Hubungan Religiusitas dengan Pengendalian Diri (self regulation) pada Jamaah Tarekat Naqsyabandiyah Babussalam Langkat Sumatera Utara

BAB I
PENDAHULUAN

I.1

Latar Belakang Masalah
Tarekat pada awalnya hanya digunakan sebagai metode, cara, dan jalan

yang ditempuh seorang sufi menuju pencapaian spritual tertinggi sebagai
pensucian diri atau jiwa (Riyadi, 2014). Di Indonesia, Tarekat sebagai pendidikan
agama Islam bagi kehidupan masyarakat yang tercatat dalam sejarah dan cukup
berhasil

dalam menanamkan nilai-nilai atau ajaran keislaman bagi para

jamaahnya.Tarekat tidak hanya memiliki potensi keberagamaan saja, tetapi juga
potensi sosial, ekonomis, dan bahkan kultural. Kegiatan Tarekat juga menjadi
wahana bagi pemahaman transisi (etika dan spiritual) untuk penanaman nilai-nilai
keagamaan di tengah-tengah masyarakat (Bruinessen 1994). Tarekat juga diyakini
mampu menumbuhkan rasa sosial yang tinggi antara sesama, menjadikan
kehidupan lebih berarti, aman dan hidup bahagia di dunia dan akhirat

(Ahmadi,2009).
Adapun landasan pengamalan Tarekat dalam Islam adalah mengutip surah
Al- Jin ayat ke 16, seperti berikut ini.




Artinya : dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas
jalan itu (agama islam), benar-benar kami akan memberi minum
kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).
Ayat inilah yang dijadikan pegangan hukum oleh ahli Tarekat dalam
melaksanakan amalan-amalan yang diajarkan. Kemudian dari sisi materi pokok

1
Universitas Sumatera Utara

2

amalan tarekat yang berupa wirid zikrullah (berzikir), sesuai dengan firman Allah
dalam qur’an sebagai berikut :






Artinya : hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan
menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan
bertasbihlah kepada-nya diwaktu pagi dan petang. (Q.S. Al- Ahzab:
41-42)
Berdasarkan

ayat

di

atas

dapat

dijelaskan


bahwa

Allah

telah

memerintahkan kepada semua orang yang beriman untuk senantiasa berzikir
dengan menyebut asma Allah. Kegiatan ini dilakukan sepanjang waktu, dari pagi
hingga malam hari.
Tujuan pengamalan Tarekat adalah mengadakan latihan (riyadhah) dan
berjuang melawan nafsu (mujahadah), membersihkan diri dari sifat-sifat yang
tercela dan diisi dengan sifat-sifat yang terpuji dan mewujudkan rasa ingat kepada
Allah swt, melalui jalan mengamalkan wirid dan dzikir yang diikuti dengan
tafakur secara terus menerus Bramawie (1996).
Tarekat memiliki berbagai macam aliran yakni: Tarekat Qadariyah,
Tarekat Rifaiyah, Tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat Samaniyah, Tarekat
Khalwatiyah, Tarekat Al- Haddad, dan Tarekat Khalidiyah. Di antara berbagai
Tarekat yang ada dan berkembang di dunia Islam, nama Tarekat Naqsyabandiyah
merupakan Tarekat yang paling berpengaruh di Indonesia (Bruinessen, 1994).

Tarekat Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat yang mu’tabarah 1 dan
0F

1

Mu’tabarah: apabila amalan dalam tarekat tersebut dapat dipertanggungjawabkan baik secara
syariat, maupun keilmuannya.

Universitas Sumatera Utara

3

memiliki banyak jamaahnya di Indonesia, meski para jamaahnya sangatlah
tertutup dalam menjalankan ritual-ritual keagamaanya.
Tugas utama para jamaah Tarekat Naqsyabandiyah adalah pengamalan
ilmu yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu yang dimaksudkan tersebut
adalah akal dan pikiran yang dimiliki manusia, yang mana akal tersebut adalah
hanya untuk mengingat dan mengonsentrasikan diri pada Allah (melalui dzikir
dan Musyahadah 2 akan zat Allah). Jadi segala sesuatu yang dilakukan dalam
kehidupannya adalah mengingat Allah swt (Bruinessen, 1992).

Menurut Irgham (p.16)Tarekat Naqsyabandiyah memiliki keyakinan
terkait dengan aqidah yang dianutnya, keyakinan tersebut antara lain. Pertama,
Naqsabandiyah memiliki keyakinan bahwa pendiri tarekat pertama adalah Abu
Bakar as-Shiddiq. Abu Bakar as- Shiddiq mengamalkan dzikir dan wirid
naqsyabandiyah, dengan mengkarantina diri untuk berdzikir dan tidak putus
hingga masuk waktu subuh. Ketika itu banyak orang yang mencium daging
panggang. Kemudian Nabi SAW mengabarkan bahwa itu adalah hati Abu Bakar
karena saking banyaknya berdzikir kepada Allah. Kedua, mereka berkeyakinan
bahwa orang yang tidak mengikuti Tarekat Naqsyabandiyah dia berada dalam
bahaya agamanya. Doktrin semacam ini bisa dipastikan ada dalam setiap firqah
dan aliran kepercayaan. Karena diantara metode untuk mengikat jamaahnya
adalah memastikan bahwa mereka lah yang paling berhak dengan surga-Nya.
Ketiga, jamaah tarekat Naqsyabandiyah menyikapi para tokohnya yang sudah
mati sebagaimana layaknya orang hidup. Mereka istighatsah 3 di kuburan
tokohnya, meminta keputusan ke tokohnya, bahkan menimba ilmu dari tokohnya.
2

Musyahadah : adalah keyakinan bahwa ia (dirinya) sedang berhadapan dengan Allah SWT
Istighatsah: memohon pertolongan terwujudnya keajaiban atas sesuatu yang dianggap sulit untuk
diwujudkan.

3

Universitas Sumatera Utara

4

Mereka meyakini bahwa hubungan dengan Allah hanya bisa dilakukan melalui
cara mendekatkan diri kepada tokoh mereka. Media yang digunakan adalah foto
tokohnya, atau membayangkan wajah tokohnya dalam imajinasi ketika mereka
berdzikir kepada Allah.
Banyaknya pro dan kontra terkait ritual tarekat naqsyabandiyah menuai
beberapa persoalan yang menjadi masalah bagi pandangan masyarakat terhadap
ritual-ritual ajaran tarekat. Sebagian orang memandang bahwa masing-masing dan
keseluruhan murid cenderung untuk menyembah sang guru (mursyid), bukannya
menyembah Allah swt (Nisa, 2012). Sedangkan pihak pro menyatakan bahwa
dengan tarekat biasanya jalan itu (mursyid) lebih gampang untuk membawa
seseorang ke hadirat Allah (Burhani, 2002). Namun hal itu dipatahkan kembali
oleh pihak kontra yang menyatakan banwa tarekat terdapat sistem yang menuntut
kepatuhan yang sedemikian kuat para murid atau jamaah tarekat terhadap
tokohnya. Tokohnya dijadikan sebagai sumber petunjuk dan segala yang mereka

sampaikan sebagai suatu kebenaran atau tidak dipertanyakan lagi (Baits, 2014).
Disangkal kembali dengan pernyataan bahwa dengan mengikuti tarekat akan
mempertebal hati jamaahnya sehingga tidak ada yang dirasa indah dan dicintai
kecuali keindahan dan kecintaan Allah swt. Keyakinan para jamaah tarekat
terhadap ritual-ritual ajaran tarekat bertujuan untuk menyempurnakan moral,
mencapai

kebahagiaan

ruhaniyah,

dan

menghilangkan

dahaga

spritual.

Berdasarkan pro dan kontra mengenai tarekat diatas dapat disimpulkan

bahwa jamaah tarekat berorientasi terhadap tujuan apa yang mereka inginkan.
Para jamaah tarekat dapat mengendalikan diri sendiri terutama dalam hal
menuntun diri menampilkan perilaku tertentu yang sudah ada diharapkan oleh

Universitas Sumatera Utara

5

dirinya, seperti menjalankan mursyid dan berdzikir secara terus - menerus kepada
Allah swt. Para jamaah Tarekat Naqsyabandiyah umumnya mengendalikan
pikiran, emosi dan perilaku impulsif mereka terhadap urusan dunia, dan berfokus
pada urusan akhirat yakni menghadap Allah swt, dengan dzikir dapat menjadikan
diri mereka selalu dalam keadaan stabil dan bisa mengontrol emosi. Bukan hanya
itu dengan berdzikir dan mengingat Allah dapat mendatangkan ketentraman hati,
menyembuhkan berbagai macam penyakit, dan nilai-nilai positif didalam
kehidupan (Hafil, 2014).
Pengendalian diri (self regulation) merupakan sebuah konsep mengenai
bagaimana individu menjadi regulator atau pengatur bagi dirinya sendiri
(Zimmerman, 1988). Adapula yang menyatakan bahwa pengandalian diri itu
berarti kesanggupan untuk menahan, mengekang, dan menguasai tindakan,

perkataan, pikiran, dan diri sendiri 4. Pengendalian diri pada setiap orang berbedabeda, tergantung kondisi dan situasi yang dialaminya pada saat itu. Sama hal nya
dengan pengendalian diri yang terjadi pada jamaah tarekat Naqsyabandiyah
dengan muslim biasa pada umunya. Umumnya para jamaah tarekat yang benarbenar dalam melaksanakan agamanya, mereka mengendalikan diri mereka
terhadap urusan dunia, sedangkan muslim biasa pada umumnya lebih bangkit
untuk berperan aktif dalam kebaikan terhadap masalah yang ada disekitarnya,
mereka berusaha untuk memerangi segala sisi negatif dengan sikap kejiwaanya,
seperti egoisme dan semacamnya, dalam rangka kesempurnaan iman.
Salah satu contohnya adalah pandangan jamaah tarekat dan muslim biasa
pada umumnya terkait masalah politik. Bruinessen (1992) menyatakan bahwa
4

http://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/1200003890

Universitas Sumatera Utara

6

Para jamaah tarekat lebih dipandang sebagai depolitisasi 5, seperti pelarian dari
tanggungjawab sosial dan politik. Jadi jamaah tarekat itu lebih berorientasi kepada
urusan ukhrawi 6 ketimbang masalah dunia. Selanjutnya masalah pemberontakan,

dalam banyak kasus pembenrontakan yang melibatkan tarekat, kelihatannya
bukan tarekat yang memelopori pemberontakan malainkan para pemberontak
yang masuk tarekat untuk memperoleh kesaktian. Salah satu kasusnya adalah
pemberontakan anti-Belanda di daerah Banjarmasin (1860-an) dari kasus ini
tampak bahwa ada pemberontakan dulu, dan barulah kemudian tarekat
dilibatkan 7. Sedangkan muslim biasa pada umumnya, sebaliknya mereka melalui
hak dan kewajiban penguatan peran politiknya, umat muslim pada umumnya
memiliki ruang gerak dinamis-partisipatoris untuk di satu sisi bisa konsolidasi
internal umat islam di segala bidang tanpa harus “risih” atau permisif dengan
problem pluralitas dan demokrasi, termasuk politik praktis, meskipun itu bukan
satu-satunya identitas muslim pada umumnya 8.
Salah satu faktor yang mempengaruhi sikap pengendalian diri (self
regulation) adalah keagamaan seseorang (religiusitas). Seseorang tidak akan
mempunyai pengendalian diri yang baik apabila tidak memiliki religiusitas yang
baik pula. Bukan berarti muslim pada umumnya tidak memiliki religiusitas dalam
diri mereka, melainkan tinggi rendahnya tingkat religiusitas itu sendiri yang ada
pada diri mereka.
Berikut ini adalah perbandingan religiusitas menurut jamaah tarekat
Naqsyabandiyah dengan muslim biasa pada umumnya. Cara jamaah tarekat dalam


5

Depolitisasi : penghapusan (penghilangan) kegiatan politik.
Ukhrawi: mengenai akhirat
7
http://www.let.uu.nl/~martin.vanbruinessen/personal/publications/tarekat_dan_politik.htm
8
http://www.ummi-online.com/pengendalian-diri-dalam-ukhuwah.html

6

Universitas Sumatera Utara

7

meningkatkan religiusitasnya adalah, kebermaknaan hidup dan kepasrahan
terhadap Tuhan dengan memperbanyak dzikir, ibadah sunah, puasa, berkholwat,
dan menjauhi hal-hal yang kurang bermanfaat 9. Sedangkan muslim biasa pada
umumnya religiusitas pada mereka berpatokan dengan Al- Qur’an, di surat Al
Baqarah ayat 208, yang menjelaskan tentang himbauan kepada umat Muslim
untuk beragama secara penuh, maksudnya disini adalah tidak setengah-setengah.
Seorang muslim yang beragama secara penuh, dalam kegiatan atau aktivitas
kesehariannya ia menanamkan nilai-nilai keislaman baik dalam ruang lingkup
ibadah maupun bermu’amalah 10.
Berdasarkan teori-teori diatas dapat disimpulkan bahwa pengendalian diri
(self regulation) dan religiusitas mempunyai hubungan yang sangat erat. Afida
(2009) berpendapat bahwa tingkat perilaku agama (religiusitas) seseorang dengan
sendirinya akan membentuk sebuah keteraturan diri (self regulation) yang
mestinya dijalankan semaksimal mungkin. Dengan kata lain jika self regulation
seseorang terus diberdayakan dengan baik, maka secara tidak langsung akan
mampu mengangkat citra baiknya dalam kehidupan beragama (religiusitas),
berbangsa, dan bernegara.Hal senada juga disampaikan oleh Ahmadi (2013)
dalam

penelitiannya

yang

menggunakan

300

sampel

dengan

metode

korelasionalmenyatakan bahwa ada hubungan yang positif antara kekuatan
keagamaan dan status sosial dengan self regulation seseorang.
Hal ini dibantah oleh Aqhari (2003) yang menyatakan bahwa tidak
adanya hubungan yang berarti antara sikap religiusitas dan self regulation. Ia
percaya bahwa agama itu telah ditransfer dalam bentuk tradisi oleh orang tua
9

www. repository.ugm.ac.id
http://www.jejakpendidikan.com/2016/11/religiusitas-dalam-perspektif-islam.html

10

Universitas Sumatera Utara

8

kepada anak-anaknya, bahkan orang – orang juga menerima agama dalam dunia
pendidikan. Maka dari itu orang- orang kurang memiliki self regulation dalam
dirinya (Aqhari, 2003).
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Michael, Willoughby, Brian (2009)
menyatakan bahwa ada hubungan yang positif antara religiusitas dan self
regulation. Sama halnya dengan Achour (2014) menemukan bahwa kedamaian
dan kesejahteraan hidup seseorang dipengaruhi oleh religiusitas seseorang.
Dengan kata lain semakin tinggi tingkat religiusitas seseorang, maka semakin baik
kehidupannya. Sedangkan Zeenat (2012) dari Karachi Pakistan menemukan
adanya hubungan yang positif antara kesejahteraan psikologis (psychological well
being) seseorang dan keterlibatannya dalam keagamaan
Millgram (2015) dalam penelitiannya yang menggunakan metode
experiment dengan partisipan sebanyak 503 orang yang berstatus pelajar, dalam
penelitiannya dia menemukan bahwa regulasi emosi yang maladaptif tidak hanya
digunakan sebagai mengatur emosi sesaat mereka saja, melainkan sampai
membuat kehidupan mereka menjadi lebih berarti. Disusul dengan Burson (2007)
dengan metode experiment yang menggunakan partisipan sebanyak 272 orang
diantaranya adalah 109 (laki-laki) dan 163 (perempuan) mendapatkan hasil bahwa
ada hubungan antara self regulation seseorang dengan sikap religiusitasnya.
Jamaah tarekat Naqsyabandiyah menekankan adanya pengendalian diri
dalam diri mereka terhadap urusan dunia. Dengan adanya pengendalian diri dalam
diri mereka membuat mereka lebih khusyuk (fokus) dalam menjalankan ibadah
dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengendalian diri (self regulation) yang
baik, kepribadian diri yang baik, kondisi kejiwaan yang sehat dan tingkat usia

Universitas Sumatera Utara

9

yang, hal inilah yang akan membawa seseorang kepada tingkat religiusitas yang
tinggi.
Oleh karena itu dalam penelitian ini peneliti tertarik mengangkat judul
“hubungan antara religiusitas dengan pengendalian diri (self regulation) pada
jamaah Tarekat Naqsyabandiyah Babussalam”.
1.2

Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah
1. Adakah hubungan yang positif
pengendalian

diri

(self

antara religiusitas dengan

regulation)

pada

jamaah

Tarekat

Naqsabandiyah Babussalam ?
2. Adakah hubungan yang signifikan antara dimensi-dimensi
religiusitas (keyakinan, ritual, penghayatan, pengetahuan, dan
pengamalan) dengan komponen-komponen pengendalian diri (self
regulation)(standards, monitoring, strength, dan motivation) pada
jamaah Tarekat Naqsabandiyah Babussalam ?
I.3

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat

hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan

pengendalian diri (self

regulation)pada jamaah Tarekat Naqsabandiyah Babussalam. Dan hubungan
antara dimensi-dimensi kedua variabel religiusitas dengan pengendalian diri (self
regulation)

Universitas Sumatera Utara

10

I.4

Manfaat Penelitian
I.4.1

Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberi manfaat teoritis berupa :
a. Masukan dan sumber informasi bagi ilmu psikologi, khususnya psikologi
klinis mengenai religiusitas dan kaitannya dengan self regulation pada
jamaah tarekat naqsabandiyah babussalam
b. Masukan bagi para peneliti yang tertarik untuk meneliti lebih jauh
mengenai religiusitas dan kaitannya dengan self regulation pada jamaah
tarekat naqsabandiyah babussalam.
I.4.2

Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis berupa :
a. Memberikan pandangan mengenai religiusitas dalam kaitannya dengan
self regulation pada jamaah Tarekat Naqsabandiyah Babussalam
b. Menunjukkan religiusitas dan self regulation pada jamaah Tarekat
Naqsabandiyah Babussalam
c. Menjadi bahan rujukan dalam mengatasi masalah-masalah mengenai
religiusitas pada jamaah Tarekat Naqsabandiyah Babussalam
I.5

Sistematika penulisan
Sistematika penulisan laporan penelitian ini adalah :
BAB I : Pendahuluan
Bab ini berisikan latar belakang mengenai self regulation,pengertian
mengenai self regulation dan termasuk religiusitas. Gambaran religiusitas
kegiatan keagamaan (tarekat). Hal ini kemudian menarik peneliti untuk
mengetahui hubungan antara tingkat

religiusitas dengan self regulation

Universitas Sumatera Utara

11

pada jamaah tarekat Naqsabandiyah Babussalam. Di bab ini peneliti juga
menuliskan rumusan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian, tujuan
penelitian, manfaat penelitian secara teoritis maupun praktis yang dapat
langsung dirasakan oleh masyarakat khususnya responden dalam penelitian
ini, serta sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Bab ini menguraikan tinjauan teoritis variabel-variabel penelitian,
yaitu religiusitas, self regulation, dinamika antara religiusitas dan self
regulation pada jamaah Tarekat Naqsabandiyah Babussalam.
BAB III : Metode Penelitian
Bab ini menjelaskan tentang pendekatan yang digunakan dalam
penelitian, variabel yang diteliti, sampel dan populasi penelitian, alat
ukur yang akan digunakan berikut validitas dan reabilitasnya serta
metode analisis data dan blueprint yang akan digunakan terhadap hasil
penelitian.
BAB IV : Hasil Analisa Data dan Pembahasan
Bab ini berisi uraian data mengenai hasil analisis hubungan
religiusitas dengan pengendalian diri (self regulation), hasil penelitian
meliputi hasil utama penelitian, hasil tambahan penelitian, dan
pembahasan terhadap hasil yang didapatkan.
BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran Bab ini berisi pemaparan
kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan dan saran yang dapat
diberikan peneliti terkait dengan pelaksanaan penelitian dan hasil yang
didapatkan dalam peneliti.

Universitas Sumatera Utara