Analisis Tingkat Kemiskinan Rumah Tangga di Kota Padangsidempuan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori
2.1.1 Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk
menjamin kelangsungan hidup. Prastyo (2010) menyatakan bahwa kemiskinan
adalah suatu intergrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1)
kemiskinan (proper ), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi
situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5)
keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Kemiskinan
adalah kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan
untuk mencapai suatu standar hidup yang layak.
Berdasarkan Perpres Nomor 7 Tahun 2005 tentang RPJMN, kemiskinan
terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang, baik laki-laki dan perempuan,
tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan
kehidupan yang bermartabat. Menurut Ridlo (2001) definisi ini beranjak dari
pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin mempunyai
hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Ketidaksamaan
kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuatan sosial yang meliputi: aset,
sumber-sumber keuangan, organisasi dan jaringan sosial, pengetahuan dan

informasi untuk memperoleh pekerjaan menjadikan seseorang menjadi miskin.
Menurut Effendi (1995) kemiskinan dapat ditinjau dari tinjauan ekonomi,
sosial dan politik. Secara ekonomi kemiskinan adalah kekurangan sumber daya
yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan. Secara sosial

8
Universitas Sumatera Utara

9

kemiskinan diartikan kekurangan jaringan sosial dan struktur untuk mendapatkan
kesempatan-kesempatan meningkatkan produktivitas. Sedangkan secara politik
kemiskinan diartikan kekurangan akses terhadap kekuasaan.
Sedangkan Nugroho dan Dahuri (2004) menyatakan bahwa dari aspek
ekonomi, kemiskinan merupakan kesenjangan antara lemahnya daya pembelian
(positif) dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan dasar (normatif). Dari aspek
sosial, kemiskinan mengindikasikan potensi perkembangan masyarakat yang
rendah. Sedangkan dari aspek politik, kemiskinan berhubungan dengan rendahnya
kemandirian masyarakat.
Kemiskinan didefinisikan sebagai standar hidup yang rendah, yaitu adanya

suatu tingkat kekurangan materi dibandingkan dengan standar kehidupan yang
umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Secara ekonomis,
kemiskinan juga dapat diartikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kesejehtaraan sekelompok orang. Kemiskinan
memberi gambaran situasi serba kekurangan seperti terbatasnya modal yang
dimiliki, rendahnya pengetahuan dan keterampilan, rendahnya produktivitas,
rendahnya pendapatan, lemahnya nilai tukar hasil produksi orang miskin dan
terbatasnya kesempatan berperan serta dalam pembangunan.
Suharto (2005) memaknai kemiskinan sebagai konsep dan fenomena yang
multidimensional. Dengan menyampaikan beberapa ciri kemiskinan : 1) mereka
tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dasar; 2) ketiadaan akses terhadap
kebutuhan dasar lainnya; 3) ketiadaan jaminan masa depan; 4) kerentanan
terhadap goncangan yang bersifat individu dan masal; 5) rendahnya kualitas SDM

Universitas Sumatera Utara

10

dan keterbatasan sumber daya alam; 6) ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial
masyarakat; 7) ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian

yang berkesinambungan; 8) ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik
atau mental; 9) ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial.
Dari beberapa definisi di atas inti permasalahan kemiskinan adalah ukuran
standar minimum kebutuhan dasar. Menentukan ukuran standar minimum tersebut
tergantung dari pendekatan mana yang digunakan. Secara umum pendekatan yang
dapat digunakan dibagi menjadi dua, yaitu pendekatan obyektif dan pendekatan
subyektif (Rejekiningsih, 2011). Dalam pendekatan obyektif, standar minimum
kebutuhan dasar ditentukan berdasarkan studi lapangan yang dilakukan oleh pihak
lain, baik itu para ahli, lembaga sosial maupun lembaga pemerintah. Sedangkan
untuk pendekatan subyektif, ukuran standar minimum kebutuhan dasar diukur dari
pendapat orang miskin itu sendiri, hal ini terjadi ketika orang miskin tersebut
membandingkan diri dengan orang yang memiliki tingkat kesejahteraan lebih
tinggi di lingkungan sekitarnya.
2.1.2 Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan menurut Sharp et. all. dalam Kuncoro (2010), dari sudut
pandang ekonomi disebabkan antara lain; Pertama, karena adanya perbedaan pola
kepemilikan sumberdaya sehingga terjadi ketimpangan dalam distribusi
pendapatan. Dan penduduk dikatakan miskin karena memiliki sumber daya yang
hanya terbatas dengan kualitas rendah. Kedua, karena kualitas sumber daya
manusianya berbeda. Kualitas sumber daya manusia yang rendah menyebabkan

produktuvitas rendah, sehingga mereka bekerja dengan upah rendah. Rendahnya
kualitas sumber daya manusia karena pendidikan rendah atau karena keturunan,

Universitas Sumatera Utara

11

atau nasib yang tidak beruntung atau adanya diskriminasi. Dan ketiga, karena
adanya perbedaan mendapatkan kemudahan dalam memperoleh modal.
Dari sebab kemiskinan yang dikemukakan, muaranya ada pada teori
lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty) sebagaimana yang
dikatakan oleh Ragnar Nurkse dalam Kuncoro (2010), “a poor country is poor
because it is poor ”, dengan kata lain negara miskin itu disebabkan dia miskin.

Modal yang terbatas dengan pasar yang tidak sempurna serta adanya
keterbelakangan, menyebabkan produktivitas rendah. Produktivitas rendah
menyebabkan upah yang diterima rendah. Upah atau pendapatan rendah akan
berakibat langsung terhadap rendahnya konsumsi, tabungan maupun investasi.
Rendahnya


investasi

berdampak

kembali

pada

keadaan

awal

seperti

keterbelakangan dan seterusnya, sehingga jika digambarkan akan membentuk
suatu lingkaran. Inilah yang disebut lingkaran setan kemiskinan ( vicious circle
poverty).

2.1.3 Konsep Kemiskinan
Sebelum tahun 1993 seseorang dikategorikan miskin apabila total

pengeluaran yang dibutuhkan untuk pembelian makanan senilai 2100 kalori per
kapita per hari. Ini merupakan garis batas kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS.
Sejak 1993, Indonesia telah mengadopsi basic needs approach yang terdiri dari
pengeluaran untuk makanan dan non-makanan. Pada tahun 1996 BPS
memperbaharui metode penghitungan garis kemiskinan untuk memasukkan
komponen pengeluaran bukan makanan secara lebih memadai.
Kemiskinan memiliki pengertian yang berbeda antar daerah dan waktu.
Hal ini berarti masalah kemiskinan merupakan masalah multidimensi. Kemiskinan

Universitas Sumatera Utara

12

tidak hanya berbicara masalah pendapatan yang rendah, tetapi juga menyangkut
masalah perumahan yang buruk, rendahnya pembangunan manusia ( human
development) dalam hal pendidikan dan kesehatan, ketiadaan akses pada aset-aset

produktif, ketakutan akan masa depan, dan lain-lain.
Dalam memahami kemiskinan dapat ditinjau dari beberapa pendekatan.
Pertama, pendekatan pendapatan (income approach) dimana seseorang disebut

miskin jika pendapatan dan konsumsinya berada di bawah tingkat tertentu yaitu
tingkat pendapatan dan pengeluaran minimal yang layak secara sosial. Kedua,
pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach ), yang mana seseorang
disebut miskin jika tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makanan,
sandang, papan, sekolah dasar, dan lain-lain. Ketiga, pendekatan aksesibilitas
dimana seseorang miskin karena kurangnya akses terhadap aset produktif, akses
terhadap infrastruktur sosial dan fisik, akses terhadap informasi, akses terhadap
pasar, dan akses terhadap teknologi. Keempat, pendekatan kemampuan manusia
(human capability approach ) dimana seseorang disebut miskin jika tidak
memiliki kemampuan yang dapat berfungsi pada tingkat minimal. Kelima,
pendekatan ketimpangan (inequality approach ) yang merupakan pendekatan
kemiskinan relatif. Kemiskinan relatif yaitu suatu ukuran mengenai kesenjangan
di dalam distribusi pendapatan (proporsi dari tingkat pendapatan rata-rata).
Semua negara telah mengukur kemiskinan yang terjadi dengan berbagai
metode dan pendekatan yang berbeda-beda. Bank Dunia juga menetapkan standar
pendapatan US $ 1,- sebagai garis batas kemiskinan. Bank Dunia setiap tahun
dalam laporannya mengeluarkan Human Development Index (IPM, Indeks

Universitas Sumatera Utara


13

Pembangunan Manusia) dengan komponen antara lain tingkat harapan hidup,
tingkat melek huruf penduduk dewasa, tingkat penyelesaian studi pada sekolah
dasar dan menengah, dan PDB riil per kapita. UNDP juga secara rutin
mempublikasikan angka indeks yang mengukur kemiskinan yaitu the Human
Poverty Index (IKM, Indeks Kemiskinan Manusia).

Indeks ini terdiri dari tiga komponen dasar yaitu longevity; menghitung
persentase penduduk yang meninggal sebelum berusia 40 tahun. Kedua adalah
literacy; persentase penduduk dewasa yang melek huruf. Ketiga adalah living
standard yang merupakan kombinasi dari persentase penduduk yang memiliki
akses yang cepat pada layanan kesehatan, persentase penduduk yang memiliki
akses air bersih dan sehat, dan persentase balita kurang gizi. Menurut Sajogyo
(1986),

untuk

mengkategorikan


penduduk

miskin,

tidak

cukup

hanya

menggunakan satu garis kemiskinan saja. Tiga garis yang harus digunakan adalah:
melarat (destitute ), miskin sekali (very poor ) dan miskin (poor ). Di desa pada
tingkat 180 Kg dikategorikan melarat, 240 Kg dikategorikan miskin sekali dan
320 Kg setara beras per orang per tahun dikategorikan miskin. Untuk di kota,
setara 270 Kg, 360 Kg dan 480 Kg setara beras per orang per tahun.
Korelasi antara pertumbuhan dan kemiskinan tidak berbeda dengan
hubungan pertumbuhan dan kesenjangan. Menurut Simon Kuznets, hubungan
antara pendapatan dan tingkat pendapatan per kapita berbentuk U terbalik.
Demikian juga dengan hubungan antara kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi.
Hasil ini diinterpretasikan sebagai evolusi dari distribusi pendapatan dalam proses


Universitas Sumatera Utara

14

transisi dari suatu ekonomi perdesaan (rural) atau ekonomi tradisional ke suatu
ekonomi perkotaan (urban) atau ekonomi industri.
Hipotesis Kuznets menjelaskan bahwa pada awal proses pembangunan,
ketimpangan dalam distribusi pendapatan meningkat sebagai akibat dari proses
urbanisasi dan industrialisasi dan pada akhir proses pembangunan ketimpangan
menurun, yakni pada saat sektor industri di daerah perkotaan sudah dapat
menyerap sebagian besar dari tenaga kerja yang datang dari perdesaan atau pada
saat pangsa pasar pertanian lebih kecil di dalam produksi dan penciptaan
pendapatan.
Hipotesis U terbalik ini didasarkan pada argumentasi teori Lewis
mengenai perpindahan penduduk dari perdesaan (pertanian) ke perkotaan
(industri). Daerah perdesaan yang sangat padat penduduknya mengakibatkan
tingkat upah di sektor pertanian sangat rendah dan membuat suplai dari pertanian
ke industri tidak terbatas. Pada fase terakhir, pada saat sebagian besar dari tenaga
kerja yang berasal dari pertanian telah diserap oleh industri, perbedaan pendapatan

per kapita antara perdesaan dan perkotaan menjadi kecil atau tidak lagi.

Sumber: Tambunan, 2003

Universitas Sumatera Utara

15

Hipotesis U terbalik ini didasarkan pada argumentasi teori Lewis
mengenai perpindahan penduduk dari perdesaan (pertanian) ke perkotaan
(industri). Daerah perdesaan yang sangat padat penduduknya

mengakibatkan

tingkat upah di sektor pertanian sangat rendah dan membuat suplai dari pertanian
ke industri tidak terbatas. Pada fase terakhir, pada saat sebagian besar dari tenaga
kerja yang berasal dari pertanian telah diserap oleh industri, perbedaan pendapatan
per kapita antara perdesaan dan perkotaan menjadi kecil atau tidak lagi.
Menurut Sajogyo (2006), untuk mengkategorikan penduduk miskin, tidak
cukup hanya menggunakan satu garis kemiskinan saja. Tiga garis yang harus
digunakan adalah: melarat (destitute ), miskin sekali (very poor ) dan miskin
(poor ). Di desa pada tingkat 180 Kg dikategorikan melarat, 240 Kg dikategorikan
miskin sekali dan 320 Kg setara beras per orang per tahun dikategorikan miskin.
Untuk di kota, setara 270 Kg, 360 Kg dan 480 Kg setara beras per orang per
tahun.

2.1.4 Indikator Kemiskinan
Menurut Badan Pusat Statistik Kota Padangsidempuan pada tahun 2014,
indikator penduduk yang digolongkan miskin adalah sebagai berikut:
1) Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang;
2) Jenis lantai bangunan tempat tinggal tanah atau bambu atau kayu murahan;
3) Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu atau rumbia atau kayu
berkualitas rendah atau tembok tanpa diplester;
4) Tidak mempunyai fasilitas tempat buang air besar atau menggunakan
bersama-sama dengan rumah tangga lain;
5) Sumber penerangan rumah tangga bukan menggunakan listrik;

Universitas Sumatera Utara

16

6) Sumber air minum dari sumur atau mata air tidak terlindung atau sungai
atau air hujan;
7) Bahan bakar untuk memasak sehari-hari menggunakan kayu bakar atau
minyak tanah atau arang;
8) Tidak pernah mengkonsumsi daging/susu/ayam per minggu atau hanya
satu kali dalam seminggu ;
9) Tidak pernah membeli pakaian baru dalam setahun atau hanya satu kali
membeli dalam setahun (untuk setiap anggota rumah tangga);
10) Hanya satu kali atau dua kali makan dalam sehari (untuk setiap anggota
rumah tangga);
11) Tidak mampu membayar untuk berobat ke Puskesmas atau Poliklinik;
12) Lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga adalah petani dengan luas
lahan 0,5 hektar atau buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh
perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan kurang dari Rp
600.000 per bulan;
13) Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga hanya SD atau tidak tamat SD
maupun tidak sekolah;
14) Tidak mempunyai tabungan atau barang yang mudah dijual dengan nilai
minimal Rp 500.000, seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas,
ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
2.1.5 Konsep Pengangguran
Penduduk dalam suatu negara dibedakan menjadi dua golongan, yaitu
tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Menurut Bank Dunia, tenaga kerja adalah
penduduk yang berumur antara 15 hingga 64 tahun. Selanjutnya, tenaga kerja
dibagi lagi menjadi dua kelompok, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.
Angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja atau tenaga kerja yang
sedang bekerja, atau mempunyai pekerjaan namun untuk sementara sedang tidak
bekerja maupun yang sedang mencari pekerjaan. Sedangkan bukan angkatan kerja
adalah penduduk dalam usia kerja atau tenaga kerja yang tidak bekerja, tidak
mempunyai pekerjaan, dan tidak sedang mencari pekerjaan. Penduduk yang
termasuk ke dalam bukan angkatan kerja, antara lain orang-orang yang
kegiatannya bersekolah (pelajar, mahasiswa), mengurus rumah tangga (ibu-ibu

Universitas Sumatera Utara

17

yang bukan wanita karir), serta menerima pendapatan tetapi bukan merupakan
imbalan langsung atas jasa kerjanya (pensiunan, penderita cacat yang dependen).
Angkatan kerja dibedakan juga ke dalam dua kelompok, yaitu pekerja dan
penganggur. Pekerja ialah orang-orang yang mempunyai pekerjaan dan memang
sedang bekerja (saat dilakukan sensus atau survei), serta orang yang mempunyai
pekerjaan namun untuk sementara waktu kebetulan sedang tidak bekerja.
Sedangkan pengangguran adalah seseorang yang mau dan membutuhkan
pekerjaan dan atau seseorang yang seharusnya dilihat dari segi kebutuhan dan
kemampuannya telah dan harus mempunyai pekerjaan yang layak dan sah
menurut hukum dinegaranya. Pekerjaan tersebut digunakan sebagai sumber
kehidupan dan penghidupan dirinya, keluarganya, masyarakat, dan bangsanya.
Tetapi karena sesuatu hal, dia tidak memiliki kesempatan itu.
Menurut Lipsey, et al. (1997), pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga
macam, yaitu pengangguran siklis, pengangguran friksional, dan pengangguran
struktural. Pengangguran siklis adalah pengangguran yang terjadi ketika
permintaan total tidak memadai untuk membeli semua keluaran potensial
ekonomi, sehingga menyebabkan senjang resesi dimana keluaran aktual lebih
kecil dari keluaran potensial. Pengangguran siklis dikatakan sebagai orang yang
menganggur terpaksa yaitu mereka ingin bekerja dengan tingkat upah yang
berlaku tetapi pekerjaan tidak tersedia.
Pengangguran

struktural

adalah

pengangguran

yang

disebabkan

ketidaksesuaian antara struktur angkatan kerja berdasarkan jenis keterampilan,
pekerjaan, industri atau lokasi geografis dan struktur permintaan akan tenaga

Universitas Sumatera Utara

18

kerja. Sedangkan pengangguran friksional diakibatkan oleh perputaran normal
tenaga kerja. Sumber penting pengangguran friksional adalah penduduk usia
muda yang memasuki angkatan kerja dan mencari pekerjaan. Selain itu,
pengangguran friksional juga disebabkan oleh orang-orang yang keluar dari
pekerjaannya, baik karena tidak puas dengan kondisi pekerjaan yang sekarang
maupun karena diberhentikan.
Menurut BPS, pengangguran terbuka adalah orang yang mencari
pekerjaan, yang sedang mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan, dan
mereka yang sudah punya pekerjaan. Mencari pekerjaan adalah kegiatan
seseorang yang tidak bekerja dan pada saat survei orang tersebut sedang mencari
pekerjaan, seperti yang belum pernah bekerja dan sedang berusaha mendapatkan
pekerjaan atau orang yang sudah pernah bekerja, karena suatu hal berhenti atau
diberhentikan dan sedang berusaha mendapatkan pekerjaan.
2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penenlitian sebelumnya telah dilakukan oleh beberapa peneliti mengenai
analisis tingkat kemiskinan rumah tangga. Dimana masing-masing penelitian
mempunyai variabel yang berbeda-beda dari tahun ke tahun dan penelitian
tersebut biasanya selalu bervariasi sesuai dengan kebutuhan sipeneliti (menambah
atau mengembangkan penelitian yang sudah ada sebelumnya dengan objek
penelitian yang berbeda dari periode penelitian yang berbeda). Berikut penelitianpenelitian yang sudah ada sebelumnya mengenai analisis tingkat kemiskinan
rumah tangga, diantaranya sebagai berikut:
Penelitian yang dilakukan oleh Sefty Dwi Juwita (2013) dengan judul
“Analisis Tingkat Kemiskinan Masyarakat Kelurahan Sail Kecamatan Tenayan

Universitas Sumatera Utara

19

Raya Kota Pekanbaru”. Metode analisis yang digunakan adalah Deskriptif
Kuantitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa Dari hasil observasi dan

pengolahan data, maka penulis menarik kesimpulan bahwa dari hasil kuesioner
sebanyak 100 responden di Kelurahan Sail Kecamatan Tenayan Raya Kota
Pekanbaru dapat diketahui bahwa tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat
Kelurahan Sail menunjukan pendapatan yang relatif tidak merata atau
ketimpangannya parah (Gini Ratio 0,82383), artinya bahwa pendapatan yang
diterima oleh Penduduk Kelurahan Sail penerimaan pendapatannya tidak sama
dan Pada tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan penduduk Kelurahan Sail
dilihat dari pekerjaan atau mata pencahariannya maka ada 23 atau 23% responden
yang masih dibawah angka kemiskinan dan kedalaman kemiskinan terparah
merata dan terdapat pada semua jenis pekerjaan dan persentase penduduk miskin
yang berada di Kelurahan Sail yaitu sebesar 3,7% dari seluruh jumlah penduduk.
Sementara penelitian yang dilakukan oleh Setrellita Lindiasari (2008) yang
berjudul “Analisis Kemiskinan di Tingkat Rumah Tangga di Kabupaten Bogor”.
Hasil analisis menunjukan bahwa Jumlah rumah tangga miskin di Kabuapten
Bogor sebesar 16,06 persen, dengan urutan jumlah rumah tangga miskin terbesar
berada di wilayah pengembangan Bogor Barat sebesar 25 persen. Jumlah rumah
tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Tengah sebesar 22,77 persen, dan
Bogor Timur sebesar 10,3 persen. Status pekerjaan kepala keluarga tidak
berpengaruh terhadap status kemiskinan rumah tangga di Kabupaten Bogor.
Hanya di Kecamatan Leuwisadeng, Pamijahan, Rumpin, Sukajaya, Bojong Gede,
Cijeruk, Ciomas, Gunung Sindur, Tajurhalang, Gunung Putri, dan Jonggol yang

Universitas Sumatera Utara

20

memiliki keterkaitan antara status kemiskinan dengan status pekerjaan kepala
keluarga dengan keterkaitan yang sangat lemah sangat lemah. Karakteristik yang
membedakan rumah tangga miskin di wilayah Bogor Barat adalah kepemilikan
aset, luas lantai bangunan tempat tinggal, frekuensi pembelian pakaian baru dalam
setahun, jenis dinding bangunan tempat tinggal, sumber penerangan, jenis
pekerjaan, kemampuan berobat, dan frekuensi makan dalam sehari. Karakteristik
yang membedakan rumah tangga miskin di wilayah Bogor Tengah adalah
kepemilikan aset, kemampuan membayar untuk berobat ke Puskesmas/Poliklinik,
jenis pekerjaan, jenis dinding, luas lantai bangunan tempat tinggal, fasilitas buang
air besar, dan frekuensi makan dalam sehari. Karakteristik yang membedakan
rumah tangga miskin di wilayah Bogor Timur adalah kepemilikan aset, jenis
pekerjaan, sumber penerangan, kemampuan membayar untuk berobat ke
Puskesmas/Poliklinik, frekuensi makan dalam sehari, luas lantai, jenis lantai, dan
jenis dinding.

Universitas Sumatera Utara

21

Tabel 2.1
Tinjauan Penelitian Terdahulu
No

Nama, Tahun & Judul
Penelitian

Variabel Penelitian

Hasil Penelitian

1

Sefty Dwi Juwita
Tingkat Kemiskinan
(2013) dengan judul
Masyarakat
“Analisis Tingkat
Kemiskinan Masyarakat
Kelurahan Sail
Kecamatan Tenayan
Raya Kota Pekanbaru”.

Tingkat ketimpangan
pendapatan
masyarakat Kelurahan
Sail menunjukan
pendapatan yang
relatif tidak merata
atau ketimpangannya
parah (Gini Ratio
0,82383)

2

Setrellita Lindiasari
(2008) yang berjudul
“Analisis Kemiskinan
di Tingkat Rumah
Tangga di Kabupaten
Bogor”.

Jumlah rumah tangga
miskin di Kabuapten
Bogor sebesar 16,06
persen, dengan urutan
jumlah rumah tangga
miskin terbesar berada
di wilayah
pengembangan Bogor
Barat sebesar 25
persen

Tingkat Kemiskinan
Rumah Tangga

2.3 Kerangka Konseptual
Jumlah penduduk yang semakin meningkat mengakibatkan permintaan
terhadap tuntutan kehidupan yang paling minimum atau kebutuhan dasar juga
semakin meningkat. Hal ini terkadang tidak diimbangi dengan peningkatan
pasokan kebutuhan dasar tersebut sehingga mengakibatkan tidak semua orang
terpenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar tersebut dapat berupa sandang,
pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan daya beli. Terpenuhinya kebutuhan
dasar tersebut menunjukkan kesejahteraan seseorang. Apabila kesejahteraan

Universitas Sumatera Utara

22

seseorang tidak terpenuhi secara terus-menerus, hal ini akan menyebabkan
kemiskinan.
Peningkatan jumlah penduduk juga mengakibatkan peningkatan pada
permintaan lapangan kerja. Hal ini apabila tidak ditunjang dengan jumlah
lapangan kerja yang memadai akan menyebabkan masalah pengangguran. Selain
itu, dengan meningkatnya jumlah penduduk akan terjadi transformasi lahan dari
sektor pertanian ke sektor non pertanian seperti untuk perumahan. Sektor
pertanian merupakan salah satu sektor yang banyak menyerap tenaga kerja.
Sehingga dengan semakin menurunnya luas lahan pertanian akan mengakibatkan
banyak terjadi pengangguran di sektor tersebut.
Indikator kemiskinan rumah tangga memberikan suatu gambaran tentang
penyebab kemiskinan di wilayah Kota Padangsidempuan. Indikator tersebut
mencakup 14 indikator, yaitu luas lantai bangunan tempat tinggal (m 2), jenis lantai
bangunan tempat tinggal terluas, jenis dinding bangunan tempat tinggal terluas,
sumber air minum yang digunakan untuk konsumsi sehari-hari, penggunaan
fasilitas tempat buang air besar, jenis bahan bakar yang digunakan untuk
memasak sehari-hari, sumber penerangan (energi) rumah tangga, jenis barang
yang dimiliki minimal senilai 500.000 (emas, televisi berwarna, kulkas/mesin
cuci, sepeda motor), frekuensi anggota rumah tangga makan dalam sehari,
frekuensi anggota rumah tangga membeli pakaian baru dalam setahun, frekuensi
anggota rumah tangga membeli daging/ayam/susu dalam seminggu, kemampuan
anggota rumah tangga berobat ke puskesmas/poliklinik, jenjang pendidikan

Universitas Sumatera Utara

23

tertinggi yang pernah atau sedang ditempuh, bidang pekerjaan utama kepala
rumah tangga.
Melalui analisis tabulasi silang terhadap indikator-indikator yang telah
dijabarkan diharapkan dapat lebih memahami potret kemiskinan rumah tangga di
Kota Padangsidempuan. Hubungan status kemiskinan dengan status pekerjaan
kepala rumah tangga di Kota Padangsidempuan juga dianalisis menggunakan
analisis tabulasi silang. Selain itu, untuk mengetahui karakteristik yang
membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di Kota Padangsidempuan
maka dilakukan analisis CHAID terhadap indikator-indiaktor tersebut. Melalui
analisis-analisis tersebut diharapkan dapat memberikan masukan kepada
pemerintah untuk membuat kebijakan-kebijakan penanggulangan masalah
kemiskinan terutama di Kota Padangsidempuan. Gambar di bawah ini untuk
mempermudah alur penelitian.

Universitas Sumatera Utara

24

Kemiskinan di Kota
Padangsidempuan

14 Indikator Kemiskinan

Crosstab

CHAID

Potret kemiskinan di Kota

Hubungan antara

Karakteristik yang paling

Padangsidempuan

status kemiskinan dan

menonjol dalam membedakan

status pekerjaan di

rumah tangga miskin dan tidak

Implikasi Kebijakan

Gambar.2.1. Kerangka Koseptual Penelitian

Universitas Sumatera Utara