Hubungan Religiusitas dengan Pengendalian Diri (self regulation) pada Jamaah Tarekat Naqsyabandiyah Babussalam Langkat Sumatera Utara

BAB II
LANDASAN TEORI

Penelitian ini akan menggunakan dua teori, yaitu Religiusitas dan
Pengendalian Diri (self regulation).
II.1 Religiusitas
II.1.1 Pengertian Religiusitas
Menurut etimologi kuno, religi berasal dari bahasa Latin “ religio” yang
akar katanya adalah “re” dan “ligare” yang mempunyai arti mengikat kembali.
Hal ini berartidalam religi terdapat aturan-aturan dan kewajiban –kewajiban yang
harus dipenuhi dan mempunyai fungsi untuk mengikat diri seseorang dalam
hubungannya dengan sesama, alam, dan Tuhan. Menurut Mensen Religiusitas
berasal dari bahasa Latin “relegare” yang berarti mengikat secara erat atau ikatan
kebersamaan. Religiusitas adalah sebuah ekspresi spritual seseorang yang
berkaitan dengan sistem keyakinan, nilai, hukum yang berlaku dan ritual (Afida,
2009).
Agama, dalam pengertian Glock dan Stark adalah sistem simbol, sistem
keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semua
berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai (ultimate meaning)
paling maknawi (Glock dan Stark, 1965).
Menurut Koenig (2012) religiusitas merupakan seperangkat keyakinan

dan perbuatan individu yang berkaitan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan
menurut Achour (2014) menyatakan bahwa religiusitas adalah ketaatan dan
kesetiaan individu terhadap keyakinan dan

12
Universitas Sumatera Utara

13

Berdasarkan uraian beberapa tokoh mengenai pengertian religiusitas, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa religiusitas adalah keseluruhan dari fungsi jiwa
individu mencakup keyakinan, perasaan dan perilaku yang diarahkan secara sadar
dan sungguh-sungguh pada ajaran agamanya. Dari sini kita dapat melihat dan
memahami, bahwa aktivitas beragama yang erat kaitannya dengan religiusitas
bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan ritual keagamaan (ibadah) saja,
melainkan juga pada aktivitas-aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan batin,
seperti tarekat. Kegiatan tarekat adalah aktivitas keagamaan yang mensucikan diri
dan berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah secara rohani melalui musik,
tari, dan berdzikir dalam hati untuk menenangkan diri secara lahir dan batin.
II.1.2 Dimensi Religiusitas

Menurut Glock bahwa ada lima aspek atau dimensi religiusitas (Glock dan
Stark, 1965) yaitu :
a. Dimensi ideologi dan keyakinan (the ideological dimensions),
Dimensi yang berisi pengharapan-pengarapan dimana orang-orang
religius berpegang teguh pada pandangan tertentu dan mengakui doktrin-doktrin
tersebut.
Konteks ajaran islam dimensi menyangkut keyakinan pada rukun iman,
dan kepercayaan seseorang terhadap kebenaran-kebenaran agamanyanya dan.
b. Dimensi ritual (the ritualistic dimensions),
Dimensi yang mengukur sejauh mana seseorang melakukan kewajiban
ritualnya dalam agama yang dianut. Misalnya, sholat, berdoa, berpuasa dan lainlain.

Universitas Sumatera Utara

14

Dimensi ritual ini merupakan perilaku keberagamaan yang berupa
peribadatan yang berbentuk upacara keagamaan. Perilaku seperti ini dalam islam
dikenal dengan istilah shalat, puasa, haji, zakat dan kegiatan lain yang bersifat
ritual.

c. Dimensi penghayatan (the experiental dimensions),
Sesudah memiliki keyakinan yang tinggi dan melaksanakan ajaran agama
(baik ibadah maupun amal) dalam tingkatan yang optimal maka dicapailah situasi
ihsan. Dimensi ini berkaitan dengan seberapa jauh seseorang merasa dekat dan
dilihat oleh Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.
Dimensi ini mencakup pengalaman dan perasaan dekat dengan Allah swt,
perasaan nikmat dalam menjalankan ibadah, dan perasaan syukur atas nikmat
yang dikaruniakan oleh Allah dalam kehidupan mereka.
d. Dimensi pengetahuan (the intellectual dimensions),
Dimensi yang berkaitan dengan pemahaman dan pengetahuan seseorang
terhadap ajaran-ajaran agama yang dianutnya. Dimensi ini mengacu kepada
harapan

bahwa

orang-orang

yang

beragama


paling

tidak

memiliki

sejumlahminimal pengetahuan mengenai dasar-dasar, keyakinan, kitab suci, dan
tradisi-tradisi. Al- qur’an merupakan pedoman hidup sekaligus sumber
pengetahuan ilmu.
Dimensi ini meliputi 4 bidang yaitu, akidah, ibadah, akhlak serta
pengetahuan tentang Al qur’an dan hadist.Dimensi pengetahuan dan keyakinan
jelas berkaitan satu sama lain, karena pengetahuan mengenai sesuatu keyakinan
adalah syarat bagi penerimaannya.

Universitas Sumatera Utara

15

e. Dimensi pengamalan dan konsekuensi (the consequential dimensions),

Dimensi

ini

mengacu

pada

identifikasi

akibat-akibat

keyakinan

keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.
Dimensi ini berkaitan dengan kegiatan pemeluk agama untuk merealisasikan
ajaran-ajaran dan lebih mengarah pada hubungan manusia tersebut dengan
sesamanya dalam kehidupan sehari-hari yang berlandaskan pada etika dan
spritualitas agama yang dianutnya.
Dimensi konsekuensi ini lebih dekat dengan aspek sosial, yang meliputi

ramah dan baik terhadap orang lain, menolong sesama, dan menjaga lingkungan
(Ancok dan Suroso, 2005: 77)
Berdasarkan penjelasan teori diatas, dapat disimpulkan bahwa religiusitas
menurut Glock melihat dari sudut pandang lima dimensi yaitu, dimensi ideologi
dan keyakinan, dimensi ritual, dimensi penghayatan, dimensi pengetahuan dan
dimensi pengalaman. Kegiatan Tarekat adalah sebuah kegiatan yang mana
menyuruh jamaahnya untuk beragama secara menyeluruh, tidak hanya pada satu
aspek saja melainkan terjalin secara harmonis dan berkesinambungan. Setiap
muslim termasuk jamaah Tarekat baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak
harus didasarkan pada syariat Islam. Berdasarkan pertimbangan itulah, peneliti
menggunakan kelima dimensi diatas dalam pengukuran religiusitas.
II.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Religiusitas
Noer Rahmah (2013) menyatakan ada beberapa faktor yang dapat
menyebakan manusia berusaha mendekatkan diri kepada sang Penciptanya, antara
lain;

Universitas Sumatera Utara

16


a. Faktor sosial
Mencakup pengaruh sosial dalam mengembangkan sikap keagamaan
seperti, pendidikan orang tua, tekanan-tekanan sosial untuk menyesuaikan
diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan.
b. Faktor alami
Pada umunya ada anggapan bahwa kehadiran keindahan, keselarasan
dan kebaikan yang dirasakan dalam dunia nyata secara psikologik turut
memainkan peran dalam membentuk sikap keagamaan.
c. Faktor konflik moral
Dianggap salah satu faktor yang menentukan sikap keagamaan,
konflik moral ini

dapat membawa orang pada dualisme dalam sikap

keagamaanya karena rangsangan-rangsangan yang baik dapat dianggap
sebagai rangsangan yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Sedangkan
rangsangan yang tidak benar berasal dari kekuatan-kekuatan spritual yang
bertentangan dengan Tuhan.
d. Faktor intelektual
Proses intelektual itu merupakan bagian dari landasan sikap

keagamaan, karena memng benar adanya bahwa suatu kepercayaan secara
diam-diam akan lebih kuat dipegangi bila proses

pemikiran dapat

digunakan untuk memberikan alasan pembenarannya, dan kebanyakan
orang cenderung meninggalkan kepercayaan-kepercayaan yang dimata
mereka kurang tampak mendapatkan dukungan intelektual meskipun
kepercayaan-kepercayaan ini menarik perhatian mereka berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan lainnya.

Universitas Sumatera Utara

17

e. Faktor afektif
Salah satu faktor yang membantu pembentukan sikap keagamaan
adalah sistem pengalaman emosional yang dimiliki setiap orang dalam
kaitanya dengan agama mereka. Hal ini berupa pengalaman yang meskipun
secara orisinil terjadi dalam kaitan bukan keagamaan tetapi ia cenderung

mengakibatkan perkembangan keyakinan keagamaan atau bisa juga suatu
corak pengalaman yang timbul sebagai bagian dari perilaku keagamaan
yang mungkin memperkuat, memperkaya atau justru memodifikasi
kepercayaan-kepercayaan keagamaan yang sudah dianut sebelumnya.
f. Faktor kebutuhan yang tidak terpenuhi
Adanya kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi secara sempurna
di mana-mana sehingga mengakibatkan terasa adanya kebutuhan akan
kepuasan-kepuasan agama.
Berdasarkan dengan teori-teori diatas maka dapat disimpulkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas adalah faktor pendidikan,
pengalaman, kehidupan, dan intelektual seseorang. Faktor-faktor tersebut dapat
mempengaruhi sikap keagamaan seseorang.
II.2

Pengendalian Diri (Self Regulation)

II.2.1 Pengertian Pengendalian Diri (Self Regulation)
Pengendalian diri (self regulation) dapat dipahami sebagai penggunaan
suatu proses yang mengaktivasi pemikiran, perilaku, dan perasaan yang terus
menerus dalam upaya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan ( Schunk &

Zimmerman, 1997).Sedangkan, menurut Zimmerman (1988) pengendalian diri

Universitas Sumatera Utara

18

(self regulation) adalah sebuah konsep mengenai bagaimana individu menjadi
regulator atau pengatur bagi dirinya sendiri.
Pengendalian diri(self regulation) berarti mengubah, terutama melakukan
perubahan untuk membawa perilaku pada beberapa standard tertentu seperti ide
dan tujuan dalam diri seseorang. Perubahan perilaku tersebut sama seperti
mengikuti sebuah aturan, menyesuaikan diri dengan cita-cita atau mengejar suatu
tujuan merupakan bentuk yang sangat berguna pada

pengendalian diri (self

regulation) (Baumeister & Vohs, 2007)
Berdasarkan uraian beberapa tokoh mengenai pengertian pengendalian diri
(self regulation) , maka dapat diambil kesimpulan bahwa self regulation adalah
perubahan untuk membawa perilaku pada standards atau tujuan tertentu seperti

ide dan cita-cita, dan perubahan perilaku tersebut harus mengikuti aturan-aturan
yang sudah ada.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dituntut untuk bisa berlomba-lomba
dengan manusia lainnya agar dapat bertahan hidup, termasuk berlomba-lomba
dalam meraih kenikmatan dan karunia dari sang Maha Pencipta, misalnya terjadi
pada para jamaah Tarekat. Para jamaah Tarekat yang berlomba-lomba untuk
mendekatkan diri pada Allah swt, harus dapat menunjukkan bahwa dirinya telah
menjalani perintah- Nya dan berbuat baik di jalan Allah, sesuai dengan apa yang
diperintahkan

Allah

kepada

hamba-hamba-Nya.

Mendekatkan

diri

dan

bertawakkal kepada Allah swt dapat dicapai oleh para jamaah Tarekat melalui
kemampuannya dalam mengatur dirinya sendiri dalam setiap kegiatannya.
Kegiatan-kegiatan yang berlangsung dalam ajaran Tarekat sekaligus menjadi
jembatan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, harus dapat dijalankan

Universitas Sumatera Utara

19

semaksimal mungkin. Maka dari itu pengendalian diri (self regulation) sangat
penting dalam memperoleh tujuan yang kita tetapkan.
II.2.2 Komponen Pengendalian Diri (Self Regulation)
Menurut (Baumeister & Vohs, 2007) Pengendalian diri (Self Regulation)
dibagi menjadi tiga komponen utama, di antaranya: standar (standards),
pemantauan (monitoring), dan kekuatan (strength). Akan tetapi dari penelitian
baru-baru ini, sekarang sudah diakui adanya komponen keempat sebagai
pendukung, yaitu motivasi (motivation).

Adapun keempat dimensi yang

dimaksudkan tersebut memiliki pengertian sebagai berikut:
a. Self regulatory standards,
Menunjukkan bahwa regulation berarti mengubah perilaku atau
respon yang sesuai dengan beberapa standards yang diinginkan dan dimiliki
oleh seseorang. Oleh karena itu pengendalian diri (self regulation) akan
efektif jika perilaku atau respon yang ditunjukkan oleh seseorang sesuai
denganstandards yang terdapat dalam dirinya. Standards yang ambigu, tidak
konsisten dan bertentangan membuat pengendalian diri (self regulation)
menjadi sulit untuk dilakukan.
b. Self regulatory monitoring;
Merupakan komponenyang berperan sebagai pengawasan agar
perilaku dan respon yang muncul dalam diri seseorang telah sesuai dengan
standards yang diinginkannya. Satu kontribusi dari teori feedback-loop dalam
pengendalian diri (self regulation) seseorang. Dalam teori tersebut terdapat
perbandingan antara self ( atau sesuai dengan aspek dalam self) dengan
standards yang dimiliki oleh seseorang. Jika self terlalu rendah maka

Universitas Sumatera Utara

20

pengendalian diri (self regulation) memerlukan beberapa usaha untuk
memulai perubahan diri agar perilaku atau respon yang muncul sama seperti
apa yang seharusnya terjadi. Selain itu teori feedback-loop juga melakukan
evaluasi terhadap kemajuan self yang sesuai dengan tujuan dalam diri
seseorang sehinnga akhinya dapat diketahui bahwa saat ini self telah sesuai
dengan standards yang dimiliki seseorang.
c. Self regulatory strength,
Strength atau kekuatan secara umum dikenal dengan kemauan dan
keinginan. Usaha yang bertujuan untuk mengubah self sulit dilakukan dan hal
tersebut membutuhkan kekuatan dari pengendalian diri (self regulation) itu
sendiri. Mengatur dan mengubah selfsepertinya tergantung pada sumber daya
yang terbatas seperti kekuatan dalam atau energi dalam diri seseorang yang
dapat habis ketika perubahan self

tersebut

telah dilakukan sehingga

menciptakan penipisan pada ego.
d. Self regulatory motivation,
Komponen ini digunakan untuk mencapai tujuan atau standards
yang dimiliki oleh seseorang dalam praktiknya sejumlah motivasi diperlukan
untuk mengatur self. Bahkan jika standards dalam diri seseorang sudah jelas,
pengawasannya pun telah maksimal dan sumber kekuatan nya pun berlimpah.
Seseorang mungkin masih gagal dalam melakukan pengendalian diri (self
regulation) karena ia tidak memperdulikan tentang tujuan yang ingin
dicapainya.
Dengan memperhatikan keempat komponen di atas, maka dapat dipastikan
bahwa yang menarik pertama kali dalam melakukan penelitian ini adalah hadirnya

Universitas Sumatera Utara

21

sebuah konsep yang luas tentang self regulation tersebut. Dengan komponen –
komponen sebagai berikut standar (standards), pemantauan (monitoring), dan
kekuatan (strength) dan motivasi (motivation).
Berkaitan dengan komponen Pengandalian diri (self regulation), jamaah
Tarekat juga harus memiliki komponen-komponen tersebut untuk pengendalian
diri dalam melakukan sesuatu. Komponen Self regulatory standards, banyaknya
kegiatan- kegiatan yang harus dilakukan dalam upaya mendekatkan diri kepada
Allah swt, seringkali membuat para jamaah tarekat berubah sikap dalam
melakukan kegiatan tersebut. Hal itu sering terjadi karena biasanya mereka tidak
mampu mengukur dirinya sudah sampai mana ia mendekatkan diri kepada Allah
swt, bukan hanya itu ketidakmampuannya dalam menghadapi tantangan-tantangan
dan ujian dalam perjalannanya juga yang membuat mereka tidak percaya diri dan
merubah sikap nya dari yang seharusnya. Selanjutnya komponenSelf regulatory
monitoring, dalam komponen ini intropeksi diri sangat penting dalam menjalani
kegiatan yang dilakukan oleh jamaah Tarekat. Penyesuaian semacam ini
diperlukan karena pribadi, perilaku, dan faktor lingkungan terus berubah –ubah
sepanjang waktu. Komponen ketiga Self regulatory stregth, dalam komponen ini
kekuatan secara rohani maupun jasmani sangat dibutuhkan oleh para jamaah
tarekat, karena kekuatan tersebut juga menentukan apakah pengendalian diri
dalam dirinya bekerja secara efektif atau tidak. Komponen yang terakhir adalah
Self regulatory motivation, merujuk pada sebuah motivasi dimensi ini sangat
dibutuhkan untuk memenuhi ketiga komponen lainnya biasanya para jamaah
tarekat memelukan motivasi untuk dirinya dari keluarganya, lingkungan sekitar,

Universitas Sumatera Utara

22

teman, maupun sang Maha Pencipta. Apabila motivasi tersebut kurang maka
dapat menyebabkan kegagalan untuk mengatur diri sendiri.
II.2.3 Faktor- Faktor Disfungsi Pengendalian Diri (Self Regulation)
Menurut (Susanto, 2006:69) ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan
seseorang kurang mampu untuk mengembangkan self regulation, yaitu :
a. Kurangnya pengalaman belajar dari lingkungan sosial menurut Brody,
Stoneman, dan Flor– adalah faktor pertama yang menyebabkan kegagalan
seseorang

dalam

mengembangkan

self

regulation.

Kesulitan

mengembangkan self regulation disebabkan mereka tumbuh di rumah atau
lingkungan yang tidak melakukan self regulation, dan tidak mendapat
reward.
b. Batasan kedua yang menghambat orang dalam mengembangkan
kemampuan self regulation, dalam pandangan Steinberg, Brown, dan
Dornbusch, bersumber dari dalam diri yaitu sikap apatis (disinterest). Hal
ini disebabkan dalam menggunakan teknik-teknik self regulation yang
efektif dibutuhkan antisipasi, konsentrasi, usaha, self reflection yang
cermat.
c. Gangguan suasana hati, seperti mania atau depresi adalah batasan ketiga
yang disampaikan oleh Bandura, yang dapat menyebabkan disfungsi self
regulation. Sebagai contoh, seseorang yang mengalami depresi cenderung
menunjukkan

perilaku

menyalahkan

diri

sendiri,

salah

dalam

mempersepsikan hasil perilaku mereka, bersikap negatif.
d. Batasan yang keempat dari teori Borkowski dan Thorpe, yang sering
dihubungkan dengan disfungsi self regulation adalah adanya learning

Universitas Sumatera Utara

23

disabilities, seperti masalah kurang mampu konsentrasi, mengingat,
membaca dan menulis. Sebagai contoh, seorang anak dengan learning
disabilities menetapkan goal academic yang lebih rendah dibandingkan
dengan anak-anak normal.
Jadi dapat disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi disfungsi self
regulation yaitu; intelegensi, kepribadian, lingkungan pendidikan dan lingkungan
rumah. Seorang jamaah Tarekat yang memiliki Intelegensi yang tinggi,
kepribadian yang baik, lingkungan pendidikan dan lingkungan rumah yang
mendukung, namun tanpa ditunjang oleh kemampuan mengendalikan diri dengan
baik (self regulation), maka dipastikan jamaah tarekat tersebut tidak akan
mampumencapai tujuan yang ditetapkannya yaitu mensucikan diri dan
mendekatkan diri kepada Allah swt.
II.3

Tarekat

II.3.1 Pengertian Tarekat
Dari segi bahasa tarekat berasal dari bahasa Arab Thariqat yang artinya
jalan, keadaan, aliran dalam garis sesuatu. Jamil dan Shaliba mengatakan secara
harfiah tarekat berarti jalan yang terang, lurus yang memungkinkan sampai pada
dengan selamat. Selanjutnya pengertian tarekat berbeda-beda menurut tinjauan
masing-masing. Dikalangan Muhaddisin tarekat diartikan dalam dua arti yang
asasi. Selain itu tarekat juga diartikan sekumpulan cara-cara yang bersifat
renungan, dan usaha inderawi yang mengantarkan pada hakikat , atau sesuatu data
yang benar.
Menurut Mustafa Zahri hubungan ini mengatakan tarekat adalah jalan
petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan

Universitas Sumatera Utara

24

oleh Nabi Muhammad dan dikerjakan oleh sahabat-sahabatnya, sampai pada saat
ini. Harun Nasution mengatakan bahwa tarekat adalah jalan yang harus ditempuh
seorang sufi dalam tujuan berada sedekat mungkin dengan Allah SWT.
Berdasarkan dengan teori-teori diatas maka dapat disimpulkan bahwa
pengertian tarekat adalah ibadah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, yang
bersifat renungan (dzikir) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
II.3.2 Tujuan Tarekat
Tujuan tarekat melihat sisi pengamalan, tujuan tarekat berarti mengadakan
latihan (riyadhah) dan berjuang melawan nafsu (mujahadah), membersihkan
berdiri dari sifat-sifat yang tercela dan diisi dengan sifat-sifat yang terpuji dengan
melalui perbaikan budi dalam berbagai segi. Dari sisi tadzakkur , tujuan tarekat
mewujudkan rasa ingat kepada Allah dzat yang maha besar dan maha kuasa atas
segalanya dengan melalui jalan mengamalkan wirid dan dzikir yang dibarengi
dengan tafakur secara terus-menurus. Tujuan tarekat terakhir, mencapai tingkat
ma’rifat hal ini apabila semua amalnya didasari akan keikhlasan dan ketaatan
kepada Allah, sehingga akan dapat diketahui segala rahasia dibalik tabir cahaya
Allah dan Rasul- Nya secara terang benderang.
Tujuan tarekat tersebut akan dapat dicapai oleh setiap orang yang
mengamalkan tarekat. Jelasnya ia dapat mengerjakan syari’at Allah dan Rasul –
Nya dengan melalui jalan atau sistem yang mengantarkan tercapainya tujuan
hakikat yang sebenarnya sesuai dengan yang dikehendaki oleh syari’at itu sendiri.
Sedangkan fungsi tarekat, merupakan semacam keluarga besar, dan semua
anggotanya menganggap diri mereka bersaudara satu sama lain.

Universitas Sumatera Utara

25

II.3.3 Aliran-Aliran Tarekat
Dari sekian banyak tarekat terdapat sekurang-kurangnya tujuh aliran
tarekat yang berkembang di Indonesia, yaitu tarekat Qadariyah, Rifaiyah,
Naqsyabandiyah,

Sammaniyah,

Khalwatiyah,

Al-Hadad

dan

tarekat

Khalidiyah.berikut ini penjelasannya :
a. Tarekat Qadariyah : didirikan oleh Syaikh Abdul Qadir Jaelani (1077-1166)
dan disebut Al- Jilli. Tarekat ini banyak tersebar di dunia Timur, Tiongkok,
sampai ke pulau Jawa.
b. Tarekat Rifaiyah : didirikan oleh Syaikh Rifa’i. Tarekat ini banyak tersebar
di daerah Aceh, Jawa, Sumatera Barat, dan Sulawesi.
c. Tarekat Naqsyabandiyah : didirikan oleh Muhammad bin Bhauddin AlUwaisi Al – Bukhari (727-791). Tarekat ini banyak tersebar di Sumatera,
Jawa, Maupun Sulawesi.
d. Tarekat Samaniyah : didirikan oleh Syaikh Saman yang meninggal tahun
1720 di Madinah. Tarekat ini banyak tersebar luas di Aceh, Palembang dan
Sumatera.
e. Tarekat Khalwatiyah : didirikan oleh Zahiruddin. Tarekat ini banyak
jamaahnya di Indonesia.
f. Tarekat Al- Haddad : didirikan oleh Sayyid Abdullah bin Alwi bin
Muhammad Al- Haddad. Tarekat ini banyak dikenal di Hadramaut,
Indonesia, India, Hijaz, Afrika Timur, dan lain-lain
g. Tarekat Khalidiyah : adalah salah satu cabang dari tarekat Naqsabandiyah di
Turki. Pokok-pokok tarekat Khalidiyah dibangun oleh Syaikh Sulaiman
Zuhdi Al- Khalidi.

Universitas Sumatera Utara

26

Pada penelitian ini, peneliti akan meneliti hubungan Religiusitas dengan
Pengendalian Diri (self regulation) pada jamaah Tarekat Naqsabandiyah
Babussalam.
II.3.4 Tarekat Naqsabandiyah Babussalam
Kampung Besilam ini terletak dikecamatan Padang Tualang, Kabupaten
Langkat, Sumatera Utara. Letak kampung Besilam

ini berjarak sekitar 75

kilometer dari kota Medan, ibukota propinsi Sumatera Utara. Kampung Islam
Besilam atau juga dikenal Babussalam. Kata-kata “Babussalam” berasal dari
bahasa arab, terdiri dari dua buah kata, yaitu “Bab” artinya “pintu” dan “Salam”
artinya “keselamatan” atau “kesejahteraan”, semoga penduduknya memperoleh
kesejahteraan dan keselamatan dunia dan akhirat. Kampung Basilam atau
Babussalam ini didirkan oleh Syekh Abdul Wahab Rokan pada 1811-1926,
seorang penganut Tarekat Naqsabandiyah yang telah memperdalam ilmu agama di
tanah jarizah Arab. Sekembalinya ke tanah kelahiran Indonesia, Syehk Abdul
Wahab Rokan mengajarkan ilmu Tarekat Naqsabandiyah kepada para murid dan
jamaahnya. Pada saat itu Sultan Musa, sultan pertama Langkat, yang menurut
kabarnya bersepupu dengan Syekh Abdul Wahab Rokan, dan memberikan beliau
sebidang tanah untuk Syekh Abdul Wahab Rokan agar mendirikan sebuah
perkampungan Islam, mengingat kesultanan Langkat yang beretnis Melayu
memeluk agama Islam begitupun juga masyarakat Melayu pada umumnya.
Karena banyak masyarakat yang menganut dan mengamalkan ajaran Syekh Abdul
Wahab Rokan, maka saat itu Syekh Abdul Wahab Rokan pun dijuluki gelar oleh
para jamaahnya dengan sebutan Tuan Guru Babussalam yang berarti guru

Universitas Sumatera Utara

27

keselamatan, maka kampung yang ditempati oleh Tuan Guru Babussalam dinamai
dengan Babussalam atau Besilam.
Kampung Babussalam yang kecil ini, diatur sedemikian rupa, sehingga
merupakan suatu daerah yang berstatus otonomi. Ditetapkan suatu peraturan yang
wajib ditaati oleh penduduk. Peraturan-peraturan itu termasuk dalam sebuah
risalah “peraturan-peraturan Babussalam”. Dalam menjalankan peraturanperaturan ini, beliau tidak pilih kasih dan tidak pandang buluh. Siapa yang
melanggar peraturan, dihukum, walaupun anak kandung sendiri. Bila kesalahan
itu agak berat, maka beliau mengusir orang tersebut dari Babussalam. Orangorang yang tidak beragama islam, tidak dibenarkan tinggal menetap dikampung
ini. termasuk larangan merokok didepan umum, berpangkas, berkopiah hitam atau
peci, penduduk harus berkopiah putih atau bersorban. Wanita dilarang memakai
perhiasan yang mencolok, penduduk tidak dibenarkan memakai tempat tidur besi
dan tidak boleh mengutamakan kemewahan dunia, hingga rumah tidak boleh
dibuat dari kayu keras. Hanya cukuplah lantai papan, dinding tepas, dan atap
nipah. Karena menurut beliau semua harta didunia ini akan tinggal sesudah kita
mati, beliau sendiri makan dalam piring kayu, dan minum dalam tempurung.
Setelah wafatnya sang Tuan Guru Babussalam Syekh Abdul Wahab
Rokan pada hari Jumat 27 Desember 1926, ajaran Tarikat Naqsabandiyah yang
diajarkannya kepada para murid dan jamaahnya masih terus diamalkan oleh para
murid yang menggantikan peran Syekh Abdul Wahab Rokan sebagai penyiar
Islam di tanah Langkat. Maka setelah wafatnya Syekh Abdul Wahab Rokan,
kampung Besilam memiliki Tuan Guru Babussalam atau Tuan Guru Besilam

Universitas Sumatera Utara

28

lainnya yang terus mengajarkan ajaran Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan
dan mendirikan syiar Islam.
II.3.5 Tata Cara Pelaksanaan Tarekat
Tata cara pelaksanaan tarekat antara lain :
1. Dzikir, yaitu ingat terus menerus kepada Allah dalam hati serta
menyebutkan namanya dengan lisan. Dzikir ini berguna sebagai pengendali
hati, ucapan, dan perbuatan agar tidak menyimpang dari garis yang sudah
ditetapkan Allah swt.
2. Ratib, yaitu mengucapkan lafal lailaha illa allah dengan gaya, gerak dan
irama tertentu.
3. Muzik, yaitu dalam membacakan wirid-wirid dan syair- syair tertentu
diiringi dengan bunyi-bunyian (instrumental) seperti memukul rebana.
4. Menari, yaitu gerak yang dilakukan mengiringi wirid-wirid dan bacaanbacaan tetentu untuk menimbulkan kekhidmatan.
5. Bernafas, yaitu mengatur cara bernafas pada waktu melakukan dzikir yang
tertentu.
Selain yang disebutkan diatas, untuk menjalani tarekat perlu mengadakan
latihan batin, riadah, dan mujahadah (perjuangan kerohanian). Perjuangan seperti
itu dinamakan pula suluk dan yang mengerjakan disebut salik.

Universitas Sumatera Utara

29

II.4

Hubungan Religiusitas dengan Self Regulation Pada Jamaah Tarekat
Naqsabandiyah Babussalam.
Sikap keagamaan

merupakan perwujudan dari pengalaman dan

penghayatan seseorang terhadap agama, dan agama menyangkut persoalan bathin
seseorang. Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang
bersifat supranatural ternyata seakan menyertai manusia dalam ruang lingkup
kehidupan yang luas.
Kerinduan manusia

terhahadap

sesuatu yang

memiliki

kekuatan

supranatural ini, pada tahap berikutnya terakomodir menjadi suatu sistem yang
sering disebut dengan kontak transendental. Maka mulailah manusia memaknai
simbol-simbol atau gejala-gejala alam yang dianggap memberi rangsangan dalam
setiap perenungannya. Rangsangan tersebut menjelma menjadi sugestivitas dalam
diri itu selanjutnya dikelola dan ditempa dalam hati, sehingga menghasilkan suatu
keyakinan yang mutlak dan absolut (Afida, 2009).
Menurut Bastaman setiap manusia memiliki latar belakang kehidupan
yang berbeda –beda, dan tentunya juga memiliki karakteristik kepribadian yang
khas dan unik. Namun sebagian mereka memiliki minat yang kuat terhadap
berbagai bidang

yang menjadi interestnya. Ada sebagian orang yang sangat

tertarik dengan persoalan keagamaan. Mereka juga dikatakan sangat otonom,
terutama dalam hal berpikir, bersikap, serta membuat keputusan dan menentukan
tindakan. Manusia ideal, jika ditinjau dari sisi psikologi, sebenarnya merupakan
proses aktualisasi diri. Manusia mencoba dan berusaha mewujudkan akhlak Ilahi
sebagai prototipenya, sehingga timbul kesadaran yang kuat untuk mengubah
situasi hidupnya kearah yang lebih bermakna.

Universitas Sumatera Utara

30

Kebutuhan manusia untuk membangun self regulation (pengendalian diri)
menjadi syarat utama dan paling vital dalam mewujudkan harapan-harapan mulia
bagi hidupnya. Sebab bagaimanapun besarnya semangat spiritual seseorang dalam
pengabdiannya terhadap agama yang mereka imani tanpa adanya standarisasi
(standards), pemantauan (monitoring), dan kekuatan (strength), serta motivasi
(motivation) yang jelas dan kuat dari dalam dirinya sangat mustahil bagi
seseorang untuk meraih religiusitas yang hendak diwujudkan secara optimal.
Religiusitas adalah simbol dan keyakinan seseorang kepada Tuhannya
yang tercermin dalam sikap dan perbuatannya untuk mengikuti aturan, upacaraupacara dan kegiatan keagamaan. Agama yang dimaksud disini adalah agama
Islam dan kegiatan keagamaan yang dimaksud disini adalah kegiatan Tarekat.
Tarekat adalah ibadah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, yang bersifat
renungan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengamalan Tarekat juga
bermacam-macam seperti, dzikir, ratib, muzik, menari, dan bernafas. Tarekat
Naqsyabandiyah Babussalam adalah tarekat yang mengikuti pengklasifikasian
tarekat konvensional dan merupakan bagian dari tarekat mu‘tabarah yang
memiliki silsilah yang terhubung langsung kepada Nabi Muhammad, melalui jalur
Abu Bakar dan tabi‘in dan tabi‘ tabi‘in yang dikenal luas dalam khazanah
tasawuf. Syaqawi (2010) menyatakan bahwa kegiatan berzikir dapat menciptakan
ketentraman dan perasaan damai,seseorang yang bereligiusitas dengan sendirinya
akan membentuk sebuah keteraturan diri dapat mengusir kecemasan dan
kegelisahan dan mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan.
Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas dan pengendalian
diri (self regulation) pada diri seseorang. Berikut ini adalah hal yang paling

Universitas Sumatera Utara

31

berpengaruh terhadap tingkat religiusitas dan sikap pengendalian diri pada diri
seseorang, yaitu usia dan jenis kelamin seseorang. Hal itu sesuai dengan
pernyataan Jalaludin (2005) terkait masalah religiusitas seseorang, Jalaludin
menyatakan bahwa perkembangan agama pada anak ditentukan oleh tingkat usia
mereka karena dengan berkembangnya usia anak, maka akan mempengaruhi
perkembangan berfikir mereka. Bukan hanya itu Astri (2009) juga menyatakan
hal yang sama bahwa adanya pengaruh faktor usia terhadap religiusitas individu,
yaitu dengan bertambahnya usia maka tingkat religiusitas juga akan meningkat
pula, bukan hanya itu Astri menambahkan bahwa jenis kelamin juga menjadi
pengaruh terhadap religiusitas seseorang karena adanya tingkat stres yang berbeda
secara signifikan, dengan perempuan memiliki tingkat tingkat stres yang lebih
tinggi daripada laki-laki, terutama pada gejala emosi dan fisik. Sedangkan terkait
sikap pengendalian diri seseorang Nur Ghufron dan Rini (2011:23) menyatakan
bahwa faktor internal (seperti usia) ikut andil terhadap pengendalian diri. Semakin
bertambah usia seseorang maka, semakin baik kemampuan pengendalian diri
seseorang itu dari diri individu. Sementara Zimmerman dan Martinez- Ponz
(dalam Yukselturk & Bulut, 2009) bahwa ada perbedaan pengendalian diri (self
regulation) antara laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan hal-hal diatas dapat kita simpulkan bahwa faktor usia dan
jenis kelamin seseorang memiliki pengaruh yang besar terhadap tingkat
religiusitas dan pengendalian diri (self regulation) seseorang. Bukan hanya itu
religiusitas juga memiliki hubungan yang erat dengan pengendalian diri (self
regulation) seseorang. Hal itu seseuai dengan Afida (2009) yang berpendapat
bahwa

tingkat perilaku agama memiliki hubungan yang positif dengan

Universitas Sumatera Utara

32

pengendalian diri (self regulation) yang mestinya dijalankan semaksimal
mungkin. Dengan kata lain jika self regulation seseorang terus diberdayakan
dengan baik, maka secara tidak langsung akan mampu mengangkat citra baiknya
dalam kehidupan beragama (religiusitas), berbangsa, dan bernegara. Hal senada
juga disampaikan oleh Ahmadi (2013) dalam penelitiannya yang menggunakan
metode korelasional menyatakan bahwa ada hubungan yang positif antara
kekuatan keagamaan dengan self regulation seseorang.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas dapat dikatakan bahwa individu
dengan religiusitas dapat memiliki self regulation dalam dirinya. Hal inilah yang
akhirnya menarik perhatian peneliti untuk meeliti apakah ada hubungan
religiusitas dengan pengendalian diri (self regulation) pada jamaah Tarekat
Nasyabandiyah Babussalam Langkat, Medan.
II. 5

Kerangka Konsep
Kerangka konsep pada penelitian ini berdasarkan pada judul penelitian

yaitu “Hubungan antara Religiusitas dengan Pengendalian Diri (Self Regulation)
pada jamaah Tarekat Naqsabandiyah Babussalam.

Religiusitas :

Pengendalian Diri (Self
Regulation) :

-Dimensi Keyakinan
-Standar (standards)
-Dimensi Ritual
-Pemantauan (monitoring)
-Dimensi Penghayatan
-Kekuatan (strenght)
-Dimensi Pengetahuan
-Motivasi (motivation)
-Dimensi Pengalaman

Gambar II.1 Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara

33

Berdasarkan gambar II.1 diatas menunjukkan tentang hubungan antara
variabel religiusitas dan pengendalian diri (self regulation). Dimensi yang terdapat
dalam kedua variabel tersebut adalah dimensi religiusitas seperti (keyakinan,
ritual, penghayatan, pengetahuan, dan pengamalan). Sedangkan pengendalian diri
(self regulation) yaitu (standards, monitoring, strength, dan motivation).
Hubungan antara kedua variabel, yaitu religiusitas dan pengendalian diri (self
regulation) diperkuat dengan menghubungkan masing – masing dimensi yang ada
di dalam variabel tersebut.
II. 6

Hipotesis
Berpijak pada pemaparan teori diatas, maka yang menjadi hipotesis dalam

penelitian ini adalah :
Ho: tidak ada hubungan yang positif antara religiusitas dengan
pengendalian

diri

(self

regulation)

pada

Jamaah

Tarekat

Naqsabandiyah Babussalam.
Ha: ada hubungan yang positif antara religiusitas dengan pengendalian
diri

(self

regulation)

pada

Jamaah

Tarekat

Naqsabandiyah

Babussalam.

Universitas Sumatera Utara