Tingkat Risiko Penularan dan Upaya Pengendalian Tuberkulosis Paru Pada Para Tahanan Blok D1 di Rumah Tahanan Negara Klas I Tanjung Gusta Medan Tahun 2016

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Tuberkulosis Paru

2.1.1

Definisi Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang bersifat menahun,

disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis, yang sering dihinggapi
adalah paru-paru (Depkes RI, 2002).
Penyakit Tuberkulosis merupakan jenis penyakit menular yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis, yang masih masuk dalam keluarga
besar genus Mycobacterium. Bakteri atau kuman M. tuberculosis ini berbentuk
batang, berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal hanya 0,3-0,6 mikron. Bakteri ini
juga dikenal dengan Bakteri Tahan Asam (BTA) dikarenakan tahan terhadap
pewarnaan yang asam.Asam lemak dan lipid yang membuat kuman ini menjadi
lebih tahan asam serta tahan terhadap zat kimia, zat fisik, dan bisa membuatnya
bertahan hidup untuk bertahun-tahun. Sifat lain yang juga terdapat pada M.

tuberkulosis yaitu bersifat aerob, artinya lebih menyukai jaringan kaya oksigen,

terutama bagian apical posterior (Bahar, 2010).
Kuman penyebab TB pertama kali ditemukan pada tahun 1882 oleh Robert
Koch, sedangkan vaksin BCG ditemukan pada tahun 1921. Kemudian pada tahun
1944 ditemukan streptomisin sebagai obat pertama anti TBC, dan disusul INH
pada tahun 1949.Penyakit TBC muncul kembali ke permukaan dengan
meningkatnya kasus TBC di negara-negara maju atau industri pada tahun 1990.
Sebagian besar kuman BTA ini menyerang organ paru manusia, namun

7

Universitas Sumatera Utara

8

juga dapat menyerang organ lain di dalam tubuh. Secara khas kuman membentuk
granuloma dalam paru dan menimbulkan nekrosis atau kerusakan jaringan
(Achmadi, 2008).Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100°C selama 510 menit atau pada pemanasan 60°C selama 30 menit, dan dengan alcohol 7095% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara, di tempat
yang lembab dan gelap bisa berbulan-bulan, tapi tidak tahan terhadap sinar

matahari atau aliran udara (Widoyono, 2008).
Saat ini penyakit TB dan TBC menyerang sepertiga dari 1,9 miliar
penduduk dunia dewasa ini. Aditama (2000) selalu menyebut, setiap detik ada 1
orang yang terinfeksi baik itu TB maupun TBC di dunia.Setiap tahun terdapat 8
juta penderita baru, dan aka nada 3 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat
penyakit ini. Ini berarti 1% dari penduduk dunia akan terinfeksi TB dan TBC
setiap tahun. Tidak hanya itu, satu orang ternyata memiliki potensi menularkan
virus 10 hingga 15 orangnya dalam satu tahun saja (Achmadi, 2008).
2.1.2

Etiologi Tuberkulosis Paru
Penyebab penyakit tuberkulosis paru adalah bakteri TB Paru disebut

Mycobacterium tuberculosis berukuran 0,5-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron,
dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau tidak
mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid
(terutama asam mikolat). Bakteri ini mempunyai sifat istimewa, yaitu dapat
bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga sering
disebut Basil Tahan Asam (BTA) serta tahan terhadap zat kimia dan fisik
(Widoyono, 2008)


Universitas Sumatera Utara

9

Sifat lain adalah bersifat aerob, lebih menyukai jaringan kaya oksigen
(Achmadi, 2008). Bila dijumpai BTA dalam dahak orang yang sering batuk-batuk
maka orang tersebut didiagnosis sebagai penderita TB Paru aktif dan sangat
berbahaya karena memiliki potensi yang amat berbahaya (Achmadi, 2011).
Secara khas bakteri berbentuk granula dalam paru menimbulkan nekrosis atau
kerusakan jaringan. Bakteri Mycobacterium tuberculosis akan cepat mati dengan
sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap
dan lembab. Dalam jaringan tubuh dapat dormant, tertidur lama selama bertahun
tahun (Achmadi, 2008)
2.1.3

Patogenesis Penyakit Tuberkulosis Paru
Patogenesis penyakit tuberkulosis paru berawal dari penderita tuberkulosis

paru BTA positif sebagai sumber penularan. Pada waktu batuk atau bersin,

penderita menyebarkan bakteri dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet
yang mengandung bakteri dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama
beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam
saluran pernafasan. Daya penularan dari seseorang penderita ditentukan oleh
banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari parunya.
Patogenesis penyakit tuberkulosis paru dibedakan berdasarkan proses
terjadinya, sebagai berikut:
A. Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi pada seseorang yang terpapar pertama kali dengan
bakteri tuberkulosis paru. Droplet yang terhisap sangat kecil ukurannya sehingga
dapat melewati sistem pertahanan mukosiller broncus dan terus berjalan sampai di

Universitas Sumatera Utara

10

alveolus terminalis dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat bakteri tuberkulosis

paru berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru yang
mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa bakteri

tuberkulosis paru ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai
kompleks primer. Waktu antara terjadi infeksi sampai pembentukan kompleks
primer adalah 4-6 minggu (Depkes RI, 2006).
B. Tuberkulosis Paru Pasca Primer (Post Primary Tuberculosis)
Tuberkulosis paru pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau
tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat
terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis paru pasca
primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi
pleura (Depkes RI, 2002).
C. Komplikasi Pada Penderita Tuberkulosis Paru
1) Pneumutoraks spontan terjadi bila udara memasuki rongga pleura sesudah
terjadi robekan pada kavitas tuberkulosis paru.
2) Cor pulmonale adalah gagal jantung kongestif karena tekanan balik akibat
kerusakan paru, dapat terjadi bila terdapat destruksi paru yang amat luas.
3) Aspergilomata dimana kavitas tuberkulosis paru yang sudah diobati
dengan baik dan sudah sembuh kadang-kadang tinggal terbuka dan dapat
terinfeksi dengan jamur Aspergillus fumigatus.
4) Hemoptis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya
jalan nafas.


Universitas Sumatera Utara

11

5) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkhial.
6) Bronkhiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan) pada paru.
7) Insufisiensi Cardio Pulmoner.
8) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal
dan sebagainya (Depkes RI, 2002).
Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular
penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat bakteri),
maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang
terinfeksi TB Paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2002).
2.1.4

Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis Paru
Epidemiologi penyakit tuberkulosis paru adalah ilmu yang mengkaji


distribusi, frekuensi serta determinan. Kajian tersebut menyangkut interaksi antara
Mycobacterium Tuberculosis sebagai bakteri (agent), manusia (host) dan

lingkungan (environment). Disamping itu mencakup perkembangan dan
penyebarannya, termasuk didalamnya juga mencakup prevalensi dan insidensi
penyakit tersebut yang timbul dari populasi yang tertular (Depkes RI, 2006).
A.

Distribusi Penyakit Tuberkulosis Paru
Penyakit tuberkulosis paru sumber infeksi adalah manusia yang

mengeluarkan basil tuberkel dari saluran pernafasan. Kontak yang rapat (misalnya
dalam keluarga) menyebabkan banyak kemungkinan penularan melalui droplet.
Kerentanan penderita tuberkulosis paru meliputi risiko memperoleh infeksi dan

Universitas Sumatera Utara

12


konsekuensi timbulnya penyakit setelah terjadi infeksi, sehingga bagi orang
dengan uji tuberkulin negatif risiko memperoleh basil tuberkel bergantung pada
kontak dengan sumber-sumber bakteri penyebab infeksi terutama dari penderita
tuberkulosis paru dengan BTA positif. Konsekuensi ini sebanding dengan angka
infeksi aktif penduduk, tingkat kepadatan penduduk, keadaan sosial ekonomi yang
merugikan dan perawatan kesehatan yang tidak memadai (Depkes RI, 2006).
Berkembangnya penyakit secara klinik setelah infeksi dimungkinkan adanya
faktor komponen genetik yang terbukti pada hewan dan diduga terjadi pada
manusia, hal ini dipengaruhi oleh umur, kekurangan gizi dan kenyataan status
immunologik serta penyakit yang menyertainya.
B.

Frekuensi Penyakit Tuberkulosis Paru
Sebagian besar dari kasus TB ini (95 %) dan kematiannya (98 %) terjadi

dinegara-negara yang sedang berkembang. Di antara mereka 75 % berada pada
usia produktif yaitu 20-49 tahun. Karena penduduk yang padat dan tingginya
prevalensi maka lebih dari 65 % dari kasus-kasus TB yang baru dan kematian
yang muncul di Asia. Di negara maju dapat dikatakan penyakit TBC dapat
dikendalikan, namun adanya peningkatan kasus penyakit HIV merupakan

ancaman yang sangat potensial dalam pengkatan kasus penyakit TBC baru. Pada
tahun 1955 diseluruh dunia terdapat 17 kasus infeksi HIV dan kira-kira ada 6 juta
kasus AIDS pada orang dewasa dan anak sejak timbulnya pandemi HIV. Kira-kira
sepertiga dari semua orang yang terinfeksi HIV juga terinfeksi tuberkulosis. Dari
jumlah ini 70% berada di Afrika, 20% di Asia dan 80 di Amerika Latin. (Crofton,
2002)

Universitas Sumatera Utara

13

WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TBC (global health
emergency) pada tahun 1993, karena disebagian besar negara didunia, penyakit

TBC tidak terkendali. Hal ini karena banyaknya penderita TBC yang tidak
berhasil disembuhkan. Di negara-negara miskin kematian TBC merupakan 25%
dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah. Daerah Asia Tenggara
menanggung bagian yang terberat dari beban TBC global yakni sekitar 38% dari
kasus TBC dunia. (Depkes RI, 2005)
C.


Determinan Penyakit Tuberkulosis Paru
Menurut teori Gordon dalam Soemirat (2000), mengemukakan bahwa

timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit
(agent), penjamu (host), dan lingkungan (environment). Ketiga faktor penting ini
disebut segi tiga epidemiologi (epidemiologi triangle), hubungan ketiga faktor
tersebut digambarkan secara sederhana sebagai timbangan yaitu agent penyebab
penyakit pada satu sisi dan penjamu pada sisi yang lain dengan lingkungan
sebagai penumpunya.
Bila agent penyebab penyakit dengan penjamu berada dalam keadaan
seimbang, maka seseorang berada dalam keadaan sehat, perubahan keseimbangan
akan menyebabkan seseorang sehat atau sakit, penurunan daya tahan tubuh akan
menyebabkan bobot agent penyebab menjadi lebih berat sehingga seseorang
menjadi sakit, demikian pula bila agent penyakit lebih banyak atau lebih ganas
sedangkan faktor penjamu tetap, maka bobot agent penyebab menjadi lebih berat.
Sebaliknya bila daya tahan tubuh seseorang baik atau meningkat maka ia dalam
keadaan sehat (Soewasti, 2000).

Universitas Sumatera Utara


14

Apabila faktor lingkungan berubah menjadi cenderung menguntungkan
agent penyebab penyakit, maka orang akan sakit, pada prakteknya seseorang

menjadi sakit akibat pengaruh berbagai faktor berikut :
A.

Agent
Mycobacterium

Tuberculosis

adalah

suatu

anggota

dari

famili

Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetalis. Mycobacterium

tuberculosis menyebabkan penyakit pada manusia dan sering menyebabkan
infeksi. Masih terdapat Mycobacterium patogen lainnya, misalnya Mycobacterium
Leprae, Mycobacterium paratuberkulosis paru dan Mycobacterium yang dianggap

sebagai Mycobacterium non tuberculosis atau tidak dapat terklasifikasikan
(Depkes RI, 2006).
Agent adalah penyebab yang essensial yang harus ada, apabila penyakit

timbul atau manifest, tetapi agent sendiri tidak sufficient/memenuhi syarat untuk
menimbulkan penyakit. Agent memerlukan dukungan faktor penentu agar
penyakit dapat manifest. Agent yang mempengaruhi penularan penyakit
tuberkulosis paru adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis. Agent ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pathogenitas, infektifitas dan
virulensi (Soewasti, 2000).
B. Host
Manusia merupakan reservoar untuk penularan bakteri Mycobacterium
Tuberculosis, bakteri tuberkulosis paru menular melalui droplet nuclei. Seorang

penderita tuberkulosis paru dapat menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI,
2002). Menurut penelitian Pusat Ekologi Kesehatan (1991), menunjukkan tingkat

Universitas Sumatera Utara

15

penularan tuberkulosis paru di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi,
dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam
rumahnya. Beberapa faktor host yang mempengaruhi penularan penyakit Tb paru
adalah : Umur, Jenis Kelamin,Status Gizi.
1) Umur
Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit TB Paru. Dari hasil
penelitian di New York menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi TB
Paru aktif meningkat secara bermakna sesuai umur. Di Indonesia diperkirakan
75% penderita TBC adalah usia produktif, yakni 15 hingga 50 tahun (Achmadi,
2010).
Berdasarkan Profil kesehatan Indonesia tahun 2002 menggambarkan
presentase penderita TB adalah usia 25-34 tahun (23,67%), diikuti 35-44 tahun
(20,46%), 15-24 tahun (18,08%), 45-54 tahun (17,48%), 56-64 tahun (12,32%),
lebih dari 65 tahun (6,68%), dan yang terendah adalah 0-14 tahun (1,31%). Risiko
penularan TB paru tertinggi yaitu pada usia di bawah 3 tahun, rendah pada masa
kanak-kanak dan meningkat lagi pada masa remaja dan dewasa muda berusia 1550 tahun (usia produktif) dan pada usia lanjut (Widoyono, 2008).
2) Jenis Kelamin
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak menderita TB
Paru. Hal ini disebabkan laki-laki lebih banyak melakukan mobilisasi dan
mengkonsumsi alkohol dan rokok (Depkes RI, 2005). Penelitian dengan
pendekatan prospektif observasional analitik di RS Persahabatan tahun 2005

Universitas Sumatera Utara

16

melaporkan bahwa laki-laki 0,5 kali lebih sulit untuk sembuh dari pada wanita
pada penderita TB Paru.
3) Status Gizi
Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang merupakan hubungan
timbal balik, yaitu hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk
keadaan gizi dan keadaan gizi yang buruk dapat mempermudah terkena penyakit
infeksi (Supariasa, 2001). Hal ini dapat menyebabkan meningkatnya kasus
penyakit tuberkulosis karena daya tahan tubuh yang rendah (Girsang, 2000).
Penelitian Firdaus (2005) dengan desain prospektif observasional analitik di RS
Persahabatan tahun 2005 melaporkan bahwa status gizi buruk 9,59 kali lebih sulit
untuk sembuh dari pada status gizi baik pada penderita TB Paru.
C. Environment
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host baik benda
mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat
interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang lain. Distribusi geografis TBC
mencakup seluruh dunia dengan variasi kejadian yang besar dan prevalensi
menurut tingkat perkembangannya. Penularannya pun berpola skuler tanpa
dipengaruhi musim dan letak geografis. Pada penularan Tb Paru, faktor
lingkungan (environment) yang sangat berpengaruh adalah kelembaban, intensitas
cahaya dan suhu juga kepadatan hunian (Depkes RI, 2006).

Universitas Sumatera Utara

17

2.1.5 Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru
Dalam program pencegahan penyakit tuberkulosis paru dilakukan secara
berjenjang, mulai dari pencegahan primer, kemudian pencegahan sekunder, dan
pencegahan tertier, sebagai berikut:
A. Pencegahan Primer
Konsep pencegahan primer penyakit tuberkulosis paru adalah mencegah
orang sehat tidak sampai sakit. Upaya pencegahan primer sesuai dengan
rekomendasi WHO dengan pemberian vaksinasi Bacille Calmette-Guérin (BCG)
segera setelah bayi lahir. Walaupun BCG telah diberikan pada anak sejak tahun
1920-an, efektivitasnya dalam pencegahan TB masih merupakan kontroversi
karena kisaran keberhasilan yang diperoleh begitu lebar (antara 0-80%). Namun
ada satu hal yang diterima secara umum, yaitu BCG memberi perlindungan lebih
terhadap penyakit tuberkulosis yang parah seperti tuberkulosis milier atau
meningitis tuberkulosis. Karena itu kebijakan pemberian BCG disesuaikan dengan
prevalensi tuberkulosis di suatu negara. Di negara dengan prevalensi tuberkulosis
yang tinggi, BCG harus diberikan pada semua anak kecuali anak dengan gejala
HIV/AIDS, demikian juga anak dengan kondisi lain yang menurunkan kekebalan
tubuh. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa vaksinasi BCG ulangan
memberikan tambahan perlindungan, dan karena itu hal tersebut tidak dianjurkan.
Sebagian kecil anak (1-2%) dapat mengalami efek samping vaksinasi BCG seperti
pembentukan kumpulan nanah (abses) lokal. Selain pemberian imunisasi BCG,
pencegahan primer juga dapat didukung dengan konsumsi gizi yang baik.

Universitas Sumatera Utara

18

B. Pencegahan Sekunder
Upaya pencegahan sekunder pada penyakit tuberkulosis paru perlu
dilakukan dengan skrining (screaning), yaitu pemeriksaan menggunakan sistem
skoring. Bila hasil evaluasi dengan skoring sistem didapat skor < 5, kepada anak
tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan dosis 5–10 mg/kg BB/hari selama 6
bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG
dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai (Depkes, 2006).
Upaya pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
laboratorium terhadap penderita tuberkulosis paru. Laboratorium tuberkulosis
paru merupakan bagian dari pelayanan laboratorium kesehatan mempunyai peran
penting dalam Penanggulangan Tuberkulosis paru berkaitan dengan kegiatan
deteksi pasien tuberkulosis paru, pemantauan keberhasilan pengobatan serta
menetapkan hasil akhir pengobatan (Depkes RI, 2007).
Diagnosis tuberkulosis paru melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak
merupakan metode baku emas (gold standard). Namun, pemeriksaan kultur
memerlukan waktu lebih lama (paling cepat sekitar 6 minggu) dan mahal.
Pemeriksaan 3 spesimen (SPS) dahak secara mikroskopis nilainya identik dengan
pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan. Pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik,
sensitif dan dapat dilaksanakan di semua unit laboratorium (Depkes RI, 2007).
Untuk mendukung kinerja penanggulangan, diperlukan ketersediaan
Laboratorium tuberkulosis paru dengan pemeriksaan dahak mikroskopis yang
terjamin mutunya dan terjangkau di seluruh wilayah Indonesia. Tujuan

Universitas Sumatera Utara

19

manajemen laboratorium tuberkulosis paru adalah untuk meningkatkan penerapan
manajemen laboratorium tuberkulosis paru yang baik di setiap jenjang
laboratorium dalam upaya melaksanakan pelayanan laboratorium yang bermutu
dan mudah dijangkau oleh masyarakat (Depkes RI, 2007).
Ruang lingkup manajemen laboratorium tuberkulosis paru meliputi
beberapa aspek yaitu; organisasi pelayanan laboratorium tuberkulosis paru,
sumber daya laboratorium, kegiatan laboratorium, pemantapan mutu laboratorium
tuberkulosis paru, keamanan dan kebersihan laboratorium, dan monitoring
(pemantauan) dan evaluasi (Depkes RI, 2007).
Selanjutnya upaya pencegahan sekunder dilakukan dengan kegiatan
diagnosis penderita tuberkulosis paru dengan mengkaji :
(1) Gejala-gejala Tuberkulosis Paru
Menurut Mason et al (2005) dalam textbook of respiratory medicine,
disebutkan bahwa batuk adalah gejala yang paling umum dari TB paru.
Peradangan pada parenkim paru yang berdekatan dengan permukaan pleura dapat
menyebabkan nyeri pleuritik tanpa penyakit pleura jelas. Pneumotoraks spontan
juga dapat terjadi, sering dengan nyeri dada dan mungkin dyspnea bahwa hasil
dari keterlibatan parenkim tidak biasa kecuali ada penyakit yang lain.
(2) Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru Pada Orang Dewasa
Penemuan penderita tuberkulosis paru dilakukan secara pasif, artinya
penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang
berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut
didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun

Universitas Sumatera Utara

20

masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Selain
itu semua kontak penderita tuberkulosis paru BTA positif dengan gejala sama,
harus diperiksa dahaknya. Semua tersangka penderita diperiksa 3 spesimen dahak
dalam waktu 2 hari berturut-berturut, yaitu Sewaktu–Pagi–Sewaktu /SPS (Depkes
RI, 2002).
Berdasarkan penemuan penderita tuberkulosis paru, maka dilakukan
klasifikasi penyakit dan tipe penderita tuberkulosis paru sebagai berikut:
1) Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis paru yang
menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan
hasil pemeriksaan dahak, tuberkulosis paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis paru BTA Positif. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak
SPS hasilnya BTA positif atau 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif
dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis paru aktif.
b. Tuberkulosis paru BTA negatif. Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya
BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan tuberkulosis paru aktif.
Tuberkulosis paru negatif tetapi rontgen positif dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu berat dan ringan.
2) Tuberkulosis Paru Ekstra Paru. Tuberkulosis paru ekstra paru adalah
tuberkulosis paru yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung, kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Tuberkulosis paru
ekstra paru dibagi lagi pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu tuberkulosis

Universitas Sumatera Utara

21

paru ekstra paru ringan dan tuberkulosis paru ekstra paru berat (Depkes RI,
2002).
Menurut Depkes RI (2002), tipe penderita dibagi ke dalam beberapa tipe,
yaitu kasus baru; kambuh (relaps); pindahan (transfer in); setelah lalai (drop-out);
gagal dan kasus kronik.
C. Pencegahan Tertier
Sasaran dari pencegahan tertier dilakukan pada penderita yang telah parah,
misalnya penderita tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa
bulan atau tahun sesudah infeksi primer, yang terjadi karena daya tahan tubuh
menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari
tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya
kavitas atau efusi pleura (WHO, 2003).
Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase: intensif dan lanjutan. Fase intensif
ditujukan untuk membunuh sebagian besar bakteri secara cepat dan mencegah
resistensi obat. Sedangkan fase lanjutan bertujuan untuk membunuh bakteri yang
tidak aktif. Fase lanjutan menggunakan lebih sedikit obat karena sebagian besar
bakteri telah terbunuh sehingga risiko pembentukan bakteri yang resisten terhadap
pengobatan menjadi kecil (WHO, 2003).
Efek samping pengobatan TB lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan
pada pasien dewasa. Efek samping yang paling penting diperhatikan adalah
keracunan pada hati (hepatotoksisitas) yang dapat disebabkan oleh isoniazid,
rifampicin, dan pyrazinamide. Tidak ada anjuran untuk memeriksa kadar enzim
hati secara rutin karena peningkatan enzim yang ringan. Isoniazid dapat

Universitas Sumatera Utara

22

menyebabkan defisiensi vitamin B6 (pyridoxine) pada kondisi tertentu sehingga
suplemen vitamin B6 direkomendasikan pada anak yang kurang gizi, anak yang
terinfeksi HIV, bayi yang masih menyusu ASI, dan remaja yang hamil (WHO,
2006).
2.2

Perilaku
Perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktifitas dari manusia itu

sendiri yang mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, bahkan kegiatan
internal seperti berpikir, persepsi dan emosi (Notoatmodjo, 2003).
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang baik
bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap), maupun bersifat aktif (tindakan
yang nyata atau practice) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan
penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan.
Lawrence Green menjelaskan bahwa perilaku itu dilatarbelakangi atau
dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni :
a.

Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) mencakup pengetahuan dan
sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat
terhadap hal yang berkaita dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut
masyarakat, tingkat pendidika, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.

b.

Faktor-faktor pemungkin (enambling factors) mencakup ketersediaan sarana
dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat.

c.

Faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing factors)
meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan

Universitas Sumatera Utara

23

perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan juga undang-undang dan
peraturan.
2.2.1

Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil tahu setelah adanya penginderaan terhadap

suatu objek dan sangat penting dalam pembentukan tindakan seseorang. Tanpa
pengetahuan seseorng tidak mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan
menentukan tindakan terhadap masalah yang dihadapi. Ada empat macam
pengetahuan (Widodo, 2006), yaitu :
1.

Pengetahuan Faktual (Factual knowledge)
Pengetahuan yang berupa potongan - potongan informasi yang terpisah-pisah

atau unsur dasar yang ada dalam suatu disiplin ilmu tertentu. Pengetahuan faktual
pada umumnya merupakan abstraksi tingkat rendah. Ada dua macam
pengetahuanfakt ual yaitu pengetahuan tentang terminologi (knowledge of
terminology) mencakup pengetahuan tentang label atau simbol tertentu baik yang

bersifat verbal maupun non verbal dan pengetahuan tentang bagian detail dan
unsur-unsur (knowledge of specific details and element) mencakup pengetahuan
tentang kejadian, orang, waktu dan informasi lain yang sifatnya sangat spesifik.
2.

Pengetahuan Konseptual
Pengetahuan yang menunjukkan saling keterkaitan antara unsur-unsur dasar

dalam struktur yang lebih besar dan semuanya berfungsi bersama - sama.
Pengetahuan konseptual mencakup skema, model pemikiran, dan teori baik yang
implisit maupun eksplisit. Ada tiga macam pengetahuan konseptual, yaitu

Universitas Sumatera Utara

24

pengetahaun tentang kelasifikasi dan kategori, pengetahuan tentang prinsip dan
generalisasi, dan pengetahuan tentang teori, model, dan sruktur.
3.

Pengetahuan Prosedural
Pengetahuan tentang bagaimana mengerjakan sesuatu, baik yang bersifat

rutin maupun yang baru. Seringkali pengetahuan prosedural berisi langkahlangkah atau tahapan yang harus diikuti dalam mengerjakan suatu hal tertentu.
4.

Pengetahuan Metakognitif
Mencakup pengetahuan tentang kognisi secara umum dan pengetahuan

tentang diri sendiri. Penelitian-penelitian tentang metakognitif menunjukkan
bahwa seiring dengan perkembangannya siswa menjadi semakin sadar akan
pikirannya dan semakin banyak tahu tentang kognisi, dan apabila siswa bisa
mencapai hal ini maka mereka akan lebih baik lagi dalam belajar.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden (Notoadmojo, 2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
seseorang antara lain ;
1.

Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada orang

lain agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin tinggi
pendidikan seseorang makin mudah pula bagi mereka untuk menerima informasi
dan pada akhirnya makin banyak pengetahuan yang mereka miliki.

Universitas Sumatera Utara

25

2.

Pekerjaan
Lingkungan

pekerjaan

dapat

menjadikan

seseorang

memperoleh

pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung.
3.

Umur
Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek

fisik dan psikologis (mental), dimana pada aspek psikologi ini taraf berpikir
seseorang semakin matang dan dewasa.
4.

Minat
Minat diartikan sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi

terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba menekuni suatu hal
dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang mendalam.
5.

Pengalaman
Pengalaman merupakan suatu kejadian yang pernah dialami oleh individu

baik dari dalam dirinya ataupun lingkungannya. Pada dasarnya pengalaman
mungkin saja menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi individu yang
melekat menjadi pengetahuan pada individu secara subjektif.
6.

Informasi
Kemudahan seseorang untuk memperoleh informasi dapat membantu

mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru (Wahid,
2007).
2.2.2

Sikap (Attitude)
Sikap menurut Gerungan (2002) merupakan pendapat maupun pandangan

seseorang tentang suatu objek yag mendahului tindakannya. Sikap tidak mungkin

Universitas Sumatera Utara

26

terbentuk sebelum mendapat informasi, melihat atau mengalami sendiri suatu
objek.
Allport (1954), menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen
pokok :
a.

Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap objek.

b.

Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

c.

Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).
Ketiga komponen ini membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam

penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi
memegang peranan penting. Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni ;
1.

Menerima (Receiving)
Menerima diartikan mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan objek.

2.

Merespons (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha
untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas
pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti menerima ide tersebut.

3.

Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang
lain terhadap suatu masalah adalah indikasi sikap tingkat tiga.

4.

Bertanggung jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
resiko adalah sikap yang paling tinggi.

Universitas Sumatera Utara

27

Menurut Ahmadi (2003), sikap dibedakan menjadi:
a.

Sikap positif, yaitu : sikap yang menunjukkan menerima terhadap norma
yang berlaku dimana individu itu berada.

b.

Sikap negatif, yaitu : sikap yang menunjukkan penolakan atau tidak
menyetujui terhadap norma yang berlaku dimana individu itu berada.
Sikap tidaklah sama dengan perilaku serta kadang-kadang sikap tersebut

baru diketahui setelah seseorang itu berperilaku. Tetapi sikap selalu tercermin dari
perilaku seseorang (Ahmadi, 2003).
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung, melalui pendapat atau pertanyaan responden terhadap suatu objek
secara tidak langsung dilakukan dengan pertanyaan hipotesis, kemudian
dinyatakan pendapat responden.
2.2.3

Tindakan
Tindakan adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap suatu perbuatan

nyata. Tindakan juga merupakan respon seseorang terhadap stimilus dalam bentuk
nyata atau terbuka (Notoatmodjo, 2003).
Suatu rangsangan akan direspon oleh seseorang sesuai dengan arti
rangsangan itu bagi orang yang bersangkutan. Respon atau reaksi ini disebut
perilaku, bentuk perilaku dapat bersifat sederhana dan kompleks. Dalam peraturan
teoritis, tingkah laku dapat dibedakan atas sikap, di dalam sikap diartikan sebagai
suatu kecenderungan potensi untuk mengadakan reaksi (tingkah laku). Suatu sikap
belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan untuk terwujudnya sikap agar

Universitas Sumatera Utara

28

menjadi suatu tindakan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu
kondisi fasilitas yang memungkinkan (Ahmadi, 2003).
Menurut Notoatmodjo (2005), tindakan adalah gerakan atau perbuatan dari
tubuh setelah mendapat rangsangan ataupun adaptasi dari dalam maupun luar
tubuh suatu lingkungan. Tindakan seseorang terhadap stimulus tertentu akan
banyak ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaannya terhadap
stimulus tersebut. Secara biologis, sikap dapat dicerminkan dalam suatu bentuk
tindakan, namun tidak pula dapat dikatakan bahwa sikap tindakan memiliki
hubungan yang sistematis.Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam
bentuk tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau
dilihat oleh orang lain. Oleh karena itu disebut juga over behavior.
Menurut Notoatmodjo (2005), empat tingkatan tindakan adalah :
1. Persepsi (Perception), memiliki berbagai objek sehubungan dengan tindakan
yang diambil.
2. Respon terpimpin (Guided Response), dapat melakukan sesuatu sesuai dengan
urutan yang benar.
3. Mekanisme (Mechanism), apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu
dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu merupakan kebiasaan.
4. Adaptasi (Adaptation), adalah suatu praktek

atau tindakan yang sudah

berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa
mengurangi kebenaran tindakan tersebut.
Menurut Green yang dikutip oleh Notoatmodjo (2002), faktor-faktor yang
merupakan penyebab perilaku menurut Green dipengaruhi oleh tiga faktor yaotu

Universitas Sumatera Utara

29

faktor predisposisi seperti pengetahuan, sikap keyakinan, dan nilai, berkanaan
dengan motivasi seseorang bertindak. Faktor pemungkin atau faktor pendukung
(enabling) perilaku adalah fasilitas, sarana, atau prasarana yang mendukung atau
yang memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Terakhir faktor
penguat seperti keluarga, petugas kesehatan dan lain-lain.Jadi, dapat disimpulkan
bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh
pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang atau
masyarakat yang bersangkutan. Disamping itu, ketersediaan fasilitas, sikap dan
perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan
memperkuat terbentuknya perilaku.
2.3
2.3.1

Kepadatan Hunian
Definisi Kepadatan Hunian
Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan berbagai

penyakit. Semakin padat hunian, maka perpindahan penyakit, terkhusus penyakit
melalui udara, akan semakin cepat. Oleh sebab itu, kepadatan dalam rumah atau
kediaman tempat tinggal juga merupakan variabel yang amat berperan dalam
kejadian penyakit Tuberkulosis Paru (Achmadi, 2008).
Kepadatan hunian sangat mempengaruhi terjadinya penularan TB pada
hunian.Tempat hunian yang terlalu sempit dan terlalu banyak penghuninya akan
memudahkan penularan penyakit TB paru di antara penghuninya (Notoatmodjo,
2003). Faktor sosial ekonomi diukur dengan jenis dan keadaan rumah, kepadatan
hunian setiap kamar, jumlah orang yang tidur setiap kamar, serta status pekerjaan
dan kepemilikan. Kepadatan hunian ini sering kali diikuti dengan kebiasaan-

Universitas Sumatera Utara

30

kebiasaan buruk yang dilakukan dari penghuni hunian tersebut, salah satunya
adalah kebiasaan merokok dan didukung oleh keterbatasan pengetahuan akan
bahaya dari kebiasaan tersebut mempengaruhi peningkatan penularan penyakit di
dalam suatu hunian.
Secara umum penilaian kepadatan hunian menggunakan ketentuan standar
minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan yang
diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni ≥10 m²/orang
dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil
bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni