Inovasi Teknologi Pangan Lokal id

Inovasi Teknologi Pangan Lokal Langkah Menuju Kemandirian Pangan
Malik Hanafi Sofyan
Jurusan Teknik Pertanian FTP UGM
Ketua Umum Gabungan Koperasi Pengusaha Tahu Tempe Indonesia
(Gakoptindo), Aip Syarifudin mengungkapkan bahwa harga kedelai saat ini sudah
mencapai Rp 10.000/ kilogram atau harga tertinggi dalam sejarah Indonesia
(Liputan6.com, 5 September 2013). Kenaikan harga kedelai tersebut disebabkan
oleh beberapa faktor yaitu menurunnya produksi kedelai di Amerika Serikat serta
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Hal ini menjadi
indikasi bahwa saat ini Indonesia masih memiliki ketergantungan yang luar biasa
pada negara lain atas produk-produk pertanian yang menjadi bahan utama
pembuatan makanan sehari-hari masyarakat Indonesia seperti tahu dan tempe.
Dampak utama dari kejadian tersebut jelas terjadi pada pengrajin tahu
tempe dan pada akhirnya bermuara rakyat kecil yang senantiasa menderita karena
naiknya harga pangan. Secara tidak langsung, hak rakyat atas akses pangan tidak
dapat terpenuhi. Dalam Undang-undang RI No. 7 tahun 1996 tentang Pangan (UU
Pangan) disebutkan bahwa pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang
pemenuhannya menjadi hak azasi setiap rakyat Indonesia. Dengan demikian
setiap orang di negeri ini mempunyai kesempatan yang sama dalam mengakses
kebutuhan pangan. Sebagai kebutuhan dasar manusia maka pemenuhan pangan
merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia harus senantiasa tersedia cukup

setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau
oleh daya beli masyarakat. Selain itu, perlu ditumbuhkembangkan sistem

ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman baik sumberdaya bahan pangan,
kelembagaan maupun budaya lokal. Namun jika kondisi pangan menjadi suatu
yang sulit untuk diakses oleh rakyat, lantas apa yang harus dilakukan?
Pangan Lokal dan Kemandirian Pangan
Dewasa ini, pelaksanaan program keragaman konsumsi pangan terutama
berbasis pangan lokal menjadi penting untuk segera dilaksanakan terlebih dengan
berbagai polemik seputar pangan yang mulai mencuat belakangan ini. Keragaman
konsumsi pangan masyarakat Indonesia dengan indikator skor Pola Pangan
Harapan (PPH), menunjukkan bahwa skor mutu konsumsi pangan penduduk
Indonesia periode 2005 – 2009 terjadi fluktuasi. Hal ini diindikasikan terjadinya
penurunan Skor PPH dari 81,9 pada tahun 2008 menjadi 75,7 pada tahun 2009.
Penurunan mutu konsumsi pangan penduduk menunjukkan kurangnya kesadaran
masyarakat akan pangan yang beragam, bergizi, berimbang, dan aman. Kurangnya
kesadaran masyarakat tersebut ditunjukkan oleh dominasi konsumsi energi
kelompok padi-padian sebesar 61,8 persen artinya masih lebih besar 11,8 persen
dari proporsi ideal sebesar 50 persen, diikuti dengan semakin meningkatnya
konsumsi terigu yang merupakan bahan pangan impor. Sementara itu, konsumsi

pangan yang lainnya masih belum memenuhi komposisi ideal yang dianjurkan
(Miti, 2013 dalam Devananta, 2013).
Pangan lokal merupakan produk pangan yang telah lama diproduksi,
berkembang dan dikonsumsi di suatu daerah atau suatu kelompok masyarakat
lokal tertentu. Sumber dari pangan lokal ini adalah yang berasal dari daerah

setempat baik nbati maupun hewani dan biasanya diolah dengan cara-cara yang
tertentu berdasarkan kultur yang berkembang di masyarakat setempat. Karena
kondisi alam yang berbeda-beda, maka setiap daerah di Indonesia mempunyai
pangan lokal yang berbeda-beda.
Berbagai pangan lokal di Indonesia misalnya sukun, talas, singkong dan
umbi-umbian lain dapat menjadi alternatif atas permasalahan pangan saat ini.
Beberapa jenis umbi-umbian dapat dijadikan alternatif pilihan dalam mengganti
tepung gandum yang selama ini Indonesia selalu mengimpornya dari negara lain.
Jenis lain pun dapat menjadi pilihan pengganti beras misalnya jagung yang
sempat menjadi makanan pokok di Madura dan Gorontalo, ataupun sagu yang
menjadi makanan pokok di wilayah Indonesia Timur. Indonesia memiliki
setidaknya 77 bahan makanan lokal yang mengandung karbohidrat yang hampir
sama dengan nasi sehingga bisa dijadikan substitusi (Kompas, 2010 dalam
Yuliatmoko,2010). Di DIY sendiri, singkong dapat menjadi salah satu pilihan.

Pada tahun 2011, dengan luas lahan untuk tanaman singkong 62,414 hektar,
mampu menghasilkan 867,596 Ton atau dengan kata lain produktivitasnya adalah
139,01 kuintal/hektare (BPS DIY, 2011). Artinya, di DIY sendiri saja untuk
tanaman singkong keberadaannya cukup banyak dan ini menghadirkan alternatif
pemenuhan kebutuhan pangan sehingga dapat mempercepat terwujudnya
kemandirian pangan, yaitu kemampuan negara memproduksi Pangan dalam negeri
untuk mewujudkan ketahanan Pangan dengan memanfaatkan sebesar-besarnya
potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara
bermartabat.

Inovasi Teknologi Pangan Lokal Mendukung Kemandirian Pangan
Proses untuk mewujudkan kemandirian pangan juga tidak dapat serta
merta tercapai atas kondisi ketersediaan pangan khususnya pangan lokal.
Kemampuan negara memproduksi pangan dalam negeri untuk mewujudkan
ketahanan pangan dapat tercapai jika terdapat sinergi antar berbagai elemen
seperti pemerintah, akademisi, dan masyarakat itu sendiri. Inovasi dan penelitian
tentang pertanian jelas sangat dibutuhkan, apalagi kondisi iklim yang akhir-akhir
ini kurang mendukung untuk aktivitas pertanian. Selain itu, bahan pangan lokal,
khususnya pangan lokal membutuhkan suatu teknologi, baik untuk produksi
maupun pengolahannya.

Saat ini yang masih menjadi topik hangat adalah ditemukannya tepung
mocaf (modificated cassava) oleh kreatifitas Achmad Subagio. Tepung mocaf ini
mampu menjadi pengganti tepung terigu yang selama ini Indonesia sendiri tidak
mampu memproduksi sendiri. Tepung mocaf dapat digunakan untuk pembuatan
makanan yang akrab di sekitar kita seperti roti, mie, brownies dan produk lainnya.
Tepung mocaf sendiri dibuat dari singkong sebagai bahan utama dimana singkong
itu sendiri adalah komoditas pangan lokal. Keberadaan mocaf tentu mampu
menjadi pemicu bagi munculnya inovasi-inovasi lain untuk memanfaatkan produk
pangan lokal menjadi produk pangan yang lebih unggul.
Inovasi teknologi harus dilakukan bukan hanya dari aspek fisik, mutu,
gizi, dan keamanaan. Namun inovasi juga harus menyentuh pada kebiasaan dan
nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini dibutuhkan agar teknologi yang ada

bukan hanya tinggal di ranah penelitian, namun sampai kepada kemauan
masyrakat untuk mengkonsumsi pangan hasil inovasi dari pangan lokal tersebut.
Pemerintah dengan produk kebijakannya, sudah menjadi keharusan untuk
mendukung program inovasi pangan lokal ini, baik dalam kebijakan penggunaan
produk pangan lokal, fasilitasi petani produk lokal, maupun dalam bentuk lainnya.
Inovasi teknologi pangan lokal yang dilakukan oleh sinergi berbagai pihak akan
menghadirkan pangan yang sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan dan

tentunya dengan harga yang lebih terjangkau oleh masyarakat. Dengan kondisi
ini, kemakmuran rakyat akan cepat tercapai.