwisata berbasis komunitas di setiap daerah menurut konsep otonomi daerah masih terus dikaji dan merupakan suatu perbincangan yang panjang di antara para pakar pembangunan daerah dan perencana kepariwisataan, namun tampaknya pola pengembangan pariwisata berbasis komunitas cenderung lebih memberikan manfaat bagi kepentingan pariwisata, dan hal ini pun sejalan dengan pandangan Djamhur (1999) yang menyatakan bahwa:

“Keuntungannya daerah dididik mandiri (mengatur, mengembang-kan, dan mengawasi daerahnya sendiri). Pemerintah Daerah diberi kesempatan untuk membuka diri (masuknya investasi asing ke daerah


(18)

tersebut), pemberdayaan masyarakat (dari, oleh dan untuk rakyat), discover the unknown (menggali potensi wisata yang terpendam). Sedangkan kerugiannya, mungkin timbul arogansi Pemerintah Daerah, sementara di sisi lain Pemerintah Pusat masih akan ikut menanggung kerugian akibat mismanagement, kesenjangan pembangunan antara daerah maju dan daerah terbelakang”

Oleh karena itulah dampak krisis ekonomi moneter dan politik yang dialami bangsa Indonesia sejak tahun 1997 yang menghembuskan angin segar bagi proses reformasi di semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, baik pada tataran sosial, ekonomi, hukum maupun politik haruslah dapat dicermati dan disiasati maknanya demi mencapai cita-cita kehidupan yang lebih realistis. Walaupun mungkin hasil dari proses reformasi itu belum memuaskan atau belum mencapai pada tahap sebagaimana yang diharapkan oleh seluruh komponen bangsa.

Pembangunan kepariwisataan berbasis komunitas dalam perspektif otonomi daerah ini perlu kian dicermati dengan arif, karena dengan terbitnya undang-undang UU No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No, 25 tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, diharapkan untuk dapat membangun muara pada kemampuan meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia yang berada di kawasan nusantara ini.

Konsep desentralisasi kemudian menunjukkan bahwa otonomi menjadi hal yang sangat penting bagi daerah-daerah dalam proses pembangunan. Otonomi berarti penyelenggaraan Pemerintahan sebagai suatu urusan rumah tangga yang berdiri sendiri, yang meliputi tahapan perencanaan pembangunan, pelaksanaan dan evaluasi terhadap hasil-hasilnya. Konsekuensi logis dari penerapan asas desentralisasi ini adalah kesiapan Pemerintah Daerah untuk menata keseluruhan perangkat organisasi dan manajemen serta kemampuan untuk melakukan adaptasi terhadap perkembangan dan perubahan lingkungan eksternal agar mampu melaksanakan amanat yang diberikan rakyat kepadanya. Fleksibilitas terhadap perubahan lingkungan ini merupakan prasyarat bagi kemampuan Pemerintah Pusat maupun


(19)

Daerah untuk sukses dalam melaksanakan program-program pembangunan yang tepat sasaran maupun tepat guna.

Dalam lingkungan ekonomi dan politik pasca reformasi, industri pariwisata sebagai salah satu anasir segmen ekonomi, sangat memungkinkan untuk meraih kesempatan dan membuka peluang sukses sebesar-besarnya. Prospek pariwisata dalam artian yang seluas-luasnya dapat lebih mendorong pengertian antarbangsa menuju perdamaian dunia, di samping memberi peluang kesempatan kerja, meningkatkan devisa dan taraf kehidupan ekonomi (rakyat) melebihi kekuatan segmen ekonomi yang lain.

Di sisi lain, pengembangan pariwisata melalui pendekatan pariwisata berbasis komunitas diyakini merupakan salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu perlu disadari bahwa Pemerintah Daerah setempat semestinya juga memperhatikan secara serius masalah infrastuktur fisik yang tentu saja penting bagi kelangsungan pertumbuhan dunia usaha dan industri pariwisata yang berbasis komunitas, dalam artian bahwa Pemerintah Daerah semestinya dapat menyediakan jasa atau fasilitas khusus untuk memenuhi keinginan dunia usaha atau industri pariwisata, khususnya yang menunjang pemberdayaan masyarakat.

Memang, melalui kerangka berfikir ekonomi politik, tidaklah sulit untuk menunjukkan bahwa pariwisata (terutama internasional) sangat meyakinkan untuk dapat menjadi pasport pembangunan bagi kebanyakan negara berkembang meskipun pada sisi lain tidak hanya gagal berfungsi sebagai motor penggerak pembangunan, tetapi bahkan dengan mudah berubah menjadi penyebab tidak berkembangnya banyak dunia ketiga. Contoh sederhana, perusahaan penerbangan asing dan rantai perhotelan amat berpengaruh dalam menentukan tempat tujuan wisata, dan sering mendiktekan kondisi yang harus diciptakan di daerah wisata yang akan dikembangkan. Dalam situasi seperti ini, subsidi Pemerintah dalam bentuk kebijaksanaan keringanan pajak mendorong kepariwisataan internasional yang merugikan kebutuhan setempat (Britton, dalam Nasikun 1997). Yang lebih penting lagi ialah,


(20)

pariwisata internasional juga menghabiskan modal perekonomian negara dunia ketiga, memperkuat ekonomi monokultur yang didasarkan kepada perolehan dari hotel, menyebabkan defisit neraca pembayaran yang kronis, dan gagal untuk merangsang pertumbuhan industri kerajinan setempat (Perez, dalam Nasikun 1997), dan pada saat yang sama, sering mengakibatkan rusaknya lingkungan dan sosial budaya masyarakatnya.

Bertolak dari dinamika pembangunan kepariwisataan yang mengacu pada pelibatan dan pemberdayaan masyarakat, maka penulis berketetapan untuk meneliti tentang “Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat Sumatera Utara”.

Alasan yang dibangun dalam rangka penelitian tentang perumusan Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat Sumatera Utara ialah:

1. Dalam satu dekade terakhir telah terjadi perubahan kecenderungan wisatawan dalam memilih objek atau lokasi wisata. Wisatawan tidak lagi ingin sekedar datang untuk melihat objek wisata tertentu saja, tetapi telah meningkatkan keinginan ke arah wisata yang dapat memberikan tambahan wawasan, pengalaman dan pengetahuan baru, dan model wisata alternatif seperti ini dikenal dengan istilah ecotourism, yang dalam bahasa Indonesia disebut ekowisata.

2. Sebagai bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), Tangkahan merupakan kawasan yang didominasi oleh hutan dipterocarpaceae dataran rendah, yang memiliki vegetasi dengan ciri-ciri pohon yang tinggi, dengan lebar kanopi 40-50 meter, kaya akan berjenis-jenis tumbuhan berbunga yang akan mempengaruhi jenis dan komposisi satwa yang hidup di dalamnya, dan paling kaya akan keanekaragaman fauna. Hampir 65% jumlah mamalia yang tercatat hidup di kawasan Sumatera terdapat di dalam KEL. Tercatat 205 jenis mamalia besar dan kecil. Oleh karena itu, dipandang dari sudut pengembangan ekowisata, KEL memiliki potensi sumberdaya alam yang luar biasa.


(21)

3. Ekowisata akan mampu membangkitkan ekonomi masyarakat setempat dalam bentuk keuntungan sosial dan juga partisipasi masyarakat dalam menentukan jenis kegiatan wisata dan jumlah fasilitas yang akan dibangun, disamping sebagai promosi nyata terhadap kepentingan konservasi dan pengembangan berkelanjutan KEL kepada masyarakat Indonesia dan internasional.

4. Melalui perencanaan pengembangan ekowisata berbasis komunitas yang dilakukan secara tepat dan jitu oleh Pemerintah Daerah bersama masyarakat setempat dan unsur-unsur swasta, diharapkan akan memberikan dampak positif setidaknya bagi peningkatan kunjungan wisatawan, baik wisatawan domestik, maupun wisatawan mancanegara.

Pengembangan Pariwisata dengan pendekatan kemasyarakatan merupakan konsep alternatif yang berbeda dengan konsep pembangunan kapariwisataan secara konvensional yang berlangsung selama ini dengan pendekatan teknokratik-sentralistik. Konsep alternatif ini digunakan sebagai reaksi atas kegagalan model modernisasi yang diterapkan selama ini di negara-negara berkembang. Konsep dengan model top-down dirasakan telah melupakan konsep dasar pembangunan itu sendiri, sehingga rakyat bukannya semakin meningkat kualitas hidupnya tetapi malah dirugikan dan bahkan termarginalisasi di lingkungan miliknya sendiri (Pitana, 1999). Dalam perkembangan selanjutnya, trend pariwisata dunia telah mengalami perubahan drastis. Pada beberapa negara/daerah, masyarakat setempat (local community) turut pula dilibatkan dalam aktifitas kepariwisataan guna menunjang keberhasilan pengembangan pariwisata. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila pada dasawarsa belakangan ini, kemajuan industri pariwisata yang tergolong cukup pesat ini dikarenakan peningkatan secara luas, keterlibatan masyarakat lokal (community based-tourism), waktu senggang (leisure time), peningkatan pendapatan, kemajuan dalam teknologi informatika dan penerbangan --memungkinkan biaya transportasi yang murah, mudah dan cepat--. Selain itu, pergerakan yang cepat di bidang telekomunikasi dan informasi menstimulir gairah manusia untuk mengunjungi tempat/negeri asing dan adat-istiadat yang unik dan orisinal.


(22)

Memang harus diakui bahwa sampai saat ini, memperkenalkan, mempopulerkan dan memasarkan suatu produk wisata terutama ekowisata, bukanlah suatu hal yang mudah. Berbagai tantangan harus dihadapi, terutama bila tidak didukung oleh keterlibatan masyarakat untuk memberikan respon positif bagi pengembangan objek wisata tersebut. Oleh karena itulah, faktor utama bagi pengembangan pariwisata berbasis komunitas adalah keseimbangan dan harmonisasi antara lingkungan hidup, sumberdaya dan kepuasan wisatawan, yang diciptakan atas inisiatif masyarakat lokal, dan kesemua aspek tersebut akan mencerminkan keberlanjutan sistem sosial, budaya dan ekonomi, yang memang merupakan prioritas yang mesti didahulukan.

Pada tingkatan konseptual Pemerintah telah melakukan langkah-langkah untuk mendorong pengembangan pariwisata berbasis komunitas. Langkah ini dilakukan karena pariwisata berbasis komunitas mempunyai potensi besar dan dapat menjadi tulang punggung penggerak perekonomian masyarakat.

Selain dapat meningkatkan devisa, pariwisata juga diyakini dapat menyerap tenaga kerja dengan tuntutan kualitas yang tidak terlalu tinggi. Pengembangan pariwisata berbasis komunitas dapat melahirkan pemerataan, karena di daerah-daerah yang memiliki potensi kepariwisataan, masyarakat setempat dapat dilibatkan sebagai tenaga kerja, pengelola warisan-warisan budaya dan pengrajin industri sebagai aset wisata setempat. Oleh karenanya untuk mendukung pembangunan pariwisata berbasis komunitas, Pemerintah telah menerapkan sejumlah kebijakan sebagai pemandu dalam setiap perencanaan pembangunan dan pengembangan kepariwisataan sebagai berikut:

1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan khususnya pada Pasal 2, Pasal 3 huruf (d), dan Pasal 30.

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.


(23)

3. Peraturan Pemerintah RO Nomor 67 Tahun 1996 Tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan; khususnya pada Pasal 2, 105, 106, dan 107.

4. Keputusan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.5/UM.209/MPPT-89 Tanggal 18 Januari 1989 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sapta Pesona; khususnya pada Pasal 3, 4, 5, dan 7.

5. Keputusan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.98/PW.102/MPPT-87 Tanggal 23 Desember 1987 Tentang Ketentuan Usaha Obyek Wisata.

6. Keputusan Direktur Jenderal Pariwisata Nomor KEP-18/U/II/88 Tanggal 25 Pebruari 1990 Tentang Pelaksanaan Ketentuan Usaha Objek Wisata.

7. Instruksi Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Nomor IM.16/KS.001/MPPT-88 Tanggal 17 September 1988 Tentang Peningkatan Kerjasama Antar Instansi Pusat di Bidang Pengembangan dan Pemanfaatan Objek Wisata Alam dan Objek Wi ata Budaya.

8. Surat Edaran Bersama Direktur Jenderal Pariwisata dan Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Nomor 07/Edr/II/88 dan Nomor SE.02/M/BP/88 Tanggal 26 Pebruari 1988 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang di Bidang Usaha Hotel, Restoren, Usaha Perjalanan, Wisata Tirta, dan Objek Wisata.

9. Petunjuk Pelaksanaan Direktur Jenderal Pariwisata dan Direktur Jenderal Bina Usaha Koperasi Nomor KEP.67/U/VI/88 dan Nomor 205/SKB/BUK/VII/88 Tanggal 27 Juli 1988 Tentang Pengembangan Usaha Koperasi di Bidang Usaha Biro Perjalanan Umum dan Agen Perjalanan. 10. Instruksi Presiden RI Nomor 7 Tahun 1987 Tanggal 23 Desember 1987 Tentang Penyederhanaan

Perizinan dan Retribusi di Bidang Usaha Pariwisata.

11. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 1987 Tanggal 23 Desember 1987 Tentang Penyederhanaan Perizinan dan Retribusi di Bidang Usaha Pariwisata.


(24)

12. Surat Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan RI Nomor 177/DAGRI/VII/86 Tanggal 15 Juli 1986 Perihal Pembebasan Memiliki SIUP Bagi Usaha Jasa Pelayanan di Bidang Pariwisata.

13. Keputusan Menteri pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.52/HM.601/MPPT-89 Tanggal 17 April 1989 Tentang Penyelenggaraan Kampanye Nasional Sadar Wisata.

14. Keputusan Menteri Pariwisata. Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.59/PW.002/MPPT-85 Tanggal 23 Juli 1985 Tentang Peraturan Kawasan Pariwisata.

15. Keputusan Menteri Pariwisata. Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.70/PW.105/MPPT-85 Tanggal 30 Agustus 1985 Tentang Peraturan Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum.

16. Keputusan Menteri Pariwisata. Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.71/PW.105/MPPT-85 Tanggal 30 Agustus 1985 Tentang Peraturan Usaha dan Penggolongan Perkemahan.

17. Keputusan Menteri Pariwisata. Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.72/PW.105/MPPT-85 Tanggal 30 Agustus 1985 Tentang Mandala Wisata.

18. Keputusan Menteri Pariwisata. Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.73/PW.105/MPPT-85 Tanggal 30 Agustus 1985 Tentang Peraturan Usaha Rumah Makan.

19. Keputusan Menteri Pariwisata. Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.74/PW.105/MPPT-85 Tanggal 30 Agustus 1985 Tentang Peraturan Usaha Pondok Wisata.

Pembangunan Kepariwisataan berbasis komunitas secara nasional sudah dilakukan oleh Pemerintah sejak tahun 1990, dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan; Bab II Azas dan Tujuan, serta Bab V, Peran Serta Masyarakat yang menyatakan:

“Penyelenggaraan kepariwisataan dilaksanakan berdasarkan azas manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, asli dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan, dan kepercayaan pada diri sendiri. Penyelenggaraan kepariwisataan bertujuan: a) memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan, dan meningkatkan objek dan daya tarik wisata; b) memupuk rasa cinta tanah air dan meningkatkan persahabatan antar bangsa; c) memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja; d) meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka


(25)

meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat; dan e) mendorong pendayagunaan produksi nasional.

--Peran Serta Masyarakat-- yakni: 1) Masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan kepariwisataan. 2) Dalam rangka proses pengambilan keputusan, Pemerintah dapat mengikutsertakan masyarakat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) melalui penyampaian saran, pendapat, dan pertimbangan.

Pariwisata secara universal harus mampu menghadapi kompetisi global serta memberikan nilai tambah bagi masyarakat. Oleh karena itu peran Pemerintah sebagai pelaku dan sekaligus fasilitator sangatlah besar dan sangat diperlukan untuk menjamin terlaksananya pembangunan dan pengembangan kepariwisataan yang berkelanjutan, dengan mengikutsertakan dan mengoptimalisasikan para pelaku pembangunan di sektor pariwisata, yakni: Pemerintah/Pemda, masyarakat lokal, swasta/investor. Peran tersebut dapat diwujudkan dalam Kebijaksanaan Umum Pengembangan Pariwisata, yaitu kebijakan untuk menjaga keseimbangan antara peran serta Pemerintah, swasta, dan masyarakat” (Suwantoro, 1997).

Pembangunan pariwisata berbasis komunitas jelas-jelas memiliki potensi yang baik yang bersifat positif maupun negatif, sebagaimana dikemukakan oleh Karyono (1997):

“…Potensi positif pembangunan pariwisata berbasis komunitas meliputi: 1) Makin luasnya kesempatan usaha; 2) Makin luasnya lapangan kerja; 3) Meningkatnya pendapatan masyarakat dan Pemerintah; 4) Mendorong pelestarian budaya dan penggalan sejarah; 5) Mendorong terpeliharanya lingkungan hidup; 6) Terpeliharanya keamanan dan ketertiban; 7) Mendorong peningkatan dan pertumbuhan di bidang pembangunan sektor lainnya; dan 8) Memperluas Wawasan Nusantara, memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta menumbuhkan cinta tanah air.

Di sisi lain, terdapat pula potensi negatif pembangunan pariwisata berbasis komunitas, yakni: 1) Harga di daerah yang menjadi tujuan pariwisata makin tinggi; 2) Terjadinya pencemaran lingkungan alam dan lingkungan hidup; 3) Terjadinya sifat ikut-ikutan oleh masyarakat setempat; 4) Tumbuhnya sikap mental materialistis; 5) Timbulnya pedagang asongan;6) Tumbuhnya sikap meniru wisatawan; dan 7) Meningkatnya tindak pidana”

Pada sisi lain, bisa dilihat beberapa ciri-ciri atau karakteristik pengembangan pariwisata berbasis komunitas sebagaimana dimaksudkan oleh Nasikun (dalam Fandeli, 2000), yakni :

a. Berskala kecil (small scale), sehingga lebih mudah diorganisasikan. Jadi jenis pariwisata yang dikembangkan dengan menggunakan konsep tersebut pada dasarnya adalah pariwisata yang


(26)

bersahabat dengan lingkungan, secara ekologis aman, dan tidak menimbulkkan banyak dampak negatif.

b. Lebih berpeluang untuk dikembangkan dan diterima oleh masyarakat lokal.

c. Lebih memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, maupun penerimaan manfaat dan keuntungan.

d. Selain menekankan partisipasi masyarakat, pembangunan berwawasan kerakyatan juga sangat mementingkan keberlanjutan kultural (cultural sustainability), dan secara keseluruhan berupaya untuk membangkitkan “rasa hormat” dan “penghargaan” wisatawan terhadap kebudayaan lokal.

Dengan karakteristik tersebut, pengembangan suatu kawasan atau objek wisata yang memanfaatkan pendekatan pembangunan berbasis komunitas, akan lebih memberdayakan dan menguntungkan masyarakat, meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, untuk kemudian keseimbangan dan keberlanjutan potensi atau modal dasar kepariwisataan di kawasan objek wisata tersebut akan tetap terjaga dan terpelihara. Sebenarnyalah pembangunan merupakan sebuah

social-learning yang menuntut adanya partisipasi masyarakat lokal dalam berbagai tahap pembangunan,

sehingga pengelolaan pembangunan benar-benar dilakukan oleh mereka yang hidup dan kehidupannya paling dipengaruhi oleh pembangunan tersebut, sebagaimana dikatakan Korten (dalam Pitana, 1999).

Masih menurut Korten, ada tiga alasan dasar yang menjelaskan mengapa konsep tersebut penting untuk dilaksanakan, yaitu pertama: variasi antar daerah (local variety) sehingga setiap daerah tidak dapat diberikan perlakuan yang sama. Setiap daerah memiliki ciri-ciri tersendiri, dan berbeda satu dengan yang lainnya, karena itu sistem pengelolaannya juga harus berbeda, dan masyarakat lokal sebagai pemilik daerah adalah pihak yang paling mengenal dan paling akrab dengan situasi daerahnya. Kedua, adanya sumberdaya lokal (local resources), yang secara tradisional dikuasai oleh masyarakat lokal tersebut, karena pengalaman itu sudah dilaksanakanan beberapa generasi. Ketiga, tanggung jawab lokal (local accountabily), bahwa pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat lokal biasanya lebih


(27)

bertanggung jawab, karena kegiatan tersebut secara langsung akan mempengaruhi hidup mereka. Hal ini berarti masyarakat lokal umumnya selalu memiliki moral dan tanggung jawab yang lebih tinggi daripada pengelola yang berasal dari luar daerah tersebut.

Model pengembangan pariwisata berbasis komunitas yang mengikuti perubahan global dan perkembangan dunia kepariwisataan, merupakan unsur pendukung kepariwisataan dengan cara melibatkan secara langsung masyarakat di sekitar objek kawasan wisata. Keterlibatan masyarakat ini juga sampai pada pelayanan informasi, pelayanan telekomunikasi, pelayanan angkutan, maupun pelayanan administrasi untuk keperluan bisnis, hotel dan restoran, tour & travel, transportasi, souvenir, serta bidang pendidikan kepariwisataan. Sementara itu, usaha-usaha pariwisata yang masih bisa dikelola oleh Pemda bersama dengan masyarakat setempat ialah penginapan, penggunaan ruang pertemuan, penggunaan fasilitas jasa layanan masuk tempat rekreasi, pelabuhan udara dan dermaga, maupun money changer. Pelaksanaan aktivitas berbagai usaha kepariwisataan ini harus didukung sepenuhnya oleh para pramuwisata atau seseorang yang telah mendapat izin (license) dari Pemerintah Daerah untuk bertugas memberikan bimbingan, penerangan, dan petunjuk tentang objek wisata serta membantu segala sesuatu yang diperlukan wisatawan.

Keterlibatan lain dari masyarakat juga dapat dilihat dari berbagai fungsi ketenagakerjaan, baik yang bersifat positif, maupun negatif, yakni sebagai tenaga kerja pada usaha pariwisata seperti pramuwisata (guide), peramu minuman, penerima tamu (receptionist), pramusaji, juru masak, operator telepon, satpam, dan lain-lain.

Semakin maraknya aktivitas pariwisata alternatif yang mengarah pada konsep kesinambungan pariwisata, melahirkan partisipasi masyarakat dari berbagai jasa kepariwisataan dapat dilakukan di kawasan Daerah Tujuan Wisata.

Konsep Tourism Based Community Development memang telah menjadi fokus bisnis pariwisata dunia, apalagi mengingat bisnis wisatawan mancanegara yang melayani semua kebutuhan wisatawan


(28)

sejak dari negara asal sampai kembali lagi ke negerinya, merupakan peluang strategis bagi manajemen untuk melakukan diversifikasi usaha kepariwisataan (tourism business). Hal itu ditambah lagi dengan arus pergerakan wisatawan nusantara yang turut memberikan kontribusi bagi upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat di Daerah Tujuan Wisata, serta dalam rangka peningkatan pendapatan daerah.

Oleh karena itu, pengembangan pariwisata berbasis komunitas yang dilaksanakan di berbagai daerah semakin penting, tidak saja dalam rangka meningkatkan penerimaan devisa negara, melainkan juga dapat memperluas kesempatan berusaha, di samping memberikan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat serta untuk mengurangi pengangguran. Oleh karena itu pulalah pembangunan dan pengembangan pariwisata berbasis komunitas pada suatu daerah tujuan wisata sangat erat kaitannya dengan pembangunan perekonomian terutama bagi distribusi pendapatan masyarakat di daerah. Hal itu memberi pengertian bahwa pengembangan kepariwisataan yang mengacu pada pembangunan pariwisata berbasis komunitas harus selalu memperhitungkan keuntungan dan manfaatnya bagi masyarakat, yaitu dari sisi meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan laju pertumbuhan perekonomian daerah, dan pada gilirannya nanti untuk meningkatkan devisa negara.

Menurut Yoeti (1997) industri pariwisata akan menyumbangkan devisa melalui:

1) Penerimaan visa-fee sewaktu wisatawan akan berangkat ke Indonesia pada kedutaan/perwakilan Indonesia di luar negeri;

2) Hasil penjualan tiket pesawat udara atau kapal laut (bila pesawat udara atau kapal laut yang digunakan adalah pesawat atau kapal yang merupakan milik bangsa Indonesia);

3) Biaya taxi/coach bus untuk transfer dari lapangan udara ke hotel dan sebaliknya; 4) Sewa kamar hotel selama menginap pada beberapa kota yang dikunjungi;

5) Biaya makanan dan minuman pada Bar dan Restoran, dalam maupun di luar hotel; 6) Biaya tours dan sight seeing serta excursion pada kota-kota yang dikunjungi;


(29)

7) Biaya taxi untuk transportasi lokal untuk keperluan berbelanja (shopping) dan keperluan pribadi lainnya;

8) Pengeluaran untuk membeli barang-barang souvenir serta barang-barang lainnya, yang dibeli pada beberapa kota yang dikunjunginya; dan

9) Fee perpanjangan visa di tempat atau kota yang dikunjunginya (bila diperlukan).

Pada sisi lain, pengembangan sektor pariwisata harus pula diarahkan bagi terwujudnya tahapan pengembangan pariwisata yang berkelanjutan (sustainability of tourism development), yang mensyaratkan:

1) Prinsip pengembangan yang berpijak pada keseimbangan aspek pelestarian dan pengembangan serta berorientasi ke depan (jangka panjang);

2) Penekanan pada nilai manfaat yang besar bagi bagi masyarakat setempat;

3) Prinsip pengelolaan assets/sumberdaya yang tidak merusak namun berkelanjutan untuk jangka panjang baik secara sosial, budaya, dan ekonomi;

4) Adanya keselarasan sinergis antara kebutuhan wisatawan, lingkungan hidup dan masyarakat lokal. Antisipasi dan monitoring terhadap proses perubahan yang terjadi akibat kegiatan pengembangan pariwisata;

5) Pengembangan pariwisata harus mampu mengembangkan apresiasi yang lebih peka dari masyarakat terhadap warisan budaya dan lingkungan hidup.

Oleh karena itulah, keberadaan suatu kawasan objek wisata perlu untuk selalu dipelihara, dirawat, diperbaiki, ataupun dikembangkan sehingga tetap menarik untuk dikunjungi, karena bila suatu kawasan kepariwisataan telah dirasakan masyarakat setempat sebagai miliknya sendiri dan berfungsi dalam kehidupannya, maka keberlanjutan kepariwisataan di daerah tersebut akan tetap dipelihara dan dijaga oleh masyarakat setempat. Hal ini mutlak harus dilakukan mengingat potensi pengembangan pariwisata di Indonesia yang sangat luar biasa yang meliputi warisan budaya bangsa yang kaya sebagai


(30)

aset kunci, seperti sejarah keagamaan, seni, kerajinan, musik dan tari, dan gaya hidup tradisional di berbagai daerah; bentangan alam yang indah, meliputi gunung berapi dan daerah pegunungan, pulau-pulau dan lingkungan bahari, pantai maupun hutan hujan; letaknya yang dekat dengan pasar-pasar pertumbuhan di Asia, seperti Singapura, Jepang, Hongkong, Korea dan Cina untuk jangka panjang; penduduk yang sangat besar jumlahnya dan semakin kaya, akan membentuk pasar domestik yang menunjang perkembangan pariwisata; serta tenaga kerja yang besar dan relatif murah, dan dengan demikian dapat menghasilkan produk dengan harga yang dapat bersaing (Faulkner, 1997).

1.2 Perumusan Masalah

Sektor pariwisata merupakan sektor unggulan yang dapat memberikan kontribusi besar bagi penerimaan daerah, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peran aktif dan pelibatan masyarakat bersama Pemerintah Daerah dalam mengoptimalkan potensi sumberdaya pariwisata daerah secara terpadu dan berkesinambungan, sekaligus mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah dan pemberdayaan masyarakat.

Disamping itu, dengan memberikan kesempatan dan peluang yang sebesar-besarnya kepada masyarakat dalam mengelola jasa wisata alam diharapkan mampu meningkatkan manfaat objek dan daya tarik wisata alam, sehingga kegiatan pariwisata alam dapat membantu menunjang program pengentasan kemiskinan melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dalam rangka menjadikan pariwisata sebagai motor penggerak perekonomian daerah, sangat dibutuhkan campur tangan Pemerintah bersama-sama dengan masyarakat setempat dan pihak swasta untuk mengembangkannya. Perencanaan yang layak bagi pembangunan pariwisata saat ini sudah saatnya untuk dimulai mengingat banyak negara telah mengenali pariwisata sebagai komponen utama untuk melanjutkan pembangunan ekonomi, dan mereka mencari jalan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diharapkan dari pariwisata.


(31)

Dengan menyadari kekuatan potensi kepariwisataan Indonesia pada umumnya dan potensi daerah khususnya, maka sangat diperlukan terobosan bagi upaya pengembangan sektor pariwisata untuk dapat menggerakkan para pelaku kepariwisataan di daerah khususnya, yakni antara Pemerintah Daerah, masyarakat setempat dan pihak swasta.

Bertolak dari alur pemaparan yang disampaikan, maka lebih khusus lagi dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: “Bagaimana perencanaan yang harus dilakukan dalam rangka Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat Sumatera Utara?”

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini ialah:

1. Mengetahui kebijakan Pembangunan Pariwisata yang telah dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Langkat, terrutama terhadap kawasan Tangkahan,

2. Menganalisis pengembangan ekowisata berbasis komunitas, agar dapat diidentifikasi adanya isu-isu strategis yang perlu direspon melalui perumusan Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Tangkahan Kabupaten Langkat secara komprehensif melalui proses partisipatif, dengan memperhatikan sensitifitas ekosistem, potensi sumberdaya alam, optimalisasi peran serta masyarakat.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil studi ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi para pembacanya, memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kepariwisataan, pemberdayaan masyarakat, setidaknya mereka yang tertarik untuk mengamati dan mempelajarinya secara lebih mendalam masalah pariwisata alternatif--ekowisata.


(32)

Hasil studi ini juga diharapkan bermanfat dan dapat menjadi informasi (input) bagi para perencana dan pengambil keputusan strategis dalam menata kebijakan pengembangan ekowisata berbasis komunitas, bagi Pemerintah dan bagi masyarakat setempat sebagai pemilik daerah objek wisata tersebut.

Dengan perencanaan yang baik serta strategi pengembangan yang terarah dan jitu, maka kawasan objek wisata yang memiliki potensi-potensi kepariwisataan seperti lingkungan alam, budaya dan tradisi kehidupan masyarakat setempat dapat berjalan harmonis berkelanjutan dengan kualitas yang dapat diandalkan dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat dalam kancah kepariwisataan baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.


(33)

Gamabar 1 : Palang Selamat Datang Kawasan Ekowisata Tangkahan ( dok. Pribadi)


(34)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pariwisata Alternatif dan Ekowisata

Masalah perencanaan yang layak bagi pembagunan pariwisata saat ini memiliki matra yang bersifat nasional dan internasional. Pada tingkat nasional, banyak negara di dunia ini telah mengenali pariwisata sebagai komponen utama untuk melanjutkan pembangunan ekonomi Negara dan mereka mencari jalan untuk meningkatkan keuntungan yang tampaknya dapat diharapkan dari pariwisata.

Pada tingkat internasional, aliran pariwisata antar Negara merupakan bagian terbesar dari kegiatan pariwisata, sebagai contoh misalnya, Indonesia dan Australia merupakan Negara yang giat membangun industri pariwisatanya atas nama pembangunan ekonomi nasional, dan perlu diketahui bahwa kegiatan pariwisata di kedua Negara tersebut sangat bergantung kepada daya tarik sumberdaya alamnya yang unik, namun di banyak tempat sumberdaya alam tersebut terancam oleh wisatawan yang besar jumlahnya yang datang mengunjunginya secara massal.

Oleh karena itulah sangat dibutuhkan penyusunan kebijaksanaan mengenai perencanaan perluasan pariwisata di masa yang akan datang, semisal mengenai cara yang terbaik untuk menyeimbangkan pembangunan pariwisata dengan sumberdaya alam dalam pembangunan perekonomian nasional. Dalam kekhawatiran itu pulalah muncul berbagai isyu kebijakan dalam perencanaan pembangunan pariwisata yaitu bagaimana dapat direncanakan suatu pembangunan pariwisata yang berkelanjutan, dan kegiatan yang bergerak ke arah pariwisata alternatif.

Pembangunan pariwisata yang berkelanjutan pada intinya berkaitan dengan usaha menjamin agar sumberdaya alam, sosial dan budaya yang kita manfaatkan untuk pembangunan pariwisata dalam generasi ini dilestarikan untuk generasi yang akan datang.

Sementara hal ini cenderung menjadi bahan perbincangan utama mengenai isu pembangunan pariwisata yang berkelanjutan, keberlanjutan kegiatan pariwisata di suatu daerah ternyata juga


(35)

tergantung kepada kelangsungan hidup dunia perdagangannya. Dengan perkataan lain, boleh dikatakan bahwa tak ada manfaatnya segala upaya menetralkan dampak yang negatif terhadap lingkungan alam, sosial dan budaya dari kegiatan pariwisata apabila kita kehilangan wawasan akan perlunya kegiatan ini menghasilkan manfaat ekonomi, dan yang lebih penting lagi, manfaat itu harus disebarkan secara merata di antara penduduk kawasan.

Dalam pengembangan pariwisata alternatif, konsep pembangunan berkelanjutan merupakan konsep alternatif yang mencakup usaha untuk mempertahankan integritas dan diversifikasi ekologis, memenuhi kebutuhan dasar manusia, terbukanya pilihan bagi generasi mendatang, pengurangan ketidakadilan dan peningkatan penentuan nasib sendiri bagi masyarakat setempat.

Menurut Schouten (1992), hal yang melatarbelakangi munculnya konsep pembanguan berkelanjutan adalah sebagai “the central concept behind sustainable development is that”. Lingkungan kebudayaan (cultural enveiroment) kini mengalami tekanan yang sangat berat, sama halnya dengan yang dialami oleh lingkungan alam (natural environment). Warisan budaya manusia kini berada di posisi yang cukup berbahaya dan memprihatinkan, dan semua tekanan yang dialami ini bukan semata– mata disebabkan oleh pesatnya industri pariwisata saja, melainkan juga disebabkan oleh berbagai faktor seperti urbanisasi, peningkatan pertumbuhan penduduk dunia yang begitu pesat, masuknya industri teknologi yang berada di luar kontrol (uncontrolled), maupun karena perubahan infrastruktur yang begitu cepat terjadi dibanyak Negara di dunia ini.

Menghadapi kenyataan ini, para cendikiawan, pencinta lingkungan, tokoh masyarakat dan banyak pihak lain, mencoba memberi jalan keluar yang dapat mencegah atau meminimalkan dampak negatif pembangunan yang telah berlangsung, pembangunan yang kurang memperhatikan semua warisan sumberdaya alam dan budaya manusia, yang hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi semata. Pendekatan pembangunan yang berkelanjutan bertujuan untuk menghentikan disintegrasi, mengupayakan dan menyediakan pilihan budaya sebanyak–banyaknya bagi generasi yang akan datang.


(36)

Namun begitu, pendekatan pembangunan yang berkelanjutan tidak bermaksud untuk menghentikan pembangunan dan inovasi yang ada di dalam masyarakat. Pendekatan pembangunan yang berkelanjutan hanya berupaya untuk mengawasi pembangunan agar lebih memperhatikan kemungkinan– kemungkinan yang harus dihadapi generasi yang akan datang dengan bercermin ke masa lalu (Schouten 1992).

Masih menurut Schouten, dalam pendekatan pembangunan yang berkelanjutan, tiga elemen kunci yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan dalam pengembangan pariwisata yakni :

1. Quality of the experience ( outtomers )

2. Quality of the resources ( culture and natural envirament ) 3. Quality of life ( for local people ).

Keserasian dan keharmonisan ketiga elemen tersebut mencerminkan apa yang menjadi dasar dari falsafah pembangunan yang berkelanjutan, sebagaimana digambarkan Schouten (1992).

Quality of life

-Integration in society -Economi viability -Social imoact

Quality of experience Quality of the resources -Uniquueness - Integrity

-Curiousity - Capacity -Imagination - Preservation


(37)

Pengembangan pariwisata alternatif memang harus menggunakan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan, karena sumberdaya alam, lingkungan dan budaya yang terpelihara dan terjaga kualitasnya merupakan potensi dan modal utama yang dapat menarik wisatawan.

Dengan pengembangan pariwisata yang berkelanjutan, diharapkan hubungan ketiga elemen pariwisata yaitu masyarakat setempat, wisatawan dan sumber daya alam dapat berjalan seimbang dan harmonis serta terjaga kualitasnya.

World Commission on Environment and Development (WCED 1987 dalam: Nash 1996)

mengatakan bahwa, “Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of the future generation to meet their own needs“.

Secara lebih jelas prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang dituliskan dalam laporan World Tourism Organization ( WTO, 1993 ) adalah sebagai berikut :

1. Ecological sustainability ensures that development is compatible with the maintenance of essential ecological process, biological diversity and biological resources.

2. Social & cultural sustainability, ensures that development increases people’s control over their lives, is compatible with the culure and valves of people affected by it, and maintans and strengthens community indentity.

3. Economic sustainability, ensores that development is economically efficient and that resources are managed so that they can support future generations.

Konsep pembangunan berkelanjutan memang sangat mewarnai pembangunan kepariwisataan yang dikenal sebagai pembangunan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourisun

development), dan selalu pula disamakan dengan pariwisata alternatif. Eadington dan Smith

memberikan defenisi “form of tourism that are consistent with natural, social and worth while interaction and shared experiences“ (dalam Pitana 2001).


(38)

Pembangunan pariwisata yang berkelanjutan pada perinsipnya selalu menjaga keberlanjutan kualitas pengalaman wisatawan, kualitas hidup masyarakat lokal dan juga kualitas lingkungan sumberdaya alam. Pembangunan pariwisata yang berkelanjutan menekankan tujuan dan kerjasama antara wisatawan, masyarakat setempat dan daerah tujuan wisata, untuk saling melengkapi satu sama lain. Kontinuitas sumberdaya alam dan budaya masyarakat setempat dapat berjalan seiring dengan kepuasan wisatawan dan keharmonisan di antara industri pariwisata, pecinta lingkungan dan masyarakat lokal.

Dalam pariwisata yang berkelanjutan, kebutuhan masyarakat setempat adalah hal yang utama untuk diperhatikan, baik dalam perencanaan maupun manajemen kepariwisataan. Dampak negatif kepariwisataan harus diupayakan agar tidak merusak tatanan kehidupan sosial dan budaya masyarakat lokal, karena kualitas pengalaman wisatawan juga sangat tergantung pada kehidupan sosial dan budaya yang terdapat pada kawasan objek wisata tersebut.

World Taurism Organization (1999) menyarankan prinsip pokok pariwisata berkelanjutan yang sebaiknya diperhatikan dalam pengembangan pariwisata altrnatif yakni :

1. Tourism planning, development and operation should be part of conservation or sustainable

depelopment strategies for a region, a province (state) or nation. Tourism planning, development and operation shouldbe crossectoral and intergrated, involving government agencies, private corporations, citizens groups and individual thus providing the widest possible benefits.

2. Tourism should be planned and managed in a sustainable manner, with due regard for the

protection and appropriate economic uses of the natural and human environment in host areas. 3. Tourism should be undertaken with equity in mind to distribute fairly benefits and costs among

tourism promoters and host people and areas.

4. Good information, research and communication on the nature of tourism and its effects on the


(39)

for the local people, so that they can participate in and influence the direction of development and its effects as much as possible, in the individual and collective interest.

5. Local people should be encouraged and expected to undertake leadership roles in planning, and

development with the assistance of government, bussines, financial and other interests.

6. Intergrated environmental, social and economic planning analysis should be undertaken prior to

the commencement of any mayor projects, with careful consideration given to different types of tourism development and the ways in which they might link with existing uses, ways of life and environmental considerations.

7. Throughout all stages of tourism development and operation, a careful assessment monitoring and mediation program should be conducted in order to allow local people and others to take advantage of opportunities or to respond to changes.

Secara teoritis, pembangunan pariwisata berkelanjutan dapat tercapai kalau pemanfaatan sumberdaya tidak melampaui kemampuan regenerasi sumberdaya tersebut, dan keterlibatan masyarakat lokal dianggap sebagai prasyarat multak untuk tercapainya pembangunan berkelanjutan (Woodley 1993, dalam Pitana , 2001).

Konsep-konsep pembangunan yang berkelanjutan, pariwisata alternatif maupun pengembangan pariwisata yang berbasis masyarakat, selalu menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat lokal secara penuh, mulai dari perencanaan, pengelolahan, pengawasan dan pemanfaatan keuntungan ekonomi yang diperoleh dari keberadaan pariwisata di daerahnya, disamping skalanya yang kecil dan tidak melebihi daya tampung (carriying capacity) kawasan tersebut.

Pengembangan ekowisata yang mensejahterakan masyarakat, yang menempatkan masyarakat sebagai subjek pembangunan merupakan pengembangan kepariwisataan yang relevan diprioritaskan saat ini, sehingga masyarakat tidak hanya belajar ketrampilan untuk pengelolaan berbagai usaha pariwisata, tapi juga lebih memahami tentang lingkungan. Dengan demikian pembangunan pariwisata


(40)

yang dilakukan tidak hanya memberikan keuntungan dan kemajuan bagi kepariwisataan itu saja, tetapi lebih jauh masyarakat juga akan lebih memahami dan menyadari tentang lingkungan dan beragam budaya manusia yang berbeda antara satu dengan yang lainya. Dengan demikian pembanguan pariwisata yang dilakukan tidak hanya akan memberikan keuntungan dan kemajuan bagi kepariwisataan itu saja, tapi juga untuk mencapai berbagai tujuan lainnya (Ardika , 2001)

International Union for the Conservation of Nature. (IUCN), United Nations Enviroment

Programme ( UNEP ), dan World Wildlife Fund (WWF) pada tahun 1980 mengeluarkan sebuah strategi

konservasi dunia ( world conservation strategy) untuk mencapai tiga tujuan pokok , yaitu : 1. Mempertahankan proses-proses ekologi yang esensial dan system pendukungnya 2. memelihara keanekaragaman genetik

3. menjamin kegunaan ekosistem dan spesiesnya secara berkelanjutan.

Pada tahun 1987, Komisi Sedunia Tentang Lingkungan Hidup dan Pembanguan (World

Commission on Enviroment and Development) yang banyak dikenal sebagai komisi Brundlandt,

menyatakan argumentasinya bahwa linkungan dan pembagunan masa kini yang terjadi tidak berkelanjutan dan bahwa diperlukan tindakan-tindakan baru yang menjamin berkelanjutan dunia untuk masa mendatang.

Sebagai tema sentral, komisi Brunlandt mendefinisikan istilah Sustainable Development sebagai “pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka“ (Soemarwoto, 2001)

Kritik-kritik terhadap definisi Sustainable Development ini lebih menyangkut pada ketepatan interpretasi dari pengertian tersebut. Eckholm (1982) menyatakan : “Sustainable Development may beson as economis growth that is ecologically sustainable and satisfies the essential needs of the Underclass”. Kontrakdisi dalam istilah sustainable development yang memadukan kata “kebelanjutan“ (sustainable) dan “pembangunan“ (development) membuat ini bisa jadi hanya sebagai slogan saja.


(41)

Menurut Grundy (1993) konsep Sustainable Development merupakan “ a new Set of valdes,

beliefs and assumptions” Bagi Grundy, paradigma yang dimunculkan ini melihat masalah kemanusiaan

dan lingkungan alam bukan sebagai dua hal yang terpisah. Sebagai hasilnya, Sustainable Development dapat meningkatkan status sosial dan tetap menjamin berkelanjutan lingkungan untuk generasi mendatang. Secara spesifik Grundy menyebutkan bahwa konsep Sustainable Development terdiri dari tiga elemen system yang menyangkut:

1. Keberlanjutan ekologi 2. Keberlajutan sosial , dan 3. Keberlajutan ekonomi.

Konsep Sustainable Development kemudian oleh Burns dan Holden (1997) diadaptasi untuk bidang pariwisata sebagi sebuah model yang mengintergrasikan lingkungan fisik (place) linkungan budaya ( host community) dan wisatawan (visitor)

Gambar 3 : Model untuk Sustainable Tourism Development ( Sumber : Burns & Holden , 1997 )

Adapun prinsip-prinsip yang menjadi acuan dalam Sustainable Tourism Development ini menurut Burns & Holden terdiri dari :


(42)

1. Lingkungan memiliki nilai hakiki yang juga bisa sebagai asset pariwisata. Pemanfaatannya bukan hanya untuk kepentingan pendek, namun juga untuk kenpentingan generasi mendatang.

2. Pariwisata harus diperkenalkan sebagai aktifitas yang positif dengan memberikan keuntungan bersama kepada masyarakat, lingkungan dan wisatawan itu sendiri.

3. Hubungan antara pariwisata dan lingkungan harus dikelola sehingga lingkungan tersebut berkelanjutan untuk jangka panjang. Pariwisata harus tidak merusak sumberdaya, masih dapat dinikmati oleh generasi mendatang atau membawa dampak yang dapat diterima.

4. Aktifitas pariwisata dan pembangunan harus peduli terhadap skala/ ukuran alam dan karakter tempat kegiatan tersebut dilakukan.

5. Pada lokasi lainnya, keharmonisan harus dibangun antara kebutuhan-kebutuhan wisatawan, tempat/ lingkungan , dan masyarakat lokal.

6. Dalam dunia yang dinamis dan penuh dengan perubahan, dapat selalu memberikan keuntungan . Adaptasi terhadap perubahan, bagaimanapun juga, jangan sampai keluar dari prinsip-prinsip ini. 7. Industri pariwisata, pemerintah lokal dan lembaga swadaya masyarakat, pemerhati lingkungan,

semuanya memiliki tugas untuk peduli pada prinsip-prinsip tersebut di atas dan kekerja bersama untuk merealisasikannya.

Bentuk pariwisata seperti yang biasa dikenal hingga saaat ini --- yang sering disebut pariwisata modern --- bermula dari suatu bentuk kegiatan wisata yang dipelopori oleh Thomas Cook yang menyelengarakan suatu inclusive tour pada tahun 1841, dan diikuti oleh 570 orang peserta berkat upaya promosi yang dilakukan melalui iklan.

Keberhasilan Thomas Cook ini kemudian ditiru oleh orang-orang lain dengan mendirikan perusahaan-perusahaan perjalanan (tour operator), yang menyelengarakan berbagai paket wisata (packaged tours) dan berkembang menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia, dan Thomas Cook dijuluki sebagai Bapak atau Arsitek Pariwisata Modern. Namun, dengan munculnya


(43)

bentuk-bentuk pariwisata alternatif, pariwisata modern yang telah berusia lebih dari satu setengah abad itu kemudian disebut pariwisata konvensional.

Pada dekade belakangan ini industri pariwisata (konvensional) ternyata telah mulai berubah secara radikal. Perubahan yang terjadi berasal dari karakteristik wisatawan yang berpergian ke daerah tujuan wisata yang sudah berkembang atau yang baru, maupun oleh karakteristik peristiwa budaya, kawasan dan hal-hal lain sebagai komponen penyediaan dalam upaya menarik wisatawan.

Perbedaan antara pariwisata lama dan pariwisata baru seperti yang dinyatakan oleh Poon (dlm. Faulkner, 1997) terletak pada karakteristik konsumennya, cara pengelolaanya saat ini, teknologi yang diterapkan, dan proses produksi yang membuat pariwisata lama menjadi bentuk yang dikemas secara baku dan kaku, sementara pariwisata baru mengarah ke kelompok yang lebih kecil, lebih luwes dan lebih mandiri.

Perubahan pariwisata yang lain ialah pola ruangnya, arus wisatawan ke Negara berkembang maningkat lebih pesat dari sebelumnya dan juga lebih cepat dari perubahan arus wisatawan ke negara maju. Arus dari negara maju ke negara maju telah menurun secara proporsional pada sepuluh tahun terakhir ini, karena semakin kuatnya minat wisatawan akan budaya asli daa alam yang murni. Perubahan bentuk pariwisata yang dimksud adalah munculnya pariwisata alternatif yang oleh Edington dan Smith diberi batasan sebagai ”Bentuk pariwisata yang konsisten dengan nilai-nilai alam, sosial dan masyarakat yang memungkinkan baik tuan rumah maupun pengunjung untuk menikmati interaksi yang positif dan berarti dan saling membagikan pengalamannya” (Gunawan, 1997).

Pariwisata alternatif merupakan bentuk oposisi dari pariwisata konvensional/ masal. Menurut Wearing dan Neil (2000) pariwisata alternatif didefenisikan sebagai bentuk-bentuk pariwisata yang menaruh perhatian dan konsisten terhadap alam, sosial dan nilai-nilai kemasyarakatan, dan memberikan kesempatan wisatawan dan penduduk lokal untuk berinteraksi dan menikmatinya secara positif dan saling tukar pengalaman.


(44)

Gambar 4: Tipe Pariwisata & Ragamnya ( Wearing dan Neil , 2000 )

Dari karakteristik yang digambarkan di atas dapat dilihat bahwa ekowisata adalah salah satu bentuk dari pariwisata alternatif. Dalam istilah yang paling sederhana, ekowisata dapat digambarkan sebagai kegiatan wisata dengan dampak yang minimal, koservasi, bertanggung jawab dan apresiatif terhadap lingkungan dan budaya masyarakat yang dikunjungi.

Sementara itu para pemerhati/pakar lingkungan mulai menyadari bahwa upaya-upaya menjaga kelestarian lingkungan tidak akan efektif jika tidak didukung oleh masyarakat luas, khususnya penduduk setempat, dan penduduk setempat akan mendukungnya jika mereka juga dapat memperoleh manfaat dari lingkungan yang lestari tadi, sehingga kesejahteraan hidup mereka bisa meningkat.

Sehubungan dengan itu pada tahun 1993, The Ecotourism Society memberi rumusan defenisi yang bersifat pro-aktif tentang pengertian ecotourism, yaitu ecotourism is responsible travel to natural

areas which conserves the environment and improves the welfare of local people. Selanjutnya The

Ecotourism Society menetapkan delapan prinsip pengembangan ekowisata, yaitu:

1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penamggulangan disesuaikan dengan sifat karakter alam dan budaya setempat.


(45)

2. Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam.

3. Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelolaan kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam.

4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan pengembangan ekowisata. Demikian pula didalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif.

5. Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam.

6. Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan, termasuk pengembangan fasilitas dan ulititas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam, mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat.

7. Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunganlah yang membatasi.

8. Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara. Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa dan belanja wisatawan didorong sebesar-besranya, dan dinikmati oleh Negara atau Negara bagian atau pemerintah daerah setempat. Dalam pekembangannya bentuk ekowisata ini berkembang karena banyak digemari oleh wisatawan.Wisatawan ingin berkunjung ke area yang alami, yang dapat menyiptakan kegiatan bisnis. Ekowisata kemudian didefinisikan sebagai bentuk baru dari perjalanan bertanggung jawab dan


(46)

berpetualang ke area alami, yang dapat menciptakan industri pariwisata (Eplerwood, 1999). Sementara itu Kodhyat , (1997) mengatakan bahwa :

Ekowisata merupakan salah satu bentuk wisata alternatif yang mencakup perjalan ke daerah alami yang masih belum cemar dengan tujuan khusus hendak mempelajari, mengagumi, dan menikmati pemandangan alam serta flora, fauna dan hidupan lainnya. Ekowisata dikembangkan berdasarkan prisip hendak melestarikan lingkungan alam dan budaya serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang menjadi tuan rumahnya”

Pengembangan pariwisata alterantif seperti ekowisata semestinya dilakukan dengan pendekatan yang memperhatikan perubahan persepsi tentang pariwisata, kriteria pengembangan pariwisata, pelestarian lingkungan, pembangunan yang berkelanjutan, serta mengindahkan amanat yang tercantum dalam GBHN 1993.

Konservasi sebagai azas ekowisata merupakan prinsip yang penting dalam visi ekowisata, ditambah dengan upaya pemberdayaan masyarakat dan pengembangan untuk merumuskan misi. Sementara misi ekowisata yang dapat dijabarkan yakni melestarikan alam dengan mengkonservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, penciptaan lapangan kerja setempat, pengembangan ekonomi kerakyatan, meningkatkan pendapatan lokal , regional dan nasional secara berkeadilan.

Strategi bagi pengembang ekowisata ditentukan berdasarkan ekosistem dan kesatuan pengelolaan, serta mengupayakan pengembangan berkesinambungan antara ekosistem daratan dan perairan dalam menciptakan kelestariannya. Muara dari strategi ini adalah menetapkan program pembangunan ekowisata yang berazaskan keterpaduan dalam pelestarian dan pemanfaatan, berkeadilan, perberdayaan masyarakat lokal, keharmonisan dan berwawasan lingkungan. Penjabarannya yang lebih lanjut ialah dengan menetapkan proyek pembangunan yang berbasis pada komunitas.


(47)

MISI

PENGEMBANGAN EKOWISATA - Konservasi alam

- Pemberdayaan masyarakat dalam lapangan usaha kerja dan ekonomi kerakyatan

- Penghasilan nasional, regional, lokal secara berkeadilan

STRATEGI

PENGEMBANGAN EKOWISATA

- Strukturisasi kewilayahan berdasarkan ekosistem dan kesatuan pengelolaan

- Pengembangan berkesinambungan ekosistem daratan dan perairan - Meningkatkan kualitas dan fungsi pelestarian dalam kawasan hutan

PROGRAM

PENGEMBANGAN EKOWISATA

- Keterpaduan pelestarian dan pemanfaatan kawasan hutan sebagai produk ekowisata

- Pengembangan ekowisata berkeadilan skala local, regional, nasional

- Pemberdayaan masyarakat lokal

- Keharmonisan masyarakat dan lingkungan - Pengembangan pemasaran terpadu

VISI

PENGEMBANGAN EKOWISATA - Konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya - Pemberdayaan masyarakat lokal

Gambar 5: Visi,Misi dan Perencanaan Nasional Pengembangan Ekowisata (Sumber: Fandeli,2000)


(48)

Gambar 6 : Atraksi Gajah di Kawasan Ekowisata Tangkahan (Sumber : LPT)

Gambar 7 : Tangkahan dari atas (Sumber LPT)


(49)

Konsep ekowisata dinilai cocok utuk dikembangan di Indonesia, dengan beberapa alasan yang melandasinya, pertama; Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati dan ekowisata bertumpu pada sumberdaya alam dan budaya sebagai atraksi. Kedua; menitikberatkan pada pelibatan masyarakat, karena sesuai dengan karakter Indonesia yang memiliki jumlah penduduk besar.

Dalam konteks ekowisata maka sumberdaya alam dipandang sebagai aset yang memiliki nilai, baik secara ekonomi maupun ekologi, sehingga kegiatan-kegiatan yang dilahirkan akan bersifat nonekstraktif. Pendekatan yang kemudian muncul dan harus digunakan para pengembang adalah yang bersifat simbiotik, dimana para pelaku berinteraksi positif dengan kawasan yang dikelolanya dan bukan bersifat parasitik, seperti yang banyak terlihat pada pengelolaan kawasan parawisata di Indonesia.

Berikut dikemukakan juga prinsip pengembangan ekowisata dan kriteria ekowisata yang disusun oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia bekerjasama dengan

Indonesian Ecotourism Network (INDECON), yang secara konseptual menekankan tiga prinsip dasar,

yaitu:

A. Prinsip Konservasi: Pengembangan ekowisata harus mampu memelihara, melindungi atau berkontribusi untuk memperbaiki sumberdaya alam.

B. Prinsip Partisipasi Masyarakat: Pengembangan harus didasarkan atas musyawarah dan persetujuan masyarakat setempat serta peka dan menghormati nilai-nilai sosal-budaya dan tradisi keagamaan yang dianut masyarakat di sekitar kawasan.

C. Prinsip Ekonomi: Pengembangan ekowisata harus mampu memberikan manfaat untuk masyarakat, khususnya setempat, dan menjadi pengerak pembangunan ekonomi di wilayahnya untuk memastikan bahwa daerah yang bangunan yang seimbang (balanced development) antara kebutuhan pelestarian lingkungan dan kepentingan semua pihak.


(50)

D. Prinsip Edukasi: Pengembangan ekowisata harus mengadung unsur pendidikan untuk mengubah perilaku atau sikap seseorang menjadi memiliki keperdulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan dan budaya.

E. Prinsip Wisata: Pengembangan ekowisata harus dapat memberikan kepuasan dan memberikan pengalaman yang orisinil kepada pengunjung, serta memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan.

A. Prinsip Konservasi

Memiliki kepedulian tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan (alam dan budaya), serta melaksanakan usaha yang bertanggung jawab dan secara ekonomi berkelanjutan. a. Prinsip Konservasi Alam

Prinsip konservasi alam diartikan sebagai memiliki keperdulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian alam serta pengembangan harus mengikuti kaidah ekologis.

a) Kriteria Konservasi Alam

Konservasi Alam memiliki tujuh kriteria, yakni :

1. Memperhatikan kualitas daya dukung lingkungan daerah tujuan ekowisata (DTE) , melalui pelasanaan pemintakatan ( Zonasi)

2. Mengelolah dan menciptakan kegiatan wisata yang berdampak rendah dan ramah lingkungan.

3. Menyisihkan hasil keuntungan untuk kegiatan konservasi DTE dan meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia setempat.

4. Menjaga kualitas lingkungan DTE melalui pengelolaan pengunjung, sarana dan fasilitas.

5. Mengembangkan kegiatan interpretasi untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi para pelaku dan pengunjung terhadap lingkungan alam dan budaya.


(51)

6. Melakukan monitoring kegiatan untuk meminimumkan dampak negatif yang ditimbulkan.

7. Mengelola usaha secara sehat.

b. Prinsip Konservasi Budaya

Konservasi Budaya memiliki prinsip peka dan menghormati nilai-nilai sosial-budaya dan tradisi keagamaan masyarakat setempat.

b) Kriteria Konservasi Budaya

Konservasi Budaya memiliki tiga kriteria, yakni :

1. Melakukan penelitian dan mengenakan aspek-aspek sosia-budaya masyarakat setempat sebagai bagian terpadu dalam proses perencanaan dan pengelolaan ekowisata.

2. Melakukan pendekatan, meminta saran-saran dan mencari masukan dari tokoh/pemuka masyarakat setempat pada tingkat paling awal sebelum memulai langkah-langkah dalam proses pengembangan ekowisata.

3. Menerapkan kode etik ekowisata bagi wisatawan, pengelola dan pelaku usaha ekowisata, yang sesuai dengan nilai-nilai sosial-budaya dan tradisi setempat.

B. Prinsip Partisipasi Masyarakat

Perencanaan dan pengembangan harus melibatkan masyarakat secara optimal melalui musyawarah dan mufakat masyarakat setempat.

a. Kriteria


(1)

2. Pengembangan akomodasi wisata yang ditempatkan pada masing-masing zonasi dengan tetap mempertimbangkan tata nilai, sosial budaya dan kelestarian lingkungan

3. Pengembangan akomodasi yang dikonsentrasikan pada suatu lokasi tertentu yang dianggap sangat strategis.

Pengembangan dengan model ini memang membutuhkan investasi yang relatif besar, memerlukan lahan baru, namun lebih mudah dalam menyediakan sarana dan prasarana karena terkonsentrasi pada satu kawasan serta memungkinkan akulturasi budaya lebih kecil/rendah.

4. Pengembangan kampung/desa dan perumahan penduduk.

Pengembangan kawasan Tangkahan diharapkan akan menjadi daerah industri ekowisata yang maju dengan pesat, oleh karena itu diperhitungkan bahwa perkembangan penduduk lokal maupun penduduk pendatang di kawasan wisata Tangkahan akan semakin kompleks. Berdasarkan pengamatan tersebut besar kemungkinan perkampungan pemukiman penduduk sebaiknya dipersiapkan sebagai kampung/desa wisata sebagai bagian dari paket wisata lingkungan. Oleh karena itu perlu direncanakan dengan baik konsep pengembangan desa wisata di kawasan ekowisata Tangkahan sebagai berikut: a. Pemanfaatan konsep desa tradisional dengan keunikan/kekhasan identitas etnik Karo

b. Pemanfaatan konsep rancang bangun rumah penduduk melalui adaptasi konstruksi bangunan tradisional etnik Karo, dan didasari dengan prinsip-prinsip rumah sehat dan ramah lingkungan.


(2)

BAB VI PENUTUP

6.1 SIMPULAN

a. Ekowisata merupakan salah satu bentuk wisata alternatif yang mencakup perjalanan ke daerah alami yang masih belum cemar dengan tujuan khusus hendak mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan alam dengan flora dan faunanya serta hidupan liarnya.


(3)

b. Pengembangan kawasan Tangkahan Kabupaten Langkat sebagai objek ekowisata sangat beralasan mengiingat kawasan Tangkahan sebagai bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang sebagain wilayahnya masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) memiliki sumberdaya alam, sumberdaya budaya, sumberdaya lingkungan dan sumberdaya manusia yang sangat potensial sebagai modal pengembangannya. Pengembangan ekowisata di kawasan Tangkahan perlu direncanakan dengan secermat-cermatnya mengingat multiplier effect ekonomi yang ditimbulkannya sangat signifikan untuk memantapkan sumbangan ekonominya pada pendapatan daerah dan peningkatan pendapatan masyarakat, maupun sebagai sarana promosi daerah di kancah kepariwisataan nasional dan bahkan internasional (global tourism).

c. Pengembangan ekowisata berbasis komunitas di kawasan Tangkahan perlu direncanakan dengan pendekatan Pengembangan Kepariwisataan Berbasis Komunitas (Tourism Based Community Development) karena konsep yang mengedepankan pelibatan masyarakat ini bertumpu pada pengelolaan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan (ecological sustainability), berkelanjutan secara sosial budaya (social and cultural sustainability) dan berkelanjutan secara ekonomi (economic sustainability) yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan generasi saat ini tanpa merugikan generasi yang akan datang

d. Perencanaan pengembangan ekowisata berbasis komunitas di kawasan Tangkahan harus pula dilakukan berdasarkan daya dukung kawasan sesuai dengan pembagian zonasi kawasan. Hal ini dilakukan karena zonasi kawasan merupakan aspek manajemen kawasan yang berhubungan dengan kepekaan suatu kawasan, objek dan atraksi wisata serta tingkat kunjungan maksimal yang disarankan.


(4)

dengan kebutuhan dan persepsi ditingkat masyarakat. Adapaun penetapan zonasi kawasan adalah Zonasi Intensif, Zonasi Semi Intensif, Zonasi Ekstensif Primer dan Zonasi Ekstensif Sekunder.

e. Pengembangan ekowisata berbasis komunitas di kawasan Tangkahan direncanakan mampu menawarkan produk/kegiatan wisata yang dikategorikan ke dalam dua bentuk yakni wisata alam dan wisata budaya, seperti : wisata pendidikan/konservasi, wisata jalan kaki dan bersepeda, wisata petualangan dan pengamatan satwa liar, wisata agro, wisata tirta, berkemah, wisata budaya, pembuatan dan penjualan souvenir berciri khas setempat, pengobatan tradisional, maupun memperkenalkan cara hidup dan adat-istiadat masyarakat setempat

f. pengembangan fasilitas penunjang diharapkan mampu memberi kontribusi kepada masyarakat setempat sebagai bagian dari proses pemberdayaan masyarakat agar perencanaan pengembangan ekowisata berbasis komunitas yang dimulai dari inisiatif masyarakat setempat akhirnya memberi keuntungan bagi peningkatan kesejahteraan kehidupan masyarakatnya, yang konsisten menjaga, memelihara dan melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan, sumberdaya budaya serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.


(5)

6. 2 SARAN

a. Berkaitan dengan perubahan persepsi wisatawan yang semakin meningkat kepada kegiatan ekowisata, maka pihak pemerintah Kabupaten seyogiyanya dapat melakukan antisipasi sedini mungkin terhadap upaya pemberdayaan masyarakat lokal bagi pengembangan kawasan Tangkahan sebagai objek ekowisata. Oleh karena itu pemerintah Kabupaten diharapkan melakukan pembinaan secara serius terhadap masyarakat lokal yang selama ini diketahui telah melakukan inisiatif menjaga dan mengolah kawasan serta melestarikan Kawasan Hijau Tangkahan sebagai bagian dari Kawasan Ekonomi Leuser, sehingga pada saatnya nanti masyarakat dapat memberikan konstribusi yang besar dalam pembangunan kepariwisataan daerah.

b. Pemerintahan Kabupaten diharapkan memberi kesempatan dan kepercayaan yang seluas-luasnya kepada masyarakat lokal dalam setiap proses perencanaan dan pelaksanaan sampai pada tahap pengawasan dan evaluasi, terutama dalam hal pemerataan hasil untuk setiap komponen yang terlibat di seluruh kawasan pengembangan. Oleh karena itu Dinas Kebudayaan dan Pariwisat harus siap berperan sebagai fasilitator, katalisator dan pembina dalam upaya pengembangan kawasan Tangkahan sebagai objek ekowisata yang dapat diandalkan untuk menarik wisatawan lokal maupun mancanegara.

c. Pemerintah Kabupaten dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata diharapkan melakukan inisiatif upaya peningkatan sumberdaya manusia di tingkat lokal dalam hal pemahaman, persepsi, wawasan dan pengetahuan mengenai ekowisata. Disamping itu pengetahuan tentang upaya-upaya pengelolaan kawasan dengan prinsip pembangunan yang berkelanjutan merupkan pula upaya


(6)

d. Pemerintahan kabupaten bersama BAPPEDA dan badan Legislatif sudah saatnya mengagendakan Perencanaan Pengembangan Kawasan Tangkahan sebagai objek ekowisata dalam bentuk Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) maupun dalam bentuk Rencana Strategis Daerah Kabupaten Langkat, agar pada saat yang tepat nanti kawasan ekowisata Tangkahan Kabupaten Langkat dapat menjadi daerah tujuan ekowisata yang handal dan sohor.