Etika Komunikasi Di Ruang Publik : Kajian Tentang Cyberharassment Di Jejaring Sosial Path

BAB II
PERSPEKTIF/PARADIGMA PENELITIAN
2.1 Paradigma Penelitian
Manusia memiliki paradigma tersendiri dalam memaknai sebuah realitas.
Pengertian

paradigma

adalah

suatu cara

pandang untuk

memahahami

kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para
penganut ddan praktisinya. Paradigma menunjukkan sesuatu yang penting, absah,
dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada
praktisinya apa yang harus dilakukantanpa perlu melakukan pertimbangan
eksistensial atau epistemologis yang panjang (Mulyana, 2003:9).

Paradigma

pada

wilayah

riset

penelitian

sebenarnya

merupakan

seperangkat konstruksi cara pandang dalam menetapkan nilai-nilai dan tujuan
penelitian. Meskipun tidak bisa disetarakan dengan seperangkat teori semata,
paradigma memberikan arah tentang bagaimana pengetahuan harus didapat dan
teori-teori apa yang seharusnya digunakan dalam sebuah penelitian. Paradigma
bisa juga berarti sebuah ideologi berpikir dan sekaligus praktek sekelompok
komunitas orang yang menganut suatu pandangan yang sama atas realitas, mereka

memiliki seperangkat aturan dan kriteria yang sama untuk menilai aktivitas
penelitian dan sekaligus mengguanakan metode yang serupa (Narwaya,
2006:108).
Pada hakikatnya, paradigma memberikan batasan-batasan tertentu apa
yang harus dikerjakan, dipilih, dan di prioritaskan dalam sebuah penelitian. Pada
aspek lain, paradigma akan memberi rambu-rambu tentang apa yang harus
dihindari dan tidak digunakan dalam sebuah penelitian (Nasrwaya, 2006:109).
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma
konstruktivis. Konstruktivisme mengatakan bahwa kita tidak akan pernah dapat
mengerti realitas sesungguhnya secra ontologis. Yang kita mengerti adalah
struktur konstruksi kita akan suatu objek.
8

Universitas Sumatera Utara

9

Konstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tapi hendak melihat
bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu. Boleh juga dikatakan bahwa “realitas”
bagi konstruktivisme tidak pernah ada secra terpisah dari pengamat.

Pengamat mengetahui bukan realitas yang berdiri sendiri, melainkan
kenyataan sejauh dipahami oleh yang menangkapnya. Menurut Saphiro, ada
banyak benyak kenyataan dan masing-masing terbentuk pada kerangka dan
interksi pengamat dan objek yang diamati (Ardianto, 2007:80).
Manusia pada hakekatnya adalah makhluk yamg selalu berinteraksi
dengan manusia lainnya. Terkadang manusia ketika interaksi sosialnya disadari
maupun tidak sering menampakkan fenomena-fenomena yang berupa simbolsimbol dan mempunyai banyak pemaknaan yang beragam antar individu.
Fenomena berupa simbol-simbol dapat ditangkap dan dimaknai di masyarakat
merupakan refleksi dari fenomena interaksionisme simbolis. Pemaknaan tersebut
didasarkan pada pemaknaan atas seusatu yang dihadapinya lewat proses yang
disebut self-indication. Proses self-indication adalah proses komunikasi pada diri
individu yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna,
dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut.
Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial bisa disebut
berada diantara teori fakta sosial dan defenisi sosial. Dalam teori fakta sosial
struktur sosial yang eksislah yang penting. Manusia adalah produk dari
masyarakat. Tindakan dan persepsi manusia ditentukan oleh struktur yang ada
dalam masyarakat. Institusional, norma, struktur, dan lembaga sosial menentukan
individu manusia. Sebaliknya adalah teori defenisi sosial, manusialah yang
membentuk masyarakat. Manusia digambarkan sebagai identitas yang otonom.

Melakukan pemaknaan dan membentuk masyarakat, menyusun institusi dan
norma yang ada. Teori kontruksi sosial berada diantara keduanya (Eriyanto
2004:13).
Paradigma konstruktivis melihat realitas sosial sebagai konstruksi sosial
yang diciptakan oleh individu yang merupakan manusia bebas. Individu menjadi

Universitas Sumatera Utara

10

penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Manusia
dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak diluar batas kontrol
struktur dan pranata sosialnya dimana individu melalui respon-respon terhadap
stimulus dalam dunia kognitifnya. Dalam proses sosial, individu manusia
dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang realtif bebas di dalam dunia
sosialnya.
Pandangan konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang
memisahkan subjek dari objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme,
bahasa tidak lagi hanya dilhat sebagai alat untuk memahami realitas objektif
belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai pengumpan pesan. Positivime meyakini

bahwa pengetahuan harus merupakan representasi ( gambaran atau ungkapan )
dari kenyataan dunia yang terlepas pengamat ( objektivisme ). Pengetahuan
dianggap sebagai kumpulan fakta. Konstruktivisme menegaskan bahwa
pengetahuan

tidak

lepas

dari

subjek

yang

sedang

belajar

mengerti.


Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan adalah konstruksi kita sendiri. ( Ardianto, 2007 : 154 )
Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak diluar
batas kontrol struktur dan pranata sosialnya dimana individu berasal. Manusia
secara aktif dan kreatif mengembangkan dirinya melalui respons-respons terhadap
stimulus dalam dunia kognitifnya. Karena itu paradigma defenisi sosial tertarik
terhadap apa yang ada dalam pemikirn manusia tentang proses sosial, terutama
para pengikut interaksi simbolik. Dalam proses sosial, individu manusia
dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia
sosialnya ( Bungin, 2003 : 3 ).
Ritzer menjelaskankan bahwa ide dasar semua teori dalam paradigma
defenisi sosial sebenarnya berpandangan manusia adalah aktor yang kreatif dari
realitas sosialnya. Dalam artinya, tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan
oleh norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya yang

Universitas Sumatera Utara

11


kesemuanya itu tercakup dalam fakta sosial yaitu tindakan yang menggambarkan
struktur dan pranata sosialnya ( Bungin, 2003 : 2 ).
Menurut Hidayat dalam perspektif ontologi paradigma kontruktivitas,
realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun
demikian kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai
konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial ( Bungin, 2003 : 3 ).
Konstruktivisme diihat sebagai sebagai sebuah kerja kognitif individu
untuk menafsirkan dunia reaitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara
individu dengan lingkungan atau orang disekitarnya. Individu kemudian
membangun sendiri pengetahuan yang sudah ada sebelumnya, yang oleh Piager
disebut dengan skema/skemata. Dan konstruksi semacam inilah yang oleh Peter L.
Berger dan Luckman, disebut dengan kontruksi sosial ( Bungin, 2008 : 14 ).
2.2 Kajian Penelitian
Setiap Penelitian memerlukan kejelasan berfikir dalam memecahkan atau
menyoroti masalah-masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang
membuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah
penelitian akan disoroti (Nawawi, 42: 2012). Teori merupakan serangkaian
asumsi, konsep, konstrak, definisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu
fenomena (sosial) secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara
konsep (Arif dkk, 14: 2001).

Fungsi teori dalam riset adalah membantu periset menerangkan fenomena
sosial atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatiannya (Krisyantono,
42:2008).
2.2.1 Komunikasi
Sebagai makshluk sosial, manusia selalu santiasa ingin berhibungan
dengan manusia lainnya. Ia ingin mengetahui lingkungan sekitarnya, bahkan ingin
mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Rasa ingin tahu memaksa manusia
untuk berkomunikasi.

Universitas Sumatera Utara

12

Menurut Wilbur Schramm (1982), tanpa komunikasi tidak mungkin
masyarakat terbentuk dan sebaliknya tanpa masyarakat tidak mungkin manusia
mengembangkan komunikasi. (Cangara, 1998:1-2).
Menurut Harold D. Lasswell ada 3 penyebab mengapa manusia perlu
berkomunikasi, yaitu :



Hasrat manusia untuk mengontrol lingkungannya. Melalui komunikasi
manusia dapat mengetahui peluang-peluang yang ada untuk dimanfaatkan,
dipelihara dan menghindar pada hal-hal yang mengancam sekitarnya.
Melalui komunikasi manusia dapat mengetahui suatu kejadian atau
peristiwa. Bahkan, melalui komunikasi manusia dapat mengembangkan
pengetahuannya, yakni belajar dari pengalamannya maupun informasi
yang mereka terima dari lingkungannya.



Upaya manusia untuk berdaptasi dengan lingkungannya. Proses kelanjutan
suatu masyarakat sesungguhnya bergantung bagaimana masyarakat itu
bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Penyesuaian disini bukan saja
terletak pada kemampuan manusia memberi tanggapan terhadap gejala
alam seperti, banjir, gempa bumi, dan musim yang mempengaruhi perilaku
manusia, tetapi juga lingkungan masyarakat tempat manusia hidup dalam
tantangan. Dalam lingkungan seperti ini diperlukan penyesuaian, agar
manusia dapat hidup dalam suasana yang harmonis.




Upaya

untuk

melakukan transformasi

warisan

sosialisasi.

Suatu

masyarakat yang ingin mempertahankan keberadaannya, maka anggota
masyarakatnya dituntut untuk melakukan pertukaran nilai, perilaku, dan
peranan. Misalnya

bagaimana

orangtua


mengajarkan tata

krama

bermasyarakat yang baik kepada anaknya. Bagaimana media massa
menyalurkan hati nurani khalayaknya, dan bagaimana pemerintah dengan
kebijaksanaan yang dibuatnya untuk mengayomi kepentingan anggota
masyarakat yang dilayaninya. (Cangara, 1998:2-3)
Jadi komunikasi jelas tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan umat
manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Ia
diperlukan

untuk

mengatur

tatakrama

pergaulan

antarmanusia,

sebab

Universitas Sumatera Utara

13

berkomunikasi dengan baik akan memberi pengaruh langsung pada struktur
keseimbangan seseorang dalam bermasyarakat.
Roger Fidler (2003), mengemukakan garis waktu (timeline) perkembangan
jenis komunikasi manusia dari waktu ke waktu yang kemudian diistilahkan
dengan „mediamorfosis‟, yaitu sebagai berikut :


Mediamorfosis besar ke-I (komunikasi bahasa lisan)
Bukti-bukti fisik dari para arkeolog telah menunjukkan bahwa manusia

telah memiliki kemampuan komunikasi lisan sejak 90000 tahun lalu, meskipun
tidak ada catatan kapan ini berawal. Kemampuan manusia berkomunikasi lisan
satu sama lain dibuktikan dengan data anatomis yang diambil dari tengkorak
manusia pada saat itu. Selain itu, lukisan di dinding-dinding goa juga
menunjukkan bahwa mereka juga ingin mencurahkan ide pikiran mereka kepada
orang lain melalui gambar-gambar sederhana karena memang pada saat itu
manusia belum mengenal aksara dan sistem bahasa.


Mediamorfosis besar ke-II (komunikasi bahasa tulisan)
Cikal bakal tulisan telah ditemukan sejak 45 abad yang lalu oleh bangsa

mesir, bangsa mesir awalnya membuat tulisan di kertas yang menggunakan daun
papirus basah yang ditumbuk dan kemudian dikeringkan, baru setelah itu bangsa
cina mengembangkan teknologi kertas.
Orang arab menggunakan kertas sebagai alat untuk menyebarkan agama
Islam ke seluruh penjuru dunia kala itu. Baru setelah tahun 1440an Johann
Gutenberg membuat mesin cetak yang menjadi awal perkembangan komunikasi
manusia.
Pada 1890-1920 setelah dunia telah mengenal media cetak, jenis
komunikasi massa ini amat diminati dan mencapai zaman keemasannya. Banyak
perusahaan pers dunia bermunculan kala itu, para penguasa pun berlomba-lomba
menggunakan media cetak sebagai alat propaganda yang ampuh, para pengusaha
penerbitan besar dapat dengan mudah meggulingkan tokoh politik karena meraih
dukungan rakyat melalui surat kabar yang mereka miliki.
Medium komunikasi radio dimulai setelahnya. Tepatnya pada 1930,
setelah PD II berakhir era teknologi komunikasi lebih menunjukkan

Universitas Sumatera Utara

14

perkembangan yang pesat sejak dimulainya televisi sebagai medium komunikasi
yang paling lengkap, karena menggabungkan realitas lisan dan tulisan serta
realitas visual yang lebih atraktif.


Mediamorfosis besar ke III (komunikasi bahasa digital)
Saat ini, komunikasi manusia tergantikan dengan penggunaan medium

yang lebih maju. Penggunaan komputer, internet, teknologi telepon serta seluler
satelit memungkinkan manusia berkomunikasi dengan mudah. Percakapan antara
manusia tidak lagi harus berhadap-hadapan atau bertatap muka. Hal ini dimulai
dengan masuknya penetrasi teknologi digital dalam proses komunikasi. Sehingga
dapat disebut dengan komunikasi digital.
Dengan teknologi digital manusia dapat berkomunikasi dengan lancar
walaupun jarak memisahkan mereka dalam skala antar benua atau antar planet.
Seseorang dapat menggunakan teknologi teleconference untuk mengefisiensi
waktu dan tempat. (Amir dkk, 2006:5-14)
2.2.1.1 Aksioma Komunikasi
2.2.1.1.1

Komunikasi adalah transmisi dan penerimaan informasi, aksioma

ini bersifat kuantitatif dan penelitiannya dipengaruhi oleh teori Shannon dan
Weaver.
2.2.1.1.2
informasi

Komunikasi
yang

diberikan

adalah
tidak

penggenerasian
harus

sama

(pemanfaatan)
dengan

makna,

informasi

yang

diterima.Informasi mungkin sedikit tapi mengandung makna yang luas dan
banyak. Orang yang menerima informasi banyak belum tentu memahami
informasi itu, mungkin disebabkan kurang adanya intentionality (perhatian).
2.2.1.1.3

Komunikasi

adalahperilaku

individual,

komunikasi

sebagai

rangkaian stimulus verbal dan nonverbal dari individu dan respon-respon.
Komunikasi itu diucapkan sendiri-sendiri
2.2.1.1.4

Komunikasi adalah hasil interaksi dari hubugan antar individu,

aksioma ini dalam sejarahnya berhubungan dengan teori Psikologi Gestalt.
Komunikasi lebih dari hanya sekedar penjumlahan interaksi prilaku verbal dan
nonverbal dari individu. Artinya komunikasi muncul sebagai pola interseksi antar
beberapa perilaku

Universitas Sumatera Utara

15

2.2.1.1.5

Komunikasi manusia adalah unik, manusia hanyalah pengguna

simbol. Masalah pokok aksioma ini ditunjukkan pada retorika.
2.2.1.1.6

Komunikasi manusia adalah bentuk dari komunikasi binatang,

prilaku simbolik seperti bahasa adalah hasil olah otak dan ini dimiliki juga
binatang seperti dolpin dan simpanse. Beberapa atribut komunikasi manusia dapat
diturunkan dari prilaku binatang.
2.2.1.1.7

Komunikasi adalah prosessual (dinamis), komunikasi itu berproses

adalah sesuatu yang benar (tidak terbantah). Suatu pernyataan paling sedikit
memiliki dua tujuan : (1), komunikasi mencakup interaksi variabel di dalam
sebuah sistim. (2), komunikasi adalah transaksi antara simbul-pengguna dalam
dinamika dan perubahan artiseperti konteks waktu dan irreversible (jika sudah
dikeluarkan tidak bisa ditarik lagi).
2.2.1.1.8

Komunikasi adalah statis, aksioma ini diambil dari model

linguistic. Parole adalah bahasa yang dinamis dan berubah-ubah seperti bahasa
pasaran, sedangkan language adalah statis, tetap seperti pada grammar.
2.2.1.1.9

Komunikasi adalah kontekstual, setiap konteks keadaan secara

kritis dapat mempengaruhi arti sebuah pesan. Ada dua macam yang memaksa
suatu arti itu dipengaruhi oleh konteksnya : (1), Konteks komunikatif yang
meliputi gaya bahasa, penampilan sikap, dan tanggapan atas perhatian. (2),
Konteks aspek situasional yang meliputipemahaman terhadap peran sosial,
batasan teritorial, dan pengetahuan.
2.2.1.1.10

Komunikasi adalah non-kontekstual, pandangan liberal tentang

komunikasi juga mencakup variasi sinyal biologis. Refleks biologi itu sama saja
(tidak bergantung pada keadaan, tempat dll – nonkontekstual)
2.2.1.1.11

Manusia tidak dapat tidak berkomunikasi, setiap manusia pasti

berkomunikasi meskipun hanya dengan dirinya sendiri. Dalam aksioma ini tidak
diperhatikan apakan komunikasi itu intensional atau tidak.
2.2.1.1.12

Manusia dapat tidak berkomunikasi, dalam aksioma ini unsur

intensional menjadi yang paling urgen dalam komunikasi.
2.2.1.1.13

Komunikasi ada dimana-mana dan sangat potensial dalam

masyarakat, komunikasi memasuki setiap unsur dalam masyarakat. Dengan

Universitas Sumatera Utara

16

komunikasi sikap, nilai-nilai kehidupan dapat bergeser atau bahkan berubah sama
sekali. Komunikasi adalah penyebab utama dari setiap perubahan yang terjadi di
masyarakat.
2.2.1.1.14

Komunikasi adalah salah satu diantara kekuatan lain dalam

masyarakat dan memiliki kemampuan yang relatif lemah, komunikasi tidak begitu
menentukan perubahan yang terjadi, karena ia hanya salah satu faktor dari
penyebab terjadinya perubahan.
2.2.2 Media
Menurut Aristoteles, proses komunikasi dapat dipenuhi melalui 3 unsur,
yaitu : siapa yang berbicara, apa yang dibicacarakan, dan siapa yang
mendengarkan. Namun kemudian banyak ahli komunikasi menambahkan unsurunsur dari komunikasi seperti halnya Claude E. Shannon dan Warren Weaver
(1949), insinyur listrik yang menyatakan bahwa ada 5 unsur pendukung proses
komunikasi, yaitu pengirim, transmitter, signal, penerima, dan tujuan. Ini karena
latar belakang mereka dan hasil studi yang mereka lakukan mengenai pengiriman
pesan melalui radio dan telepon. (Cangara, 1998:23)
Kemudian, David K.Berlo membuat formula yang kemudian diistilahkan
dengan SMCR, Source (pengirim), Messages (pesan), Channel (saluran-media) ,
Receiver (penerima). Selain itu, Charles Osgood, Gerald Miller, dan Melvin L. De
Fleur juga menambahkan Efek dan Feedback (umpan balik), sebagai pelengkap
dalam membangun komunikasi yang sempurna. Kedua unsur ini nantinya lebih
banyak dikembangkan pada proses komunikasi antar pribadi dan komunikasi
massa. (Cangara, 1998:23)
Bahkan terakhir Joseph Devito, K Sereno dan Erika Vora yang menilai
faktor lingkungan merupakan unsur yang tidak kalah pentingnya.
Namun, di dalam proses komunikasi ada satu unsur yang menjadi
penghubung diantara unsur-unsur komuikasi lainnya, yaitu media.
Media adalah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber
kepada penerima. Bentuknya beragam mulai dari indra manusia sampai telepon,
surat, pamlet, majalah, buku, brosur, poster, spanduk, dlsb.

Universitas Sumatera Utara

17

Berkat perkembangan teknologi, media pun ikut mengikuti perkembangan
zaman. Media massa elektronik tumbuh menjamur dan semakin canggih, dalam
hal ini adalah internet. Melaui internet inilah kemudian dikenal media sosial, yang
merupakan hasil kombinasi dari komunikasi antar pribadi dan komunikasi massa.
2.2.2.1 New Media
Media

Baru

adalah

istilah

yang

dimaksudkan untuk

mencakup

kemunculan digital, komputer, atau jaringan teknologi informasi dan komunikasi
di akhir abad ke-20. Sebagian besar teknologi yang digambarkan sebagai media
baru adalah digital, seringkali memiliki karakteristik dapat dimanipulasi, bersifat
jaringan, padat, mampat, interaktif dan tidak memihak. Secara sederhana media
baru adalah media yang terbentuk dari interaksi antara manusia dengan komputer
dan internet secara khususnya. Termasuk di dalamnya adalah web, blog, online
social network, online forum dan lain-lain yang menggunakan komputer sebagai
medianya.
Menurut para ahli :


Menurut Everett M. Rogers (Abrar, 2003:17-18) merangkumkan
perkembangan media komunikasi ke dalam empat era. Pertama, era
komunikasi

tulisan,

Kedua,

era

komunikasi

cetak,

Ketiga,

era

telekomunikasi, dan Keempat, era komunikasi interaktif. Media baru
adalah media yang berkembang pada era komunikasi interaktif.


Menurut Ron Rice mendefinisikan media baru adalah media teknologi
komunikasi yang melibatkan komputer di dalamnya (baik mainframe, PC
maupun Notebook) yang memfasilitasi penggunanya untuk berinteraksi
antar sesama pengguna ataupun dengan informasi yang diinginkan.



Menurut McQuail, media baru adalah tempat dimana seluruh pesan
komunikasi terdesentralisasi; distribusi pesan lewat satelite meningkatkan
penggunaan jaringan kabel dan komputer, keterlibatan audiens dalam
proses komunikasi yang semakin meningkat.

Universitas Sumatera Utara

18

2.2.2.1.1 Pandangan terhadap new media
Pandangan terhadap new media dapat berpengaruh positif dan negatif.
Berpengaruh positifnya info dari media sangat mudah dan sangat cepat,dapat di
akses di mana pun serta mendapatkannya sangat lah murah. Pengaruh negative
new media terhadat manusia adalah info dari media tersebut tanpa batas dan dapat
masuknya budaya luar melalui media baru ini,jika tidak di dasarkan kepada ilmu
pengetahuan maka akan menimbulkan hal-hal yang negative terhadap masyarakat.
2.2.2.1.2 Manfaat New Media


Bidang Sosial

Dalam bidang ini banyak menyita perhatian masyarakat misalnya saja
berbagai macam jejaring sosial yang sekarang di minati masyarakat seperti
facebook, twitter, skype, yahoo messenger, my space, hello dll. Dengan
menggunakan jejaring sosial ini dengan mudah dapat menjalin komunikasid
dengan semua user dibelahan dunia manapun.


Bidang Industri/Dagang

Dalam

bidang

ini

memudahkan

bagi

siapa

pun

yang

ingin

menawarkan/mempromosikan produk tertentu sehingga tidak susah susah untuk
membuka toko dan promosi langsung didepan konsumen, melalui new media
pedagang dapat mempromosikan produk nya melalui membuka online shop, bisa
melalui facebook, twitter atau kaskus.


Bidang Pendidikan

Dalam bidang ini sangat memudahkan bagi pelajar maupun pengajar dalam
mendapatkan materi yang di inginkan. Bisa melalui search engine kita bisa
mendapatkan segala informasi, atau dengan fasilitas E-book, fasilitas email juga
bisa membantu dalan proses mengerjakan tugas atau saling tukar informasi.

Universitas Sumatera Utara

19



Bidang Lowongan Kerja

Dalam bidang ini bagi yang ingin mencari pekerjaan cukup searching di
internet lalu mendaftar secara online bahkan bisa mengikuti tes masuk secara
online juga, tidak perlu lagi susah payah datang dari kantor ke kantor.
2.2.2.1.3 Komponen New Media
Pada new media ada beberapa komponen seperti Pembuat, penyalur dan
pemakai juga media yang digunakan agar dapat berhubungan dengan new media,
diantaranya adalah sebagai berikut:


Produsen merupakan orang yang menciptakan wadah atau sarana new
media itu sendiri komponen ini berperan sebagai pencipta atau pembentuk
new media



Distributor adalah sebuah perantara yang menghantarkan sarana media
atau bisa disebut media yang berfungsi mengahantarkan pemakai untuk
memakai sarana itu sendiri



Konsumen adalah orang yang berperan sebagai konsumen sebuah sarana
media atau new media yang berfungsi untuk memakai new media

1. Internet & Web
2. Personal Komputer (PC) / Notebook
3. DVDs (Digital Versatile Disc or Digital Video Disc)
4. VCDs (Compact Discs)
5. Portable Media Player.
6. Mobile Phone
7. Video Game/ Game Computer
8. Virtual Reality

Universitas Sumatera Utara

20

2.2.2.1.4 Aplikasi New Media
1. Jejaring Sosial
Contoh aplikasi new media dalam bidang jejaring sosial yaitu facebook, twitter,
yahoo messenger, my space, skype dll. Aplikasi ini sangat mudah digunakan bagi
masyarakat, fasilitas di jejaring sosial ini adalah bisa update status, upload foto,
video call dll. Kelebihan new media seperti ini adalah biaya murah, cepat dan
mudah
2. Online Shop
Produk produk sekarang dengan mudah bisa dipromosikan melalui online shop
yang sudah sangat banyak tersebar didunia maya, masyarakat bisa membuat
online shop melalui facebook, twitter, blog, website, ataupun kaskus yang bisa
menarik perhatian konsumen secara cepat
3. Informasi/Pendidikan
Untuk mencari segala informasi maupun berita yang terkini, dengan adanya new
media yaitu biasa menggunakan aplikasi seperti wikipedia, google, televisi analog
ataupun website-website lain nya.
2.2.3 Media Sosial
Media sosial menjadi trend baru pada kalangan menengah perkotaan.
Dengan media sosial, setiap orang dapat menyatakan pendapatnya secara terbuka
tanpa ada sensor dari orang lain. Setiap partisipan bebas membuat status, ataupun
memberi komentar terhadap status orang lain.
Selama beberapa dekade, media yang sifatnya one to many telah
menguasai aktivitas di ruang publik. Dengan situasi ini public sphere sering kali
berkembang sesuai dengan kepentingan media, bukan kepentingan publik. Media
cenderung mengangkat persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kepentingan
bisnis (iklan) ataupun kepentingan politisnya masing-masing.

Universitas Sumatera Utara

21

Media sosial pun kemudian menjadi salah satu transformasi dalam
penerapan public sphere. Media sosial telah memungkinkan setiap warga untuk
berpartisipasi dalam berbagai wacana di forum publik. Setiap anggota masyarakat
memiliki kesempatan yang sama untuk mengajukan agendanya sendiri,
memberikan komentar, maupun argumentasi. Setiap orang memiliki keinginan
untuk menyuarakan peristiwa dengan versinya masing-masing. Kemudahan akses
pada media sosial telah memungkinkan setiap orang untuk memiliki medianya
sendiri.
Tidak sepenuhnya sempurna seperti halnya interaksi tatap muka tentunya,
akan tetapi mampu memberikan bentuk-bentuk baru dalam interaksi yang
membawa orang dalam konteks pribadi yang tidak dapat dilakukan oleh media
konvensional (Junaedi, 2011).
Banyak akademisi pun mulai berpandangan bahwa era ruang publik secara
tatap muka kini telah tergantikan oleh layanan dunia maya. Seperti dituliskan oleh
Poster, yang dikutip oleh Martin Lister, dkk bahwasanya era public sphere sebagai
percakapan tatap muka jelas telah berakhir. Pertanyaan-pertanyaan mengenai
demokrasi mulai sekarang harus memperhitungkan wacana yang tampil dalam
format baru (Lister, 2003).
Format

baru

ini,

memungkinkan

terjadinya

hubungan

yang

interaktif.Hubungan inilah yang sulit untuk diperoleh melalui format media
lainnya seperti media massa. Fenomena interaktivitas ini menurut Howard
Rheingold muncul sebagai akibat dari meningkatnya “electronic agora”. Situasi
ini dimulai ketika teknologi telepon telah memungkinkan terjadinya dialog
langsung antara individu dalam jarak yang jauh, sementara media massa bekerja
secara monolog yang sehingga memiliki banyak keterbatasan. Sementara itu,
“teknologi digital baru mampu melampaui berbagai batasan tersebut serta
implikasi dari “anti demokrasi” yang muncul dari teknologi analog seperti media
massa. Teknologi digital ini menandai lahirnya besarnya jaringan yang tidak
terbatas dimana setiap pengirim dan penerima yang identitasnya samar dapat
berkomunikasi secara bebas baik secara horizontal maupun vertikal (warga negara
kepada warga negara, dan warga negara kepada institusi). Ini merupakan masa

Universitas Sumatera Utara

22

pencerahan dalam dialog, munculnya „warung kopi elektronik‟ yang mungkin
dapat memunculkan seni berbicara, debat, dan pengujian klaim satu sama lain
secara diskursif. Kelompok elite maupun industri media massa yang narsis kini
harus berjuang untuk mempertahankan aura otoritas mereka dan akan kehilangan
daya sebagai gerbang pengetahuan, budaya, dan agenda publik (Goode, 2005)
Interaktifitas sendiri dipahami sebagai “urutan aksi dan reaksi” (Van Dijk, 2006:
6).
Interaktivitas terjadi ketika berlangsung komunikasi dua sisi atau dapat
pula disebut komunikasi multilateral. Komunikasi multilateral inilah yang
kemudian memungkinkan terjadinya percakapan antara partisipan di dunia maya,
dan bukan sebuah monolog yang hanya berlangsung dari satu sisi. Percakapan
memungkinkan terjadinya saling tukar menukar informasi dari pihak-pihak yang
terlibat, sehingga sebuah informasi yang dianggap penting dan perlu mendapat
dukungan dari partisipan akan lebih tersebar luas.
Akan tetapi, interaktivitas dalam internet juga bukannya tanpa masalah.
Internet, yang menghadirkan lingkungan online memungkinkan setiap partisipan
untuk berinteraksi secara penuh dengan seluruh isi dan partisipan yang terlibat di
dunia

maya.

Setiap partisipan bebas untuk mengunduh,

mengunggah,

menyebarluaskan link di media, bahkan hingga mengolah data di internet dengan
versinya sendiri. Dan semuanya dilakukan seperti apa yang dikatakan oleh
Stromer-Galley (2000) sebagai “bahkan tanpa berkomunikasi secara langsung
dengan orang lain” (Bucy, 2004: 55).
Ragam defenisi media sosial sendiri banyak ditemukan, salah satunya
diutarakan oleh Jhon Blossom (Blossom, 2009) yang membuat kategorisasi
defenisi dari berbagai sudut pandang. Adapun defenisi tersebut adalah:
1. Skala dan akses terhadap media sosial dapat beragam, baik dari sisi teknologi
ataupun khalayak yang menggunakannya. Media sosial menggunakan teknologi
dalam skala besar dan dapat diakses melalui media sosial. Kemampuan media
sosial untuk menjangkau khalayak dalam skala besar telah digunakan untuk
berbagai kepentingan, terutama kepentingan bisnis seperti dalam publikasi. Dalam
waktu singkat, jutaan orang dapat terpapar publikasi yang disampaikan melalui

Universitas Sumatera Utara

23

media sosial. Teknologi yang kini marak digunakan, yaitu format 2.0 bahkan
mampu menjangkau skala yang lebih besar lagi, dimana publikasi menjadi lebih
mudah, lebih murah (tak jarang malah gratis), dan dapat dilakukan oleh siapa saja.
2. Media sosial memungkinkan individu untuk berkomunikasi dengan kelompok
maupun individu-individu lainnya. Khalayak dalam media sosial biasanya saling
terhubung satu dengan lainnya, dimana hubungan yang terjalin pada khalayak ini
sifatnya setara. Berbeda dengan media massa yang sifatnya “satu untuk banyak”,
media sosial bersifat “banyak untuk banyak”. Dalam konteks komunikasi yang
“satu untuk banyak”, seseorang atau kelompok tertentu mendesain pesan untuk
didistribusikan kepada orang/kelompok lain. Dengan kata lain, kelompok
penyebar informasi ini mempunyai otoritas untuk memilah dan membagi
informasi apa yang layak dan perlu dikonsumsi oleh khalayak banyak.
Sebaliknya, khalayak banyak ini tidak memiliki akses ataupun otoritas untuk
menyebarluaskan informasi yang dianggapnya penting dan layak diketahui oleh
orang lain. Format seperti ini kita lihat pada media massa, dimana ada
sekelompok anggota dewan redaksi yang kemudian memutuskan informasi apa
yang layak dibaca ataupun ditonton oleh khalayak. Informasi yang dianggap tidak
penting ataupun tidak sesuai dengan agenda redaksi tidak akan disebarluaskan di
media yang bersangkutan. Berbeda halnya dengan format “banyak untuk banyak‟,
dimana setiap individu bisa saja menyebarluaskan informasi yang dianggapnya
penting dan layak kepada orang lain secara simultan. Teknologi web
memungkinkan setiap orang membagi informasi dalam waktu bersamaan. Secara
lebih luas, keberadaaan media sosial memfasilitasi kesetaraan bagi setiap
individu/ kelompok untuk membagi informasi, dan bercerita sesuai versinya tanpa
ada pengaruh kelompok kepentingan tertentu. Tidak ada kontrol dari kelompokkelompok berkuasa dalam media sosial, karena setiap individu/kelompok yang
terlibat dalam komunikasi memiliki otoritas yang sama atas informasi yang
dimilikinya.
3. Media sosial memungkinkan terjadinya pengaruh. Akan tetapi, pengaruh yang
diperoleh oleh setiap orang tidak dapat diprediksikan. Besar kecilnya pengaruh

Universitas Sumatera Utara

24

sebuah informasi di media sosial bergantung pada seberapa penting informasi
tersebut bagi khalayak. Sebuah gagasan atau informasi bisa saja diadopsi oleh
banyak orang karena persebarannya di dunia maya sangat luas. Akan tetapi bisa
saja sebuah gagasan lainnya tidak memiliki pengaruh luas karena kurangnya
ketertarikan khalayak terhadap gagasan/informasi tersebut. Melihat situasi ini,
sebenarnya dapat dikatakan bahwa khalayak pada media sosial lebih digdaya
dibandingkan dengan khalayak pada media massa, karena mampu memilah
sendiri informasi yang penting untuk disebarluaskan.
Media sosial merupakan media online, dimana pengguna media ini dapat
berpartisipasi secara interaktif dengan peserta lain, berbagi, maupun menciptakan
isi melalui blog, jaringan sosial, maupun forum. (Junaedi, 2011). Keberadaan
media sosial dapat dengan mudah ditemukan di internet. Pengguna dapat memilih
media mana yang ingin digunakan sesuai dengan kebutuhannya.
Keberadaan media sosial telah menjadi bagian dari presentasi diri
penggunanya. Pengguna media sosial memanfaatkan medium ini sebagai bagian
pengungkapan diri, maupun pemikirannya. Lebih jauh, media sosial menjadi
bagian penting dalam upaya rekonstruksi identitas dirinya.
Akan tetapi, tidak semua konstruksi diri yang dilakukan pengguna adalah
konstruksi yang positif. Salah satu konstruksi diri yang dilakukan oleh pengguna
media sosial adalah intimidasi. Pengguna strategi ini menggunakan intimidasi
untuk memperoleh kekuasaan. Seperti yang diutarakan oleh Jones (1990),
karakteristik umum yang dimiliki adalah ancaman, pernyataan kemarahan, dan
kemungkinan ketidaksenangan (Ardianto, 2007). Pola intimidasi yang dilakukan
misalnya

dengan

menggunakan

kalimat-kalimat

tertentu

yang

dapat

mengekspresikan kemarahannya, ataupun menggunakan emoticon-emoticon
tertentu yang juga dipahami sebagai ekspresi kemarahan.
2.2.4 Ruang Publik (Public Sphere)
Konsep ruang publik merupakan bagian vital dalam negara demokratis.
Demokrasi dapat berjalan dengan baik jika dalam suatu negara terdapat ruang

Universitas Sumatera Utara

25

publik yang egaliter dimana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk
berpartisipasi dan menyampaikan idenya (Littlejohn, 2009). Dalam perkembangan
demokrasi modern, egalitas mencakup seluruh individu warga negara dan tidak
terfokus pada kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Ragam ide dan gagasan
berhak mendapat porsi yang sama di masyarakat. Dalam prakteknya, banyak
upaya pembungkaman yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat,
terutama yang mayoritas atas ide-ide yang mereka anggap bertentangan dengan
nilai yang mereka anut, terutama ide yang berasal dari kelompok minoritas. Aneka
ragam pembungkaman tersebut berlangsung di ruang publik, tempat dimana
terjadi percakapan antara kelompok maupun individu masyarakat, baik yang
minoritas maupun mayoritas.
Secara defenitif, ruang publik dapat didefenisikan sebagai “ruang yang
terletak diantara komunitas ekonomi dan negara tempat publik melakukan diskusi
yang rasional, membentuk opini mereka, serta menjalankan pengawasan terhadap
pemerintah” (Habermas, dalam Saleh, 2004: 49). Habermas juga menekankan
bagaimana “ruang publik dapat dilihat sebagai penyambung jaringan dan jarak
yang berlapis” (Couldry, 2007: 80). Keberadaan ragam jaringan budaya yang
semakin beragam dalam pertemuan masyarakat dunia dan publik, ditambah jarak
yang sepertinya semakin terbatas dikarenakan perkembangan teknologi yang
semakin maju menuntut hubungan yang berkualitas untuk menciptakan
ketentraman dalam proses interaksi tersebut.
Rouper, seperti dikutip oleh Toulouse (1998) mengungkapkan terdapat
tiga prinsip utama dalam ruang publik, dalam (Saleh, 2004) yaitu:
1. Akses yang mudah terhadap informasi.
Teknologi masa kini memungkinkan anggota masyarakat untuk mendapatkan
akses terhadap informasi. Pada masa awal ruang publik berkembang, akses ini
hanya dimiliki oleh sebagian kecil kelompok masyarakat, dalam hal ini kaum
borjuis. Keberadaan publik sphere kemudian semakin berkembang seiring dengan
pesatnya perkembangan media massa. Media massa semakin memungkinkan
setiap anggota masyarakat untuk menyampaikan ide maupun gagasannya untuk

Universitas Sumatera Utara

26

dibicarakan di forum-forum publik. Akan tetapi, keberadaan media massa dalam
ruang publik kemudian memunculkan persoalan sendiri ketika kepemilikan media
massa terkonsentrasi pada sekelompok kecil pengusaha media. Ditambah pula
dengan kepentingan politik para pemilik media yang turut memberi warna dalam
isi pemberitaannya.
Hal ini lah yang kemudian membuat ketidaksetaraan dalam politik.
Individu awam tidak memiliki akses yang sama seperti halnya kelompok elite
tertentu. Perkembangan terkini dengan adanya internet, lebih menjamin
ketersediaan informasi bagi masyarakat serta meminimalisir kemungkinan
pengaruh ideologi media dan pemiliknya dalam proses pembentukan opini dalam
ruang publik.
2. Tidak ada perlakuan istimewa (privilege) terhadap peserta diskusi (partisipan).
Tidak adanya privelege diartikan bahwa setiap anggota masyarakat memiliki
kesetaraan dalam proses wicara. Tidak ada kelompok yang lebih dominan atas
kelompok lainnya. Inilah yang kemudian akan dijelaskan dalam bagian berikutnya
sebagai ekualitas.
3. Peserta/partisipan mengemukakan alasan rasional dalam berdiskusi mencari
konsensus. Alasan rasional menjadi syarat penting terwujudnya ruang publik yang
baik. Rasionalitas dalam debat akan menjamin bahwasanya debat yang
berlangsung adalah debat yang dapat dipertanggungjawabkan dengan sumber
informasi yang benar dan tepat, sehingga dapat menghindarkan terjadinya debat
kusir ataupun pertarungan emosional antar partisipan.
2.2.4.1 Konsep Legitimasi dalam Ruang Publik
Konsep legitimasi menjadi salah satu ciri penting penerapan ruang publik
yang ideal. Demokrasi yang ideal dapat terwujud jika partisipan yang terlibat
memiliki legitimasi. Menurut Habermas, “legitmasi berarti adanya argumentasi
yang baik melalui klaim yang disampaikan yang sebagai suatu kebenaran. Dengan
kata lain, legitimasi adalah sikap politik yang layak untuk diketahui” (Habermas,

Universitas Sumatera Utara

27

1979: 179). Kelayakan sikap politik ini karena disampaikan beserta dengan
kelengkapan fakta yang dapat diyakini kebenarannya.
Dalam percakapan yang melibatkan dua pihak, keberadaan legitimasi
menjadi sangat penting karena akan mempengaruhi kepercayaan atas pesan yang
disampaikan. Apabila situasinya menunjukkan bahwa jika fakta yang disampaikan
oleh salah satu pihak tidak terlegitimasi, maka dengan sendirinya akan
meningkatkan legitimasi pihak yang berlawanan. Dalam percakapan sehari-hari
kita akan menemukan banyaknya percakapan yang tidak terlegitimasi, yang
menurut Habermas menjadi masalah permanen dalam interaksi di masyarakat.
Apabila dikaitkan dengan konteks pemerintahan, persoalan legitimasi akan
berkaitan dengan persoalan-persoalan yang penting dan prinsipil bagi hajat hidup
orang banyak. Terganggunya sektor-sektor prinsipil ini akan mengganggu sektorsektor lainnya dan disebut sebagai krisis legitimasi. Apabila berkelanjutan, dapat
memancing terjadinya revolusi.
Habermas, sampai era 70-an masih meyakini bahwa legitimasi hanya
berkaitan dengan persoalan politik dan pemerintahan. Akan tetapi,dalam
perkembangannya ketika persoalan politik semakin tidak terbatas dalam artian
tidak lagi hanya menjadi bahasan politisi ataupun elit negara melainkan menjadi
bahasan berbagai elemen warga negara, legitimasi pun berkembang seiring
dengan perkembangan masyarakat tersebut. Warga negara biasa pun harus
memiliki legitimasi untuk mendapatkan kepercayaan dari lawan wicaranya.
Semakin luas dan bebas sebuah ruang publik, maka legitimasi juga harus ada
dalam semua aspek ruang publik tersebut.
Legitimasi berkaitan erat dengan dominasi politik. Semakin besar
legitimasi, maka semakin besar pula dominasi politik yang dapat dimiliki. Hal ini
dikarenakan legitimasi berkaitan erat dengan integritas. Hanya pihak yang
berintegritas yang dapat meyakinkan orang lain untuk „tunduk‟ pada klaim yang
disampaikan. Dominasi ini yang berlangsung tidak secara paksaan. Habermas
menyebutnya sebagai “kesediaan untuk mengikuti secara sukarela” (Habermas,
1976: 180).

Universitas Sumatera Utara

28

2.2.4.2 Kritik terhadap Konsep Ruang Publik
Gagasan mengenai ruang publik ini banyak mendapat tanggapan dari para
ilmuan komunikasi. Habermas sendiri, sesuai dengan gagasan mengenai tindakan
komunikatif

sebagai

bagian

dari

penerapan

ruang publik

ideal

yang

dikembangkannya menerima dengan baik beragam kritik tersebut. Kritik ini
sendiri dianggap sebagai bagian dari pengembangan keilmuan ruang publik yang
membangun gagasan tersebut kedepannya. Laclau mengkritik ruang publik
sebagai “bentuk universalitas yang naif” (Garnham, 2007: 205). Pendapat Laclau
ini didasari pandangan bahwa idealisme dalam ruang publik justru dapat memicu
publik untuk memberi pendapat yang dianggap tidak merugikan/disukai
dibandingkan dengan pendapat yang jujur tapi disampaikan dengan cara yang
menyakitkan. Dengan kata lain, ruang publik ideal ini justru memicu kemunafikan
dalam masyarakat itu sendiri.
Kritik lain datang dari Peters Durnham yang menilai bahwa ruang publik
ideal itu pun bukannya tanpa bias terhadap proses dialog yang juga menjadi
persyaratan penting dalam masyarakat demokratis. Kritik lain muncul dari
Garnham dan McKee, yang melihat bahwa gagasan mengenai ruang publik tidak
berkontribusi secara langsung terhadap proses demokrasi itu sendiri. Hal ini
dikarenakan “pandangan Habermas ini menunjukkan tidak adanya hubungan
dengan politik di dunia nyata dan hanya membuat defenisi baru tentang demokrasi
sebagai politik representasi dengan format yang santun” (Garnham, 2007: 207).
2.3 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan uraian yang bersifat kritis dan
memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai dan dapatntarkan
penelitian pada hipotesa (Nawawi, 2001:40). Kriteria utama agar suatu kerangka
pemikiran bisa meyakinkan adalah alur-alur pemikiran yang logis dalam
membangun suatu kerangka berpikir yang membuahkan hipotesa. Jadi kerangka
berpikir merupakan sintesa tentang hubungan antar variabel yang disusun dari
berbagai teori yang telah dideskripsikan. Berdasarkan teori-teori yang telah

Universitas Sumatera Utara

29

dideskripsikan tersebut, selanjutnya dianalisis secara kritis dan sistematis,
sehingga menghasilkan sintesa tentang hubungan antar variabel yang diteliti.
Berikut kerangka penelitian dalam bagan :

MEDIA SOSIAL
(PATH)

CYBERHARASSMENT

ETIKA NORMATIF

BAIK

BURUK

Universitas Sumatera Utara