Metafora Melayu klasik dalam hikayat Abdullah

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka
2.1.1. Hikayat
Hikayat berasal dari India dan Arab, berisikan cerita kehidupan para
dewi, peri, pangeran, putri kerajaan, serta raja-raja yang memiliki kekuatan
gaib. Kesaktian dan kekuatan luar biasa yang dimiliki seseorang, yang
diceritakan dalam hikayat kadang tidak masuk akal. Namun dalam hikayat
banyak mengambil tokoh-tokoh dalam sejarah. Dan salah satu bentuk sastra
karya prosa lama yang isinya berupa cerita, kisah, dongeng maupun sejarah.
Umumnya mengisahkan tentang kephalawanan seseorang, lengkap dengan
keanehan, kekuatan/ kesaktian, dan mukjizat sang tokoh utama. Ciri - ciri
hikayat ada adalah sebagai berikut ini:
1. Berisi kisah - kisah kehidupan lingkungan istana (istana sentris)
2. Banyak peristiwa yang berhubungan dengan nilai - nilai Islam
3. Nama nama tokoh dipengaruhi oleh nama - nama Arab
4. Ditemukan tokoh dengan karakter diluar batas kewajaran karakter
manusia pada umumnya
5. Tidak ada`pembagian bab atau judul
6. Juru cerita tidak pernah disebuntak secara eksplisit (anonim)

7. Sulit membedakan peristiwa yang nyata dan peristiwa yang imajinatif
8. Banyak menggunakan kosakata yang kini tidak lazim digunakan dalam
komunikasi sehari – hari

12

9. Seringkali menggunakan pernyataan yang berulang – ulang
10. Peristiwa seringkali tidak logis
11. Sulit memahami jalan ceritanya
12. Bersifat istana centris
13. Anonim (nama pengarang tidak di cantumkan)
14. Berkembang secara stetis
15. Bersifat imajinatif, hanya bersifat khayal
16. Lisan, karena di sebarkan lewat mulut ke mulut
17. Berbahasa klise, meniru bahasa penutur sebelumnya
18. Bersifat logis
Hikayat mencakup istilah sejarah, mistik, satire, alegori dan lain-lain.
Dalam The Encyclopedia of Islam dinyatakan Gibb et all. , (1965) sebagai
berikut:
Hikayat is regarded here as referring in classical Persian literature to

the short prose story which cannot be said to form a true literary genre
in Persian tradition, since hikayat are inserted in many other types of
literary composition (history, mystic, writing’s, satire, ect. ) in addition
to the collection of hikayat properly so called.
Adapun unsur-unsur dalam Hikayat yaitu :
1. Unsur Intrinsik
a) Tema dan Amanat
Tema ialah persoalan yang menduduki tempat utama dalam karya
sastra. Tema mayor ialah tema yang sangat menonjol dan menjadi
persoalan. Tema minor ialah tema yang tidak menonjol.

13

Amanat ialah pemecahan yang diberikan oleh pengarang bagi persoalan
di dalam karya sastra. Amanat biasa disebut makna. Makna dibedakan
menjadi makna niatan dan makna muatan. Makna niatan ialah makna
yang diniatkan oleh pengarang bagi karya sastra yang ditulisnya.
Makna muatan ialah makana yang termuat dalam karya sastra tersebut.
b) Tokoh dan Penokohan
Tokoh ialah pelaku dalam karya sastra. Dalam karya sastra biasanya

ada beberapa tokoh, namun biasanya hanya ada satu tokoh utama.
Tokoh utama ialah tokoh yang sangat penting dalam mengambil
peranan dalam karya sastra.
Penokohan atau perwatakan ialah teknik atau cara-cara menampilkan
tokoh. Ada beberapa cara menampilkan tokoh. Cara analitik, ialah cara
penampilan tokoh secara langsung melalui uraian pengarang. Jadi
pengarang menguraikan ciri-ciri tokoh tersebut secara langsung.
c) Alur dan Pengaluran
Alur disebut juga plot, yaitu rangkaian peristiwa yang memiliki
hubungan sebab akibat sehingga menjadi satu kesatuan yang padu bulat
dan utuh.
Pengaluran, yaitu teknik atau cara-cara menampilkan alur. Menurut
kualitasnya, pengaluran dibedakan menjadi alur erat dan alur longggar.
Alur erat ialah alur yang tidak memungkinkan adanya pencabangan
cerita. Alur longgar adalah alur yang memungkinkan adanya
pencabangan cerita.

14

Alur lurus ialah alur yang melukiskan peristiwa-peristiwa berurutan

dari awal sampai akhir cerita. Alur tidak lurus ialah alur yang
melukiskan tidak urut dari awal sampai akhir cerita. Alur tidak lurus
bisa menggunakan gerak balik (backtracking), sorot balik (flashback),
atau campuran keduanya.
d) Latar dan Pelataran
Latar disebut juga setting, yaitu tempat atau waktu terjadinya peristiwaperistiwa yang terjadi dalam sebuah karya sastra. Latar atau setting
dibedakan menjadi latar material dan sosial, sedangkan pelataran ialah
teknik atau cara-cara menampilkan latar.
e) Pusat Pengisahan
Pusat pengisahan ialah dari mana suatu cerita dikisahkan oleh pencerita.
Pencerita di sini adalah pribadi yang diciptakan pengarang untuk
menyampaikan cerita.
2. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik ialah unsur yang membentuk karya sastra dari luar
sastra itu sendiri. Untuk melakukan pendekatan terhadap unsur ekstrinsik,
diperlukan bantuan ilmu-ilmu kerabat seperti sosiologi, psikologi, filsafat,
dan lain-lain.
Walaupun istilah hikayat awalnya berasal dari India dan Arab, tetapi
dengan perkembangan bentuk di Nusantara (tanah Melayu), maka hikayat
mempunyai hakikat yang berbeda karena cerita-cerita yang digunakan dalam

hikayat seperti cerita narasi atau sejarah misalnya dalam sastra Melayu dikenal

15

Hikayat raja-raja Pasai, Hikayat Siak, Tradisi Lisan, Hikayat Malin Demen,
hikayat yang berunsur Islam seperti Hikayat Nabi Yusuf, bahkan cerita
autobiografi seperti Hikayat Abdullah. Hikayat Abdullah/ “The life of
Abdullah” adalah autobiografi dari Abdullah, anak dari seorang juru tulis
Melayu yang terhormat. Ia pernah ditugaskan oleh Pemerintahan Belanda di
Batavia untuk menjelajahi negri-negri Melayu di gugusan pulau Nusantara
dengan tujuan mengumpulkan naskah-naskah Melayu. Ia seorang anak Melaka;
raut mukanya Arab. Ia memiliki daya pikir yang tangguh serta pengetahuan
mengenai bahasa ibundanya yang amat terperinci dan luas. Selama kira-kira
tiga puluh tahun yang lalu, ia mengabdi kepada orang Eropa sebagai guru
bahasa Melayu. Sir Stamford Raffles, Crawfurd, Dr. Morrison, Dr. Milne dan
beberapa orang terkemuka lainnya pernah menjadi muridnya. Salah seorang
missionaris yang memainkan peran dalam karir Abdullah mengusulkan
kepadanya supaya ia menulis riwayat hidupnya sendiri, ia enggan karena
katanya, ia bukan orang yang terkenal, apalagi hidupnya tidak diwarnai
peristiwa yang penting. Missionaris tersebut menjawab bahwa orang Eropa

akan sangat tertarik minatnya pada sebuah buku yang berisi segala sesuatu
yang dapat diingatnya mengenai raja-raja Melayu, haji-haji tua yang pulang
dari Mekah, cerita Melayu lama, adat, prasangka dan bias-bias, ketakhayulan,
pembajakan di laut, malah hal apa saja tentang orang Melayu. Tidak lama
kemudian Abdullah mulai menulis riwayat mengenai ayahnya, peristiwa
semasa kecil, bagaimana ia berkenalan dengan Dr. Milne, dan sebagainya. Ia
segera menjadi asyik sekali mengerjakan usaha ini. Makin lama makin banyak

16

terkumpul bahan, sehingga buku inilah hasilnya, “Hikayat Abdullah”. Bukunya
merupakan sesuatu yang baru dan dari beberapa aspek menarik sekali. Hikayat
Abdullah ini mempunyai dua wujud karena terdiri dari dua naskah. Edisi
pertama naskah dan edisi 1849 yang telah dicetak ulang 14 kali di Singapura,
sedangkan edisi ke dua edisi 1880 dicetak dengan litografi dan dicetak ulang
dengan huruf Jawi juga dalam aksara latin pada tahun 1903, 1907-1908, 1916
dan 1917. (Sweeney, 2008). Penelitian ini menggunakan edisi pertama.

2.1.2. Konsep Metafora
Kata 'metafora' berasal dari kata Yunani: meta- dan phor. Meta- adalah

prefiks yang biasa dipakai untuk menggambarkan perubahan, sedangkan kata
phor berasal dari kata pherein yang berarti 'membawa'. Dengan demikian,
metafora bisa diartikan sebagai 'membawa perubahan makna'. Berbagai bahasa
juga menggunakan metafora sebagai salah satu modus berbahasa, khususnya
untuk menciptakan makna baru. Metafora merupakan bagian penting dalam
pengalaman berbahasa. Namun, ini tidak mudah dijelaskan oleh para ahli
linguistik, sulit untuk menjelaskan dari mana datangnya sebuah makna.
Linguistik dapat menjelaskan makna literal, namun makna kiasan di dalam
metafora sulit untuk dijelaskan. Dalam berbagai karya sastra metafora
digunakan sebagai bahasa kiasan, yakni salah satu unsur untuk mendapatkan
kepuitisan. Keberadaannya menyebabkan suatu karya sastra seperti sajak
menjadi menarik perhatian.

17

Keterangan ini dikutip oleh Hester dari tulisan Wheelwright dalam
bukunya "Metaphor and Reality" (Bloomington, 1962:35—36) yang ditulis
kembali oleh Hester dalam bukunya "The Meaning of Poetic Metaphor
(1967:17). Hester juga menyebutkan bahwa metafora sangat baik karena
memiliki kekuatan untuk menyatakan suatu hal, khususnya untuk menciptakan

karya sastra, seperti yang dinyatakan dalam kalimat The best metaphors
display a fision of diaphor and epiphor. . . . . . gives the metaphor its power.
Hester, (1976:16—17) (dalam Antara, 2007) menyebutkan metafora merujuk
pada dua komplemen yang sejajar yakni epiphor dan diaphor. Epiphor berarti
metafora yang mengimplikasikan makna (semantik) konteks seluas-luasnya.
Diaphor berarti 'tipe yang ada dalam batin'.
Mooij (1976:14) berpendapat bahwa dalam kalimat Napoleon is a wolf
menggambarkan Nopeleon kejam ('Napoleon is cruel'). Kekejaman Napoleon
diibaratkan dengan kekejaman serigala. Fitur srigala yang paling tepat untuk
melukiskan kekejaman yang dimiliki Napoleon. Unsur-unsur yang membangun
metafora disusun dari beberapa identitas simbol lingual, di antaranya berupa
kelas kata, seperti nomina, adjektiva, dan verba. Simbol lingual metafora dapat
berupa sesuatu (the things), seseorang (person), ide (ideas), periode (periods),
wilayah (areas), kualitas (qualify), disposisi (dispositions), hubungan
(relations) dan lain-lain. Foss, 1976:61 (dalam Antara, 2007) menambahkan
bahwa penggunaan metafora dalam bentuk tuturan kalimat lebih memiliki
kekuatan dibandingkan dalam bentuk sebuah kata.

18


Konsep metafora menurut Searle (1979) yang menyebutkan bahwa
kedudukan metafora dalam keseluruhan bahasa kias atau figuratif dapat
diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu (1) metafora yang diposisikan dalam
pengertian luas atau sebagai payung untuk semua bahasa kias, dan (2)-metafora
dalam arti yang sempit. Posisi sebagai payung tersirat dalam pandangan yang
dikonsepkan Searle (dalam Ortony, ed. 1979:92—123). Di sini Searle
menyatakan istilah metafora sebagai sebuah ekspresi kebahasaan yang
bermakna figuratif. Dia juga mengemukakan bahwa dua tipe teori metafora,
yaitu teori perbandingan (comparison theories) dan teori interaksi semantik
(semantic interaction theories). Kedua teori ini menekankan bahwa konteks
yang terdapat dalam ungkapan metafora mengandung dua sisi makna, yaitu sisi
yang satu bermakna metaforis dan sisi yang lainnya bermakna harafiah.
Hakikat metafora menurutnya adalah membandingkan dua hal, yakni yang
dibandingkan/ terbanding dengan yang dipakai untuk membandingkan/
pembanding. Hakikat pembicaraan metafora merujuk pada semua tuturan yang
bermakna kias.
Konsep metafora menurut Saussure (1988:63—69) dikaitkan dengan
istilah sign berarti tanda, simbol, atau lambang. Teori tanda banyak
dikembangkan oleh Pierce, dalam bidang linguistik oleh Saussure.


2.1.2. Teori Metafora
Beragam pendapat dan penjelasan tentang metafora telah banyak
dijumpai. Salah satu di antaranya adalah pendapat dan penjelasan yang

19

diungkapkan oleh Beardsley (1981:134—135) yang menyebutkan bahwa ada
tiga jenis teori yang perlu dipertimbangkan dalam kaitannya dengan metafora,
yaitu: (a) teori emotif, (b) teori supervenience, dan (c) teori literal. Teori
pertama, sebagai akibat intensitas emosi, memandang metafora dan bentukbentuk kias pada umumnya merupakan dislokasi dan disfungsi bahasa. Dilihat
dari struktur bahasa formal metafora seolah-olah salah tempat, salah
penggunaan, dan dengan demikian akan menimbulkan salah penafsiran.
Sebaliknya, dengan pertimbangan bahwa metafora dan penyusunan bahasa
sastra pada umumnya dimaksudkan untuk memperoleh makna karya secara
maksimal, maka penyimpangan seperti ini justru merupakan keunggulan
penggunan bahasa. 'Pisau bedah' misalnya, yang semula mengacu pada
pengertian benda konkret kemudian menjadi 'dasar teori' yang digunakan untuk
mengungkap suatu fenomena secara ilmiah. Ketajaman pisau bedah dirujuk
sebagai ketajaman dan ketepatan pemilihan sebuah teori untuk mengungkap
fenomena keilmuan secara tepat agar hasil yang diperoleh juga tepat.

Ketajaman teori dalam mengungkap suatu fenomena jelas mengevokasi emosi
untuk memahaminya.
Di samping itu, pisau bedah bermakna ketelitian yang tinggi karena
salah dalam memilih satu pisau bedah akan berakibat menghilangkan nyawa
seseorang. Foss (1949:61—62) menyebutkan bahwa makna metaforis
terkandung di dalam proses bukan dalam kata-kata tunggal. Teori ini
memandang metafora sebagai jenis bahasa khas.

20

Teori kedua, teori supervenience mencoba memahami kemampuan
sekaligus kelebihan bahasa sastra, khususnya metafora dibandingkan dengan
bahasa secara harafiah. Dalam metafora makna tidak lahir secara literal, makna
tidak ada dalam kamus, sehingga seolah-olah tidak ada hubungan atara katakata dengan acuan, masing-masing unsur berdiri secara independen. Makna
lahir secara tak terduga, seolah-olah tidak diharapkan. Metafora lebih sebagai
pemecahan teka-teki. Makna literal yang terkandung lenyap, digantikan oleh
makna metaforis.
Teori ketiga, teori literal merupakan teori harafiah dan sekaligus
mempertentangkan bahasa sehari-hari dengan metafora itu sendiri, bahasa kias
pada umumnya. 'Mobilnya seperti mobilku' misalnya, dianggap sebagai
perbandingan langsung, simile, sedangkan metafora adalah kiasan (simile)
tersembunyi. Beardsley (1981:138) menjelaskan bahwa simile terdiri atas dua
jenis yaitu simile terbuka dan simile tertutup. Metafora dikategorikan pada
simile tertutup karena memiliki cara kerja yang sama. Makna perbandingan
langsung dan simile terbuka terkandung dalam konteks. Sebaliknya konteks
dalam metafora secara terus menerus dihilangkan sebab kehadirannya
mengurangi terjadinya produksi makna. Metafora dengan demikian bukan
perbandingan tak langsung melainkan perbandingan itu sendiri. Berbeda
dengan teori pertama, sebagai teori emotif, teori kedua dan ketiga bersifat
kognitif.
Lakoff dan Johnson (1980) berfokus pada dua hal utama. Yang pertama
ialah metafora sebagai proses kognitif dan merupakan hasil pengalaman. Oleh

21

sebab itu mereka menyebutkan bahwa metafora adalah sebagai proses kognitif
eksperimental. Atas dasar proses kognitif ini, tuturan dapat dianalisis tematemanya yang tersirat yang mempunyai makna metafora.
Metafora juga dinyatakan sebagai ekspresi linguistik. Artinya adalah
bahwa metafora memiliki karakteristik bahasa dan merupakan sebuah
perspektif. Di samping itu juga metafora adalah: merupakan masalah imajinasi
rasionalitas. Dalam hal ini, konsep tersebut di atas tidak hanya menyangkut
masalah intelektualitas tetapi juga di dalamnya memuat semua pengalaman
yang alami sehingga pemahaman makna metafora didasarkan atas aspek
pengalaman, di antaranya pengalaman estetika. Dengan dasar itu, keberadaan
metafora dinyatakan sebagai pengungkapan jenis dari sesuatu yang bermakna
figuratif dan metafora dikaitkan dengan jenis bahasa figuratif lainnya seperti
personifikasi dan metonimi.
Lakoff dan Johnson (1980:53) juga menyebutkan bahwa metafora
terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Ditambahkan bahwa berdasarkan
pengalaman konsep metafora meliputi tiga hal, yaitu (1) ide (makna) untuk
menandai sesuatu yang berupa objek, (2) ekspresi linguistik yaitu berupa katakata sebagai wadahnya (kontainer), dan (3) cara komunikasi atau cara penutur
menyampaikan maksud secara figuratif.
Sebagai salah satu kajian linguistik, metafora dapat dianalisis
berdasarkan unsur-unsur kalimat atau struktur kalimat. Melalui kajian
linguistik dapat diketahui bahwa unsur yang terdapat dalam metafora berupa
ekspresi harafiah dan ekspresi imajinasi metaforis. Esensi konsep metafora

22

berupa pemahaman dan pengungkapan jenis sesuatu yang bemakna metaforis.
Untuk memahaminya sangat diperlukan penerapan dasar teori perbandingan.
Dicontohkan, kalimat A adalah B akan dianggap sama maknanya dengan
kalimat A sama seperti B. Pengertian ini menunjukkan bahwa metafora
menduduki posisi yang lebih luas untuk semua pengertian yang mengandung
makna perbandingan. Ini didasarkan atas pemahaman tentang metafora melalui
proses kognitif.
Berbeda dengan teori di atas, Luxemburgh, dkk. (1984:187)
mengutarakan bahwa untuk memberikan intensitas terhadap gaya bahasa dapat
digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu metafora (perumpamaan) dan
metonimia (sinekdoke). Sinekdoke yang paling kerap digunakan adalah
konsep-konsep berdampingan dengan ciri bagian mewakili totalitas atau
sebaliknya. Meskipun metafora dan perumpamaan dianggap sama tetapi
keduanya pada dasarnya juga memiliki perbedaan. Perbandingan dalam
metafora terjadi secara implisit, dalam perumpamaan secara eksplisit, biasanya
dengan menggunakan kata-kata penghubung, di antaranya adalah 'seperti',
'umpama', 'laksana', dan 'bak'. Dalam kalimat 'Ayahku mendidikku sebagai
seorang guru" adalah perumpamaan, sedangkan 'Ayahku guruku' adalah
metafora. Dalam perumpamaan, dengan perbandingan secara eksplisit maka
motif lebih terbatas, misalnya, sebagai guru dengan unsur pendidik. Sedangkan
dalam metafora dengan tidak adanya kata penghubung 'sebagai', maka
interpretasi terjadi secara lebih bebas sehingga dimungkinkan untuk
menunjukkan motif-motif secara terbatas. Seorang ayah di samping mampu

23

mendidik anaknya secara moral spiritual, ia harus mampu pula mengajarkan
ilmu pengetahuan. Dengan kalimat lain, makin singkat baris yang digunakan
untuk melukiskan suatu objek, maka makin kayalah penafsiran yang
dihasilkan.
Teori lain tentang metafora digagas oleh Cormac (1985) dalam bukunya
berjudul “A Cognitive Theory of Metaphor” membahas tentang metafora
berdasarkan proses kognitif. Dengan dasar kognitif ini metafora dipandang
menduduki posisi kunci atau sebagai payung dari semua tuturan yang
metaforis, baik metafora yang konvensional maupun metafora yang berbentuk
struktur dari hasil imajinasi atau kreativitas. Dengan kreasi berbahasa telah
tercipta keragaman bentuk metafora dengan arti yang baru.
Dari uraian konsep metafora di atas (Beardsley, 1981; Lakoff dan
Johnson, 1980; Luxemburg, dkk. , 1984; dan Cormac, 1985) dapat disimpulkan
bahwa metafora merupakan payung bagi semua jenis ungkapan yang
mengandung konsep perbandingan. Anggapan yang mendudukkan posisi
metafora bahasa Melayu Klasik sebagai payung didasarkan pada konsep
perbandingan antara yang ditandai (terbanding) dengan yang menandai
(pembanding).

2.2. Kerangka Teoritis
2.2.1. Parera (2004)
Parera (2004:119) yang membedakan metafora atas empat kelompok,
yakni (1) klasifikasi metafora bercitra antropomorfik, (2) metafora bercitra

24

hewan, (3) metafora bercitra abstrak ke konkret, dan (4) metafora bercitra
sinestesia atau pertukaran tanggapan/ persepsi indra. Metafora antropomorfik
dalam banyak bahasa dapat dicontohkan sebagai "mulut botol", "jantung kota",
"bahu jalan", dan lain-lain.
Metafora bercitra hewan biasanya digunakan juga oleh pemakai bahasa
untuk menggambarkan satu kondisi atau kenyataan dalam alam.
Metafora bercitra abstrak ke konkret, adalah mengalihkan ungkapan-ungkapan
yang abstrak ke ungkapan yang lebih konkret. Seringkali pengalihan ungkapan
itu masih bersifat transparan tetapi dalam beberapa kasus penelusuran
etimologi perlu dipertimbangkan untuk memenuhi metafora tertentu.
Dicontohkan oleh Parera, secepat kilat 'satu kecepatan yang luar biasa',
moncong senjata 'ujung senjata', dan lain-lain.
Metafora bercitra sinestesia, merupakan salah satu tipe metafora
berdasarkan pengalihan indra, pengalihan dari satu indra ke indra yang lain.
Dalam ungkapan sehari-hari orang sering mendengar ungkapan "enak
didengar" untuk musik walaupun makna enak selalu dikatakan dengan indra
rasa; "sedap dipandang mata" merupakan pengalihan dari indra rasa ke indra
lihat.
Konsep teori yang diungkapkan Parera (2004) digunakan untuk
menjawab permasalahan penelitian 1, 2, dan 3 seperti yang termaktub dalam
subbab 1.2.

25

2.2.2. Kovecses (2006)
Kovecses

(2006)

menekankan

bahwa

berdasarkan

tingkatan

kovensionalitasnya, ada tiga kelompok metafora, antara lain (i) fungsi, (ii)
sifat, dan (iii) generalitasnya. Ia juga menyebutkan bahwa metafora konseptual
merefleksikan apa yang dipersepsikan, dialami, dan dipikirkan orang tentang
kenyataan dunia. Semua yang dialami, dipersepsikan, dan dipikirkan merasuk
dalam memori semantik yang dapat digunakan kapan saja. Untuk dapat
menggunakannya, seseorang kemudian mengaktifkan memori itu untuk
direalisasikan dalam bentuk verbal yang digunakan dalam komunikasi.
Sehingga ungkapan-ungkapan metaforis kadang lebih dipilih dibandingkan
dengan

ungkapan

yang tidak

metaforis

karena

ungkapan

metaforis

mengandung muatan yang diutamakan, diperhatikan, dan emosi yang ada
dalam ungkapan sesuai dengan yang diinginkan pengguna ungkapan.
Metafora digunakan untuk memahami konsep abstrak yang dikaitkan
dengan konsep lain yang lebih nyata. Secara linguistik kognitif hal ini disebut
dengan memahami suatu ranah konsep dengan cara lainnya. Pandangan
kognitif ini mengisyaratkan bahwa ranah konsep (A) adalah ranah konsep (B)
yang kemudian membentuk metafora konseptual (Kovecses, 2002:4). Contoh
yang diberikan di sini adalah ungkapan linguistik “he shot down all of our
arguments, ” (‘dia menembak jatuh semua argumen kami’) menjadi metafora
konseptual bahwa AN ARGUMENT IS WAR (‘SEBUAH ARGUMEN
ADALAH PERANG’).

26

Dua ranah metafora konseptual berupa ranah sumber dan ranah sasaran.
Ranah sumber terdiri atas konsep nyata yang digunakan untuk memahami
konsep yang lebih abstrak yang menyepakati ranah sasarannya yang oleh
Kovecses (2002:4) disebut dengan teori emosi dan ide. Ciri-ciri ranah tersebut
sangat penting dan keduanya tidak dapat mengubah yang satu dengan lainnya.
Proses metafora biasanya dari yang lebih nyata ke yang lebih abstrak bukan
sebaliknya (Kovecses, 2002:6).
Metafora memiliki dua komponen, yaitu: target dan sumber. Pendapat
Kovecses (2006) memperkuat pernyataan dan penjelasan Lakoff dan Johnson
(1980; 2003), yang menyebutkan target biasanya lebih abstrak, dan sumber
lebih konkret. Untuk dapat memahami maksud yang terkandung dalam
metafora ditemukan kesamaan karakteristik yang dimiliki antara target dan
sumber. Membandingkan karakteristik yang dimiliki keduanya, akan
ditemukan dasar suatu metafora yang dipilih dan digunakan.
Pemilihan suatu sumber tertentu untuk suatu target dilakukan karena
didasarkan pada pengalaman yang dirasakan tubuh ketika mengalami kondisi
yang dirasakan, misalnya, dicontohkan oleh Kovecses (2006:117) dalam
kalimat affection is warmth. Kalimat ini muncul karena ada sesuatu yang
didasari oleh pengalaman ketika mendapatkan kasih sayang dari orang lain
(affection), seseorang merasakan hangat (warmth), sehingga muncul metafora
itu.
Metafora konseptual mengindikasikan suatu proses yang ada dalam
ranah untuk menjelaskan suatu entitas yang didasarkan pada perasaan,

27

pengalaman, dan pikiran tentang realitas yang benar-benar ada atau yang
dibayangkan ada, dengan menggunakan entitas lain yang lebih konkret atau
dapat divisualisasikan atau dirasakan oleh tubuh. Oleh karena itu, menurut
Kovecses (2006) ada komponen-komponen yang dapat dijelaskan, yaitu :
(1) ranah sumber,
(2) ranah target, dan
(3) dasar metafora.
Ketiga komponen ini merupakan komponen dasar dalam metafora
konseptual. Ranah sumber yang memiliki ciri lebih konkret merupakan dasar
untuk menjelaskan target yang bersifat lebih abstrak. Misalnya, dalam metafora
life is a journey, dapat dipahami bagaimana kehidupan (life) yang bersifat
abstrak itu digambarkan sehingga lebih mudah untuk dipahami karena
dibandingkan dengan perjalanan (journey). Dalam kalimat tersebut dapat
dimengerti apa yang dimaksud dengan kehidupan (life) yang menjadi target
berdasarkan kesamaan ciri yang dimiliki oleh perjalanan (journey) sebagai
sumber. Kesamaan ciri atau karakteristik yang ada dalam kedua komponen itu
menjadi patokan dasar metafora, sebagai contoh dalam perjalanan setidaknya
ada unsur-unsur tujuan, rintangan, jarak yang ditempuh, dan dalam kehidupan
juga ada kesulitan hidup sebagai rintangan, kemajuan hidup, tujuan hidup, dan
seterusnya. Pengalaman yang dirasakan tubuh dapat memotivasi hubungan
antara sumber dan target. Untuk menguatkan penjelasan ini, Kovecses
memberi contoh dalam kalimat affection is warmth ‘kasih sayang itu
kehangatan’ dapat ditunjukkan hubungan kasih sayang dengan kehangatan.

28

Penjelasannya adalah apa yang dirasakan oleh tubuh ketika mendapatkan
pelukan sebagai bentuk rasa sayang, misalnya, tubuh merasa hangat, nyaman,
dan tenang. Apa yang dirasakan merasuk ke dalam memorinya, kemudian
mencari kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana affection itu.
Selain itu, kesamaan antara sumber dan target juga dapat menunjukkan
hubungan antara sumber dan target. Menurut Kovecses lagi, kesamaan tidak
selalu menjadi dasar untuk menunjukkan hubungan antara target dengan
sumbernya. Lebih lanjut, Kovecses (2006) menambahkan ada korespondensi
konseptual yang mendasar dan esensial yang dinamakan pemetaan antara ranah
sumber dan ranah target. Pemetaan harus disusun sehingga dapat menunjukkan
ungkapan linguistik metaforis tertentu. Inferensi yang oleh Kovecses disebut
entailment dan entailment yang potensial merupakan pemetaan tambahan.
Ranah sumber sering memetakan gagasan melebihi gagasan yang ada dalam
ranah target. Pemetaan tambahan dinamakan entailment atau inferensi. Aspek
konsep yang terlibat dalam metafora hanya aspek tertentu yang ada baik di
sumber maupun target yang ada dalam metafora; tidak semua aspek digunakan,
hanya yang utama yang digunakan.
Istilah blends yakni penyatuan ranah sumber dan ranah target juga
dipakai oleh Kovecses. Penyatuan ranah dapat mengakibatkan blends atau
percampuran, yaitu: materi konseptual yang baru sebagai akibat dari kedua
ranah, yaitu: sumber dan target. Di samping itu realisasi nonlinguistik juga
diperkenalkan untuk memahami konsep metafora. Metafora konseptual kadang
diwujudkan dalam ungkapan nonlinguistik, misalnya dalam ungkapan

29

important is central , misalnya direalisasikan dengan posisi yang berbeda
dengan orang yang tidak memiliki posisi sosial lebih tinggi.
Cakupan metafora konseptual sering menimbulkan model kultural atau
frame yang ada di dalam pikiran. Misalnya, konsep tentang waktu, karena
waktu dikonseptualisasikan sebagai entitas yang bergerak maka lahirlah
metafora time is a moving path, yang menimbulkan ungkapan metaforis waktu
‘berjalan dengan cepat’, waktu sudah tiba, waktu berlari sangat cepat, dan
sebagainya.
Konsep teori yang disarankan Kovecses (2004) ini digunakan untuk
menjawab permasalahan penelitian 5 sebagaimana termaktub dalam subbab
1.2.

2.2.3. Lakoff & Johnson (2003)
Senada dengan teori ini (lihat Lakoff & Johnson (2003); Langacker,
(2008:51); dan Geeraerts (2010:204) yang mendasari teori mereka dengan
linguistik kognitif. Pendekatan ini memandang metafora secara alamiah yaitu
proses kognitif fundamental, yang juga merupakan aspek fundamental dari
bahasa, bukannya sekadar pemanis retoris, permasalahan linguistik semata, dan
merupakan aspek pinggiran dari pikiran dan bahasa (Lakoff & Johnson, 2003).
Gagasan inilah yang disebut dengan metafora konseptual. Jika mengikuti
Geeraerts (2010:204), maka hakikat kognitif merupakan pilar pertama dari
pencirian metafora konseptual. Jika metonimi merupakan pemetaan intraranah, sehingga hanya melibatkan satu ranah pengetahuan, maka metafora

30

adalah pemetaan konseptual antar dua ranah yang berbeda (Kövecses, 2010;
Langacker, 2008:51), yaitu aspek pengetahuan dari ranah sumber, yang
umumnya lebih konkret, dipetakan untuk membentuk struktur pengetahuan
ranah target, yang cenderung lebih abstrak, seperti metafora BAHAGIA
ADALAH ATAS (Lakoff & Johnson, 2003). Pemetaan adalah pilar kedua dari
teori metafora konseptual. . Pengetahuan ranah sumber yang dipetakan adalah
khasanah prototipikal yang relevan bagi pemahaman ranah target. Pada
metafora BAHAGIA ADALAH ATAS, pengetahuan dari ranah sumber,
PERGERAKAN DAN ARAH KE ATAS yang dipandang berciri positif,
dipetakan ke ranah target EMOSI khususnya BAHAGIA. Metafora konseptual
terjelma dalam ekspresi metaforis. Di sini dicontohkan, ekspresi I‘m feeling up
dan Feeling on the top of the world (Deignan, 2005:14) adalah bukti ekspresi
linguistik metaforis nyata dari metafora konseptual BAHAGIA ADALAH
ATAS. Pilar ketiga menyatakan bahwa metafora mengakar pada beragam
pengalaman badaniah biologis manusia serta budaya (Geeraerts, 2010:207).
Dicontohkan juga, dengan berbasis pada postur tegak tubuh manusia, maka
manusia memiliki skema-gambaran ATAS-BAWAH (Lakoff, 1987). Skema
ini dapat berfungsi sebagai ranah sumber dan mendasari beragam perluasan
makna metaforis dengan memetakannya ke beragam ranah pengalaman,
misalnya ranah kuantitas (LEBIH ADALAH ATAS→
evaluasi (BAIK ADALAH ATAS→
Sebagaimana

telah

price is rising up),

high quality). (Lakoff & Johnson, 2003).

diungkapkan

sebelumnya

bahwa

metafora

merupakan persoalan konsep yang terdapat dalam pikiran. Metafora berada

31

dalam kerangka pengalaman hidup. Pikiran manusia bekerja sesuai dengan cara
tubuh berinteraksi dengan dunia. Inilah yang dimaksud dengan pengalaman
(experience).

Pengalaman

ini

bukan

pengalaman

perorangan,

tetapi

pengalaman yang berkaitan dengan pengalaman sosiokultural dan historis dari
suatu komunitas. Konsep inilah yang dianut oleh salah satu cara pikir
lunguistik kognitif tentang metafora.
Pada hakikatnya, perbedaan yang paling mendasar dari kedua
pandangan tersebut di atas adalah dalam pandangan linguistik kognitif,
metafora lebih dari sekedar gaya bahasa, sarana retorika, atau puisi, tetapi
merupakan bagian dari pikiran dan tingkah laku. Linguistik kognitif
memandang metafora sebagai suatu yang lebih dari itu, sesuatu yang lebih
dalam dan berpengaruh. Metafora meresap di dalam kehidupan sehari-hari
manusia, tidak hanya di dalam bahasa tetapi juga dalam pikiran dan tingkah
laku, di mana pikiran manusia tidak hanya berisi unsur intelegensi tetapi juga
berfungsi mengatur hidup manusia sampai ke hal yang sekecil-kecilnya.
Metafora adalah bagian dari sistem kognisi kita sebagai manusia. Metafora
adalah modus kita dalam berpikir dan bertindak. Manusia berpikir dengan
melihat kemiripan satu pengalaman dengan yang lainnya. Fenomena metafora
dalam bahasa adalah salah satu cara berpikir manusia.
Dalam pandangan linguistik klasik, sebuah klausa yang berbunyi
“dunia pangguang sandiwara”, hanya akan dimaknai sebagai sebuah bentuk
perbandingan yang berfungsi untuk mendukung unsur kepuitisan atau
memberikan sensasi tersendiri bagi pendengarnya. Tetapi dalam pandangan

32

linguistik kognitif, klausa tersebut tidak sekedar dimaknai secara tekstual atau
“dipermukaan” saja seperti haknya pandangan linguistik klasik. Apabila ada
metafora yang berbunyi “dunia panggung sandiwara”, hal itu harus didukung
oleh sejumlah pernyataan-pernyataan yang mendukung metafora tersebut atau
diwujudkan dalam bentuk metafora ekspresi linguistik.
Lebih lanjut, ada set pemetaan antara target dan sumber yang
digunakan untuk menggambarkan analogi dan kesimpulan. Dalam klausa
tersebut di atas, kata “dunia” dikonseptualisasikan dengan panggung/tempat
pementasan karena kedua ranah tersebut memiliki sejumlah persamaan; mati
laju darahku – takluk sudah hebatku – dia butakan hatiku – hilang akal
sehatku. Artinya, dalam linguistik kognitif, “dunia panggung sandiwara” ini
tidak sekedar sarana retorika melainkan juga merupakan bagian dari sistem
pikir, yang kemudian mempengaruhi tingkah laku sehari-hari dalam konteks
memandang seorang wanita misalnya.
Namun, dari kedua pandangan tersebut sekilas juga memiliki
persamaan, sekalipun mungkin dikonseptualisasikan dengan istilah yang
berbeda. Misalnya, dalam pandangan linguistik klasik ada konsep mengenai
istilak pokok (tenor) dan istilah kedua (vehicle). Istilah pokok atau tenor
menyebutkan hal yang dibandingkan, sedang istilah kedua atau vehicle yaitu
hal yang untuk membandingkan. Dalam linguistik kognitif, juga terdapat
istilah source domain dan target domain yang pada dasarnya juga mengacu
pada hal yang sama dengan istilah tenor dan vehicle. Contohnya, LIFE IS A
JOURNEY. Linguistik kognitif akan menyebut LIFE sebagai target domain

33

dan JOURNEY sebagai source domain. Sementara itu, linguistik klasik akan
menyebut LIFE sebagai tenor (istilah pokok) dan JOURNEY sebagai vehicle
atau (istilah kedua).
Namun demikian, pada intinya, konsep pokok tentang metafora antara
linguistik kognitif dengan linguistik klasik tersebut memang jauh berbeda.
Metafora dalam linguistik klasik hanya berupa penghias karya sastra atau
sarana retorika, sedangkan metafora dalam linguistik kognitif benar-benar
merupakan bagian dari sistem berfikir manusia yang terrealisasikan dalam
bentuk tingkah laku hidupnya. Bahkan dalam persamaan yang saya sebut di
atas pun, kalau mau ditelusuri juga memiliki konsep awal yang berbeda.
Source domain dan target domain didasarkan pada ranah/kelompok ide,
sedangkan term pokok dan istilah kedua sesuai dengan namanya didasarkan
pada ‘term’ istilah/hal apa yang yang dibandingkan. Demikianlah, sekalipun
kedua pandangan teori tersebut berbeda, tapi seperti halnya agama meskipun
tentu saja agama bukan teori, setiap teori memiliki tempat dan mimbarnya
masing-masing di hati tiap-tiap penganutnya.
Konsep teori yang disarankan Kovecses (2004) dan Lakoff & Johnson,
(2003) ini digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian 5 sebagaimana
termaktub dalam subbab 1.2.

2.2.4. Langacker (2004)
Dalam penelitian ini yang menjadi kerangka teroritis adalah teori
Langacker (2004) memaknai metafora sebagai bahasa kiasan dalam retorika

34

tradisional, yang sekarang lebih sebagai metodologi kognitif yang diakui oleh
para psikolog kognitif dan linguis. Metafora dalam retorika tradisional, sebagai
gambaran bahasa kiasan, sekarang menjadi metodologi kognitif yang sangat
penting ditandai oleh para pakar psikologi dan linguis. Eksperimentalisme
internal meyakinibahwa konsep abstrak adalah metaforis. Langacker (2004)
menjelaskan struktur semantik sebagai sebuah konsep struktur yang berfungsi
sebagai kutub semantik sebuah ungkapan linguistik. Struktur semantik bersifat
internal selama makna merupakan fenomena mental yang harus dideskripsikan
dengan merujuka pada proses kognitif, dan konsep diasumsikan menjadi suatu
gambaran mental atau perumpamaan. Dalam menentukan prinsip-prinsip
linguistik kognitif, Langacker (2004) menyebutkan bahwa struktur semantik
tidak universal; linguistik kognitif merupakan bahasa khusus untuk suatu
derajat yang dapat dipertimbangkan. Struktur semantik didasarkan pada bahasa
perumpamaan yang konvensional dan ditandai dengan pengetahuan struktur.
Konsep teori yang disarankan Langacker (2004) ini digunakan untuk
menjawab permasalahan penelitian 4 sebagaimana termaktub dalam subbab
1.2.

2.3 Ragam Metode Analisis Metafora
Teori metafora Lakoff dan Johnson (1980, 1999) menjadi dasar untuk
menjelaskan struktur kognitif setiap kali menggunakan model lingusitik dan
dengan demikian akan memungkinkan mengungkapkan pola kolektif dan
individu dalam

berpikir dan bertindak.

Lakoff dan Johnson tidak

35

mengembangkan sistem yang dapat dikerjakan untuk melakukan penelitian
kualitatif. Dalam disertasi ini yang diuraikan adalah dasar pendekatan dan
pengajuan prosedur untuk rekonstruksi konsep metafora. Biasanya dalam kasus
penelitian kualitatif, beberapa pedoman hanya dapat menunjukkan permainan
antara kemampuan peneliti untuk memahami pengertian dari hal-hal yang
berkaitan

dengan

aturan

metodologi.

Tinjauan

interpretasi

khusus

mengembangkan analisis metafora yang kemungkinan besar dapat dilakukan.
Dalam metode kualitatif, bahasa berada pada satu bagian dan subjek
waktu dan medium. Ini digunakan sebagai bahan yang mengacu kepada bahasa
di luar konten : pola hubungan, struktur, strategi komunikatif, dan lain-lain.
Lakoff dan Johnson (1980, 1999) melakukan hal ini dalam merumuskan
kerangka menyeluruh sebagai linguistik kognitif. Lebih lanjut mereka
menyebutkan bahwa teori metafora ini mengilhami berbagai pendekatan
terhadap analisis metafora sebagai prosedur penelitian kualitatif.

2.3.1 Metafora sebagai instrumen dan kritikan
Karakteristik pendekatan ini, yang bekerja dengan metafora adalah
metafora individu yang mengambil konteks tanpa rekonstruksi sistematis; ini
sering digunakan, dan secara kritis dikomentari sebagai bukti terhadap posisi
yang berlawanan. Piterman (2004) misalnya menulis tentang praktek
perawatan kesehatan yang menyatakan bahwa metafora pasar bisnis menjadi
metafora dominan sejauh menyangkut kebijakan sosial dan menyatakan bahwa
pasar adalah buta terhadap ekuitas (hak menurut keadilan, kewajaran),

36

kebutuhan dan belas kasihan, serta emosi yang terjadi. Tidak diragukan lagi
bahwa metafora pasar menjadi salah satu yang dominan. Dalam frase yang
biasa digunakan untuk menjelaskan reformasi sistem kesehatan, kita
menemukan beberapa metafora dari pemeliharaan ketika memperhitungkan
distribusi dari sumber yang ada. Bagaimana diputuskan sisi dominannya, agar
atau metafora pemeliharaan ? Dengan melihat dari dekat, ditemukan metafora
– yang berbaur – dalam teks atas reformasi sistem kesehatan, dengan
membedakan fokus yang tergantung pada konteks politik. Terlihat sangat
masuk akal untuk menentukan fungsi ideologi bagi kedua uraian metafora.
Pada teks Piterman, tidak membangun apakah metafora lanjutan menentukan
pembahasan reformasi sehingga secara potensial membatasi atau melemahkan
dampak dari metafora yang tercatat. Refleksi metode empiris adalah umumnya
mengalami kekurangan dalam pendekatan; semuanya ini diarahkan pada titik
yang penting ketika itu ada disini. Metafora ini diarahkan pada apa yang telah
lewat, tanpa pretensi diri refleksi diferensiasi atas kemungkinan dan membatasi
pemikiran metafora.

2.3.2 Metafora sebagai alat terapi
Penggunaan terapi metafora telah menjadi tradisi yang lama, terutama
di dalam terapi keluarga. Penggunaan metafora ini harus disebutkan di sini
karena definisi yang berbeda dan cara tradisi dalam penanganan metafora yang
sering mengakibatkan kesalahpahaman. Dalam konteks terapi, tujuan bagi
terapis adalah mengembangkan metafora dan alegori, yang menghadirkan

37

masalah klien dalam kerangka yang bersahabat dengan solusi. Pendekatan
terbaru mengasumsikan bahwa pengembangan metafora solusi harus sedekat
mungkin dengan bahasa klien. Di sini metafora terlihat sebagai ‘alat’ yang
digunakan dengan sengaja dan secara bebas. Pembahasan metafora dalam ilmu
sosial, khususnya setelah Lakoff dan Johnson, ditujukan untuk konsep
metafora lainnya, salah satunya yang mengacu pada catatan yang berbeda di
mana metafora itu dapat dibentuk. Sebagai individu, kelompok, dan dalam
kultur yang memiliki pola pemikiran metafora tidak menyadari, yang dapat
diambil sebagai sesuatu yang penting. Tujuan analisis metafora adalah untuk
mengembangkan pola berpikir metafora. Lakoff dan Johnson menjelaskan
konsep metafora ini sebagai “waktu adalah uang” sebagaimana ditemukan
dalam kalimat berikut “Ban kempis menyita waktu saya selama satu jam’; ‘di
sini tidak dapat menggunakan waktu dengan lebih menguntungkan’ dan ‘anda
perlu menganggarkan waktu anda’. Mereka yang mengunakan pola metafora
itu akan lebih menyadarinya; kedalamannya dalam budaya juga telah mulai
diketahui. ‘dalam kultur WAKTU ADALAH UANG’ dalam berbagai cara;
pesan telepon, upah per jam, sewa ruang hotel, anggaran tahunan, bunga
pinjaman dan pembayaran hutang kepada masyarakat dengan waktu
pelayanannya.
Terlihat dalam hal ini, metafora yang tidak hanya menjadi alat tetapi
lebih dari itu akan membentuk struktur di mana kita hidup. Analisis metafora,
yang dijelaskan di sini tidak dimaksudkan untuk menggunakan metafora secara
terapi atau retorika, namun berusaha membawa penggunaan metafora dan juga

38

praktek yang terkait dengan hal ini pada tingkat kesadaran; misi ini adalah
lebih mendapatkan sorotan yang kadangkala lebih kritis dari ideologi yang
lebih menonjol.

2.3.3 Metafora yang digunakan untuk menjelaskan hasil penelitian
kualitatif
Penelitian kualitatif akan menghasilkan besaran informasi heterogen,
yang juga memuat beberapa struktur yang lebih komplek. Metafora dapat
digunakan untuk mengurangi kompleksitas dan pola struktur yang jelas. Aita,
McLlvain, Suman dan Crabtree (2003) menjelaskan tiga pola berpikir metafora
dan aksi yaitu praktek sebagai hak monopoli (franchise), praktek sebagai misi
dan praktek sebagai pemeliharaan keluarga. Sangat mengagumkan untuk
melihat pada cakupan mana konsepsi metafora ini menentukan bagaimana
dokter dalam institusi respektif berpikir dan bertindak. Permukaan metafora
selama pembahasan dan proses evaluasi yang adalah untuk sebagian besar
bagian yang ada, tidak terdokumentasi, meninggalkan kita dengan sebuah
sistem yang jelas untuk mengidentifikasikan metafora. Metafora ini tidak
terlalu penting berasal dari orang yang diwawancarai meskipun mereka merasa
lebih baik dijelaskan oleh metafora. Di samping itu, terlihat bahwa melalui tiga
lembaga yang telah ada penelitian kualitatif berfungsi sepanjang ruang lingkup
kajian metafora.
Beberapa konsepsi metafora murni terlihat tidak sama dalam dunia nyata. Hal
ini diungkap dalam penelitian yang dilakukan Callahan, Maldonado dan

39

Efinger (2003:37) yang menjelaskan pelatihan terhadap keputusan untuk
mengakhiri hidup dengan metafora.
Aubusson (2002:65) juga berpendapat bahwa penelitian kualitatif dapat
dilakukan berkaitan dengan metafora ini. Dalam melakukan hal itu, dia
memanfaatkan berbagai pertimbangan bagaimana menyesuaikan metafora
dengan data penelitian. Penelitian yang dilakukan tentang psikologi dan
bantuan sosial dalam kerangka kerja ini (meski peneliti masih merasa skeptis)
tapi sudah dapat diperlihatkan fenomena tertentu yang dapat dilihat pada
beberapa metafora yang terkontradiksi. Dapat juga dicatat di sini bahwa
metafora dapat digunakan untuk menunjukkan hasil penelitian kualitatif.

2.3.4 Metafora menjelaskan proses penelitian kualitatif
Tidak hanya sebagai sesuatu yang terkomplikasi untuk menghadirkan
penelitian kualtiatif tetapi proses penelitian itu sendiri terbukti lebih komplek;
metafora berfungsi untuk memberikan beberapa orientasi bagi peneliti dalam
berbagai usaha dan presentasi mereka. Schalwyk (2002:17) menjelaskan
metafora sebagai kerangka disertasi yang berbeda dengan penggunaan skenario
pembelian mobil dan juga untuk berbagai perjalanan sebagai jenis heurisitk
metafora guna membahas opsi yang terbuka untuk keputusan dan tekanan
untuk memilih penelitian kualitiatif. Dommer (1997:32) menggunakan
berbagai bentuk yang digunakan oleh wanita untuk menggambarkan bentuk
penelitian kualitatif termasuk penelitian kuantitatif.

40

Berbagai metafora yang digunakan untuk proses penelitian kualitatif
memperlihatkan bahwa pengurangan dari proses penelitian menjadi satu
metafora secara aktual masih menjadi penyederhanaan yang tampak
dipaksakan. Pada sisi lain, fakta bahwa setiap metafora terlihat memiliki
genggaman

(gripping)

yang

berpengruh

terhadap

penciptanya,

yang

memberikan hasil yang mengarah pada metafora dan implikasi kognitifnya
yang belum didokumentasikan. Bagaimana cara mengurangi kompleksitas
dunia secara metaforis tanpa melihat isinya? Apa model metafora yang
digunakan untuk membahas penelitian kualitatif yang ada ? Rathmayr (1991)
mencatat lima metafora untuk menjelaskan peneliti berbagai penelitian sosial
kualitatif; pemburu, khalayak ramai, ornitolog (ahli tentang burung), detektif,
dan peretas program komputer (hiker).

2.3.5 Penelitian untuk metafora khusus
Peneliti lainnya berusaha untuk mengarahkan mereka pada metafora
dengan filsafat khusus. Penelitian berikut ini mengarahkan konsep dari Pepper
(1942). Dalam penelitian dengan kedua unsur kuantitatif dan kualitatif, Super
dan Harkness (2003) menganalisis metafora sentral menurut metafora dasar
(asal) dari Pepper (mekanisme formalisme, kontekstualisme, organisme).
Dalam melihat orang tua dan psikiatrik profesional yang terlihat untuk ekspresi
berkaitan dengan perkembangan manusia. Mereka menemukan preferensi
sambil untuk medan metafora tertentu dan membahas implikasi untuk
pemahaman perilaku anak. Seifert (2000) mengemukakan hal yang sama atas

41

dasar penelitian terhadap konstruksi sosial dari anak-anak, yang juga
didasarkan atas penelitian Popper dan empat medan metafora yang tersebut di
atas. Bila kita mengasumsikannya, seperti yang dilakukan oleh Lakoff dan
Johnson, maka akan ada bebagai jumlah metafora yang terjalin dalam dunia
sehari-hari, mengurangi wawancara untuk metafora akan spesifik yang juga
memperlihatkan batasan problematik, baik secara konten maupun secara
metodik. Sebagai perbandingan, Lakoff dan Johnson menghitung 24 metafora
primer representatif untuk memahami dunia : Saya menemukan duapuluh
konsep metafora yang berbeda dalam bahasa Jerman untuk topik penyakit jiwa
yang lebih spesifik.

2.3.6

Metafora untuk proses refleksi diri dari para peneliti – atau –
metafora yang diteliti
Penggunaan metafora dalam penelitian sejauh ini telah mengasumsikan

bahwa kita meneliti secara langsung metafora tertentu pada metafora bentuk
sadar dan material untuk memberikan hasil atau menjelaskan proses. Danziger
(2000) menyuarakan pertimbangan dalam konteks sejarah psikologi, di mana
teori ilmiah lahir ke dalam rangkaian pola pikir metafora, yang jarang
dibentuk.
Danziger (2000:331) menyebutkan . . . analisis metafora ini menjadi
hal yang menarik secara historis, terutama kita dapat menggunakan untuk
memperbaiki pemahaman pola berpikir psikologis yang telah menjadi karakter
dari periode, atau sebuah kultur, atau komunitas intelektual tertentu. Metafora
ini digunakan secara pervasif dengan rangkaian periode dan khususnya dari

42

pengguna yang tidak mengarah pada metafora apa tetapi dengan beberapa
ekspresi kebenaran literal.
Danziger tidak memperoleh sisi kreatif dan metafora berpikir tetapi
pada kondisi laten, gambaran linguistik yang tidak dikenal sebagai metafora.
Beberapa analisis telah dilaksanakan untuk bidang psikologi tertentu, sebagai
metafora spirit dalam konteks penelitian yang lebih baik dan sebagai kajian
komprehensif untuk psikologi dari memori yang membandingkan asal usul
Perancis dengan translasi Inggris dari Piaget dan memperlihatkan bahwa
beberapa metafora biologi yang selalu berubah menjadi salah satu sisi
mekanika atau juga menghilangkannya bersama-sama. Pemahaman akan Piaget
di antara penutur bahasa Inggris adalah sebagai hasil temuan Jurzak, yang
berbeda dari pemahaman Piaget di antara penutur bahasa Perancis. Untuk
penelitian kualitatif, Aite dkk. (2003) menyatakan bahwa: besarnya keinginan
kita menyoroti bahasa metafora dari penelitian kita yang secara kritis mengarah
pada bahasa metafora dari pekerja lapangan kita dan uraian dari praktik dan
bahasa metafora untuk peserta penelitian. Chanil (1990. 1991a) menyatkaan
bahwa terapis penelitian membuat mereka menyadari metafora yang mereka
gunakan di dalam terapi dan melihat apakah metafora ini akan membuka pintu
untuk penelitian yang ada. Demikian juga referensi yang menunjukkan bahwa
penelitian ini ditentukan oleh metafora, batas kognitif dari apa yang telah ada.
Cara lain yang dimungkinkan untuk bekerja dengan metafora dalam
penelitian kualitatif adalah mengembangkannya langsung dari subjek
penelitian. Deacon (2000) dalam penelitian pasar menekankan bahwa peserta

43

menjelaskannya sebagai sesuatu yang terjadi relevan dari segi warna, sebagai
hikayat, sebagai pertunjukan televisi, objek, dan juga musik, dan lain-lain.
Dengan menggunakan transformasi metafora dia mampu mendapatkan narasi
yang berharga dan bernilai.
Christensen dan Olson (2002) termasuk juga Zaltman (2003)
mengajukan pertanyaan kepada subjek penelitian untuk memberikan gambaran
yang memperlihatkan sikap dan peranan terhadap produk dengan mereka yang
diwawancarai. Mereka diminta menjelaskan setiap gambaran dan pengertian,
sehingga memperlakukannya sebagai sebuah metafora. Dalam membicarakan
gambar, maka metafora verbal muncul dengan cerminan yang dijelaskan lebih
mendalam.

2.3.7 Rekonstruksi sudut pandang metafora subjek penelitian dan juga
fenomena budaya
Salah satu penelitian yang dapat dipertimbangkan di sini adalah
penelitian yang telah dilakukan oleh Beneke (1982) – yang terinspirasi oleh
Lakoff dan Johnson yakni yang menyangkut pelanggaran seksual. Dalam
percakapan keduanya meyakini bahwa pelecehan seksual juga tidak terlepas
dari penggunaan metafora yang efektif. Beneke (1982) menemukan dunia
imagi dalam bahasa mereka, yang membuat pelanggaran seksual dapat
dipahami, bahkan lebih penting di mata mereka. Seksualitas adalah
keberhasilan, performa, dan kemenangan; metafora berburu dan perang
(‘pembunuh anak gadis’, ‘penakluk’, ‘tidak menempatkan sesuatu sebagai
hambatan’, ‘menyerah’) lebih mendominasi. Laki-laki lebih menyukai

44

perempuan, menggunakan metafora, sebagai sesuatu yang mengontrol suatu
objek, berupa makanan , hewan atau anak. Seksualitas adalah kegilaan yang
tidak terkontrol atau pelanggaran fisik. Organ seksual laki-laki dibicarakan
secara metaforis sebagai senjata, sperma sebagai ‘beban’ dan ‘amunisi’. Kesan
dan rekonstruksi dari dunia ini tentu membuat laki-laki berpikir dan bertindak
dari segi sesuatu yang tidak terinspirasi dalam proyek penelitian dalam bidng
ini.
Dalam perdebatan konstruktif dengan Lakoff dan Johnson, Quinn
(1987, 1991) menemukan delapan metafora yang berbeda untuk ‘perkawinan’
di antara penduduk pribumi Amerika Serikat, di wilayah tengah Selatan. Dia
menemukan

metafora

“kebersamaan’,

‘kekekalan’,

manfaat

bersama’,

‘kompatibilitas’, ‘kesulitan’, ‘usaha’, ‘keberhasilan dan kegagalan’ dan ‘resiko.
Dia melihat lapisan model budaya untuk pemahaman dunia yang lebih dalam
dibandingkan dengan konsep metafora; ‘metafora jauh dari produksi
pemahaman, yang biasanya sanga