Metafora Melayu klasik dalam hikayat Abdullah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Hikayat Abdullah adalah sebuah karangan yang ditulis oleh Abdullah bin

Abdul Kadir Munsji (AbAKM) (abad ke 19). Karya ini digolongkan pada
kelompok Pujangga Lama. Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasian
karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini
karya satra didominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat. Di Nusantara,
budaya Melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar,
negara pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di Sumatera bagian utara
muncul karya-karya penting berbahasa Melayu, terutama karya-karya keagamaan.
Hamzah Fansuri adalah yang pertama di antara penulis-penulis utama angkatan
Pujangga Lama. Dari istana Kesultanan Aceh pada abad XVII muncul karyakarya klasik selanjutnya, yang paling terkemuka adalah karya-karya Syamsuddin
Pasai dan Abdurrauf Singkil, serta Nuruddin ar-Raniri (Ricklefs, 1991:117).
Karya-karya sastra pada masa gemilang AbAKM ditulis dalam bahasa
Melayu klasik. Bahasa Melayu Klasik adalah bentuk bahasa Melayu yang dipakai
oleh Kesultanan Melaka (abad ke-14), Kesultanan Aceh, dan sejumlah entitas

politik lain di sekitarnya, hingga abad ke-18. Apakah dialek temporal (waktu) ini
merupakan perkembangan lanjutan dari bahasa Melayu Kuna yang dipakai oleh
Kerajaan Sriwijaya atau perkembangan dari dialek lain yang berkembang terpisah
tidaklah

diketahui.

Tidak

ada

bukti

tertulis

atau

laporan

mengenai


perubahan/evolusi bahasa ini. Terdapat beberapa definisi yang telah diutarakan

1

oleh pengkaji bahasa. Omar (1985:33), menyebutkan " bahasa abad ketigabelas
dan ketujuhbelas itu dinamakan bahasa Melayu Klasik". Bahasa Melayu Klasik
ditandai dengan masuknya berbagai kosa kata pinjaman dari bahasa Arab, bahasa
Parsi, dan (pada perkembangan selanjutnya) bahasa Portugis. Perkembangan ini
terkait dengan menguatnya pengaruh agama Islam di Asia Tenggara pada sejak
abad ke-13. Bahasa Melayu Klasik tercatat pada berbagai naskah-naskah hikayat
dan bentuk susastera lainnya, peraturan perundangan, serta surat-surat komunikasi
antara penguasa-penguasa Nusantara bagian barat. Terdapat pula beberapa
prasasti dari periode awalnya, di antaranya adalah Prasasti dan kesusasteraan,
antara lain (1) Prasasti di Pagar Ruyung, Minangkabau (1356) ditulis dalam huruf
India mengandung prosa Melayu Kuna dan beberapa baris sajak dalam bahasa
Sanskerta. Bahasanya berbeda sedikit dengan bahasa batu bertulis abad ke-7; (2)
Prasasti Minyetujoh, Aceh (1380), untuk pertama kalinya mencatat penggunaan
kata-kata Arab seperti kata "nabi", "Allah", dan "rahmat"; (3) Prasasti di Kuala
Berang, Terengganu (1303-1387) ditulis dalam huruf Arab Melayu. Hal ini

membuktikan bahwasanya tulisan Arab telah digunakan dalam bahasa Melayu
pada abad itu. Ketiga prasasti ini merupakan bukti-bukti terakhir perkembangan
bahasa Melayu berbentuk batu bertulis, karena setelah abad ke-14, muncul
kesusasteraan Melayu dalam bentuk tulisan (Omar, 1985:35).
Menurut Hussein (1984:24) perkembangan dan kejayaan bahasa Melayu
Klasik dapat dikelompokkan " dalam tiga zaman penting: (1) Kesultanan Melaka;
(2) Kesultanan Aceh; dan (3) Kesultanan Johor-Riau.

Di antara tokoh-tokoh

penulis yang penting ialah Hamzah Fansuri dari Pancur/Barus, Syamsuddin al-

2

Sumaterani, Syeikh Nuruddin al-Raniri dari Aceh, dan Abdul Rauf al-Singkel dari
Singkil.
Selanjutnya Husein (1984) mengatakan, pembagian ini dibuat atas
pertimbangan sejarah perkembangan bahasa Melayu. Aksara pertama dalam
bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera,
mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara

dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai
jalur perdagangan. Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya sebagai Malaya
sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi, di
mana diketahui bahasa Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan dialek "o"
sedangkan dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu berkembang secara luas
dan menjadi beragam.
Hussein (1984:24) menyebutkan "pembagian yang dibuat adalah atas
pertimbangan

sejarah

perkembangan

bahasa

Melayu.

Hal

ini


dapat

dikelompokkan mengikut zaman politik Sriwijaya, Majapahit, Melaka, dan
sebagainya, pengaruh kebudayaan seperti Hindu, Islam, dan Barat atau mengikut
zaman tulisan yang digunakan seperti tulisan Melayu Kuno yang diambil dari
India, tulisan Arab, dan akhir sekali tulisan Latin. Sebagai contoh, pada zaman
politik Sriwijaya, masyarakat yang beragama Hindu dan Buddha, menggunakan
tulisan yang dibawa dari India, karya sastra mereka dipenuhi oleh cerita-cerita
sastra India dan bahasa Melayu, dengan pinjaman kata-kata Sanskrit.”
Perkembangan bahasa Melayu Klasik mempunyai kaitan dengan
perkembangan karya sastra. Perkembangan kesusasteraan memberikan gambaran

3

tentang sejarah silam sesuatu bangsa dari istilah Melayu atau Malayu berasal dari
Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7 di hulu sungai
Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi secara geografis semula hanya
mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut yang merupakan sebagian dari wilayah
pulau Sumatera. Dalam perkembangannya pemakaian istilah Melayu mencakup

wilayah geografis yang lebih luas dari wilayah Kerajaan Malayu tersebut,
mencakup negeri-negeri di pulau Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga
Bumi Melayu seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama.
Menurut Hussein (1984:25), bahasa Melayu Klasik bermula sekitar abad
ke-13 dan ke-14. Tetapi beliau menyebutnya sebagai zaman peralihan di seluruh
kepulauan Melayu dengan kedatangan agarna Islam. Bukti konkrit tentang
bertapaknya Islam di Nusantara dari sudut sejarah diperoleh pada tahun 1292 M
sewaktu Marco Polo melawat Sumatera Utara dan catatannya tentang
pengislaman Pasai.
Pada zaman peralihan dalam abad ke-13 dan ke-14 telah dijumpai
beberapa prasasti dalam bahasa Melayu yang ditulis menggunakan huruf India
tetapi bahasanya sudah terdapat pengaruh bahasa Arab. Di sini bermulanya bahasa
Melayu klasik. Dalam masa yang sama bahasa Melayu klasik boleh ditandai
dengan kemunculan dan keagungan kerajaan Melayu Melaka. Bahasa Melayu
menjadi media dalam pemerintahan, perhubungan, perdagangan, dan penyebaran
agama Islam. Ketika itu juga bahasa Melayu mendapat tulisan baru, yaitu tulisan
Jawi, yaitu dengan meminjam dan menyesuaikan abjad bahasa Arab. Sebelumnya,
pada tahap bahasa Melayu Kuno, bahasa Melayu menggunakan dua jenis tulisan,

4


yaitu tulisan rencong dan lampung yang tidak terpengaruh oleh tulisan dari India
walaupun bahasa Sansekerta sudah ada di Nusantara.Tulisan yang disesuaikan
dengan tulisan Palapa dan Nagiri seperti yang terdapat pada batu-batu beraksara
antara abad ke-7 hingga abad ke-14.
Ciri-ciri bahasa Melayu klasik, ditandai dengan (1) kalimat: panjang,
berulang, berbelit-belit; (2) banyak kalimat pasif menggunakan bahasa istana kosa
kata klasik, seperti ratna mutu manikam, edan kesmaran (mabuk asmara), sahaya,
masyghul (bersedih), (3) banyak menggunakan kata pangkal ayat, misalnya
sebermula, alkisah, hatta, adapun, maka, kata sahibul hikayat, tatkala, adapun;
dan (4) kalimat yang banyak menggunakan akhiran pun dan lah. kata pangkal
adalah seperti "syahadan". Misalnya
(1) Hatta datanglah kepada suatu hal maka Hamzah dan Umar Umayyah
dibawanya oleh Khoja Abdul Mutalib kepada mualim, diserahkannya
mengaji kepada mualim ... Maka dilihatlah tanah nagara bukit menjadi
seperti warna emas...
(2) Sjahdan, ada pula orang jang pertjaja sebab nama budak itu terlalu
besar; itulah konon mendatangkan penjakit atau
(3) Maka bahwasanja aku wasiatkan akan nasihatku ini bagi segala kanakkanak jang dibukakan Allah mata-hatinya. (1953:22)
Bahasa Melayu klasik juga banyak mengandung metafora di dalamnya.

Dari dua contoh di atas (1) datanglah kepada suatu hari.... dan tanah nagara
berwarna emas...... (2) nama besar...membawa penyakit', dan (3) dibukakan mata
hatinya.... menunjukkan penggunaan metafora di ketiga kalimat itu. Arif (2010)
menjelaskan bahwa unsur bahasa dalam sesebuah teks hikayat secara tidak
langsung merupakan cerminan jati diri penulis. Masyarakat dapat mengenali diri

5

pengarang melalui penggunaan unsur bahasa ini digunakan dalam teks hikayat
untuk menghasilkan keindahan dan kepelbagaian maksud cerita.
Seni keindahan bahasa dalam sastera hikayat dapat diperhatikan melalui
deskripsi pelukisan taman-taman, kejelitaan puteri, keindahan pakaian dan
sebagainya oleh pengarang teks hikayat. Dalam Hikayat Indraputra misalnya,
pengarang telah mengguna dan memanipulasikan unsur bahasa dalam membentuk
cerita. Di antara gaya bahasa tersebut ialah unsur personafikasi yang digambarkan
dalam satu babak di mana tokoh utamanya menguasai hikmat bukit permata yang
sangat merdu bunyinya. Gambaran tersebut dinyatakan oleh pengarang sebagai
berikut:
Seketika lagi bukit permata itu pun berdengung-dengunglah seperti
bunyi buluh perindu, terlalulah indah bunyinya itu. Maka Indraputra pun

duduk seketika, maka ia pun segeralah berjalan daripada itu. Sebermula
jikalau lain daripada Indraputra nescaya tinggallah ia di sana dengan
sebab bunyinya itu, demikianlah adanya.
Dalam hikayat ini juga, pengarang telah mengaplikasikan unsur metafora
yaitu laut berahi bagi memperlihatkan rasa kagum terhadap kejelitaan Puteri
Candera Lela Nur Lela yang tidak ada ukurbandingannya seperti berikut:
Maka tuan puteri pun tersenyumlah seraya memandang ke bawah
mahligai itu. Maka anak raja itu pun memandang ke atas. Maka sama
terpandang muka tuan Puteri Candera Lela Nur Lela dengan anak raja
itu. Maka anak raja itu pun seperti lenyaplah rasanya ia dalam laut
berahiitu, sebab terlalu elok rupanya tuan puteri itu. Kalakian maka
anak raja itu pun tergelincirlah kakinya itu daripada yang keemasan itu,
lalu jatuh ke atas tangganya pedang itu. Maka jadilah penggal dua
tubuhnya itu lalu mati.

6

Selain itu terdapat repetisi perkataan maka yang digunakan oleh
pengarang. V.I. Braginsky menjelaskan bahawa frasa-frasa yang diawali dengan
kata penghujung maka dalam hikayat Melayu, “seakan-akan mencontoh sebuah

model umum sastera naratif Arab-Parsi yang bersifat prosa.” Unsur repetisi yang
sama juga turut didapati dalam teks hikayat lain, misalnya Hikayat Syah
Mardan apabila pengulangan nama Allah Taala diulang bagi menegaskan
tentang kebesaran Ilahi. Selain itu, turut diselitkan unsur diksi yang dipinjam
daripada bahasa Arab apabila masyarakat pengguna bahasa dipertemukan dengan
kalimat usalli fardhal ashri. Misalnya: Menurut Shafie Abu Bakar, peningkatan
sebuah karya sastra yang baik bisa dilihat dari dua aspek yaitu lahiriah dan
maknawiah. Lahiriah merujuk kepada teknik di dalam pengkaryaan yang
melibatkan bentuk, struktur, plot, watak, bahasa dan sebagainya. Maknawiah
merujuk kepada isi, tema, ide, pesan, sudut pandangan, nilai, dan sebagainya.
Kesemuanya merupakan elemen-elemen di dalam membina sebuah karya sastera.
Beliau menjelaskan bahawa proses pembinaan karya secara kreatif, indah dan
sempurna sangatlah sulit.
Dalam Hikayat Cekel Waneng Pati, pengarang menggunakan unsur
hiperbola sebagai salah satu cara menarik perhatian masyarakat. Seni keindahan
bahasa sedemikian dapat diperhatikan apabila pengarang memberi gambaran
sosok tubuh dua watak yaitu Astra Jiwa dan Si Butatil sehingga menimbulkan rasa
geli hati masyarakat yang menghayati teks tersebut dengan mengatakan:
Namanya baik yang kemudian itu, jambulnya hanya tiga helai,
hidungnya kapak, perutnya besar, tubuhnya bagai kerbau; yang seorang

lagi itu hidungnya besar, tangannya dengkul, rambutnya habis bubut.

7

Keanekaragaman seni keindahan bahasa dalam teks sastera hikayat dapat
menambahkan keindahan dan mengelakkan kejemuan. Kepuitisan bahasa yang
digunakan dapat memberi kesan kepada khalayak yang menghayati rentetan
peristiwa teks yang dibaca. Karangan indah sesebuah karya bercorak sastera
hikayat oleh pengarang yang arif lagi bijaksana mampu menghasilkan pengaruh
yang menenangkan dan menyembuhkan jiwa (menglipur) para khalayak. Justeru,
V.I. Braginsky dalam buku karangannya berjudul Yang indah, berfaedah dan
kamal: sejarah sastera Melayu dalam abad 7-19 menyifatkan karya sastera
Melayu klasik sebagai, ‘alat penglipur/ penghibur hati dipahami sebagai salah satu
di antara fungsi-fungsinya yang terpenting.
Dari berbagai sumber yang diperoleh, tidak ada satu sumberpun
manyatakan bahwa karya sastra pada zaman tersebut banyak mengandung
metafora sebagai ungkapan nilai koqnitif penuturnya pada jaman tersebut. Oleh
sebab itu penulis menelusuri karya AbAKM dari segi penggunaan metaforanya.
Berkaitan dengan penggunaan metafora dalam karya AbAKM, Parera
(2004: 119) mengatakan salah satu unsur metafora adalah kemiripan dan
kesamaan tanggapan pancaindra. Struktur metafora yang utama ialah (1) topik
yang dibicarakan; (2) citra atau topik kedua; dan (3) titik kemiripan atau
kesamaan. Hubungan antara topik atau citra dapat bersifat objektif dan emotif.
Berdasarkan pilihan citra yang dipakai oleh pemakai bahasa dan para penulis di
pelbagai bahasa, pilihan citra oleh Ulmann (1977) dan Parera (2004:119)
dibedakan atas empat kelompok, yakni (1) metafora bercitra antropomorfik, (2)

8

metafora bercitra hewan, (3) metafora bercitra abstrak ke konkret, dan (4)
metafora bercitra sinestesia atau pertukaran tanggapan/persepsi indra.
Metafora bercitra antropomorfik merupakan satu gejala semesta. Para
pemakai bahasa ingin membandingkan kemiripan pengalaman dengan apa yang
terdapat pada dirinya atau tubuh mereka sendiri. Metafora antropomorfik dalam
banyak bahasa dapat dicontohkan dengan mulut botol, jantung kota, bahu jalan,
dan lain-lain.
Metafora bercitra hewan, biasanya digunakan oleh pemakai bahasa untuk
menggambarkan satu kondisi atau kenyataan di alam sesuai pengalaman pemakai
bahasa. Metafora dengan unsur binatang cenderung dikenakan pada tanaman,
misalnya kumis kucing, lidah buaya, kuping gajah.

Metafora dengan unsur

binatang juga dikenakan pada manusia dengan citra humor, ironi, peyoratif, atau
citra konotasi yang luar biasa, misalnya, fable dalam Fabel MMM yang dikutip
oleh Parera terdapat nama-nama seperti Mr. Badak bin Badak, Profesor Keledai,
dan terdapat pula Majelis Pemerintah Rimba (MPR), dan lain-lain.
Dalam metafora bercitra hewan diungkapkan oleh Parera (2004:120)
bahwa manusia disamakan dengan sejumlah takterbatas binatang misalnya dengan
anjing, babi, kerbau, singa, buaya, dan seterusnya sehingga dalam bahasa
Indonesia kita mengenal peribahasa "Seperti kerbau dicocok hidung", ungkapan
"buaya dara”t dan ungkapan makian "anjing", dan seterusnya.
Metafora bercitra abstrak ke konkret adalah mengalihkan ungkapanungkapan yang abstrak ke ungkapan yang lebih konkret. Seringkali pengalihan
ungkapan itu masih bersifat transparan tetapi dalam beberapa kasus penelusuran

9

etimologi perlu dipertimbangkan untuk memenuhi metafora tertentu. Dicontohkan
oleh Parera, ‘secepat Mat, satu kecepatan yang luar biasa', dan moncong senjata
'ujung senjata'.
Metafora bercitra sinestesia, merupakan salah satu tipe metafora
berdasarkan pengalihan indra, pengalihan dari satu indra ke indra yang lain.
Dalam ungkapan sehari-hari orang sering mendengar ungkapan "enak didengar"
untuk musik walaupun makna enak selalu dikaitkan dengan indra rasa; "sedap
dipandang mata" merupakan pengalihan dari indra rasa ke indra lihat.
Metafora dapat dikaji dari segi fitur linguistiknya, misalnya fitur-fitur
sintaksis dan semantik. Fitur sintaksis metafora memaparkan susunan konstruksi
metafora dari segi kategorisasi

kata atau kata-kata yang membentuknya.

Sedangkan fitur semantik memaparkan rujukan makna metafora tehadap
fenomena yang ada, seperti misalnya (1) metafora yang merujuk pada warna; (2)
metafora yang merujuk pada cuaca; (3) metafora yang merujuk pada perang; (4)
metafora yang merujuk pada kesehatan; (5)

metafora yang merujuk pada

binatang/fauna; (6) metafora yang merujuk pada makanan; (7) metafora yang
merujuk pada perjalanan/pekerjaan; (8) metafora yang merujuk pada sifat; (9)
metafora yang merujuk pada benda alam/tumbuhan/flora; (10) metafora yang
merujuk pada bagian tubuh/badan; dan (11)metafora yang
merujuk pada emosi(marah/senang/sedih).

10

1.2

Perumusan Masalah
Ada lima masalah pokok yang diungkap dalam penelitian tentang metafora

Hikayat Abdullah ini. Kelima masalah itu antara lain:
1) Metafora bercitra apa saja yang terdapat pada Hikayat Abdullah?
2) Makna apa yang tersirat dari bentuk metafora Hikayat Abdullah?
3) Metafora bercitra dan kelompok mana yang dominan yang terdapat pada
Hikayat Abdullah?
4) Fitur-fitur sintaksis apa saja yang terdapat pada Hikayat Abdullah?
5) Fitur-fitur semantik apa saja yang terdapat pada Hikayat Abdullah?

1.3

Tujuan Penelitian
Dilihat dari perumusan masalah di atas, penelitian ini dibatasi pada bidang

linguistik untuk dapat mengungkapkan secara umum makna dan jenis metafora
yang terdapat pada Hikayat Abdullah. Pelaksanaan analisis linguistik khususnya
yang berkaitan dengan studi makna meliputi uraian sebagai berikut,
1). Menganalisis pencitraan setiap data metafora didasarkan atas makna
yang terkandung dalam metafora yang dimaksud. Analisis pencitraan
metafora ini didasari oleh teori yang dikemukakan oleh Parera
(2004:120).
2). Menganalisis makna yang tersirat dalam tiap-tiap metafora yang ada.
3). Mendeskripsikan metafora yang mendominasi penggunaannya.
4). Menganalisis fitur-fitur sintaksis kelompok metafora dalam setiap data
dilakukan dengan menerapkan teori Langacker, (2008:51).

11

5). Menganalisis fitur-fitur semantik kelompok metafora dalam setiap data
dilakukan dengan menerapkan teori Langacker, (2008:51); Kövecses,
(1990, 2000a); dan Lakoff dan Johnson (1980).
1.4

Manfaat Penelitian
Ada dua manfaat yang sekaligus yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu

manfaat teoretis dan manfaat praktis.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini bertujuan untuk:
1) Memberikan sumbangan ide mengenai pengaplikasian teori metafora dalam
penelitian teks khususnya teks tentang Hikayat Abdullah.
2) Memberikan sumbangan temuan penelitian tentang metafora yang terdapat
pada Hikayat Abdullah khususnya yang berkaitan dengan pencitraan metafora
dan pengelompokan metafora berdasarkan tingkat konvensionalitasnya.
3) Menambah jumlah dokumentasi penelitian tentang metafora khususnya yang
berkaitan dengan metafora bahasa Melayu klasik.

1.4.2

Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini sangat berguna khususnya

1) Bagi pemahaman berbahasa masyarakat khususnya pengunaan metafora.
2) Penelitian ini juga bermanfaat khususnya yang berkaitan dengan konteks
sosial, dan meningkatkan kemampuan kognitif masyarakat pengguna bahasa,
karena penggunaan metafora dalam berbahasa juga melibatkan kemampuan
daya pikir penutur dalam menciptakan bahasa bermakna kias.

12