Analisis Tingkat Kemiskinan Rumah Tangga di Kota Padangsidempuan

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Agung Ridlo, Mohammad, 2001. Kemiskinan di Perkotaan. Semarang: Unissula Press.

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik). Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Chriswardani. 2005. Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional. Semarang: Torkamani.

Effendi, T. Noer. 1995. Sumber Daya Manusia Peluang Kerja dan Kemiskinan. Edisi II. Tiara Wacana. Yogyakarta.

Hermanto S., Dwi W. 2006. Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Penduduk Miskin di Indonesia: Proses Pemerataan dan Pemiskinan. Institusi Pertanian Bogor: Direktur Kajian Ekonomi.

Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi & Pembangunan Daerah, Reformasi, Perencanaan, dtrategi, dan Peluang. Jakarta: Erlangga.

Kuncoro, M. 2010. Dasar-dasar Ekonomika Pembangunan, edisi Kelima. Yogyakarta: UPP. STIM YKPN.

Nugroho, Iwan dan Rokhmin Dahuri. 2004. Pembangunan Wilayah: Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Jakarta: LP3ES.

Prastyo, A.A. 2010. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan. Semarang: F.E. Diponegoro.

Rejekiningsih. T.W. 2011. Peran serta warga miskin dalam program kegiatan penanggulangan kemiskinan di Kota Semarang tahun 2010. Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan.

Sajogyo. 2006. Ekososiologi Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi: Petani dan perdesaan sebagai kasus uji. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.


(2)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitiam adalah langkah dan prosedur yang dilakukan dalam pengumpulan data atau informasi empiris guna memecahkan permasalahan dan menguji hipotesis penelitian. Dalam mengumpulkan data yang diperlukan untuk menyusun skripsi ini, metode penelitiannya adalah sebagai berikut:

3.1Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kota Padangsidempuan yang meliputi 6 kecamatan. Lokasi tersebut dipilih secara sengaja karena beberapa pertimbangan, yaitu ketersediaan data untuk melakukan analisis tabulasi silang dan CHAID dalam penggambaran karakteristik kemiskinan di Kota Padangsidempuan. Selain itu karena tingkat kemiskinan Kota Padangsidempuan semakin meningkat setiap tahunnya berdasarkan data statistik. Penelitian dilakukan selama satu bulan, yaitu mulai bulan Juni 2016 sampai dengan selesai.

3.2Populasi dan Sampel Penelitian 3.2.1 Populasi

Sugiyono (2011:90) mengemukakan populasi adalah wilayah generelisasi yang terdiri dari atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh rumah tangga yang ada di Kota Padangsidempuan yang berjumlah 46.302 rumah tangga (sumber BPS Kota Padangsidimpuan).


(3)

3.2.2 Sampel

Menurut Arikunto (2002) sampel adalah wakil dari populasi yang diteliti. Sampel adalah sebuah subjek yang merupakan bagian dari populasi yang mempunyai sifat yang sama dan sampel ini dikenai langsung dalam penelitian. Hasil penelitian terhadap sampel diharapkan dapat digeneralisasi kepada seluruh populasi.

Ada beberapa teknik yang dapat digunakan dalam menentukan ukuran sampel dalam sebuah penelitian. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik slovin (Syofian: 2013) dengan rumus sebagai berikut:

2

1 Ne

N

n

Keterangan: n = Sampel N = Populasi

e = Perkiraan tingkat kesalahan

Sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini dapat ditentukan dengan tingkat kesalahan 10% sebagai berikut:

2

)

1

,

0

(

302

.

46

1

302

.

46

n

)

01

,

0

(

302

.

46

1

302

.

46

n


(4)

02

,

464

302

.

46

n

100

78

,

99

n

Sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebesar 100 rumah tangga yang terdapat di 6 kecamatan dalam Kota Padangsidempuan.

3.3Jenis dan Sumber Data 3.3.1 Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari pihak pertama yang menjadi objek penelitian. Data Primer dalam penelitian ini diperoleh dari wawancara dan pengisian kuisioner terhadap responden dan pejabat terkait dengan penanganan kemiskinan penduduk di Kota Padangsidempuan.

2. Data Sekunder

Data Sekunder yaitu data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan baik oleh pihak pengumpul data primer atau pihak lain.

3.3.2 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari hasil penyebaran kuisioner, wawancara, dokumen-dokumen/data-data data-data BPS Kota Padangsidempuan, serta beberapa sumber seperti, studi kepustakaan, penelusuran internet, serta sumber-sumber lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data lintas sektoral (cross-section) yaitu data Sensus Daerah Kota Padangsidimpuan tahun 2014 yaitu data F1 dan F2 mengenai indikator-indikator kemiskinan. Pada data awal, jumlah rumah tangga sebesar 46.302 kepala


(5)

keluarga. Jumlah rumah tangga yang dipilih sebanyak 100 kepala keluarga setelah dilakukan clearing data. Sumber data diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kota Padangsidimpuan. Sumber informasi lainnya berupa artikel diperoleh dari jurnal serta dari media massa elektronik. Serta digunakan data-data dari literatur dan hasil-hasil penelitian sebelumnya.

Penelitian ini hanya dilakukan pada 5 kecamatan yang ada di Kota Padangsidimpuan yaitu Kecamatan Padangsidimpuan Utara, seharusnya jumlah kecamatan yang ada sebanyak 6 buah kecamatan. Kecamatan-kecamatan yang tidak digunakan Padangsidimpuan Angkola Julu. Hal tersebut disebabkan belum adanya kelengkapan dalam survei dan ketidakcocokan antara data F1 dan F2. Data tersebut diperkirakan lengkap pada akhir tahun 2016.

Penentuan rumah tangga miskin pada penelititan ini dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator kemiskinan yang telah ditetapkan oleh BPS dan dapat dilihat pada Lampiran 1. Menurut BPS, suatu rumah tangga dapat dikatakan miskin jika telah memenuhi minimal sembilan dari 14 indikator tersebut. Indikator kemiskinan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.4Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, di antaranya yaitu:


(6)

1. Observasi

Observasi yaitu dengan melakukan pengamatan langsung terhadap objek yang akan diteliti, dalam hal ini keadaan kemiskinan rumah tangga yang ada di Kota Padangsidempuan.

2. Wawancara atau Kuisioner

Wawancara adalah salah satu teknik pengumpulan data dan informasi dengan mengadakan Tanya jawab dengan para responden baik terhadap masyarakat miskin maupun terhadap pejabat terkait dengan penelitian ini.

3. Teknik Studi Kepustakaan

Dalam teknik studi kepustakaan ini, penulis mencatat dan mengumpulkan data atau literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang ada di dalam penelitian ini, yaitu diperoleh dari buku-buku, artikel, tulisan-tulisan ilmiah, Koran dan jurnal.

3.5Metode Analisis 3.5.1Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif adalah analisis yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna. Menurut Nazir (2003), metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah membuat gambaran yang akurat mengenai hubungan antara fenomena yang diteliti.

Analisis deskriptif dilakukan untuk mengidentifikasi potret kemiskinan di Kota Padangsidimpuan. Analisis potret kemiskinan dilakukan melalui tabulasi


(7)

silang (cross tabulation) indikator-indikator kemiskinan di Kota Padangsidimpuan. Hasil tabulasi silang masing-masing variabel kemudian diinterpretasikan agar diperoleh gamabaran kemiskinan rumah tangga di Kota Padangsidimpuan.

3.5.2Analisis Statistik Non parametrik

Analisis statistik non parametrik adalah suatu metode analisis untuk mengetahui nilai hubungan antara status kemiskinan suatu rumah tangga dengan status pekerjaan kepala keluarga di Kota Padangsidimpuan. Analisis ini menggunakan uji Chi-Square dan uji koefisien kontingensi. Uji Chi-Square digunakan untuk melihat hubungan antara status kemiskinan dan status pekerjaan kepala keluarga. Uji koefisien kontingensi digunakan untuk melihat keeratan hubungan pada uji Chi-Square.

a. Chi-Square dengan rumus sebagai berikut:          

ij ij ij c r E E O X ( 1 1 2 Keterangan:

r = total baris c = total kolom i = indeks baris j = indeks kolom

Oij = nilai sel baris ke-i kolom ke-j


(8)

C = Nilai koefisien kontingensi X2 = Hasil Chi-Square hitung n = Jumlah responden

Menurut Guilford dalam Rakhmat (2002), koefisien kontingensi memiliki pemahaman sebagai berikut:

0,000 – 0,200 = Sangat lemah 0,201 – 0,400 = Lemah 0,401 – 0,700 = Cukup kuat 0,701 – 0,900 = Kuat 0,901 – 1,000 = Sangat kuat

3.5.3Analisis CHAID

Metode CHAID (Chi-square Automatic Interaction Detection or detector) merupakan sebuah metode eksploratori non parametrik untuk menganalisis sekumpulan data berukuran besar dan cukup efisien untuk menduga peubah penjelas yang paling signifikan terhadap peubah respon. Interaksi antar peubah juga dapat dideteksi melalui metode CHAID. Metode ini termasuk salah satu tipe dari metode AID (Automatic Interaction Detection) yang dapat digunakan untuk menganalisis keterkaitan struktural antar peubah respon dan peubah penjelas dalam segugus data. Perbedaan CHAID dengan metode AID lainnya adalah tipe data yang digunakan yaitu data kategorik berskala nominal dan ordinal dengan uji yang digunakan adalah uji Chi-square.

Metode CHAID digunakan dalam penelitian ini karena dapat mendeteksi secara jelas karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di Kota Padangsidimpuan. Metode ini selain menjelaskan adanya pengaruh


(9)

yang signifikan atau tidak tetapi juga menjelaskan secara detail mengenai posisi dari kategori-kategori pada peubah respon dan peubah penjelas yang mempengaruhinya.

Cara kerja metode CHAID adalah dengan memisahkan gugus data ke dalam beberapa kelompok secara bertahap. Tahap pertama diawali dengan membagi data menjadi beberapa kelompok berdasarkan satu peubah penjelas yang pengaruhnya paling signifikan terhadap peubah respon. Kemudian masing-masing anak gugus yang terbagi diperiksa kembali secara terpisah dan dibagi lagi berdasarkan peubah lainnya. Seterusnya dengan kriteria statistik uji Chi-square pada setiap pemisahannya hingga pada akhirnya diperoleh kelompok-kelompok pengamatan yang memiliki respon dan peubah penjelas tertentu yang berkaitan.

Untuk lebih jelasnya tahapan-tahapan dalam metode CHAID dijelaskan pada algoritma berikut:

1. Masing-masing peubah penjelas dibuat tabulasi silang yaitu antara kategori-kategori peubah penjelas dengan kategori-kategori peubah respon.

2. Dari setiap tabulasi yang diperoleh, disusun sub tabel berukuran 2 x d yang mungkin, d adalah banyaknya kategori peubah respon. Kemudian cari nilai X2hitung pada semua sub tabel tersebut. Dari seluruh nilai X2hitung yang diperoleh, cari X2hitung terkecil. Jika X2hitung < X2 L (L ditetapkan, db= d-1), maka kedua kategori peubah penjelas tersebut digabungkan menjadi satu kategori.

3. Jika terdapat kategori gabungan yang terdiri dari dari tiga atau lebih kategori asal, maka harus dibagi secara biner terhadap kategori gabungan tersebut. Dari pembagian ini dicari J2hitung terbesar. Jika X2hitung > X2L, maka pembagian biner berlaku. Kembali ke tahap kedua.


(10)

maka X pada nilai-p tersebut adalah peubah penjelas yang pengaruhnya paling signifikan terhadap peubah respon.

5. Jika pada tahap keempat diperoleh peubah yang pengaruhnya palingsignifikan, maka peubah tersebut muncul yang pertama pada dendogram menurut kategori.

6. Lakukan kembali tahap kesatu sampai kelima terhadap peubah penjelas lainnya setelah dipisah ke setiap kategori peubah penjelas yang telah muncul sebelumnya.

Keunggulan metode CHAID bila dibandingkan dengan metode Chi- Square lainnya adalah hasil analisis menghasilkan suatu dendogram pemisahan. Berdasarkan dendogram ini akan diperoleh informasi, yaitu:

1. Pengelompokan Pengamatan

Pengelompokan pengamatan dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok yang relatif homogen dalam kaitannya dengan nilai-nilai peubah penjelas dan peubah respon.

2. Asosiasi antar Peubah

Asosiasi antar peubah, kecenderungan nilai peubah penjelas tertentu berpadanan dengan nilai peubah penjelas yang lain.

3. Interaksi antar Peubah Penjelas Peranan silang dua peubah penjelas dalam pemisahan pengamatan menurut peubah respon.

Metode CHAID juga memiliki kelemahan apabila data yang dianalisis berukuran kecil. Hasil analisis dengan jumlah sampel tebatas menghasilkan dendogram yang kurang berkembang sehingga menyebabkan jumlah variabel atau faktor-faktor yang berpengaruh juga terbatas. Kelemahan alat analisis CHAID adalah dapat diantisipasi dengan menganalisis data yang berukuran kecil dengan Chi-Square yang memiliki prinsip dasar yang sama dan dalam hal ini menggunakan analisis Chi-Square Test Independensi. Hasil analisis ini sama artinya yaitu menunjukkan bahwa permasalahan yang dianalisis tidak hanya


(11)

dipengaruhi beberapa faktor saja. Tetapi dengan menggunakan sampel yang lebih besar pada permasalahan yang sama akan menghasilkan jumlah faktor yang berpengaruh menjadi lebih banyak apabila dianalisis dengan CHAID.

3.6Definisi Operasional

Beberapa definisi yang dibutuhkan dan dikondisikan dalam penelitian ini terhadap kemiskinan rumah tangga di Kota Padangsidempuan adalah sebagai berikut:

1. Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) adalah suatu cara untuk mengukur kemiskinan dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (setara 2100 kalori per kapita per hari) dan bukan makanan. Data SUSENAS bersifat makro hanya mencakup jumlah agregat dan persentase penduduk miskin, tetapi tidak dapat menunjukkan siapa si miskin dan di mana alamat mereka, sehingga kurang operasional di lapangan.

2. Penduduk miskin adalah penduduk yang memenuhi indikator kemiskinan minimal sembilan dari 14 indikator.

3. Indikator kemiskinan adalah petunjuk yang memberikan indikasi tentang suatu keadaan kemiskinan atau suatu alat pengukur perubahan dari kemiskinan.

4. Luas lantai bangunan tempat tinggal < 8m2 adalah rumah tangga yang memiliki luas lantai bangunan < 8 m2 per orang. Misalnya, suatu rumah tangga memiliki anggota rumah tangga sebanyak empat orang. Rumah tangga tersebut dapat dikatakan miskin jika memiliki luas lantai < 32 m2. 5. Jenis lantai bangunan tempat tinggal adalah rumah tangga dikatakan

miskin jika memiliki jenis lantai dari tanah, bambu, atau kayu murahan. 6. Jenis dinding bangunan tempat tinggal adalah rumah tangga dikatakan

miskin jika memiliki dinding selain menggunakan tembok.

7. Fasilitas tempat buang air besar rumah tangga dikatakan miskin jika tidak punya atau menggunakan fasilitas tersebut bersama-sama dengan rumah tangga lain.

8. Sumber penerangan rumah tangga dikatakan miskin jika memiliki sumber penerangan bukan listrik, seperti petromak.


(12)

10.Bahan bakar untuk masak sehari-hari rumah tangga dikatakan miskin jika menggunakan kayu bakar, arang, atau minyak tanah untuk masak sehari-hari.

11.Konsumsi daging/ayam/susu rumah tangga dikatakan miskin jika tidak pernah mengkonsumsi atau hanya satu kali dalam seminggu.

12.Pembelian pakaian baru dalam setahun rumah tangga dikatakan miskin jika tidak pernah atau hanya membeli satu stel dalam setahun.

13.Frekuensi makan dalam sehari rumah tangga dikatakan miskin jika hanya satu kali atau dua kali makan dalam sehari.

14.Kemampuan berobat ke puskesmas atau poliklinik rumah tangga dikatakan miskin jika tidak mampu membayar untuk berobat.

15.Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga rumah tangga dikatakan miskin jika kepala rumah tangga tidak pernah sekolah, tidak tamat SD, TK atau hanya SD.

16.Kepemilikan aset atau tabungan rumah tangga dikatakan miskin jika tidak punya tabungan atau barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp 500.000, seperti sepeda motor, televisi, emas, dan kulkas dan sebagainya.


(13)

4.1Deskripsi Kemiskinan Di Kota Padasidimpuan 4.1.1 Jumlah Penduduk dan Indikator Kemiskinan

Kondisi kemiskinan di Kota Padangsidimpuan dapat dilihat dari perhitungan 14 indikator kemiskinan, yaitu luas lantai bangunan tempat tinggal, jenis lantai bangunan tempat tinggal, jenis dinding bangunan tempat tinggal, sumber air minum, penggunaan fasilitas buang air besar, jenis bahan bakar untuk masak sehari-hari, sumber penerangan rumah tangga, kepemilikan aset minimal senilai Rp 500.000, frekuensi makan dalam sehari, pembelian pakaian baru dalam setahun, pembelian daging/ayam/susu dalam seminggu, kemampuan berobat ke puskesmas atau poliklinik, pendidikan tertinggi kepala rumah tangga, dan bidang pekerjaan utama kepala rumah tangga. Menurut BPS, suatu rumah tangga dapat dikatakan miskin jika memenuhi minimal sembilan dari 14 indikator yang ditetapkan.

Jumlah rumah tangga berdasarkan hasil pengolahan SUSDA Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 sebesar 46.302 kepala rumah tangga di Kota Padangsidimpuan.

4.1.2 Karakteristik Rumah Tangga Miskin di Kota Padangsidimpuan Rumah tangga di kecamatan Padangsidimpuan Utara cenderung termasuk ke dalam rumah tangga miskin. Jumlah rumah tangga miskin di wilayah ini cukup


(14)

yang terendah berada di Kecamatan Padangsidimpuan Selatan sebesar 7,2 persen 400 rumah tangga.

Tabel 4.1. Jumlah Rumah Tangga Miskin di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen)

Kecamatan

Status Kemiskinan Tidak Miskin Miskin

N % N %

Padangsidimpuan Hutaimbaru 12266 75,0% 4.089 25,0% Padangsidimpuan Batunadua 8707 47,2% 9.375 52,8% Padangsidimpuan Tenggara 4778 92,8% 400 7,2% Padangsidimpuan Selatan 3590 85,0% 633 15,0% Padangsidimpuan Utara 6200 78,0% 1.748 22,0%

Total 35.541 75,6% 16.245 24,4%

Sumber: Suseda Kota Padangsidimpuan 2014.

Kecamatan Padangsidimpuan Utara identik dengan sektor non-pertanian yaitu sebesar 82,5 persen rumah tangga di wilayah ini memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor non-pertanian. Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua identik dengan sektor pertanian, sebesar 56,9 persen rumah tangga memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor pertanian. Hal ini memperlihatkan bahwa persentase rumah tangga miskin yang tinggi terdapat pada kecamatan yang dominan memiliki kepala keluarga yang bekerja di sektor pertanian, seperti Kecamatan Padangsidimpuan Hutaimbaru dan Padangsidipuan Utara. Karakteristik rumah tangga miskin di Kota Padangsidimpuan dapat dilihat dari berbagai aspek yang terdapat pada Lampiran 1, yaitu:

1. Luas Lantai Bangunan Tempat Tinggal kurang dari 8 M2 per orang Salah satu aspek penting dalam pengukuran kondisi perumahan suatu rumah tangga adalah luas lantai bangunan tempat tinggal. Luas lantai rumah menurut BPS yang menjadi indikator suatu rumah tangga tergolong miskin adalah kurang


(15)

dari 8 M2 per orang. Mayoritas rumah tangga miskin di Kota Padangsidimpuan memiliki luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 M2.

Tabel 4.2. Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Luas Lantai Lebih Besar dari 8 m2 per orang di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen)

Kecamatan Luas lantai lebih besar dari 8 m 2

per orang

Ya Tidak

Padangsidimpuan Hutaimbaru 7 13

Padangsidimpuan Batunadua 4 16

Padangsidimpuan Tenggara 16 4

Padangsidimpuan Selatan 14 6

Padangsidimpuan Utara 8 12

Total 49 51

Sumber: Suseda Kota Padangsidimpuan 2014.

Jumlah rumah tangga miskin yang memiliki luas lantai bangunan kurang dari 8 m2 per orang sebesar 51 persen dari jumlah rumah tangga miskin di Kota Padangsidimpuan. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang memiliki luas lantai kurang dari 8 m2 per orang berada di Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua dan yang paling sedikit berada di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara.

2. Jenis Lantai Bangunan

Kondisi perumahan juga dapat dilihat dari jenis lantai bangunan tempat tinggal. Penggunaan kayu, papan, bambu atau tanah sebagai lantai bangunan tempat tinggal menjadi indikator suatu rumah tangga dinyatakan miskin. Rumah tangga miskin di Kota Padangsidimpuan banyak menggunakan kayu, papan, bambu atau tanah sebagai lantai bangunan tempat tinggalhal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.


(16)

Tabel 4.3 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Lantai Bangunan Tempat Tinggal di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen)

Kecamatan

Jenis Lantai Keramik

/marme /granit

Ubin/ tegel/ teraso

Semen/ bata merah

Kayu/ papan

Bambu Tanah

Padangsidimpuan Hutaimbaru 2 4 3 4 4 5

Padangsidimpuan Batunadua 1 1 3 3 6 6

Padangsidimpuan Tenggara 6 5 2 2 3 2

Padangsidimpuan Selatan 5 6 3 2 2 2

Padangsidimpuan Utara 2 3 3 3 4 5

Total 17 19 14 14 19 20

Sumber: Suseda Kota Padangsidimpuan 2014.

Persentase terendah adalah rumah tangga miskin yang menggunakan tanah sebagai lantai rumahnya adalah sebesar 20% dari seluruh jumlah rumah tangga. Penggunaan bambu 19%, Kayu 14%, Semen 14%, Teraso 19% dan kramik sebesar 17%. Rumah berlantai tanah terbanyak ditemukan di di Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua sebesar 6 persen dari jumlah rumah tangga di kecamatan ini. Dan pengunaan keramik sebagai lantai rumah tertinggi ditemukan pada Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara.

3. Jenis Dinding Bangunan

Salah satu aspek lain yang penting untuk melihat kondisi perumahan suatu rumah tangga adalah jenis dinding bangunan. Suatu rumah tangga dinyatakan miskin menurut BPS menggunakan jenis dinding selain tembok, yaitu menggunakan kayu, bambu atau lainnya.


(17)

Tabel 4.4 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Dinding Bangunan Tempat Tinggal di di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

(persen)

Kecamatan Jenis Dinding

Tembok Kayu Bambu Lainnya

Padangsidimpuan Hutaimbaru 4 6 6 4

Padangsidimpuan Batunadua 5 4 5 6

Padangsidimpuan Tenggara 6 8 3 3

Padangsidimpuan Selatan 5 10 2 3

Padangsidimpuan Utara 8 6 3 3

Total 28 34 19 19

Sumber: Suseda Kota Padangsidimpuan 2014. 4. Sumber Air Minum

Penggunaan air dalam kemasan dan ledeng yaitu berupa penggunaan PDAM sebagai sumber air minum bagi rumah tangga miskin di wilayah ini masih sangat sedikit. Rumah tangga miskin di Kecamatan Padangsidimpuan Selatan mayoritas menggunakan sumur sebagai sumber air minumnya. Selain sumur, mata air juga menjadi sumber air minum yang dominan di Kecamatan Padangsidimpuan Selatan.

Tabel 4.5 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Sumber Air Minum di di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen)

Kecamatan

Sumber Air Minum Air

dalam kemasan

Ledeng (PDAM)

Sumur Air sungai

Padangsidimpuan Hutaimbaru 4 5 6 5

Padangsidimpuan Batunadua 3 6 6 5

Padangsidimpuan Tenggara 7 7 3 3

Padangsidimpuan Selatan 6 8 3 3

Padangsidimpuan Utara 8 6 3 3

Total 28 32 21 19


(18)

5. Fasilitas Buang Air Besar

Mayoritas rumah tangga miskin di kecamatan Padangsidimpuan Utara belum memiliki fasilitas buang air besar sendiri. Hanya sebanyak 10 persen rumah tangga miskin di wilayah ini yang mempunyai fasilitas buang air besar sendiri. Sarana yang paling sering digunakan oleh rumah tangga miskin di wilayah ini untuk buang air besar adalah sungai dengan persentase 30 persen.

Tabel 4.6 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Fasilitas Buang Air Besar di di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen)

Kecamatan

Fasilitas Buang Air Besar

Sendiri Umum Umum

Bersama

Lainnya

Padangsidimpuan Hutaimbaru 3 5 6 6

Padangsidimpuan Batunadua 5 6 3 6

Padangsidimpuan Tenggara 7 5 5 5

Padangsidimpuan Selatan 4 6 5 5

Padangsidimpuan Utara 2 6 6 6

Total 21 28 25 28

Sumber: Suseda Kota Padangsidimpuan 2014. 6. Jenis Bahan Bakar

Indikator kemiskinan menurut BPS yang menyatakan suatu rumah tangga dikatakan miskin adalah menggunakan bahan bakar minyak tanah, kayu bakar atau arang. Rumah tangga miskin di Kota Padangsidimpuan lebih banyak yang menggunakan kayu bakar atau arang sebagai bahan bakar untuk memasak sehari-hari, yaitu sebesar 87,9 persen. Penggunaan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak sehari-hari juga banyak digunakan yaitu oleh 11,4 persen rumah tangga miskin.


(19)

Tabel 4.7 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Bahan Bakar yang Digunakan untuk Memasak Sehari-haridi di Kota Padangsidimpuan

Tahun 2014 (persen)

Kecamatan

Jenis Bahan Bakar Minyak

tanah

Kayu bakar/

arang

Gas Lainnya

Padangsidimpuan Hutaimbaru 3 4 6 6

Padangsidimpuan Batunadua 2 6 4 5

Padangsidimpuan Tenggara 7 5 6 5

Padangsidimpuan Selatan 7 5 5 5

Padangsidimpuan Utara 2 6 5 6

Total 21 26 26 27

Sumber: Suseda Kota Padangsidimpuan 2014. 7. Sumber Penerangan

Mayoritas rumah tangga miskin di Kota Padangsidimpuan sudah menggunakan sumber penerangan yang berasal dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) yaitu sebesar 70,7 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa listrik telah dapat diakses oleh rumah tangga miskin sekalipun. Diikuti oleh penggunaan minyak tanah sebagai sumber penerangan yang digunakan oleh 20,2 persen rumah tangga.

Tabel 4.8 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Sumber Penerangan di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen)

Kecamatan

Sumber Penerangan PLN Genset/

diesel

Minyak tanah

Lainnya

Padangsidimpuan Hutaimbaru 15 4 5 6

Padangsidimpuan Batunadua 12 6 4 5

Padangsidimpuan Tenggara 15 5 3 5

Padangsidimpuan Selatan 12 5 3 5

Padangsidimpuan Utara 16 6 5 6

Total 70 26 20 27


(20)

8. Frekuensi Makan (kali/hari)

Kemampuan ekonomi suatu rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan dasar atau primer seperti pemenuhan kebutuhan pangan dapat dilihat dari frekuensi makan dalam sehari. Menurut BPS, suatu rumah tangga termasuk ke dalam rumah tangga miskin jika frekuensi makan dalam sehari hanya satu atau dua kali. Frekuensi makan dalam sehari mayoritas rumah tangga miskin di Kota Padangsidimpuan adalah dua kali dalam sehari sebesar 53,7 persen.

Tabel 4.9 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Makan dalam Sehari di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen)

Kecamatan Frekuensi Makan dalam Sehari 1 Kali 2 Kali 3 Kali atau lebih

Padangsidimpuan Hutaimbaru 0.3 12 9

Padangsidimpuan Batunadua 0.2 6 10

Padangsidimpuan Tenggara 0.4 15 11

Padangsidimpuan Selatan 0.3 8 8

Padangsidimpuan Utara 0.1 13 6

Total 1.3 54 44

Sumber: Suseda Kota Padangsidimpuan 2014. 9. Kepemilikan Aset

Kemampuan ekonomi suatu rumah tangga juga dapat dilihat dari kepemilikan aset. Dalam hal ini yang dimasukkan ke dalam kepemilikan asset yaitu emas, televisi berwarna, lemari pendingin, dan sepeda motor. Suatu rumah tangga dinyatakan miskin menurut BPS apabila hanya memiliki kepemilikan asset kurang dari Rp 500.000. Rumah tangga miskin di Kota Padangsidimpuan mayoritas memiliki kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 yaitu sebesar 79,4 persen dari jumlah rumah tangga miskin di wilayah ini.


(21)

Tabel 4.10 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Kepemilikan Aset di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen)

Kecamatan Kepemilikan Aset

> Rp. 500.00 < Rp.500.000

Padangsidimpuan Hutaimbaru 4 19

Padangsidimpuan Batunadua 3 17

Padangsidimpuan Tenggara 5 15

Padangsidimpuan Selatan 3 13

Padangsidimpuan Utara 6 15

Total 21 79

Sumber: Suseda Kota Padangsidimpuan 2014.

Rumah tangga miskin di Kecamatan Padangsidimpuan Hutaimbaru memiliki persentase tertinggi kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 yaitu 19 persen. Persentase terendah rumah tangga miskin yang memiliki kepemilikan aset kurang dari Rp 500.000 berada di Kecamatan Padangsidimpuan Selatan yaitu sebesar 13 persen. Pendapatan suatu rumah tangga erat kaitannya dengan kepemilikan aset. Hal ini terlihat bahwa rumah tangga miskin relatif memiliki pendapatan yang rendah sehingga aset yang dimiliki pun kurang dari Rp 500.000.

10.Frekuensi Pembelian Pakaian (kali/tahun)

Frekuensi pembelian pakaian baru dalam setahun juga menjadi salah satu alat ukur kemampuan ekonomi suatu rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu kebutuhan sandang. Suatu rumah tangga dinyatakan miskin apabila hanya dapat membeli kurang dari dua stel pakaian baru dalam setahun. Mayoritas rumah tangga miskin di Kota Padangsidimpuan hanya dapat membeli satu stel pakaian dalam setahun yaitu sebesar 76 persen.


(22)

Tabel 4.11 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Membeli Pakaian Baru Dalam Setahun di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

(persen)

Kecamatan Frekuensi Membeli Pakaian Baru Dalam Setahun 1 Stel 2 Stel atau Lebih

Padangsidimpuan Hutaimbaru 19 6

Padangsidimpuan Batunadua 17 5

Padangsidimpuan Tenggara 15 4

Padangsidimpuan Selatan 10 3

Padangsidimpuan Utara 15 6

Total 76 24

Sumber: Suseda Kota Padangsidimpuan 2014.

Rumah tangga miskin di Kota Padangsidimpuan yang dapat membeli pakaian baru dua stel atau lebih dalam setahun hanya 24 persen rumah tangga. Kecamatan Hutaimbaru dan Padangsidimpuan Utara memiliki persentase tertinggi rumah tangga miskin yang mampu membeli dua stel atau lebih pakaian dalam setahun yaitu sebesar 6 persen. Persentase terendah rumah tangga miskin yang dapat membeli dua stel atau lebih pakaian baru dalam setahun berada di Kecamatan Kecamatan Padangsidimpuan Hutaimbaru yaitu sebesar 19 persen dari jumlah rumah tangga miskin di wilayah tersebut.

11.Pembelian daging/ayam/susu (kali/minggu)

Kemampuan ekonomi suatu rumah tangga juga dapat dilihat dari kemampuan memenuhi kebutuhan akan pangan. Hal ini dapat dilihat dari frekuensi pembelian daging atau ayam atau susu dalam seminggu. Menurut BPS, rumah tangga dinyatakan miskin jika hanya dapat membeli kurang dari dua kali daging atau ayam atau susu dalam seminggu.


(23)

Tabel 4.12 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Frekuensi Membeli Daging/Ayam/Susu dalam Seminggu di Kota Padangsidimpuan

Tahun 2014 (persen)

Kecamatan

Frekuensi membeli daging/ayam/susu dalam seminggu

Tidak Pernah Membeli

1 Kali 2 Kali atau Lebih

Padangsidimpuan Hutaimbaru 13 6 1

Padangsidimpuan Batunadua 17 5 2

Padangsidimpuan Tenggara 9 4 1

Padangsidimpuan Selatan 13 3 3

Padangsidimpuan Utara 15 6 2

Total 67 24 9

Sumber: Suseda Kota Padangsidimpuan 2014.

Pada umumnya rumah tangga miskin di Kota Padangsidimpuan tidak mampu untuk membeli daging atau ayam atau susu dalam seminggu dengan persentase 67 persen dari jumlah rumah tangga miskin di wilayah ini. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang tidak pernah membeli daging atau ayam atau susu dalam seminggu berada di Kecamatan Batunadua sebesar 17 persen. Persentase terendah rumah tangga miskin yang tidak dapat membeli daging atau ayam atau susu dalam seminggu berada di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara sebesar 9 persen. 12.Kemampuan Berobat

Kemampuan membayar untuk berobat ke Puskesmas atau Poliklinik dapatmelihat kondisi kesehatan suatu rumah tangga. Rumah tangga dinyatakan miskin apabila tidak dapat membayar untuk berobat ke Puskesmas maupun Poliklinik. Pada umumnya rumah tangga miskin di Kota Padangsidimpuan sudah mampu membayar untuk berobat di Puskesmas atau Poliklinik yaitu sebesar 66,5 persen


(24)

Tabel 4.13 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Kemampuan Membayar untuk Berobat ke Puskesmas/Poliklinik di Kota

Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen)

Kecamatan Kemampuan Berobat

Ya Tidak

Padangsidimpuan Hutaimbaru 8 6

Padangsidimpuan Batunadua 17 5

Padangsidimpuan Tenggara 13 8

Padangsidimpuan Selatan 11 9

Padangsidimpuan Utara 17 6

Total 66 34

Sumber: Suseda Kota Padangsidimpuan 2014.

Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang tidak dapat membayar untuk berobat ke Puskesmas atau Poliklinik berada di Kecamatan Padangsidimpuan Selatan sebesar 9 persen. Persentase terendah rumah tangga miskin yang tidak dapat membayar untuk berobat ke Puskesmas atau Poliklinik berada di Kecamatan Batunadua sebesar 5 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa kondisi kesehatan rumah tangga di wilayah pengembangan Kota Padangsidimpuan relatif sudah cukup baik, terlihat dari persentase rumah tangga miskin yang dapat membayar untuk berobat lebih besar dibandingkan yang tidak dapat membayar.

13.Ketenagakerjaan

Rumah tangga miskin di Kota Padangsidimpuan cenderung memiliki kepala keluarga yang sudah bekerja. Hal ini terlihat pada Tabel 5.13, persentase rumah tangga miskin yang memiliki kepala keluarga bekerja sebesar 96 persen. Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang memiliki kepala keluarga bekerja berada di Kecamatan Padangsidimpuan Utara sebesar 23 persen.


(25)

Tabel 4.14 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Status Pekerjaan Kepala Keluarga di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen)

Kecamatan Status Pekerjaan

Bekerja Menganggur

Padangsidimpuan Hutaimbaru 15 1

Padangsidimpuan Batunadua 17 0

Padangsidimpuan Tenggara 19 1

Padangsidimpuan Selatan 22 2

Padangsidimpuan Utara 23 0

Total 96 4

Sumber: Suseda Kota Padangsidimpuan 2014.

Menurut BPS, suatu rumah tangga termasuk ke dalam golongan rumah tangga miskin jika memiliki kepala keluarga bekerja di sektor pertanian. Hal ini disebabkan karena kepala keluarga yang bekerja di sektor pertanian merupakan buruh tani yang memiliki pendapatan relatif rendah. Berdasarkan Tabel 5.13, kepala keluarga rumah tangga miskin di Kota Padangsidimpuan bekerja di sektor pertanian.

14.Pendidikan Tertinggi Kepala Keluarga

Kemampuan ekonomi suatu rumah tangga juga tidak lepas dari peran pendidikan tertinggi kepala keluarga. Pendidikan tertinggi kepala keluarga yang tidak tamat SD menjadi kriteria suatu rumah tangga dinyatakan miskin menurut BPS. Berdasarkan Tabel 5.14, mayoritas kepala keluarga rumah tangga miskin Kota Padangsidimpuan mengenyam pendidikan tertinggi adalah tidak tamat SD yaitu sebesar 31 persen.


(26)

Tabel 4.15 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Pendidikan Tertinggi Kepala Keluarga di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen)

Kecamatan Pendidikan Tertinggi Kepala Keluarga Tidak Tamat SD Tamat SD

Padangsidimpuan Hutaimbaru 1 13

Padangsidimpuan Batunadua 2 19

Padangsidimpuan Tenggara 1 19

Padangsidimpuan Selatan 3 17

Padangsidimpuan Utara 2 23

Total 9 91

Sumber: Suseda Kota Padangsidimpuan 2014.

Persentase tertinggi rumah tangga miskin yang memiliki kepala keluarga dengan pendidikan tertinggi tidak tamat SD sebesar 9 persen. Sedangakan yang tama SD sebesar 91 Persen. Persentase terendah rumah tangga miskin di wilayah ini yang memiliki kepala keluarga dengan pendidikan tertinggi tidak tamat SD berada di Kecamatan Hutaimbaru da Padangsidimpuan Tenggara sebesar 1 persen jumlah rumah tangga yang pendidikan tertinggi kepala keluarganya adalah SD atau MI sederajat.

4.1.3 Tingkat Kemiskinan dan Status Pekerjaan Kepala Keluarga

Hubungan status kemiskinan dengan status pekerjaan di Kota Padangsidimpuan bahwa rumah tangga dengan kepala keluarga menganggur cenderung termasuk ke dalam rumah tangga tidak miskin. Hanya dua kecamatan Kota Padangsidimpuan, yaitu Kecamatan Batunadua dan Padangsidimpuan utara yang memperlihatkan kondisi rumah tangga dengan kepala keluarga menganggur mayoritas termasuk ke dalam rumah tangga miskin.

Kecamatan Batunadua memiliki persentase 55 persen rumah tangga dengan kepala keluarga menganggur termasuk ke dalam golongan rumah tangga miskin. Kecamatan Padangsidimpuan Utara memiliki persentase lebih besar yaitu


(27)

sebanyak 66 persen rumah tangga dengan kepala keluarga menganggur di kecamatan ini termasuk ke dalam golongan rumah tangga miskin. Hal ini memperlihatkan bahwa di dua kecamatan ini, status pekerjaan kepala keluarga menganggur berpengaruh terhadap status rumah tangga dinyatakan miskin. Hampir di seluruh kecamatan di Kota Padangsidimpuan kecuali di Kecamatan Padangsidimpuan Selatan rumah tangga dengan kepala keluarga bekerja cenderung tergolong ke dalam rumah tangga tidak miskin. Kecamatan Padangsidimpuan Selatan memiliki persentase tertinggi rumah tangga dengan kepala keluarga bekerja yang termasuk ke dalam rumah tangga tidak miskin, yaitu sebesar 92,8 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa di Kota Padangsidimpuan, status pekerjaan kepala keluarga bekerja berpengaruh positif terhadap suatu rumah tangga tergolong ke dalam rumah tangga tidak miskin.

Hal ini dapat dilihat dari hasil uji nilai Chi-Square yang menunjukkan adanya korelasi antara status pekerjaan kepala keluarga dengan tingkat kemiskinan rumah tangga.

Tabel 4.16 Kaitan antara Status Kemiskinan dan Status Pekerjaan di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen)

Kecamatan Nilai Chi-Square

P-Value Koefisien Korelasi

Padangsidimpuan Hutaimbaru 3,592 0,058 0,027

Padangsidimpuan Batunadua 1,590 0,207 0,021

Padangsidimpuan Tenggara 0,620 0,431 0,017

Padangsidimpuan Selatan 1,733 0,188 0,020

Padangsidimpuan Utara 0,061 0,805 0,003


(28)

4.1.4 Implikasi Kebijakan

Karakteristik rumah tangga miskin di Kota Padangsidimpuan setiap kecamatannya menunjukkan kondisi yang tidak jauh berbeda. Hal ini terlihat dari masih banyaknya rumah tangga miskin yang memiliki kondisi tempat tinggal yang tidak layak, pendidikan kepala keluarga yang masih rendah, dan daya beli yang masih rendah.

Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di tiga Kota Padangsidimpuan berbeda-beda. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin di beberapa kecamatan di Kota Padangsidimpuan adalah kepemilikan aset, luas lantai bangunan tempat tinggal, frekuensi pembelian pakaian baru dalam setahun, jenis dinding bangunan tempat tinggal, sumber penerangan, jenis pekerjaan, kemampuan berobat, dan frekuensi makan dalam sehari.

Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin di Kota Padangsidimpuan adalah kepemilikan aset, kemampuan membayar untuk berobat ke Puskesmas/Poliklinik, jenis pekerjaan, jenis dinding, luas lantai bangunan tempat tinggal, fasilitas buang air besar, dan frekuensi makan dalam sehari. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin di Kota Padangsidimpuan adalah kepemilikan aset, jenis pekerjaan, sumber penerangan, kemampuan membayar untuk berobat ke Puskesmas/Poliklinik, frekuensi makan dalam sehari, luas lantai, jenis lantai, dan jenis dinding.

Berdasarkan hasil dan pembahasan maka beberapa implikasi kebijakan yang dapat diajukan, antara lain:


(29)

1. Memberdayakan Ekonomi Masyarakat

Hal ini ditujukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat, dengan daya beli yang meningkat maka akan menyelaraskan akses masyarakat terhadap sarana pendidikan dan kesehatan. Cara yang menjadi prioritas untuk meningkatkan daya beli masyarakat adalah dengan kursus dan pelatihan maupun dengan pemberian bantuan berupa sarana produksi pertanian. Kursus dan pelatihan berguna untuk meningkatkan keterampilan masyarakat sehingga dapat memenuhi kualifikasi kerja yang diharapkan.

2. Memperbanyak Pembangunan Infrastruktur

Pembangunan infrastruktur ditujukan untuk mengurangi pengeluaran masyarakat dalam mengakses sarana pelayanan umum akibat kurangnya fasilitas yang tersedia. Infrastruktur yang dapat dibangun antara lain sarana transportasi, komunikasi, dan permodalan yang dapat mempermudah masyarakat dalam mengakses pelayanan umum.

3. Meningkatkan Penyerapan Tenaga Kerja

Peningkatan penyerapan tenaga kerja dapat dilakukan melalui mengembangkan kesepakatan dengan investor-investor di Kota Padangsidimpuan untuk menggunakan tenaga kerja lokal. Selain itu, peningkatan penyerapan tenaga kerja juga dapa dilakukan dengan memanfaatkan program CSR (Corporate Social Responsibility) dari perusahaan menengah dan besar untuk meningkatkan keterampilan dan pengembangan sektor usaha kecil, mikro atau rumah tangga.


(30)

5.1Kesimpulan

1. Jumlah rumah tangga miskin di Kota Padangsidimpuan sebesar 16 persen, dengan urutan jumlah rumah tangga miskin terbesar berada di Kecamatan Padangsidimpuan Selatan sebesar 45 persen. Jumlah rumah tangga miskin di Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua sebesar 22 persen, dan Kecamatan Hutaimbaru 16 persen.

2. Status pekerjaan kepala keluarga tidak berpengaruh terhadap status kemiskinan rumah tangga di Kota Padangsidimpuan. Semua status pekerjaan kepala keluarga di kecamatan yang ada di Kota Padangsidimpuan memiliki keterkaitan antara status kemiskinan dengan status pekerjaan kepala keluarga dengan keterkaitan yang sangat kuat. 3. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin di Kota

Padangsidimpuan adalah kepemilikan aset, luas lantai bangunan tempat tinggal, frekuensi pembelian pakaian baru dalam setahun, jenis dinding bangunan tempat tinggal, sumber penerangan, jenis pekerjaan, kemampuan berobat, dan frekuensi makan dalam sehari.

5.2Saran

Berdasarkan hasil, pembahasan, dan kesimpulan yang didapat, maka saran yang dapat diajukan oleh penelitian ini antara lain:

1. Program penanggulangan kemiskinan hendaknya difokuskan pada wilayah yang memiliki persentase rumah tangga miskin yang tinggi.

2. Pemerintah perlu melakukan pelatihan-pelatihan keterampilan untuk menambah penghasilan bagi rumah tangga di Kota Padangsidimpuan. 3. Sebaiknya dilakukan penelitian mengenai karakteristik kemiskinan yang


(31)

2.1Landasan Teori

2.1.1Pengertian Kemiskinan

Kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Prastyo (2010) menyatakan bahwa kemiskinan adalah suatu intergrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak.

Berdasarkan Perpres Nomor 7 Tahun 2005 tentang RPJMN, kemiskinan terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang, baik laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Menurut Ridlo (2001) definisi ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuatan sosial yang meliputi: aset, sumber-sumber keuangan, organisasi dan jaringan sosial, pengetahuan dan informasi untuk memperoleh pekerjaan menjadikan seseorang menjadi miskin.


(32)

kemiskinan diartikan kekurangan jaringan sosial dan struktur untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan meningkatkan produktivitas. Sedangkan secara politik kemiskinan diartikan kekurangan akses terhadap kekuasaan.

Sedangkan Nugroho dan Dahuri (2004) menyatakan bahwa dari aspek ekonomi, kemiskinan merupakan kesenjangan antara lemahnya daya pembelian (positif) dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan dasar (normatif). Dari aspek sosial, kemiskinan mengindikasikan potensi perkembangan masyarakat yang rendah. Sedangkan dari aspek politik, kemiskinan berhubungan dengan rendahnya kemandirian masyarakat.

Kemiskinan didefinisikan sebagai standar hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Secara ekonomis, kemiskinan juga dapat diartikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejehtaraan sekelompok orang. Kemiskinan memberi gambaran situasi serba kekurangan seperti terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pengetahuan dan keterampilan, rendahnya produktivitas, rendahnya pendapatan, lemahnya nilai tukar hasil produksi orang miskin dan terbatasnya kesempatan berperan serta dalam pembangunan.

Suharto (2005) memaknai kemiskinan sebagai konsep dan fenomena yang multidimensional. Dengan menyampaikan beberapa ciri kemiskinan : 1) mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dasar; 2) ketiadaan akses terhadap kebutuhan dasar lainnya; 3) ketiadaan jaminan masa depan; 4) kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individu dan masal; 5) rendahnya kualitas SDM


(33)

dan keterbatasan sumber daya alam; 6) ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat; 7) ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan; 8) ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik atau mental; 9) ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial.

Dari beberapa definisi di atas inti permasalahan kemiskinan adalah ukuran standar minimum kebutuhan dasar. Menentukan ukuran standar minimum tersebut tergantung dari pendekatan mana yang digunakan. Secara umum pendekatan yang dapat digunakan dibagi menjadi dua, yaitu pendekatan obyektif dan pendekatan subyektif (Rejekiningsih, 2011). Dalam pendekatan obyektif, standar minimum kebutuhan dasar ditentukan berdasarkan studi lapangan yang dilakukan oleh pihak lain, baik itu para ahli, lembaga sosial maupun lembaga pemerintah. Sedangkan untuk pendekatan subyektif, ukuran standar minimum kebutuhan dasar diukur dari pendapat orang miskin itu sendiri, hal ini terjadi ketika orang miskin tersebut membandingkan diri dengan orang yang memiliki tingkat kesejahteraan lebih tinggi di lingkungan sekitarnya.

2.1.2Penyebab Kemiskinan

Kemiskinan menurut Sharp et. all. dalam Kuncoro (2010), dari sudut pandang ekonomi disebabkan antara lain; Pertama, karena adanya perbedaan pola kepemilikan sumberdaya sehingga terjadi ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Dan penduduk dikatakan miskin karena memiliki sumber daya yang hanya terbatas dengan kualitas rendah. Kedua, karena kualitas sumber daya


(34)

atau nasib yang tidak beruntung atau adanya diskriminasi. Dan ketiga, karena adanya perbedaan mendapatkan kemudahan dalam memperoleh modal.

Dari sebab kemiskinan yang dikemukakan, muaranya ada pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty) sebagaimana yang dikatakan oleh Ragnar Nurkse dalam Kuncoro (2010), “a poor country is poor because it is poor”, dengan kata lain negara miskin itu disebabkan dia miskin. Modal yang terbatas dengan pasar yang tidak sempurna serta adanya keterbelakangan, menyebabkan produktivitas rendah. Produktivitas rendah menyebabkan upah yang diterima rendah. Upah atau pendapatan rendah akan berakibat langsung terhadap rendahnya konsumsi, tabungan maupun investasi. Rendahnya investasi berdampak kembali pada keadaan awal seperti keterbelakangan dan seterusnya, sehingga jika digambarkan akan membentuk suatu lingkaran. Inilah yang disebut lingkaran setan kemiskinan (vicious circle poverty).

2.1.3Konsep Kemiskinan

Sebelum tahun 1993 seseorang dikategorikan miskin apabila total pengeluaran yang dibutuhkan untuk pembelian makanan senilai 2100 kalori per kapita per hari. Ini merupakan garis batas kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS. Sejak 1993, Indonesia telah mengadopsi basic needs approach yang terdiri dari pengeluaran untuk makanan dan non-makanan. Pada tahun 1996 BPS memperbaharui metode penghitungan garis kemiskinan untuk memasukkan komponen pengeluaran bukan makanan secara lebih memadai.

Kemiskinan memiliki pengertian yang berbeda antar daerah dan waktu. Hal ini berarti masalah kemiskinan merupakan masalah multidimensi. Kemiskinan


(35)

tidak hanya berbicara masalah pendapatan yang rendah, tetapi juga menyangkut masalah perumahan yang buruk, rendahnya pembangunan manusia (human development) dalam hal pendidikan dan kesehatan, ketiadaan akses pada aset-aset produktif, ketakutan akan masa depan, dan lain-lain.

Dalam memahami kemiskinan dapat ditinjau dari beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan pendapatan (income approach) dimana seseorang disebut miskin jika pendapatan dan konsumsinya berada di bawah tingkat tertentu yaitu tingkat pendapatan dan pengeluaran minimal yang layak secara sosial. Kedua, pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), yang mana seseorang disebut miskin jika tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makanan, sandang, papan, sekolah dasar, dan lain-lain. Ketiga, pendekatan aksesibilitas dimana seseorang miskin karena kurangnya akses terhadap aset produktif, akses terhadap infrastruktur sosial dan fisik, akses terhadap informasi, akses terhadap pasar, dan akses terhadap teknologi. Keempat, pendekatan kemampuan manusia (human capability approach) dimana seseorang disebut miskin jika tidak memiliki kemampuan yang dapat berfungsi pada tingkat minimal. Kelima, pendekatan ketimpangan (inequality approach) yang merupakan pendekatan kemiskinan relatif. Kemiskinan relatif yaitu suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan (proporsi dari tingkat pendapatan rata-rata).


(36)

Pembangunan Manusia) dengan komponen antara lain tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf penduduk dewasa, tingkat penyelesaian studi pada sekolah dasar dan menengah, dan PDB riil per kapita. UNDP juga secara rutin mempublikasikan angka indeks yang mengukur kemiskinan yaitu the Human Poverty Index (IKM, Indeks Kemiskinan Manusia).

Indeks ini terdiri dari tiga komponen dasar yaitu longevity; menghitung persentase penduduk yang meninggal sebelum berusia 40 tahun. Kedua adalah literacy; persentase penduduk dewasa yang melek huruf. Ketiga adalah living standard yang merupakan kombinasi dari persentase penduduk yang memiliki akses yang cepat pada layanan kesehatan, persentase penduduk yang memiliki akses air bersih dan sehat, dan persentase balita kurang gizi. Menurut Sajogyo (1986), untuk mengkategorikan penduduk miskin, tidak cukup hanya menggunakan satu garis kemiskinan saja. Tiga garis yang harus digunakan adalah: melarat (destitute), miskin sekali (very poor) dan miskin (poor). Di desa pada tingkat 180 Kg dikategorikan melarat, 240 Kg dikategorikan miskin sekali dan 320 Kg setara beras per orang per tahun dikategorikan miskin. Untuk di kota, setara 270 Kg, 360 Kg dan 480 Kg setara beras per orang per tahun.

Korelasi antara pertumbuhan dan kemiskinan tidak berbeda dengan hubungan pertumbuhan dan kesenjangan. Menurut Simon Kuznets, hubungan antara pendapatan dan tingkat pendapatan per kapita berbentuk U terbalik. Demikian juga dengan hubungan antara kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi. Hasil ini diinterpretasikan sebagai evolusi dari distribusi pendapatan dalam proses


(37)

transisi dari suatu ekonomi perdesaan (rural) atau ekonomi tradisional ke suatu ekonomi perkotaan (urban) atau ekonomi industri.

Hipotesis Kuznets menjelaskan bahwa pada awal proses pembangunan, ketimpangan dalam distribusi pendapatan meningkat sebagai akibat dari proses urbanisasi dan industrialisasi dan pada akhir proses pembangunan ketimpangan menurun, yakni pada saat sektor industri di daerah perkotaan sudah dapat menyerap sebagian besar dari tenaga kerja yang datang dari perdesaan atau pada saat pangsa pasar pertanian lebih kecil di dalam produksi dan penciptaan pendapatan.

Hipotesis U terbalik ini didasarkan pada argumentasi teori Lewis mengenai perpindahan penduduk dari perdesaan (pertanian) ke perkotaan (industri). Daerah perdesaan yang sangat padat penduduknya mengakibatkan tingkat upah di sektor pertanian sangat rendah dan membuat suplai dari pertanian ke industri tidak terbatas. Pada fase terakhir, pada saat sebagian besar dari tenaga kerja yang berasal dari pertanian telah diserap oleh industri, perbedaan pendapatan per kapita antara perdesaan dan perkotaan menjadi kecil atau tidak lagi.


(38)

Hipotesis U terbalik ini didasarkan pada argumentasi teori Lewis mengenai perpindahan penduduk dari perdesaan (pertanian) ke perkotaan (industri). Daerah perdesaan yang sangat padat penduduknya mengakibatkan tingkat upah di sektor pertanian sangat rendah dan membuat suplai dari pertanian ke industri tidak terbatas. Pada fase terakhir, pada saat sebagian besar dari tenaga kerja yang berasal dari pertanian telah diserap oleh industri, perbedaan pendapatan per kapita antara perdesaan dan perkotaan menjadi kecil atau tidak lagi.

Menurut Sajogyo (2006), untuk mengkategorikan penduduk miskin, tidak cukup hanya menggunakan satu garis kemiskinan saja. Tiga garis yang harus digunakan adalah: melarat (destitute), miskin sekali (very poor) dan miskin (poor). Di desa pada tingkat 180 Kg dikategorikan melarat, 240 Kg dikategorikan miskin sekali dan 320 Kg setara beras per orang per tahun dikategorikan miskin. Untuk di kota, setara 270 Kg, 360 Kg dan 480 Kg setara beras per orang per tahun.

2.1.4Indikator Kemiskinan

Menurut Badan Pusat Statistik Kota Padangsidempuan pada tahun 2014, indikator penduduk yang digolongkan miskin adalah sebagai berikut:

1) Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang;

2) Jenis lantai bangunan tempat tinggal tanah atau bambu atau kayu murahan; 3) Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu atau rumbia atau kayu

berkualitas rendah atau tembok tanpa diplester;

4) Tidak mempunyai fasilitas tempat buang air besar atau menggunakan bersama-sama dengan rumah tangga lain;


(39)

6) Sumber air minum dari sumur atau mata air tidak terlindung atau sungai atau air hujan;

7) Bahan bakar untuk memasak sehari-hari menggunakan kayu bakar atau minyak tanah atau arang;

8) Tidak pernah mengkonsumsi daging/susu/ayam per minggu atau hanya satu kali dalam seminggu ;

9) Tidak pernah membeli pakaian baru dalam setahun atau hanya satu kali membeli dalam setahun (untuk setiap anggota rumah tangga);

10)Hanya satu kali atau dua kali makan dalam sehari (untuk setiap anggota rumah tangga);

11)Tidak mampu membayar untuk berobat ke Puskesmas atau Poliklinik; 12)Lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga adalah petani dengan luas

lahan 0,5 hektar atau buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan kurang dari Rp 600.000 per bulan;

13)Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga hanya SD atau tidak tamat SD maupun tidak sekolah;

14)Tidak mempunyai tabungan atau barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp 500.000, seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

2.1.5Konsep Pengangguran

Penduduk dalam suatu negara dibedakan menjadi dua golongan, yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Menurut Bank Dunia, tenaga kerja adalah penduduk yang berumur antara 15 hingga 64 tahun. Selanjutnya, tenaga kerja dibagi lagi menjadi dua kelompok, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja atau tenaga kerja yang sedang bekerja, atau mempunyai pekerjaan namun untuk sementara sedang tidak bekerja maupun yang sedang mencari pekerjaan. Sedangkan bukan angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja atau tenaga kerja yang tidak bekerja, tidak


(40)

yang bukan wanita karir), serta menerima pendapatan tetapi bukan merupakan imbalan langsung atas jasa kerjanya (pensiunan, penderita cacat yang dependen). Angkatan kerja dibedakan juga ke dalam dua kelompok, yaitu pekerja dan penganggur. Pekerja ialah orang-orang yang mempunyai pekerjaan dan memang sedang bekerja (saat dilakukan sensus atau survei), serta orang yang mempunyai pekerjaan namun untuk sementara waktu kebetulan sedang tidak bekerja.

Sedangkan pengangguran adalah seseorang yang mau dan membutuhkan pekerjaan dan atau seseorang yang seharusnya dilihat dari segi kebutuhan dan kemampuannya telah dan harus mempunyai pekerjaan yang layak dan sah menurut hukum dinegaranya. Pekerjaan tersebut digunakan sebagai sumber kehidupan dan penghidupan dirinya, keluarganya, masyarakat, dan bangsanya. Tetapi karena sesuatu hal, dia tidak memiliki kesempatan itu.

Menurut Lipsey, et al. (1997), pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu pengangguran siklis, pengangguran friksional, dan pengangguran struktural. Pengangguran siklis adalah pengangguran yang terjadi ketika permintaan total tidak memadai untuk membeli semua keluaran potensial ekonomi, sehingga menyebabkan senjang resesi dimana keluaran aktual lebih kecil dari keluaran potensial. Pengangguran siklis dikatakan sebagai orang yang menganggur terpaksa yaitu mereka ingin bekerja dengan tingkat upah yang berlaku tetapi pekerjaan tidak tersedia.

Pengangguran struktural adalah pengangguran yang disebabkan ketidaksesuaian antara struktur angkatan kerja berdasarkan jenis keterampilan, pekerjaan, industri atau lokasi geografis dan struktur permintaan akan tenaga


(41)

kerja. Sedangkan pengangguran friksional diakibatkan oleh perputaran normal tenaga kerja. Sumber penting pengangguran friksional adalah penduduk usia muda yang memasuki angkatan kerja dan mencari pekerjaan. Selain itu, pengangguran friksional juga disebabkan oleh orang-orang yang keluar dari pekerjaannya, baik karena tidak puas dengan kondisi pekerjaan yang sekarang maupun karena diberhentikan.

Menurut BPS, pengangguran terbuka adalah orang yang mencari pekerjaan, yang sedang mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan, dan mereka yang sudah punya pekerjaan. Mencari pekerjaan adalah kegiatan seseorang yang tidak bekerja dan pada saat survei orang tersebut sedang mencari pekerjaan, seperti yang belum pernah bekerja dan sedang berusaha mendapatkan pekerjaan atau orang yang sudah pernah bekerja, karena suatu hal berhenti atau diberhentikan dan sedang berusaha mendapatkan pekerjaan.

2.2Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penenlitian sebelumnya telah dilakukan oleh beberapa peneliti mengenai analisis tingkat kemiskinan rumah tangga. Dimana masing-masing penelitian mempunyai variabel yang berbeda-beda dari tahun ke tahun dan penelitian tersebut biasanya selalu bervariasi sesuai dengan kebutuhan sipeneliti (menambah atau mengembangkan penelitian yang sudah ada sebelumnya dengan objek penelitian yang berbeda dari periode penelitian yang berbeda). Berikut penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya mengenai analisis tingkat kemiskinan


(42)

Raya Kota Pekanbaru”. Metode analisis yang digunakan adalah Deskriptif Kuantitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa Dari hasil observasi dan pengolahan data, maka penulis menarik kesimpulan bahwa dari hasil kuesioner sebanyak 100 responden di Kelurahan Sail Kecamatan Tenayan Raya Kota Pekanbaru dapat diketahui bahwa tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat Kelurahan Sail menunjukan pendapatan yang relatif tidak merata atau ketimpangannya parah (Gini Ratio 0,82383), artinya bahwa pendapatan yang diterima oleh Penduduk Kelurahan Sail penerimaan pendapatannya tidak sama dan Pada tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan penduduk Kelurahan Sail dilihat dari pekerjaan atau mata pencahariannya maka ada 23 atau 23% responden yang masih dibawah angka kemiskinan dan kedalaman kemiskinan terparah merata dan terdapat pada semua jenis pekerjaan dan persentase penduduk miskin yang berada di Kelurahan Sail yaitu sebesar 3,7% dari seluruh jumlah penduduk.

Sementara penelitian yang dilakukan oleh Setrellita Lindiasari (2008) yang

berjudul “Analisis Kemiskinan di Tingkat Rumah Tangga di Kabupaten Bogor”.

Hasil analisis menunjukan bahwa Jumlah rumah tangga miskin di Kabuapten Bogor sebesar 16,06 persen, dengan urutan jumlah rumah tangga miskin terbesar berada di wilayah pengembangan Bogor Barat sebesar 25 persen. Jumlah rumah tangga miskin di wilayah pengembangan Bogor Tengah sebesar 22,77 persen, dan Bogor Timur sebesar 10,3 persen. Status pekerjaan kepala keluarga tidak berpengaruh terhadap status kemiskinan rumah tangga di Kabupaten Bogor. Hanya di Kecamatan Leuwisadeng, Pamijahan, Rumpin, Sukajaya, Bojong Gede, Cijeruk, Ciomas, Gunung Sindur, Tajurhalang, Gunung Putri, dan Jonggol yang


(43)

memiliki keterkaitan antara status kemiskinan dengan status pekerjaan kepala keluarga dengan keterkaitan yang sangat lemah sangat lemah. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin di wilayah Bogor Barat adalah kepemilikan aset, luas lantai bangunan tempat tinggal, frekuensi pembelian pakaian baru dalam setahun, jenis dinding bangunan tempat tinggal, sumber penerangan, jenis pekerjaan, kemampuan berobat, dan frekuensi makan dalam sehari. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin di wilayah Bogor Tengah adalah kepemilikan aset, kemampuan membayar untuk berobat ke Puskesmas/Poliklinik, jenis pekerjaan, jenis dinding, luas lantai bangunan tempat tinggal, fasilitas buang air besar, dan frekuensi makan dalam sehari. Karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin di wilayah Bogor Timur adalah kepemilikan aset, jenis pekerjaan, sumber penerangan, kemampuan membayar untuk berobat ke Puskesmas/Poliklinik, frekuensi makan dalam sehari, luas lantai, jenis lantai, dan jenis dinding.


(44)

Tabel 2.1

Tinjauan Penelitian Terdahulu No Nama, Tahun & Judul

Penelitian

Variabel Penelitian Hasil Penelitian

1 Sefty Dwi Juwita (2013) dengan judul

“Analisis Tingkat Kemiskinan Masyarakat Kelurahan Sail

Kecamatan Tenayan Raya Kota Pekanbaru”.

Tingkat Kemiskinan Masyarakat Tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat Kelurahan Sail menunjukan pendapatan yang relatif tidak merata atau ketimpangannya parah (Gini Ratio 0,82383)

2 Setrellita Lindiasari (2008) yang berjudul

“Analisis Kemiskinan

di Tingkat Rumah Tangga di Kabupaten

Bogor”.

Tingkat Kemiskinan Rumah Tangga

Jumlah rumah tangga miskin di Kabuapten Bogor sebesar 16,06 persen, dengan urutan jumlah rumah tangga miskin terbesar berada di wilayah

pengembangan Bogor Barat sebesar 25 persen

2.3Kerangka Konseptual

Jumlah penduduk yang semakin meningkat mengakibatkan permintaan terhadap tuntutan kehidupan yang paling minimum atau kebutuhan dasar juga semakin meningkat. Hal ini terkadang tidak diimbangi dengan peningkatan pasokan kebutuhan dasar tersebut sehingga mengakibatkan tidak semua orang terpenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar tersebut dapat berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan daya beli. Terpenuhinya kebutuhan dasar tersebut menunjukkan kesejahteraan seseorang. Apabila kesejahteraan


(45)

seseorang tidak terpenuhi secara terus-menerus, hal ini akan menyebabkan kemiskinan.

Peningkatan jumlah penduduk juga mengakibatkan peningkatan pada permintaan lapangan kerja. Hal ini apabila tidak ditunjang dengan jumlah lapangan kerja yang memadai akan menyebabkan masalah pengangguran. Selain itu, dengan meningkatnya jumlah penduduk akan terjadi transformasi lahan dari sektor pertanian ke sektor non pertanian seperti untuk perumahan. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. Sehingga dengan semakin menurunnya luas lahan pertanian akan mengakibatkan banyak terjadi pengangguran di sektor tersebut.

Indikator kemiskinan rumah tangga memberikan suatu gambaran tentang penyebab kemiskinan di wilayah Kota Padangsidempuan. Indikator tersebut mencakup 14 indikator, yaitu luas lantai bangunan tempat tinggal (m2), jenis lantai bangunan tempat tinggal terluas, jenis dinding bangunan tempat tinggal terluas, sumber air minum yang digunakan untuk konsumsi sehari-hari, penggunaan fasilitas tempat buang air besar, jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari, sumber penerangan (energi) rumah tangga, jenis barang yang dimiliki minimal senilai 500.000 (emas, televisi berwarna, kulkas/mesin cuci, sepeda motor), frekuensi anggota rumah tangga makan dalam sehari, frekuensi anggota rumah tangga membeli pakaian baru dalam setahun, frekuensi


(46)

tertinggi yang pernah atau sedang ditempuh, bidang pekerjaan utama kepala rumah tangga.

Melalui analisis tabulasi silang terhadap indikator-indikator yang telah dijabarkan diharapkan dapat lebih memahami potret kemiskinan rumah tangga di Kota Padangsidempuan. Hubungan status kemiskinan dengan status pekerjaan kepala rumah tangga di Kota Padangsidempuan juga dianalisis menggunakan analisis tabulasi silang. Selain itu, untuk mengetahui karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di Kota Padangsidempuan maka dilakukan analisis CHAID terhadap indikator-indiaktor tersebut. Melalui analisis-analisis tersebut diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah untuk membuat kebijakan-kebijakan penanggulangan masalah kemiskinan terutama di Kota Padangsidempuan. Gambar di bawah ini untuk mempermudah alur penelitian.


(47)

Gambar.2.1. Kerangka Koseptual Penelitian 14 Indikator Kemiskinan

Kemiskinan di Kota Padangsidempuan

CHAID Crosstab

Karakteristik yang paling menonjol dalam membedakan rumah tangga miskin dan tidak Hubungan antara

status kemiskinan dan status pekerjaan di Potret kemiskinan di Kota

Padangsidempuan


(48)

1.1Latar Belakang

Kemiskinan didefinisikan secara berbeda oleh para ahli karena kemiskinan merupakan masalah yang multidimensi. Secara bahasa, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin yang artinya tidak memiliki harta benda dan serba kekurangan. Pendapat lain mengatakan bahwa kemiskinan adalah orang atau kelompok orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimumnya (Kuncoro, 2010:9).

Besar dan kecilnya standar hidup minimum diukur dan tergantung dari pendekatan mana yang akan digunakan. Dalam studi tentang kemiskinan terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan, yaitu menggunakan pendekatan objektif atau menggunakan pendekatan subjektif (Rejekiningsih, 2011:13). Menggunakan pendekatan objektif berarti mengukur kemiskinan berdasarkan ukuran yang telah ditetapkan oleh pihak lain, baik oleh para ahli maupun oleh lembaga pemerintah. Pengukurannya yaitu diukur dari tingkat kesejahteraan sosial sesuai dengan standar kehidupan. Sedangkan menggunakan pendekatan subjektif berarti dalam mengukur kemiskinan ditentukan oleh orang miskin itu sendiri, yaitu tingkat kesejahteraan sosial orang miskin dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan orang kaya yang ada di lingkungannya. Sehingga dalam mengukur kemiskinan dengan pendekatan subjektif ini akan lebih luas dibandingkan dengan pendekatan objektif karena akan banyak orang miskin apabila kemiskinan dinilai berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin itu sendiri.


(49)

Masalah kemiskinan selalu muncul terutama pada negara-negara yang sedang berkembang maupun pada Negara miskin itu sendiri. Tingginya kemiskinan menunjukkan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu Negara. Dewasa ini, keberhasilan pembangunan ekonomi suatu Negara salah satunya dilihat dari kemampuan dalam mengatasi masalah kemiskinan (Todaro & Smith, 2006: 6).

Kemiskinan merupakan suatu permasalahan yang banyak dihadapi oleh negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Kemiskinan menyangkut suatu kondisi kekurangan dari sebuah tuntutan kehidupan yang paling minimum, khususnya dari aspek konsumsi, pendapatan, dan kebutuhan sosial. Kekurangan dalam aspek konsumsi mencakup kekurangan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kekurangan dalam aspek kebutuhan sosial adalah ketergantungan dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat termasuk dalam bidang pendidikan dan informasi.

Tabel. 1.1. Angka Kemiskinan Indonesia Periode Tahun 2012-2014 Tahun Jumlah Penduduk Miskin Tingkat Kemiskinan (%)

2012 29.136.778 11,96

2013 28.173.654 11,36

2014 28.289.512 11,46

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia.

Jumlah penduduk miskin di Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun, yang diperlihatkan pada Tabel 1.1. Pada tahun 2012 jumlah penduduk miskin


(50)

orang (11,46%) yang artinya pada tahun 2014 terjadi lagi peningkatan jumlah penduduk miskin sebesar 0,11juta orang (0,10%).

Tabel. 1.2. Angka Kemiskinan Provinsi Sumatera Utara Periode Tahun 2012-2014

Tahun Jumlah Penduduk Miskin Tingkat Kemiskinan (%)

2012 1.400.453 10,41

2013 1.416.490 10,39

2014 1.360.711 9,85

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara.

Fluktuasi tersebut juga terjadi di Provinsi Sumatera Utara. Jumlah penduduk miskin di sumatera Utara dari tahun 2012 sampai 2014 mengalami penurunan.

Tabel. 1.3. Angka Kemiskinan Kota Padangsidempuan Periode Tahun 2012-2014

Tahun Jumlah Penduduk Miskin Tingkat Kemiskinan (%)

2012 19.240 9,60

2013 18.443 9,04

2014 17.650 8,52

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Padangsidimpuan

Sementara itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara, jumlah penduduk miskin di Kota Padangsidempuan pada tahun 2012 sebesar 19.240 jiwa dan menurun menjadi 18.443 jiwa pada tahun 2013. Pada tahun 2014 angka tersebut mengalami penurunan lagi menjadi 17.650. Jika dilihat secara persentase, ternyata tingkat kemiskinan di Kota Padangsidempuan relatif rendah dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Sumatera Utara, dimana angka kemiskinan penduduk kota Padangsidempuan menempati urutan ke 7 yang mengenai kemiskinan penduduknya dari 33 kabupaten/kota yang terdapat di Sumatera Utara.


(51)

Kemiskinan juga merupakan alasan rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Secara menyeluruh kualitas manusia Indonesia relatif masih sangat rendah, dibandingkan dengan kualitas manusia di negara-negara lain di dunia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai salah satu indikator yang digunakan dalam pengukuran kemiskinan diperkenalkan oleh United Nations Development Programs (UNDP).

Berdasarkan Human Development Report 2004 yang menggunakan data tahun 2002, angka Human Development Index (HDI) Indonesia adalah 0,692. Kondisi IPM Indonesia berada pada urutan ke 111 dari 175 negara. Meningkat satu peringkat dibandingkan kondisi IPM tahun 2003, yang menempatkan Indonesia pada urutan 112, dari 175 negara. Posisi ini masih sangat jauh tertinggal dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang lain. IPM Malaysia berada pada urutan ke 59. Thailand pada posisi 76 bahkan Philipina yang diasumsikan sebagai negara yang cukup miskin, menempati urutan 83, masih jauh di atas Indonesia. Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia hanya berada satu peringkat di atas Vietnam, negara yang baru saja keluar dari konflik politik yang panjang akibat perang saudara yang tidak berkesudahan.

Kota Padangsidimpuan sebagai salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara menghadapi masalah yang tidak sederhana dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini disebabkan Kota Padangsidimpuan memiliki


(52)

Kota Padangsidimpuan terdiri dari 6 kecamatan, yaitu kecamatan Padangsidimpuan Utara, Padangsidimpuan Selatan, Padangsidimpuan Batunadua, Padangsidimpuan Hutaimbaru, Padangsidimpuan Tenggara, dan Padangsidimpuan Angkola Julu.

Menurut data BPS Padangsidempuan, jumlah penduduk Kota Padangsidempuan pada tahun 2014 sebesar 209.796 jiwa.. Jumlah tersebut mendiami wilayah seluas 114,66 km2 sehingga secara rata-rata kepadatan penduduk Kota Padangsidempuan adalah 1.830 jiwa per km2. Jumlah penduduk yang besar berdampak dalam penyediaan infrastruktur serta lapangan pekerjaan yang memadai. Selain itu, jumlah penduduk yang besar menjadi beban dalam proses pembangunan jika berkualitas rendah karena akan meningkatkan kemiskinan di Kota Padangsidempuan.

Antara pertumbuhan penduduk yang terus meningkat serta tersedianya lapangan pekerjaan mempunyai hubungan timbal balik yang sangat erat kaitannya. Faktor pertumbuhan penduduk berpengaruh pula terhadap penambahan angkatan kerja sehingga kesempatan kerja menjadi lebih terbatas penyediannya. Akibat yang dirasakan adalah timbulnya tenaga kerja yang menganggur atau masalah pengangguran.

Angkatan kerja di Kota Padangsidempuan pada tahun 2014 mencapai 171.692 jiwa, sebanyak 120.579 jiwa (70,23%) diantaranya bekerja dan 51.116 jiwa (29,77%) menganggur. Diantara jumlah penduduk yang menganggur sebanyak (7,2%) sedang mencari pekerjaan dan (18,6%) murni tidak bekerja


(53)

karena alasan merasa tidak mungkin mendapatkan kerja dan alasan merasa sudah cukup.

Kemiskinan dan pengangguran menjadi masalah dalam pembangunan di Kota Padangsidempuan. Pemerintah Kota Padangsidempuan telah melakukan beberapa kebijakan dalam proses penanggulangan kemiskinan tersebut. Beberapa hal yang harus diketahui oleh pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan adalah karakteristik rumah tangga miskin di Kota Padangsidempuan. Karakteristik rumah tangga menjadi salah satu ukuran dalam melihat kemiskinan dan mempermudah pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan penanggulangan kemiskinan.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang kemiskinan rumah tangga dengan judul “Analisis Tingkat Kemiskinan Rumah Tangga Di Kota Padangsidimpuan”

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka ditentukanlah beberapa permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimana potret kemiskinan Kota Padangsidempuan berdasarkan karakteristik rumah tangga miskin?

2. Bagaimana hubungan antara status kemiskinan dengan status pekerjaan di Kota Padangsidempuan berdasarkan karakteristik rumah tangga miskin? 3. Apa saja karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak

miskin di Kota Padangsidempuan berdasarkan karakteristik rumah tangga miskin?


(54)

2. Untuk mengetahui dan menganalisis hubungan antara status kemiskinan dengan status pekerjaan di Kota Padangsidempuan berdasarkan karakteristik rumah tangga miskin.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis karakteristik yang membedakan rumah tangga miskin dan tidak miskin di Kota Padangsidempuan berdasarkan karakteristik rumah tangga miskin.

1.3.2Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai:

1. Bagi pemerintah pusat dan Kota Padangsidempuan sebagai pembuat kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan yang terkait dengan pengentasan kemiskinan di Indonesia secara umum dan Kota Padangsidempuan khususnya.

2. Bagi penulis berguna sebagai sarana untuk mendapatkan pengalaman ilmiah dan sarana implementasi dari teori-teori yang diajarkan.

3. Sebagai bahan informasi, perbandingan, dan masukan bagi kalangan akademisi dalam penelitian-penelitian selanjutnya.


(55)

ANALISIS PENGARUH KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA, INFLASI, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP TINGKAT

KEMISKINAN DI SUMATERA UTARA

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Tingkat Kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh langsung dari Badan Pusat Statistik dan dinas atau instansi terkait.

Analisis yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif dengan model analisis linier berganda. Variabel yang digunakan adalah Tingkat Kemiskinan, Angka Melek Huruf (AMH), Inflasi, dan Pertumbuhan Ekonomi. Dalam penelitian ini menggunakan SPSS 21 sebagai alat estimasi.

Hasil regresi menunjukkan bahwa Angka Melek Huruf berpengaruh negatif secara signifikan terhadap Tingkat Kemiskinan, Inflasi berpengaruh positif secara tidak signifikan terhadap Tingkat Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh negatif secara signifikan terhadap Tingkat Kemiskinan. Kemudian adanya hubungan antara Angka Melek Huruf, Inflasi, dan Pertumbuhan Ekonomi dengan Tingkat Kemiskinan sebesar 88,2% dan 11,8%, lainnya dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak disebutkan dalam model ini.

Kata Kunci: Tingkat Kemiskinan, Angka Melek Huruf, Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi


(1)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim Assalamu ‘alaikum W.r.W.b

Dengan mengucap rasa syukur yang tak terhingga atas nikmat dan karunianya Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan syarat untuk menempuh ujian Sarjana Ekonomi di Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Analisis Tingkat Kemiskinan Rumah Tangga Di Kota Padangsidimpuan”.

Dalam tulisan ini penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak baik berupa dorongan semangat dan sumbangan pemikiran. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan membimbing penulis terutama kepada:

1. Secara khusus, skripsi ini penulis persembahkan buat kedua orang tua tercinta Ir. Ripin Tajaroh Hrp, M.Ap. dan Tini Kartini yang telah memberikan kasih sayangnya kepada penulis dengan setulus hati.

2. Bapak Prof. Dr. Ramli, S.E., M.S. selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Wahyu Ario Pratomo, S.E., M.Ec., selaku ketua Departemen dan Bapak Drs. Syahrir Hakim Nasution, M.Si., selaku sekretaris Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Irsyad Lubis, S.E., M.Soc.Sc., Ph.D. selaku ketua Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara dan Bapak Paidi Hidayat, S.E., M.Si. selaku sekretaris Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Drs. Syahrir Hakim Nasution, M.Si. selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan masukan, saran dan bimbingan yang baik kepada penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini.

6. Seluruh teman-teman mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dukungan dan motivasi bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Medan, 10 Oktober 2016 Yang membuat pernyataan,

M. RIDHO ALFAZ HRP NIM : 120501203


(2)

v DAFTAR ISI

Halaman

PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 6

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Landasan Teori ... 8

2.1.1Pengertian Kemiskinan ... 8

2.1.2Penyebab Kemiskinan ... 10

2.1.3Konsep Kemiskinan ... 11

2.1.4Indikator Kemiskinan ... 16

2.1.5Konsep Pengangguran ... 17

2.2Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 19

2.3Kerangka Konseptual ... 22

BAB III METODE PENELITIAN 3.1Tempat dan Waktu Penelitian ... 25

3.2Populasi dan Sampel Penelitian ... 25

3.2.1Populasi ... 25

3.2.2Sampel ... 26

3.3Jenis dan Sumber Data ... 27

3.3.1Jenis Data ... 27

3.3.2Sumber Data ... 27

3.4Teknik Pengumpulan Data ... 28

3.5Metode Analisis ... 29

3.5.1Analisis Deskriptif ... 29

3.5.2Analisis Statistik Non parametric... 30

3.5.3Analisis CHAID ... 31

3.6Definisi Operasional... 35

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1Deskripsi Kemiskinan Di Kota Padasidimpuan ... 37

4.1.1 Jumlah Penduduk dan Indikator Kemiskinan ... 37


(3)

4.1.2Karakteristik Rumah Tangga Miskin di Kota

Padangsidimpuan ... 37

4.1.3Tingkat Kemiskinan dan Status Pekerjaan Kepala Keluarga ... 50

4.1.4Implikasi Kebijakan ... 52

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1Kesimpulan ... 54

5.2Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 56


(4)

vii DAFTAR TABEL

No. Tabel JudulTabel Halaman

1.1 Angka Kemiskinan Indonesia Periode Tahun 2012-2014 ... 2 1.2 Angka Kemiskinan Provinsi Sumatera Utara Periode Tahun

2012-2014 ... 3 1.3 Angka Kemiskinan Kota Padangsidempuan Periode Tahun

2012-2014 ... 3 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 21 4.1 Jumlah Rumah Tangga Miskin di Kota Padangsidimpuan

Tahun 2014 (persen) ... 38 4.2 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Luas Lantai Lebih

Besar dari 8 m2 per orang di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen) ... 39 4.3 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Lantai

Bangunan Tempat Tinggal di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen) ... 40 4.4 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Dinding

Bangunan Tempat Tinggal di di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen) ... 41 4.5 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Sumber Air Minum

di di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen) ... 41 4.6 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Fasilitas Buang Air

Besar di di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen) ... 42 4.7 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Jenis Bahan Bakar

yang Digunakan untuk Memasak Sehari-haridi di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen) ... 43 4.8 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Sumber

Penerangan di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen) ... 43 4.9 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi Makan

dalam Sehari di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen).... 44 4.10 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Kepemilikan Aset

di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen) ... 45 4.11 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi

Membeli Pakaian Baru Dalam Setahun di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen) ... 46 4.12 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Frekuensi

Frekuensi Membeli Daging/Ayam/Susu dalam Seminggu di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen) ... 47 4.13 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Kemampuan

Membayar untuk Berobat ke Puskesmas/Poliklinik di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen) ... 48


(5)

4.14 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Status Pekerjaan Kepala Keluarga di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen) ... 49 4.15 Jumlah Rumah Tangga Miskin berdasarkan Pendidikan

Tertinggi Kepala Keluarga di Kota Padangsidimpuan Tahun 2014 (persen) ... 50 4.16 Kaitan antara Status Kemiskinan dan Status Pekerjaan di Kota


(6)

ix

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Gambar Halaman

2.1 Kerangka Konseptual Penelitian ... 24