Struktur Komunitas Amfibi di Kawasan Ekowisata Lau Bertu Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat Sumatera Utara

(1)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian

sumber: (http://www.google.com/earth/)

Keterangan:


(2)

Lampiran 2. Data spesies dan jumlah Amfibi yang Ditemukan Pada Lokasi Penelitian

a. Lokasi 1

No Spesies Plot sampling jumlah Plot yang

ditempati 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

1. Bufo asper 2 2 3 4 - 1 - 2 - - 3 5 - 2 - 7 - 2 6 - 39 12 2. Bufo divergens - 1 1 - - - - 2 1 2 - - 1 - 1 - - - 9 7 3. Bufo juxtasper - - - 1 - - - 1 2 - - - 4 3 4. Leptophryne borbonica 1 - - 1 - - - 3 - - - - 1 2 - 8 5 5. Fejervarya limnocaris - - - 1 - 2 - - - 3 2 6. Limnonectes blythii - - - 1 1 - - - 2 2 7. Limnonectes kuhlii - - - 1 1 1 1 1 - - - 5 5 8. Limnonectes macrodon - - - 1 - - - 1 1 9. Megophrys nasuta - - - 1 - - - 1 1

10. Huia sumatrana - 1 - - - 1 1

11 Rana chalconata 1 - - - - 1 - - 2 - - - - 1 - 2 4 - 3 2 16 8

12. Rana debussy 4 3 1 - - - 8 3


(3)

b. Lokasi 2

No Spesies Plot sampling jumlah Plot yang

ditempati 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

1. Bufo asper 3 - 1 2 1 - 1 - 1 2 - 1 1 - - - 1 - 2 - 16 11 2. Bufo divergens 1 - - - 1 - 1 - - - 1 - - 1 - 5 5 3. Bufo juxtasper - - - - 1 - - - - 2 - - - 3 2 4. Leptophryne borbonica 1 1 - 1 - - - 1 - - - 2 1 - - 2 - - 9 7 5. Fejervarya limnocaris - - - 1 - - 1 2 2 6. Limnonectes blythii 1 - 1 - - - 2 - 2 - - 1 7 5 7. Limnonectes kuhlii - - - 1 - - - 1 1 2 - - - 5 4 8. Leptobrachium hendricksoni - - - 1 - - - 1 1 9. Micohyla berdmorei - - - 1 1 - 1 - - - 3 3

10. Rana chalconata 2 2 3 - 2 6 5 - - 3 4 2 - 5 5 3 3 6 - 4 55 15

11 Rana hosii - - 5 5 - - - 1 - - - - 2 - 1 - 1 1 16 7


(4)

Lampiran 3. Data Faktor Fisik Kimia pada Lokasi Penelitian

No Parameter Lokasi 1 Lokasi 2

1. Suhu Udara (0C) 23 24,2

2. Suhu Air (0C) 22 22,5

3. Suhu Tanah (0C) 22,5 23

4. Kelembaban Udara (%) 96 89

5. pH Air 7,6 6,8

6. pH Tanah 5,8 6,6


(5)

Lampiran 4. Deskripsi Spesies Amfibi yang ditemukan 1. Famili Bufonidae

Bufo asper Gravenhorst, 1829 ( Phrynoidis aspera)

Deskripsi : kodok berukuran sedang 4-7 cm, bertubuh besar, kepala lebar, dan ujung moncong tumpul. Kelenjar paratoid terlihat jelas dan umumnya berbentuk lonjong. Bagian belakang biasanya terdapat bintik-bintik hitam. Ujung jari sedikit melebar. Jari belakang memiliki selaput renang hingga ke ujung. Tekstur kulit sangat kasar berbintil-bintil. Warna tubuh coklat tua sampai kehitaman.

Habitat : terdapat di sepanjang aliran tepi sungai .

Penyebaran : Myanmar, Thailand, Malaysia, dan Indonesia (Sumatera, Jawa Kalimantan, dan Sulawesi).


(6)

Bufo divergens Peter, 1871 (Ingerophrynus divergens)

Deskripsi : kodok berukuran kecil dan gemuk 3-5 cm. Terdapat sepasang lipatan garis lipatan memanjang antara mata. Kelenjar paratoid berbentuk memanjang dan meruncing ke belakang diikuti sebaris bintil-bintil kecil. Jari tidak memiliki selaput renang. Tekstur kulit kasar dan berbintil. Tubuh berwarna coklat keabu-abuan.

Habitat : hidup di hutan primer, sekunder hingga daerah terganggu.

Penyebaran : Thailand, Semenanjung Malaysia, Myanmar, Kamboja, Singapura dan Indonesia ( Sumatera, Jawa dan Kalimantan).


(7)

Bufo juxtasper Inger, 1964 (Phrynoidis juxtaspera)

Deskripsi : kodok berukuran besar 6- 12 cm. Badan lebar dengan tekstur kulit kasar berbintil. Kelenjar paratoid memanjang dari mata ke belakang. Pada bagian ujung jari melebar. Jari belakang berselaput hingga ke ujung. Tubuh berwarna coklat hingga kelabu tua.

Habitat : dapat hidup di berbagai tipe habitat hingga ketinggian 1.600 m. Penyebaran : Malaysia, Sumatera dan Kalimantan


(8)

Leptophryne borbonica Tschudi, 1838

Deskripsi : kodok berukuran kecil dan kurus 2-5 cm, berkaki panjang dan bermuncung pendek. Kelenjar paratoid tidak jelas. Pada bagian pertengahan dorsal terdapat tanda berbentuk jam pasir. Selaput renang tidak sampai ke ujung pada jari ketiga dan kelima. Tekstur kulit berbintik kasar terutama pada bagian sisi tubuh. Tubuh berwarna coklat keabuan. Paha berwarna kemerahan.

Habitat : terdapat di daerah yang basah, lebih banyak di daun atau rerumputan . Penyebaran : Thailand, Malaysia dan Indonesia (Sumatera, Jawa dan Kalimantan).


(9)

2. Famili Dicroglossidae

Fejervarya limnocaris Gravenhorst, 1829

Deskripsi : katak berukuran sedang 6-8 cm. Ujung jari depan tumpul dan tidak melebar. Ujung jari belakang runcing dengan selaput setengah tepat pada ruas terakhir. Tekstur kulit berkerut dan memiliki benjolan. warna kehijauan atau seperti lumpur dengan bercak lebih gelap. Pada bagian tengah dorsal biasanya terdapat jalur memanjang dengan warna lebih cerah.

Habitat : terdapat di rerumputan dan daerah terganggu.

Penyebaran : India, Brunei Darussalam, Jepang, China, Myanmar, Kamboja, Laos, Malaysia, Thailand, Filipina, Pakistan, Hongkong, Singapura, Sri Langka, Vietnam dan Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Sulawesi).


(10)

Limnonectes blythii Boulenger, 1920

Deskripsi : katak berukuran besar 8-14 cm dengan moncong tajam, kaki belakang panjang dan berotot. Terdapat bintil halus seperti huruf “W” pada punggung. Timpanum terlihat jelas. Lipatan supratimpanik terlihat jelas. Jari kaki berselaput penuh dengan ujung jari sedikit melebar. Tekstur kulit halus pada permukaan tubuh. Berwarna kecoklatan sampai kelabu.

Habitat : terdapat di hutan primer maupun sekunder

Penyebaran : Thailand, Semenanjung Malaysia, Vietnam, Laos, Kamboja dan Indonesia (Sumatera , Kalimantan, Pulau Anambas dan Pulau Natuna)


(11)

Limnonectes kuhlii Tschudi, 1833

Deskripsi : katak berukuran besar 6-9,5 cm, kepala lebar dan kaki berotot. Timpanun tidak terlihat jelas. Memiliki lipatan supratimpanik. Kaki belakang memilliki selaput penuh hingga ke ujung. Ujung jari sedikit melebar. Tekstur kulit keriput dengan bintil-bintil berbentuk bintang pada permukaan tubuh. Berwarna coklat dengan corak kehitaman.

Habitat : ditemukan di air yang tenang

Penyebaran : Semenanjung Malaysia, Cina dan Indonesia (Sumatera, Jawa, dan Kalimantan).


(12)

Limnonectes macrodon Dumeril & Bibron, 1841

Deskripsi : Katak berukuran besar 8-11 cm dengan kepala yang besar. Timpanum terlihat jelas, terdapat garis dari moncong hingga kloaka. Kaki belakang berselaput hingga penuh dengan ujung jari yang melebar. Tubuh bagian dorsal terdapat bercak-bercak berwarna coklat.

Habitat : hidup di hutan primer dan sekunder

Penyebaran : Semenanjung Malaysia dan Indonesia (Sumatera, Kalimantan dan Natuna Besar)


(13)

3. Famili Megophrydae

Leptobrachium hendricksoni Taylor, 1962

Deskripsi : katak berukuran sedang 7 cm dengan kepala besar, mata besar dan melotot. Lipatan supratimpanik sampai ke pangkal kaki depan. Kaki pendek dan hampir seluruh jari kaki tanpa selaput. Tekstur kulit halus berwarna coklat sampai kemerahan. Iris mata berwarna merah.

Habitat : ditemukan di tanah atau serasah pada sungai dengan arus sungai lambat Penyebaran : Semenanjung Malaysia, Thailand dan Indonesia (Sumatera dan Kalimantan).


(14)

4. Famili Microhylidae

Microhyla berdmorei Blyth, 1855

Deskripsi : katak berukuran kecil dan gemuk 2-3,5 cm, moncong membulat dan kaki belakang panjang. Timpanum tidak kelihatan. Jari belakang melebar kecuali jari keempat. Kaki belakang berselaput pada bagian dasar. Tekstur kulit halus berwarna coklat terang sampai keabuan. Memiliki motif coklat gelap dibagian antara mata dengan garis coklat gelap ke arah bawah bagian sisi tubuh.

Habitat : ditemukan pada genangan air tenang atau sungai berarus lambat. Penyebaran : Semenanjung Malaysia dan Indonesia


(15)

5. Famili Ranidae

Huia sumatrana Yang, 1991

Deskripsi : katak berukuran sedang, kaki ramping dan panjang. Jari kaki depan dan belakang dengan melebar dengan lekuk sirkum marginal. Tekstur kulit halus, berwarna coklat dengan bintik-bintik marmer.

Habitat : ditemukan di sekitar sungai berarus deras, jernih dan berbatu-batu. Penyebaran : Sumatera


(16)

Rana chalconata Boulenger, 1887 (Hylarana chalconata)

Deskripsi : katak berukuran kecil sampai sedang 3,5 – 5 cm. Timpanum jelas kelihatan. Kaki panjang dan ramping. Jari belakang berselaput renang penuh sampai ujung. Ujung jari melebar. Memiliki lipatan dorsolateral. Tekstur kulit halus, berwarna kehijauan.

Habitat : dapat ditemukan di hutan, di kebun yang teduh bahkan habitat terganggu.

Penyebaran : Thailand, Malaysia dan Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Sulawesi.


(17)

Rana debussy Van Kampen, 1909 (Hylarana debussy)

Deskripsi : katak berukuran sedang 4-6 cm, kepala panjang dan lebar, moncong membulat. Piringan kaki depan dan belakang kecil tapi jelas. Jari kaki belakang berselaput pada bagian dasar. Tekstur kulit berbintil-bintil halus berwarna coklat gelap sampai hitam pada bagian dorsal, putih keabuan pada bagian ventral. Memiliki lipatan dorsolateral terputus berwarna kekuningan.

Habitat : ditemukan di pinggiran sungai pada hutan dataran rendah. Penyebaran : Sumatera


(18)

Rana hosii Boulenger, 1891 (Odorrana hosii)

Deskripsi : katak berukuran sedang 3-10 cm dengan tubuh ramping. Memiliki lipatan dorsolateral. Timpanum jelas terlihat. Ujung jari melebar dengan piringan sendi jari yang besar dan jelas. Jari kaki belakang berselaput sampai ujung. Tekstur kulit halus dengan warna kehijauan sampai kecoklatan.

Habitat : ditemukan pada perairan jernih, hinggap di atas bebatuan atau pohon kecil

Penyebaran : Thailand, Malaysia, dan Indonesia (Sumatera, Jawa dan Kalimantan).


(19)

Rana nigrovittata Blyth, 1856 (Hylarana nigrovittata)

Deskripsi : berukuran kecil atau sedang 4,5-6 cm. Timpanum jelas terlihat. Kaki depan dan belakang berbelang-belang. Ujung jari melebar. Tekstur kulit halus berwarna coklat muda pada bagian dorsal dan warna coklat tua pada bagian sisi tubuh.

Habitat : terdapat di perairan dengan arus lambat, berudu hidup di perairan tenang. Kadang-kadang terdapat di dekat pemukiman

Penyebaran : Kamboja, Cina, India, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Thailand, dan Vietnam.


(20)

Lampiran 5. Foto Kerja

a. Foto Lapangan

Mencari Amfibi Pengukuran Morfometri b. Pengukuran Faktor Fisik Kimia


(21)

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H.S. 2002. Pengelolaan Satwa Liar. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Arief, A . 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Yogyakarta. Brotowidjoyo, M. 1989. Zoologi Dasar. Erlangga. Jakarta.

Darmawan, B. 2008. Keanekaragaman Amfibi di Berbagai Tipe Habitat: Studi Kasus di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Jambi [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Duellman, W.E and Trueb, L. 1986. Biology of Amphibians. McGraw-Hill. New York.

Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioteknologi. Bumi Aksara. Jakarta.

Goin, C.J. and Goin, O.B. 1971. Introduction to Herpetology. Second Edition. Freeman. San Francisco.

Heyer, W. R., Donnelly, M. A., McDiarmid, R.W. Hayek, L. and Foster, M.S. 1994. Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standard Methods for Amphibians. Smithsonian Institution Pr. Washington.

Inger, R.F. and Stuebing, R.B. 1999. Panduan Lapangan Katak-katak Borneo. Natural History Publications & Science and Technology Unit. Sabah. Inger, R.F., Stuart, B.L. and Iskandar, D.T. 2007. Systematic of a Widespread

Southeast Asian Frog, Rana chalconota (Amphibian: Anura: Ranidae), Zoological Journal of the Linnean Society. 155: 123–147.

Inger, R.F and Voris H.K. 2001. The biogeographical relations of the frogs and snakes of Sundaland. Journal of Biogeography. 28: 863–891.

Iskandar, D.T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Seri Panduan Lapangan. Puslitbang Biology LIPI.

Krebs, C.J. 1978. Ecology The Experimental Analysis of Distribution and Abudance. Ecological Methodology. Harper and Row Publisher. New York.

Kusrini, M. 2007. Konservasi Amfibi di Indonesia, Masalah Global dan Tantangan. Media Konservasi. 12(2):89-95.


(22)

Kusrini, M. 2013. Panduan Bergambar Identifikasi Amfibi Jawa Barat. Fakultas Kehutanan IPB dan Direkorat Konservasi Keanekaragaman Hayati. Bogor. Liswanto, D. 1998. Survei dan Monitoring Herpetofauna. Yayasan Titian. Jakarta. Michael, P. 1994. Metoda Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium.

Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Mistar. 2003. Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. The Gibbon Foundation & PILI-NGO Movement. Bogor.

Mistar. 2008. Panduan Lapangan Amfibi dan Reptil di Areal Mawas Propinsi Kalimantan Tengah (Catatan di Hutan Lindung Beratus). Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo. Palangkaraya.

Mistar dan Siregar, A.J. 2012. Panduan Amfibi dan Reptil Taman Wisata Alam & Cagar Alam Sibolangit. Medan.

Murdiyarso, D. 2003. Konvensi Perubahan Iklim. Kompas. Jakarta.

Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Sounders Company Ltd. Philadelphia.

Putra, K., Rizaldi dan Tjong, D.H. 2012. Komunitas Anura pada Tiga Tipe Habitat Perairan di Kawasan Hutan Harapan Jambi. Jurnal Biologi Andalas. 1 (2): 156-165.

Payne, A.L. 1986. The Ecology of Tropical Lakes and Rivers. John Willey and Sons. Chichester.

Pradana, T.G. 2013. Jenis dan Komposisi Komunitas Amfibi di Desa Batu Mbelin Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara

Primack, R.B., Supriatna, J., Indrawan, M., dan Kramadibrata, P. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Santoso, Y. 1995. Teknik Pengukuran Keanekaragaman Satwaliar. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Sastrapradja, D.S., Adisoemarto. K., Kartawinata, S., Sastrapradja dan Rifai. 1989. Keanekaragaman Hayati Untuk Kelangsungan Hidup Bangsa. Puslitbang Bioteknologi – LIPI. Bogor.


(23)

Siregar, A.J. 2010. Spesies dan Komposisi Amfibi di Taman Wisata Alam/Cagar Alam Sibolangit dan Desa Sembahe Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Stebbins, R.C., and Cohen N.W. 1997. A Natural History of Amphibians. Princeton Univ. Pr. New Jersey.

Sudrajat. 2001. Keanekaragaman dan Ekologi Herpetofauna (Reptil dan Amfibi) di Sumatera Selatan. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Suin, N.M. 2002. Metoda Ekologi. Universitas Andalas Bogor Press. Padang. Susanto, H. 1999. Budidaya Kodok Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta.

Wanda, I.F. Wilson, N. dan Tjong, D.H. 2012. Jenis-jenis Anura di Hutan Harapan Jambi. Jurnal Biologi Universitas Andalas. 1 (2): 99-107.


(24)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1.Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-Februari 2015 di kawasan Ekowisata Lau Bertu Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat Sumatera Utara, dan Laboratorium Sistematika Hewan Departemen Biologi FMIPA USU Medan.

3.2. Deskripsi Area

Penelitian ini dilakukan pada 2 lokasi, yaitu pada sungai yang berada di dalam hutan masyarakat dan anak sungai yang berada di perkebunan masyarakat kawasan Ekowisata Lau Bertu Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat Sumatera Utara, sebagai berikut :

a. Lokasi 1

Lokasi 1 merupakan sungai yang berada di dalam hutan masyarakat terletak pada 03o23’41,4” LU dan 98o25’08,7” BT, ketinggian berkisar antara 307 mdpl dengan lebar sungai ± 4,5 meter, berarus deras dan dasar sungai berbatu, seperti terlihat pada Gambar 3.1.


(25)

b. Lokasi 2

Lokasi 2 merupakan anak sungai yang berada pada perkebunan masyarakat terletak pada 03o23’37,9” LU dan 98o25’04,3” BT, ketinggian berkisar antara 388 mdpl dengan lebar sungai ± 2,5 meter, berarus lambat, dasar sungai berpasir dan sedikit berbatu, seperti terlihat pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2. Lokasi Penelitian di Sungai dalam Areal Perkebunan Masyarakat

3.3. Bahan dan Metode

3.3.1. Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan adalah kompas, Global Position System (GPS), headlamp (senter kepala), tali rafia, jangka sorong, spidol, penggaris, plastik, camera, termometer, soil tester, hygrometer, soil termometer, meteran, stopwatch, dan pH meter sedangkan bahan yang digunakan adalah tisu gulung.

3.3.2. Metode Sampling

Penentuan lokasi sampling dilakukan dengan Metode Purposive Random Sampling. Penentuan lokasi tersebut dilakukan pada suatu lokasi yang diduga ditemukan amfibi.


(26)

3.3.3. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah Visual Encounter Survey-Night Stream (VES-NS). Siregar (2010) menjelaskan bahwa metode VES-NS merupakan metode pengamatan amfibi dengan menelusuri sungai maupun anak sungai atau darat sebagai habitat amfibi. Metode VES-NS sangat baik digunakan dengan asumsi:

a. Setiap individu dari semua spesies mempunyai kesempatan yang sama untuk diamati.

b. Setiap spesies menyukai tempat atau habitat yang sama. c. Semua individu hanya dihitung satu kali dalam pengamatan. d. Hasil survei, merupakan hasil pengamatan lebih dari satu orang.

3.3.4. Pengambilan sampel dan Identifikasi Amfibi

Pengamatan dilakukan pada lokasi di sepanjang aliran sungai atau anak sungai sepanjang 500 meter dengan membuat plot sampling sebanyak 20 plot yang berukuran 25 meter (panjang sungai) x lebar sungai (lebar sungai ditambah 1 meter ke kiri dan kanan sungai, seperti pada Gambar 3.3.

25 meter

1 meter

20 plot penelitian Aliran sungai

500 meter

Gambar 3.3. Plot Penelitian

Pengamatan di masing-masing lokasi dilakukan pada waktu malam hari selama ± 4 jam, yaitu mulai pada pukul 19.30-23.30 WIB selama 3 hari berturut-turut sebagai ulangan. Spesies amfibi yang terdapat di dalam plot sampling ditangkap dan dihitung jumlah individu masing-masing spesies, kemudian difoto bagian ventral, dorsal, ekstremitas atas, ekstremitas bawah, sisi tubuh bagian


(27)

samping dan bagian kepalanya, kemudian diukur morfometri amfibi tersebut seperti panjang total, panjang kepala, panjang badan, panjang ekstremitas atas, panjang ekstremitas bawah dan lebar bukaan mulut. Spesies amfibi yang didapatkan diidentifikasi dengan menggunakan buku-buku identifikasi seperti Panduan lapangan Katak-katak Borneo (Inger & Stuebing, 1999), Seri Panduan Lapangan Amfibi Jawa dan Bali (Iskandar, 1998), Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser (Mistar, 2003) dan Panduan Lapangan Amfibi dan Reptil di Areal Mawas Propinsi Kalimantan Tengah (Mistar, 2008).

3.3.5. Pengukuran Faktor Fisik Kimia

Data lingkungan yang diukur meliputi kelembaban udara menggunakan hygrometer, suhu udara menggunakan termometer, suhu air menggunakan termometer, suhu tanah menggunakan soil termometer, pH tanah menggunakan soil tester, pH air menggunakan pH meter, lebar sungai menggunakan meteran, kecepatan arus menggunakan stopwatch, ketinggian dan koordinat lokasi menggunakan GPS.

3.3.6. Analisis Data

Data spesies amfibi yang didapatkan dihitung nilai: Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relatif (KR), Frekuensi Kehadiran (FK), Indeks Diversitas Shannon-Winner (H’), Indeks Equitabilitas/Indeks Keseragaman (E), dan Indeks Similaritas/Kesamaan Sorensen (Q/S) untuk mengetahui struktur komunitas amfibi dengan menggunakan rumus menurut Krebs (1985), Michael (1995) dan Suin (2002) dengan rumus sebagai berikut:

a. Kepadatan Populasi

K = area luas plot x al Jumlah tot jenis suatu individu jumlah

b. Kepadatan Relatif

KR = jenis semua kepadatan Jumlah jenis suatu Kepadatan


(28)

c. Frekuensi Kehadiran (FK) FK = plot al Jumlah tot jenis suatu ditempati yang plot Jumlah

x 100 %

Suin (2002) menerangkan nilai FK berdasarkan konstansinya sebagai berikut: Nilai FK = 0 - 25% : Konstansinya Aksidental (sangat jarang)

Nilai FK = 25 – 50% : Konstansinya Assesori (jarang) Nilai FK = 50 -75% : Konstansinya Konstan (sering)

Nilai FK = >75% : Konstansinya Absolut (sangat sering). d. Indeks Diversitas/Keanekaragaman Shannon-Wienner (H’)

Untuk mengetahui nilai keanekaragaman amfibi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

H’ = -∑pi ln pi Dimana pi = Keterangan :

ni = jumlah individu suatu jenis

N = jumlah total individu seluruh jenis Keterangan Nilai H’:

Nilai H’ =<1 : Keanekaragaman rendah Nilai H’ = 1≤ H’ ≥ 3 : Keanekaragaman sedang Nilai H’ = >3 : Keanekaragaman tinggi e. Indeks Equitabilitas/Keseragaman (E)

Untuk mengetahui nilai keseragaman jenis amfibi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

E =

maks H


(29)

Keterangan:

E = Indeks keseragaman H’ = Indeks keragaman

Hmaks = keanekaragaman spesies maksimum = ln S (dimana S banyaknya spesies)

Nilai Keseragaman (E) berkisar antara 0 – 1 (Krebs, 1985), Odum (1996) menerangkan nilai E sebagai berikut:

Jika E mendekati 0 : keseragaman semakin rendah Jika E mendekati 1 : keseragaman semakin tinggi f. Indeks Similaritas/Kesamaan Sorensen (Q/S)

Untuk mengetahui nilai kesamaan setiap amfibi antar lokasi dihitung dengan menggunakan rumus yang sudah dimodifikasi oleh Suin (2002) sebagai berikut:

Q / S=

B) (A

2J

x 100 % Keterangan:

Q/S = Indeks Similaritas antar lokasi

J = Jumlah spesies yang sama pada dua lokasi yang berbeda A = Jumlah spesies pada lokasi 1

B = Jumlah spesies pada lokasi 2

Suin (2002) menerangkan nilai Q/S sebagai berikut:

Nilai Q/S = < 25% : kesamaan spesiesnya sangat tidak mirip Nilai Q/S = 25 - 50% : kesamaan spesiesnya tidak mirip Nilai Q/S = 50 -75% : kesamaan spesiesnya mirip Nilai Q/S => 75% : kesamaan spesiesnya sangat mirip


(30)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Amfibi yang ditemukan pada Lokasi Penelitian

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di kawasan Ekowisata Lau Bertu hanya ditemukan amfibi dari ordo Anura sebanyak 16 spesies yang termasuk kedalam 5 famili dan 9 genus seperti pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Spesies Amfibi di Kawasan Ekowisata Lau Bertu Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat Sumatera Utara

Famili Genus Spesies Nama Indonesia Lokasi 1 2

1. Bufonidae Bufo Bufo asper Kodok Puru Sungai 39 16

Bufo divergens Kodok Peters 9 5

Bufo juxtasper Kodok Puru Besar 4 3 Leptophryne Leptophryne borbonica Kodok Jam Pasir 8 9 2. Dicroglossidae Fejervarya Fejevarya limnocaris Katak Rumput 3 2 Limnonectes Limnonectes blythii Katak Tegalan 2 7

Limnonectes kuhlii Katak Panggul 5 5

Limnonectes macrodon Bangkong Batu 1 - 3. Megophryidae Leptobrachium Leptobrachium

hendricksoni

Katak Sampah Daun

Berbintik - 1

Megophrys Megophrys nasuta Katak Bertanduk 1 - 4. Microhylidae Microhyla Microhyla berdmorei Percil Berdmorei - 3 5. Ranidae Huia Huia sumatrana Kongkang Jeram

Sumatra 1 -

Rana Rana chalconata Kongkang Kolam 16 55

Rana debussy Kongkang Siberut 8 -

Rana hosii Kongkang Racun 87 16

Rana nigrovittata Katak Bergaris Hitam - 5

Jumlah individu 184 127

Jumlah Jenis 9 16 13 12

Keterangan : Lokasi 1 = Sungai di Hutan, Lokasi 2 = Sungai di Perkebunan. (+) = ditemukan, (-) = Tidak Ditemukan

Dari Tabel 4.1. terlihat bahwa pada lokasi 1 jumlah spesies amfibi yang ditemukan terdiri dari 7 genus, 4 famili dan 13 spesies dengan jumlah individu 184. Pada lokasi 2 amfibi yang ditemukan terdiri dari 7 genus, 5 famili dan 12 spesies dengan jumlah individu 127. Famili yang ditemukan terdiri dari famili Ranidae 2 genus dan 5 spesies, famili Bufonidae dan Dicroglossidae 2 genus dan 4 spesies, famili Megophryidae 2 genus dan 2 spesies, famili Microhylidae 1


(31)

genus dan 1 spesies. Dari 5 famili yang ditemukan, yang paling banyak yaitu pada famili Ranidae terdiri dari 2 genus dan 5 spesies. Lebih banyaknya Famili Ranidae yang ditemukan disebabkan famili ini memiliki persebaran yang luas. Mistar (2003) menyatakan famili Ranidae (katak sejati) diketahui memiliki persebaran yang sangat luas dan menempati habitat yang beragam seperti hutan mangrove hingga hutan pegunungan.

Famili yang paling sedikit ditemukan yaitu famili Microhylidae yang terdiri dari 1 genus dan 1 spesies. Hal ini disebabkan famili ini sulit ditemukan. Mistar (2003) menyatakan bahwa jenis ini sukar ditemukan dan bahkan sering dianggap sebagai anak katak. katak ini aktif di malam hari disekitar air, menempati habitat semi-fossorial yang sering ditemukan pada lubang-lubang tanah dan berkembangbiak di sekitar air atau genangan lantai hutan.

Spesies yang ditemukan pada kedua lokasi yaitu Bufo asper, B. divergens, B. juxtasper, Leptophryne borbonica, Fejervarya limnocaris, Limnonectes blythii, L. kuhlii, Rana Chalconata, dan R. hosii. Hal ini disebabkan spesies-spesies tersebut dapat hidup pada berbagai tipe habitat sehingga bisa hidup dan berkembangbiak pada kedua lokasi penelitian.

Kusrini (2007) menyatakan bahwa Bufo asper bahkan hidup pada habitat kegiatan manusia. Bufo divergens tersebar luas dari pinggiran sungai sampai punggungan bukit, aktif di lantai hutan dan sering ditemukan pada permukaan tanah atau di atas tumpukan serasah-serasah di lantai hutan (Mistar, 2003). Bufo juxtasper menempati berbagai macam tipe habitat, ditemukan dalam jumlah banyak dan berukuran besar (Mistar & Siregar, 2012). Leptophryne borbonica terdapat dalam jumlah banyak di sekitar daerah yang basah atau di air yang jernih dan berarus lambat (Iskandar, 1998). Fejervarya limnocaris bisa menempati habitat yang telah terganggu pada daerah dataran rendah sampai pegunungan dataran rendah (Mistar, 2003). Limnonectes blythii memiliki adaptasi tinggi dan tersebar merata pada habitat sungai, sesuai karakteristik spesifik habitatnya yang berada diperairan mengalir( Putra et al., 2012). Limnonectes kuhlii terdapat di sungai-sungai sampai anak sungai (Mistar, 2003). Inger et al. (2007) menyatakan bahwa Rana chalconota merupakan katak yang berbiak di sepanjang aliran sungai. Rana hosii dapat hidup di berbagai tipe sungai (Iskandar, 1998).


(32)

Spesies yang hanya ditemukan pada lokasi 1 yaitu Limnonectes macrodon, Megophrys nasuta, Huia sumatrana dan Rana debussy sedangkan spesies yang hanya ditemukan pada lokasi 2 yaitu Leptobrachium hendricksoni, Microhyla berdmorei dan Rana nigrovittata. Hal ini disebabkan spesies-spesies ini memiliki habitat spesifik yang berbeda. Limnonectes macrodon terdapat di sepanjang sungai yang jernih, Megophrys nasuta hidup diantara serasah dedaunan (Iskandar, 1998). Huia sumatrana merupakan jenis yang hidup di sungai yang jernih, berbatu dan berarus deras (Mistar, 2003). Rana debussy terdapat di pegunungan dataran rendah. Leptobrachium hendricksoni terdapat di air yang tenang atau mengalir lambat (Inger & Stuebing, 1999). Microhyla berdmorei kadang dijumpai di sekitar pemukiman yang berbatasan dengan hutan (Mistar & Siregar 2012).

4.2. Kepadatan (Individu/Ha), Kepadatan Relatif (%), dan Frekuensi Kehadiran (%) Amfibi

Dari hasil analisis data yang telah dilakukan, didapatkan nilai Kepadatan dan Kepadatan Relatif Amfibi seperti pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Nilai Kepadatan (Individu/Ha) dan Kepadatan Relatif (%) Amfibi dan Frekuensi Kehadiran (%) pada Lokasi Penelitian

No Spesies

Lokasi 1 Lokasi 2 K KR

(%)

FK (%)

K KR (%)

FK (%)

1. Bufo asper 6,00 21,23 60 3,55 12,59 55

2. Bufo divergens 1,38 4,88 35 1,11 3,93 25 3. Bufo juxtasper 0,61 2,15 15 0,66 2,34 10 4. Leptophryne borbonica 1,23 4,35 25 2,00 7,09 35 5. Fejervarya limnocaris 0,46 1,62 10 0,44 1,56 10 6. Limnonectes blythii 0,30 1,06 10 1,55 5,50 25 7. Limnonectes kuhlii 0,76 2,68 25 1,11 3,93 20

8. Limnonectes macrodon 0,15 0,53 5 - - -

9. Leptobrachium hendricksoni - - - 0,22 0,78 5

10. Megophrys nasuta 0,15 0,53 5 - - -

11. Microhyla berdmorei - - - 0,66 2,34 15

12. Huia sumatrana 0,15 0,53 5 - - -

13. Rana chalconata 2,46 8,70 40 12,22 43,36 75

14. Rana debussy 1,23 4,35 15 - - -

15. Rana hosii 13,38 47,34 75 3,55 12,59 35

16. Rana nigrovittata - - - 1,11 3,93 25

Jumlah 28,26 99,95 28,18 99,94

Keterangan : Lokasi 1 = Sungai di Hutan, lokasi 2 = Sungai di Perkebunan, K = Kepadatan, KR = Kepadatan Relatif, FK = Frekuensi Kehadiran


(33)

Dari Tabel 4.2. terlihat bahwa nilai kepadatan total pada lokasi 1 dan 2 tidak jauh berbeda. Nilai kepadatan tertinggi didapatkan pada lokasi 1 dengan nilai 28,26 ind/Ha, sedangkan pada lokasi 2 nilai kepadatan total 28,18 ind/Ha. Hal ini disebabkan pada lokasi 1 dan 2 masing-masing memiliki 1 spesies dengan nilai kepadatan yang tinggi.

Nilai kepadatan spesies tertinggi pada lokasi 1 yaitu spesies Rana hosii dengan nilai 13,38 ind/Ha. Hal ini disebabkan pada lokasi 1 memiliki sungai dengan kondisi yang berbatu dan berarus yang deras yaitu 1,23 m/s. Mistar (2008) menyatakan Rana hosii tergolong katak yang umum dijumpai di sekitar sungai berarus sedang hingga deras. Iskandar (1998) menyatakan bahwa Rana hosii biasanya selalu berhubungan dengan sungai.

Nilai kepadatan spesies tertinggi pada lokasi 2 yaitu spesies Rana chalconata dengan nilai 12,22 ind/Ha. Hal ini disebabkan pada lokasi 2 merupakan sungai dengan arus lambat yaitu 0,013 m/s. Siregar (2010) menjelaskan Rana chalconata dijumpai pada berbagai jenis habitat seperti di kolam, di rerumputan, herba di bawah hutan dan di genangan-genangan air berarus lambat. Mistar (2008) menyatakan bahwa spesies ini hidup dalam hutan primer hingga ke hutan sekunder dan sering didapatkan di sekitar pemukiman dan biasanya bersuara di semak atau pohon kecil, dan sering dijumpai di kolam- kolam tepi sungai atau genangan air.

Nilai kepadatan terendah pada lokasi 1 yaitu Limnonectes macrodon, Huia sumatrana dan Megophrys nasuta masing-masing dengan nilai 0,15 ind/Ha. Hal ini disebabkan spesies ini susah ditemukan dan hanya ditemukan masing-msing 1 individu selama penelitian. Limnonectes macrodon hidup di aliran jernih. Huia Sumatrana hidup di daerah hutan dan sungai yang memiliki dasar yang berbatu dan cukup dalam yang menyebabkan arus sedang sampai deras (Pradana, 2013). Mistar (2003) menjelaskan bahwa Huia sumatrana menempati habitat pinggiran sungai beraliran deras di hutan primer sampai hutan sekunder. Pada saat penelitian Huia sumatrana ditemukan di ranting pohon di pinggir sungai. Iskandar (1998) menyatakan Megophrys nasuta hidup diantara serasah-serasah daun untuk bertahan hidup sehingga sulit ditemukan.


(34)

Nilai kepadatan terendah pada lokasi 2 yaitu Leptobrachium hendricksoni dengan nilai 0,22 ind/Ha. Hal ini disebabkan spesies ini juga termasuk katak serasah dan berudunya sensitif terhadap lingkungan. Iskandar (1998) menyatakan berudu Leptobrachium sensitif terhadap kondisi mineral lingkungannya, apabila ada kekurangan mineral tertentu pada tahap perkembangan larvanya berudu akan gagal melakukan metamorfosis dan akan tetap menjadi larva selama hidupnya.

Frekuensi kehadiran atau konstansi amfibi dapat dikelompokkan menjadi empat golongan. Golongan aksidental (sangat jarang) bila konstansinya 0-25%, golongan assesori (jarang) bila konstansinya 25-50%, golongan konstan (sering) bila konstansinya 50-75%, dan golongan absolut (sangat sering) bila konstansinya lebih dari 75% (Suin, 2002). Dari Tabel 4.2. terlihat bahwa pada lokasi 1 terdapat 2 spesies yang termasuk kategori konstan, 2 spesies yang termasuk kategori assessori dan 9 spesies termasuk kategori aksidental. Pada lokasi 2 terdapat 2 spesies yang termasuk kategori konstan, 2 spesies yang termasuk kategori assessori dan 8 spesies termasuk kategori aksidental. Hasil ini menunjukkan ada spesies pada lokasi 1 dan lokasi 2 yang lebih mendominasi yaitu Bufo asper dan Rana hosii pada lokasi 1 sedangkan pada lokasi 2 yaitu Bufo asper dan Rana chalconata. Hal ini disebabkan lokasi penelitian sesuai dengan habitat kesukaan spesies-spesies tersebut.

Banyaknya spesies yang termasuk kategori aksidental disebabkan lokasi penelitian ini berada di kawasan wisata. Lokasi 1 dekat dengan objek wisata air terjun sedangkan lokasi 2 berada di perkebunan yang dilewati oleh pengunjung yang menuju air terjun tersebut.

4.3. Komposisi Komunitas Amfibi pada Lokasi penelitian

Berdasarkan nilai kepadatan relatif dapat ditentukan komposisi komunitas amfibi yang disusun dari urutan tertinggi sampai terendah pada masing-masing lokasi penelitian seperti pada Tabel 4.3.


(35)

Tabel 4.3. Komposisi Komunitas Amfibi di Kawasan Ekowisata Lau Bertu Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat Sumatera Utara

No Spesies Komposisi

Lokasi 1 Lokasi 2

1. Bufo asper 2 2

2. Bufo divergens 4 5

3. Bufo juxtasper 7 6

4. Leptophryne borbonica 5 3

5. Fejervarya limnocaris 8 7

6. Limnonectes blythii 9 4

7. Limnonectes kuhlii 6 5

8. Limnonectes macrodon 10 -

9. Leptobrachium hendricksoni - 8

10. Megophrys nasuta 10 -

11. Microhyla berdmorei - 6

12. Huia sumatrana 10 -

13. Rana chalconata 3 1

14. Rana debussy 5 -

15. Rana hosii 1 2

16. Rana nigrovittata - 5

Keterangan : Lokasi 1 = Sungai di Hutan, lokasi 2 = Sungai di Perkebunan,

Pada Tabel 4.3. terlihat bahwa komposisi komunitas amfibi yang sama antara lokasi 1 dengan lokasi 2 adalah Bufo asper. Pada lokasi 1 spesies Rana hosii memiliki urutan yang paling tinggi sedangkan yang paling rendah adalah Limnonectes macrodon, Megophrys nasuta dan Huia sumatrana. Hal ini menunjukkan bahwa pada lokasi ini Rana hosii memiliki kehidupan yang lebih baik. Inger et al (2007) menyatakan bahwa Rana hosii hidup dan tinggal di sungai yang jernih dan sungai besar. Pada lokasi 2 spesies Rana chalconata memiliki urutan yang paling tinggi dan yang paling rendah adalah Leptobrachium hendricksoni, hal ini sesuai dengan pernyataan Inger & Stuebing (1999) bahwa Rana chalconata hidup di air yang tenang, tepian kolam, hutan terganggu dan kebun yang teduh, biasanya di pohon-pohon kecil.

4.4. Amfibi yang Memiliki Nilai KR 10% dan FK 25%

Nilai Kepadatan Relatif (KR) ≥ 10% dan Frekuensi Kehadiran (FK) ≥ 25% menunjukkan amfibi yang memiliki karakteristik dapat hidup dan berkembang dengan baik pada suatu areal (Suin, 2002). Berdasarkan nilai tersebut didapatkan hasil seperti yang terlihat pada Tabel 4.4.


(36)

Tabel 4.4. Amfibi yang Memiliki Nilai KR ≥ 10 % dan FK ≥ 25 % pada Lokasi Penelitian

No Spesies Lokasi 1 Lokasi 2

KR (%) FK (%) KR(%) FK(%)

1. Bufo asper 21,23 60 12,59 55

2. Rana chalconata - - 43,36 75

3 Rana hosii 47,34 75 12,59 35

Keterangan : Lokasi 1 = Sungai di Hutan, Lokasi 2 = Sungai di Perkebunan, KR = Kepadatan Relatif, FK = Frekuensi Kehadiran

Tabel 4.4. memperlihatkan bahwa dari 16 spesies yang ditemukan pada lokasi penelitian, hanya 3 spesies yang dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik. Bufo asper dan Rana hosii dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik pada kedua lokasi penelitian, sedangkan Rana chalconata karakteristik dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik hanya pada lokasi 2.

Darmawan (2008) menyatakan Bufo asper dijumpai di sepanjang sungai dan anak sungai. Bufo asper merupakan salah satu jenis yang menyebar luas bukan hanya di Sumatera tapi juga pulau-pulau lain di Indonesia. Iskandar (1998) menyatakan bahwa spesies Rana hosii memiliki racun sesuai namanya dan mempunyai variasi warna yang banyak untuk menghindari pemangsa, mudah mendapatkan mangsa dan dapat hidup di berbagai tipe sungai. Rana chalconata kadang-kadang mengunjungi habitat manusia, dimana terdapat air bahkan mulai dari dataran rendah sampai ketinggian di atas 1200 m, tetapi biasanya lebih menyukai genangan air seperti kolam ikan, sering juga di atas tumbuhan yang tumbuh di sekitar atau di dalam air.

Suin (2002) menyatakan bahwa jika suatu hewan memiliki nilai KR ≥ 10% dan FK ≥ 25% maka habitat tersebut tergolong dapat mendukung kehidupan dan perkembangbiakan spesies hewan tersebut termasuk amfibi. Jika frekuensi kehadirannya tinggi umumnya kepadatan relatifnya tinggi pula. Kedua lokasi potensial untuk mendukung kehidupan dan perkembangbiakan spesies-spesies Amfibi tertentu yang berbeda sifat antar spesiesnya.

4.5. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (E) Amfibi

Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Amfibi pada lokasi penelitian seperti pada Tabel 4.5.


(37)

Tabel 4.5. Nilai Indeks Keanekaragaman dan Keseragaman Amfibi pada Lokasi Penelitian.

Lokasi H’ E

Lokasi 1 1,69 0,66

Lokasi 2 1,84 0,76

Keterangan : Lokasi 1 = Sungai di Hutan, Lokasi 2 = Sungai di Perkebunan Dari Tabel 4.5. terlihat bahwa nilai indeks keanekaragaman pada lokasi 1 yaitu 1,69 dan pada lokasi 2 yaitu 1,84 yang secara keseluruhan menunjukkan bahwa nilai indeks keanekaragaman amfibi pada kedua lokasi tergolong sedang yaitu 1 ≤ H' ≥ 3. Nilai keduanya berkisar antara 1 – 3 yang termasuk kategori keanekaragaman sedang (Fachrul, 2007). Nilai Indeks Keanekaragaman pada lokasi 2 lebih tinggi dibandingkan pada lokasi 1. Hal ini mungkin disebabkan karena lokasi 1 yang merupakan tempat wisata yang ramai dikunjungi sehingga mengganggu tempat hidup Amfibi.

Nilai Indeks Keseragaman pada lokasi penelitian cukup seragam karena nilai pada kedua lokasi tersebut mendekati 1. Kisaran indeks keseragaman antara 0 sampai 1, semakin kecil nilainya (mendekati nol) menunjukan bahwa penyebaran jumlah individu tiap spesies tidak sama. Sebaliknya jika nilai keseragaman semakin besar (mendekati 1) maka populasi akan menunjukkan keseragaman (jumlah individu tiap spesies dapat dikatakan sama atau tidak jauh berbeda) (Krebs, 1985; Odum, 1993). Keragaman (Kemerataan) dapat digunakan sebagai indikator adanya jenis yang mendominasi pada suatu komunitas (Santosa 1995).

4.6. Sebaran Ekologis Amfibi

Sebaran ekologis digambarkan dengan posisi saat amfibi ditemukan. Posisi tersebut dibedakan menjadi horizontal dan vertikal (Heyer et al. 1994). Posisi horizontal menggambarkan referensi terhadap badan air, disertai sifat naungan. Posisi vertikal digambarkan sebagai referensi terhadap posisi sub-permukaan pada permukaan air. Kisaran posisi umum masing-masing spesies Amfibi saat dijumpai seperti pada Tabel 4.6.


(38)

Tabel 4.6. Kisaran Posisi Umum Masing-masing Amfibi saat Ditemukan pada Lokasi Penelitian

No Spesies Posisi

Vertikal Horizontal

1. Bufo asper Di atas batu, tanah, kayu

lapuk, di ranting dan daun hingga 1,3 m dpa*

Di tengah dan tepian sungai hingga 1 m dta*

2. Bufo divergens Di atas batu, pasir dan

daun 35 cm hingga 1 m dpa*

Di tepi sungai hingga

70 cm dta*

3. Bufo juxtasper Di atas batu, pasir dan di

air hingga 60 cm dpa*

Di tengah hingga tepian sungai

4. Leptophryne borbonica Di atas batu, daun dan rerumputan hingga 80 cm dpa*

Di tepian sungai hingga 55 cm dta*

5. Fejervarya limnocaris Di rumput dan kayu lapuk

hingga 65 cm dpa*

Di tepi sungai hingga 40 cm dta*

6. Limnonectes blythii Di atas tanah dan batu

hingga 45 cm dari dpa

Di tepi sungai

7. Limnonectes kuhlii Di atas batu dan di air Ditengah hingga

tepian sungai

8. Limnonectes macrodon Di atas tanah Di tepi sungai 40 cm

dta* 9. Leptobrachium

hendricksoni

Ditemukan di atas tanah Di tepi sungai 1 m 10. Megophrys nasuta Ditemukan di serasah

hutan

Di tepi sungai 80 cm 11. Microhyla berdmorei Di atas tanah dan batu Di tepi sungai hingga

50 cm dta* 12. Huia sumatrana Di atas ranting pohon 160

cm dpt*

Di tepi sungai 1 m dta 13. Rana chalconata Di atas tanah, batu, daun,

ranting, dan kayu lapuk hingga 1,5 m dpa*

Di tengah dan tepi sungai hingga 1 m dta*

14. Rana debussy Di atas tanah Di tepi sungai hingga 1 m dta

15. Rana hosii Di atas batu, ranting, daun dan kayu lapuk hingga 2 m dpa

Di tengah dan tepi sungai hingga 1 m dta 16. Rana nigrovittata Di tanah dan batu dekat

dengan air

Di tengah dan tepi sungai 30 cm dta Keterangan: dpa = dari permukaan air, dpt = dari permukaan tanah, dta = dari tepian air


(39)

4.7. Indeks Similaritas (Kesamaan) Amfibi antar Lokasi (QS)

Dari hasil penelitian pada lokasi 1 ditemukan 13 spesies amfibi, pada lokasi 2 di temukan 12 spesies amfibi dan didapatkan 9 spesies yang menempati kedua lokasi. Nilai indeks similaritas (kesamaan) antara lokasi 1 dan lokasi 2 adalah 72% yang menunjukkan kesamaan Amfibi antar lokasi mirip (Suin, 2002). Hal ini disebabkan letak geografis kedua lokasi yang tidak terlalu jauh dan faktor lingkungan kedua lokasi yang tidak jauh berbeda.

Menurut Alikodra (2002), letak geografis dapat menentukan jumlah jenis penghuninya. Penyebaran satwaliar mempunyai pembatas-pembatas fisik seperti sungai, samudera dan gunung serta pembatas ekologis seperti batas tipe hutan dan jenis pesaing yang telah lebih lama beradaptasi di wilayah tersebut. Primack et al. (1998) menyatakan bahwa satwaliar akan semakin beranekaragam bila struktur habitatnya juga beranekaragam. Menurut Goin & Goin (1971) kecocokan terhadap suhu dan kelembaban, penutupan tajuk dan formasi tanah merupakan faktor yang mempengaruhi keanekaragaman.

Kelembaban udara pada lokasi 1 didapatkan 96% dan pada lokasi 2 didapatkan 89%. Suhu udara 230C pada lokasi 1 dan 24,20C pada lokasi 2. Menurut Goin & Goin (1971) katak memiliki toleransi suhu antara 3 sampai 410C. Suhu air 220C pada lokasi 1 dan 22,50C pada lokasi 2. Susanto (1999) menyatakan bahwa telur-telur yang sudah dikeluarkan biasanya akan menetas pada air yang suhunya 24 - 27°C. Selain itu Amfibi juga memerlukan derajat keasamaan yang cukup, pH air 7,6 pada lokasi 1 dan 6,8 pada lokasi 2. pH tanah 5,8 pada lokasi 1 dan 6,6 pada lokasi 2. Payne (1986) menyatakan bahwa kisaran pH air yang berada di tropis adalah antara 4,3 sampai 7,5. Hal ini menunjukkan bahwa faktor lingkungan pada kedua lokasi penelitian dapat mendukung kehidupan dan perkembangbiakan Amfibi.


(40)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian mengenai struktur komunitas yang dilakukan di kawasan Ekowisata Lau Bertu Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat Sumatera Utara dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Amfibi yang ditemukan terdiri atas 16 spesies yang termasuk kedalam 9 genus, 5 famili dan 1 ordo. Pada lokasi 1 ditemukan 7 genus, 4 famili dan 13 spesies. Pada lokasi 2 ditemukan 7 genus, 5 famili dan 12 spesies.

b. Nilai kepadatan dan frekuensi spesies tertinggi pada lokasi 1 adalah Rana hosii dengan nilai masing-masing 13,38 ind/Ha dan 75% sedangkan pada lokasi 2 adalah Rana chalconata dengan nilai masing-masing 12,22 ind/Ha dan 75% (termasuk kategori konstan).

c. komposisi komunitas amfibi tertinggi pada lokasi 1 adalah Rana hosii dan pada lokasi 2 adalah Rana chalconata.

d. Spesies Amfibi yang dapat hidup dan berkembang biak dengan baik pada lokasi penelitian adalah Bufo asper, Rana chalconata, dan Rana hosii.

e. Nilai indeks keanekaragaman dan keseragaman pada lokasi 2 lebih tinggi dengan nilai masing-masing 1,89 dan 0,76.

f. Nilai Indeks kesamaan Amfibi pada lokasi tergolong mirip dengan nilai 72%.

5.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian selanjutnya mengenai pengaruh musim dengan kehidupan amfibi.


(41)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Struktur Komunitas

Struktur komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari sususan atau komposisi spesies dan kelimpahannya dalam suatu komunitas. Secara umum ada tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk mennggambarkan struktur komunitas yaitu keanekaragaman spesies, interaksi spesies dan interaksi fungsional (Schowalter, 1996).

2.2. Amfibi

Amfibi merupakan salah satu fauna penyusun ekosistem dan merupakan bagian keanekaragaman hayati yang menghuni habitat perairan, daratan hingga arboreal. Sebagai salah satu komponen ekosistem, amfibi memegang peranan penting pada rantai makanan dan dalam lingkungan hidupnya, juga bagi keseimbangan alam serta bagi manusia, selain itu juga jenis-jenis tertentu dapat dijadikan bio-indikator kerusakan lingkungan (Primack et al. 1998).

Amfibi berasal dari kata amphi yang berarti ganda dan bio yang berarti hidup. Secara harfiah amfibi diartikan sebagai hewan yang hidup di dua alam, yakni dunia darat dan air. Amfibi dikenal sebagai hewan bertulang belakang yang suhu tubuhnya tergantung pada lingkungan, mempunyai kulit licin dan berkelenjar serta tidak bersisik. Sebagian besar mempunyai anggota gerak dengan jari (Liswanto, 1998).

Brotowidjoyo (1989) menyatakan bahwa amfibi adalah hewan yang secara tipikal dapat hidup dengan baik di air tawar maupun di darat. Sebagian besar amfibi mengalami metamorfosis dari berudu (akuatis dan bernapas dengan insang) ke dewasa (amfibius dan bernapas dengan paru-paru), namun beberapa spesies amfibi tetap mempunyai insang selama hidupnya. Spesies-spesies yang sekarang ada tidak mempunyai sisik luar, kulit biasanya tipis dan basah. Tengkorak lebar dengan rongga otak yang kecil. Kaki depan umumnya memiliki 4 jari sedangkan kaki belakang 5 jari.


(42)

2.3. Klasifikasi Amfibi

Amfibi terdiri dari 3 ordo yaitu Sesilia, Caudata dan Anura. Ordo Sesilia dikenal juga dengan nama Apoda atau Gymnophiona. Ini adalah amfibi yang tidak memiliki kaki dan sepintas mirip dengan cacing. Hewan ini jarang muncul di permukaan, biasanya berada di dalam tanah, di dalam tumpukan serasah atau di air. Sesilia dijumpai di Amerika Selatan dan Amerika Tengah, Afrika dan Asia, termasuk Indonesia. Berbeda dengan kebanyakan katak yang kawin secara eksternal, diduga semua Sesilia memiliki fertilisasi internal. Beberapa larva Sesilia memiliki larva yang bersifat akuatik namun beberapa jenis lainnya memiliki telur yang akan berkembang langsung menjadi bentuk dewasa teresterial atau bahkan melahirkan anak (Kusrini, 2013).

Ordo Caudata merupakan amfibi yang bentuk dewasanya mempunyai ekor. Tubuhnya terbentuk seperti bengkarung (kadal). Sabuk-sabuk skelet memiliki peranan sedikit dalam menyokong kaki. Tubuhnya terbagi menjadi 3 bagian yaitu kepala, badan dan ekor, kaki-kakinya memiliki ukuran yang sama besar. Jika akuatis bentuk larva sama seperti yang dewasa. Dari larva menjadi dewasa memerlukan waktu beberapa tahun (Brotowidjoyo, 1989).

Ordo Anura merupakan ordo yang paling dikenal orang masyarakat luas dan ditemukan hampir diseluruh belahan dunia. Sebagian besar amfibi Indonesia umumnya masuk ke dalam kelompok ini. Anggota ordo inilah yang disebut sebagai katak dan kodok dalam bahasa Indonesia. Tubuh umumnya pendek dan lebar, terdiri dari kepala dan bagian badan serta memiliki dua pasang tungkai dimana tungkai belakang lebih besar daripada tungkai depan. Umumnya kaki memiliki selaput yang digunakan untuk melompat dan berenang. Anura memiliki pita suara dan jantan akan mengeluarkan suara untuk menarik betina. Fertilisasi umumnya berlangsung eksternal. Telur yang menetas biasanya akan tumbuh menjadi larva yang berbeda dengan bentuk dewasa dan dikenal dengan nama berudu. Hampir semua berudu akan mengalami metamorfosis saat berubah menjadi dewasa, walau ada yang langsung menjadi bentuk dewasa (Kusrini, 2013).


(43)

2.4. Ekologi Amfibi

Pada dasarnya semua amfibi adalah karnivora, untuk jenis amfibi yang berukuran kecil makanan utamanya adalah Arthropoda, cacing dan larva serangga. Untuk jenis amfibi yang berukuran lebih besar makanannya adalah ikan kecil, udang, kerang, katak kecil atau katak muda, kadal kecil dan ular kecil (Darmawan, 2008). Pada saat berudu, kebanyakan merupakan herbivora. Ada jenis-jenis tertentu yang bersifat karnivora dan tidak memerlukan makan sama sekali, kebutuhan makanan sudah tercukupi dari kuning telurnya (Iskandar 1998). Sebagian besar amfibi mencari makan dengan strategi diam dan menunggu (Duellman & Carpenter, 1998 dalam Darmawan, 2008).

Amfibi tidak memiliki alat fisik untuk mempertahankan diri. Sebagian besar Anura melompat untuk melarikan diri dari predator. Jenis-jenis yang memiliki kaki yang relatif pendek memiliki strategi dengan cara menyamarkan warnanya menyerupai lingkungannya untuk bersembunyi dari predator. Beberapa jenis Anura memiliki kelenjar racun pada kulitnya, seperti pada famili Bufonidae (Iskandar, 1998).

2.5. Habitat Amfibi

Habitat utama amfibi adalah hutan primer, hutan rawa, sungai besar, sungai sedang, anak sungai, kolam dan danau (Mistar, 2003). Duellman & Trueb (1994) dalam Darmawan (2008) menyatakan bahwa sebagian katak beradaptasi agar dapat hidup di pohon. Walaupun sangat tergantung pada air, katak pohon seringkali tidak turun ke air untuk bertelur. Katak pohon melakukan kawin dan menyimpan telurnya di vegetasi atau pohon di atas air. Saat menetas berudu katak akan jatuh ke dalam air. Selain itu, juga terdapat katak yang menyimpan telurnya di lubang berair pada kayu dan tanah, di punggung betina atau membawa ke daerah dekat air.

Kusrini (2013) menyatakan bahwa amfibi menghuni berbagai habitat, mulai dari pohon-pohon di hutan hujan tropis, halaman di sekitar pemukiman penduduk, di sawah-sawah, kolam-kolam di dalam hutan, sampai celah-celah batu di sungai yang mengalir deras. Oleh karena itu secara umum amfibi bisa dikelompokkan berdasarkan habitat dan kebiasaan hidup, yaitu:


(44)

a. Teresterial: hidup di atas permukaan tanah dan agak jauh dari air kecuali pada saat musim kawin. Kodok buduk Duttaphrynus melanostictus merupakan salah satu contoh.

b. Arboreal: kelompok yang hidup di atas pohon. Jenis-jenis katak pohon umumnya arboreal misalkan Rhacophorus reinwardtii, R. margaritifer, Nyxticalus margaritifer dan Polypedates leucomystax.

c. Akuatik: kelompok yang sepanjang hidupnya selalu terdapat di sekitar badan air. Phrynoidis aspera, Limnonectes kuhlii dan Limnonectes macrodon merupakan jenis yang umum dijumpai di sekitar perairan.

d. Fossorial: kelompok yang hidup di dalam lubang-lubang tanah. Jenis-jenis seperti Kalaula baleata atau K. Pulchra biasanya berada di dalam lubang-lubang tanah dan hanya keluar pada saat hujan. Sesilia juga umumnya bersifat fossorial.

Sudrajat (2001) membagi amfibi menurut perilaku dan habitatnya menjadi tiga grup besar yaitu: jenis yang terbuka pada asosiasi dengan manusia dan tergantung pada manusia, jenis yang dapat berasosiasi dengan manusia tapi tidak tergantung pada manusia, dan jenis yang tidak berasosiasi dengan manusia.

Amfibi teresterial mempunyai daya adaptasi tersendiri dan perlahan-lahan dalam mengatasi kehilangan cairan dalam tubuh ketika mempertahankan kelembaban kulit pada saat pertukaran udara. Amfibi teresterial umumnya nokturnal, dengan mempertahankan temperatur harian yang tinggi dan kelembaban yang rendah. Pada siang hari biasanya amfibi mempunyai kandungan kelembaban yang lebih tinggi daripada lingkungan sekitarnya yang terbuka dari sinar matahari dan udara yang hangat. Tempat berlindung pada siang hari yaitu di bawah batu, batang pohon daun jerami, celah-celah yang terlindung dan daun-daun (Duellman & Trueb, 1986).

2.6. Manfaat dan Peranan Amfibi

Kusrini (2013) menyatakan bahwa sebagai bagian dari suatu ekosistem, amfibi memegang peranan penting dalam rantai makanan. Kebanyakan amfibi adalah predator yang memakan berbagai jenis serangga atau larva serangga. Katak yang tinggal di daerah persawahan diketahui memakan berbagai jenis serangga


(45)

yang menjadi hama bagi pertanian. Katak juga dapat menekan keberadaan serangga yang merugikan kesehatan manusia. Amfibi terutama pada tahap telur dan berudu sangat sensitif terhadap kerusakan lingkungan. Seringkali terjadi perubahan yang terukur baik secara morfologis maupun pada populasi satu jenis amfibi sebelum hewan lain terkena dampak kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, amfibi menjadi indikator biologi yang penting dimana adanya perubahan populasi katak menjadi ukuran kesehatan lingkungan di sekitarnya.

Manfaat amfibi sangat beragam baik itu untuk konsumsi, sibernetik maupun bahan percobaan penelitian. Di samping sebagai sibernetik, amfibi berperan besar dalam dunia kedokteran di mana amfibi telah lama digunakan sebagai alat tes kehamilan. Beberapa ahli pada saat sekarang telah banyak melakukan penelitian untuk mencari bahan anti bakteri dari berbagai spesies amfibi yang diketahui memiliki ratusan kelenjar yang terdapat di bawah kulitnya (Siregar, 2010). Iskandar (1998) menjelaskan bahwa amfibi telah banyak dimakan khususnya di restoran-restoran Cina. Dua spesies yang paling sering dikonsumsi adalah Fejervarya cancrivora dan Limnonectes macrodon yakni spesies yang cukup bertubuh besar yang sering dijadikan sumber protein tinggi.

2.7. Konservasi Amfibi

Stuart et al. (2005) dalam Kusrini (2007) menyatakan bahwa tahun 2004 IUCN melakukan evaluasi terhadap 5743 jenis amfibi di dunia yang dikenal dengan nama Global Amphibian Assessment (GAA) dengan melibatkan tidak kurang dari 500 peneliti dari 60 negara termasuk Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa sedikitnya 1,856 jenis (32%) terancam punah, sedikitnya 9 jenis punah sejak 1980, 113 species tidak ditemukan lagi akhir-akhir ini dan 43% dari semua jenis mengalami penurunan populasi.

Penyelamatan amfibi tidak bisa dilepaskan dari kerusakan habitat maupun pemanasan global. Suhu atmosfer bumi saat ini telah meningkat 0,5ºC dibanding suhu pada zaman praindustri (Murdiyarso, 2003). Terutama karena amfibi merupakan satwa yang membutuhkan kondisi lingkungan yang stabil. Secara umum diketahui amfibi memiliki persebaran yang luas namun perlindungan mikrohabitatnya mutlak dilakukan karena amfibi diketahui berendemisitas yang


(46)

tinggi (Mistar, 2003). Sesuai dengan penjelasan Iskandar (1998) bahwa ordo Anura (katak dan kodok) di Sumatera didapatkan 89 jenis di mana sekitar 21 jenis di antaranya adalah endemik.

Ancaman kelestarian amfibi dapat berupa satu atau kombinasi dari berbagai penyebab seperti pengurangan habitat, pencemaran, introduksi spesies eksotik, penyakit dan parasit, serta penangkapan lebih. Amfibi sangat tergantung pada air. Lahan basah dan tempat memijah amfibi lainnya seringkali menjadi tempat pembuangan dan penampungan bahan pencemar. Lahan basah dan hutan tempat tinggal katak kini banyak yang hilang umumnya untuk pembangunan (Kusrini, 2013).

Mistar (2003) menyatakan bahwa upaya konservasi amfibi yang mutlak dilakukan adalah usaha perlindungan dan pengelolaan habitat yang lebih baik dan efesien. Untuk itu pengetahuan dan pemahaman tentang mikrohabitat sangatlah penting. Pada skala makro amfibi dapat ditemukan di hutan primer, sekunder, hutan rawa, aliran sungai dengan air jernih serta tutupan tajuk hutan yang masih baik. Perubahan iklim global juga menyebabkan banyak spesies amfibi yanng mengalami penurunan populasi akibat meningkatnya radiasi Ultra Violet B terutama pada spesies-spesies yang hidup di dataran tinggi dan daerah subtropik. Pemakaian pestisida dan pupuk kimia yang terus meningkat di negara-negara berkembang juga menjadi ancaman yang besar bagi kelestarian berbagai spesies amfibi yang hidup di kawasan pertanian dan pemukiman.

Kusrini (2007) menyatakan bahwa salah satu upaya konservasi amfibi adalah dengan memberikan pendidikan konservasi amfibi melalui berbagai cara antara lain penyuluhan bagi anak-anak sekolah dan masyarakat umum baik secara langsung (di kelas) maupun melalui media lainnya (misalkan penyebaran poster dan leaflet), pelatihan bagi guru sekolah, maupun pelatihan khusus bagi peneliti muda mengenai metode penelitian amfibi. Diharapkan dengan adanya pendidikan ini dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat akan kekayaan hayati Indonesia, meningkatkan simpati dan dukungan publik bagi konservasi amfibi, dan meningkatkan efektivitas dari aksi konservasi dan kampanye konservasi amfibi. Pendidikan herpetologi diharapkan juga dapat menginspirasi beberapa orang agar dapat menjadi peneliti amfibi di masa depan.


(47)

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapat sebutan “Mega Biodiversity” setelah Brazil dan Madagaskar. Diperkirakan 25% aneka spesies dunia berada di Indonesia, yang mana dari setiap jenis tersebut terdiri dari ribuan plasma nutfah dalam kombinasi yang cukup unik sehingga terdapat aneka gen dalam individu (Arif, 2001). Sastrapradja (1989) menyatakan bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang kaya. Taksiran jumlah jenis kelompok utama makhluk hidup sebagai berikut: Hewan menyusui 300 jenis; Burung 7.500 jenis; Reptil 2.000 jenis; Amfibi 1.000 jenis; Ikan 8.500 jenis; Keong 20.000 jenis; Serangga 250.000 jenis. Tumbuhan biji 25.000 jenis; Paku-pakuan 1.250 jenis; Lumut 7.500 jenis; Ganggang 7.800 jenis; Jamur 72.000 jenis; Bakteri dan Ganggang biru 300 jenis.

Pulau Sumatera memiliki kekayaan fauna yang masih belum banyak terungkap. Sumatera memiliki peranan yang penting karena memiliki pola penyebaran zoogeografi unik yang merupakan bagian dari kawasan Oriental, sebagian besar fauna yang ada dalam kawasan ini tidak dijumpai di tempat lain, diantaranya adalah dari kelompok amfibi (Anwar et al. 1984 dalam Wanda, 2012).

Lau Bertu merupakan salah satu objek wisata alam air terjun yang terletak di Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat. Pada kawasan ini terdapat aliran sungai maupun anak sungai yang memungkinkan sebagai habitat amfibi. Sungai yang merupakan aliran air terjun tersebut berada di hutan masyarakat. Anak sungai berada di perkebunan masyarakat yang dilewati apabila menuju air terjun Lau Bertu.

Habitat perairan merupakan tempat yang tidak terpisahkan dari kehidupan amfibi. Masing-masing tipe perairan mempunyai karakteristik yang berbeda, baik mikro maupun makro habitat. Perbedaan tersebut ikut mempengaruhi keberadaan jenis-jenis amfibi. Beberapa jenis ada yang hanya ditemukan di daerah perairan


(48)

dengan kecepatan arus tinggi, namun ada pula yang hanya ditemukan pada daerah dengan kecepatan arus rendah, bahkan perairan tenang (Putra et al. 2012).

Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki peranan sangat penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis amfibi berperan sebagai pengendali hama, karena memangsa konsumen primer seperti serangga atau hewan invertebrata lainnya (Iskandar, 1998) serta dapat digunakan sebagai bio-indikator kondisi lingkungan. Secara ekonomis amfibi dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani, hewan percobaan, hewan peliharaan dan bahan obat-obatan (Stebbins & Cohen, 1997).

Herpetofauna di Pulau Sumatera kurang banyak diteliti dibandingkan di Pulau Jawa. Hal ini terlihat dari tabulasi amfibi dari ordo Anura yang hanya berjumlah 90 spesies, ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Anura yang telah diketahui di Kalimantan yaitu 148 spesies dengan luas daerah yang lebih besar dan Semenanjung Malaysia dengan 101 spesies dengan luas area yang lebih kecil (Inger & Voris, 2001). Mistar & Siregar (2012) menyatakan dalam kurun waktu 70 tahun terakhir di Sumatera telah terjadi penambahan daftar jenis amfibi sebesar 63%. Diyakini masih akan terus bertambah di tahun-tahun mendatang, hal ini terutama berkaitan dengan masih sedikitnya informasi tentang keberadaan jenis amfibi di Sumatera maupun terbatasnya lokasi survei yang hanya berkisar pada hutan dataran rendah. Berkaitan dengan uraian tersebut maka perlu dilakukan penelitian dengan judul “Struktur Komunitas Amfibi di Kawasan Ekowisata Lau Bertu Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat Sumatera Utara”.

1.2. Permasalahan

Kawasan Ekowisata Lau Bertu yang dijadikan sebagai objek wisata alam memiliki sungai dan anak sungai di hutan maupun perkebunan masyarakat sebagai habitat amfibi namun sampai saat ini masih belum di ketahui bagaimanakah struktur komunitas amfibi di kawasan Ekowisata Lau Bertu Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat Sumatera Utara.


(49)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur komunitas amfibi di kawasan Ekowisata Lau Bertu Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat Sumatera Utara.

1.4. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber informasi mengenai struktur komunitas amfibi di kawasan Ekowisata Lau Bertu Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat Sumatera Utara dan menjadi sumber acuan bagi peneliti selanjutnya.


(50)

ii

STRUKTUR KOMUNITAS AMFIBI DI KAWASAN

EKOWISATA LAU BERTU DESA RUMAH GALUH

KECAMATAN SEI BINGEI KABUPATEN LANGKAT

SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Penelitian struktur komunitas amfibi di kawasan Ekowisata Lau Bertu Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat Sumatera Utara telah dilakukan pada Januari-Februari 2015. Penentuan lokasi menggunakan metode purposive random sampling dan pengambilan sampel dengan metode visual encounter survey-night stream (VES-NS). Pengambilan sampel dilakukan pada 2 lokasi, lokasi 1 di sungai hutan masyarakat dan lokasi 2 di sungai perkebunan masyarakat. Hasil penelitian ditemukan 16 spesies yang termasuk ke dalam 9 genus, 5 famili dan 1 ordo. Kepadatan spesies pada kedua lokasi tidak jauh berbeda, lokasi 1 dengan nilai 28,26 ind/Ha sedangkan lokasi 2 dengan nilai 28,18 ind/Ha. Frekuensi kehadiran pada kedua lokasi relatif sama yaitu konstan, aksesori dan aksidental. Komposisi jenis tertinggi pada lokasi 1 adalah Rana hosii dan pada lokasi 2 adalah Rana chalconata. Indeks keanekaragaman kedua lokasi tergolong sedang yaitu 1≤ H’ ≥ 3. Indeks keseragaman pada kedua lokasi cukup seragam dengan nilai mendekati 1. Indeks kesamaan pada kedua lokasi tergolong mirip dengan nilai 72%.


(51)

iii

COMMUNITY STRUCTURE OF AMPHIBIANS AT LAU

BERTU ECOTOURISM RUMAH GALUH VILLAGE SEI

BINGEI DISTRICT LANGKAT REGENCY NORTH

SUMATRA

ABSTRACT

Community structure of amphibians at Lau Bertu Ecotourism area of Rumah Galuh Village, Sei Bingei District, Langkat Regency, North Sumatera have been done in January-February 2015. Were using purposive random sampling method and sampling with visual encounter survey night-stream (VES-NS). Two locations has been choosed, location 1 is in the forest communities river and location 2 is in the plantation society. The result was found 16 species belonging to the 9 genera, 5 families and 1 order. The density of species at both locations is not many different, location 1 with a value of 28,26 ind/Ha while location 2 with a value 28,18 ind/Ha. The attendance frequency of both locations are relative similarly they are constant, accesori and accidental categories. Highest spesies composition at location 1 is Rana hosii and location 2 is Rana chalconata. The diversity index both locations was moderate that was 1≤ H’ ≥ 3. The equitability index both locations was uniformly that value approach 1. The similarity index of both locations was similarly that value 72%.


(52)

KECAMATAN SEI BINGEI KABUPATEN LANGKAT

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

FITRIYANI 100805002

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016


(53)

STRUKTUR KOMUNITAS AMFIBI DI KAWASAN

EKOWISATA LAU BERTU DESA RUMAH GALUH

KECAMATAN SEI BINGEI KABUPATEN LANGKAT

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

FITRIYANI 100805002

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016


(54)

PERNYATAAN

STRUKTUR KOMUNITAS AMFIBI DI KAWASAN

EKOWISATA LAU BERTU DESA RUMAH GALUH

KECAMATAN SEI BINGEI KABUPATEN LANGKAT

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Januari 2016

FITRIYANI 100805002


(55)

i

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Struktur Komunitas Amfibi di Kawasan Ekowisata Lau Bertu Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat Sumatera Utara”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drs. Arlen Hanel John, M.Si dan Ibu Dr. Erni Jumilawaty, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Bapak Drs Nursal, M.Si dan Bapak Dr. T. Alief Aththorick, M.Si selalu dosen penguji yang telah banyak memberi saran dan masukan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU dan Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc selaku dosen penasehat akademik. Ibu Rosliana Ginting, Bang Hendar Raswin, Ibu Nurhasni Muluk dan seluruh dosen di Departemen Biologi FMIPA USU yang telah memberikan ilmunya.

Teristimewa dan rasa bangga kepada Ayahanda Hasan Basri Siregar dan Ibunda Nurhanisah yang telah memberikan segalanya. Bang julpan, Kak Nurul, Kak Diana, Kak Sam, Kak Dewi, Kak Del, Bang Iwan, Jenul, saudara-saudara sedarah lainnya, saudara ipar, keponakan, cucu, dan seluruh keluarga besar yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih atas do’a dan dukungannya.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bang Ncai, Bang Juned, Bang Dahin, Kak Desi, Kak Siska, Kak Arfah, Kak Rahmi, Aulia, Herclus, Ilham, dan Bagus yang telah membantu langsung selama penelitian. Inggin, Karin, Tari, Bang Zulfan, Siska, Nasir, Tia, Jordan dan yang lainnya di bidang Ekologi Hewan. Sahabat-sahabat terbaik Suci,Wiwi, Sania, Aulia, Dewi, Devi, Icak, Juli, Kebi, Riandi, Aulia Rahmat, Reni, Lintar Yusniarti, Delis, Septi, Adik Nurul dan semua teman Biorev 2010 yang telah bersama beberapa tahun dalam menjalani perkuliahan. Abang-abang dan Adik di kosan Primsa terimakasih atas hari-hari menyenangkan dan setahun cerianya. Demikianlah, semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Medan, Januari 2016


(56)

ii

STRUKTUR KOMUNITAS AMFIBI DI KAWASAN

EKOWISATA LAU BERTU DESA RUMAH GALUH

KECAMATAN SEI BINGEI KABUPATEN LANGKAT

SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Penelitian struktur komunitas amfibi di kawasan Ekowisata Lau Bertu Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat Sumatera Utara telah dilakukan pada Januari-Februari 2015. Penentuan lokasi menggunakan metode purposive random sampling dan pengambilan sampel dengan metode visual encounter survey-night stream (VES-NS). Pengambilan sampel dilakukan pada 2 lokasi, lokasi 1 di sungai hutan masyarakat dan lokasi 2 di sungai perkebunan masyarakat. Hasil penelitian ditemukan 16 spesies yang termasuk ke dalam 9 genus, 5 famili dan 1 ordo. Kepadatan spesies pada kedua lokasi tidak jauh berbeda, lokasi 1 dengan nilai 28,26 ind/Ha sedangkan lokasi 2 dengan nilai 28,18 ind/Ha. Frekuensi kehadiran pada kedua lokasi relatif sama yaitu konstan, aksesori dan aksidental. Komposisi jenis tertinggi pada lokasi 1 adalah Rana hosii dan pada lokasi 2 adalah Rana chalconata. Indeks keanekaragaman kedua lokasi tergolong sedang yaitu 1≤ H’ ≥ 3. Indeks keseragaman pada kedua lokasi cukup seragam dengan nilai mendekati 1. Indeks kesamaan pada kedua lokasi tergolong mirip dengan nilai 72%.


(57)

iii

COMMUNITY STRUCTURE OF AMPHIBIANS AT LAU

BERTU ECOTOURISM RUMAH GALUH VILLAGE SEI

BINGEI DISTRICT LANGKAT REGENCY NORTH

SUMATRA

ABSTRACT

Community structure of amphibians at Lau Bertu Ecotourism area of Rumah Galuh Village, Sei Bingei District, Langkat Regency, North Sumatera have been done in January-February 2015. Were using purposive random sampling method and sampling with visual encounter survey night-stream (VES-NS). Two locations has been choosed, location 1 is in the forest communities river and location 2 is in the plantation society. The result was found 16 species belonging to the 9 genera, 5 families and 1 order. The density of species at both locations is not many different, location 1 with a value of 28,26 ind/Ha while location 2 with a value 28,18 ind/Ha. The attendance frequency of both locations are relative similarly they are constant, accesori and accidental categories. Highest spesies composition at location 1 is Rana hosii and location 2 is Rana chalconata. The diversity index both locations was moderate that was 1≤ H’ ≥ 3. The equitability index both locations was uniformly that value approach 1. The similarity index of both locations was similarly that value 72%.


(58)

iv DAFTAR ISI

Halaman

PENGHARGAAN i

ABSTRAK ABSTRACT

ii iii

DAFTAR ISI iv

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Permasalahan 2

1.3. Tujuan Penelitian 3

1.4. Manfaat Penelitian 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Struktur Komunitas 4

2.2. Amfibi 4

2.3. Klasifikasi Amfibi 5

2.4. Ekologi Amfibi 6

2.5. Habitat Amfibi 6

2.6. Manfaat dan Peranan Amfibi 7

2.7. Konservasi Amfibi 8

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat 10

3.2. Deskripsi Area 10

3.3. Bahan dan Metode 11

3.3.1. Alat dan Bahan Penelitian 11

3.3.2. Metode Sampling 11

3.3.3. Metode Penelitian 12

3.3.4. Pengambilan Sampel dan Identifikasi Amfibi 12 3.3.5. Pengukuran Faktor Fisik Kimia 13

3.3.6. Analisis Data 13

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Komunitas Amfibi pada Lokasi Penelitian 16 4.2. Kepadatan (Individu/Ha) dan Kepadatan Relatif (%)

Amfibi 18

4.3. Komposisi Komunitas Amfibi pada Lokasi Penelitian 20 4.4. Amfibi yang Memiliki Nilai KR 10% dan FK

25% 21

4.5. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (E)


(59)

v

4.6. Sebaran Ekologis Amfibi 23

4.7. Indeks Similaritas (Kesamaan) Amfibi antar Lokasi

(QS) 25

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan 26

5.2. Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 27


(60)

vi

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

4.1. Spesies Amfibi di Kawasan Ekowisata Lau Bertu Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten

Langkat Sumatera Utara 16

4.2. Nilai Kepadatan (Individu/Ha) dan Kepadatan Relatif

(%) Amfibi pada Lokasi Penelitian 18

4.3 Komposisi Komunitas Amfibi di Kawasan Ekowisata Lau Bertu Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei

Kabupaten Langkat Sumatera Utara 21

4.4. Amfibi yang Memiliki Nilai KR ≥ 10 % dan FK ≥ 25 %

pada Lokasi Penelitian 22

4.5. Nilai Indeks Keanekaragaman dan Keseragaman Amfibi

pada Lokasi Penelitian 23

4.6. Kisaran Posisi Umum Masing-masing Amfibi saat


(61)

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

3.1. Lokasi Penelitian di Sungai dalam Areal Hutan

Masyarakat 10

3.2. Lokasi Penelitian di Sungai alam Areal Perkebunan

Masyarakat 11


(62)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

1. Peta Lokasi Penelitian 30

2. Data spesies dan jumlah Amfibi yang Ditemukan

Pada Lokasi Penelitian 31

3. Data Faktor Fisik Kimia pada Lokasi Penelitian 33

4. Deskripsi Spesies Amfibi yang ditemukan 34


(1)

iii

COMMUNITY STRUCTURE OF AMPHIBIANS AT LAU

BERTU ECOTOURISM RUMAH GALUH VILLAGE SEI

BINGEI DISTRICT LANGKAT REGENCY NORTH

SUMATRA

ABSTRACT

Community structure of amphibians at Lau Bertu Ecotourism area of Rumah Galuh Village, Sei Bingei District, Langkat Regency, North Sumatera have been done in January-February 2015. Were using purposive random sampling method and sampling with visual encounter survey night-stream (VES-NS). Two locations has been choosed, location 1 is in the forest communities river and location 2 is in the plantation society. The result was found 16 species belonging to the 9 genera, 5 families and 1 order. The density of species at both locations is not many different, location 1 with a value of 28,26 ind/Ha while location 2 with a value 28,18 ind/Ha. The attendance frequency of both locations are relative similarly they are constant, accesori and accidental categories. Highest spesies composition at location 1 is Rana hosii and location 2 is Rana chalconata. The diversity index both locations was moderate that was 1≤ H’ ≥ 3. The equitability index both locations was uniformly that value approach 1. The similarity index of both locations was similarly that value 72%.


(2)

iv DAFTAR ISI

Halaman

PENGHARGAAN i

ABSTRAK ABSTRACT

ii iii

DAFTAR ISI iv

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Permasalahan 2

1.3. Tujuan Penelitian 3

1.4. Manfaat Penelitian 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Struktur Komunitas 4

2.2. Amfibi 4

2.3. Klasifikasi Amfibi 5

2.4. Ekologi Amfibi 6

2.5. Habitat Amfibi 6

2.6. Manfaat dan Peranan Amfibi 7

2.7. Konservasi Amfibi 8

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat 10

3.2. Deskripsi Area 10

3.3. Bahan dan Metode 11

3.3.1. Alat dan Bahan Penelitian 11

3.3.2. Metode Sampling 11

3.3.3. Metode Penelitian 12

3.3.4. Pengambilan Sampel dan Identifikasi Amfibi 12

3.3.5. Pengukuran Faktor Fisik Kimia 13

3.3.6. Analisis Data 13

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Komunitas Amfibi pada Lokasi Penelitian 16 4.2. Kepadatan (Individu/Ha) dan Kepadatan Relatif (%)

Amfibi 18

4.3. Komposisi Komunitas Amfibi pada Lokasi Penelitian 20 4.4. Amfibi yang Memiliki Nilai KR 10% dan FK

25% 21

4.5. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (E)


(3)

v

4.6. Sebaran Ekologis Amfibi 23

4.7. Indeks Similaritas (Kesamaan) Amfibi antar Lokasi

(QS) 25

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan 26

5.2. Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 27


(4)

vi

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

4.1. Spesies Amfibi di Kawasan Ekowisata Lau Bertu Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei Kabupaten

Langkat Sumatera Utara 16

4.2. Nilai Kepadatan (Individu/Ha) dan Kepadatan Relatif

(%) Amfibi pada Lokasi Penelitian 18

4.3 Komposisi Komunitas Amfibi di Kawasan Ekowisata Lau Bertu Desa Rumah Galuh Kecamatan Sei Bingei

Kabupaten Langkat Sumatera Utara 21

4.4. Amfibi yang Memiliki Nilai KR ≥ 10 % dan FK ≥ 25 %

pada Lokasi Penelitian 22

4.5. Nilai Indeks Keanekaragaman dan Keseragaman Amfibi

pada Lokasi Penelitian 23

4.6. Kisaran Posisi Umum Masing-masing Amfibi saat


(5)

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

3.1. Lokasi Penelitian di Sungai dalam Areal Hutan

Masyarakat 10

3.2. Lokasi Penelitian di Sungai alam Areal Perkebunan

Masyarakat 11


(6)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

1. Peta Lokasi Penelitian 30

2. Data spesies dan jumlah Amfibi yang Ditemukan

Pada Lokasi Penelitian 31

3. Data Faktor Fisik Kimia pada Lokasi Penelitian 33

4. Deskripsi Spesies Amfibi yang ditemukan 34