Akuntansiasi atau Akuntansiana Memaknai id

AKUNTANSIASI1 ATAU AKUNTANSIANA2?
MEMAKNAI REFORMASI AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK DI
INDONESIA
Ari Kamayanti
Universitas Brawijaya, Jl. MT. Haryono 165, Malang.
E-mail: kamayanti.ari@gmail.com
Abstract: Accountingization or Accountingsiana? Interpreting Sector Public
Accounting Reformation in Indonesia. The embrace of New Public Management
in public sector has given birth to imperativeness of accountingization. This
article scrutinizes the paradigm shift from public sector organizations into hybrid
organizations; a reflection of economics liberalization. A qualitative content analysis
study is carried out to generate understanding how accountingization has taken
place and is invading stealthily into the Indonesian public sector; supporting the
ever-growing capitalism. The role of accounting as the change driver in the name of
effectiveness and efficiency, hence liberalization, has gained its momentum through
legitimation of “liberal” accounting practices in government decree/regulations and
public sector accounting standards.
Abstrak: Akuntansiasi atau Akuntasiana? Memaknai Reformasi Akuntansi
Sektor Publik di Indonesia. Masuknya New Public Management di sektor
publik telah melahirkan urgensi akuntansiasi. Artikel ini menyoroti pergeseran
paradigma atas bentuk organisasi publik menjadi organisasi hibrida. Studi

analisis isi kualitatif digunakan untuk menghasilkan pemahaman tentang
bagaimana akuntansiasi telah mengambil alih dan perlahan menginvasi sektor
publik di Indonesia, dan mendukung tumbuhnya kapitalisme. Peran akuntansi
sebagai pemicu perubahan atas nama efektifitas dan efisiensi; dan oleh karena
itu liberalisasi, mendapatkan momentumnya melalui legitimasi praktik akuntansi
yaitu regulasi dan standar akuntansi sektor publik.
Kata Kunci: akuntansiasi, akuntansiana, New Public Management, sektor
publik, liberalisasi

Terdapat kritik tajam atas
birokrasi sebagai prinsip organisasi dalam sektor publik yang
melahirkan “penyakit” seperti
tingkat pelayanan yang rendah
dan tingginya korupsi. Berkaitan
dengan hal tersebut, maka muncul
asumsi bahwa terdapat “…superiority of the private sector and the
private sector management techniques above those of the public
sector and public administration”
(Osborne dan McLaughlin 2002).
Serupa dengan ini, Connolly dan

Hyndman (2006) menjelaskan
1

2

Accountingization
adalah
istilah
yang
dilontarkan pertama kali oleh Power dan
Laughlin di tahun 1992 (Hood 1995). Pada
artikel ini accountingization diterjemahkan
menjadi akuntansiasi yaitu suatu proses
yang menjelaskan bagaimana akuntansi
memiliki peran yang penting untuk merombak
progresifitas akuntabilitas publik.
Istilah “akuntansiana” meniru penggunaan
akhiran “a/na” sebagaimana yang digunakan

bahwa

“…the NPM approach to
public sector financial
management is based
upon the view that:
large state bureaucracies are inherently defective and wasteful; the
free market is the most
efficient method of allocating scarce resources;
private sector management techniques are a
suitable model for the
public sector; and if the
oleh majalah Tempo pada kolom “Indonesiana”,
atau Kompas pada “Kompasiana”. Kolom ini
menyitir kejadian-kejadian lucu dengan gaya
sarkastik di Indonesia. Penggunaan istilah ini
dimaksudkan untuk menggugah kesadaran
pembaca bagaimana sebenarnya akuntansiasi
bisa menjadi sebuah “lelucon” karena proses
ini menghilangkan sifat kepublikan dari sektor
publik itu sendiri.


531

Jurnal Akuntansi Multiparadigma
JAMAL
Volume 2
Nomor 3
Halaman 369-540
Malang, Desember 2011
ISSN 2086-7603

532

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 2, Nomor 3, Desember 2011, Hlm. 531-540

preferred approach of privatization
is not considered to be appropriate
then commercialization or pseudomarkets should be introduced as
the second best alternative.”
Anggapan tentang superioritas sektor privat inilah membuka jalan bagi New
Public Management (NPM) yang pada intinya

ingin mengurangi atau bahkan mencabut
perbedaan antara sektor public dengan sektor privat dan menggeser akuntabilitas yang
pada awalnya berfokus pada proses menuju akuntabilitas yang berfokus pada hasil
(Broadbent dan Laughlin 1997). Asumsi inilah yang menjadikan New Public Management (NPM) sebagai “pahlawan penyelamat”
sektor publik.
Semangat sektor privat melalui NPM
dijelaskan oleh Osborne dan McLaughlin
(2002:9) muncul dalam 7 doktrin NPM yaitu
(1) berfokus pada manajemen yang entrepeneuristis dibandingkan manajemen publik
administrasi yang birokratis; (2) memiliki
standar eksplisit tentang kinerja; (3) memiliki penekanan pada pengendalian output,
(4) mementingkan disagregrasi dan desentralisasi pada pelayanan publik; (5) bergeser menuju semangat kompetisi; (6) menggunakan gaya manajemen sektor privat; dan
(7) memiliki kedisiplinan dan kesederhanaan
dalam alokasi sumber daya.
Doktrin-doktrin ini menekankan pada
pentingnya informasi keuangan; misalnya
untuk mengukur kinerja, pengendalian keluaran, kompetisi maupun alokasi sumber
daya. Jelas bahwa akuntansi menjadi titik sentral agar NPM bisa berjalan dengan
baik. Secara sederhana, akuntansi memiliki tujuan untuk menyediakan informasi
yang bermanfaat bagi para penggunanya.

Pada NPM yang mengutamakan pencapaian
efisiensi dan efektivitas, informasi keuangan yang dihasilkan oleh sektor publik yang
masih berorientasi inkrementalis dan administratif tidak cukup untuk memenuhi tujuan ini. Basis kas tidak lagi cukup (Rommell 2005) karena ia tidak dapat memberikan pengukuran kinerja, misalnya berkaitan
dengan pendapatan yang belum terealisasi.
Dalam rangka penyediaan informasi yang
dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas, maka reformasi akuntansi sektor publik
harus menjadi agenda penting NPM. Reformasi akuntansi inilah yang disebut sebagai
accountingization atau akuntansiasi dalam
artikel ini.

Akuntansiasi adalah suatu proses
dalam akuntansi itu sendiri yang mengindikasikan semakin banyaknya kategorisasi
biaya-biaya dari yang sebelumnya tidak
dikelompokkan atau didefinisikan (Rommell
2005). Proses ini sebenarnya mencerminkan ketidakpercayaan terhadap aktivitas
birokrat/pegawai negeri; dan kategorisasi
biaya menjadi sangat penting untuk dapat
lebih mengevaluasi dan mengendalikan aktivitas-aktivitas tersebut (Hood 1995), sebagaimana yang dikutip oleh Broadbent dan
Laughlin (1997:404):
``...since it reflected high trust in

the market and private business
methods....and low trust in public servants and professionals...
whose activities therefore need to
be more closely costed and evaluated by accounting techniques’
Oleh sebab itu, NPM sangat erat kaitannya dengan reformasi akuntansi, sebagaimana yang dijelaskan lebih lanjut oleh
Rommell (2005):
“Traditional cash accounting and
control over inputs is therefore not
suitable anymore. Cash accounting
merely focuses on the budget and
on legal compliance, rather than on
managing resources effectively and
efficiently … NPM promotes the use
of accrual accounting, which provides information on assets and liabilities. This allows politicians to
know the full costs of outputs and
to monitor the return on investment
and financial viability.”
Akuntansiasi ini di Indonesia telah
mengambil momentumnya dengan lahirnya
PP Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar

Akuntansi Pemerintahan yang mendasarkan
pada basis akrual, sebagaimana tercantum
pada paragraf 8:
“SAP Berbasis Akrual adalah SAP
yang mengakui pendapatan, beban, aset, utang, dan ekuitas
dalam pelaporan finansial berbasis
akrual, serta mengakui pendapatan, belanja, dan pembiayaan
dalam pelaporan pelaksanaan
anggaran berdasarkan basis yang
ditetapkan dalam APBN/APBD.”
Jika kaitan antara akuntansiasi dengan NPM jelas adanya, sedangkan NPM
yang menurut Connolly dan Hyndman

Kamayanti, Akuntansiasi Atau Akuntansiana? Memaknai Reformasi Akuntansi… 533

(2006) memiliki 6 dimensi yaitu: privatisasi,
marketization, desentralisasi, orientasi hasil,
sistem kualitas dan intensitas implementasi,
maka sebenarnya sektor publik telah kehilangan “kepublikannya” saat mengangkat
NPM sebagai gaya manajemennya.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka
artikel ini memberikan suatu rumusan masalah yaitu bagaimana ide NPM telah merasuk ke dalam regulasi pemerintah maupun
Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), dan
membuka jalan untuk masuknya liberalisasi
ekonomi pada sektor publik. Regulasi pemerintah telah memberikan legitimasi atas akuntansiasi, oleh karena itu dipandang perlu
untuk mengkaji regulasi dan peraturan terkait, dan bukan hanya Standar Akuntansi
Pemerintahan. Artikel ini bertujuan menyajikan bukti secara kritis melalui qualitative
content analysis bahwa keberadaan SAP
lebih merupakan “akuntansiana” , bukan
“akuntansiasi” karena ia menghilangkan sifat kepublikan dari sektor publik.
Bagian ini akan menjelaskan bahwa
akuntansi tidak terlepas dari sistem di mana
akuntansi beroperasi. Desentralisasi sebagai
isu penting NPM telah menjadi suatu fenomena di Indonesia yang merombak sistem
akuntansi sektor publik. Selanjutnya juga
akan dijelaskan bagaimana isu akuntansiasi pada sektor publik sebenarnya sangat
terkait kuat dengan kuasa-kuasa yang membawa semangat kapitalisme.
Persiapan pergeseran sektor publik
menuju paradigma pengelolaan privat sudah
dirintis melalui desentralisasi yang, menurut

Osborn dan Mclaughlin (2002), merupakan
salah satu syarat NPM. Sentralisasi atau
pemerintahan yang terpusat memiliki rantai
birokrasi yang lebih panjang dibandingkan
dengan pemerintahan yang terdesentralisasi.
Sentralisasi merupakan “biang” dari pelayanan publik yang tidak efisien dan efektif;
yang menurut Dawson dan Dargie (2002:34)
mengarah pada “…cost containment nor quality improvement;…unacceptable growth in tax
bills, an increasingly dissatisfied electorate
and declining standards of public service”.
Dengan
desentralisasi,
keputusan
dapat diambil lebih tepat-guna, karena
pemerintahan lokal lebih memahami kebutuhan masyarakat yang dilayaninya. Selain
itu, pemerintahan yang terdesentralisasi diberikan wewenang untuk mengelola sendiri
wilayahnya. Menurut Kadjatmiko (2007),
terdapat 7 keuntungan penerapan desentralisasi sebagai berikut (1) Menyebarkan pusat
pengambilan keputusan (decongestion); (2)


Kecepatan dalam pengambilan keputusan
(speed); (3) Pengambilan keputusan yang realistis (economic and social); (4) Penghematan (economic efficiency); (5) Keikutsertaan
masyarakat lokal (local participation) dan (6)
Solidaritas nasional (national solidarity).
Di UK, bidang kesehatan adalah salah
satu bidang yang didesentralisasi (Dawson
dan Cargie 2002). Di Indonesia, semua kewenangan Pemerintah Pusat dilimpahkan
kepada daerah kecuali dalam bidang kebijakan internasional, pertahanan dan keamanan, kehakiman, moneter dan fiskal,
serta agama. Pemerintahan daerah dan kota
bertanggung jawab atas penyediaan layanan
kepada masyarakat, paling tidak dalam 11
bidang yakni ; lapangan kerja, kesehatan,
pendidikan dan kebudayaan, komunikasi,
perindustrian dan perdagangan, investasi
permodalan, lingkungan hidup, pertanahan,
koperasi dan ketenagakerjaan (Kadjatmiko
2007).
Desentralisasi dirasa lebih dibutuhkan
karena bukti kesuksesan implementasinya. Misalnya, sebagaimana yang dijelaskan
Sarker (2006), terjadi pada kesuksesan administrasi publik di Singapura yang berevolusi ke arah meritokrasi, di mana terdapat
sistem yang jelas mengenai akuntabilitas
keuangan dan kinerja, serta komitmen untuk memberantas korupsi. Oleh karena itu,
desentralisasi dipandang secara umum lebih baik daripada sentralisasi. Desentralisasi
juga memungkinkan terciptanya iklim kompetitif di sektor publik.
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, desentralisasi pada akhirnya
berkaitan dengan semangat kompetisi. Hal
ini dijelaskan oleh Sarker (2006:188) bahwa
sistem administrasi yang berorientasi pasar
dan kompetisi di sektor publik disarankan
oleh Bank Dunia untuk:
“…redefining the frontiers of the
public sector (expanding the scope
of operations for the private sector
and non-governmental organisations); enhancing the level and nature of accountability and responsiveness; streamlining regulations,
laws and processes, and overhauling the rules and processes and
maintaining an efficient, committed
and professional public service.”
Dari perspektif kritis, saran dari institusi yang “berkuasa” semacam Bank Dunia
ini merupakan opresi dan fait accompli “con-

534

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 2, Nomor 3, Desember 2011, Hlm. 531-540

ditionality” akibat ketergantungan Negara
pada institusi tersebut (misalnya karena hutang dan membership). Serupa dengan ini,
desentralisasi di Indonesia lebih diakibatkan oleh faktor eksternal (institutional forces)
dibandingkan kebutuhan murni bangsa Indonesia sendiri. Secara spesifik Hofman dan
Kauser (2002:4) menyatakan bahwa pengaturan pengelolaan pendapatan daerah di
Indonesia secara tidak langsung diatur oleh
Bank Dunia dan IMF (International Monetary
Fund): Artinya ada campur tangan institusiinstitusi yang berkuasa di atas kekuasaan
pemerintah Indonesia.
Belum lagi Ikatan Akuntan Indonesia
telah memutuskan untuk mengikuti IPSAS
(International Public Sector Accounting Standard) yang mengacu pada IFRS. Sedangkan
IFRS tersebut dalam perspektif kritis dipandang sebagai alat imperialisme (Abeysekara
2005), untuk mengaburkan batasan territorial Negara dengan deregulasi. Bahkan
menurut Ratnatunga (2010), IFRS sangat
memihak pada investor dibandingkan stakeholders lainnya. Semangat untuk memperkaya pihak-pihak tertentu dalam bentuk
akumulasi modal merupakan semangat kapitalisme. Jika dikritisi secara mendasar, sifat akuntansi sendiri (khususnya akuntansi
konvensional) sebenarnya memiliki jiwa kapitalis (Sombart dalam Funnell) dan mendukung kapitalisme (Christie et al. )
Dalam kajian sektor publik, Farazmand
(1999) menjelaskan bahwa penggunaan
standar akuntansi pemerintahan semacam
ini juga dipengaruhi kapitalisme global untuk membuka jalan bagi Transnational Corporations. Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa “capitalism needs the state and the state
is not dependent from capital” (Farazmand

1999:510). Artinya kekuasaan yang besar
terhadap Negara adalah pasar, dalam hal ini
Transnational Corporations); dan tidak hanya
itu, negara dalam hal ini pemerintah dibutuhkan untuk melanggengkan kapitalisme.
Jika disimak dari tabel 1, maka tampak
bahwa negara dan pemerintah merupakan
instrumen dalam mendukung kapitalisme.
Menurut Rizky dan Majidi (2008: 230), Negara-negara sedang berkembang didorong
menuju proses pembangunan yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan pembangunan sosial yang bercirikan
industrialisasi dan modernisme. Negara-negara yang sedang berkembang disorot akibat
birokrasi dan ketidakefektifan serta ketidakefisienan dalam pengelolaan BUMN sehingga liberalisme mendapatan momentumnya
untuk mensosialisasikan diri. Hal ini tampak pada konsensus Washington yang meliputi antara lain liberalisasi sektor keuangan,
liberalisasi perdagangan, pengetatan anggaran belanja Negara dan privatisasi BUMN.
Melalui lembaga-lembaga keuangan seperti
IMF dan Bank Dunia, terjadi “pemaksaan”
kepada negara yang terjerat hutang untuk
melakukan restrukturisasi pemerintah dan
kebijakan yang mendukung kapitalisme; termasuk pengetatan anggaran belanja dan privatisasi BUMN.
METODE
Sarantakos (1993:210-213) menjelaskan bahwa content analysis adalah suatu
alat yang digunakan “…to understand the
meaning of certain idea that is communicated
within a group”. Dalam artikel ini, ide yang
menjadi pusat bahasan adalah ide mengenai
NPM yang disampaikan melalui regulasi dan
Standar Akuntansi Pemerintahan.

Tabel 1.
Perkembangan Kapitalisme
Periode

Sumber Surplus

Instrumen

Abad 16-17

Perdagangan dalam dan luar negeri

Perusahaan swasta

Abad 18-20

Perdagangan, kolonialisme (tanam
paksa, kerja paksa, eksplorasi secara paksa, dll)
Perdagangan Internasional, PMA,
dan Utang Luar Negeri
Perdagangan bebas, transaksi
modal, dan transaksi keuangan

Kongsi dagang, negara

1940an-1970an
1980an-sekarang

Sumber: Rizky dan Majidi (2008:230).

MNC, negara, lembaga kreditur internasional, pemerintah,
kapitaliskroni Lembaga keuangan Komersial IMF, WTO, BIS,
Pasar uang dan modal

Kamayanti, Akuntansiasi Atau Akuntansiana? Memaknai Reformasi Akuntansi… 535

Sebenarnya jika meminjam continuum
paradigm dari Burrell dan Morgan (1979),
maka content analysis dapat dipandang secara sangat rigid/kaku atau sangat fleksibel.
Penelitian dengan content analysis yang sangat kaku, misalnya akan menghitung berapa
kali suatu kata/ide terlontar (occurrence). Di
ujung continuum yang lain terdapat content
analysis yang bersifat lebih fleksibel. Menurut Sarantakos (1993) ini merupakan pembagian content analysis menjadi content analysis yang bersifat kualitatif dan kuantitatif.
Artikel ini menggunakan qualitative
content analysis. Pengkajian munculnya
kata/ide tidak akan dilakukan secara kuantitatif, namun yang akan dianalisis adalah
konsistensi ide tersebut pada berbagai peraturan/undang-undang dan juga Standar
Akuntansi Pemerintahan. Unit-unit analisis
tersebut merupakan teks; dan semua teks
merupakan hasil praktik yang terjadi karena
proses dialektik. Pemikiran ini didasarkan
pada suatu premis bahwa teks adalah jejak
historis yang diakibatkan oleh konflik dalam
hubungannya dengan kekuasaan dan pengetahuan (Cavallaro 2003:113). Pengulangan
ide semacam inilah yang juga dapat dipandang sebagai suatu indoktrinasi. Indoktrinasi adalah penggunaan metode yang sama
untuk menanamkan ide (Peterson 2007);
dalam hal ini teks/ ide/ kata. Indoktrinasi
juga merupakan suatu proses untuk menjaga/memelihara struktur kekuasaan yang
sedang berlangsung.
Artikel ini memahami regulasi/ SAP sebagai suatu perwujudan atas NPM, dan oleh
karena itu, dalam penulisan artikel ini terdapat suatu preasumsi bahwa memang terjadi opresi terhadap akuntansi sektor publik
di Indonesia. Oleh karena itu, content analysis dalam artikel ini dimulai dengan subyek-

Kajian
Tekstual

tifitas yang kuat atas keberadaan NPM.
Adapun metode dibagi menjadi dua
yaitu kajian tekstual dan kontekstual. Pertama, yang dilakukan adalah mengkaji
penggunaan kata-kata, baik dalam regulasi
maupun Standar Akuntansi Pemerintahan”
yang merupakan representasi dari sektor
privat seperti “efisiensi”, “efektifitas”, dan
“kompetisi”.
Ini merupakan kajian tekstual atas
regulasi pemerintah maupun Standar Akuntansi Pemerintahan. Selain kata-kata yang
digunakan, dikaji pula ide-ide NPM yang
muncul seperti ide mengenai desentralisasi,
privatisasi (kepentingan terbatas pada investor/ stakeholder tertentu) dan pasar bebas.
Bagian ini merupakan kajian kontekstual.
Metode ini juga akan mengkaji dilihat
bagaimana peraturan perundangan yang berlaku akan memberikan legitimasi penerapan
Standar Akuntansi Pemerintahan. Metode
tersebut digambarkan pada ilustrasi 1.
Perlu diketahui, bahwa tidak ada sistematika yang baku tentang apa yang harus
dikerjakan terlebih dahulu. Kajian tekstual
maupun kontestual dapat dilakukan secara
bersamaan. Kajian mengenai legitimasi juga
demikian halnya. Ini menunjukkan fleksibilitas pendekatan kualitatif yang digunakan
dalam artikel ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bagian ini, “jejak-jejak” NPM sebagai suatu alat liberalisasi akan dikupas
melalui teks yang muncul pada peraturan
perundangan maupun Standar Akuntansi
Pemerintahan. Pembahasan mengenai peraturan perundangan dipandang perlu karena pemerintah adalah Controlling Agent yang
memiliki “kuasa”. Peraturan pemerintah diharapkan memperkuat implementasi dari

Kajian atas penggunaan katakata yang mereprentasikan NPM

Regulasi
Pemerintah
Legitimasi

Kajian
Kontekstual

Kajian atas ide yang
mereprentasikan NPM

Gambar 1
Metode Qualitative Content Analysis

Standar Akuntansi
Pemerintahan

536

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 2, Nomor 3, Desember 2011, Hlm. 531-540

standar. Penelitian dari Gore (2004), misalnya, mendukung pernyataan ini. Ia mengungkapkan temuannya pada Negara bagian
Michigan dan Pennyslvania (AS) yang memiliki tingkat regulasi disclosure yang berbeda.
Negara bagian yang memiliki regulasi yang
ketat cenderung lebih banyak melakukan
pengungkapan dibanding Negara bagian
yang tidak memiliki regulasi pelaporan. Artinya pengemasan SAP dalam aturan pemerintah memberi penegasan atas kewajiban
implementasi dan mempengaruhi format
organisasi. Secara konkrit, hal ini dapat
dilihat dari Bagan Alir Siklus Pengelolaan
Keuangan Daerah berdasarkan Permendagri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah. Pada bagan
tersebut, jelas bahwa sistem akuntansi akan
mempengaruhi bentuk organisasi
Dengan adanya PP Nomor 24 tahun 2005, maka ada legitimasi atas badan
atau institusi penyusun standar akuntansi
keuangan dan standar yang dihasilkan. Hal
ini akan meningkatkan daya banding laporan
keuangan pada entitas sektor publik, karena
memiliki daya ikat; sebagaimana dicantumkan pada penjelasan atas PP No 24/2005:
“Peraturan Pemerintah ini juga
merupakan pelaksanaan Pasal
184 ayat (1) dan (3) UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah,
yang menyatakan bahwa laporan
keuangan pemerintah daerah disusun dan disajikan sesuai dengan
Standar Akuntansi Pemerintahan
yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.”
PP memberikan kuasa bagi badan/institusi dan hal ini dapat membawa sisi buruk. Jika badan pengatur standar ini memiliki tendensi untuk menguntungkan pihak
tertentu (misalnya transnational companies)
maka standar menjadi kendaraan/software
untuk kekuasaan pasar terhadap sektor
publik yang mempunyai kekuatan hukum.
NPM yang membawa semangat dari sektor
privat yang berorientasi laba tentu akan tercermin dalam peraturan perundangan yang
dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan
sektor publik.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, desentralisasi merupakan salah
satu prasyarat untuk hidupnya NPM. Prasyarat ini terlegitimasi dalam peraturan-peraturan pemerintah. Misalnya dalam aspek

organisasi kepemerintahan, desentralisasi
khususnya kewenangan otonomi daerah dicantumkan pada PP No 41 tahun 2007, yaitu mengenai Organisasi Perangkat Daerah.
Pasal 6 menyebutkan:
“Daerah
otonom,
selanjutnya
disebut daerah, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.”
Pasal tersebut juga merupakan pengulangan dari pasal 3, PP Nomor 54 Tahun
2005 tentang Pinjaman Daerah. Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, adalah salah satu peraturan yang relevan dengan masalah desentralisasi. Dalam
peraturan tersebut desentralisasi tampak
, misalnya pada pasal 39 ayat 1 yang menyatakan bahwa:
“Pemerintah daerah dapat memberikan tambahan penghasilan
kepada pegawai negeri sipil berdasarkan pertimbangan yang
obyektif dengan memperhatikan
kemampuan keuangan daerah
dan memperoleh persetujuan
DPRD sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”
Paragraf ini menunjukkan kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah dan
merupakan semangat desentralisasi. Serupa
dengan ini, UU no 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah juga
menunjukkan dengan jelas desentralisasi.
Pada pasal 3 disebutkan:
“Perimbangan keuangan antara
Pemerintah dan Pemerintahan
Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan,
dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan
potensi, kondisi, dan kebutuhan
daerah, serta besaran pendanaan

Kamayanti, Akuntansiasi Atau Akuntansiana? Memaknai Reformasi Akuntansi… 537

penyelenggaraan
dekonsentrasi
dan tugas pembantuan.”
Bahkan PP Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan menegaskan desentralisasi saat mengakui legitimasi peraturan daerah sehubungan dengan
pengelolaan keuangan daerah, sebagaimana
tercantum pada pasal 6 ayat 3:
“Sistem akuntansi pemerintahan
pada tingkat pemerintah daerah
diatur dengan peraturan gubernur/bupati/walikota,
mengacu
pada Peraturan Daerah tentang
pengelolaan keuangan daerah
yang berpedoman pada Peraturan
Pemerintah.”
Legitimasi-legitimasi ini membuka jalan masuknya akuntansiasi; yang diwujudkan dalam Standar Akuntansi Pemerintahan. Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan tampak merefleksikan semangat
NPM, misalnya pada paragraf 12(a) yang
berbunyi:
“Efisiensi pelayanan yang diberikan pemerintah dibandingkan
pungutan yang digunakan untuk
pelayanan dimaksud sering sukar
diukur sehubungan dengan monopoli pelayanan oleh pemerintah. Dengan dibukanya kesempatan kepada pihak lain untuk menyelenggarakan pelayanan yang
biasanya dilakukan oleh pemerintah, seperti layanan pendidikan dan kesehatan, pengukuran
efisiensi pelayanan oleh pemerintah menjadi lebih mudah”
Ada beberapa hal yang bisa dicermati dari paragraf ini saja. Pertama, terdapat
penekanan pada “efisiensi” yang merupakan
jargon yang sering digunakan sektor privat
untuk menjustifikasi usaha untuk memperoleh laba semaksimal mungkin. Bahkan
kata “efisien” muncul 2 kali dalam paragraf
ini, dan muncul lagi di paragraf 23 Kerangka Konseptual. Efektifitas dan efisiensi juga
muncul kembali di paragraf 5 PSAP nomor
11 tentang Laporan Keuangan Kosolidasian.
Hal ini merupakan representasi doktrin
NPM sebagaimana diutarakan oleh Osborn
dan McLaughlin (2002) yaitu berfokus pada
manajemen yang entrepeneuristis dibandingkan manajemen publik administrasi yang
birokratis dan menggunakan gaya manaje-

men sektor privat dalam alokasi sumber
daya.
Kedua, paragraf ini juga merupakan
representasi dari doktrin NPM yaitu pergeseran sektor publik menuju semangat kompetisi. Pelayanan jasa publik oleh pihak lain
(privat) dari yang sebelumnya hanya dilayani oleh sektor publik merupakan gerbang
menuju legitimasi “kompetisi”. Bahkan ini
merupakan:
“..a broadening and blurring of the
“frontier” between the public and
private sectors (characterised by
the growth of public/private partnerships of various kinds and the
apparent proliferation of “hybrid”
organisations)” (Sarker, 2006:182)
Artinya pengaburan batas antara sektor privat dan sektor publik menjadi salah
satu karakteristik NPM. Ketiga, paragraf ini
mencerminkan pentingnya pengukuran kinerja bagi sektor publik yang juga merupakan
representasi atas doktrin NPM.
Kata-kata “efisiensi” muncul kembali
Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis
Akrual Pernyataan nomor 11 tentang Laporan Keuangan Konsolidasian, paragraf 5:
“Badan Layanan Umum (BLU)
adalah institusi di lingkungan
pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa
yang dijual tanpa mengutamakan
mencari keuntungan dan dalam
melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas.”
Pada Standar Akuntansi Pemerintahan
Berbasis Akrual, Pernyataan Nomor 03 tentang Laporan Arus Kas paragraf 39(a), tampak bahwa estimasi arus kas di masa yang
akan datang menjadi penting bagi Sektor
Publik.
“Entitas pelaporan pemerintah
pusat/daerah sebaiknya menggunakan metode langsung dalam
melaporkan arus kas dari aktivitas
operasi. Keuntungan penggunan
metode langsung adalah sebagai
berikut: (a) menyediakan informasi yang lebih baik untuk mengestimasikan arus kas di masa yang
akan datang.”

538

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 2, Nomor 3, Desember 2011, Hlm. 531-540

Sebetulnya jika dikaji dari keberlangsungan hidup sektor publik, maka sebenarnya estimasi arus kas bukanlah hal yang
penting sebagaimana yang ada pada sektor
privat. Hal ini dikarenakan sifat sektor publik itu sendiri yang seyognyanya bersifat melayani, serta tidak bergantung pada kinerja
laba yang tercermin pada arus kas.Namun
penyajian paragraf ini sudah mencerminkan
betapa konsep NPM telah merasuk ke dalam
Standar Akuntansi Pemerintah Berbasis Akrual.s
Pada Pernyataan Standar Akuntansi
Pemerintahan (PSAP) nomor 4 tentang
Catatan atas Laporan Keuangan, semangat
liberal muncul saat menjelaskan siapa pengguna laporan keuangan sektor publik. Pada
paragraf 35 dijelaskan bahwa:
“Laporan keuangan mengandung informasi bagi pemakai yang
berbeda-beda, seperti anggota
legislatif, kreditor dan karyawan.
Pemakai penting lain meliputi
pemasok, pelanggan, organisasi
perdagangan, analis keuangan,
calon investor, penjamin, ahli
statistik, ahli ekonomi dan pihak yang berwenang membuat
peraturan.”
Paragraf ini sebenarnya mengisyaratkan
masuknya organisasi sektor publik ke dalam
pasar bebas, berkaitan dengan untuk apa
laporan keuangan digunakan. Jika dipandang dari siapa pengguna, maka masyarakat umum bukanlah menjadi acuan utama
pengguna. Pengguna lebih diarahkan kepada
stakeholder yang memiliki modal dibandingkan masyarakat umum. Ini sebenarnya konsisten dengan paragraph 25 pada Kerangka
Konseptual Akuntansi Pemerintahan yang
berbunyi bahwa pengguna laporan keuangan pemerintah membutuhkan informasi
keuangan untuk mengambil keputusan “…
ekonomi, sosial mapupun politik.”. Kegiatan
ekonomi adalah kegiatan yang pertama disebutkan ke dalam paragraf ini. Konsistensi
ide NPM yang muncul pada Standar Akuntansi Pemerintahan di berbagai PSAP nya
menjelaskan bahwa indoktrinasi NPM telah
dilakukan dan telah memperoleh legitimasi
melalui peraturan perundangan.
SIMPULAN
Jelas dari pemaparan sebelumnya
bahwa akuntansiasi merupakan suatu jalan

masuknya liberalisasi. Memang akan ada
implikasi positif berkenaan dengan pelayanan publik yang lebih baik. Dalam pelaporan
keuangan, terdapat perbaikan khususnya
pada hasil audit sektor publik yang mayoritas menolak memberikan pendapat, menjadi
wajar atau wajar dengan syarat.
Desentralisasi artinya memberikan
wewenang kepada daerah untuk mengatur
keuangannya termasuk pendapatannya melalui pajak dan atau retribusi. Hal ini, sebagaimana dijelaskan oleh Hofman dan Kauser (2002:15) dapat berdampak pada cost of
economies. Indonesia mengamendemen UU
18/1997 yang dimaksudkan untuk “…to stop
the then-prevailing local government practice of issuing a plethora of local government
taxes, many with little revenue potential, and
high costs to the taxpayer and the economy”,
menjadi lebih fleksibel dengan UU 34/2000.
Desentralisasi yang terkendali dapat mengurangi kebebasan pemerintah lokal untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) nya melalui kebijakan-kebijakan yang
meningkatkan cost of economies; misalnya
pajak tertentu yang meningkat dan menguntungkan daerah tersebut namun membawa
dampak tingginya biaya yang berakibat pada
tingginya harga yang dapat merugikan banyak pihak.
Namun, ada pula implikasi yang kurang
menguntungkan yang dapat terjadi akibat
penerapan akuntansi sektor publik yang
mencerminkan NPM. Desentralisasi yang tidak terkendali dapat mengganggu kestabilan
Negara. Jika daerah mendapatkan kewenangan untuk mengelola, misalnya, keuangan
hankam maka akan dapat membahayakan
jika hankam memihak pada daerah Biaya
pelaporan keuangan, mulai dari pelatihan
hingga implementasi standar akuntansi
pemerintahan bukan biaya yang kecil. Belum lagi penyiapan standar itu sendiri yang
mengadopsi kebijakan sektor privat mengarah pada biaya penyiapan standar yang
harus didukung oleh peraturan pemerintah agar memperoleh legitimasi. Negara sedang berkembang, yang nota bene, memiliki
sumber daya yang terbatas, baik pada SDM
maupun infrastruktur, berarti memperoleh
beban yang lebih berat dalam mempersiapkan sumber dayanya dibandingkan negara
berkembang di luar biaya-biaya tadi.
Keterbatasan ini pula yang menyebabkan Negara sedang berkembang seperti Bangladesh mengalami kegagalan penerapan

Kamayanti, Akuntansiasi Atau Akuntansiana? Memaknai Reformasi Akuntansi… 539

NPM (Sarker, 2006). Dalam pandangan yang
lebih kritis, penerapan NPM sebenarnya
menghilangkan “pelayanan publik” bagi masyarakat di Negara sedang berkembang yang
justru sangat membutuhkan pelayanan publik. Dengan masuknya kompetisi dari sektor
privat (seperti pelayanan kesehatan), maka
jasa kesehatan bagi masyarakat miskin
(yang tidak menguntungkan bagi pemerintah), mendapatkan tempat sekunder bahkan
tersier karena semangat ‘kompetisi’ dengan
sektor privat sebagaimana yang terdapat
pada paragraf 12(a) kerangka konseptual.
Penelitian ini memiliki keterbatasan
yaitu tidak dilakukannya secara terstruktur analisis isi (content analysis). Selanjutnya jika dilakukan penelitian lanjutan yang
berkaitan dengan implementasi Standar
Akuntansi Pemerintahan, maka liberalisasi
sektor publik dapat lebih dieksplorasi. Akan
jauh lebih menarik pula jika studi ini dikaitkan dengan waktu penerapan regulasi maupun Standar Akuntansi Pemerintahan agar
bisa dilihat bagaimana NPM secara bertahap
masuk melalui akuntansiasi. Hal-hal tersebut merupakan agenda riset ke depan.
Argumentasi yang telah dipaparkan menegaskan bahwa di samping “angin
surga” efisiensi dan efektifitas, liberalisasi
juga dapat membawa dampak yang buruk.
Bukankah dengan demikian telah tercipta
suatu “komedi” di mana akuntansi menjadi
pemerannya? Bukankan akan menjadi sangat menggelikan apabila akuntansiasi yang
disanjung sebagai panaceal justru memunculkan penyakit-penyakit yang mengancam
integritas bangsa, keutuhan NKRI dan kepunahan lokalitas? Bukankah akan mengherankan apabila akuntansiasi akan menghilangkan sifat altrusime kepublikan pada
sektor publik dan menggantinya dengan egoisme privat?
Perlu diingat bahwa akuntansiasi yang
menggunakan basis akrual pada sektor publik bisa jadi akan memiliki implikasi negative pada akuntabilitas dan pengendalian,
berkaitan dengan kebergantungan yang
lebih besar pada kebijaksanaan professional
terkait dengan pengukuran berbasis akrual.
Sebagaimana yang disampaikan Connolly
dan Hyndman (2006), perlu diingat pula bahwa sektor publik tidak seperti sektor privat
yang mengutamakan profitabilitas dan posisi keuangan. Mungkin kita perlu mempertimbangkan kembali arah akuntansiasi walaupun sebagaimana yang diutarakan Connelly dan Hyndman (2006) pemerintah akan

melakukan strategi-strategi agar reformasi
akuntansi ini diperlukan dan harus diterima
melalui argumentasi yaitu keuntungan ekonomi. Mungkin ada baiknya jika akuntansiasi tidak dibiarkan lepas bebas agar tidak
memunculkan “komedi-komedi” ini”: beralihnya akuntansiasi menjadi “akuntansiana”.
Wallahu’alam bishawab.
DAFTAR RUJUKAN
Abeysekara,
I.
2005.
International
Harmonisation
of
Accounting
Imperialism- An Australian Perspective.
Critical Management Studies Conference,
Canada.
Barzelay, M. 2002. “Origins of the New Public
Management: An International View
from Public Administration Science”.
[dalam] McLaughlin, Kate, Stephen P.
Osborne, dan Ewan Ferlie. New Public
Management: Current Trends and
Future Prospects. pp 15-33. London:
Routledge.
Broadbent, J dan R. Laughlin. 1997.
“Resisting The New Public Management:
Absorption and Absorbing Groups in
School and GP Practices in the UK”.
Accounting, Auditing and Accountability
Journal. Vol 11 (4). pp 403-435.
Burrel, G. dan G. Morgan. 1979. Sociological
Paradigms and Organizational Analysis:
Elements of the sociology of corporate life.
USA: Ashgate Publishing Company.
Cavallaro, D. 2004. Teori Kritis and Teori
Budaya. Translated from Critical and
Cultural Theory; Thematic Variations.
Yogyakarta: Penerbit Niagara.
Connolly, C dan N. Hyndman. 2006. “The
Actual Implementation of Accruals
Accounting: Caveats from a Case
Study in UK Public Sector.” Accounting,
Auditing, Accountability Journal. Vol 19
(2). pp 272-290.
Dawson, S. dan C. Dargie. 2002. “New
Public Management: A Discussion
with Special Reference to UK Health”.
[dalam] McLaughlin, Kate, Stephen P.
Osborne, dan Ewan Ferlie. New Public
Management: Current Trends and
Future Prospects. pp 34-56. London:
Routledge.
Farazmand, A. 1999. “Globalization and Public
Administration”. Public Administration
Review. Nov/Dec. 59 (6). Pp 509-522.
Gore, A. K. 2004. “The effects of GAAP
regulation and bond market interaction

540

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 2, Nomor 3, Desember 2011, Hlm. 531-540

on local government disclosure”. Journal
of Accounting and Public Policy. 23. pp
23-52.
Hofman, B. dan K. Kaiser. 2002. “The Making
of the Big Bang and its Aftermath:
A Political Economy Perspective”.
Paper Presented at the Conference:
Can Decentralization Help Rebuild
Indonesia?. Atlanta, Georgia, 1-3 Mei.
pp 1-27.
Hood, C. 1995. “The “New Public Management”
in the 1980s: Variations on a Theme.
Accounting Organisation and Society.
Vol 20, No2/3. Pp93-109.
Kadjatmiko. 2007. “Desentralisasi Fiskal
di Indonesia”. Disampaikan pada
Kursus Keuangan Daerah, Universitas
Brawijaya, 7 September.
Komite Standar Akuntansi Pemerintahan.
2008. Konsep Publikasi Standar
Akuntansi
Pemerintahan
Berbasis
Akrual.
Osborne, S. P. dan K. Mclaughlin. 2002. “The
New Public Management in Context”.
[dalam] McLaughlin, Kate, Stephen P.
Osborne, dan Ewan Ferlie. New Public
Management: Current Trends and Future
Prospects. pp 7-14. London: Routledge.
Peterson, B. A. 2007. “Holding Teacher
Accountable for Indoctrination: A
Reexamination of I.A. Snook’s Notion of
Intent”. Philosophy of Education. p 298305.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59
Tahun 2007 tentang Perubahan atas

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
13 Tahun 2006 Tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah
PP Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan
PP Nomor 41 tahun 2007, yaitu mengenai
Organisasi Perangkat Daerah
PP Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman
Daerah
PP Nomor 71 Tahun 2010 mengenai Standar
Akuntansi Pemerintahan
Ratnatunga, J. 2010. The Accounting Delusion:
Faith and Trust in Financial Reporting.
Presented at The Third International
Symposium and the Second Doctoral
Colloquium, Bali, 27-29 November.
Rizky, A. dan N. Majidi. 2008. Neo Liberalisme
Mencengkeram Indonesia. Jakarta:
Epublishing company.
Rommell, J. 2005. “Political Consequences
of The New Public Management”, 10th
Biennial CIGAR Conference – PhD
Conference – 24-25 May, Poitiers
(France)
Sarantakos, S. 1995. Social Research.
Australia;
Macmillan
Education
Australia Pty Ltd.
Sarker, A.E. 2006. “New Public Management
in Developing Countries: An Analysis
of Success and Failure with Particular
Reference to Singapore and Bangladesh”.
The International Journal of Public
Management. 19(2). pp 180-203.
UU no 33/2004 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah