Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa Era Otonomi Daerah di Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padang Lawas

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pendahuluan
Dalam tinjauan pustaka ini dapat diuaraikan dengan jelas kajian
kepustakaan yang menimbulkan gagasan atau mendasar dalam penelitian yang
dilaksanakan, dan berisi cuplikan bahwa pustaka yang berkaitan hanya dengan
masalah yang diteliti. Tinjauan pustaka ini juga menguraikan teori, temuan dan
bahan yang diarahkan untuk menyusun kerangka konsep yang akan digunakan
dalam tesis ini. Disamping itu juga dapat memuat uraian secara sistematis tentang
hasil penelitian yang didapat oleh para ahli atau peneliti terdahulu dengan mencari
hubungannya pada kegiatan yang akan diteliti. Dalam penyajian ini juga
ditunjukkan permasalahan yang akan diteliti belum terjawab atau belum
terpecahkan secara memuaskan dan hendak untuk diteliti seperti halnya terhadap,
Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa Era Otonomi Daerah di Kecamatan
Aek Nabara Barumun.
Tinjauan pustakan ini memuat uaraian secara sistematik tentang fakta,
hasil karya sebelumnya yang berasal dari pustaka yang memuat teori, proposisi,
konsep atau pendekatan terbaru yang ada hubungannya dengan kegiatan yang
akan diteliti. Fakta yang dilakukan diambil dari sumber primer atau data aslinya
yang akan disajikan dalam tinjauan pustaka. Dimana studi kepustakaan ini

memberikan gambaran tentang kemajuan suatu bidang ilmu tentang kasus yang
akan diteliti didasari pada penelitian emprik atau teoritik yang telah dilakukan
peneliti sebelumnya.
35

2.1.1. Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa
Pengertian pembangunan adalah satu fenomena di dunia ketiga yang amat
rumit dan kompleks. Michael P. Todaro, mengatakan, bahwa pembangunan harus
dipahami sebagai suatu proses berdimensi jamak yang melibatkan perubahanperubahan besar dalam struktur sosial, sikap pertumbuhan ekonomi, pengurangan
ketidakmerataan, dan pemberantasan kemiskinan absolut.
“Pembangunan, kelompok sosial dalam sistem tersebut, berpindah dari
suatu kondisi yang dianggap tidak menyenangkan kepada suatu kondisi
atau situasi kehidupan yang dianggap lebih baik secara material maupun
spritual (M.P.Todaro, 1989 :62)”
Dari penjelasan ini dikatakan, bahwa negara-negara dunia ketiga ditandai
oleh ciri-ciri yang khas, yaitu (a) standar hidup yang rendah, (b) produktivitas
yang rendah, (c) tingkat pertumbuhan penduduk dan beban ketergantungan yang
tinggi, (d) tingkat pengangguran yang tinggi dan meningkat terus serta
kekurangan pekerjaan, (e) sangat tergantung pada produksi pertanian dan barang
ekspor primer, dan (f) dominasi, ketergantungan dan kepekaan yang besar dalam

hubungan internasional (M.P.Todaro, 1989 : 28). Oleh karena itu, pembangunan
bertujuan untuk mengubah fenomena keterbelakangan yang kronis ini sebagai
suatu kenyataan yang dialami oleh lebih dari 3 miliar penduduk dunia.
Todaro & Smith (2003) mengemukakan tentang pembangunan sejalan
dengan karakteristik pembangunan yang dikemukan Dag Hammarskjold
Fundation (1977) menjelaskan bahwa pembangunan harus : (1) beriorentasi pada
kebutuhan (need-oriented) manusia, baik material maupun non-material, (2)
bersifat endogen, artinya muncul dari jiwa masyarakat itu sendiri yang tercermin
pada kedaulatan nilai-nilai dan visi mereka, (3) self-reliance yang berarti bahwa
setiap masyarakat mengandalkan terutama sekali pada kekuatan-kekuatan dan

sumberdaya-sumberdaya mereka sendiri (masyarakat, lingkungan alam, dan
budayanya), (4) ecologically-sound artinya penggunaan sumberdaya-sumberdaya
alam secara rasional dan bijak, dan (5) berdasarkan transformasi struktur dalam
hubungan-hubungan sosial, dalam kegiatan ekonomi dan distribusi spesial, seperti
halnya perubahan struktur kekuasaan.
Sementara Massey (1984) mendefenisikan pembangunan endogen sebagai
suatu pendekatan kewilayaan (territorial approach) dalam proses pertumbuhan
ekonomi dan perubahan struktural yang dimotori oleh komunikasi lokal dan
manfaatkan potensi-potensi lokal dalam pembangunan untuk memperbaiki tingkat

kehidupan penduduk lokal.
Bintoro Tjokroamidjojo (1985, 222-224) mengatakan, ‘pembangunan yang
meliputi segala segi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya itu baru akan
berhasil, apa bila merupakan kegiatan yang melibatkan partisipasi dari seluruh
rakyat di dalam suatu negara. Tidak saja dari pengambilan kebijaksanaan
tertinggi, perencanaan, pemimpin pelaksanaan operasional, tetapi juga dari petanipetani yang masih tradisional, nelayan, buruh, pedagang kecil, dan lain-lain. Kata
Bintoro ada empat aspek penting partisipasi dalam rangka pembangunan yaitu :
1.

Terlibat dan ikut sertanya rakyat sesuai dengan mekanisme proses politik
dalam suatu negara turut menentukan arah, strategi, dan kebijaksanaan
pembangunan yang dilakukan pemerintah.

2.

Meningkatkan artikulasi (kemampuan) untuk merumuskan tujuan-tujuan dan
terutama cara-cara dalam merencanakan tujuan itu sebaiknya. Dalam
partisipasi pembangunan perlu dikembangkan kemampuan-kemampuan

masyarakat,


terutama

organisasi-organisasi

masyarakat

sendiri untuk

mendukung proses pembangunan.
3.

Partisipasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan nyata yang konsisten dengan
arah, strategis, dan rencana yang telah ditentukan dalam proses politik. Dalam
hal ini tergantung dari sistem dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan
yang berlaku bagi suatu negara. Ada kalanya pemerintah mengambil
kebijaksanaan yang lebih bersifat mobilisasi dari pada partisipasi.

4.


Adanya perumusan dan pelaksanaan program-program partisipatif dalam
pembangunan yang berencana. Program-program ini pada suatu tingkat
tertentu membeberikan kesempatan secara langsung kepada masyarakat untuk
berpatisipasi dalam rencana yang menyangkut kesejahteraan sendiri serta
memetik hasil program tersebut”.
Asumsi dasar teori modernisasi adalah bahwa kondisi kemiskinan di

negara berkembang disebabkan oleh faktor internal atau faktor-faktor yang
terdapat didalam negara yang bersangkutan. Dari penjelasan dalam teori
modernisasi ini selain didasari pada dikotomi antara masyarakat tradisional dan
masyarakat modern (Suwarsono dan Alvin Y. SO, 1994 : 5) menjelaskan, selain
dari pola kehidupan masyarakat juga ditemukan dalam faktor-faktor non-material
sebagai penyebab kemiskinan, khususnya pada ide atau pemikiran. Faktor-faktor
ini menjelma dalam psikologi individu, dan pendidikan menjadi salah satu cara
untuk mengubah psikologi seseorang atau nilai-nilai budaya suatu masyarakat.
Robert Chambers mengatakan, kemiskinan desa yang terlupakan. Dimana
kemiskinan ini sering sekali kurang perhatian dari pihak-pihak yang bersangkutan
(pemerintah) melainkan dapat perhatian dari pihak ketiga yang tidak ada

hubungannya dengan kebijakan pemerintah. Hal ini ketika orang luar yang

menaruh perhatian terhadap pembangunan desa, tetapi dirinya sendiri bukan orang
desa apalagi miskin. Yang temasuk didalamnya adalah akademisi, pengusaha,
wartawan, alim ulama dan politisi.
Hal ini dapat yang menjadi suatu sorotan dalam penelitian ini mengingat
pembangunan kesehatan masyarakat pedesaan khususnya di Kecamatan Aek
Nabara Barumun Kabupaten Padanglawas masih sangat perlu untuk diperhatikan
ketika penulis meninjau lokasi daerah penelitian dimana, salah satu kecamatan
yang ada di padanglawas yang tidak memiliki puskesmas. Belum lagi
keterbelakangan pembangunan kesehatan masyarakat desa diakibatkan pola
tingkat pendidikan dan sumberdaya manusia dalam menjaga kesehatan masih
belum memahami sepenuhnya. Namun ada suatu perubahaan ketika perhatian
pemerintah dalam membangun fasilitas ataupun sarana kesehatan masyarakat desa
secara sederhana. Akan tetapi sangat bermakna bagi masyarakat, seperti
pembangunan Posyandu/polides didesa yang menjadi penopang pembangunan
kesehatan masyarakat desa. Hal ini terlihat dalam foto saran kesehatan desa.

Gambar 2.1. Posyandu Desa Tanjung dibangun sebelum otonomi daerah tahun
1995 dioperasikan dengan baik sesudah otda tahun 2002

Sementara untuk mengukur keberhasilan pembangunan tidak cukup hanya

menggunakan Gross National Product (GNP) atau disebut seluruh nilai produk
barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat suatu negara yang merupakan tolok
ukur ekonomi saja, melainkan juga harus didukung oleh indikator-indikator sosial
(non ekonomi), antara lain seperti tingkat melek huruf, tingkat pendidikan,
kondisi-kondisi dan kualitas pelayanan kesehatan, kecukupan akan kebutuhan
perumahan. Selanjutnya menurut Todaro, ada tiga nilai inti dari pembangunan
yaitu :

1.

Kecukupan yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhandasar
(basic needs) yang meliputi pangan, sandang, papan, kesehatandan
keamanan.

2.

Jati

diri,


menjadi

manusia

seutuhnya,

yaitu

diartikan

sebagai

adanyadorongan-dorongan dari diri sendiri untuk maju , untuk menghargai
dirisendiri,

untuk

merasa

diri


pantas

dan

layak

melakukan

atau

mengejarsesuatu.
3.

Kebebasan dari sikap menghamba, kemerdekaan atau kebebasan di
sinihendaknya diartikan secara luas sebagai kemampuan untuk berdiri tegak
sehingga tidak diperbudak oleh pengejaran aspek- aspek materiil dalam
kehidupan.
Lebih lanjut Todaro menyatakan bahwa pembangunan harus dipandang


sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan
mendasar

atas

struktur

sosial,

sikap-sikap

masyarakat,

dan

institusi-

institusinasional, di samping mengejar akselarasi pertumbuhan ekonomi,
penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan.
2.1.1.1. Program kesehatan masyarakat desa

Program pembangunan kesehatan di daerah pedesaan pada hakekatnya
menyangkut masalah perubahan perilaku (orientasi kebudayaan) masyarakat
setempat, oleh karena itu pelbagai disiplin ilmu dilibatkan dari perencanaan
sampai evaluasi. Ilmu-ilmu sosial dapat dan sepantasnya berperan dengan
ilmu-ilmu kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, dan
kegiatan ini berjalan dalam seluruh proses dari perencanaan sampai dengan
evaluasi, bahkan sampai inovasi (Loedin, 1985).

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1960 tentang
Pokok-pokok Kesehatan menyatakan bahwa rakyat berhak memperoleh derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya. Hal serupa juga dicantumkan dalam satu
dasar pembangunan kesehatan, yakni Sistem Kesehatan Nasional (Departemen
Kesehatan R.I., 1982). Menteri Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 99a/Men. Kes/SK/III
/1982 tentang berlakunya Sistem Kesehatan Nasional, yang meliputi Pemikiran
Dasar Sistem Kesehatan Nasional, Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Bidang Kesehatan, dan Bentuk Pokok Sistem Kesehatan Nasional.
Sistem Kesehatan Nasional adalah suatu tatanan yang mencerminkan
upaya bangsa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan mencapai derajat
kesehatan yang optimal sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti
dimaksudkan dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, Pemikiran Dasar
Sistem Kesehatan Nasional pada hakekatnya menentukan arah, tujuan, dan
dasar

pembangunan

kesehatan

yang

menyeluruh,

terp

adu

serta

berkesinambungan sebagai bagian dari Pembangunan Nasional (Departemen
Kesehatan R.I., 1982). Dasar-dasar Pembangunan Kesehatan Nasional adalah:
pertama, semua warga negara berhak memperoleh derajat kesehatan yang
optimal agar dapat bekerja dan hidup layak sesuai dengan martabat manusia.
Ke dua, pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab dalam memelihara dan
mempertinggi derajat kesehatan rakyat. Ke tiga, penyelenggaraan upaya
kesehatan diatur oleh pemerintah dan dilakukan secara serasi dan seimbang
oleh pemerintah dan masyarakat serta dilaksanakan terutama melalui upaya
peningkatan dan pencegahan yang dilakukan secara terpadu dengan upaya

penyembuhan dan pemulihan yang diperlukan. Ke empat, setiap bentuk upaya
kesehatan harus berasaskan kemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa dengan mengutamakan kepentingan nasional, rakyat banyak, dan
bukan semata-mata kepentingan golongan atau perorangan. Ke lima, sikap,
suasana kekeluargaan, kegotong-royongan, serta semua potensi yang diarahkan
dan dimanfaatkan sejauh mungkin untuk pembangunan di bidang kesehatan.
Ke enam, sesuai dengan asas adil dan merata, hasil-hasil yang dicapai dalam
pembangunan kesehatan harus dapat dinikmati secara merata oleh seluruh
penduduk. Ke tujuh, semua warga negara berkedudukan sama dalam hukum
dan wajib menjunjung tinggi serta mentaati segala ketentuan peraturan
perundang-undangan dalam bidang kesehatan. Ke delapan, pembangunan
Kesehatan Nasional harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan
dan kekuatan sendiri, serta bersendikan kepribadian bangsa (Departemen
Kesehatan R.I., 1982).
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan dan Program Pembangunan Nasional (Propenas) Sektor Kesehatan
dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan
Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004 menyebutkan bahwa tujuan umum
program ini adalah meningkatkan pemerataan dan mutu upaya kesehatan yang
berhasil guna dan berdaya guna serta terjangkau oleh segenap anggota
masyarakat.
2.1.1.2. Konsep pelayanan kesehatan masyarakat
Sejak lahir sampai tua secara individu manusia tidak pernah mampu secara
penuh memenuhi sendiri kebutuhannya dan selalu butuh pelayanan, meskipun

manusia adalah makhluk hidup tertinggi ciptaan Tuhan, tetapi makhluk yang
serba terbatas, lemah, keterbatasan manusia baik secara fisik, intelektual, moral
membuat manusia butuh pelayanan. Manusia selalu membutuhkan pelayanan
sesuai dengan masa pertumbuhan atau perkembangan kehidupannya seperti :
a. Waktu dalam kandungan dan kelahiran membutuhkan layanan dokter,
bidan dan dukun.
b. Masa balita membutuhkan layanan baby sister.
c. Masa usia sekolah membutuhkan pelayanan guru.
d. Masa remaja/ pemuda membutuhkan pelayanan konsultasi dalam berbagai
aktivitas misalnya, konsultasi seks, perkawinan, dan penyediaan lapangan
kerja.
e. Masa dewasa membutuhkan pendamping setia (suami atau istri)
f. Selama waktu bekerja membutuhkan layanan peningkatan keterampilan,
keahlian, bimbingan, konsultasi dalam berbagai aktivitas dan bantuan
sumber daya.
g. Masa lanjut usia, membutuhkan pelayanan dalam berbagai hal.
Jadi pelayanan adalah salah satu cara melayani, membantu menyiapkan,
mengurus, menyelesaikan keperluan, kebutuhan seseorang atau sekelompok
orang. Sementara masyarakat adalah himpunan sekelompok anggota yang
mempunyai ikatan sosial, ekonomi, tujuan, cita-cita tertentu. Dalam kehidupan
bermasyarakat ada kepentingan individu atau golongan dan kepentingan bersama.
Kepentingan umum merupakan himpunan kepentingan pribadi yang sama dari
suatu masyarakat suatu wilayah.

Dengan demikian pelayanan masyarakat dapat diartikan sebagai suatu
roses pemenuhan kebutuhan masyarakat terutama yang berkaitan dengan
kepentingan umum dan kepentingan golongan atau individu dalam bentuk barang
dan jasa. Ada sepuluh dimensi karakteristik atau atribut yang harus diperhatikan
dalam perbaikan kualitas jasa pelayanan (Vincent Gospersz, 1977) adalah :(1)
kepastian waktu pelayanan (2) akurasi pelayanan (3) kesopanan dan keramahan
dalam memberikan pelayanan (4) tanggung jawab (5) kelengkapan (6) kemudahan
mendapatkan pelayanan (7) variasi model pelayanan (8) pelayanan pribadi (9)
kenyamanan dalam memperoleh pelayanan (10) atribut pendukung pelayanan.
Secara umum yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan menurut Levey
dan Loomba (1973) dalam azwar (1996), adalah setiap upaya yang
diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam sebuah organisasi untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan
penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok ataupun
masyarakat. Pelayanan kesehatan (Sujudi, 1997 : 11). Defenisi kesehatan yang
secara ekspansif dan mulai tertera dalam piagam Organisasi Kesehatan Dunia
adalah suatu keadaan yang menjamin adanya kesejahteraan jasmani, rohani, dan
social yang utuh. Dalam pengembangan strategi kesehatan dewasa ini telah
mengangkat isu utama yaitu peningkatan pelayanan kesehatan dasar, promosi,
proteksi kesehatan, lingkungan yang sehat, kesehatan keluarga serta perbaikan
akses pada pelayanan kesehatan seperti :
a. Mobilisasi tambahan sumber dana untuk kesehatan
b. Intensifikasi dan implementasi program kesehatan masyarakat dan
pelayanan kesehatan dasar secara integrative.

c. Perbaikan peralatan kesehatan
d. Memperbaiki kualitas dan akses terhadap air untuk minum termasuk
keamanan dan mutu produk makanan
e. Membangun pusat-pusat regional untuk pelayanan kesehatan masyarakat.
f. Memperluas pelayanan kesehatan masyarakat dengan sektor swasta (Tim
Crescent 2002 : 64).
Sementara itu pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Poskedes dan
polindes sekarang ini yang mendapat perhatian khusus diantaranya adalah
sebagai berikut :
a. Kesehatan Ibu dan anak : Adapun evaluasi program tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut :
1.

Memelihara kesehatan ibu hamil, bersalin dan menyusui, serta anakanak sekolah

2.

Mengamati perkembangan dan pertumbuhan anak-anak dibawah lima
tahun (balita)

3.

Memberi nasehat tentang makanan sehat untuk mencegah munculnya
gizi buruk dan memberi pengobatan kepada ibu dan anak-anak
sekolah

4.

Pencatatan dan pelaporan kelahiran dan kematian bayi

5.

Pembinaan anak-anak pada TK

6.

Pemberian imunisasi pada anak-anak (Data Program Kerja Bidan
Desa di kecamatan Aek Nabara Barumun Tahun 2013)

b. Program Keluarga berencana
Program keluarga berencana dimaksudkan untuk meningkatkan
kesehatan keluarga melalui kegiatan melembagakan keluarga kecil dan
sejahtera. Usaha-usaha yang telah dilaksanakan meliputi kegiatan sebagai
berikut :
1.

Memberikan arahan dan melayani penggunaan alat kontrasepsi,
seperti pil, suntik dan lain-lain

2.

Mengamati mereka yang menggunakan alat untuk mencegah
kehamilan dan mencegah efek samping yang mungkin timbul

3.

Memberikan pengarahan kepada generasi muda mengenai reproduksi
sehat guna bekal mereka berkeluarga.(Data Program Kerja Bidan
Desa di Kecamatan Aek Nabara Barumun Tahun 2013).

c. Poli Umum
Poli Umum adalah upaya pelayanan atau usaha yang diberikan oleh
Puskesmas untuk memberikan pertolongan langsung kepada pasien yang
ditangani langsung oleh dokter umum.
Pelayanan pada hakikatnya adalah serangkaian kegiatan, karena itu ia
merupakan sebagai proses pelayanan secara rutin dan berkesinambugan orang
dalam masyarakat.

“pelayanan merupakan untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya manusia berusaha, baik melalui aktivitas sendiri, meupun secara
langsung melalui aktivitas orang lain aktivitas adalah suatu proses penggunaan
akal, pikiran, panca indra dan anggota badan dengan atau tanpa alat bantu yang
dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan baik

dalam bentuk barang maupun jasa. Proses pemenuhan kebutuhan melalui
aktivitas orang lain yang secara langsung inilah yang dinamakan pelayanan”.
Timbulnya pelayanan dari orang lain kepada seseorang yang orang lain
tidak ada kepentingan langsung atas sesuatu yang orang lain tidak ada
kepentingan langsung atas sesuatu yang dilakukan karena faktor penyebab
yang bersifat ideal mendasar dan bersifat material adalah oraganisasi, yang
menimbulkan hak dan kewajiban, baik dalam maupun keluar. Hak dan
kewajiban kedalaman dapat disebut misalnya :
1.

Hak terdiri dari:
a. Hak mendapatkan perlakuan yang sama atas dasar aturan yang
adil dan jujur.
b. Hak atas penghasilan berdasarkan paraturan yang ada.
c. Hak menjalankan ibadah di tempat kerja.
d. Hak istirahat sesuai konfensi Interational Labour Organisation (ILO)

e. Hak perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja.
2.

Kewajiban :
a. Menyelesaikan tugas/pekerjaan yang dibebankan kepadanya
dalam waktu yang telah ditentukan.
b. Melayani keperluan orang yang berkepentingan, baik orang
dalam (sesama pegawai/karyawan) maupu orang lain bukan
pegawai/karyawan, dengan cara da sikap yang sama (sesuai
dengan norma umum dan upaya organisasi).
c. Mentaati aturan organisasi.

d. Bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan doktrin dan budaya
organisasi.
Adapun hak dan kewajiban keluar ditijukan kepada orang luar atau
masyarakat yang berkepentingan ialah :
1.

Hak terdiri dari : (1). Bertahan terhadap paksaan yang bersifat
penyimpangan dari aturan organisasi. (2). Melakukan tindakan
darurat dilapangan apabila diperlukan.

2.

Kewajiban, yaitu melayani keperluan orang atau masyarakat yang
mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan
pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.

Berdasarkan undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2009
tentang Pelayanan Publik. yang dimaksud dengan pelayanan public adalah
kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga
Negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administrative
yang dsediakan oleh penyelenggara pelayanan public.
“Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri
atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan

kesehatan

perorangan,

keluarga,

kelompok

dan

ataupun

masyarakat”. Levei dan Loamba (1973) dalam Abdurrahman (2012:49)
Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan
kesehatan masyarakat yang ditandai dengan cara pengorganisasian yang
umumnya secara bersama-sama dalam satu organisasi, tujuan utamanya untuk

memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit yang
sasaran utamanya untuk kelompok dan masyarakat.
Lingkungan

pelayanan

kesehatan

meliputi

sistem

pembiayaan

kesehatan, peraturan perundang – undangan, kebijakan pemerintah dalam
pelayanan kesehatan, kebijakan pembiayaan dan peraturan keuangan, serta
sistem regulasi kesehatan. Seluruh sistem yang berlaku di masyarakat sangat
berpengaruh terhadap sistem organisasi pelayanan kesehatan dan sistem mikro
pelayanan kesehatan.
Untuk

melakukan

perbaikan

mutu

pelayanan

kesehatan,

perlu

diperhatikan empat tingkat perubahan (Berwick, 2002 : 4), yaitu : 1.
Pengalaman pasien dan masyarakat 2. Sistem mikro pelayanan 3. Sistem
organisasi pelayanan kesehatan 4. Lingkungan pelayanan kesehatan
Pembangunan di bidang kesehatan sangat penting untuk melaksanakan
program, seperti program air bersih dan sanitasi, pelayanan klinik, dan
pengembangan Sumber Daya Manusia. Syarat pelayanan kesehatan yang baik
setidak-tidaknya dapat dibedakan atas 13 macam, yakni tersedia , menyeluruh,
terpadu, berkesinambungan , adil/merata, mandiri, wajar, efektif, efisien, serta
bermutu. Untuk dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu
banyak upaya yang dapat dilaksanakan. Upaya tersebut jika dilaksanakan
secara terarah dan terencana, dalam Ilmu administrasi kesehatan dikenal
dengan nama Program Menjaga Mutu (Quality Assurance Program).
2.1.2. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah merupakan suatu kebebasan pemerintah daerah untuk
mengatur daerahnya sesuai dengan potensi daerah yang dimilikinya, seperti

halnya dikemukakan dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
memberi definisi bahwa “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan atauran dan perundangundangan”.
Selain itu, otonomi memiliki tujuan untuk lebih meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, berkeadilan
pemerataan dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta
antara daerah. Dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan
UU No 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dan pemerintahan daerah yang sebelumnya menjadi landasan otonomi tersebut
dijelaskan, lebih jauh bagaimana pengablikasihan hal-hal tersebut melalui
beberapa Peraturan Pemerintah (PP), yang kemudian di perkuat dengan
Kepmendagri

No.

29

Tahun

2002

tentang

pedoman

pengurusan,

pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah serta tata cara penyusunan
anggaran pendapatan dan belanja daerah, pelaksanaan tata usaha keuangan daerah
dan penyusunan perhitungan anggaran pendapatan dan belanja daerah, yang
sekarang sudah diganti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun
2006 tentang pengelolahan keuangan daerah.
Sedangkan desentralisasi menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan

Daerah

“adalah

penyerahan

wewenang

pemerintah

oleh

pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Desentralisasi
memberi langkah strategis dalam penentuan fiskal bagi pemerintah daerah.

“Desentralisasi fiskal adalah pendelegasian tanggung jawab dan pembagian
kekuasaan dan kewenangan untuk pengambil keputusan dibidang fiskal yang
meliputi aspek penerimaan dan aspek pengeluaran” (Litvack dan Seddon dalam
Iklil, 2009 :13).
Hakekat otonomi daerah adalah adanya kewenangan yang lebih berdasar
dalam

pengurusan

maupun

pengelolahan

daerah

termasuk

didalamnya

pengelolahan keuangan. Mardiasmo (2002) memberikan pendapat bahwa dalam
era otonomi daerah tidak lagi sekedar menjalankan intruksi dari pusat, tetapi
benar-benar mempunyai keleluasaan untuk meningkatkan kreativitas dalam
mengembangkan potensi yang selama era otonomi bisa dikatakan terpasung.
Pemerintah daerah diharapkan semakin mandiri dan mengurangi ketergantungan
terhadap pemerintahan pusat, bukan hanya terkait dengan pembiayaan, tetapi juga
terkait dengan (kemampuan) pengelolahan daerah. terkait dengan hal itu
pemerintah daerah diharapkan semakin mendekatkan diri dalam berbagai kegiatan
pelayanan publik guna meningkatkan tingkat kepercayaan publik. Seiring dengan
semakin tingginya tingkat kepercayaan, diharapkan tingkat partisipasi (dukungan)
publik terhadap pemerintah daerah juga semakin tinggi.
2.1.3. Kebijakan Otonomi Daerah
Salah satu fenomena paling menonjol dari hubungan antara sistem
pemerintah daerah dengan pembangunan adalah ketergantungan daerah yang
sangat tinggi terhadap pemerintah pusat. Ketergantungan ini terlihat jelas dari
aspek keuangan. Daerah kehilangan keleluasaan bertindak (local discretion) untuk
mengambil keputusan-keputusan penting dan adanya campur tangan pemerintah
pusat yang tinggi terhadap daerah.

Menurut Allen (dalam Kuncoro, 2004: 3), tumbuhnya perhatian terhadap
desentralisasi tidak hanya dikaitkan dengan gagalnya perencanaan terpusat dan
populernya strategi pertumbuhan dengan pemerataan (growth with equity), tetapi
juga adanya kesadaran bahwa pembangunan adalah suatu proses yang kompleks
dan penuh ketidakpastian yang tidak dapat dengan mudah dikendalikan dan
direncanakan dari pusat. Karena itu dengan penuh keyakinan para pelopor
desentralisasi mengajukan sederetan panjang alasan dan argumen tentang
pentingnya desentralisasi dalam perencanaan dan administrasi dunia ketiga.
Mardiasmo (2002: 97) mengatakan, berdasarkan pengamatan dan analisis para
pakar diperoleh kesimpulan bahwa, sesungguhnya tuntutan yang mendesak dalam
perluasan otonomi ada tiga pokok permasalahan. Pertama, sharing of power;
kedua, distribution of income; ketiga, kemandirian sistem manajemen di daerah.
Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan
bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih
baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih
demokratis. Pilihan terhadap desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang
kuat, baik secara teoritis maupun secara empiris. Penyelenggaraan desentralisasi
mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dengan daerah
otonom.
Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran
bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya dan tetap
menjadi kewenangan pemerintah. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut
terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan. Menurut
Sidik et.al (2004: 9), desentralisasi tidak berarti memberikan kewenangan penuh

tanpa batas kepada pemerintah daerah, yaitu pemerintah pusat pada tingkat
terakhir yang bertanggung jawab atas penyediaan pelayanan kepada masyarakat.
Mardiasmo (2002: 97) mengatakan, pemberian otonomi hendaknya jangan
sekedar jargon politik semata sebagaimana pada masa-masa sebelumnya. Ketidak
seriusan pemerintah dalam memberikan otonomi dapat menimbulkan efek negatif
yang lebih parah lagi karena masyarakat sudah terlalu lama menunggu. Tim
Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2008: 60) menegaskan,
desentralisasi sendiri tidak boleh dianggap selesai, bahkan apabila urusan
pembagian kewenangan dan keuangan antardaerah sudah dianggap beres.
Keberhasilan desentralisasi harus diukur dari kemampuan pemerintah daerah yang
lebih mandiri dalam menyejahterakan masyarakat lokal sekaligus menjamin hakhak politiknya.
2.1.3.1. Prinsip good governance
Selama beberapa tahun belakangan ini Good Governance pemerintahan
yang baik marak dibicarakan sebagai solusi usaha penyesuaian terhadap
perubahan. Mengingat gelombang perubahan yang dihadapi oleh pemerintah pada
masa yang akan datang akan semakin kompleks, baik itu dari tekanan eksternal
maupun dari internal masyarakatnya. Selain sebagai cara yang dinilai ampuh,
good governance akhirnya berkembang sebagai tuntutan masyarakat yang
semakin cerdas dan kritis untuk dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan
kebijakan publik. Sistem ini diyakini dapat mengatasi makin kompleksnya faktorfaktor yang mempengaruhi pengambilan kebijakan tersebut, antara lain didukung
oleh sifatnya yang fleksibel yaitu dapat diterapkan di semua level pemerintahan
dalam suatu negara. Terdapat beberapa rumusan prinsip Good Governance yang

disusun oleh lembaga-lembaga yang berbeda di seluruh dunia, antara lain United
Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific pada tahun
2004, UNDP, World Bank, dan pemerintah Indonesia sendiri. Tetapi secara umum
semua prinsip tersebut mengemukakan pertimbangan yang sama mengenai faktorfaktor dominan yang berpengaruh dan terkait dalam urusan publik. Prinsip-prinsip
Good Governance menurut UNDP adalah :
1). Participation/Partisipasi
Keterlibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik, baik seara
langsung maupun tidak langsung. Partisipasi merupakan sistem timbal balik yang
tidak hanya membutuhkan aksi dari masyarakat tetapi juga memerlukan reaksi
dari pemerintah atau pejabat berwenang.
2). Rule of Law/Aturan Main
Penegakan hukum yang telah ditetapkan dan berlaku di daerah yang
bersangkuta secara obyektif. Perwujudan prinsip ini memerlukan kedisiplinan
masyarakat dan penegak hukum serta pemerintah itu sendiri.
3). Transparency/Transparansi
Transparansi berhubungan dengan kemudahan dalam memperoleh
informasi

perencanaan

maupun

kebijakan

publik,

proses

pengambilan

keputusannya dan dasar pertimbangannya. Transparansi dapat berjalan apabila
terdapat kejujuran dan kesesuaian tujuan untuk kesejahteraan masyarakat tanpa
sisipan kepentingan kelompok.
4). Responsiveness/Tanggap

Seiring dengan makin maraknya perubahan di segala bidang, maka
pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik harus cepat dan tepat dalam
menanggapi perubahan tersebut.
5). Consensus orientation/Orientasi Konsensus
Semua keputusan yang diambil berorientasi kepada kepentingan
masyarakat yang lebih luas, dan sedapat mungkin mengusahakan terbentuknya
konsensus dalam masyarakat.
6). Equity/Hak akan keadilan
Kesamaan dalam hal kesempatan dalam memperoleh kesejahteraan dan
keadilan bagi masyarakat. Dalam prakteknya, diharapkan tidak ada lagi
kecenderungan keberpihakan pada pihak atau golongan tertentu.
7). Efficiency and effectiveness/efisiensi dan efektif
Efisien dan efektif dalam hal penggunaan sumber daya dalam
pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat.
8). Accountability/akuntabilitas
Tuntutan pertanggungjawaban atas setiap kegiatan yang dilakukan untuk
kepentingan publik menjadi penting bagi berlangsungnya sistem pemerintahan
yang baik berdasarkan kepercayaan.
9). Strategic vision/strategi pandangan ke depan
Orientasi pemerintah dan masyarakat terhadap visi jangka panjang, tidak
hanya tujuan jangka pendek yang sesaat.
2.1.3.1.1. Konsep reinventing government

Konsep reinventing government/pembaharuan pemerintah ini diajukan
oleh Osborne dan Gaebler (1992) dengan perspektif baru mengenai pemerintah
yakni :
1. Pemerintah Katalis
Fokus pada pemberian pengarahan bukan pada produksi pelayanan publik.
Pemerintah sebaiknya memfokuskan diri pada pemberian pengarahan sedangkan
produksi pelayanan publik diserahkan pada pihak swasta dan/atau sektor pihak
ketiga (lembaga swadaya masyarakat dan non profit lainnya).
2. Pemerintah Milik Rakyat
Memberi wewenang pada masyarakat daripada melayani. Pemerintah
daerah sebaiknya memberi wewenang kepada masyarakat sehingga mereka
mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri (community
self-help).
3. Pemerintah yang Kompetitif
Menyuntikkan semangat kompetitif dalam pemberian pelayanan publik.
Kompetisi adalah satu-satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus
meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik
yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya.
4. Pemerintah yang Digerakkan Oleh Misi
Mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi
yang digerakkan oleh misi. Apa yang dapat dan tidak dapat dilaksanakan oleh
pemerintah daerah diatur dalam mandatnya. Namun tujuan pemerintah daerah
bukanlah mandatnya, tetapi misinya.
5. Pemerintah yang Berorientasi Hasil

Membiayai hasil bukan masukan. Pemerintah daerah wirausaha/marketing
local overnment berusaha untuk membiayai hasil dan bukan masukan. Pemerintah
daerah wirausaha akan mengembangkan suatu standar kinerja yang mengukur
seberapa baik suatu unit kerja mampu memecahkan permasalahan yang menjadi
tanggung jawabnya. Semakin baik kinerjanya, semakin baik pula dana yang akan
dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah dikeluarkan oleh unit kerja
itu.
6. Pemerintah berorientasi pada pelanggan
Pemerintah yang berfokus terhadap pelanggan (masyarakat).
7. Pemerintah Wirausaha
Mampu memberikan pendapatan dan tidak sekedar membelanjakan.
Pemerintah daerah wirausaha dapat mengembangkan pusat-pusat pendapatan
salah satunya dari proses penyediaan pelayanan publik.
8. Pemerintah Antisipatif
Berupaya mencegah daripada mengobati. Pemerintah daerah wirausaha
tidak reaktif tapi proaktif. Pemerintah daerah wirausaha tidak hanya mencoba
untuk mencegah, tetapi juga berupaya keras untuk mengantisipasi masa depan.
9. Pemerintah Desentralisasi
Dari hirarki menuju partisipatif dan tim kerja. Pengambilan keputusan
digeser ke tangan masyarakat, asosiasi, LSM, dan lain-lain.
10. Pemerintah Berorientasi pada mekanisme pasar
Mengadakan perubahan dengan mekanisme pasar (sistem insentif) dan
bukan dengan mekanisme administratif (sistem prosedur dan pemaksaan). Dalam
mekanisme administratif, pemerintah daerah tradisional menggunakan perintah

dan pengendalian, mengeluarkan prosedur dan definisi baku dan kemudian
memerintahkan orang untuk melaksanakannya (sesuai dengan prosedur tersebut).
Dalam

mekanisme

pasar,

pemerintah

daerah

wirausaha

tidak

memerintahkan dan mengawasi tetapi mengembangkan dan menggunakan sistem
insentif agar orang tidak melakukan kegiatan yang merugikan masyarakat.
Konsep reinventing government muncul sebagai kritik atas kinerja pemerintah
selama ini dan sebagai antisipasi atas berbagai perubahan yang akan terjadi.
Konsep reinventing government harus diikuti oleh perubahan-perubahan lain
seperti

dilakukannya

bereaucracy

reengineering/menumbuhkan

keahlian

birokrasi, rightsizing, dan perbaikan mekanisme reward and punisment/hukuman
dan penghargaan. Penerapan konsep reinventing government membutuhkan arah
yang jelas dan political will/kemauan politik yang kuat dari pemerintah dan
dukungan dari masyarakat. Selain itu, yang terpenting adalah adanya perubahan
pola pikir dan mentalitas baru di tubuh birokrasi pemerintah itu sendiri karena
sebaik apapun konsep yang ditawarkan jika semangat dan mentalitas
penyelenggara pemerintahan masih menggunakan paradigma lama, konsep
tersebut hanya akan menjadi slogan tanpa ada perubahan.
2.1.3.2. Sumber pendapatan pemerintah daerah
Pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang
bersangkutan. Pembentukan undang-undang tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk
mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada pemerintahan daerah.
Pendanaan tersebut menganut prinsip money follows function, yang mengandung

makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban
dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan.
Kadjatmiko (dalam Halim, 2007: 194) mengatakan, dalam rangka
penyelenggaraan

pemerintahan

dan

pelayanan

kepada

masyarakat

yang

didasarkan pada azas desentralisasi, daerah diberikan kewenangan untuk
memungut pajak dan retribusi (tax assignment) serta bantuan keuangan (grant
transfer) atau dikenal dengan dana perimbangan. Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah, Pasal 5 ayat 2 menjelaskan, Pendapatan daerah bersumber
dari: 1) Pendapatan Asli Daerah; 2) Dana Perimbangan; dan 3) Lain-lain
Pendapatan Daerah Yang Sah.
Upaya-upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan pendapatan
daerah diantaranya :
1.

Mengkaji, menilai sumber-sumber potensi pajak / retribusi yang baru.

2.

Upaya koordinasi dengan pihak lain, baik itu dengan pihak badan usaha
swasta untuk dapat memperhatikan daerah dalam pemenuhan kewajiban
pajak / retribusi daerah.

3.

Menjalin koordinasi dengan Badan Usaha Milik Negara maupun Badan
Usaha Milik Daerah untuk bekerjasama dalam pemungutan pajak/retribusi
seperti PT.PLN.

4.

Menjalin kerjasama yang bersinergi dan berkoordinasi dengan pemerintah
propinsi dalam pembagian hasil dan pemerintah pusat dalam hal penerimaan
pusat dari daerah untuk dikembali kedaerah.

2.1.3.3. Pendapatan asli daerah
Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang
diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan (UU Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1, ayat 18).
SumberPendapatan Asli Daerah, diperoleh dari: a) Pajak Daerah; b) Retribusi
Daerah; c) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan d) Lain-lain
PAD yang sah. Pendapatan Asli Daerah bertujuan memberikan kewenangan
kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai
dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi. Sidik et.al (2004: 77)
menegaskan, secara utuh desentralisasi fiskal mengandung pengertian bahwa
untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata, dan
bertanggung jawab, kepada daerah diberikan kewenangan untuk memberdayakan
sumber keuangan sendiri dandidukung dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah. Kewenangan untuk memberdayakan sumber keuangan sendiri dilakukan
dalam wadah PAD yang sumberutamanya adalah pajak daerah dan retribusi
daerah. Idealnya suatu perimbangan keuangan pusat dan daerah terjadi apabila
setiap tingkat pemerintahan independen dalam bidang keuangan untuk membiayai
pelaksanaan tugas dan wewenang masing-masing.
Artinya PAD menjadi sumber pendapatan utama atau dominan, sementara
subsidi atau transfer dari tingkat pemerintah pusat merupakan sumber penerimaan
pendukung atau tambahan yang peranannya tidak dominan. PAD merupakan salah
satu sumber pembiayaan pemerintahan daerah yang peranannya sangat tergantung
kemampuan dan kemauan daerah dalam menggali potensi yang ada di daerah.

Menurut Kaho (2007: 136), salah satu kriteria penting untuk mengetahui
secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya
adalah self supporting dalam bidang keuangan. Faktor keuangan merupakan
faktor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan
otonomi daerahnya.
Menurut Halim (2007: 1997), pemerintah daerah menghadapi dilema, di
satu sisi mereka harus meningkatkan terus jumlah PAD-nya untuk mengimbangi
semakin meningkatnya kebutuhan biaya penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan, di sisi lain potensi di daerah yang bisa dijadikan sebagai sumber
pendapatan daerah relatif kecil. Sidik et.al (2004: 77) juga mengatakan, sebagai
rangkaian dari pengalihan kewenangan sebagai wujud pelaksanaan otonomi
daerah, dukungan pembiayaan yang memadai akan menjadi syarat utama guna
mencapai hasil optimal.
Ketergantungan yang tinggi terhadap penerimaan dari pemerintah pusat
disatu sisi dan rendahnya peranan PAD dalam penerimaan daerah di satu sisi
membawa konsekuensi terhadap rendahnya kemampuan PAD dalam membiayai
pengeluaran daerah. Kondisi ini tentu saja sangat menyulitkan pemerintah daerah
untuk melaksanakan otonomi secara nyata. Tim Asistensi Menteri Keuangan
Bidang Desentralisasi Fiskal (2008: 44) menjelaskan, rendahnya penerimaan
pajak dan retribusi daerah ditunjukkan oleh data tahun 2001 sampai dengan tahun
2005 bahwa kontribusi PAD terhadap APBD hanya kurang dari 10%. Peranan
PAD yang relatif kecil menyebabkan penerimaan pemerintah daerah baik secara
langsung maupun tidak langsung sangat tergantung pada transfer dari pemerintah
pusat.

Menurut Kuncoro (2004: 13), setidaknya ada lima penyebab utama
rendahnya PAD yang pada gilirannya menyebabkan tingginya ketergantungan
terhadap subsidi dari pusat, yaitu: 1) kurang berperannya perusahaan daerah
sebagai sumber pendapatan daerah; 2) tingginya derajat sentralisasi dalam bidang
perpajakan. Semua pajak utama yang paling produktif dan buoyant baik pajak
langsung dan tak langsung, ditarik oleh pusat; 3) kendati pajak daerah cukup
beragam ternyata hanyasedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan;
4) bersifat politis, adanyakekhawatiran apabila daerah mempunyai sumber
keuangan yang tinggi maka adakecendrungan terjadi disintegrasi dan separatisme;
5) kelemahan dalam pemberiansubsidi dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah. Sidik et.al (2004: 75)mengatakan, selama ini rendahnya PAD dalam
struktur penerimaan daerahdisebabkan karena sumber-sumber yang masuk dalam
ketagori PAD umumnya bukanmerupakan sumber potensial bagi daerah. Sumbersumber potensial di daerah sudahdiambil sebagai sumber penerimaan pemerintah
pusat, sehingga yang tersisa didaerah hanya sumber-sumber penerimaan yang
kurang potensial. Dalam hal yangsamaKumorotomo (2008: 364) mengatakan,
karena

pajak-pajak

yang

memberi

hasiltinggi

tidak

didesentralisasikan,

kontinuitas kebijakan yang lain ialah bahwaketergantungan daerah kepada
bantuan pemerintah pusat masih tetap tinggi sepertiditunjukkan oleh besarnya
persentase DAU di dalam anggaran pemerintah daerah.
Sedangkan Bird dan Vaillancourt (2000: 165) berpendapat, sentralisasi
perpajakanjuga didorong oleh tujuan untuk mengurangi kesenjangan antar daerah
akibatperbedaan pada besarnya sumber-sumber pajak. Walaupun tujuan-tujuan ini
cukupberalasan dan penting, perlu juga untuk mempertimbangkan upaya-

upayamemperluas pilihan-pilihan pajakdaerah, yang sesuai dengan tujuan-tujuan
tersebut.Sistem perpajakan yang sangatsentralistis ini merupakan alasan mengapa
pemerintah daerah tidak dapat melakukan pembiayaan sendiri, dan demikian
kecilnya porsipenerimaan sendiri dalam struktur pengeluaran mereka. Sidik et.al
(2004: 79) menegaskan, ketimpangan perbandingan antara PAD sebagai
pendapatan lokal dengan pendapatan luar daerah berupa dana perimbangan
sebagai transfer dari pusat dalam komponen pendapatan APBD menjadi masalah
yang kritis. Jika pemerintah daerah terjebak untuk segera meningkatkan PAD
secara drastis maka upaya peningkatan pajak daerah dan retribusi daerah menjadi
pilihan, dan hal tersebut berarti akan mengurangi peluang daerah untuk meraih
investasi dan semakin menambah beban masyarakat dan para investor. Namun,
apabila pemerintah daerah terlambat untuk meningkatkan PAD maka semakin
jauh harapan kemandirian daerah akan tercapai.
Menurut

Mardiasmo

(2004:

146),

pemerintah

diharapkan

dapat

meningkatkan PAD untuk mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari
pusat, sehingga meningkatkan otonomi dan keleluasaan daerah (local discretion).
2.1.3.4. Pengelolaan pendapatan belanja daerah
Sumber pendapat daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah
(PAD), Dana perimbangan, dan lain-lain pendapat sah. Pengelolahan pendapatan
daerah

untuk

meningkatkan

kapasitas

fiskal

daerah

dengan

tujuan

memaksimalkan penyelenggaraan pemerintah daerah dalam rangka pelayanan
kepada masyarakat.
Kebijakan pengelolaan pendapatan daerah harus dilakukan secara
cermat dan hati-hati sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Upaya untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah (fiscal capacity) tidak hanya
dilakukan dalam rangka peningkatan PAD, namun juga harus melihat dampaknya
terhadap kegiatan ekonomi masyarakat secara menyeluruh. Artinya, peningkatan
PAD tidak boleh memiliki dampak langsung terhadap penurunan pendapat
kelompok masyarakat tertentu. Dimana peningkatan kapasitas fiskal juga harus
mempertimbangkan tata kelola (governance) tentang keuangan daerah, karena
peningkatan anggaran yang besar juga tidak dikelolah dengan baik justru akan
menimbulkan masalah, sehingga arah pengelolaan pendapatan daerah tidak
teroptimalisasi fungsi anggaran yang meliputi fungsi perencanaan, distribusi dan
stabilisasi.
Diketahui pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan
daerah dalam melaksanakan fungsi pelayanan dasar publik masih banyak
tergantung pada penerimaan dana perimbangan yang terdiri dari atas DAU, DAK
dan Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak. Sementara dengan adanya otonomi
daerah diharapkan dapat memacu daerah menuju ketingkat kemampuan keuangan
yang lebih baik untuk meningkatkan kapasitas fiskal dan berkurangnya celah
fiskal dari tahun ketahun. Perlu dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan
kapasitas fiskal dengan mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan daerah yang
merupakan komponen kapasitas fiskal daerah. ada beberapa strategi yang
dilakukan untuk menutupi terjadinya kesenjangan fiskal adalah sebagai berikut :
1. Mengadakan kajian kemungkinan meningkatnya pendapatan melalui
pajak dan retribusi.
2. Menaikkan pendapatan dari pajak dan retribusi daerah melalui
revitalisasi tarif, perluasan objek, objek pajak dan retribusi.

3. Mengoptimalkan penerimaan dana bagi hasil dari perusahaan yang ada
di wilayah Kabupaten Padang Lawas seperti bagi hasil pajak, dan
bukan pajak (PPh Perorangan, PKB-BBNKB, BPBBKB, BPHTP, dn
PBB).
4. Melakukan perbaikan administrasi penerimaan pendapatan dan belanja
daerah secara transparansi dan akuntabel guna menghindari terjadinya
prilaku korupsi.
Disamping itu kebijakan umum belanja daerah diprioritaskan untuk
menunjang efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing satuan kerja
perangkat daerah serta untuk memenuhi kebutuhan anggaran sesuai dengan
prioritas yang ditetapkan dengan memperimbangkan keberhasilan pembangunan
yang telah dicapai pada tahun sebelumnya serta permasalahan dan tantangan yang
akan dihadapi, maka pada tahun 2010 kebijakan yang dilaksanakan oleh
pemerintah Kabupaten Padang Lawas dalam meningkatkan pembangunan melalui
peningkatan belanja diprioritaskan untuk :
1. Revitalisasi pertanian dan kehutanan
2. Peningkatan kualitas kesehatan dan pendidikan
3. Peningkatan kualitas pelayanan publik
4. Peningkatan pendapatan daerah
5. Peningkatan keamanan dan ketertiban.
Realisasi belanja dari target yang dimaksud tersebut masih belum
makasimal terlaksana melihat dari anggaran belanja pegawai sebesar Rp.
272.309.618.544,- dengan realisasi Rp 256.151.176.765,- atau 94.07 % dari biaya
belanja operasional. Hal ini terlihat masih tetap memprioritaskan kebutuhan

belanja pegawai ketimbang keperluan untuk bidang kesehatan yang cuman
menerima anggaran sebesar Rp 20.801.506.492,- yang dapat direalisasikan dari
pengajuan anggaran sebesar 15.640.390.171,-. (LKPJ Padanglawas, 2010)
Sementara permasalahan yang dihadapi dalam bidang belanja daerah sangat
banyak, terutama Kabupaten Padang Lawas yang baru mekar memerlukan fasilitas dan
infrastruktur yang banyak. Sehingga banyak meresap keperluan belanja yang harus
ditampung. Dan apabila realisasi anggaran tidak tepat sasaran yang pasti tidak terjadi
pembangunan yang signifikan. Namun yang terjadi penghamburan keuangan negara
dengan pengeluaran yang kurang bermanfaat bagi masyarakat. Ini juga dikarenakan
disaat penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang tidak memiliki
berpedoman pada agenda yang di prioritaskan. Melainkan suatu wujud dalam
kepentingan antara pihak eksekutif dan legeslatif. Akhirnya realisasi anggaran untuk
pembangunan terjadi kemacetan. Bahkan menjadi alasan karena banyaknya usulan yang
diajukan sementara kemampuan dana yang tersedia terbatas. Hal seperti ini selalu
menjadi alasan bagi pelaksana pemerintahan. Padahal untuk merealisasikan anggaran
yang tepat harus berprinsip tegas dan tetap pada visi dan misi yang terjantum dalam
prioritas pembangunan yang sudah di agendakan.