Tingkat Risiko Penularan dan Upaya Pengendalian Tuberkulosis Paru Pada Para Tahanan Blok D1 di Rumah Tahanan Negara Klas I Tanjung Gusta Medan Tahun 2016

(1)

(2)

Lampiran 2. Data angka penyebab kematian pada narapidana dan tahanan di Indonesia tahun 2011

Status Perawatan Penderita Penyakit di Rutan Klas I Januari-Juni 2015

Nama RUTAN KLAS I MEDAN Kanwil KANWIL SUMATERA UTARA Tahun 2015

No Period

Dalam UPT

Total

Luar UPT

Total Grand Total HIV TB NAR LAIN HIV TB NAR LAIN

1 Januari 3 12 0 0 15 0 1 0 0 1 16

2 Februari 3 12 0 0 15 0 1 0 0 1 16

3 Maret 3 12 0 0 15 0 0 0 0 0 15

4 April 3 13 0 0 16 1 2 0 0 3 19

5 Mei 5 16 0 0 21 0 1 0 0 1 22

6 Juni 5 11 0 0 16 1 2 0 0 3 19

No Nama Penyakit Jumlah

1 HIV/AIDS 105

2 Penyakit TB 66

3 Penyakit jantung dan darah 55

4 Penyakit infeksi saluran pernafasan 54

5 Penyakit pencernaan 42

6 Penyakit susunan syaraf 26

7 Bunuh diri dan gangguan jiwa 17

8 Diabetes melitus 17

9 Hepatitis 16

10 Penyakit lain (malaria, penyakit tulang, penyakit ggn otot


(3)

Lampiran 3. Standard Kapasitas Serta Tipe-Tipe Hunian Sel di Rutan Kelas I Medan


(4)

(5)

(6)

Lampiran 5. Kuesioner Penelitian

KUESIONER PENELITIAN

TINGKAT RISIKO PENULARAN DAN UPAYA PENGENDALIAN TUBERKULOSIS PARU PADA PARA TAHANAN BLOK D1 DI RUMAH

TAHANAN NEGARA KLAS I TANJUNG GUSTA MEDAN TAHUN 2016

No.Responden :

Tanggal Wawancara :

I. DATA IDENTITAS RESPONDEN

1. Nama :

2. Nomor Ruang Tahanan :

4. Umur :

5. Pendidikan Terakhir :

5. Lama Tinggal di Blok Tahanan :

6. Masa Tahanan :

7. Status Perkawinan :

II. DATA KHUSUS A. Pengetahuan

1. Menurut Bapak, Apa TB Paru itu?

a. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobakterium Tuberkulosis (2) b. Penyakit Batuk Berdahak (0)

c. Tidak Tahu (0)

2. Menurut Bapak, dibawah ini merupakan salah satu cara penularan Tb Paru adalah?

a. Berkomunikasi jarak dekat dengan penderita Tb tanpa menggunakan masker/penutup mulut dan hidung (2)

b. Meminjam handuk penderita Tb Paru (0)

c. Tidak Tahu (0)

3. Bagaimana tanda-tanda / gejala penyakit Tuberkulosis Paru :

a. Batuk berdahak lebih dari 3 (tiga) minggu ,bercampur darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan turun, berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan dan demam lebih dari sebulan (2)

b. Batuk dengan gatal di tenggorokan (0) c. Tidak tahu (0)


(7)

4. Penyakit Tuberkulosis Paru dapat menular dari penghuni yang menderita Tb Paru kepada penghuni sel tahanan yang lain karena :

a. Terhirup percikan ludah atau dahak penderita Tuberkulosis serta meminjam peralatan makan dan minum (2)

b. Bertukar pakaian (0) c. Tidak tahu (0)

5. Salah satu pencegahan dari penyakit Tb Paru adalah meningkatkan daya tahan tubuh dengan makan makanan yang bergizi.Menurut Bapak, seperti apa makanan yang bergizi?

a. Makanan yang tinggi kalori dan protein (2) b. Makanan yang enak dan cepat saji (0) c. Apa saja yang ada (0)

6. Diantara ini, mana yang merupakan faktor yang berisiko terjadinya Tb Paru? a. Kepadatan hunian yang melebihi kapasitas (2)

b. Bentuk bangunan Rumah Tahanan (0)

c. Tidak tahu (0)

7. Untuk mencegah penularan penyakit Tuberkulosis Paru, lantai ruangan sel harus :

a. Dibersihkan dengan cara memberi larutan desinfektan lantai seperti karbol atau pembersih lantai (2)

b. Dibersihkan dengan cara disapu (0) c. Tidak tahu (0)

8. Fungsi ventilasi adalah :

a. Tempat keluar masuknya udara segar sehingga ruangan tidak pengap dan

menghindari pengendapan bakteri di dalam sel (2) b. Agar bisa melihat kondisi diluar sel tahanan (0) c. Sebagai hiasan (0)

9. Manfaat sinar matahari pagi terhadap ruangan tahanan penting karena : a. Mematikan bakteri dan mikroorganisme lain yang terdapat di ruang

tahanan dan dapat menghambat perkembang biakan kuman tuberkulosis dan kuman penyakit lainnya (2)

b. Untuk menghangatkan tubuh saja (0) c. Tidak ada manfaatnya (0)

10. Penyakit Tuberkulosis dapat disembuhkan melalui :

a. Pengobatan teratur disertai dengan perbaikan lingkungan dan perubahan perilaku (2)

b. Dibiarkan saja (0) c. Pengobatan herbal (0)


(8)

B. Sikap

SS = Sangat Setuju; S = Setuju; N= Netral, TS = Tidak Setuju, STS = Sangat Tidak Setuju

No. Pernyataan

Jawaban

5 4 3 2 1

SS S N TS STS

1 Penyakit Tb Paru merupakan

penyakit yang sangat menular

2 Agar orang lain tidak tertular

penyakit Tb Paru, sebaiknya

penghuni yang menderita Tb Paru berbicara tidak terlalu dekat

3 Penghuni yang menderita Tb Paru

Positif sebaiknya tidak membuang dahak di sembarang tempat

4 Semakin banyak jumlah penghuni

maka akan semakin cepat udara di

dalam ruangan mengalami

pencemaran.

5 Untuk menghindari risiko

penularan, saat penghuni yang menderita Tb Paru batuk, sebaiknya menutup mulut dengan tissue atau sapu tangan

6 Melalui percikan ludah, Penyakit

Tuberkulosis Paru dapat menular dari penghuni sel tahanan yang satu kepada penghuni sel tahanan yang lain

7 Cahaya matahari yang masuk dapat

mencegah penularan virus TB paru

8 Penghuni yang menderita Tb Paru

sebaiknya perlu menggunakan alat makan tersendiri

9 Apabila merasakan gejala-gejala

TB paru harus segera memeriksa kesehatan ke pelayanan kesehatan di dalam Rutan

10 Penyakit Tuberkulosis Paru dapat disembuhkan melalui pengobatan yang teratur.


(9)

C. Tindakan

No Pertanyaan

Pilihan Jawaban

Ya Tidak

1. Apakah Bapak tidur berdekatan

dengan penghuni rutan lainnya?

2. Apakah Bapak sering bertukar alat

makan seperti sendok,piring dan gelas kepada penghuni lainnya?

3. Apakah Bapak tidak segera pergi

ke pelayanan kesehatan jika mengalami gejala batuk-batuk lebih dari 3 minggu?

4. Apakah Bapak tidak menutup

mulut/hidung saat penghuni lainnya batuk/bersin?

5. Apakah Bapak tetap merokok

ketika sedang mengalami sakit batuk yang tidak kunjung sembuh?

6. Apakah Bapak terbiasa

mengonsumsi makanan yang instan?

7. Apakah Bapak tidak terbiasa

menjemur alat tidur secara teratur pada pagi hari?

8. Apakah Bapak jarang membuka

jendela pada pagi hari, agar sel mendapat udara bersih dan cahaya matahari yang cukup sehingga bakteri tuberkulosis paru dapat mati?

9. Apakah Bapak berbicara dengan

jarak yang dekat kepada sesama penghuni lainnya terkhusus

kepada penghuni yang terdiagnosa menderita Tb Paru?

10. Apakah Bapak saling meminjam alat pribadi seperti sikat gigi kepada sesama penghuni rutan lainnya?


(10)

D. Keluhan yang terkait dengan gejala Tb Paru

No Pertanyaan

Pilihan Jawaban

Ya Tidak

1. Apakah Bapak sering mengalami

batuk yang tidak kunjung sembuh selama 3 minggu terakhir?

2. Apakah batuk Bapak berdarah?

3. Apakah Bapak sering mengalami

flu yang bersifat timbul sementara dan kemudian hilang lagi?

4. Apakah Bapak sering mengalami

demam lebih dari sebulan?

5. Apakah berat badan Bapak naik

turun?

6. Apakah Bapak sering mengalami

sesak nafas dan nyeri pada dada?

7. Apakah Bapak berkeringat pada

malam hari tanpa penyebab yang jelas?

8.. Apakah Bapak mengalami lemah


(11)

(12)

(13)

(14)

28 3 23 2 2 2 2 0 2 2 0 2 2 4 4 5 4 4 4 4 5 5 4 2 0 0 0 2 0 0 2 0 2 0 0 0 2 0 2 0 0 39 72 32 32 16 43 8

31 3 14 0 0 0 0 2 2 2 2 2 2 4 5 4 4 4 2 1 5 5 5 2 2 0 2 0 2 0 2 0 0 0 0 2 0 2 0 2 2 39 72 32 32 12 39 10

37 4 12 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 2 2 2 2 0 2 2 0 0 0 2 2 2 2 2 2 2 2 39 72 32 32 20 50 12

28 3 17 2 2 0 0 2 2 2 0 0 2 5 4 4 5 5 3 3 5 5 4 2 0 2 2 0 0 2 2 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 42 74 12 33 12 43 10

33 3 18 2 0 2 2 2 2 2 2 0 2 4 4 4 5 5 5 5 5 5 5 0 2 2 0 2 2 2 2 2 0 0 2 2 0 0 2 0 2 42 74 12 33 16 47 14

27 3 30 2 2 2 2 0 2 2 0 2 0 4 5 5 5 4 5 4 5 5 3 2 2 0 0 0 2 0 0 0 0 2 0 0 0 2 0 0 0 42 74 12 33 14 45 6

25 3 16 2 2 2 2 0 0 2 2 2 2 5 4 4 1 4 3 4 4 4 5 2 2 2 2 2 0 2 2 2 0 0 0 0 2 2 2 0 2 42 74 12 33 16 38 16

30 2 15 2 0 2 2 2 2 0 2 2 2 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 2 2 2 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 38 70 21 31 16 50 8

27 3 21 2 0 2 2 0 2 0 2 2 2 3 4 4 4 4 5 4 5 4 5 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 0 0 2 2 0 2 2 38 70 21 31 14 42 20

32 2 16 2 2 0 0 2 0 2 0 0 2 4 4 4 2 4 4 2 2 5 5 2 2 0 0 2 2 2 2 0 2 0 0 2 0 2 2 2 0 38 70 21 31 10 36 14

31 3 17 0 2 2 2 2 2 2 2 0 2 5 4 5 5 4 4 4 4 5 5 2 0 2 2 0 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 38 70 21 31 16 45 10

25 3 17 2 0 2 2 2 0 2 2 2 2 5 5 5 4 5 4 4 4 4 3 0 2 2 2 0 0 2 2 2 0 0 0 2 0 0 2 0 2 16 73 34 32 16 43 12

23 3 12 2 2 0 2 2 2 2 2 2 2 4 4 5 4 4 4 4 5 5 4 2 0 0 0 2 0 0 2 0 2 2 2 0 2 0 0 0 0 35 71 25 32 18 43 8

39 3 15 2 0 2 2 0 2 0 2 2 2 4 5 4 4 4 2 1 5 5 5 0 2 0 2 0 2 0 2 0 0 2 0 2 0 2 0 2 2 35 71 25 32 14 39 8

28 2 45 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 2 0 2 2 0 2 2 0 0 0 2 2 2 2 2 2 2 2 35 71 25 32 20 50 10

29 3 16 0 2 2 0 0 2 0 0 0 0 5 4 4 5 5 3 3 5 5 4 2 0 0 2 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 33 72 28 31 6 43 6

34 2 20 2 0 2 0 0 0 2 0 0 2 4 4 4 5 5 5 5 5 5 5 2 2 2 0 2 2 2 2 2 0 0 2 2 0 0 2 0 2 33 72 28 31 8 47 16

29 2 34 2 0 2 2 2 2 2 2 2 2 3 5 5 5 4 5 4 5 5 3 2 2 0 0 0 2 0 0 0 2 0 0 0 0 2 0 2 0 33 72 28 31 18 44 8

21 3 22 2 2 0 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 1 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 0 0 0 2 2 0 2 0 48 74 28 32 18 20 20

28 3 36 2 0 0 0 2 0 0 0 2 0 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 0 2 2 0 0 0 0 0 0 0 2 0 2 0 0 0 0 2 48 74 28 32 6 50 4

27 3 17 0 2 2 0 0 2 0 0 0 0 3 4 4 4 4 5 4 5 4 5 2 2 2 2 0 2 0 2 2 0 2 2 2 0 2 2 2 2 48 74 28 32 6 42 14

36 4 35 0 2 2 0 0 2 0 0 0 0 4 4 4 2 4 4 2 2 5 5 2 2 0 0 0 2 2 2 0 0 0 0 0 2 2 0 0 0 48 74 28 32 6 36 10

22 3 20 0 2 2 0 0 2 0 0 0 2 3 3 2 3 3 3 3 3 4 4 0 0 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 2 0 48 74 28 32 8 31 4

31 3 26 2 2 2 2 2 2 2 2 2 0 5 5 5 4 5 4 4 4 4 3 2 2 2 2 0 2 2 2 2 2 0 2 0 0 0 0 0 0 50 74 34 32 18 43 18

21 2 18 0 2 0 0 0 2 0 2 2 0 3 4 5 4 4 4 4 5 5 4 2 0 0 0 2 0 2 2 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 50 74 34 32 8 42 8

34 3 14 2 2 2 2 2 2 2 2 2 0 4 5 4 4 4 2 1 5 5 5 2 2 0 2 0 2 2 2 0 2 0 0 2 0 2 2 2 2 50 74 34 32 18 39 14

31 3 19 2 2 2 2 2 2 2 0 2 2 5 5 4 5 5 5 5 5 5 5 2 2 2 2 2 2 2 0 0 0 2 2 2 2 2 2 2 0 50 74 34 32 18 49 14

27 3 15 2 2 0 0 2 2 2 0 0 2 4 3 3 5 5 3 3 5 5 4 0 0 2 2 0 2 2 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 2 50 74 34 32 12 40 14

24 2 13 2 0 2 2 2 2 2 2 0 2 4 4 3 3 3 4 4 4 4 3 2 2 2 0 2 2 0 2 2 2 0 2 2 0 0 2 2 2 20 70 22 32 16 36 16

28 3 27 2 2 2 2 0 0 2 0 2 0 5 5 4 5 4 5 4 5 5 3 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 0 0 20 70 22 32 12 45 2

29 4 25 2 0 2 2 2 2 2 2 2 2 5 4 4 1 4 3 4 4 4 5 2 2 2 2 2 0 2 2 2 0 0 0 0 2 2 0 0 0 31 72 30 33 18 38 16

23 3 20 0 2 2 0 0 2 0 0 0 0 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 31 72 30 33 6 50 6

23 3 25 2 0 0 0 2 0 2 2 2 2 3 3 4 4 4 5 4 5 4 5 2 2 2 2 0 2 2 2 2 0 2 2 0 0 2 0 2 2 31 72 30 33 12 41 16


(15)

Keterangan:

U : Umur Responden T4 : pertanyaan tindakan no 4

LT : Lama Tinggal di Rutan T5 : pertanyaan tindakan no 5

P1 : pertanyaan pengetahuan no 1 T6 : pertanyaan tindakan no 6

P2 : pertanyaan pengetahuan no 2 T7 : pertanyaan tindakan no 7

P3 : pertanyaan pengetahuan no 3 T8 : pertanyaan tindakan no 8

P4 : pertanyaan pengetahuan no 4 T9 : pertanyaan tindakan no 9

P5 : pertanyaan pengetahuan no 5 T10 : pertanyaan tindakan no 10

P6 : pertanyaan pengetahuan no 6 K1 : pertanyaan keluhan no 1

P7 : pertanyaan pengetahuan no 7 K2 : pertanyaan keluhan no 2

P8 : pertanyaan pengetahuan no 8 K3 : pertanyaan keluhan no 3

P9 : pertanyaan pengetahuan no 9 K4 : pertanyaan keluhan no 4

P10 : pertanyaan pengetahuan no 10 K5 : pertanyaan keluhan no 5

S1 : pertanyaan sikap no 1 K6 : pertanyaan keluhan no 6

S2 : pertanyaan sikap no 2 K7 : pertanyaan keluhan no 7

S3 : pertanyaan sikap no 3 K8 : pertanyaan keluhan no 8

S4 : pertanyaan sikap no 4 K9 : pertanyaan keluhan no 9

S5 : pertanyaan sikap no 5 K10 : pertanyaan keluhan no 10

S6 : pertanyaan sikap no 6 KH : Kepadatan Hunian

S7 : pertanyaan sikap no 7 KU : Kelembaban Udara

S8 : pertanyaan sikap no 8 IC : Intensitas Cahaya

S9 : pertanyaan sikap no 9 S : Suhu

S10 : pertanyaan sikap no 10 Ptotal : Skor pengetahuan total

T1 : pertanyaan tindakan no 1 Stotal : Skor sikap total

T2 : pertanyaan tindakan no 2 Ttotal

: Skor tindakan total


(16)

Lampiran 8. Hasil Output SPSS

Us ia Resp on de n

26 65.0 65.0 65.0

13 32.5 32.5 97.5

1 2.5 2.5 100.0

40 100.0 100.0

<= 30 Tahun 31 - 40 Tahun > 40 Tahun Total Valid

Frequenc y Percent Valid Percent

Cumulativ e Percent

Tin gk at Pe nd id ikan Re sp on de n

7 17.5 17.5 17.5

29 72.5 72.5 90.0

4 10.0 10.0 100.0

40 100.0 100.0

SMP SMA PT Total Valid

Frequenc y Percent Valid Percent

Cumulativ e Percent

Lam a Tinggal di Rutan

19 47.5 47.5 47.5

18 45.0 45.0 92.5

3 7.5 7.5 100.0

40 100.0 100.0

<= 18 Bulan 19 - 36 Bulan > 36 Bulan Total Valid

Frequenc y Percent Valid Percent

Cumulativ e Percent

Pe ng etahu an

6 15.0 15.0 15.0

15 37.5 37.5 52.5

19 47.5 47.5 100.0

40 100.0 100.0

Kurang Sedang Baik Total Valid

Frequenc y Percent Valid Percent

Cumulativ e Percent

Sik ap

8 20.0 20.0 20.0

32 80.0 80.0 100.0

40 100.0 100.0

Cukup Baik Total Valid

Frequenc y Percent Valid Percent

Cumulativ e Percent


(17)

Tin dakan

7 17.5 17.5 17.5

23 57.5 57.5 75.0

10 25.0 25.0 100.0

40 100.0 100.0

Kurang Sedang Baik Total Valid

Frequenc y Percent Valid Percent

Cumulativ e Percent

Ke pad atan Hu nian

40 100.0 100.0 100.0

Tidak Ses uai Valid

Frequenc y Percent Valid Percent

Cumulativ e Percent

Ke lem baban Udar a

30 75.0 75.0 75.0

10 25.0 25.0 100.0

40 100.0 100.0

Tidak Baik Baik Total Valid

Frequenc y Percent Valid Percent

Cumulativ e Percent

Inten sitas Cahaya

40 100.0 100.0 100.0

Tidak Baik Valid

Frequenc y Percent Valid Percent

Cumulativ e Percent

Su hu

40 100.0 100.0 100.0

Tidak Baik Valid

Frequenc y Percent Valid Percent

Cumulativ e Percent

Ris iko T B Par u

40 100.0 100.0 100.0

Tinggi Valid

Frequenc y Percent Valid Percent

Cumulativ e Percent


(18)

(19)

Lampiran 10. Dokumentasi

GAMBAR 1. Beberapa penderita TB Paru BTA(+)


(20)

Gambar 3. Wawancara yang dilakukan kepada 40 Responden


(21)

Gambar 5. Pengukuran Intensitas Cahaya di Kamar Hunian Blok D1


(22)

Gambar 7. Ruang Poliklinik di Rutan


(23)

(24)

(25)

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Cetakan 1,. Kompas Media Nusantara. Jakarta.

________, 2008. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Kompas, Jakarta. ________. 2010, Dasar-Dasar Kesehatan Lingkungan, UI-Press. Jakarta.

Aditama, T.Y., 2000. Masalah Tuberkulosis dan Penanggulangannya, Universitas Indonesia. Jakarta.

________. 2010. Laporan Penyakit Menular di Indonesia. Direktorat Jenderal

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL)

Kementerian Kesehatan. Jakarta.

Adnani dan Mahastuti., 2007. Hubungan Kondisi Rumah Dengan Penyakit TBC Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Karangmojo II Kabupaten Gunungkidul Tahun 2003 – 2006, Jurnal Kesehatan Surya Medika Yogyakarta.

Agustinus, Timisela. 2006. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada Karyawan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Tesis.Pascasarjana UGM. Yogyakarta

Agus Sudaryanto dan Arum Pratiwi. 2005. Studi Phenomenologic Pengetahuan dan Sikap Penderita TBC dan Keluarganya di Wilayah Kecamatan Kartosuro. Jurnal Kesmas volume 1 No. 1, Juli-Desember 2005.

Amin, Z. & Bahar, A. 2010. Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid III Edisi V. Internal Publishing. Jakarta.

Arikunto, Suharsimi. 2000. Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.

________. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rhineka Cipta. Jakarta.

Atmosukarto, S S. 2000. Pengaruh Lingkungan Pemukiman dalam Penyebaran Tuberkulosis, Media Litbang Kesehatan, Vol 9 (4). Jakarta.

Azwar, A. 1996. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Mutiara Sumber Widya. Jakarta.

Budiarto, E dan Anggraeni, D. 2003. Pengantar Epidemiologi, edisi 2. EGC. Jakarta.


(26)

Coninx, R; Maher D; Rayes H; Grzemka M., 2000. Mycobacterium Tuberculosis in Prisons, BMJ.

Crofton, J and Miller F. 1992. Clinical Tuberculosis. MacMillan. London.

Departemen Kesehatan RI. 1989. Rumah Layak Huni dalam Lingkungan Sehat. Ditjen PPM dan PLP. Jakarta.

_________. 1999. Keputusan Menteri Kesehatan RI No 829,

Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Depkes RI, Jakarta.

_________, 2000. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Direktorat jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

_________. 2002. Pedoman Sistem Pengkajian Mutu Eksternal Laboratorium Mikroskopis TB di Indoenesia. Jakarta.

_________. 2003. Kelompok Kerja TB-HIV, Prosedur Tetap: Pencegahan dan Pengobatan Tuberkulosis pada Orang dengan HIV/AIDS. Jakarta. _________, 2005. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Direktorat

jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

_________. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Cetakan ke-10. Jakarta.

_________. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kemenkes RI. Jakarta.

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara., 2010. Laporan Program Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Medan.

Ditjen Hukum dan Ham. 2012. Petunjuk Teknis Pencegahan dan Pengendalian Infeksi TB di Lapas dan Rutan. Kemenkumham RI. Jakarta.

Ditjen Pemasyarakatan. 2007. Program Penanggulangan TB di Lapas dan Rutan, Kemenkumham RI. Jakarta.

_________. 2012. Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Rutan, Lapas dan Bapas 2012-2014. Kemenkumham RI. Jakarta.


(27)

Ditjen PP&PL, 2012. Laporan Situasi Terkini Perkembangan Tuberkulosis di Indonesia Januari-Desember 2012. Kemenkes RI. Jakarta.

Dufault, Paul and Feinsilver, O. 1957. The Diagnosis and Treatment of Pulmanory Tuberculosis. Lea & Febiger. Philadelphia.

Entjang. I., 2001. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Citra Aditya Bakti, Bandung Fahmi A. U., 2005, Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Penerbit Buku.

Kompas, Jakarta.

Firdaus, U. 2005. Faktor-Faktor Penderita Tuberkulosis Paru Putus Berobat di Poli Paru RS. Persahabatan Jakarta Februari-Desember 2005. Depkes RI. Jakarta

Green, Lawrence. 1980. Health Education Planning A Diagnostic Approach. Mayfield Publishing. Baltimore.

Girsang. M. 2000. Pengobatan Standar Penderita TBC, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Hidayat, A.A. 2009. Metode Penelitian Kebidanan Teknik Analisis Data. Salemba Medika. Jakarta.

Jane Q, Teresea FM, Allen W, Jansen K, Lumley T, Sullivan JH, Trenga CA, Larson TV, Jane LS. 2005. Pulmonary Effects Of Indoor and Autdoor Generated Particles In Children With Asthma. American Journal Of Respiratory and Critical Care Medicine.

Kanai, Komi. 1991. Introduction to Tuberculosis and Mycobacteria. SEAMIC. Tokyo.

Kandum, Nyoman (Editor I). 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Infomedika. Jakarta.

Kassim I, Ray CG (editors). 2004. Sherris Medical Microbiology (4th ed.). McGraw Hill. Kondisi Fisik Rumah dan Perilaku ... (Khadijah Azhar, Dian Perwitasari) 181.

Keman, S. 2005, Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Pemukiman. Jurnal Kesehatan Lingkungan , Vol. 2, No. 1, Juli 2005


(28)

Kimerling, M.E., 2003. The Risk of MDR and Poli Resistant Tuberculosis Among the Civillian Population of Tomsk City Siberia, International Journal Tuberculosis Lung Dis.

Lubis, Pandapotan. 1989. Perumahan Sehat. Depkes RI. Jakarta.

Mahfudin, A.H. 2006. Hubungan faktor Lingkungan Fisik Rumah, Sosial Ekonomi Dan Respon Biologis Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru BTA Positif Pada Penduduk Dewasa di Indonesia (analisis data SPTBC Susenas 2004)(tesis). Universitas Indonesia. Jakarta.

Manalu, H.S.P., 2010, “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru dan Upaya Penanggulangannya”, Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 9 No. 4, Desember 2010

Mason, B., Martin. K, Scraufnagel. Muray and Nadel. 2005. Pulmonary

Tuberculosis. Textbook Of Respiratory Medicine.

www.oxfordmedicine.com.

Maulana, Heri D.J.2009. Promosi Kesehatan. Jakarta, EGC

Misnadiarly, 2006. Tuberkulosis dan Mikobakterium Atipik. Dian Rakyat, Jakarta.

Mubarak, Wahid. 2007. Promosi Kesehatan. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Mukono, H.J.. 2006. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan (Edisi 2). Airlangga University Press. Surabaya.

Mulyadi. 2003. Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian TBC Paru pada balita berstatus gizi buruk di Kota Bogor. Tesis. Tidak dipublikasikan. Depok: UI.

M. Hariwijaya dan Sutanto. 2007. Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Kronis. EDSA Mahkota. Jakarta.

Naga, S.Sholeh. 2012. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Diva Press. Jogjakarta.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rinika Cipta, Jakarta.


(29)

_________. 2007. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Rineka Cipta. Jakarta. _________. 2012. Promosi kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Rineka cipta.

Jakarta.

Neila Ramadhani.2009. Sikap dan Perilaku: Dinamika Psikologi Mengenai Perubahan Sikap dan Perilaku. Artikel. Yogyakarta:UGM.

Nemberini. P.G., 2007. Air, Sanitasi, Higiene, dan Habitat di Lingkungan Lapas & Rutan, Perpustakaan AMPL, Jakarta

Nugroho, A. 2009. Faktor Yang Berhubungan Dengan Sebaran Penyakit Tuberkulosis Paru BTA positif (tesis). Universitas Gajah Mada. Jogyakarta.

Riadi, Slamet. 1986. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Karya Anda. Surabaya.

Sanchez, A; Gerhardt, G; Natals; Capone, D.M; Espinola, A; Costa, W., 2005.

Prevalence of Pulmonary Tuberculosis and Comparative Evaluation of Screening Strategies in Brazilian Prison, International Journal Tuberculosis Lung Dis.

Shah, S.A; Mujeeb, S.A; Nabi, K.G; Siddigui, Q., 2003. Prevalence of Pulmonary Tuberculosis in Karachi Juveline Jail, Pakistan, Eastern Meditteranean Health Journal.

Soewasti, S. 2000. Pengaruh Lingkungan Pemukiman dalam Penyebaran Tuberkulosis. Media Litbang Kesehatan, Vo. 9 (4). Depkes RI. Jakarta. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Administrasi. Alfabeta. Bandung.

Supariasa. 2001. Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta. Supriyono, D., 2002. Lingkungan Fisik Rumah Sebagai Faktor Risiko Terjadinya

TB Paru BTA Positif di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor. Tesis Program Pasca Sarjana FKM UI Depok.

Susi, 2008., Pola Resistensi Mycobacterium Tuberculosis pada Narapidana di Lembaga Permasyarakatan Kelas I Pria Tanjung Gusta Medan Periode Juli - Desember 2007. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan


(30)

Swara. I., 2001. Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah dengan Kejadian

Tuberkulosis Paru Di Kabupaten Garut. Media Litbang Kesehatan, Vol. 9 (4), Depkes RI, Jakarta

Triska dan Lilis., 2005. Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Tuberculosis

dan Infeksi Saluran Pernafasan

Widodo, A. 2006. Taksonomi Bloom dan Pengembangan Butir Soal. Buletin Puspendik.

Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Erlangga. Surabaya.

World Health Organization (October 2012). Tuberculosis, Global Impact of TB, Annual Report. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs104/en/


(31)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis Penelitian ini adalah deskriptif, yaitu untuk mengetahui tingkat resiko penularan dan upaya pengendalian tuberkulosis paru yang meliputi perilaku, kepadatan hunian, dan kualitas lingkungan fisik pada para penghuni tahanan Blok D1 di Rumah Tahanan Negara Klas I Tanjung Gusta Medan Tahun 2016.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan di Blok D1 Rumah Tahanan Negara Klas I Tanjung Gusta Medan dengan alasan Blok D1 Rumah Tahanan Negara Klas I Tanjung Gusta Medan tersebut menampung para penghuni rutan yang mengalami over kapasitas serta sanitasi lingkungan yang buruk, sehingga berisiko terhadap kejadian TB Paru antar warga binaan.

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2016 sampai dengan Agustus 2016.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah para penghuni rutan pada Blok D1 Rumah Tahanan Negara Klas I Tanjung Gusta Medan yang berjumlah 418 orang.


(32)

3.3.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti dan dianggap dapat mewakili populasi (Arikunto, 2006). Sampel dalam penelitian ini dambil dengan menggunakan kriteria-kriteria sampel menurut Hidayat (2009) yang meliputi : a. Kriteria inklusi

1. Penghuni yang berada dalam satu ruangan dengan penderita Tuberkulosis

Paru di ruang tahanan di Blok D Kelas 1 Medan 2. Responden tidak buta huruf

3. Bersedia menjadi responden

b. Kriteria eksklusi 1. Penderita Tb Paru

2. Tidak diperbolehkan untuk di temui oleh penjaga rutan

Besar sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus Lemeshow (1997), sebagai berikut:

n = N 1 + d2(N) Dimana :

n = besar sampel N = populasi

d = proporsi penyakit Tb paru 0,15 = 418


(33)

= 418

1 + 0,0225 . 418 = 418 10,4 = 40,19 ≈ 40

Berdasarkan hasil perhitungan diatas diperoleh sampel sebesar 40,19 dan dibulatkan menjadi 40 sampel. Selanjutnya, pengambilan sampel dilakukan dengan cara simple random sampling yaitu teknik sampling secara acak. Pengambilan sampel dengan teknik simple random sampling dapat dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan tabel angka random dan undian. Namun, pada peneltian ini cara yang digunakan adalah undian. Selanjutnya teknik yang dilakukan adalah sampel fraction yaitu dengan membuat perbandingan antara jumlah sampel dengan populasi (Nazir, 2003).

Sampel fraction = n x 100%

N

= 40 x 100%

418

= 9,9 %

Berdasarkan rumus jumlah sampel diatas, perhitungan sampel dari masing-masing ruang tahanan di Blok D1 tersebut yaitu :


(34)

Tabel 3.1. Perhitungan Sampel berdasarkan data Per Ruang Tahanan Pada Blok D 1

No Ruang Tahanan Pada Blok D1 Rumus Sampel

1. No. 1 39 x 9,9% 4

2. No. 2 42 x 9,9% 4

3. No. 3 38 x 9,9% 4

4. No.4 16 x 9,9% 1

5. No.5 35 x 9,9% 3

6. No.6 33 x 9,9% 3

7. No.7 48 x 9,9% 5

8. No.8 50 x 9,9% 5

9. No.9 20 x 9,9% 2

10. No.10 31 x 9,9% 3

11. No.11 41 x 9,9% 4

12. No.12 25 x 9,9% 2

Total 40

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer

Pengumpulan data primer meliputi: variabel perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) yang didapatkan melalui metode wawancara dengan menggunakan kuesioner dengan warga binaan pemasyarakatan serta melakukan observasi dan pengukuran langsung terhadap lingkungan fisik (kelembaban dan intensitas cahaya dan suhu) di Blok D1 Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan.

3.4.2 Data Sekunder

Data Sekunder yang meliputi : Data yang didapatkan dari Rutan Kelas I Tanjung Gusta Medan yang berhubungan dengan penelitian, khususnya data tentang warga binaan pemasyarakatan yang menderita tuberkulosis paru yang ditetapkan melalui diagnosa dokter serta data pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan hasil pemeriksaan sputum dahak penderita tuberkulosis paru dan


(35)

juga data yang didapat dari Dinas Kesehatan Kota Medan serta instansi-instansi kesehatan pemerintah lainnya yang bisa mendukung penelitian.

3.5 Definisi Operasional

Adapun Definisi Operasional yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut:

1. Tingkat risiko penularan Tb Paru di Rutan adalah suatu variabel yang menggambarkan tinggi rendahnya kemungkinan seorang penghuni sel untuk terkena Tb Paru dalam suatu Rutanyang diukur secara komprehensif berdasarkan faktor perilaku, kepadatan hunian dan lingkungan fisik.

2. Pengetahuan adalah apa yang diketahui oleh responden tentang penyakit Tuberkulosis Paru beserta dengan faktor-faktor penyebabnya.

3. Sikap adalah cara responden memandang sesuatu hal yang telah diketahuinya

tentang penyakit tuberkulosis paru.

4. Tindakan adalah perlakuan atau kegiatan yang dilakukan responden sebagai respon dari apa yang diketahuinya tentang penyakit Tuberkulosis Paru.

5. Kepadatan hunian adalah perbandingan antara luas sel Rutan dengan jumlah penghuni atau tahanan yang ada dalam satu sel Rutan.

6. Kelembaban udara adalah presentase jumlah kandungan air dalam udara yang

diukur menggunakan Hygrometer.

7. Intensitas cahaya adalah besarnya energi cahaya alam dan buatan yang menerangi sel Rutan yang diukur menggunakan alat Lux Meter .

8. Suhu adalah salah satu unsur atau bagian yang sangat mempengaruhi dari suatu iklim, selain pola angin dan curah hujan yang diukur dengan luxmeter.


(36)

9. Upaya Pengendalian Tb Paru adalah salah satu bagian dari manajemen yang dilakuan oleh Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang akan dijadikan acuan baik oleh para petugas di fasyankes, para pengambil kebijakan dan pengaturan.

3.6 Metode Pengukuran 3.6.1 Alat Ukur

Alat ukur yang dipakai untuk mengukur variabel bebas (independen) yaitu:

1. Kuesioner berstruktur tertutup

2. Meteran untuk mengukur luas kamar

3. Lux meter untuk mengukur pencahayaan

4. Hygrometer untuk mengukur kelembaban

5. Luxmeter untuk mengukur suhu

3.6.2 Aspek Pengukuran

Untuk mengukur variabel pengetahuan, sikap dan tindakan pada penelitian ini didasarkan pada jawaban responden dari semua pertanyaan yang diberikan digunakan skala likert (Sugiyono, 2007).

1. Variabel Pengetahuan

Pertanyaan pengetahuan 1-10 mempunyai nilai jawaban, jika menjawab benar diberi skor = 2, jika responden menjawab salah dan tidak tahu skor = 0, sehingga akan didapat skor maksimal/tertinggi adalah 20. Selanjutnya akan dikategorikan baik, sedang dan kurang dengan ketentuan sebagai berikut:


(37)

a. Pengetahuan baik jika jawaban responden nilainya > 75 % dari total skor jawaban pada kuesioner atau skor > 15.

b. Pengetahuan sedang jika jawaban responden nilainya 40%-75% dari total skor jawaban pada kuesioner 8-15.

c. Pengetahuan kurang jika jawaban dari responden nilainya < 40% dari total skor jawaban pada kuesioner atau skor < 8. (Ridwan, 2007)

2. Variabel Sikap

Variabel sikap menggunakan skala Likert dengan mengukur melalui 10 pertanyaan dengan item jawaban sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Adapun ketentuan pemberian bobot nilai pada item jawaban sikap sebagai berikut (Riduwan, 2007):

1. Sangat setuju : 5 2. Setuju : 4

3. Ragu-ragu : 3 4. Tidak setuju : 2

5. Sangat tidak setuju : 1 Adapun skor tertinggi yang dapat dicapai responden adalah berjumlah 50.

Cara menentukan kategori tingkat sikap responden mengacu pada persentase berikut (Arikunto, 2007) :

1. Sikap baik, apabila skor jawaban >75% nilai keseluruhan (>38) 2. Sikap cukup, apabila skor jawaban 40-75% nilai keseluruhan (20-37) 3. Sikap kurang, apabila skor jawaban <40% nilai keseluruhan (<20)


(38)

3. Variabel Tindakan

Dari pertanyaan 1-10 mempunyai nilai jawaban, jika responden menjawab Ya akan diberi skor = 2, jika responden menjawab Tidak akan diberi skor = 0 Sehingga nantinya didapat skor tertinggi adalah 20. Selanjutnya akan dikategorikan baik, sedang, dan kurang dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Tindakan baik jika jawaban responden nilainya > 75% dari total skor jawaban pada kuesioner = skor > 15.

2. Tindakan sedang jika jawaban responden nilainya 40 -75% dari total skor jawaban pada kuesioner = skor 8 -15.

3. Tindakan kurang jika jawaban responden nilainya < 40% dari total skor jawaban pada kuesioner = skor < 8.

4. Variabel Kepadatan Hunian :

Kepadatan hunian Rutan adalah perbandingan antara luas sel Rutan dengan jumlah tahanan yang berada di dalam sel Rutan tersebut berdasarkan hasil observasi terhadap 12 sel. Cara menghitung kepadatan hunian ini dilakukan dengan mengukur luas sel Rutan menggunakan meteran dan menghitung jumlah penghuni sel Rutan kemudian di sesuaikan dengan standar menurut SE. Dirjen Pemasyarakatan tahun 2005 yaitu :

1. Memenuhi syarat (1,80 x 3,00 m/orang)

2. Tidak memenuhi syarat (<1,80x3,00 m/orang) (SE. Dirjen


(39)

5. Kelembaban Udara

Kelembaban udara diukur menggunakan alat Hygrometer kemudian hasil pengukuran dibandingkan Kepmenkes No 829 Tahun 1999 sehingga dapat dokategorikan menjadi :

1. Kelembaban udara memenuhi syarat apabila kelembaban 40-70 %

2. Kelembaban udara tidak memenuhi syarat apabila kelembaban < 40 atau >70%

6. Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya diukur menggunakan alat Lux meter kemudian hasil pengukuran dibandingkan Kepmenkes No 829 Tahun 1999 sehingga dapat dokategorikan menjadi :

1. Intensitas cahaya memenuhi syarat apabila > 60 Lux 2. Intensitas cahaya tidak memenuhi syarat apabila < 60 Lux

7. Suhu

Suhu diukur dengan menggunakan luxmeter kemudian hasil pengukuran dibandingkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 sehingga dapat dikategorikan menjadi :

1. Suhu yang memenuhi syarat 18°C - 30°C

2. Suhu yang tidak memenuhi syarat apabila <18°C dan >30°C

8. Tingkat Risiko Tb Paru

Tingkat risiko Tb Paru diukur berdasarkan variabel kepadatan hunian dan lingkungan fisik yang telah dijabarkan sebelumnya sebagai berikut:


(40)

1. Tingkat risiko tinggi apabila salah satu dari aspek kepadatan hunian dan lingkungan fisik memiliki kategori tidak memenuhi syarat.

2. Tingkat risiko rendah apabila salah satu dari apek kepadatan hunian dan lingkungan fisik memiliki kategori memenuhi syarat.

3.7 Pengolahan dan Analisa Data 3.7.1 Pengolahan Data

Data yang sudah terkumpul diolah secara manual dan komputerisasi untuk mengubah data menjadi informasi. Adapun langkah-langkah dalam pengolahan data dimulai dari editing, yaitu memeriksa kebenaran data yang diperlukan. Coding, yaitu memberikan kode numerik atau angka kepada masing-masing kategori. Data entry yaitu memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam master tabel atau database komputerisasi.

3.7.2 Analisa Data

Metode analisis data dalam penelitian ini adalah analisis univariat, yaitu data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan bantuan komputer dan dianalisis menggunakan analisis Univariat, yaitu data dianalisis secara deskriptif dan kemudian disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan dinarasikan sehingga pada akhirnya dapat diketahui tingkat risiko penularan tuberkulosis paru yaitu : perilaku, kepadatan hunian dan lingkungan fisik di Blok D1 Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan pada tahun 2016.


(41)

Dalam menafsirkan data, peneliti menggunakan metode penafsiran Arikunto, (2000 : 57) dengan rincian sebagai berikut :

0, 00 % : tidak ada

1, 00 - 24, 99 % : Sebagian kecil

25, 00 - 49,99 % : Hampir setengah

50, 00 % : Setengah

50,01- 74,99 % : Sebagian besar

75,00– 99,99 % : Pada Umumnya


(42)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Tempat Penelitian 4.1.1 Gambaran Lokasi

Rumah Tahanan Negara Klas I Medan terletak di Jalan Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Kecamatan Tanjung Gusta dengan luas 3 hektar. Rumah Tahanan Negara Klas I berbatasan dengan :

- Sebelah Utara : Perkebunan PTPN 2

- Sebelah Selatan : Perumahan Gading

- Sebelah Timur : Jalan Benteng Baru

- Sebelah Barat : Jalan Kelambir 5

Rumah Tahanan Negara Klas I Medan diresmikan pada tanggal 24 Juni 1995 oleh Menteri Hukum dan HAM RI yaitu Oetoyo Oesman, SH. Fasilitas yang terdapat di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan adalah:

a. Mesjid : 1 unit b. Gereja : 1 unit c. Vihara : 1 unit d. Klinik : 1 unit

Fasilitas lain yang mendukung warga binaan pemasayarakatan untuk bersosialisasi juga disediakan : lapangan, kantin serta ruang pertemuan.


(43)

4.2 Analisis Univariat

4.2.1 Karakteristik Responden

Responden di Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan berjumlah 418 orang, gambaran karakteristik yang peneliti sajikan terdiri dari umur, tingkat pendidikan dan lama tinggal di rutan yang berbeda-beda. Secara lengkap komposisi responden menurut struktur dapat dilihat pada tabel.

Tabel 4.1 Distribusi Proporsi Karakteristik Responden di Rutan Klas I Tanjung Gusta

Umur Jumlah Persentase (%)

< 30 tahun 26 65,0

31 - 40 tahun 13 32,5

> 40 tahun 1 2,5

Total 40 100,0

Tingkat Pendidikan Jumlah Persentasi(%)

SMP 7 17,5

SMA 29 72,5

PT 4 10,0

Total 40 100,0

Lama Tinggal di Rutan

Juml ah Persentase (%)

< 18 bulan 19 47,5

19 - 36 bulan 18 45,0

> 36 bulan 3 7,5

Total 40 100,0

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti, diketahui bahwa distribusi proporsi responden di Ruta n Klas I Tanjung Gusta menunjukkan bahwa sebagian besar reponden berada pada kelompok umur < 30 tahun yaitu sebanyak 26 orang (65,0%), sedangkan pada kelompok umur lain yaitu hampir setengah pada


(44)

kelompok umur 31-40 tahun sebanyak 13 orang (32,5%) dan sebagian kecil pada kelompuk umur > 40 tahun sebanyak 1 orang (2,5%).

Distribusi proporsi responden di Rutan Klas I Tanjung Gusta menurut tingkat pendidikan sebagian besar responden memiliki pendidikan pada kategori SMA yaitu sebanyak 29 orang (72,5%), sedangkan pada kategori pendidikan lain yaitu sebagian kecil pada kategori tingkat pendidikan SMP sebanyak 7 orang (17,5%) dan sebagian kecil pada kategori pendidikan Perguruan Tinggi sebanyak 4 orang (10,0%).

Distribusi proporsi responden di Rutan Klas I Tanjung Gusta menurut lama tinggal di rutan hampir setengah berada pada kelompok lama tinggal < 18 bulan yaitu sebanyak 19 orang (47,5%), sedangkan pada kelompok lain hampir setengah responden berada pada kelompok lama tinggal di rutan 19-36 bulan sebanyak 18 orang (45,0%) dan sebagian kecil responden berada pada kelompok lama tinggal > 36 bulan sebanyak 3 orang (7,5%). Dari persentasi distribusi proporsi yang ditampilkan pada tabel di atas maka dapat dinterpretasikan bahwa hampir setengah responden berada pada kelompok lama tinggal di rutan < 18 bulan.

4.2.2 Faktor Perilaku Responden di Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan

Faktor perilaku responden di Rutan klas I Tanjung gusta yang diamati dalam penelitian ini meliputi, pengetahuan, sikap dan tindakan responden sebagai berikut:


(45)

Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan di Rutan Klas I Tanjung Gusta

Variabel n Persentase (%)

Pengetahuan

Kurang 6 15,0

Sedang 15 37,5

Baik 19 47,5

Total 40 100,0

Sikap

Sedang 8 20,0

Baik 32 80,0

Total 40 100,0

Tindakan

Kurang 7 17,5

Sedang 23 57,5

Baik 10 25,0

Total 40 100,0

Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa hampir setengah responden berada dalam kategori pengetahuan baik berjumlah 19 orang (47,5%), lalu hampir setengah responden dengan kategori pengetahuan sedang sebanyak 15 orang (37,5%) sedangkan sebagian kecil responden berada dalam kategori pengetahuan kurang yaitu sebanyak 6 orang (15,0%). Sebagian besar responden berada dalam kategori sikap baik berjumlah 32 orang (80,0%), sedangkan sebagian kecil responden dengan kategori sikap yang sedang sebanyak 8 orang (20,0%). Hampir setengah responden memiliki kategori tindakan baik berjumlah 10 orang (25,0%), kemudian sebagian besar responden memiliki kategori tindakan sedang yaitu sebanyak 23 orang (57,5%), sedangkan sebagian kecil responden memiliki kategori tindakan kurang yaitu sebanyak 7 orang (17,5%). Dari persentasi distribusi proporsi yang ditampilkan pada


(46)

tabel di atas maka dapat dinterpretasikan bahwa hampir setengah responden mempunyai tingkat pengetahuan yang baik, lalu pada umumnya responden memiliki sikap pada kategori sedang sedangkan sebagian besar responden memiliki kategori tindakan sedang.

4.2.3 Kepadatan Hunian di Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan

Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Kepadatan Hunian di Rutan Klas I Tanjung Gusta

Kepadatan Hunian Jumlah Persentase (%)

Sesuai (> 5,6 m2/orang) 0 0

Tidak Sesuai (< 5,6 m2/orang)

40 100,0

Total 40 100,0

Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat bahwa jumlah responden yang tinggal di dalam sel dengan kepadatan hunian yang sesuai dengan ketentuan standar menurut SE. Dirjen Pemasyarakatan tahun 2005 sama sekali tidak ada. Dari persentasi distribusi proporsi yang ditampilkan pada tabel di atas maka dapat dinterpretasikan bahwa seluruh responden tinggal di dalam sel dengan kepadatan hunian yang tidak sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Hal ini merupakan faktor risiko penularan TB paru yang sangat berbahaya karena ruang yang dihuni para responden tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan.

4.2.4 Faktor Lingkungan Fisik di Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan

Faktor Lingkungan Fisik di Rutan klas I Tanjung Gusta yang diamati dalam penelitian ini meliputi: Kelembaban Udara, Intensitas Cahaya dan Suhu di lingkungan rutan sebagai berikut:


(47)

Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Lingkungan Fisik di Rutan Klas I Tanjung Gusta

Variabel n %

Kelembaban Udara

Tidak Memenuhi Syarat

(Kelembaban < 40% atau > 70%) 30 75,0

Memenuhi Syarat

(Kelembaban antara 40-70%) 10 25,0

Total 40 100,0

Intensitas Cahaya

Tidak Memenuhi Syarat ( < 60 lux) 40 100,0

Memenuhi Syarat ( > 60 lux) 0 0,0

Total 40 100,0

Suhu

Tidak Memenuhi Syarat

( <18˚C dan > 30˚C) 40

100,0 Memenuhi Syarat

(18˚C-30˚C) 0

0,0

Total 40 100,0

Berdasarkan tabel 4.6 dapat dilihat bahwa hampir setengah responden yang tinggal di dalam sel dengan kelembaban yang sesuai dengan ketentuan standar menurut Kepmenkes No 829 Tahun 1999 yaitu sebanyak 10 orang responden (25,0%) sedangkan sebagian besar tinggal dalam sel yang kelembaban udaranya tidak sesuai dengan Kepmenkes No 829 Tahun 1999 sebanyak 30 orang responden (75,0%). Selain itu juga dapat dilihat bahwa seluruh responden di Rutan Klas I Tanjung Gusta tinggal di sel dengan intensitas cahaya yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan Kepmenkes No 829 Tahun 1999 setelah diukur dengan lux meter. Selanjutnya dapat dilihat bahwa seluruh responden di Rutan Klas I Tanjung Gusta tinggal di sel dengan suhu yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan


(48)

Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999. Dari persentasi distribusi proporsi yang ditampilkan pada tabel di atas maka dapat dinterpretasikan bahwa pada umumnya faktor lingkungan fisik responden variabel kelembaban udara tidak memenuhi syarat, lalu variabel intensitas cahaya serta suhu seluruhnya tidak memenuhi syarat.

Sedikitnya ruangan sel dengan kelembaban yang sesuai serta tidak adanya ruangan sel yang memenuhi syarat untuk faktor lingkungan fisik intensitas cahaya dan suhu sesuai ketetapan perundangan yang digunakan sebagai standar merupakan faktor risiko penularan TB paru yang sangat berbahaya karena ruang yang dihuni para narapidana tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan.

Sanitasi lingkungan rutan menunjukkan tempat yang potensial sebagai habitat bagi bakteri Mycobacterium Tuberculosis sehingga WBP yang tinggal di dalamnya mempunyai risiko menderita penyakit tuberkulosis. Hasil observasi dan pengukuran kondisi lingkungan Rutan tentang luas ventilasi, pencahayaan, kelembaban udara serta kondisi lantai ditemukan:

a. Seluruh ruang tahanan tidak memiliki pencahayaan secara alami yang cukup yaitu = 60 Lux sebagaimana dalam Kepmenkes RI No 829 (1999) tidak terpenuhi.

b. Kelembaban udara pada ruang tahanan ditemukan yaitu 2 unit ruang tahanan (40%) dari 12 ruang tahanan yang diobservasi yang memenuhi standar kelembadan udara (40-70 %) sebagaimana ditetapkan dalam Kepmenkes RI No 829 (1999).


(49)

c. Suhu diseluruh ruang tahanan tidak memenuhi syarat yaitu 18-30C sebagaimana ditetapkan dalam Kepmenkes RI No 829 (1999)

Berdasarkan hasil observasi tentang kondisi lingkungan Rutan dapat dijelaskan bahwa secara umum belum memenuhi persyaratan rumah sehat. Melihat struktur bangunan ruang tahanan pada Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan, penulis berpendapat bahwa kurang sesuai apabila dibandingkan dengan syarat rumah sehat (Kepmenkes No 829 tahun 1999) sehingga hal ini menjadi salah satu keterbatasan dalam penelitian ini.

4.2.5 Tingkat Risiko TB Paru di Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan

Tingkat risiko Tb Paru diukur berdasarkan variabel kepadatan hunian dan lingkungan fisik yang telah dijabarkan sebelumnya sebagai berikut: Tingkat risiko tinggi apabila salah satu dari aspek kepadatan hunian dan lingkungan fisik memiliki kategori tidak baik atau tidak memenuhi syarat. Tingkat risiko rendah apabila salah satu dari aspek kepadatan hunian dan lingkungan fisik memiliki kategori baik atau memenuhi syarat.

Tabel 4.5 Kategori Tingkat Risiko TB Paru Responden di Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan

Tingkat Resiko TB Paru n %

Tinggi 40 100,0

Rendah 0 0,0


(50)

Berdasarkan tabel 4.7 dapat dilihat bahwa responden dengan kategori tingkat resiko TB Paru yang tinggi adalah sebanyak 40 orang (100,0%) atau seluruh responden yang ada di Rutan klas I Tanjung Gusta.

Dari persentasi distribusi proporsi yang ditampilkan pada tabel di atas maka dapat dinterpretasikan bahwa seluruh responden memiliki risiko terkena TB paru yang tinggi.


(51)

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Responden

Distribusi proporsi responden di Rutan Klas I Tanjung Gusta menurut umur sebagian besar reponden berada pada kelompok umur < 30 tahun yaitu sebanyak 26 orang (65,0%), sedangkan pada kelompok umur lain yaitu hampir setengah pada kelompok umur 31-40 tahun sebanyak 13 orang (32,5%) dan sebagian kecil pada kelompuk umur > 40 tahun sebanyak 1 orang (2,5%).

Kelompok umur Menurut Tjandra Yoga dalam Manalu (2010) mengungkapkan bahwa di indonesia sebagian besar penderita TB paru sebesar 75% adalah penduduk usia produktif yaitu antara 15-49 tahun. Jumlah responden yang lebih tinggi pada usia muda dibanding responden pada kelompok umur yang lebih tua seperti > 40 tahun turut memberi kontribusi meningkatnya resiko penularan Tb paru dalam rutan, walaupun Secara umum, diungkapkan oleh Naga (2012) bahwa tingkat atau derajat penularan penyakit ini tergantung pada banyaknya basil tuberkulosis dalam sputum, virulensi atas, basil dan peluang adanya pencemaran udara dari batuk, bersin dan berbicara keras. Dan penyakit ini sangat peka dan tidak pandang bulu pada segala lapisan umur baik bayi, balita, tua ataupun muda.

Menurut tingkat pendidikan sebagian besar responden memiliki pendidikan pada kategori SMA yaitu sebanyak 29 orang (72,5%), sedangkan pada kategori pendidikan lain yaitu sebagian kecil pada kategori tingkat pendidikan SMP sebanyak 7 orang (17,5%) dan sebagian kecil pada kategori pendidikan


(52)

Perguruan Tinggi sebanyak 4 orang (10,0%). Faktor pendidikan pun turut memiliki pengaruh terhadap penularan TB paru, pendidikan berbanding lurus dengan pengetahuan dimana semakin tinggi tingkat pendidikan responden maka semakin tinggi pengetahuannya. Menurut Depkes RI (2011) pengetahuan yang baik tentang pencegahan penyakit TB paru akan menolong responden dalam menghindarinya.

Menurut lama tinggal di rutan hampir setengah berada pada kelompok lama tinggal < 18 bulan yaitu sebanyak 19 orang (47,5%), sedangkan pada kelompok lain hampir setengah responden berada pada kelompok lama tinggal di rutan 19-36 bulan sebanyak 18 orang (45,0%) dan sebagian kecil responden berada pada kelompok lama tinggal > 36 bulan sebanyak 3 orang (7,5%). Faktor

lama waktu dalam tahanan merupakan faktor risiko penyakit tuberkulosis paru, hal ini dapat dilihat dari responden yang sebelum masuk ke rutan tidak menderita penyakit tuberkulosis paru namun karena dalam kehidupan sehari-hari berada dalam satu ruangan dengan WBP penderita tuberkulosis paru akan mengalami keterpaparan sejalan dengan waktu yang dijalaninya dalam ruang tahanan, karena penularan tuberkulosis dapat melalui droplet. Semakin lama berada dalam ruang tahanan maka diasumsikan semakin besar tingkat penularan yang terjadi antar warga binaan.

Sesuai dengan teori simpul penyakit menurut Achmadi (2008) bahwa proses terjadinya penyakit berbasis lingkungan adalah adanya agent penyakit pada manusia (host). Responden di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan yang tinggal dalam satu ruang tahanan dengan penderita penyakit tuberkulosis paru


(53)

merupakan kelompok risiko tinggi (high risk group) terkena penyakit tuberkulosis paru karena suatu kelompok yang terpajan (exposed) zat penyebab penyakit yang lebih besar mempunyai risiko lebih besar mengalami penyakit (Achmadi, 2010).

Sesuai penelitian Kimerling (2003) menyimpulkan bahwa seseorang yang sering kontak dengan penderita tuberkulosis paru akan menimbulkan penularan dalam waktu sekitar 3 bulan. Hal ini dibuktikan pada penelitian di Siberia bahwa 25-30% penderita tuberkulosis paru mempunyai riwayat pernah tinggal pada tempat-tempat seperti penjara dan asrama.

5.2 Faktor Perilaku Responden di Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan 5.2.1 Faktor Pengetahuan Responden di Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa bahwa hampir setengah responden berada dalam kategori pengetahuan baik berjumlah 19 orang (47,5%), lalu hampir setengah responden dengan kategori pengetahuan sedang sebanyak 15 orang (37,5%) sedangkan sebagian kecil responden berada dalam kategori pengetahuan kurang yaitu sebanyak 6 orang (15,0%). Banyaknya responden yang mememiliki tingkat pengetahuan baik tentang pencegahan Tb paru dikarenakan pihak Rutan memberikan peyuluhan rutin tentang beberapa penyakit yang sering terjadi di rutan, termasuk Tb paru, hal ini menyebabkan hampir setengah responden di rutan sudah memiliki pengetahuan yang baik.

Menurut Enjang (2001), semakin rendah pengetahuan si penderita maka semakin besar bahaya si penderita sebagai sumber penularan baik di rumah maupun di masyarakat sekitarnya. Sebaliknya, pengetahuan yang baik tentang pencegahan penyakit TB paru akan menolong seseorang dalam menghindari


(54)

penyakit TB paru. Untuk itu diperlukan penyuluhan tentang TB paru karena masalah TB paru banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat (Depkes RI 2002). Namun dalam penelitian ini walaupun hampir setengah responden memiliki tingkat pengetahuan baik tetap tidak memberi kontribusi terhadap peningkatan sikap dan tindakan responden. Rendahnya tingkat sikap serta tindakan responden walaupun pengetahuan mereka baik, hal ini disebabkan karena responden merasa tidak mampu mengaplikasikan pengetahuan yang dimiliknya dalam kebiasaan sehari-hari di rutan, sehingga walau tahu beberapa hal meningkatkan risiko terkena Tb Paru, responden tetap bersikap negatif terhadap upaya pencegahan Tb paru dalam rutan.

Pengetahuan responden yang hampir setengah sudah baik tidak menjamin seseorang untuk terbebas dari risiko terkena Tb Paru apabila tingkat pengetahuan masih pada tahap memahami belum melalui tahap aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi seperti yang dijelaskan oleh Notoatmodjo (2012). Pengetahuan yang tinggi merupakan sarana yang baik untuk mengubah perilaku, namun perlu dibarengi dengan niat yang kuat sehingga seseorang akan bertindak sesuai dengan tingkat pengetahuannya. Terbatasnya sarana di rutan terutama untuk menjaga hygiene diri pun turut memengaruhi sikap dan tindakan responden dalam mengaplikasikan pengetahuannya dalam pencegahan Tb paru. Pada akhirnya walau memiliki pengetahuan yang baik responden cenderung acuh ataupun pasrah dalam menjaga dirinya dari penularan Tb paru di rutan.


(55)

5.2.2 Faktor Sikap Responden di Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan

Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar responden berada dalam kategori sikap baik berjumlah 32 orang (80,0%), sedangkan sebagian kecil responden dengan kategori sikap yang sedang sebanyak 8 orang (20,0%). Secara teoritis, sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap responden dalam pencegahan Tb Paru akan lebih baik bila berawal dari niat, sehingga dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup (Notoatmodjo, 2012).

Menurut M. Hariwijaya dan Sutanto (2007), diperlukan sikap dan perilaku yang baik dalam pencegahan dan penularan penyakit TB paru. Semakin baik sikap ibu terhadap pencegahan penyakit TB paru maka semakin kecil pula risiko anaknya untuk tertular penyakit TB paru. Sikap yang buruk dalam pencegahan Tb paru di rutan menyebabkan perilaku yang buruk dalam pencegahan TB paru yang berperan serta dalam peningkatan risiko penularan Tb paru di Rutan. Menurut Bem (1972) dalam Neila Ramadhani (2009), individu cenderung menunjukkan sikap sesuai dengan perilaku sebelumnya. Orang yang mempunyai sikap yang negatif maka perilakunya juga akan cenderung negatif.

Dalam penentuan sikap, pengetahuan, berfikir, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Suatu contoh misalnya, seorang narapidana telah mendengar penyakit TB paru (penyebabnya, akibatnya, pencegahannya, dan sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa dirinya untuk berfikir dan berusaha supaya tidak terkena TB paru. Dalam berfikir ini komponen emosi dan keyakinan


(56)

ikut bekerja, sehingga narapidana tersebut berniat akan mencegah dirinya terkena TB paru. Namun, lingkungan yang tidak meyakinkan menyebabkan pengetahuan yang dimiliki tidak berkorelasi dengan sikap dan tindakan yang dia terapkan.

5.2.3 Faktor Tindakan Responden di Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti hampir setengah responden memiliki kategori tindakan baik berjumlah 10 orang (25,0%), kemudian sebagian besar responden memiliki kategori tindakan sedang yaitu sebanyak 23 orang (57,5%), sedangkan sebagian kecil responden memiliki kategori tindakan kurang yaitu sebanyak 7 orang (17,5%). Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan pada umumnya responden memiliki kategori tindakan sedang dan hampir setengah memiliki kategori tindakan baik, hal ini menunjukkan pengetahuan dan sikap yang dimiliki responden diaplikasikan dalam tindakan pencegahan terutama menjaga personal hygiene. Namun, masih tingginya angka kejadian Tb paru di rutan tetap terjadi dikarenakan faktor lain yang memberikan pengaruh lebih besar yaitu faktor

lingkungan. Menurut M. Hariwijaya dan Sutanto (2007), penularan dan

penyebaran penyakit TB paru sangat terkait dengan faktor perilaku dan lingkungan. Faktor lingkungan dan sanitasi sangat terkait dengan keberadaan bakteri penyebab dan proses timbul serta penularannya. Faktor perilaku sangat berpengaruh pada penyembuhan dan pencegahan agar terhindar dari infeksi kuman tuberkulosis.

Teori Blum juga menyebutkan bahwa faktor perilaku merupakan komponen kedua terbesar dalam menentukan status kesehatan. Penularan penyakit TB paru dapat disebabkan perilaku yang kurang memenuhi kesehatan, seperti


(57)

kebiasaan membuka jendela atau kebiasaan membuang dahak penderita yang tidak benar. Kurangnya aliran udara dalam rumah meningkatkan kadar CO2 dan meningkatkan kelembaban udara yang merupakan media yang baik untuk bakteri patogen. Alasan ini yang menyebabkan penularan penyakit TB paru dalam keluarga (Agus S. dan Arum P., 2005).

5.3 Kepadatan Hunian di Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada responden yang tinggal di dalam sel dengan kepadatan hunian yang sesuai dengan ketentuan standar menurut SE. Dirjen Pemasyarakatan tahun 2005. Hal ini merupakan faktor risiko penularan TB paru yang sangat berbahaya karena ruang yang dihuni para responden tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Hal ini disebabkan karena kurangnya jumlah ruangan yang dimiliki rutan sedangkan jumlah narapidana semakin meningkat, tidak adanya rutan lain dalam kawasan kota medan juga turut meningkatkan penumpukan narapidana di Lapas Klas I Tanjung Gusta. Pihak rutan semestinya menerapkan sistem penyaringan pada narapidana yang baru masuk untuk mengetahui apakah seorang narapidana memiliki penyakit yang dapat menular yang nantinya narapidana dapat diletakkan diruangan yang terpisah dari narapidana yang sehat untuk menghindari penularan penyakit dalam ruangan sel, namun menurut pengamatan penulis di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan, narapidana dengan gejala klinis tuberkulosis masih bergabung dengan narapidana lainnya, belum ada ruangan khusus bagi tersangka dan penderita tuberkulosis paru.


(58)

Sanitasi lingkungan yang tidak baik sangat berpengaruh sebagai faktor risiko penyakit tuberkulosis paru, bahwa responden yang tinggal dalam ruang tahanan yang melebihi kapasitas dan dalam ruangan tersebut terdapat penderita tuberkulosis paru akan lebih berisiko tertular. Sesuai penelitian Susi (2008) bahwa penyebab utama tingginya infeksi Mycobacterium Tuberculosis dan penyakit tuberkulosis paru di penjara adalah ketidakseimbangan jumlah tahanan yang menyebabkan risiko untuk terpapar bakteri Mycobacterium Tuberculosis menjadi lebih tinggi sehingga penyakit tuberkulosis paru akan lebih mudah berkembang menjadi penyakit yang aktif.

Tingginya penderita tuberkulosis paru di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan sesuai dengan fenomena yang ditemukan pada penelitian Laniado-Loborin (2001) bahwa prevalensi tuberkulosis paru dalam penjara 5-10 kali rata-rata nasional. Data prevalensi tuberkulosis paru dalam penjara Afrika (Malawi, Ivory Coast dan Tanzania) ditemukan prevalensi tuberkulosis paru >10 kali lebih tinggi daripada angka nasional (Coninx, et al., 2000). Prevalensi tuberkulosis paru dalam penjara di Uni Soviet dilaporkan mencapai lebih dari 200 kali daripada populasi umum, melewati 3-11 kali Amerika Serikat (CDC, 2004). Mortalitas tuberkulosis paru yang tinggi pada beberapa penjara yaitu 24% dan tuberkulosis paru sebagai penyebab paling sering mengalami kematian (50-80% kematian).

Hasil penelitian Sanchez, et al (2005) prevalensi tuberkulosis paru dalam penjara di Spanyol 2,30%, Bostwana 3,80%, Brazil 4,60%. Pada penjara di Rio de Janairo dengan angka insidens tahunan tuberkulosis paru 1439 kasus tiap 100.000 populasi di tahun 2001, 10 kali lebih tinggi daripada populasi umum. Prevalensi


(59)

tuberkulosis paru di antara tahanan di Pakistan 3,90% lebih tinggi daripada prevalensi pada populasi umum yaitu 1,10% (Shah et al., 2003).

Sesuai penelitian Triska dan Lilis (2005) menyatakan bahwa sanitasi rumah sangat erat hubungannya dengan angka kesakitan penyakit menular. Hal ini dikarenakan lingkungan rumah yang buruk dapat menjadi media yang baik bagi bakteri tuberkulosis dan dapat menular kepada orang lain.

Kepadatan hunian yang melebihi ketentuan sebagai faktor risiko penyakit tuberkulosis paru bahwa interaksi antara WBP dalam suatu ruangan yang padat akan meningkatkan risiko tertular terserang tuberkulosis paru. Hal ini dapat terjadi dengan asumsi bahwa semakin banyak atau padat penghuni ruang tahanan maka semakin banyak pula jumlah bakteri Mycobacterium Tuberculosis dalam ruangan tersebut, karena dalam ruangan tersebut juga terdapat penderita.

Sesuai penelitian Narain (2002) menyatakan bahwa tingginya angka kejadian tuberkulosis paru pada narapidana diseluruh dunia diantaranya disebabkan karena overcrowding dan buruknya ventilasi dalam penjara. Kepadatan hunian yang ditentukan berdasarkan jumlah penghuni rumah per luas lantai ruangan merupakan faktor penting. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuni akan mengakibatkan tidak terpenuhinya konsumsi oksigen segar yang dibutuhkan anggota keluarga serta memudahkan terjadinya penularan penyakit infeksi kepada anggota keluarga lainnya.

Berdasarkan aturan Departemen Kesehatan (2000) dinyatakan bahwa rasio kepadatan hunian rumah yang dianjurkan minimal 10 m2/orang, sedangkan untuk kamar tidur minimal 8m2/orang. Selain itu, kepadatan hunian kamar tidur juga


(60)

menjadi factor resiko penyebab penyakit Tuberkulosis. Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya agar tidak menyebabkan

overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.

5.4 Faktor Lingkungan Fisik di Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa hampir setengah responden yang tinggal di dalam sel dengan kelembaban yang sesuai dengan ketentuan standar menurut Kepmenkes No 829 Tahun 1999 yaitu sebanyak 10 orang responden (25,0%) sedangkan sebagian besar tinggal dalam sel yang kelembaban udaranya tidak sesuai dengan Kepmenkes No 829 Tahun 1999 sebanyak 30 orang responden (75,0%). Selain itu juga dapat dilihat bahwa seluruh responden di Rutan Klas I Tanjung Gusta tinggal di sel dengan intensitas cahaya yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan Kepmenkes No 829 Tahun 1999 setelah diukur dengan luxmeter. Selanjutnya dapat dilihat bahwa seluruh responden di Rutan Klas I Tanjung Gusta tinggal di sel dengan suhu yang tidak sesuai dengan

standar yang ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

829/Menkes/SK/VII/1999.

Sedikitnya ruangan sel dengan kelembaban yang sesuai serta tidak adanya ruangan sel yang memenuhi syarat untuk faktor lingkungan fisik intensitas cahaya dan suhu sesuai ketetapan perundangan yang digunakan sebagai standar merupakan faktor resiko penularan TB paru yang sangat berbahaya karena ruang yang ditinggali para narapidana tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan.


(61)

Lingkungan rutan yang tidak baik karena tidak sesuainya suhu, kurang pencahayaan, tingkat kelembaban yang tinggi akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit tuberculosis paru, karena dalam kondisi lingkungan yang tidak baik maka bakteri Mycobacterium Tuberculosis akan bertambah sehingga setiap orang yang tinggal dalam lingkungan dengan kondisi yang demikian akan rentan menderita penyakit tuberkulosis paru.

Hasil observasi penulis pada ruang tahanan Rumah Tahanan Negara Klas I Medan bahwa sel tahanan tidak memiliki ventilasi, sehingga sirkulasi udara hanya mungkin terjadi dari pintu ruang tahanan. Kondisi yang sama ditemukan dalam penelitian (Coninx, et al., 2000) bahwa sel tahanan penuh sesak sehingga diperkirakan setiap tahanan hanya memiliki ruang gerak sekitar 1 m² dengan ventilasi alam hanya melalui jeruji besi, bahkan pada dapur dan tempat tahanan sering berkumpul juga tidak mempunyai ventilasi. Kenyataan ini didukung pendapat Jane (2005) bahwa penjara biasanya padat dengan higiene yang buruk dan ventilasi tidak adekuat (tidak memenuhi kebutuhan) sehingga menciptakan kondisi untuk penularan penyakit melalui udara, meskipun pada beberapa negara penjara terdapat jendela tetapi pada musim dingin jendela jarang dibuka.

Kondisi perumahan yang buruk dianggap sangat berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru. Menurut Atmosukarto (2000) bahwa Mycobacterium Tuberculosa di luar tubuh manusia seperti halnya bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi akan tetapi cepat mati jika terkena sinar matahari. Bakteri tuberkulosis dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab, gelap tanpa sinar matahari sampai


(62)

bertahun-tahun lamanya. Tetapi bakteri tuberkulosis akan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan panas api. Bakteri ini akan mati dalam waktu 2 jam jika terkena cahaya matahari. Selain itu, bakteri tersebut juga akan mati oleh ethanol 80 % dalam waktu 2 sampai 10 menit serta oleh fenol 5 % dalam waktu 24 jam.

Kelembaban yang tinggi di dalam rumah juga dapat disebabkan karena jenis lantai yang tidak kedap air. Lantai rumah yang tidak kedap air (tanah) sulit untuk dibersihkan, berdebu, cenderung lembab dan gelap dan merupakan keadaan yang ideal bagi berbagai jenis bakteri dan virus untuk dapat bertahan hidup lebih lama. Hal ini mengakibatkan penghuninya rentan terhadap serangan berbagai penyakit termasuk tuberkulosis. Apabila ada penderita tuberkulosis paru yang masuk ke dalam rumah tersebut dalam waktu tertentu akan memudahkan terjadinya penularan kepada penghuni yang berada di dalam rumah tersebut.

Croftton (2002) menyatakan bahwa kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat, gelap dan lembab dapat membuat bakteri bertahan hidup selama bertahun– tahun sehingga meningkatkan risiko penularan tuberkulosis paru di dalam rumah.. Beberapa penelitian lainnya yang menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara kondisi rumah yang kurang memenuhi syarat dengan kejadian tuberkulosis paru. Swara (2001) di Garut menyimpulkan bahwa mereka yang tinggal di rumah yang tidak memenuhi syarat memiliki resiko 5,61 kali dibandingkan dengan mereka yang tinggal di rumah dengan kondisi yang baik.

Penelitian Mulyadi (2003) penghuni rumah yang mempunyai kelembaban ruanng keluarga lebih besar dari 60% berisiko terkena TBC Paru 10,7 kali


(63)

disbanding penduduk yang tinggal pada perumahan yang memiliki kelembaban lebih kecil atau sama dengan 60%. Pengaruh pencahayaan terhadap penyakit tuberkulosis paru ditemukan dalam penelitian Adnani dan Mahastuti (2007) bahwa sebagian besar pencahayaan rumah responden tidak memenuhi syarat (75%). Dari analisa tabulasi silang diperoleh odds ratio sebesar 9,13, dengan hasil OR tersebut dapat diinterpretasikan bahwa risiko untuk menderita TBC Paru 9 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang pencahayaan tidak memenuhi syarat kesehatan.

Hal ini sesuai penelitian Pertiwi (2004) yang mengatakan bahwa penghuni rumah yang pencahayaannya tidak memenuhi syarat akan 2,5 kali terkena TBC Paru dibanding penghuni yang pencahayaan rumahnya memenuhi persyaratan di Jakarta Timur. Cara memperoleh pencahayaan yang baik di dalam rumah melalui (Depkes RI, 1989) : (a) memanfaatkan sinar matahari sebanyak mungkin untuk penerangan dalam rumah pada siang hari melalui jendela, lobang angin, pintu maupun atap rumah (genteng kaca), (b) mempergunakan warna-warna muda untuk lantai, dinding maupun langit – langit rumah, (c) mempergunakan lampu yang cukup terang sesuai dengan aktifitas pada malam hari.

Kesesuaian suhu berpengaruh terhadap kejadian penyakit tuberkulosis, sesuai dengan penelitian Supriyono (2002) yang menghitung risiko untuk terkena tuberkulosis paru, ditemukan risiko 5,2 kali pada penghuni yang memiliki ventilasi buruk dibanding penduduk berventilasi memenuhi syarat kesehatan. Ventilasi bermanfaat bagi sirkulasi/pergantian udara dalam rumah serta mengurangi suhu dan kelembaban. Keringat manusia juga dikenal mempengaruhi


(64)

kelembaban. Semakin banyak manusia dalam satu ruangan, kelembaban semakin tinggi, khususnya karena uap air baik dari pernafasan maupun keringat. Kelembaban dalam ruang tertutup dimana banyak terdapat manusia didalamnya lebih tinggi dibanding kelembaban diluar ruangan. Ventilasi mengencerkan konsentrasi bakteri TBC Paru dan bakteri lain, terbawa keluar dan mati terkena sinar ultraviolet. Ventilasi juga dapat merupakan tempat untuk memasukkan sinar ultra violet (Achmadi, 2005).

Menurut Depkes RI (1989) ventilasi yang tidak baik dapat meyebabkan udara tidak nyaman ( kepengapan, bronchitis, asma kambuh, masuk angin) dan udara kotor (penularan penyakit saluran pernafasan). Tersedianya udara yang segar dalam rumah sangat dibutuhkan oleh setiap manusia. Untuk mempertahankan kondisi suatu ruangan agar berada dalam batas kelembaban yang normal, harus dilengkapi dengan ventilasi yang memadai (Azwar, 1996). Suatu ruang dibangun tanpa memperhatikan aspek ventilasi, tentunya akan mempengaruhi sirkulasi udara dalam rumah. Udara segar juga diperlukan untuk menjaga kestabilan temperatur dan kelembaban udara dalam sebuah ruangan. Sesuai penelitian Adnani dan Mahastuti (2007) menemukan ventilasi rumah responden sebagian besar tidak memenuhi syarat (78%) dan hasil analisa

diperolah odds ratio sebesar 5,17, dengan hasil OR tersebut dapat

diinterpretasikan bahwa risiko untuk menderita TBC Paru 5 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang ventilasinya tidak memenuhi syarat.

Berdasarkan anjuran yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan (2000) dinyatakan bahwa untuk melindungi penghuni rumah dari penyakit yang berbasis


(65)

lingkungan, maka diperlukan jenis lantai yang kedap air dan mudah dibersihkan. Sesuai pendapat Fahmi (2005) yang menyatakan bahwa lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian tuberkulosis paru melalui kelembaban ruangan, karena lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban. Lantai dari tanah stabilisasi atau batu bata biasanya langsung diletakkan di atas tanah asli sehingga menjadi lembab.

Maka perlu dilapisi dengan satu lapisan semen yang kedap air. Rumah dengan lantai tanah akan menyebabkan kondisi lembab, pengap, yang akan memperpanjang masa viabilitas atau daya tahan hidup bakteri TBC dalam lingkungan. Pada akhirnya akan meyebabkan potensi penularan TBC menjadi lebih besar. Sesuai penelitian Adnani dan Mahastuti (2007) yang menemukan sebagian besar responden lantai rumahnya tidak memenuhi syarat (81,8%) serta hasil analisis diperoleh odds ratio sebesar 3,75, dengan hasil OR tersebut dapat diinterpretasikan bahwa risiko untuk menderita TBC Paru 3 – 4 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang lantainya tidak memenuhi syarat kesehatan.


(66)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan

7. Karakteristik para tahanan di Blok D1 Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan

Tahun 2016 menurut kelompok umur yang terbanyak pada kelompok umur < 30 tahun yaitu sebanyak 26 orang (65,0%), menurut tingkat pendidikan yang terbanyak pada kategori SMA yaitu sebanyak 29 orang (72,5%), Gusta menurut lama tinggal di rutan yang terbanyak pada kelompok lama tinggal < 18 bulan yaitu sebanyak 19 orang (47,5%). 8. Tingkat pengetahuan responden tentang risiko penularan Tb Paru di Blok

D1 Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan Tahun 2016 , jumlah responden yang berkategori pengetahuan baik berjumlah 19 orang (47,5%).

9. Tingkat sikap responden tentang risiko penularan Tb Paru di Blok D1 Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan Tahun 2016, jumlah responden terbanyak dengan kategori sikap baik berjumlah 32 orang (80,0%).

10. Tingkat tindakan responden tentang risiko penularan Tb Paru di Blok D1 Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan Tahun 2016, jumlah responden terbanyak dengan kategori tindakan sedang yaitu sebanyak 23 orang (57,5%).

11. Kepadatan hunian yang meliputi luas sel rutan dan jumlah orang dalam sel di Blok D1 Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan Tahun 2016 , jumlah responden yang tinggal di dalam sel dengan kepadatan hunian yang sesuai


(67)

dengan ketentuan standar menurut SE. Dirjen Pemasyarakatan tahun 2005 sama sekali tidak ada.

12. Kualitas lingkungan fisik ruang tahanan yang meliputi kelembaban, intensitas cahaya dan suhu di Blok D1 Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan Tahun 2016 ,sebagian kecil jumlah responden yang tinggal di dalam sel dengan kelembaban yang sesuai dengan ketentuan standar yaitu 10 orang responden (25,0%) sedangkan hampir setengah yaitu 30 orang responden (75,0%) tinggal dalam sel yang kelembaban udaranya tidak sesuai dengan standar, seluruh responden di Rutan Klas I Tanjung Gusta tinggal di sel dengan intensitas cahaya dan suhu yang tidak sesuai dengan standar yng ditetapkan.

13. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden dengan kategori tingkat resiko TB Paru yang tinggi adalah sebanyak 40 orang (100,0%).

6.2 Saran

Dalam upaya menanggulangi masalah penyakit tuberkulosis paru di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan, maka disarankan:

1. Rumah Tahanan Negara Klas I Medan perlu segera mengimplementasikan

strategi penanggulangan tuberkulosis pada Lembaga Pemasyarakatan dan

Rumah Tahanan Negara, khususnya deteksi dini melalui screening

(pemeriksaan awal untuk mengetahui penderita tuberkulosis paru pada tahanan yang baru masuk) serta pengobatan bagi penderita tuberkulosis paru.


(68)

2. Manajemen Rumah Tahanan Negara Klas I Medan perlu membuat ruang tahanan khusus bagi penderita tuberkulosis paru sehingga terpisah dari tahanan yang lain sebagai upaya mencegah penularan antar warga binaan pemasyarakatan.

3. Manajemen Rumah Tahanan Negara Klas I Medan perlu menyesuaikan

kapasitas hunian dan, menjaga kondisi lingkungan fisik Rutan.

4. Petugas kesehatan pada Unit Pelayanan Tuberkulosis Paru Rutan Klas I Medan perlu melakukan pembinaan dan pengarahan kepada warga binaan pemasyarakatan di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan untuk meningkatkan pengetahuan sikap dan tindakan responden terhadap penghindaran risiko Tb paru.


(69)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis Paru

2.1.1 Definisi Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang bersifat menahun, disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis, yang sering dihinggapi adalah paru-paru (Depkes RI, 2002).

Penyakit Tuberkulosis merupakan jenis penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis, yang masih masuk dalam keluarga besar genus Mycobacterium. Bakteri atau kuman M. tuberculosis ini berbentuk batang, berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal hanya 0,3-0,6 mikron. Bakteri ini juga dikenal dengan Bakteri Tahan Asam (BTA) dikarenakan tahan terhadap pewarnaan yang asam.Asam lemak dan lipid yang membuat kuman ini menjadi lebih tahan asam serta tahan terhadap zat kimia, zat fisik, dan bisa membuatnya bertahan hidup untuk bertahun-tahun. Sifat lain yang juga terdapat pada M. tuberkulosis yaitu bersifat aerob, artinya lebih menyukai jaringan kaya oksigen, terutama bagian apical posterior (Bahar, 2010).

Kuman penyebab TB pertama kali ditemukan pada tahun 1882 oleh Robert Koch, sedangkan vaksin BCG ditemukan pada tahun 1921. Kemudian pada tahun 1944 ditemukan streptomisin sebagai obat pertama anti TBC, dan disusul INH pada tahun 1949.Penyakit TBC muncul kembali ke permukaan dengan meningkatnya kasus TBC di negara-negara maju atau industri pada tahun 1990.


(70)

juga dapat menyerang organ lain di dalam tubuh. Secara khas kuman membentuk granuloma dalam paru dan menimbulkan nekrosis atau kerusakan jaringan (Achmadi, 2008).Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100°C selama 5-10 menit atau pada pemanasan 60°C selama 30 menit, dan dengan alcohol 70-95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara, di tempat yang lembab dan gelap bisa berbulan-bulan, tapi tidak tahan terhadap sinar matahari atau aliran udara (Widoyono, 2008).

Saat ini penyakit TB dan TBC menyerang sepertiga dari 1,9 miliar penduduk dunia dewasa ini. Aditama (2000) selalu menyebut, setiap detik ada 1 orang yang terinfeksi baik itu TB maupun TBC di dunia.Setiap tahun terdapat 8 juta penderita baru, dan aka nada 3 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat penyakit ini. Ini berarti 1% dari penduduk dunia akan terinfeksi TB dan TBC setiap tahun. Tidak hanya itu, satu orang ternyata memiliki potensi menularkan virus 10 hingga 15 orangnya dalam satu tahun saja (Achmadi, 2008).

2.1.2 Etiologi Tuberkulosis Paru

Penyebab penyakit tuberkulosis paru adalah bakteri TB Paru disebut Mycobacterium tuberculosis berukuran 0,5-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Bakteri ini mempunyai sifat istimewa, yaitu dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga sering disebut Basil Tahan Asam (BTA) serta tahan terhadap zat kimia dan fisik (Widoyono, 2008)


(71)

Sifat lain adalah bersifat aerob, lebih menyukai jaringan kaya oksigen (Achmadi, 2008). Bila dijumpai BTA dalam dahak orang yang sering batuk-batuk maka orang tersebut didiagnosis sebagai penderita TB Paru aktif dan sangat berbahaya karena memiliki potensi yang amat berbahaya (Achmadi, 2011). Secara khas bakteri berbentuk granula dalam paru menimbulkan nekrosis atau kerusakan jaringan. Bakteri Mycobacterium tuberculosis akan cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh dapat dormant, tertidur lama selama bertahun tahun (Achmadi, 2008)

2.1.3 Patogenesis Penyakit Tuberkulosis Paru

Patogenesis penyakit tuberkulosis paru berawal dari penderita tuberkulosis paru BTA positif sebagai sumber penularan. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan bakteri dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet

yang mengandung bakteri dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Daya penularan dari seseorang penderita ditentukan oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari parunya.

Patogenesis penyakit tuberkulosis paru dibedakan berdasarkan proses terjadinya, sebagai berikut:

A. Infeksi Primer

Infeksi primer terjadi pada seseorang yang terpapar pertama kali dengan bakteri tuberkulosis paru. Droplet yang terhisap sangat kecil ukurannya sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosiller broncus dan terus berjalan sampai di


(1)

2.6.1 Kebijakan PPI BI Lapas dan Rutan ... 41

2.7 Kerangka Konsep ... 47

BAB III METODE PENELITIAN ... 48

3.1 Jenis Penelitian ... 48

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 48

3.3 Populasi dan Sampel ... 48

3.3.1 Populasi ... 48

3.3.2 Sampel ... 49

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 51

3.4.1 Data Primer ... 51

3.4.2 Data Sekunder ... 51

3.5 Definisi Operasional ... 52

3.6 Metode Pengukuran ... 53

3.6.1 Alat Ukur ... 53

3.6.2 Aspek Pengukuran ... 53

3.7 Pengolahan dan Analisa Data ... 57

3.7.1 Pengolahan Data ... 57

3.7.2 Analisa Data ... 57

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 59

4.1 Gambaran Umum Tempat Penelitian ... 59

4.4.1 Gambaran Lokasi ... 59

4.2 Analisis Univariat ... 60

4.2.1 Karakteristik Responden Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan.. 60

4.2.2 Faktor Perilaku Responden di Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan ... 61

4.2.3 Kepadatan Hunian di Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan ... 63

4.2.4 Faktor Lingkungan Fisik di Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan ... 63

4.2.5 Tingkat Risiko TB Paru di Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan ... 66

BAB V PEMBAHASAN ... 68

5.1 Karakteristik Responden ... 68

5.2 Faktor Perilaku Responden di Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan 70

5.2.1 Faktor Pengetahuan Responden di Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan ... 70

5.2.2 Faktor Sikap Responden di Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan ... 71

5.2.3 Faktor Tindakan Responden di Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan ... 72

5.3 Kepadatan Hunian di Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan ... 73


(2)

xi

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

6.1 Kesimpulan ... 83

6.2 Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 86


(3)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Gambaran Kondisi Lapas dan Rutan di Indonesia (2009-2011)... 32 Tabel 3.1 Perhitungan Sampel berdasarkan data Per Ruang Tahanan Blok

D1... ... 50 Tabel 4.1 Distribusi Proporsi Karakteristik Responden di Rutan Klas I Tanjung

Gusta ... 60 Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan

di Rutan Klas I Tanjung Gusta ... 62 Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Kepadatan Hunian di Rutan Klas I

Tanjung Gusta ... 63 Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Lingungan Fisik di Rutan

Klas I Tanjung Gusta ... 64 Tabel 4.5 Kategori Tingkat Risiko Tb Paru Responden di Rutan Klas I Tanjung


(4)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Konsep ... 47


(5)

DAFTAR ISTILAH

Singkatan Singkatan dari

BTA Bakteri Tahan Asam

DOT Direct Observe Treatment

DOTS Directly Observed Treatment, Shortcourse Chemotherapy

LAPAS Lembaga Pemasyarakatan

OAT Obat Anti Tuberkulosis

PMO Pengawas Minum Obat

RUTAN Rumah Tahanan

TB Tuberkulosis


(6)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Denah Rumah Tahanan Negara Kelas I Tanjung Gusta Medan Lampiran 2. Data Angka Penyebab Kematian Pada Narapidana dan Tahanan di

Indonesia Tahun 2011

Lampiran 3. Standard Kapasitas Serta Tipe-Tipe Hunian Sel di Rutan Kelas I Medan

Lampiran 4. Daftar Penderita TB Paru di Rutan Kelas I Medan Juni 2015 Lampiran 5. Kuesioner Penelitian

Lampiran 6. Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No.M.01.PL.01.01 Tahun 2003 Tentang Pola Bangunan UPT Pemasyarakatan Lampiran 7. Master Data

Lampiran 8. Hasil Output SPSS

Lampiran 9. Surat Keterangan Selesai Penelitan Lampiran 10.Lampiran Dokumentasi

Lampiran 11.Surat Izin Riset