Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa Era Otonomi Daerah di Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padang Lawas

BABI
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Masalah
Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak

dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Pembangunan
kesehatan harus dipandang sebagai suatu investasi untuk meningkatan kualitas
sumber daya manusia dan mendukung pembangunan ekonomi, serta memiliki
peran penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan khususnya dipedesaan
sebagai agenda pemerintah untuk membangun desa. Hal yang sangat penting
dalam kemajuan pembangunan kesehatan masyarakat desa khususnya di
Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padang Lawas dalam dalam
implementasi otonomi daerah. Mengingat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28
H dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan, secara tegas
menyatakan bahwa, setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan.
Maka, setiap individu, keluarga dan masyarakat Indonesia berhak memperoleh
perlindungan terhadap kesehatannya tidak terkecuali masyarakat miskin dan tidak
mampu karena kesehatan adalah hak asasi dan sekaligus merupakan investasi

untuk

keberhasilan

pembangunan

bangsa.

Untuk

itu

diselenggarakan

pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan, dengan
tujuan guna meningkatkan kesadaran, kemauan hidup sehat bagi setiap orang agar
terwujud derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.
Agenda untuk perhatian pemerintah terhadap pembangunan kesehatan
masyarakat semakin terlihat setelah rezim orde baru tumbang dan dikeluarkannya
1


UU No. 22 Th 1999 tentang Pemerintahan Daerah, ada perubahan pola pikir
pembangunan di banding dengan UU No. 5 Th. 1979 yang berpola top-down.
Maka di dalam UU No.22 Th. 1999 adalah bersifat buttom–up, napas dari pola
pendekatan ini adalah adanya otonomi daerah, dimana dalam hal ini kreativitas
masyarakat serta peran sertanya dalam pelaksanaan pembangunan menjadi
landasan dasar dalam Undang-Undang ini (Widjaja: 2001). Pembangunan yang
berpusat pada rakyat atau people centered development (Korten: 1988), intinya
adalah dimana segala prakarsa inisiatif pembangunan semuanya di serahkan
kepada masyarakat akan berakibat kepada timbulnya keswadayaan masyarakat
dalam membangun dirinya sendiri. Masyarakatlah yang mengetahui sendiri
tentang apa yang dibutuhkan dan menjadi kepentingan dalam hidupnya, dengan
demikian maka ia sangat berhak untuk menentukan tindakan–tindakan yang perlu
dilakukannya dalam rangka pemenuhan dari segala kebutuhannya. Sedangkan
orang lain dalam hal ini berarti juga negara hanyalah sebagai fasilitator bagi
masyarakat untuk memenuhi akan kebutuhannya tersebut. Sehingga masyarakat
benar-benar mandiri tanpa lagi tergantung kepada pemerintah. Keswadayaan yang
demikian inilah yang diharapkan khususnya dalam implementasi dari otonomi
daerah.
Akan tetapi dalam mewujudkan program pemerintah ini sepertinya belum

maksimal terlaksana di Kecamataan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padang
Lawas. Mengingat dari data BPS Tahun 2012 dan hasil observasi penulis Juni
2013 bahwa tidak ditemukannya fasilitas kesehatan seperti Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskemas) di Kecamatan Aek Nabara Barumun, terkecuali 2
Puskesmas Pembantu (Pustu) diantaranya 1 di Desa Paranggarugur Jae yang

masih beroperasi dan 1 lagi di desa Aek Nabara tidak beroperasi, hal ini
disebabkan ketidak adanya tenaga kesehatan seperti, dokter maupun bidan.
Seterusnya ada 1 Pos Kesehatan

Desa (Poskesdes) di Desa Marenu, 9 Pos

Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan Pondok Bersalin Desa (Polindes) seluruh
Kecamatan Aek Nabara Barumun. Disamping fasilitas kesehatan kurang memadai
ditambah lagi dengan jumlah tenaga kesehatan menurut tingkat pendidikan belum
memiliki dokter atau Serjana Kesejatan Masyarakat (SKM), terkecuali 14 orang
bidan desa yang diperbantukan untuk memberi pelayanan kepada masyarakat
pedesaan. Hal ini sangat terbatas pelayanan kesehatan masyarakat desa yang
mengharapkan perhatian pemerintah Kabupaten dalam mewujudkan makna dari
otonomi daerah khusunya pada bidang kesehatan.

Seiring dengan hal tersebut diatas dapat dipahami juga bahwa kemiskinan
dan kesehatan masyarakat dipedesaan sering dikaitkan, yaitu hubungan yang tidak
pernah putus terkecuali dilakukan interfensi pada salah satu atau kedua sisi, yakni
pada kemiskinan ataupun penyakitnya. Kemiskinan sudah pasti mempengaruhi
kesehatan, sehingga orang miskin rentan terhadap berbagai penyakit karena
mereka mengalami gangguan seperti menderita gizi buruk, pengetahuan kesehatan
kurang, prilaku kesehatan kurang, lingkungan pemukiman yang buruk, serta biaya
kesehatan tidak tersedia. Sebaliknya, kesehatan mempengaruhi kemiskinan.
Masyarakat yang sehat menekan kemiskinan karena orang sehat memiliki kondisi
seperti : produktifitas kerja tinggi, pengeluaran berobat rendah, investasi dan
tabungan memadai, tingkat pendidikan maju, tingkat fertilitas dan kematian
rendah serta stabilitas ekonomi yang mantap. Hal ini pula yang menjadi tantangan

di Kecamatan Aek Nabara Barumun yang memiliki data 807 keluarga pra
sejahtera dari 2.607 jumlah KK.
Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di Aek Nabara Barumun sangat
mempengaruhi derajat kesehatan penduduknya dan secara timbal balik berkaitan
erat pula dengan kemampuan untuk mengembangkan pelayanan kesehatan atau
kegiatan-kegiatan lain di sektor kesehatan. Kebijakan di bidang kesehatan dan
pelaksanannya akan sangat dipengaruhi oleh pertimbangan ekonomi secara

makro, sebaliknya derajat kesehatan suatu penduduk akan berpengaruh pula
terhadap perkembangan dan pembangunan ekonomi. Oleh sebab itu program
kesehatan hendaknya dipandang sebagai suatu bagian dari strategi yang
menyeluruh untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk di kecamatan
khususnya di pedesaan.
Pembangunan daerah Kabupaten Padanglawas merupakan salah satu
subsistem dari pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek kehidupan
baik fisik maupun mental yang bertujuan untuk meningkatkan harkat dan
martabat, serta memperkuat jati diri dan kepribadian masyarakat, maka
pembanguna difokuskan untuk mengentaskan kemiskinan yang masih ditemui
pada desa di Padanglawas. Disamping kemiskinan, di Padanglawas juga masih
menghadapi berbagai masalah kesehatan masyarakat yang kompleks, utamanya
menyangkut

pengendalian

penyakit-penyakit

yang


berbasis

dilingkungan

masyarakat seperti penyakit : Penderita Diare dan Kolera pada anak berusia dari
0-14 tahun sebanyak, 4 169 orang, dewasa 15 tahun ke atas 1 550 orang, penderita
Influenza pada anak usia 0-14 tahun sebanyak, 6 308 orang, dewasa 6 775 orang,
penderita TBC dan BTA Klinis anak berusia 0-4 tahun sebanyak, 25 orang dan

dewasa 396 orang, penderita Disentri pada anak 450 orang dan dewasa 918
orang, penderita TBC Paru BTA Positif pada anak 12 orang dan dewasa 292
orang dan penderita Hipertensi orang dewasa sebanyak 1288 orang. (BPS. 2012)
Oleh karena itu intervensi program harus fokus kepada akar masalah
kesehatan tersebut di atas, khususnya menggarap hulunya yakni menciptakan
lingkungan sehat dan memberdayakan masyarakat untuk berperilaku hidup bersih
dan sehat, sejalan dengan upaya membenahi aksessibilitas pelayanan kesehatan
yang terjangkau oleh masyarakat. Disamping berpengaruh terhadap lingkungan
dan prilaku, kemiskinan juga secara nyata mempengaruhi Aksessibilitas
Pelayanan Kesehatan, khususnya menyangkut biaya pelayanan kesehatan yang
semakin mahal. Sehingga tidak terjangkau kebanyakan masyarakat. Terlebih lagi

dengan sistem pembayaran yang ditanggung sendiri oleh masyarakat (Out Of
Pocket), kebanyakan masyarakat tidak sanggup membayar ketika mereka jatuh
sakit, apalagi kalau penyakitnya berat dan perlu tindakan operasi, atau menderita
penyakit kronis yang memerlukan perawatan jangka panjang seperti penyakit
jantung, kanker dan lainnya. Kalau kondisi ini dibiarkan terus berjalan, tentu akan
berdampak pada derajat kesehatan masyarakat yang pada akhirnya bermuara
kepada rendahnya Indek Pembangunan Manusia (IPM) masyarakat di Kecamatan
Aek Nabara Barumun Kabupaten Padanglawas.
Gambaran masyarakat Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten
Padanglawas yang telah tercakup dengan Jaminan Kesehatan (JK) tahun 2013
yang dicatat dalam Pedoman Penyelenggaraan Jamkesmas sekitar 3.057 jiwa 27,
88 persen. Pemeliharaan kesehatan yang senantiasa akan bermasalah ketika
mereka jatuh sakit. Hal ini disebabkan kurangnya perhatian pengelolah

jamkesmas oleh pihak rumah sakit dengan tidak maksimal mendukung program
pemerintah dalam memberikan kesehatan kepada masyarakat. Ini juga dapat
diketahui terhadap pasien pemegang Kartu Jamkesmas saat menjalani perawatan
dirumah sakit umum Padang Lawas dalam pengakuannya kurang dapat perhatian.
(Hasil wawancara, 26 Februari 2013).
Menyikapai hal ini pelayanan kesehatan terhadap masyarakat dari

pedesaan sepertinya belum maksimal terlaksana karena adanya suatu kekeliruan
dalam memahami pasien pemegang jamkesmas pada khususnya. Kekeliruan yang
dimaksud, bahwa pasien jamkesmas sering sekali dianggap pasien bebas bayar.
Nyatanya pasien jamkesmas terlebih dahulu diberikan pembayaran kepada rumah
sakit ketimbang pasien umum. Hanya saja pembayarannya dianggarkan melalui
anggaran keuangan negara atau negara yang memberikan jaminan kesehatan.
Peningkatan

kesehatan

masyarakat

pemerintah

Padanglawas

melaksanakan pencetusan program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)
yang diberikan kepada warga kurang mampu seperti di Kecamatan Aek Nabara
Barumun, bertujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan secara gratis di
Puskesmas dan Rumah Sakit Pemerintah kepada masyarakat. Program Jamkesmas

memberikan akses pada warga kurang mampu dan yang belum memiliki jaminan
kesehatan. Pelayanan yang bisa diperoleh pada program Jamkesmas adalah
pelayanan rawat jalan tingkat pertama sampai rawat inap tingkat lanjutan serta
pelayanan gawat darurat. Implementasi dalam pelayanan kesehatan program
Jamkesmas diharapkan mampu memberikan dampak yang positif bagi
pembangunan bangsa dan pedesaan. Secara umum program Jamkesmas ini
bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang kurang mampu.

Dengan kehadiran Jamkesmas sangat menggembirakan warga masyarakat kurang
mampu di Kecamatan Aek Nabara Barumun pada khususnya.
Berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No 33 Tahun 2004
menyebabkan terjadinya pergeseran kewenangan (shifting authority) dari
pemerintahan pusat kepada pemerintah daerah. Pemerintahan Pusat secara
prinsip bertanggungjawab untuk menjaga kesatuan nasional, meningkatkan
taraf hidup masyarakat dan bertanggung jawab secara keseluruhan dalam
pengelolahan perekonomian nasional. Di lain pihak Pemerintah Daerah juga
bertanggungjawab untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemerintah di daerahnya,
terutama dalam memberikan pembangunan kesehatan masyarakat pedesaan.
Seperti halnya pemerintah Kabupaten Padanglawas harus bersinergi dengan
pemerintah


kecamatan

dan

pemerintah

desa

dalam

menjalankan

roda

pemerintahan guna mencapai tujuan yang maksimal terkhusus pada bidang
kesehatan masyarakat seperti di Kecamatan Aek Nabara Barumun yang sangat
mengharapakan perhatian pemerintah Kabupaten untuk membangun fasilitas
kesehatan seperti puskemas dan menyediakan dokter dan serjana kesehatan
masyarakat.

Efisiensinya dan efektivitasnya penyelenggaraan pemerintah daerah
perlu ditinggkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar
susunan pemerintah kabupaten dengan kecamatan. Hal tersebut memberikan
kewenangan yang seluas-luasnya kepada pemerintah kabupaten disertai dengan
pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam
kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan. Alasan ini dinilai sangat
signifikan untuk pengembangan kecamatan dan desa ketika diberikan suatu

kewenangan dengan batas kontrol sistem penyelengaraan pemerintah yang
sama. Hal ini disebabkan pemilik potensi dan keanekaragaman dikecamatan
dapat

menopang

untuk

kemajuan

pemerintah

daerah

dalam

menata

pembangunan di daerahnya. Sehingga penyelenggaraan pemerintah daerah
sesuai dengan amanat UUD 1945 yang mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan

menurut

asas

otonomi

daerah

yang

diarahkan

untuk

mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan,
pelayanan kesehatan.
Kabupaten Padanglawas adalah kabupaten yang sangat didominasi oleh
sektor pertanian yaitu sub sektor pertanian tanaman pangan dan palawija, sub
sektor hortikultura, perkebunan, peternakan dan sebagian kecil perikanan darat
(air tawar). Jumlah rumahtangga yang berusaha disektor ini berkisar antar 70
persen sampai dengan 74 persen . (BPS, 2012).
Kontribusi pertanian yang diberikan Kabupaten Padanglawas pada
Propinsi Sumatera Utara persentasenya cukup besar. Dengan melihat hal tersebut,
sudah sepantasnya Kabupaten Padanglawas lebih memperhatikan pembangunan
pedesaan yang memiliki potensi pertanian dan perkebunan yang lebih luas dalam
merencanakan dan mengelola sumber daya alam dan manusia yang dimiliki dan
untuk memberikan fasilitas dan dorongan yang lebih terarah pada perkembangan
pembangunan kerakyatan. Sehingga pendapatan perkapita dapat meningkat dan
kondisi kesehatan masyarakat terjamin. Mengingat wilayah Aek Nabara Barumun
yang memiliki wilayah pertanian dan perkebunan yang lumayan luas.
Sebelumnya pemerintah Kabupaten Padanglawas menetapkan salah satu
misi pembangunannya yang berbunyi ”Mengembangkan secara optimal pertanian

dan perdagangan berbasis agrobisnis yang berdaya saing dan berwawasan
lingkungan dan rehabilitasi lahan yang kritis (BPS 2012). Misi ini tidak akan
terwujud secara efektif tanpa ada dukungan semua pihak yang berperan,
khususnya pemerintah sebagai pejabat negara. Apa lagi diera otonomi daerah saat
ini, sistem Pemerintahan Daerah sudah berbeda dibandingkan dengan sistem
pemerintah diera orde baru. Kalau diera orde baru, organisasi Pemerintah dan
sistem informasinya ditentukan oleh pemerintah pusat, di era otonomi daerah ini
pembentukan instansi pemerintah daerah termasuk sistem informasinya
ditentukan oleh pemerintah daerah setempat. Oleh karena itu sistem informasi
pada setiap daerah bisa berbeda sesuai dengan perkembangan yang terjadi /
kebutuhan di daerah masing-masing.
Untuk melaksanakan kebijakan desentralisasi dibentuk daerah otonom,
yang hal ini dapat memberikan keleluasaan dan kewenangan penuh pada
pemerintah daerah dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, seperti
pelayana kesehatan dari pemerintahan kabupaten kepada pemerintahan kecamatan
dan desa sehingga dapat terealisasi pengayoman masyarakat desa terutama dalam
pembangunan kesehatan masyarakat desa di Kecamatan Aek Nabara Barumun.
Era reformasi saat ini semestinya pelaksanaan agenda otonomi daerah
yang bermaksud untuk lebih memudahkan akses pembangunan kesehatan
masyarakat desa. Bahkan dalam menyusun program pembangunan saat ini
telah melibatkan masyarakat dengan satu agenda disebut, musrembangdesa.
Akan tetapi sangat disayangkan dalam program yang baik ini juga belum
terlaksana sepenuhnya di Kecamatan Aek Nabara Barumun, yang ada

tersangkutnya pemimpin daerah (Bupati Padanglawas) dengan kasus korupsi.
(Harian Medan Bisnis, Februari 2013).
Menjadi bahan penelitian dengan melalui, observasi, penyebaran
pertanyaan dan wawancara dilakukan dengan key informan untuk mendapatkan
informasi secara khusus pada bidang kesehatan masyarakat desa di Kecamatan
Aek Nabara Barumun. Penelitian ini juga merupakan suatu hasil akhir tujuan
dari otonomi daerah dalam pembangunan kesehatan masyarakat desa di
Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padanglawas.
Sebelumnya juga sudah dilakukan melalui wawancara nonformal
kepada masyarakat maupun kepada pejabat di Kecamatan Aek Nabara
Barumun dan di Desa Tanjung. Dalam wawancara tersebut diketahui adanya
suatu indikasi-indikasi beberapa hal yang diantaranya perlu pendalaman lebih
lanjut dalam suatu penelitian, salah satunya : Pegawai Kecamatan Aek Nabara
Barumun, menjelaskan pada umumnya mereka beranggapan penyerahan
urusan lebih cenderung hanya mengenai hal yang bersifat administratif tanpa
diiringi upaya yang memadai dalam pemberian insentif yang memungkinkan
Pemerintah dan masyarakat Daerah Otonomi bergairah untuk melakukan
upaya-upaya peningkatan ekonomi didaerahnya, sehingga Pendapatan Asli
Daerah sulit meningkat. Pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber
daya nasional serta perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah belum
dilaksanakan secara proposional sesuai dengan prinsip demokrasi, keadilan,
dan pemerataan. Selain masalah tersebut diatas belum lengkap dan rincinya
peraturan perundang-undangan yang mendukung pelaksanaan Otonomi Daerah
menimbulkan perbedaan interprestasi dan persepsi yang mengakibatkan

tumpang tindih kewenangan antara instansi Pusat dan Daerah. Disamping itu
juga ditemukannya suatu keterbatasan anggaran dalam pembangunan yang
mengakibatkan

kegagalan

dalam

pelaksana

pembangunan

kesehatan

masyarakat desa. Sementara masyarakat sendiri masih beranggapan biasa dan
belum berpengaruh secara signifikan terhadap pembangunan kesehatan
masyarakat

dipedesaan.

Mengingat

belum

siknifikannya

perubahan

pembangunan kesehatan masyarakat dari data yang dipublikasikan Badan Pusat
Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan sebelum otonomi daerah tahun 1998 yang
menjelaskan bahwa, jumlah desa tertinggal di Kecamatan Barumun Tengah
sebagai induk Kecamatan Aek Nabara Barumun sebelum pemekaran kecamatan
pada tahun 1994-1995 terhitung 18 Inpres Desa Tertinggal (IDT), 1995-1996
terhitung 53 Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan pada tahun 1996-1997 terhitung 22
Inpres Desa Tertinggal (IDT). (BPS Tapsel. 1998)
Sementara setelah otonomi daerah juga permasalahan tentang kesehatan
yang timbul di Kabupaten Padang Lawas, hal ini diakibatkan karena
permasalahan organisasi kerja. Sepanjang tahun 2010 strutur organisasi dinas
kesehatan tidak memiliki dasar yang kuat karena belum adanya sturuktur dan
personalia yang defenitif sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah No
41 Tahun 2007. Akibatnya perjalanan roda organisasi dinas kesehatan tidak
berjalan secara optimal.
Permasalahan

dibidang

pembiayaan

masih

sangat

minim

jika

dibandingkan beban dalam permasalahan kerja dalam penyelenggaraan bidang
pemerintah daerah sektor kesehatan. Hal ini dapat dimaklumi karena

keterbatasan

kemampuan

keuangan

daerah.

Mengingat

permasalahan

penyelenggaraan dibidang pemerintahan sektor yang lain sama pentingnya.
Permasalahan lainnya juga ditimbukan karena sumber daya manusia
(SDM) bidang kesehatan yang mencakup pada kekurangan jumlah tenaga
kesehatan pada beberapa jenis dan masih rendahnya kualitas SDM kesehatan,
juga tidak meratanya penyebaran tenaga kesehatan, dimana ada pusat
pelayanan kesehatan yang memiliki tenaga kesehatan lebih. Sementara pada
lain tempat yang merupakan pusat pelayanan kesehatan masih kekurangan
tenaga kesehatan. Belum lagi masalah terhadap saran prasarana kesehatan yang
masih belum maksimal terealisasikan seperti Puskesmas satu perkecamatan.
Hal ini membuat terkendala pelayanan kesehatan masyarakat yang maksimal,
seperti di Kecamatan Aek Nabara Barumun yang masih mengandalkan
Puskesmas di Kecamatan Barumun Tengah sebagai kecamatan induk sebelum
terjadi pemekaran Kecamatan Aek Nabara Barumun. Dan bisa disebut satu
puskesmas untuk dua kecamatan yang memiliki jarak berjauhan. (LKPJ
Kabupaten Padang Lawas Tahun 2010)
Dari sekian banyak masalahan yang timbul khususnya dibidang
kesehatan menjadi tolak ukur dalam menentukan permasalahan penelitian yang
akan dijawab dalam penelitian ini, maka dilakukan pembatasan, khususnya
untuk melihat tingkat pembangunan kesehatan masyarakat desa.

1.2.

Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan

permasalahan penelitian yang hendak diteliti adalah “Apakah ada perbedaan
pembangunan kesehatan masyarakat desa era otonomi daerah di Kecamatan Aek
Nabara Barumun Kabupaten Padang Lawas ? “
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan penelitian ini, yaitu :
Untuk melihat perbedaan pembangunan kesehatan masyarakat desa era
otonomi daerah dan sebelum otonomi daerah di Kecamatan Aek Nabara
Barumun Kabupaten Padanglawas.
1.3.2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis, maupun
manfaat praktis, yaitu :
1.

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya yang terkait dengan kualitas
pelayanan kesehatan, serta dapat dijadikan referensi bagi penelitian dalam hal
pelayanan kesehatan.

2.

Secara Praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
bahan pertimbangan dan evaluasi khususnya bagi perangkat pemerintah di
Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padanglawas dan secara umum
dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan dan derajat kesehatan untuk
masyarakat yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Disamping itu pula hasil
penelitian ini dapat disebarluaskan untuk meningkatkan pemahaman aparatur

pemerintah

di

bidang

kesehatan

untuk

lebih

meningkatkan

profesionalismenya.
3.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah kiranya dapat memberi suatu manfaat
yang lebih terarah dan memiliki makna untuk mempercepat pembangunan
kesehatan masyarakat desa.

4.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mewujudkan
tujuan dan makna dari otonomi daerah yang juga sebagai harapan dapat
berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan
pada bidang kesehatan.

5.

Penelitian ini secara ilmiah juga berupaya untuk mengungkapkan pola dan
perilaku masyarakat pedesaan terhadap pelaksanaan pembangunan yang
mendorong terjadinya suatu perubahan untuk kemajuan desa dalam era
otonomi daerah, yang menjadi suatu agenda besar dari pemerintah untuk
menjalankan makna dari otonomi daerah yang sebenarnya.

6.

Hasil penelitian ini juga diharapkan bermanfaat sebagai masukan kepada
pemerintah

Kabupaten

Padanglawas

dalam

memformulasikan

pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan masyarakat
desa (bottom up planning) secara partisipatif, terdesentralisasi dan bersifat
lokalitas.

1.4.

Kerangka Pemikiran
Seiring dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah maka Penyelenggaraan pemerintahan di daerah
khususnya kabupaten/kota dilaksanakan menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
demikian kemudian lebih akrab disebut Otonomi Daerah.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hakikat
Otonomi Daerah adalah upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan
keputusan daerah secara lebih leluasa dan bertanggung jawab untuk mengelola
sumber daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi
daerah sendiri. Kewenangan yang luas dan utuh yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua aspek
pemerintahan ini, pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan kepada pemerintah
dan masyarakat. Penerapan otonomi daerah seutuhnya membawa konsekuensi
logis berupa pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
daerah berdasarkan manajemen keuangan daerah yang sehat.
Perubahan sistem ini dimaksudkan agar pembangunan daerah bisa lebih
cepat bekembang dan potensi lokal bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk
mendukung pembangunan tersebut. Namun demikian setelah berjalan beberapa
tahun, banyak problematik yang ditemui di lapangan. Pembangunan daerah masih
terkendala oleh berbagai masalah, baik yang sudah diperkirakan sebelumnya
maupun yang tidak terduga sama sekali. Masalah-masalah berkaitan dengan
kesiapan sumber daya manusia lokal, korupsi yang meluas ke daerah, kesenjangan
antar daerah kaya-miskin, kesenjangan pendanaan pembangunan, fanatisme
kedaerahan yang tinggi, koordinasi pusat-provinsi-kabupaten/kota yang semakin

buruk, dan banyak lagi lainnya, merupakan isu yang sering muncul ke permukaan
berkaitan dengan implementasi otonomi daerah tersebut. Dalam kondisi yang
demikian maka pengayaan informasi dan pengetahuan untuk lebih memahami
masalah-masalah berkaitan dengan otonomi daerah menjadi sangat diperlukan.
Instrumen dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dimiliki
oleh bangsa Indonesia sebagai acuan utama dalam memformat dan menata sebuah
bangsa, mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman.
Perubahan mendasar yang terjadi adalah semenjak bergulirnya bola reformasi,
seperti dilakukannya amandemen UUD 1945, demokratisasi yang melahirkan
penguatan desentralisasi dan otonomi daerah.
Hal ini lebih ditegaskan dalam pengaturan mengenai desa yaitu dengan
ditetapkannya PP No 72 tahun 2005. Prinsip dasar sebagai landasan pemikiran
pengaturan mengenai desa yaitu : Keanekaragaman, Partisipasi, otonomi asli,
Demokratisasi, dan Pemberdayaan masyarakat.
Ginanjar Kartasasmita (1994) memberikan pengertian pembangunan yang
sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui
upaya yang dilakukan secara terencana”. Pembangunan dalam Paradigma
Governance bertujuan untuk mewujudkan Interaksi antara Pemerintah, Dunia
Usaha Swasta, dan Masyarakat. Apabila sendi-sendi tersebut dipenuhi, maka
terwujudlah Good Governance.
Prinsip luas, nyata dan bertannggungjawab dalam penyelenggaraan
otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh
dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus

menjamin keserasian hubungan antara Daerah dengan Daerah lainnya, artinya
mampu membangun kerjasama antar Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan
bersama dan mencegah ketimpangan antar Daerah. Hal yang tidak kalah
pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang
serasi antar Daerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan
menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Dalam perkembangan
otonomi daerah, pemerintah pusat semakin memperhatikan dan menekankan
pembangunan

masyarakat

Penyelenggaraan

desa

pemerintahan

melalui
dan

otonomi

pembangunan

pemerintahan
desa

harus

desa.
mampu

mengakomodasi aspirasi masyarakat, mewujudkan peran aktif masyarakat untuk
turut serta bertanggungjawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai
sesama warga desa dalam meningkatkan pelayanan yang baik.
Selanjutnya berdasarkan Permendagri No. 66 tahun 2007

tentang

Perencanaan Pembangunan Desa, pembangunan di desa merupakan model
Pembangunan partisipatif adalah suatu sistem pengelolaan pembangunan di desa
bersama-sama secara musyawarah, mufakat, dan gotong royong yang merupakan
cara hidup masyarakat yang telah lama berakar budaya wilayah Indonesia.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 Permendagri No 66 tahun 2007,
karakteristik

pembangunan

partisipatif

diantaranya

direncanakan

dengan

pemberdayaan dan partisipatif. Pemberdayaan, yaitu upaya untuk mewujudkan
kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara sedangkan partisipatif, yaitu keikutsertaan dan
keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses pembangunan.

Pembangunan di desa menjadi tanggungjawab Kepala desa sebagaimana
diatur dalam Pasal 14 ayat (1) PP No 72 tahun 2005 ditegaskan bahwa Kepala
Desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan,
dan kemasyarakatan. Kegiatan pembangunan direncanakan dalam forum
Musrenbangdes, hasil musyawarah tersebut di ditetapkan dalam RKPD (Rencana
Kerja Pemerintah Desa) selanjutnya ditetapkan dalam APBDesa. Dalam
pelaksanaan pembangunan kepala desa dibantu oleh perangkat desa dan dapat
dibantu oleh lembaga kemasyarakatan di desa.
Selanjutnya khusus untuk anggaran pembangunan yang bersumber dari
Alokasi dana desa, 70% dari anggaran tersebut merupakan belanja pemberdayaan
masyarakat. Ditegaskan dalam Pasal 22 ayat (2) Permendagri No 37 tahun 2007
jo. Pasal 21 ayat (4) Perbup No 55 tahun 2008 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Desa bahwa Belanja Pemberdayaan Masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) digunakan untuk :
1.

Biaya perbaikan prasarana dan sarana publik.

2.

Menunjang kegiatan LPMD dan PKK.

3.

Penyertaan modal usaha masyarakat melalui BUMDesa.

4.

Biaya untuk pengadaan ketahanan pangan.

5.

Perbaikan lingkungan dan pemukiman.

6.

Teknologi Tepat Guna.

7.

Perbaikan kesehatan dan pendidikan.

8.

Pengembangan sosial budaya dan/atau

9.

Kegiatan lainnya yang dianggap penting

Dalam kaitannya hal tersebut diatas khususnya pada poin ke tujuh
perbaikan kesehatan dan pendidikan, maka untuk mewujudkan cita-cita Indonesia
sehat 2010 yang memuat harapan agar penduduk Indonesia memiliki kemampuan
untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, adil, dan merata serta
berkesinambungan. Walaupun demikian, berbagai fakta menyadarkan bahwa
pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata itu masih jauh dari harapan
masyarakat dan membutuhkan upaya yang sungguh-sungguh untuk mencapainya.
(Anonim, 2003 :1).
Berkaitan dengan pentingnya aspek kesehatan dalam rangka pembangunan
nasional yang disesuaikan pada kondisi sosial budaya dan geografis penduduk
Indonesia, maka pada bulan November 1967 Pemerintah Republik Indonesia
merumuskan program kesehatan terpadu sesuai dengan kondisi social dan
kemampuan rakyat Indonesia yang dinamakan dengan PUSKESMAS (Pusat
Kesehatan Masyarakat) sebagai suatu pelayanan kesehatan yang memberikan
pelayanan kuratif dan preventif secara terpadu dan menyeluruh dan mudah
dijangkau oleh masyarakat.
Dewasa ini Puskesmas telah didirikan di hampir seluruh pelosok tanah air
dan bahkan untuk menjangkau seluruh wilayah kerjanya, Puskesmas Induk
dibantu oleh Puskesmas pembantu dan Puskesmas Keliling. Tercatat pada tahun
2002 jumlah Puskesmas diseluruh Indonesia adalah 7.277 unit dan Puskesmas
Pembantu sebanyak 2.587 unit serta Puskesmas Keliling 5.084 unit (perahu 716
unit dan Ambulance 1.302). (Warta Kesehatan Indonesia Edisi Oktober 2002)
Sementara di Kecamatan Aek Nabara Barumun tidak memiliki puskesmas
dan hanya menghandalkan satu puskesmas untuk dua kecamatan yang letaknya di

Kecamatan Barumun Tengah dan memilik jarak tempuh dari desa di Kecamatan
Aek Nabara Barumun sangat berjauhan. Permasalahan yang kemudian muncul
adalah aksebilitas, mutu pelayanan dan pemanfaatan Puskesmas serta kinerja
Puskesmas dalam memberikan pelayanan kesehatan masyarakat khususnya di
Kecamatan Aek Nabara Barumun serta cakupan kegiatan program pelayanan
kesehatan pada masyarakat seluruhnya belum optimal dan terlaksana sesuai apa
yang diharapkan, ini bisa dilihat dari jarak jangkauan puskesmas satu untuk dua
kecamatan. Kondisi ini menunjukan bahwa pemanfaatan Puskesmas sebagai
rumah berobat masyarakat khususnya di Puskesmas Pasar Binanga masih sangat
minim, masyarakat cenderung menggunakan tenaga dukun/ medis tradisional. Hal
ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain (1). Kemampuan SDM (2).
Kemampuan biaya (3). Ketersediaan sarana dan prasarana (4). Penempatan serta
distribusi tenaga kesehatan. Berdasarkan latar belakang tesis ini tersebut diatas
yang dikaitkan dengan dasar pentingnya kinerja Puskesmas dalam upaya
meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat.

Gambar 1.1. Puskesmas Binanga untuk Kecamatan Barumun Tengah dan
Kecamatan Aek Nabara Barumun

Untuk mengukur suatu kinerja organisasi yang efektif, efesien dan optimal
seperti halnya kinerja pada organisasi Puskesmas maka sangat dipengaruhi oleh
beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius, sebab hal
tersebut dinilai sebagai ujung tombak dalam pencapaian kinerja suatu organisasi
pada bidang kesehatan masyarakat pedesaan diantaranya adalah :
1. Perencanaan
Planning atau perencanaan merupakan proses pemikiran dan penentuan
secara jelas dari segala sesuatu yang akan dijelaskan dalam rangka pencapaian
tujuan organisasi. Karena pada dasarnya setiap proses pemikiran itu memerlukan
suatu keputusan, maka planning atau perencanaan meliputi serangkaian keputusan
termasuk keputusan dalam hal tujuan kebijaksanaan, prosedur, program dan
metode serat jadwal waktu pelaksanaan. Perencanaan merupakan dasar atau arah
atau pedoman bagi manajemen dalam melaksanakan tugas. Oleh karena itu
berhasil tidaknya organisasi mencapai tujuannya sangat ditentukan oleh rencana
yang telah ditetapkan sebelumnya. Dan apabila rencana itu salah maka dengan
sendirinya tujuan organisasi tidak akan tercapai. (Maryati dan Kansius 1994:27).
2. Pengawasan
Pengawasan atau controlling bertujuan untuk mengetahui apakah
pelaksanaan tugas/pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan
sebelumnya. Pengawasan menyangkut kegiatan membandingkan antara basil
nyata yang dicapai dengan standar yang telah ditetapkan dan apabila
pelaksanaannya menyimpang dari rencana maka perlu diadakan koreksi
seperlunya. Organisasi akan berhasil dan akan mencapai sasarannya apabila

pimpinan mampu melaksanakan fungsi pengawasan dengan sebaik-baiknya.
(Maryah dan Kansius 1994 :29)
2. Evaluasi
Proses evaluasi di dalam manajemen adalah sangat penting. Demikian pula di
dalam dunia kesehatan. Pembangunan kesehatan merupakan investasi social
yang cukup berperan usaha-usahanya mencakup sasaran kesejahteraan
manusia.
Evaluasi sesungguhnya adalah proses kegiatan yang akan menilai segala sesuatu
yang akan diperoleh dengan apa yang sudah ditetapkan perencanaannya atau
dengan apa yang ingin dicapai melalui perencanaan semula. Karenanya untuk
menghindarkan agar penyimpangan itu tidak berlangsung terlalu jauh dari suatu
kekeliruan. Jadi kita harus melakukan point evaluasi pada setiap titik kegiatan
yang dianggap perlu. (Maryah dan Kansius 1994 :21)
Disamping itu juga ada aspek-aspek lain yang sangat mempengaruhi dari
pada kinerja suatu organisasi seperti halnya kinerja oknum pengelolah puskesmas
dan Dinas Kesehatan Padanglawas dalam memberikan pelayanan kesehatan
masyarakat yang banyak memberikan kontribusi di dalam pelaksanaan program
kesehatan seperti :
a.

Kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM)
Setiap organisasi pemerintah dan swasta termasuk di Puskesmas memiliki

asset yang pada dasarnya dapat digolongkan dalam " 3 M " yaitu Man, Money dan
Material. Dari ketiga unsur M tersebut pertama adalah manusia merupakan asset
yang paling penting dan menentukan, karena nilai kedua unsur M lainnya sangat
tergantung pemanfaatannya oleh manusia sebagai pelaku aktif dalam organisasi

(Atmosoepratpo, 2001 : 30).
Moekiyat (1987 :3) mengemukakan ada 3 unsur kualitas yang perlu
dikembangkan dari setiap pegawai yaitu :
a. Keahlian : Agar supaya pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan
lebih efektif.
b. Pengetahuan : Agar supaya pekerjaan dapat diselesaikan secara rasional
c. Sikap : Agar supaya timbul kemauan kerja sama dengan teman-teman dan
pimpinannya.
Sementara Atmosoeprapto (2001 : 31) mengemukakan bahwa kemampuan
SDM meliputi kemampuan teknik, kemampuan hubungan antar pribadi dan
kemampuan konseptual. Kemampuan teknik adalah kemampuan menggunakan
ilmu pengetahuan, metode, teknik dan alat yang diperoleh melalui pengalaman,
pendidikan dan pelatihan untuk melakukan tugas-tugas khusus. Kemampuan antar
pribadi adalah kemampuan menilai orang dan kemampuan dalam bekerja sama.
Sedangkan kemampuan konseptual adalah kemampuan untuk mengetahui
kekompakan organisasi secara keseluruhan dan peranan dirinya dalam organisasi.
Dan bukan sekedar mendasarkan pada sasaran dan kebutuhan dari kelompoknya.
b.

Kemampuan Biaya Kesehatan
Kemampuan biaya adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk

menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang
diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Dari batasan ini
terlihat bahwa biaya kesehatan dapat ditinjau dari dua sudut yakni (Imbalo 52-53).

1. Penyedia pelayanan kesehatan
Yang dimaksud dengan biaya kesehatan dari sudut penyedia pelayanan adalah
besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat menyelenggarakan upaya
kesehatan. Dengan pengertian seperti ini tampak bahwa biaya kesehatan dari
sudut penyedia pelayanan, adalah persoalan utama para pemerintah ataupun
pihak swasta, yakni pihak-pihak yang akan menyelenggarakan upaya
kesehatan.
2. Pemakai jasa pelayanan
Yang dimaksud dengan biaya kesehatan dari sudut pemakai jasa pelayanan
adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat memanfaatkan jasa
pelayanan. Biaya kesehatan banyak macamnya hanya saja disesuaikan dengan
pembagian pelayanan kesehatan, maka biaya kesehatan tersebut secara umum
dapat dibedakan atas dua macam yakni :
1. Biaya pelayanan kedokteran
Biaya kedokteran adalah untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan
pelayanan kedoketeran, yakni yang tujuan utamanya adalah untuk
mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan penderita.
2. Biaya pelayanan kesehatan masyarakat
Biaya

yang

dimaksud

di

sini

adalah

yang

dibutuhkan

untuk

menyelenggarakan dan atau memanfaatkan pelayanan kesehatan masyarakat
yakni tujuan utamanya adalah untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan serta untuk mencegah penyakit.
Namun dalam pembiayaan kesehatan harus mempunyai syarat-syarat pokok
yang harus dipenuhi antara lain :

1. Jumlah adalah syarat utama dari biaya kesehatan haruslah tersedia dalam
jumlah yang cukup dalam arti dapat menyelenggarakan semua upaya
kesehatan yang dibutuhkan serta dapat menyulitkan masyarakat yang ingin
memanfaatkannya.
2. Penyebaran adalah syarat lain yang harus dipenuhi adalah penyebaran
dana yang harus sesuai dengan kebutuhan. Jika dana yang tersedia tidak
dapat

dialokasikan

dengan

baik,

niscaya

akan

menyulitkan

penyelenggaraan setiap upaya kesehatan.
3. Pemanfaatan adalah sekalipun jumlah dan penyebaran dana secara merata,
tetapi jika pemanfaatannya tidak mendapatkan peraturan yang seksama,
niscaya akan banyak menimbulkan masalah, yang jika berkelanjutan akan
menyulitkan masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan.
c.

Ketersediaan Sarana dan Prasarana
Penempatan sebuah Puskesmas sekarang ini adalah lebih banyak dibangun

di ibu kota kecamatan, sedangkan untuk Puskesmas pembantu di tempatkan di
desa. Bagi masyarakat atau desa yang maju dengan penduduk yang banyak dapat
ditempatkan sebuah Puskesmas, tergantung dari ketersediaan tenaga, khususnya
tenaga dokter. Penempatan Puskesmas juga harus dipertimbangkan permintaan
masyarakat. Sering terjadi pemempatan sebuah Puskesmas tidak berdasarkan
permintaan masyarakat, sehingga keadaan demikian Puskesmas tidak efektif dan
efesien.
Kesalahan dalam penempatan Puskesmas selama ini, maka menuntut
perencanaan sebuah Puskesmas dilakukan secara efektif dan efesien. Satu hal
yang perlu dipertimbangkan terutama adalah ketersediaan tenaga medis dan para

medis dan permintaan masyarakat serat keterjangkauannya atau luas wilayah dan
jumlah penduduk cukup memadai. Termasuk dalam ketersediaan sarana dan
prasarana seperti pengadaan gedung yang layak dan pendistribusian obat-obatan.
(Kamalia ,98-100)
Seiring hal tersebut ditemukan juga keberadaan satu puskesmas dalam dua
kecamatan yang memiliki wilayah yang sangat berjauhan antara desa dan
kecamatan. Hal ini sangat tidak memungkinkan dapat memberi pelayanan yang
terbaik kepada masyarakat. Lantas ditemukan tenaga pembantu kesehatan di
puskesmas yang tidak memadai. Sehingga bidan desa yang ditugaskan untuk satu
desa sering sekali diberi tanggungjawab diluar tugasnya yang hal ini mengayomi
dua desa atau lebih. Bahkan bidan desa yang seharusnya bekerja di pedesaan tapi
kenyataannya sering sekali meninggalkan tugas didesa karena diperkerjakan di
Puskesmas Pasar Binanga. Sedemikian kurangnya fasilitas kesehatan di
Kecamatan Aek Nabara Barumun sampai saat ini belum juga memiliki puskesmas
sendiri melainkan tetap menggunakan fasilitas puskemas Kecamatan Barumun
Tengah.
d.

Pendistribusian Tenaga Kesehatan
Pendistribusian tenaga kesehatan dewasa ini adalah menjadi masalah

pokok yang harus dituntaskan. Mengingat banyaknya tenaga kesehatan yang
ditugaskan di daerah-daerah terpencil sering meninggalkan dan melalaikan tugastugasnya, dengan alasan mereka tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan yang
akan ditempati atau mereka menganggap bahwa penempatan mereka di daerahdaerah terpencil tidak seimbang dengan gaji yang mereka terima. Dan mereka
cenderung memilih pindah di kota. Akhirnya masyarakat yang hendak berobat

mengalami kesulitan dan apabila mau berobat harus rela menunggu lama karena
dokter terlambat atau tidak berada ditempat.
Keluhan ini selalu menjadi perbincangan masyarakat yang sangat
membutuhkan pelayanan kesehatan dari pemerintah. Namun belum juga
terealisasi dengan benar. Sebagaimana tujuan dari otonomi daerah yang sebenarbenarnya. Melainkan masih dalam tatanan teoritis, sehingga membuat kejenuhan
dan ketidak percayaan masyarakat kepada pelakasana pemerintah yang notabenya
selalu mengumendangkan visi dan misi untuk mensejahterakan masyarakat
khususnya memberikan pelayanan kesehatan gratis. Akan tetapi kenyataannya
hanyalah sebatas tulisan atau seuntai kata yang tidak memiliki fakta dalam
merealisasikan implementasi otonomi daerah yang sebenarnya.
Dasar kerangka pemikiran ini merupakan suatu tujuan dari aplikasi
otonomi daerah dibidang kesehatan guna untuk mensejahterakan masyarakat.
Hal ini melihat ada korelasi yang sangat signifikan antara kebutuhan manusia
dengan pembangunan. Semakin banyak dan beragam manusia, maka banyak
dan beragam pula kebutuhannya, mulai dari kebutuhan pangan, sandang,
pengetahuan, religi, dan kesehatan. Sementara untuk memenuhi kebutuhan
tersebut diperlukan sarana seperti, pertanian, pendidikan, peribadatan,
perekonomian, transportasi, kesehatan, olah raga, kesenian, dan sosial budaya.
Namun untuk mencapai ini semua harus ada perubahan yang dilakukan untuk
pembanguna dengan ditopang adanya biaya, tenaga dan peralatan. Besar
kecilnya suatu pembangunan tidak hanya ditopang ketiga komponen tersebut,
melainkan juga dipengaruhi oleh tujuan pembangunan yang termaktub dalam
otonomi daerah itu sendiri.

Lebih jelas dalam pembangunan memiliki tujuan untuk memenuhi
kebutuhan banyak orang atau masyarakat yang terhimpun dalam suatu
kecamatan, maka sarana yang dibangun biasanya berskala kecil dan sederhana
dapat memiliki makna yang lebih signifikan dan lebih berarti, ketimbang
bangunan yang berskala besar, namun tidak memiliki arti buat masyarakat.
Apalagi dalam pelaksanaan pembangunan sarana fisik dibagi kedalam
empat tahapan kegiatan yaitu perencanaan, pembiayaan, mengerjakan
bangunan, dan pengawasan pelaksana bangunan dapat melibatkan masyarakat
setempat. Hal ini sangat dibutuhkan untuk realisasi program pemerintah dalam
implementasi otonomi daerah seperti tahapan dalam musyarawah perencanaan
pembangunan desa (Musrembangdes).
Bilamana masyarakat dilibatkan untuk empat tahapan ini membuat
partisipasi setiap anggota masyarakat semakin meningkat dalam pembangunan,
maka semakin tinggi pula tingkat keberhasilan pembangunan itu. Kendatipun
pembangunan yang dilakukan masyarakat kecamatan atau pedesaan berskala
kecil atau sederhana, hal itu disebabkan keterbatasan biaya untuk memenuhi
suatu kebutuhan masyarakat. Demikian pula dapat dibuktikan dari partisipasi
masyarakat pedesaan khususnya untuk pembangunan prasarana di desanya.
Dimulai dari awal perencanaan dengan diadakannya musyawarah desa, hingga
pada pembiayaan atas kesepakatan untuk berpartisipasi dan pada pelaksanaan
pembangunan sampai tahap pemeliharaannya dikerjakan bersama yang dibuat
dalam suatu musyawarah dengan mufakat.
Sulit untuk dipahami, ketika masyarakat pedesaan yang miskin dan
terbelakang satu kecamatan tidak memiliki fasilitas kesehatan khususnya

puskesmas melainkan satu harapan pada bidan desa. Ancaman untuk
kelangsungan hidup khususnya pada kaum ibu yang mau melahirkan dan
kesehatan bagi bayi karena kurang perawatan sering menimbulkan kekurangan
gizi. Disamping ketidak mempu untuk berobat demi kesehatannya dan
keluarganya diakibatkan suatu kemiskinan masih kurangnya perhatian
pemerintah. Namun untuk saat ini dalam impelementasi otonomi daerah sudah
berangsur-angsur sedikit demi sedikit ada perhatian kesehatan dengan
memberikan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), kendatipun dalam
realisasinya masih tergolong rendah. Hal ini juga tidak terlepas dalam
implementasi UUD 1945 menjelaskan pada pasal 34 tentang fakir miskin dan
anak-anak

terlantar

dipelihara

oleh

negara,

yang

merupakan

suatu

tanggungjawab negara.
Harapan seperti inilah yang menjadi tujuan masyarakat pedesaan untuk
dapat diperhatikan pembangunan prasarana kesehatan. Masyarakat pedesaan
sangat antusias menyambut program pemerintah dengan memberikan lahan
untuk pembangunan Pondok Bersalin Desa (Polindes). Ini suatu bentuk peran
serta masyarakat dalam mewujudkan masyarakat yang sehat dan menyediakan
tempat pertolongan persalinan dan pelayanan kesehatan ibu dan anak juga
kesehatan masyarakat sendiri. Polindes ini dirintis atau dikelolah oleh pamong
desa setempat yang pelaksanaannya dilakukan oleh kader petugas puskesmas,
maka petugas polindes pelayanannya tergantung pada keberadaan bidan atau
merupakan suatu profesi kebidanan.
Mereka dapat membangun sarana-sarana yang mereka butuhkan.
Ternyata ada suatu kekuatan yang sangat besar pengaruhnya dalam

melaksanakan pembangunan di pedesaan yaitu sumber daya sosial yang
dimiliki masyarakat pedesaan masih terbangun dengan baik. Hal ini jarang
sekali diperhitungkan orang yang berada diluar pedesaan. Sementara sumber
daya sosial itu dibangun dan dipelihara oleh lembaga-lembaga tradisional desa
bersama pimpinannya. Yang pada umumnya desa-desa memiliki tiga macam
sumber daya yang berpotensi, yaitu sumber daya alam (SDA), sumber daya
manusia (SDM), dan sumber daya sosial (SDS). Ketiga sumber daya ini sangat
signifikan dibangun untuk realisasi dalam pembangunan yang merakyat demi
keberhasilan suatu bangunan yang di rencanakan.
Kita tidak heran lagi ketika pembangunan yang dilaksanakan
pemerintah pada umumnya berskala besar, lengkap, dan moderen. Namun
dalam realisasi pembangunan tersebut sering sekali membuat masyarakat
pedesaan, khususnya yang berada pada kategori miskin dan terbelakang tidak
mampu untuk mengikuti dalam tahapan berpartisipasi. Karena warga
masyarakat pedesaan hanya dijadikan sebagai objek dan tidak dilibatkan untuk
pembangunan

yang

berada

diwilayahnya

sendiri.

Padahal

partisipasi

masyarakat sangat dibutuhkan untuk perencanaan, pelaksanaan, pengawasan
dan pemeliharaan pembangunan.
Disamping banyak pendekatan yang telah diterapkan, yakni dari
pertumbuhan, pemenuhan kebutuhan dasar yang paling mutakhir yakni
pemberdayaan masyarakat dengan menempatkan masyarakat sebagai sentral
(objek sekaligus subjek) untuk pembangunan. Karena selama ini dilakukan
pemerintah selalu melaksanakan proyek dengan pembangunan fisik, bukan
pada

pembangunan

karakter

masyarakat.

Padahal

dengan

pendekatan

pembangunan yang relevan adalah masyarakat, karena mereka mampu
melaksanakan pembangunan secara mandiri, terdesentralisasi dan tepat
sasaran. Dan apabila hal tersebut tidak diikutkan, maka sarana yang dibanguan
tidak dapat bertahan lama. Juga dikhawatirkan pembangunannya tidak
mendapat hasil yang baik. Untuk itu sangat perlu dalam menyikapi kurang
jelasnya arah dibuat otonomi daerah yang seharusnya melibatkan masyarakat,
sementara warga setempat tidak dilibatkan untuk pembangunan daerahnya
sendiri, jelas kerancuhan yang akan timbul, sehingga otonomi daerah hanyalah
sebatas harapan yang besar.
Visi pembangunan yang mengutamakan manusia sangat relevan karena
adanya pergeseran peranan pemerintah dalam konteks pembangunan yang pada
hakekatnya dilaksanakan oleh masyarakat. Sejak perencanaan hinggap pada
implementasi dan pemanfaatannya sangat dibutuhkan peran masyarakat.
Seperti halnya dikemukakan Korten (1988:242-245) bahwa, pembangunan itu
sendiri haruslah merupakan suatu proses belajar, yaitu dimaksud, peningkatan
kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif yang tidak
hanya menyesuaikan diri pada perubahan, melainkan juga untuk mengarahkan
perubahan itu, sehingga sesuai dengan tujuannya sendiri. Untuk mewujudkan
itu, perlu ada perubahan pada berbagai segi kehidupan. Perubahan tersebut
menyangkut kebijakan politik, kehidupan demokrasi, sistem pendidikan dan
penyediaan saluran informasi yang terbuka dan luas bagi masyarakat, karena
pada hakekatnya masyarakat berhak untuk memilih. Untuk itu ketersediaan
informasi harus dibuka seluas-luasnya bagi mereka agar dapat menetukan
pilihannya.

Untuk menerapkan pendekatan proses belajar itu, Korten (1988: 247)
mengemukakan dua cara, yaitu : “Pertama, dengan membangun sebuah
program dan organisasi yang sama sekali baru dari bawah. Kedua, dengan
“mencangkok” proses tersebut pada organisasi yang ada, sehingga mempunyai
kemampuan baru untuk bekerja dipedesaan.”
Konsep pembangunan seperti ini jelas berpusat pada manusia yang
memandang inisiatif kreatif masyarakat sebagai sumber daya pembangunan
yang utama dan memandang kesejahteraan material dan spiritual mereka
sebagai tujuan pembangunan khususnya dipedesaan. Konsep ini juga dibentuk
dalam satu visi menjadikan pembangunan sebagai gerakan rakyat untuk
membangun ketimbang hanya sekedar sebagai proyek pemerintah semata.
Muara seluruh proses pembangunan adalah desa, sehingga desain
pembangunan harus mengakomodir seluruh aspek yang berkembang dinamis
dan beriorentasi membangun desa beserta masyarakatnya. Pembangunan desa
memegang peranan penting yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan
pada hakikatnya bersinergi terhadap pembangunan daerah dan nasional.
Dengan kata lain, sesungguhnya makna pembangunan negara dan bangsa
adalah pembangunan desa sebagai wajah yang nyata, bersifat lokalitas dan
patut dikedepankan.
Pembangunan yang menjadi selalu menjadi permasalahan di desa
seluruh Indonesia adalah pembangunan atau pemberian pelayanan kesehatan
yang bisa memberikan perbaikan tingkat yang signifikan terhadap masyarakat
desa, seh