Pengaruh Higiene dan Sanitasi Lingkungan terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru pada Warga Binaan Pemasyarakatan di Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan
PENGARUH HIGIENE DAN SANITASI LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU PADA WARGA
BINAAN PEMASYARAKATAN DI BLOK D RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS I
MEDAN
T E S I S
Oleh
MASDALENA 097032061/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
PENGARUH HIGIENE DAN SANITASI LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU PADA WARGA
BINAAN PEMASYARAKATAN DI BLOK D RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS I
MEDAN
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
MASDALENA 097032061/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
Judul Tesis : PENGARUH HIGIENE DAN SANITASI LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU PADA
WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DI BLOK D RUMAH TAHANAN NEGARA
KLAS I MEDAN Nama Mahasiswa : Masdalena Nomor Induk Mahasiswa : 097032061
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H) (drh. Hiswani, M.Kes Ketua Anggota
)
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si) (Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
(4)
Telah diuji
Pada Tanggal : 9 Januari 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H Anggota : 1. drh. Hiswani, M.Kes
2. dr. Surya Dharma, M.P.H 3. Ir. Indra Chahaya, M.Si
(5)
PERNYATAAN
PENGARUH HIGIENE DAN SANITASI LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU PADA WARGA
BINAAN PEMASYARAKATAN DI BLOK D RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS I
MEDAN
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Januari 2012
MASDALENA 097032061/IKM
(6)
ABSTRAK
Kasus tuberkulosis paru di Kota Medan tahun 2010 tercatat sebanyak 918 orang dengan prevalensi 45,9 per 100.000 penduduk. Berdasarkan survei pendahuluan di Rutan Klas I Medan tahun 2010 terdapat 59 orang Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang menderita tuberkulosis paru dan 14 orang di antaranya menderita tuberkulosis paru setelah menjadi WBP.
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh higiene dan sanitasi lingkungan terhadap kejadian penyakit tuberkulosis paru pada warga binaan pemasyarakatan di Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan. Jenis penelitian survei analitik dengan desain cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2011- Januari 2012. Populasi penelitian adalah seluruh WBP di Blok D sebanyak 233 orang dan seluruhnya dijadikan sampel. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner dan observasi, dianalisis dengan uji regresi logistik berganda pada pengujian α = 5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel higiene per orangan (kebiasaan membuang ludah, batuk dan merokok), variabel sanitasi lingkungan (kapasitas hunian, ketersediaan air bersih, lingkungan Rutan dan kebersihan alat makan/minum) berpengaruh signifikan terhadap kejadian penyakit tuberkulosis paru. Kapasitas hunian WBP merupakan faktor risiko paling besar menyebabkan terjadinya penularan penyakit tuberkulosis paru (Rasio Prevalen = 11,928).
Disarankan kepada: (1) Manajemen Rutan Klas I Medan perlu segera mengimplementasikan strategi penanggulangan tuberkulosis pada Lapas/Rutan, khususnya deteksi dini melalui screening pada tahanan yang baru masuk serta pengobatan bagi penderita tuberkulosis paru, perlu membuat ruang tahanan khusus bagi penderita tuberkulosis paru sehingga terpisah dari tahanan yang lain sebagai upaya mencegah penularan antar warga WBP, perlu menyesuaikan kapasitas hunian, menyediakan air bersih sesuai kebutuhan, menjaga sanitasi lingkungan Rutan dan menjaga kebersihan alat makan/minum yang digunakan warga binaan pemasyarakatan, (2) Petugas kesehatan pada Unit Pelayanan Tuberkulosis Paru Rutan Klas I Medan perlu melakukan pembinaan dan pengarahan kepada WBP untuk mengubah kebiasaan meludah, batuk dan merokok.
(7)
ABSTRACT
Cases of pulmonary tuberculosis in Medan City 2010 noted as 918 people with prevalence as 45,9/100,000 population. Based on preliminary surveys in the Class I State Penitentiary Medan in 2010, found 59 inmates suffering from lung tuberculosis and 14 of them suffering from lung tuberculosis after became inmates.
The purpose of this study was to analyze the influence of environmental sanitation and hygiene on the incident of lung tuberculosis in the inmates of Block D at the Class I State Penitentiary Medan. The type of this study is analytic survey with cross sectional design. The Study was conducted frome June 2011 until January 2012. The population of this study were all of the 233 inmates and all of them were selected to be sample. The data for this study were obtained through observation and questionnaire based interviews. The data obtained were analyzed with multiple regression test at α = 5%.
The result of this study showed that statistically the variables of personal hygiene (habits of spitting, coughing and smoking), and environmental sanitation (dwelling capacity, clean water availability, penitentiary environment and cleanliness of cutlery) had significant influence on the incident of lung tuberculosis. Dwelling capacity was the biggest influence on the incidenct of lung tuberculosis, and was the biggest risk factor causing the transmission of lung tuberculosis with prevalence ratio = 11.928.
It is recommended to: (1) management the Class I State Penitentiary Medan to immediately implement the tuberculosis prevention strategy in the State Penitentiary, especially the early detection by screening and treatment for those suffering from lung tuberculosis that they are separated from the other inmates. Immedelly dwelling capacity, to enough clean water availability, to sanitation environment and to cleanliness of cutlery, (2) Officer in Tuberculosis Unit Services inmates of the Class I State Penitentiary Medan need to be provided with guidance and direction to change their habits of spitting where they like caughing without covering their mouth and smoking in their detentiomn room that the level of lung tuberculosis transmission can be minimized.
(8)
KATA PENGANTAR
Segala Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul " Pengaruh Higiene dan Sanitasi Lingkungan terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru pada Warga Binaan Pemasyarakatan di Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ".
Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Penulis, dalam menyusun tesis ini mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, yaitu Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K).
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
4. Dr. Ir. Evawany. Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
(9)
5. Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H, selaku ketua komisi pembimbing dan drh. Hiswani, M.Kes, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.
6. dr. Surya Dharma, M.P.H dan Ir. Indra Chahaya, M.Si selaku penguji tesis yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.
7. Rektor Universitas Islam Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Kedokteran UISU beserta jajarannya yang telah berkenan memberikan dukungan baik moril dan materil serta memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan dan sekaligus memberikan izin belajar pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.
8. Kementerian Hukum dan HAM RI, wilayah Provinsi Sumatera Utara Rumah Tahanan Negara Klas I Medan yang telah memberikan izin sebagai tempat penelitian.
9. Dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
9. Ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada Ayahanda H. Mahmud Nasution (Alm) dan Ibunda Hj. Adawiyah Lubis atas segala jasa dan do’a restunya sehingga penulis selalu mendapat pendidikan terbaik.
(10)
10.Teristimewa buat suami tercinta Ir.H.Hasanuddin Siregar (Alm) dan anak-anakku tercinta Hana Maulna Siregar, Manda Ananda Doli Siregar, Fahri Jogi Maulana Siregar, Endang yang penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan serta do’a dan cinta dalam memberikan motivasi dan dukungan moril agar bisa menyelesaikan pendidikan ini tepat waktu.
Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.
Medan, Januari 2012
Masdalena 097032061/IKM
(11)
RIWAYAT HIDUP
Masdalena, lahir pada tanggal 08 Juni 1961 di Medan, anak keempat dari enam bersaudara dari pasangan Ayahanda H.Mahmud Nasution (Alm) dan Ibunda Hj. Adawiyah Lubis.
Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di SD Negeri No.47 Medan selesai Tahun 1973, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri XI Medan selesai Tahun 1976, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 6 Medan, selesai tahun 1979, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU) Medan selesai Tahun 1989.
Mulai bekerja sebagai dr. PTT di Puskesmas Batu Horpak, Tapanuli Selatan dari Tahun 1992-1995. Karyawan PT. Jamsostek Medan Tahun 1995-2005. Pimpinan Rumah Sakit Ibnu Saleh Tahun 2005-2011. Staff Pengajar di Fakultas Kedokteran UISU Tahun 2008 sampai sekarang.
Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2009 hingga saat ini.
(12)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan ... 7
1.3. Tujuan Penelitian ... 8
1.4. Hipotesis ... 8
1.5. Manfaat Penelitian ... 8
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1 Penyakit Tuberkulosis Paru... 9
2.1.1. Definisi Penyakit Tuberkulosis Paru ... 9
2.1.2. Etiologi Penyakit Tuberkulosis Paru ... 9
2.1.3. Patogenesis Penyakit Tuberkulosis Paru ... 9
2.2 Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru ... 12
2.2.1 Pencegahan Primer ... 12
2.2.2 Pencegahan Sekunder ... 13
2.2.3 Pencegahan Tertier ... 17
2.3 Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis Paru ... 18
2.3.1 Distribusi Penyakit Tuberkulosis Paru ... 18
2.3.2 Frekuensi Penyakit Tuberkulosis Paru ... 19
2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi (Determinan) Penyakit Tuberkulosis Paru... 22
2.4 Higiene (Kebersihan diri) ... 24
2.5 Sanitasi Lingkungan ... 27
2.5.1 Penyediaan Air Bersih ... 28
2.5.2 Pengelolaan Makanan Warga Binaan Pemasyarakatan ... 29
2.6 Rumah Tahanan Negara ... 33
2.7 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) ... 34
2.8 Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis Paru di Rutan dan Lapas .. 35
(13)
2.10 Landasan Teori ... 40
2.11 Kerangka Konsep ... 42
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 43
3.1. Jenis Penelitian ... 43
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 43
3.3. Populasi dan Sampel ... 43
3.3.1. Populasi ... 43
3.3.2. Sampel ... 44
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 44
3.4.1. Data Primer ... 44
3.4.2. Data Sekunder ... 45
3.4.3. Validitas dan Reliabilitas ... 45
3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 46
3.6. Metode Pengukuran ... 48
3.6.1. Pengukuran Variabel Independen ... 48
3.6.2. Pengukuran Variabel Dependen ... 50
3.7. Metode Analisis Data ... 50
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 52
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 52
4.2 Karakteristik Individu ... 53
4.3 Higiene Perorangan ... 54
4.4 Sanitasi Lingkungan ... 55
4.5 Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru ... 58
4.6 Analisis Bivariat ... 58
4.7 Pengaruh Higiene Perorangan dan Sanitasi Lingkungan terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 65
4.7.1 Pengaruh Lama dalam Tahanan terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 67
4.7.2 Pengaruh Kebiasaan Meludah terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 68
4.7.3 Pengaruh Kebiasaan Batuk terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 68
4.7.4 Pengaruh Kebiasaan Merokok terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 69
4.7.5 Pengaruh Kapasitas Hunian terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 69
4.7.6 Pengaruh Ketersediaan Air Bersih terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 69
4.7.7 Pengaruh Lingkungan Rutan Tahanan terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 70
(14)
4.7.8 Pengaruh Kebersihan Alat Makan/Minum terhadap Kejadian
Penyakit Tuberkulosis Paru... 70
BAB 5. PEMBAHASAN ... 72
5.1 Pengaruh Karakteristik terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 72
5.2 Pengaruh Higiene Perorangan terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan 73 5.2.1 Pengaruh Kebiasaan Meludah terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 74
5.2.2 Pengaruh Kebiasaan Batuk terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 76
5.2.3 Pengaruh Kebiasaan Merokok terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 77
5.3 Pengaruh Sanitasi Lingkungan terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan 79 5.3.1 Pengaruh Kapasitas Hunian terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 81
5.3.2 Pengaruh Ketersediaan Air Bersih terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 83
5.3.3 Pengaruh Lingkungan Rutan Tahanan terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 83
5.3.4 Pengaruh Kebersihan Alat Makan/Minum terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru... 89
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 91
6.1 Kesimpulan ... 91
6.2 Saran ... 91
DAFTAR PUSTAKA ... 93
(15)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1 Distribusi Warga Binaan Pemasyarakatan menurut Ruang Tahanan ... 44 3.2 Pengukuran Variabel Independen ... 49 3.3 Aspek Pengukuran Variabel Dependen ... 50 4.1. Distribusi Karakteristik Individu Responden di Blok D Rumah Tahanan
Negara Klas I Medan ... 53 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Higiene Perorangan di Blok D Rumah
Tahanan Negara Klas I Medan ... 54 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Sanitasi Lingkungan Blok D Rumah
Tahanan Negara Klas I Medan ... 56 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru
di Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 58 4.5. Distribusi Kejadian Penyakit Tuberkulosis Menurut Umur... 59 4.6. Distribusi Kejadian Penyakit Tuberkulosis Menurut Pendidikan ... 59 4.7. Distribusi Kejadian Penyakit Tuberkulosis Menurut Status Perkawinan ... 60 4.8. Distribusi Kejadian Penyakit Tuberkulosis Menurut Lama dalam
Tahanan ... 60 4.9. Distribusi Kejadian Penyakit Tuberkulosis Menurut Kebiasaan
Membuang Ludah ... 61 4.10. Distribusi Kejadian Penyakit Tuberkulosis Menurut Kebiasaan Menutup
Mulut saat Batuk ... 61 4.11. Distribusi Kejadian Penyakit Tuberkulosis Menurut Kebiasaan Merokok . 62 4.12. Distribusi Kejadian Penyakit Tuberkulosis Menurut Kapasitas Hunian ... 62 4.13. Distribusi Kejadian Penyakit Tuberkulosis Menurut Ketersediaan Air
(16)
4.14. Distribusi Kejadian Penyakit Tuberkulosis Menurut Lingkungan Rutan ... 64 4.15. Distribusi Kejadian Penyakit Tuberkulosis Menurut Kebersihan Alat
Makan/Minum ... 64 4.16. Hasil Uji Multivariat Regresi Logistik ... 65
(17)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Teori Simpul Kejadian Penyakit ... 40 2.2. Kerangka Konsep Penelitian ... 42
(18)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Kuesioner Penelitian ... 98
2. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 100
3. Uji Univariat ... 101
4. Uji Bivariat ... 105
5. Uji Multivariat ... 116
6. Dokumentasi Penelitian ... 117
7. Surat Izin Melaksanakan Penelitian dari Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 120
8. Surat Keterangan Telas Selesai Melaksanakan Penelitian dari Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 121
at Izin Penelitian dari Pascasarjana USU ... 155
(19)
ABSTRAK
Kasus tuberkulosis paru di Kota Medan tahun 2010 tercatat sebanyak 918 orang dengan prevalensi 45,9 per 100.000 penduduk. Berdasarkan survei pendahuluan di Rutan Klas I Medan tahun 2010 terdapat 59 orang Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang menderita tuberkulosis paru dan 14 orang di antaranya menderita tuberkulosis paru setelah menjadi WBP.
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh higiene dan sanitasi lingkungan terhadap kejadian penyakit tuberkulosis paru pada warga binaan pemasyarakatan di Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan. Jenis penelitian survei analitik dengan desain cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2011- Januari 2012. Populasi penelitian adalah seluruh WBP di Blok D sebanyak 233 orang dan seluruhnya dijadikan sampel. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner dan observasi, dianalisis dengan uji regresi logistik berganda pada pengujian α = 5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel higiene per orangan (kebiasaan membuang ludah, batuk dan merokok), variabel sanitasi lingkungan (kapasitas hunian, ketersediaan air bersih, lingkungan Rutan dan kebersihan alat makan/minum) berpengaruh signifikan terhadap kejadian penyakit tuberkulosis paru. Kapasitas hunian WBP merupakan faktor risiko paling besar menyebabkan terjadinya penularan penyakit tuberkulosis paru (Rasio Prevalen = 11,928).
Disarankan kepada: (1) Manajemen Rutan Klas I Medan perlu segera mengimplementasikan strategi penanggulangan tuberkulosis pada Lapas/Rutan, khususnya deteksi dini melalui screening pada tahanan yang baru masuk serta pengobatan bagi penderita tuberkulosis paru, perlu membuat ruang tahanan khusus bagi penderita tuberkulosis paru sehingga terpisah dari tahanan yang lain sebagai upaya mencegah penularan antar warga WBP, perlu menyesuaikan kapasitas hunian, menyediakan air bersih sesuai kebutuhan, menjaga sanitasi lingkungan Rutan dan menjaga kebersihan alat makan/minum yang digunakan warga binaan pemasyarakatan, (2) Petugas kesehatan pada Unit Pelayanan Tuberkulosis Paru Rutan Klas I Medan perlu melakukan pembinaan dan pengarahan kepada WBP untuk mengubah kebiasaan meludah, batuk dan merokok.
(20)
ABSTRACT
Cases of pulmonary tuberculosis in Medan City 2010 noted as 918 people with prevalence as 45,9/100,000 population. Based on preliminary surveys in the Class I State Penitentiary Medan in 2010, found 59 inmates suffering from lung tuberculosis and 14 of them suffering from lung tuberculosis after became inmates.
The purpose of this study was to analyze the influence of environmental sanitation and hygiene on the incident of lung tuberculosis in the inmates of Block D at the Class I State Penitentiary Medan. The type of this study is analytic survey with cross sectional design. The Study was conducted frome June 2011 until January 2012. The population of this study were all of the 233 inmates and all of them were selected to be sample. The data for this study were obtained through observation and questionnaire based interviews. The data obtained were analyzed with multiple regression test at α = 5%.
The result of this study showed that statistically the variables of personal hygiene (habits of spitting, coughing and smoking), and environmental sanitation (dwelling capacity, clean water availability, penitentiary environment and cleanliness of cutlery) had significant influence on the incident of lung tuberculosis. Dwelling capacity was the biggest influence on the incidenct of lung tuberculosis, and was the biggest risk factor causing the transmission of lung tuberculosis with prevalence ratio = 11.928.
It is recommended to: (1) management the Class I State Penitentiary Medan to immediately implement the tuberculosis prevention strategy in the State Penitentiary, especially the early detection by screening and treatment for those suffering from lung tuberculosis that they are separated from the other inmates. Immedelly dwelling capacity, to enough clean water availability, to sanitation environment and to cleanliness of cutlery, (2) Officer in Tuberculosis Unit Services inmates of the Class I State Penitentiary Medan need to be provided with guidance and direction to change their habits of spitting where they like caughing without covering their mouth and smoking in their detentiomn room that the level of lung tuberculosis transmission can be minimized.
(21)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis. Bakteri penyebab penyakit tuberkulosis paru mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam, oleh karena itu disebut juga sebagai Basil Tahan Asam (BTA) (Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat, 2007).
Berdasarkan Global Report WHO (2010) jumlah penderita tuberkulosis paru di dunia sebanyak 14,4 juta kasus. Penderita tuberkulosis paru terbanyak terdapat pada lima negara yaitu : India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia. Pada
Di Indonesia, prevalensi penderita tuberkulosis paru sebesar 102 per 100.000 penduduk atau sekitar 236.029 kasus tuberkulosis paru dengan BTA positif, dari jumlah tersebut terdapat
negara-negara miskin, tingkat kematian akibat penyakit tuberkulosis atau case fatality rate (CFR) sebesar merupakan 25% dari seluruh kematian. Wilayah Asia Tenggara menanggung bagian yang terberat dari beban tuberkulosis paru global yakni sekitar 38% dari kasus tuberkulosis paru dunia. Penyakit tuberkulosis paru merupakan penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan dan merupakan nomor satu terbesar penyebab kematian dalam kelompok penyakit infeksi.
169.213 merupakan kasus tuberkulosis paru baru (insidensi). Secara keseluruhan prevalensi semua tipe tuberkulosis sebesar 244 per 100.000
(22)
penduduk atau sekitar 565.614 kasus semua tipe tuberkulosis. Jumlah kematian akibat penyakit tuberkulosis sebanyak 91.339 kasus (CFR sebesar 39 per 100.000 penduduk.) (Laporan Subdit TB Ditjen PP&PL Depkes RI, 2010).
Penderita penyakit tuberkulosis di Provinsi Sumatera Utara tahun 2010 tercatat sebanyak 15.614 orang. Dari jumlah tersebut terdapat kasus tuberkulosis paru sebanyak 12.145 orang dengan angka kesembuhan 67,07% (8.145 orang). Kabupaten/kota dengan penderita penyakit tuberkulosis paru terbanyak berada di Kabupaten Tapanuli Selatan dengan jumlah kasus sebanyak 5.303 orang (Dinkes Prop. Sumatera Utara, 2010).
Kasus tuberkulosis paru di Kota Medan tahun 2010 tercatat sebanyak 918 orang dengan prevalensi 45,9 per 100.000 penduduk. Dibandingkan seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, jumlah penderita tuberkulosis paru di Kota Medan cukup tinggi, hal ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti perilaku masyarakat, keluarga, penderita, lingkungan dan kondisi rumah (Dinkes Prop.Sumatera Utara, 2010).
Jumlah kasus tuberkulosis paru di Lapas/Rutan di Indonesia merupakan institusi dengan penderita tuberkulosis paling tinggi. Tahun 2010 tercatat penderita tuberkulosis paru pada 207 Lapas dan 190 Rutan di Indonesia sebanyak 17.714 orang, Namun data tersebut mencakup penderita tuberkulosis paru keseluruhan, karena belum seluruh Lapas/Rutan memberikan laporan secara rutin (Ditjen Pemasyarakatan, Kemkumham, 2008)
(23)
Berdasarkan data Direktorat Bina Perawatan Ditjen Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM), selama Januari hingga Agustus 2007, dari 132.000 napi/tahanan di Indonesia, 312 napi dan 128 tahanan meninggal akibat sakit. Penyakit yang paling banyak menyebabkan kematian adalah penyakit pernapasan sebanyak 92 orang; HIV/AIDS 88 orang; penyakit tuberkulosis atau tuberkulosis paru sebanyak 75 orang; dan penyakit pencernaan 74 orang (Ditjen Pemasyarakatan, Kemkumham, 2008).
Infeksi oportunistik yang paling banyak terjadi pada penderita HIV/AIDS adalah tuberkulosis yaitu mencapai 41% dari seluruh kasus infeksi oportunistik, kemudian diare kronis (21%) dan kandidiasis (21%). Infeksi oportunistik ini menyebabkan kematian pada penderita HIV/AIDS (Balitbang Depkes, 2010).
Survei yang dilaksanakan oleh Balitbang Depkes (2003) menunjukkan bahwa pasien dengan koinfeksi tuberkulosis paru dengan HIV pada umumnya ditemukan di Rumah Tahanan Negara (Rutan)/Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di beberapa propinsi dan tuberkulosis paru ditemukan sebagai infeksi oportunis utama pada pasien AIDS di rumah sakit. Sampai saat ini belum ada angka nasional yang menunjukkan gambaran HIV di antara pasien tuberkulosis paru. Studi pertama tentang sero prevalensi dengan meneliti serum darah penderita tuberkulosis paru yang positif HIV yang dilaksanakan di Yogyakarta menunjukkan angka 2%. Data dari rumah sakit propinsi di Jayapura menunjukkan pada triwulan pertama 2007, ditemukan 13 di antara 40 pasien tuberkulosis paru ternyata positif HIV. Data dari Klinik Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis Indonesia (PPTI) di Jakarta sejak 2004
(24)
- 2007 menunjukkan prevalensi HIV pada suspek tuberkulosis paru dengan faktor risiko antara 3-5% dan prevalensi pada pasien tuberkulosis paru antara 5-10% dengan kecenderungan meningkat setiap tahunnya. (Balitbang Depkes, 2010).
Jumlah kasus tuberkulosis paru meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah tuberkulosis paru besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut WHO mencanangkan tuberkulosis paru sebagai kedaruratan dunia (global emergency), sehingga pada tahun 2001, dibentuklah Global Fund Fight for AIDS, Tuberculosis and Malaria (GF–ATM) (Balitbang Depkes, 2003).
Tingginya persentase infeksi oportunistik tuberkulosis menjadi dasar dibuat kebijakan nasional layanan terpadu tuberkulosis paru -HIV adalah layanan dalam satu atap bagi pasien (one stop service). Skrining tuberkulosis paru (paru dan ekstra paru) perlu dilakukan secara rutin untuk setiap HIV/AIDS. Prosedur skrining harus standar dengan menggunakan alat skrining (kuesioner) yang sederhana terhadap tanda dan gejala (penilaian risiko terhadap tuberkulosis paru). Skrining dikerjakan oleh konselor, manajer kasus atau para medis lainnya, dan harus dilakukan pada semua HIV/AIDS setelah KTS (Konselling Post Test) dan secara berkala selama pelayanan HIV. Dalam kasus dengan gejala tuberkulosis paru, pasien harus diperiksa sesegera mungkin oleh dokter untuk segera didiagnosis dan diterapi. Harus dibentuk mekanisme rujukan antara layanan konseling dan testing HIV dengan unit DOTS yang memudahkan pasien (Depkes RI, 2007).
(25)
Skrining tuberkulosis paru juga harus dilakukan pada kontak serumah, pada kelompok dengan resiko HIV dan pada kondisi khusus seperti di Rutan/Lapas. Berkaitan dengan prevalensi tuberkulosis paru yang tinggi di antara pengguna napza suntik (Injecting drug users), pelayanan harm reduction dan pusat rehabilitasi harus melakukan skrining tuberkulosis paru secara rutin dan segera merujuk ke UPK. Diagnosis tuberkulosis paru dan diagnosis HIV harus sesuai Pedoman Nasional Depkes yang berlaku (Depkes RI, 2007).
Berdasarkan data Program tuberkulosis paru Rutan Klas I Medan tahun 2010 diketahui bahwa pasien penderita penyakit tuberkulosis paru merupakan urutan ketiga terbesar dari seluruh penderita yang menjalani rawat inap, dengan jumlah pasien sebanyak 16 orang (Laporan Rutin Program Tuberkulosis Paru Rutan Kelas I Medan, 2010)
Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) baru yang menjalani skrining tuberkulosis paru di Rutan Klas I Medan pada tahun 2010 sebanyak 1.675 orang. Berdasarkan hasil skrining ditetapkan yang menjadi suspek tuberkulosis paru, kemudian dilakukan diagnosis untuk menetapkan sebagai penderita tuberkulosis paru. Hasil Program Tuberkulosis Paru di Rutan Kelas I Medan tahun 2010 menunjukkan bahwa Jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan baru yang di skrining (pemeriksaan terhadap tahanan yang baru masuk ke rutan) tahun 2010 pada 1.675 orang, Jumlah suspek tuberkulosis paru dari WBP baru yang diskrining sebanyak 136 orang, Jumlah pasien tuberkulosis paru dengan BTA positif dari WBP baru sebanyak 59 orang dan jumlah pasien yang menderita tuberkulosis paru setelah menjadi WBP
(26)
sebanyak 14 orang dengan jumlah terbanyak pada Blok D yaitu sebanyak 35 orang (Laporan Rutin Program tuberkulosis paru Rutan Kelas I Medan, 2011).
Berdasarkan data di atas diketahui bahwa jumlah penderita baru yang positif tuberkulosis paru sebanyak 59 orang, namun terdapat 14 orang WBP yang menderita tuberkulosis paru setelah menjadi tinggal di Rutan Kelas I Medan, artinya telah terjadi penularan dari WBP penderita tuberkulosis paru kepada WBP yang sebelumnya tidak menunjukkan gejala tuberkulosis paru. Terjadinya penularan penyakit tuberkulosis paru antar WBP, diakibatkan ruang tahanan (kamar) bagi penderita tuberkulosis paru tidak terpisah dengan WBP lainnya.
Keberadaan penderita tuberkulosis paru di Rutan Klas I Medan sangat berpotensi menjadi penular bagi WBP yang tinggal satu ruang tahanan (kamar). Kondisi tersebut semakin diperparah dengan keadaan atau sanitasi lingkungan Rutan yang buruk akibat kelebihan penghuni (over capacity), hal ini sesuai dengan ketahanan hidup bakteri tuberkulosis paru yang dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.
Survei pendahuluan yang dilakukan di Rutan Klas I Medan, ditemukan bahwa warga binaan yang tinggal di dalam setiap ruang tahanan melebihi kapasitas yang ditetapkan. Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (2010), kondisi Rutan/Lapas yang over kapasitas hampir terjadi di seluruh Indonesia. Kapasitas ideal seluruh Rutan/Lapas di Indonesia adalah 73.000 orang, namun saat ini jumlah warga binaan sebanyak 111.357 orang, dengan demikian terdapat kelebihan penghuni sekitar 65,6%.
(27)
Akibat kelebihan kapasitas tersebut, setiap warga binaan yang tinggal di Rutan/Lapas akan mengalami keterbatasan ketersediaan sarana sanitasi lingkungan seperti air bersih, luas ruang tahanan yang tidak sesuai dengan jumlah penghuni, pencahayaan yang tidak memenuhi syarat. Akibat keterbatasan sanitasi lingkungan tersebut menyebabkan penghuni Rutan/Lapas mengalami keterbatasan untuk menjaga kebersihan diri (higiene). Kondisi yang demikian akan meningkatkan risiko terjadinya penularan tuberkulosis paru antar warga binaan. Menurut Achmadi (2008) risiko terjadinya penyakit dipengaruhi oleh tingkat keberadaan agent penyebab penyakit serta perilaku pemajanan (behavioural exposure).
Berdasarkan kondisi Rutan Klas I Medan tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji pengaruh higiene dan sanitasi lingkungan terhadap kejadian penyakit tuberkulosis pada warga binaan pemasyarakatan di Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut diatas, maka ditemukan permasalahan adalah tingginya penderita tuberkulosis paru di Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan, maka perlu diteliti pengaruh faktor higiene dan sanitasi lingkungan terhadap kejadian penyakit tuberkulosis paru pada warga binaan pemasyarakatan di Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan.
(28)
1.3 Tujuan Penelitian
Menganalisis pengaruh higiene dan sanitasi lingkungan terhadap kejadian penyakit tuberkulosis paru pada warga binaan pemasyarakatan di Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan.
1.4 Hipotesis
Higiene dan sanitasi lingkungan berpengaruh terhadap kejadian penyakit tuberkulosis paru pada warga binaan pemasyarakatan di Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :
1. Bagi pengembangan Ilmu Administrasi Kebijakan Kesehatan yang berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan penyakit tuberkulosis paru di lembaga pemasyarakatan.
2. Bagi Rutan Klas I Medan, sebagai masukan dalam rangka penyusunan program kegiatan pencegahan dan penanggulangan penyakit tuberkulosis paru pada warga binaan pemasyarakatan.
3. Bagi warga binaan pemasyarakatan, sebagai informasi untuk melakukan atau meningkatkan kebersihan diri (higiene) dan menjaga sanitasi lingkungan sebagai upaya mengurangi risiko terkena penyakit tuberkulosis paru.
(29)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Tuberkulosis Paru
2.1.1 Definisi Penyakit Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang bersifat menahun, disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis, yang sering dihinggapi adalah paru-paru (Depkes RI, 2002).
2.1.2 Etiologi Penyakit Tuberkulosis Paru
Bakteri ini berbentuk batang, mampunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Bakteri tuberkulosis paru cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh bakteri ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes RI, 2002).
2.1.3 Patogenesis Penyakit Tuberkulosis Paru
Patogenesis penyakit tuberkulosis paru berawal dari penderita tuberkulosis paru BTA positif sebagai sumber penularan. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan bakteri dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung bakteri dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Daya penularan dari seseorang penderita ditentukan oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari parunya.
(30)
Patogenesis penyakit tuberkulosis paru dibedakan berdasarkan proses terjadinya, sebagai berikut:
a. Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi pada seseorang yang terpapar pertama kali dengan bakteri tuberkulosis paru. Droplet yang terhisap sangat kecil ukurannya sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosiller broncus dan terus berjalan sampai di alveolus terminalis dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat bakteri tuberkulosis paru berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa bakteri tuberkulosis paru ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadi infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu (Depkes RI, 2006).
b. Tuberkulosis Paru Pasca Primer (Post Primary Tuberculosis)
Tuberkulosis paru pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis paru pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura (Depkes RI, 2002).
c. Komplikasi Pada Penderita Tuberkulosis Paru
1) Pneumutoraks spontan terjadi bila udara memasuki rongga pleura sesudah terjadi robekan pada kavitas tuberkulosis paru.
(31)
2) Cor pulmonale adalah gagal jantung kongestif karena tekanan balik akibat kerusakan paru, dapat terjadi bila terdapat destruksi paru yang amat luas.
3) Aspergilomata dimana kavitas tuberkulosis paru yang sudah diobati dengan baik dan sudah sembuh kadang-kadang tinggal terbuka dan dapat terinfeksi dengan jamur Aspergillus fumigatus.
4) Hemoptis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
5) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkhial.
6) Bronkhiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan) pada paru.
7) Insufisiensi Cardio Pulmoner.
8) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya (Depkes RI, 2002).
Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat bakteri), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB Paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2002).
(32)
2.2 Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru
Dalam program pencegahan penyakit tuberkulosis paru dilakukan secara berjenjang, mulai dari pencegahan primer, kemudian pencegahan sekunder, dan pencegahan tertier, sebagai berikut:
2.2.1 Pencegahan Primer
Konsep pencegahan primer penyakit tuberkulosis paru adalah mencegah orang sehat tidak sampai sakit. Upaya pencegahan primer sesuai dengan rekomendasi WHO dengan pemberian vaksinasi Bacille Calmette-Guérin (BCG) segera setelah bayi lahir. Walaupun BCG telah diberikan pada anak sejak tahun 1920-an, efektivitasnya dalam pencegahan TB masih merupakan kontroversi karena kisaran keberhasilan yang diperoleh begitu lebar (antara 0-80%). Namun ada satu hal yang diterima secara umum, yaitu BCG memberi perlindungan lebih terhadap penyakit tuberkulosis yang parah seperti tuberkulosis milier atau meningitis tuberkulosis. Karena itu kebijakan pemberian BCG disesuaikan dengan prevalensi tuberkulosis di suatu negara. Di negara dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, BCG harus diberikan pada semua anak kecuali anak dengan gejala HIV/AIDS, demikian juga anak dengan kondisi lain yang menurunkan kekebalan tubuh. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa vaksinasi BCG ulangan memberikan tambahan perlindungan, dan karena itu hal tersebut tidak dianjurkan. Sebagian kecil anak (1-2%) dapat mengalami efek samping vaksinasi BCG seperti pembentukan kumpulan nanah (abses) lokal. Selain pemberian imunisasi BCG, pencegahan primer juga dapat didukung dengan konsumsi gizi yang baik.
(33)
2.2.2 Pencegahan Sekunder
Upaya pencegahan sekunder pada penyakit tuberkulosis paru perlu dilakukan dengan skrining (screaning), yaitu pemeriksaan menggunakan sistem skoring. Bila hasil evaluasi dengan skoring sistem didapat skor < 5, kepada anak tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan dosis 5–10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai (Depkes, 2006).
Upaya pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan pemeriksaan laboratorium terhadap penderita tuberkulosis paru. Laboratorium tuberkulosis paru merupakan bagian dari pelayanan laboratorium kesehatan mempunyai peran penting dalam Penanggulangan Tuberkulosis paru berkaitan dengan kegiatan deteksi pasien tuberkulosis paru, pemantauan keberhasilan pengobatan serta menetapkan hasil akhir pengobatan (Depkes RI, 2007).
Diagnosis tuberkulosis paru melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak merupakan metode baku emas (gold standard). Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu lebih lama (paling cepat sekitar 6 minggu) dan mahal. Pemeriksaan 3 spesimen (SPS) dahak secara mikroskopis nilainya identik dengan pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan. Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif dan dapat dilaksanakan di semua unit laboratorium (Depkes RI, 2007).
Untuk mendukung kinerja penanggulangan, diperlukan ketersediaan Laboratorium tuberkulosis paru dengan pemeriksaan dahak mikroskopis yang
(34)
terjamin mutunya dan terjangkau di seluruh wilayah Indonesia. Tujuan manajemen laboratorium tuberkulosis paru adalah untuk meningkatkan penerapan manajemen laboratorium tuberkulosis paru yang baik di setiap jenjang laboratorium dalam upaya melaksanakan pelayanan laboratorium yang bermutu dan mudah dijangkau oleh masyarakat (Depkes RI, 2007).
Ruang lingkup manajemen laboratorium tuberkulosis paru meliputi beberapa aspek yaitu; organisasi pelayanan laboratorium tuberkulosis paru, sumber daya laboratorium, kegiatan laboratorium, pemantapan mutu laboratorium tuberkulosis paru, keamanan dan kebersihan laboratorium, dan monitoring (pemantauan) dan evaluasi (Depkes RI, 2007).
Selanjutnya upaya pencegahan sekunder dilakukan dengan kegiatan diagnosis penderita tuberkulosis paru dengan mengkaji:
(1) Gejala-gejala Tuberkulosis Paru
Menurut Mason et al (2005) dalam textbook of respiratory medicine, disebutkan bahwa batuk adalah gejala yang paling umum dari TB paru. Peradangan pada parenkim paru yang berdekatan dengan permukaan pleura dapat menyebabkan nyeri pleuritik tanpa penyakit pleura jelas. Pneumotoraks spontan juga dapat terjadi, sering dengan nyeri dada dan mungkin dyspnea bahwa hasil dari keterlibatan parenkim tidak biasa kecuali ada penyakit yang lain.
Menurut Muherman, dkk dalam Retno (2007) gejala-gejala tuberkulosis paru yaitu : batuk, sering flu, berat badan turun, sakit dinding dada, demam dan berkeringat, nafas pendek dan rasa lelah. Sedangkan menurut Tjokronegoro dan
(35)
Utama dalam Retno (2007), bahwa gejala-gejala yang terbanyak adalah : demam, sesak napas, batuk, batuk berdarah dan nyeri dada.
(2) Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru
1) Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru Pada Orang Dewasa
Penemuan penderita tuberkulosis paru dilakukan secara pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Selain itu semua kontak penderita tuberkulosis paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Semua tersangka penderita diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-berturut, yaitu Sewaktu–Pagi–Sewaktu /SPS (Depkes RI, 2002).
2) Penemuan Penderita Pada Anak
Penemuan penderita tuberkulosis paru pada anak merupakan hal yang sulit. Sebagian besar tuberkulosis paru anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran radiologis, dan uji tuberkulin (Depkes RI, 2002).
Berdasarkan penemuan penderita tuberkulosis paru, maka dilakukan klasifikasi penyakit dan tipe penderita tuberkulosis paru sebagai berikut:
1) Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis paru yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, tuberkulosis paru dibagi dalam :
(36)
a. Tuberkulosis paru BTA Positif. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif atau 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis paru aktif.
b. Tuberkulosis paru BTA negatif. Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan tuberkulosis paru aktif. Tuberkulosis paru negatif tetapi rontgen positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu berat dan ringan.
2) Tuberkulosis Paru Ekstra Paru
Tuberkulosis paru ekstra paru adalah tuberkulosis paru yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung, kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Tuberkulosis paru ekstra paru dibagi lagi pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu tuberkulosis paru ekstra paru ringan dan tuberkulosis paru ekstra paru berat (Depkes RI, 2002).
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Menurut Tjokronegoro dan Utama dalam Retno (2007), Tipe penderita dibagi dalam : 1) Kasus Baru adalah penderita yang tidak mendapat Obat Anti Tuberkulosis paru
(OAT) lebih dari satu bulan.
2) Kasus Kambuh (relaps) adalah penderita yang pernah dinyatakan sembuh dari tuberkulosis paru tetapi kemudian timbul lagi tuberkulosis paru aktifnya.
3) Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau lebih.
(37)
Gagal adalah penderita dengan hasil BTA negatif Rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
4) Kasus Kronik adalah penderita yang BTA-nya tetap positif setelah mendapat pengobatan ulang lengkap yang disupervisi dengan baik.
Menurut Depkes RI (2002), tipe penderita dibagi ke dalam beberapa tipe, yaitu kasus baru; kambuh (relaps); pindahan (transfer in); setelah lalai (drop-out); gagal dan kasus kronik.
2.2.3 Pencegahan Tertier
Sasaran dari pencegahan tertier dilakukan pada penderita yang telah parah, misalnya penderita tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, yang terjadi karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.
Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase: intensif dan lanjutan. Fase intensif ditujukan untuk membunuh sebagian besar bakteri secara cepat dan mencegah resistensi obat. Sedangkan fase lanjutan bertujuan untuk membunuh bakteri yang tidak aktif. Fase lanjutan menggunakan lebih sedikit obat karena sebagian besar bakteri telah terbunuh sehingga risiko pembentukan bakteri yang resisten terhadap pengobatan menjadi kecil (WHO, 2003).
Pengobatan TB umumnya dilakukan dengan rawat jalan (outpatient basis), namun ada beberapa kondisi yang membutuhkan perawatan di RS. Kondisi-kondisi
(38)
tersebut seperti : meningitis dan tuberkulosis milier, anak dengan gangguan pernapasan dan tuberkulosis tulang belakang.
Setelah pengobatan dimulai, kadang gejala tuberkulosis atau gambaran X-ray dada menjadi lebih parah. Hal ini umumnya terjadi seiring peningkatan kekebalan tubuh karena perbaikan gizi, pengobatan tuberkulosis itu sendiri, atau terapi antiviral pada anak dengan HIV.
Efek samping pengobatan TB lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan pada pasien dewasa. Efek samping yang paling penting diperhatikan adalah keracunan pada hati (hepatotoksisitas) yang dapat disebabkan oleh isoniazid, rifampicin, dan pyrazinamide. Tidak ada anjuran untuk memeriksa kadar enzim hati secara rutin karena peningkatan enzim yang ringan. Isoniazid dapat menyebabkan defisiensi vitamin B6 (pyridoxine) pada kondisi tertentu sehingga suplemen vitamin B6 direkomendasikan pada anak yang kurang gizi, anak yang terinfeksi HIV, bayi yang masih menyusu ASI, dan remaja yang hamil (WHO, 2006).
Menurut Maher et al (2008) dalam Oxford Textbook of Public Health disebutkan bahwa konsep pengobatan anti-TB kemoterapi sebagai latar belakang untuk pengembangan dan implementasi dari strategi untuk penanggulangan TB yang dikenal sebagai DOTS (Directly Observed Treatment, Short-Course). Penilaian terhadap kemajuan yang telah dilakukan terhadap target internasional untuk penanggulangan TB tahun 2005, dan kemudian respon internasional yang berkembang untuk tantangan TBC, termasuk pengembangan Strategi Stop TB dan Global Plan untuk menerapkannya dengan penilaian prospek untuk pengendalian
(39)
tuberkulosis di masa depan, melihat ke depan untuk 2015 (tahun target Millenium Development Goals) dan kemudian tahun 2050 (tahun target untuk penghapusan TB sebagai masalah kesehatan publik secara global).
2.3 Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis Paru
Epidemiologi penyakit tuberkulosis paru adalah ilmu yang mengkaji frekuensi, distribusi serta determinan. Kajian tersebut menyangkut interaksi antara Mycobacterium Tuberculosis sebagai bakteri (agent), manusia (host) dan lingkungan (environment). Disamping itu mencakup perkembangan dan penyebarannya, termasuk didalamnya juga mencakup prevalensi dan insidensi penyakit tersebut yang timbul dari populasi yang tertular (Depkes RI, 2006).
2.3.1 Distribusi Penyakit Tuberkulosis Paru
Penyakit tuberkulosis paru sumber infeksi adalah manusia yang mengeluarkan basil tuberkel dari saluran pernafasan. Kontak yang rapat (misalnya dalam keluarga) menyebabkan banyak kemungkinan penularan melalui droplet. Kerentanan penderita tuberkulosis paru meliputi risiko memperoleh infeksi dan konsekuensi timbulnya penyakit setelah terjadi infeksi, sehingga bagi orang dengan uji tuberkulin negatif risiko memperoleh basil tuberkel bergantung pada kontak dengan sumber-sumber bakteri penyebab infeksi terutama dari penderita tuberkulosis paru dengan BTA positif. Konsekuensi ini sebanding dengan angka infeksi aktif penduduk, tingkat kepadatan penduduk, keadaan sosial ekonomi yang merugikan dan perawatan kesehatan yang tidak memadai (Depkes RI, 2006).
(40)
Berkembangnya penyakit secara klinik setelah infeksi dimungkinkan adanya faktor komponen genetik yang terbukti pada hewan dan diduga terjadi pada manusia, hal ini dipengaruhi oleh umur, kekurangan gizi dan kenyataan status immunologik serta penyakit yang menyertainya.
2.3.2 Frekuensi Penyakit Tuberkulosis Paru
Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia bervariasi, antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita tuberkulosis paru (Depkes RI, 2002).
a. Berdasarkan host 1. Umur
Insidens tertinggi biasanya mengenai usia dewasa muda. Informasi dari Afrika dan India menunjukkan pola yang berbeda, dimana prevalensi meningkat seiring dengan peningkatan usia (Albert, 2006). Di Indonesia, dengan angka risk of infection 2%, maka sebagian besar masyarakat pada usia produktif telah tertular (Aditama, 2010). Penelitian dengan pendekatan prospektif observasional analitik di RS Persahabatan tahun 2005 melaporkan bahwa usia produktif (≤ 55 tahun) 0,9 kali lebih sulit untuk sembuh dari pada usia yang non produktif pada penderita TB Paru (Firdaus, 2005).
2. Jenis Kelamin
(41)
Paru. Hal ini disebabkan laki-laki lebih banyak melakukan mobilisasi dan mengkonsumsi alkohol dan rokok (Depkes RI, 2005). Penelitian dengan pendekatan prospektif observasional analitik di RS Persahabatan tahun 2005 melaporkan bahwa laki-laki 0,5 kali lebih sulit untuk sembuh dari pada wanita pada penderita TB Paru. c. Status Gizi
Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang merupakan hubungan timbal balik, yaitu hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi yang buruk dapat mempermudah terkena penyakit infeksi (Supariasa, 2001). Hal ini dapat menyebabkan meningkatnya kasus penyakit tuberkulosis karena daya tahan tubuh yang rendah (Girsang, 2000). Penelitian Firdaus (2005) dengan desain prospektif observasional analitik di RS Persahabatan tahun 2005 melaporkan bahwa status gizi buruk 9,59 kali lebih sulit untuk sembuh dari pada status gizi baik pada penderita TB Paru.
d. Status Imunisasi BCG
Salah satu upaya pengendalian infeksi Mycobacterium Tuberculosis (M.tb) adalah dengan imunisasi Bacille Calmette Guerin (BCG). Imunisasi BCG meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi bakteri. Imunitas yang terbentuk dengan imunisasi BCG untuk mencegah penyebaran TB secara hematogen bukan mencegah penyebaran secara perkontinuitatum dan limfogen.
e. Sosial ekonomi
Banyaknya penderita tuberkulosis paru terjadi pada masyarakat kelas ekonomi rendah dengan tingkat pendidikan rendah dan pekerjaan yang tidak tetap sehingga
(42)
pengetahuan tentang penyakit menular juga rendah. WHO (2003) menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di dunia menyerang pada kelompok dengan sosial ekonomi yang lemah atau miskin (Achmadi dkk, 2005)
2.3.3 Faktor Penyebab (Determinan) Penyakit Tuberkulosis Paru
Menurut teori Gordon dalam Soemirat (2000), mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit (agent), penjamu (host), dan lingkungan (environment). Ketiga faktor penting ini disebut segi tiga epidemiologi (epidemiologi triangle), hubungan ketiga faktor tersebut digambarkan secara sederhana sebagai timbangan yaitu agent penyebab penyakit pada satu sisi dan penjamu pada sisi yang lain dengan lingkungan sebagai penumpunya.
Bila agent penyebab penyakit dengan penjamu berada dalam keadaan seimbang, maka seseorang berada dalam keadaan sehat, perubahan keseimbangan akan menyebabkan seseorang sehat atau sakit, penurunan daya tahan tubuh akan menyebabkan bobot agent penyebab menjadi lebih berat sehingga seseorang menjadi sakit, demikian pula bila agent penyakit lebih banyak atau lebih ganas sedangkan faktor penjamu tetap, maka bobot agent penyebab menjadi lebih berat. Sebaliknya bila daya tahan tubuh seseorang baik atau meningkat maka ia dalam keadaan sehat (Soewasti, 2000).
Apabila faktor lingkungan berubah menjadi cenderung menguntungkan agent penyebab penyakit, maka orang akan sakit, pada prakteknya seseorang menjadi sakit akibat pengaruh berbagai faktor berikut :
(43)
a. Agent
Mycobacterium Tuberculosis adalah suatu anggota dari famili Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetalis. Mycobacterium tuberculosis menyebabkan penyakit pada manusia dan sering menyebabkan infeksi. Masih terdapat Mycobacterium patogen lainnya, misalnya Mycobacterium Leprae, Mycobacterium paratuberkulosis paru dan Mycobacterium yang dianggap sebagai Mycobacterium non tuberculosis atau tidak dapat terklasifikasikan (Depkes, RI. 2006).
Agent adalah penyebab yang essensial yang harus ada, apabila penyakit timbul atau manifest, tetapi agent sendiri tidak sufficient/memenuhi syarat untuk menimbulkan penyakit. Agent memerlukan dukungan faktor penentu agar penyakit dapat manifest. Agent yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pathogenitas, infektifitas dan virulensi (Soewasti, 2000).
Pathogenitas adalah daya suatu mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit pada host. Pathogenitas agent dapat berubah dan tidak sama derajatnya bagi berbagai host. Berdasarkan sumber yang sama pathogenitas bakteri tuberkulosis paru termasuk pada tingkat rendah (Depkes, RI. 2006).
Infektifitas adalah kemampuan suatu mikroba untuk masuk ke dalam tubuh host dan berkembang biak didalamnya. Berdasarkan sumber yang sama infektifitas bakteri tuberkulosis paru termasuk pada tingkat menengah. Virulensi adalah keganasan suatu mikroba bagi host. Berdasarkan sumber yang sama virulensi bakteri
(44)
tuberkulosis paru termasuk tingkat tinggi, jadi bakteri ini tidak dapat dianggap remeh begitu saja (Soewasti, 2000).
b. Host
Manusia merupakan reservoar untuk penularan bakteri Mycobacterium Tuberculosis, bakteri tuberkulosis paru menular melalui droplet nuclei. Seorang penderita tuberkulosis paru dapat menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI, 2002). Menurut penelitian Pusat Ekologi Kesehatan (1991), menunjukkan tingkat penularan tuberkulosis paru di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya. Di dalam rumah dengan ventilasi baik, bakteri ini dapat hilang terbawa angin dan akan lebih baik lagi jika ventilasi ruangannya menggunakan pembersih udara yang bisa menangkap bakteri penyebab tuberkulosis.
Faktor risiko terjadinya penyakit tuberkulosis paru secara umum terkait dengan faktor bakteri penyebab penyakit (agent), yang telah diuraikan sebelumnya. Faktor lainnya adalah yang terdapat pada individu (host) yang dalam penelitian ini di ukur dari kebersihan diri, sedangkan faktor lingkungan (environment) di ukur dari sanitasi (Depkes, RI. 2006).
2.4 Higiene (Kebersihan Diri)
Menurut Nemberini (2007) pengelolaan higiene atau kebersihan diri terhadap tahanan pada lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan perlu memperhatikan ketersediaan air bersih, penanganan makanan dan minuman serta pemeliharaan
(45)
kesehatan tahanan. Pedoman tentang sanitasi dan higiene serta lingkungan lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan merupakan acuan yang diharapkan mampu meningkatkan kemampuan pihak berwenang di lapas dan rutan serta pihak-pihak lain yang bertanggung jawab untuk mengidentifikasi, memahami kompleksitas dan menganalisis permasalahan yang dihadapi.
Kebersihan diri atau higiene perorangan yang buruk merupakan cerminan dari kondisi lingkungan dan perilaku individu yang tidak sehat (Brown dalam Soemirat, 2000). Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan (Depkes RI, 2006).
Menurut Entjang (2001) usaha kesehatan pribadi (higiene perorangan) adalah upaya dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri meliputi : memelihara kebersihan, makanan yang sehat, cara hidup yang teratur, meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan jasmani, menghindari terjadinya penyakit, meningkatkan taraf kecerdasan dan rohaniah, melengkapi rumah dengan fasilitas-fasilitas yang menjamin hidup sehat, serta pemeriksaan kesehatan Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan (Depkes RI, 2006). Pada prakteknya upaya higiene antara lain meminum air yang sudah direbus sampai
(46)
mendidih dengan suhu 100°C selama 5 menit, mandi dua kali sehari agar badan selalu bersih dan segar, kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sebelum memegang makanan atau minuman, mengambil makanan dengan memakai alat seperti sendok atau penjepit dan menjaga kebersihan kuku serta memotongnya apabila panjang.
Dalam konteks penularan penyakit tuberkulosis, perilaku adalah kebiasaan yang dilakukan warga binaan pemasyarakatan yang tinggal di Lapas atau Rutan yang memungkinkan terjadinya penularan penyakit tuberkulosis paru dari penderita kepada orang yang belum menderita, antara lain disebabkan kebiasaan membuang ludah sembarangan sehingga bakteri Mycobacterium Tuberculosis yang terdapat pada ludah dapat menyebar kepada orang lain, demikian juga perilaku pada saat batuk apabila tidak menutup mulut dapat menyebarkan bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Faktor lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit tuberkulosis adalah merokok (Ditjen Pemasyarakatan, 2007).
Menurut Widoyono (2005) upaya pencegahan penyakit tuberkulosis paru dapat dilakukan dengan : (a) menutup mulut pada waktu batuk dan bersin dengan sapu tangan atau tissu, (b) tidak meludah di sembarang tempat, tetapi dalam wadah yang diberi lysol, kemudian dibuang dalam lubang dan ditimbun dalam tanah.
Strategi penanggulangan tuberkulosis pada lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara di Indonesia (2007) melalui implementasi strategi DOTS menyatakan bahwa sebagian besar bakteri penyakit tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Bakteri tuberkulosis disebarkan
(47)
melalui udara oleh droplet penderita tuberkulosis ketika batuk, bersin atau bicara. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita tuberkulosis adalah daya tahan tubuh yang rendah.
Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan menentukan bahwa warga binaan pemasyarakatan mempunyai hak
untuk : (a) mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani serta (b) mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.
Higiene dan sanitasi mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Higiene dan sanitasi merupakan usaha kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit pada manusia. Usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan yang sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan lingkungan disebut higiene (Depkes RI, 2009).
2.5 Sanitasi Lingkungan
Sanitasi atau kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum pula. Adapun yang dimaksud dengan usaha kesehatan lingkungan adalah suatu usaha untuk memperbaiki atau
(48)
mengoptimumkan lingkungan hidup manusia agar merupakan media yang baik untuk terwujudnya kesehatan yang optimum bagi manusia yang hidup di dalamnya.
Menurut Riyadi (1984) sanitasi lingkungan adalah prinsip-prinsip untuk meniadakan atau setidak-tidaknya mengurangi faktor-faktor pada lingkungan yang dapat menimbulkan penyakit, melalui kegiatan-kegiatan yang ditunjukkan untuk mengendalikan: sanitasi air, sanitasi makanan, pembuangan kotoran, air buangan dan sampah, sanitasi udara, vektor dan binatang pengerat.
2.5.1 Penyediaan Air Bersih
Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara, sekitar ¾ bagian tubuh kita terdiri atas air, tidak seorang pun dapat bertahan hidup lebih dari 4-5 hari tanpa minum air. Selain itu, air juga di pergunakan untuk memasak, mandi, mencuci, dan membersihkan kotoran yang ada di sekitar rumah.
Ditinjau dari ilmu kesehatan masyarakat, penyediaan sumber air bersih harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat karena persediaan air bersih yang terbatas memudahkan timbulnya penyakit di masyarakat. Volume rata-rata kebutuhan air setiap individu perhari berkisar antara 150-200 liter/35-40 galon.kebutuhan air tersebut bervariasi dan bergantung pada keadaan iklim, standar kehidupan, dan kebiasaan masyarakat. Berdasarkan analisis WHO (2006), pada negara-negara maju, setiap orang memerlukan air antara 120 liter per hari, sedangkan pada negara berkembang tiap orang memerlukan air antara 100 liter per hari.
(49)
2.5.2 Pengelolaan Makanan Warga Binaan Pemasyarakatan
Pengelolaan makanan di Rutan dan Lapas sehingga setiap warga binaan dimungkinkan mendapatkan makanan yang layak adalah :
1) Penetapan menu makanan bagi tiap-tiap narapidana dalam satu hari ditetapkan oleh menteri kehakiman.
2) Besarnya kalori tidak boleh kurang dari : a. 2.500 kalori perhari bagi orang dewasa
b. Tambahan 300 kalori per hari bagi wanita yang sedang hamil
c. Tambahan 800 – 1000 kalori per hari bagi wanita yang sedang menyusui.
3) Menu makanan bagi narapidana yang sedang ditetapkan oleh dokter lembaga pemasyarakatan.
4) Tanpa saran/nasehat dokter lembaga pemasyarakatan, perubahan menu makanan bagi narapidana yang sakit tidak diperbolehkan.
Beberapa faktor pada sanitasi lingkungan sebagai determinan penyakit tuberkulosis paru adalah :
a. Penghuni Rumah
Penghuni rumah dapat mempengaruhi kualitas udara didalam rumah. Adapun hal-hal yang menyebabkan menurunnya kualitas udara ini dapat dibedakan menjadi 2 hal hal pokok :
1) Kepadatan hunian. Semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara didalam rumah mengalami pencemaran. Manusia dalam kehidupan sehari-hari akan membutuhkan udara 33 m² per jam atau 40 liter/menit. Dari 40
(50)
liter itu jumlah oksigen yang diambil adalah sebanyak 2 liter dan akan menghasilkan 1,7 liter gas asam arang . Dengan Demikian akan meningkatkan kadar CO2
2) Kesehatan para penghuni. Kesehatan penghuni juga memegang peranan penting dalam mempengaruhi kualitas udara terutama ditinjau dari segi bakteriologisya. Hal itu akan lebih nyata apabila penghuni rumah tersebut, ialah mereka yang mempunyai penyakit saluran pernapasan, dan bila mereka mengeluarkan bakteri melalui pernapasannya maka akan ditularkan kepada penghuni lainnya melalui udara yang kotor tersebut.
yang telah ada di dalam rumah dan akan menurunkan kadar oksigen di dalam udara. Konsep Departemen Kesehatan RI yang menggunakan luas lantai kamar menimal sebesar 4,5 m² dan anak-anak usia 1–10 tahun memerlukan 1,5 m², sedangkan ketentuan luas ruangan untuk setiap orang di Lapas menurut Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan tahun 2005 adalah 1,80 x 3,00 m/orang.
Sebenarnya udara bukanlah merupakan habitat atau tempat hidup bakteri. Oleh karena itu bakteri di udara hanya kejadian yang sewaktu-waktu terkontaminasi. Bakteri pathogen dapat ditularkan melalui udara dalam bentuk partikel debu dan pengeringan dari drooplet liur. Meskipun demikian pada dasarnya perjalanan bakteri di udara mempunyai pola umum berupa garis lurus yang terus menerus jumlahnya sesuai dengan lamanya waktu di udara.
Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya
(51)
akan menyebabkan berjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabakan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama tuberkulosis akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya. Kepadatan merupakan faktor awal yang berperan (pre-requisite) dalam proses penularan penyakit, semakin padat maka perpindahan penyakit khususnya penyakit melalui udara akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan hunian dalam rumah tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian tuberkulosis b. Ventilasi.
Udara segar diperlukan dalam rumah untuk mengganti udara ruangan yang yang sudah terpakai. Udara segar diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan. Sebaiknya temperatur udara dalam ruangan harus lebih rendah paling sedikit 4ºC dari temperatur udara luar untuk daerah tropis. Umumnya temperatur kamar 22 ºC – 30 ºC sudah cukup segar. Pergantian udara bersih untuk orang dewasa adalah 33 m³/orang/jam. Kelembaban udara berkisar 50 – 75 % optimum. Untuk memperolah kenyamanan udara seperti dimaksud di atas diperlukan adanya ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik dalam ruangan harus memenuhi syarat lainnya. Untuk luas lubang ventilasi tetap, minimum 5 % dari luas lantai ruangan. Sedangkan luas lubang insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimum 5 % dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10 % kali luas lantai ruangan. Ukuran
(52)
luas ini diatur sedemikian rupa sehingga udara yang masuk tidak terlalu deras dan tidak selalu sedikit.
c. Pencahayaan
Pencahayaan yang cukup untuk penerangan ruang di dalam rumah merupakan kebutuhan kesehatan manusia. Penerangan ini dapat diperoleh dengan pengaturan cahaya buatan dan cahaya alam. Kebutuhan standar cahaya alam yang memenuhi syarat kesehatan untuk berbagai keperluan manusia.
Standar pencahayaan diatas sebaiknya tidak terhalang oleh bangunan, pohon-pohon maupun tembok pagar yang tinggi. Cahaya matahari ini berguna selain untuk penerangan juga dapat mengurangi kelembaban ruang, mengusir nyamuk, membunuh bakteri penyebab penyakit tertentu seperti tuberkulosis paru. Pencahayaan alami dalam rumah yang kurang dari 60 lux meter mempunyai risiko meningkatkan kejadian tuberkulosis paru.
d. Kelembaban
Kelembaban udara dalam rumah minimal 40% – 70 % dan suhu ruangan yang ideal antara 180C – 300C (Keman, 2005).Bila kondisi suhu ruangan tidak optimal, misalnya terlalu panas akan berdampak pada cepat lelahnya saat bekerja dan tidak cocoknya untuk istirahat. Sebaliknya, bila kondisinya terlalu dingin akan tidak menyenangkan dan pada orang-orang tertentu dapat menimbulkan alergi (Atmosukarto, 2000). Hal ini perlu diperhatikan karena kelembaban dalam rumah akan mempermudah perkembangbiakan mikroorganisme antara lain bakteri spiroket, ricketsia dan virus.
(53)
Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara ,selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme. Kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri termasuk bakteri tuberkulosis (Atmosukarto, 2000).
e. Lantai rumah
Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air dan tidak lembab. Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian Tuberkulosis paru, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya (Atmosukarto, 2000).
2.6 Rumah Tahanan Negara
Struktur Organisasi Rumah Tahanan Negara (Rutan) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.04.0PR.07.03 Tahun 1985 diklasifikasikan dalam 3 (tiga) klas, yaitu: (a) Rumah Tahanan Negara Klas I, (b) Rumah Tahanan Negara Klas IIA dan (c) Rumah Tahanan Negara Klas IIB serta
didukung oleh Cabang Rutan, Klasifikasi tersebut didasarkan atas kapasitas dan lokasi.
Rutan sebagai salah tempat yang sulit untuk menjalankan program pencegahan dan perawatan efektif bagi warga binaan. Namun sampai akhir tahun 2010, dari 207 Lapas dan 190 Rutan di Indonesia dan tersebar di 33 propinsi belum
(54)
semuanya memiliki fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai, namun sudah dapat melaksanakan pelayanan kesehatan kepada warga binaan.
2.7 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP)
Menurut Undang-Undang No 12 tahun 1995 WBP adalah insan tahanan, narapidana dan anak didik pemasyarakatan sebagai anggota masyarakat yang mempunyai hak yang sama dengan anggota masyarakat lainnya untuk mendapatkan derajat kesehatan yang optimal. Salah satu aspek penting yang memerlukan perhatian yaitu keadaan kesehatan baik fisik, mental maupun sosial. Perlakuan dan pelayanan kesehatan pada tahanan, narapidana atau anak didik pemasyarakatan dapat dipakai sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan di bidang hukum baik secara nasional ataupun internasional.
Narapidana/tahanan merupakan kelompok khusus yang mempunyai risiko tinggi terhadap tuberkulosis paru, yang perlu terjangkau oleh pelayanan bermutu sesuai standar program nasional.
Masalah tuberkulosis paru di Rutan diperkirakan tinggi dikarenakan oleh: a. Kondisi Rutan memudahkan terjadinya penyebaran infeksi tuberkulosis paru
karena lamanya dan berulangnya paparan terhadap Mycobacterium Tuberculosis sebagai hasil dari: keterlambatan deteksi kasus, dan kurangnya ruangan isolasi, ketidaktepatan pengobatan kasus tuberkulosis paru yang menular, tingginya turnover dari narapidana/tahanan melalui transfer antar Rutan, narapidana/tahanan
(55)
bebas dan residivis, jumlah narapidana yang melebihi kapasitas penjara, ventilasi dan cahaya matahari langsung yang kurang, higiene dan sanitasi yang buruk. 2. Narapidana/tahanan mempunyai resiko mendapat infeksi baru tuberkulosis paru
atau reaktivasi dari infeksi laten karena: koinfeksi, HIV dan penyalahguna jarum suntik, status gizi yang buruk, tekanan fisik dan emosional, over kapasitas
3. Cukup besar proporsi narapidana/tahanan berasal dari kelompok populasi dengan risiko tinggi tuberkulosis paru (misalnya pecandu alkohol, narkoba, tunawisma, mantan narapidana, pelanggan PSK).
Tuberkulosis paru merupakan infeksi oportunistik yang paling banyak terjadi pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) yaitu mencapai 41% dari seluruh kasus infeksi oportunistik, kemudian diare kronis (21%) dan kandidiasis (21%). Infeksi oportunistik ini menyebabkan kematian pada ODHA. di lembaga pemasyarakatan 22,68 % kematian disebabkan HIV, 18,37% diakibatkan oleh tuberkulosis paru dan 6,19% adalah akibat hepatitis.
Hampir diseluruh dunia, pemerintah memberikan prioritas rendah terhadap masalah kesehatan masyarakat di Rutan. Penyebaran penyakit tuberkulosis paru sangat mudah terjadi di Rutan. Jika warga binaan terinfeksi selama masa penahanan maka akan sangat mudah terjadi peyebaran ke masyarakat luas.
2.8 Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis Paru di Rutan dan Lapas
Program penanggulangan tuberkulosis paru di Rutan dan Lapas merupakan bagian dalam Program Nasional Tuberkulosis paru yang terintegrasi dengan
(56)
pelayanan kesehatan di Rutan dan Lapas. Kesepahaman antara Ditjen Pemasyarakatan yang bertanggungjawab terhadap pelayanan kesehatan di Rutan dan Lapas dan Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan yang bertanggung jawab terhadap program Tuberkulosis paru Nasional, sangat diperlukan dalam implementasi program penanggulangan tuberkulosis paru di Rutan dan Lapas (Ditjen Pemasyarakatan, 2007).
Penanggulangan tuberkulosis paru di Rutan dan Lapas perlu mendapat perhatian karena tuberkulosis paru tidak mengenal batasan-batasan yang dibuat oleh manusia seperti tingginya dinding Rutan dan Lapas dan status sosial masyarakat. Kondisi di dalam Rutan dan Lapas mempermudah penyebaran tuberkulosis paru dan menyebabkan Rutan dan Lapas menjadi reservoir dari penyakit tersebut. Tingginya kasus tuberkulosis paru di Rutan dan Lapas mempunyai dampak yang sangat penting terhadap tuberkulosis paru di masyarakat umum. Penanggulangan tuberkulosis paru di Rutan dan Lapas harus dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi untuk meningkatkan kesehatan di dalam dan di luar Rutan dan Lapas yang pelaksanaannya harus berkoordinasi dengan program AIDS di Rutan dan Lapas dan program-program kesehatan yang lainnya (Dirjen Pemasyarakatan, 2007).
Pemerintah mempunyai kewajiban untuk membina narapidana/tahanan supaya menjadi lebih baik kehidupannya dengan salah satu kewajiban menyediakan akses pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar pelayanan minimal dalam hal ini akses terhadap pelayanan diagnosis yang bermutu dan pengobatan tuberkulosis paru yang efektif. Walaupun perhatian kepada pasien tuberkulosis paru di Rutan dan Lapas
(57)
sudah mulai berjalan di beberapa Rutan dan Lapas di Indonesia dan diperkuat dengan Nota Kesepahaman antara Ditjen Pemasyarakatan dengan Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan tentang penanggulangan tuberkulosis paru di Rutan dan Lapas, namun strategi yang efektif yang dapat digunakan dalam mengefektifkan pelaksanaan penanggulangan tuberkulosis paru Strategi DOTS pada Rutan dan Lapas di Indonesia sangat dibutuhkan. Kebijakan sistem pelayanan kesehatan di Rutan dan Lapas diperlukan untuk menjamin kesinambungan dan peningkatan kepedulian terhadap kualitas pelayanan kesehatan dalam Rutan dan Lapas (Ditjen Pemasyarakatan, 2007).
Beberapa kegiatan dalam upaya penanggulangan tuberkulosis paru di Rutan yang dilakukan adalah (a) membangun komitmen, (b) membangun kapasitas sumber daya, (c) membangun jejaring penanggulangan tuberkulosis paru strategi DOTS di Rutan, (d) penemuan kasus tuberkulosis paru, (e) penatalaksanaan kasus tuberkulosis
paru sesuai standar, (f) meningkatkan kualitas pemeriksaan laboratorium, (g) mengembangkan sistem informasi untuk surveilans, (h) kegiatan monitoring dan
evaluasi, (i) memperkuat promosi kesehatan di lingkungan Rutan, (j) melakukan kolaborasi program tuberkulosis paru /HIV, (k) mengembangkan upaya pengendalian penularan tuberkulosis paru di Rutan, (l) mobilisasi pendanaan
2.9 Pemeriksaan Kesehatan Warga Binaan Pemasyarakatan
Hak untuk mendapatkan perawatan kesehatan merupakan standar internasional hak asasi manusia yang penting. Hak ini tidak hilang meskipun
(58)
seseorang menjadi narapidana. Tanggung jawab untuk menjamin penghormatan atas hak ini pindah ke Rutan atau Lapas karena narapidana tidak bisa melakukan semua ini secara mandiri (Nemberini, 2007).
Rutan atau Lapas memiliki kewajiban untuk melayani narapidana. Ini adalah salah satu dari prinsip-prinsip kunci dalam Peraturan Minimum Standar Perlakuan terhadap narapidana. Hal ini berarti apabila narapidana tidak dapat mencari perawatan kesehatannya sendiri maka Lapas harus menyediakannya. Karena narapidana tidak bisa berkunjung ke dokter yang ada di luar Rutan atau Lapas, maka dokter tersebut yang akan mengunjungi narapidana. Hal tersebut berlaku juga untuk dokter gigi, dan untuk ahli kesehatan jiwa (Nemberini, 2007).
Standar perawatan kesehatan di Rutan atau Lapas harus sekurangnya sama dengan standar kesehatan yang ada di masyarakat. Tak seorang pun harus menderita karena tidak adanya perawatan kesehatan hanya karena mereka di penjara. Selain itu, karena banyak orang miskin dan yang berpenyakit masuk penjara, otoritas lapas harus memperkirakan kebutuhan perawatan kesehatan yang lebih besar bagi narapidana yang ada di masyarakat pada umumnya (Nemberini, 2007).
Paramedis harus memberikan perawatan kesehatan di lapas. Dokter dan perawat yang berkualitas harus tersedia. Petugas lapas juga harus membantu mengidentifikasi narapidana yang mungkin sakit, dan memberikan pertolongan pertama kepada narapidana yang cedera. Petugas lapas tidak boleh menghalangi warga binaan pemasyarakatan yang membutuhkan perawatan kesehatan, justru mereka harus membantu narapidana untuk menemui petugas medis. Ini juga berlaku
(59)
untuk semua warga binaan pemasyarakatan baik itu yang sangat jahat sekalipun. Semua tergantung petugas medis untuk memutuskan apa yang perlu dilakukan terhadap warga binaan pemasyarakatan, dan bukan petugas Rutan atau Lapas (Nemberini, 2007).
Semua narapidana harus menerima pemeriksaan medis ketika masuk ke lapas. Penyakit kronis dan menular adalah yang terutama penting. Obat-obatan harus tersedia bilamana diresepkan oleh dokter. Petugas lapas harus membantu agar semua ini dapat berjalan dengan lancar. Petugas lapas perlu memahami apa yang dimaksud dengan kontrol penyakit menular. Mereka harus dilatih dalam pencegahan universal, yang harus selalu mereka terapkan kapan pun juga. Ini adalah cara yang terbukti dapat melindungi mereka, rekan kerja mereka dan narapidana. Pencegahan ini secara gampang berarti memperlakukan semua cairan tubuh sebagai sesuatu yang tertular. Ini berarti air liur, air seni, darah dan tinja. Jika mereka melakukan tindakan ini, tidak perlu ada kekhawatiran khusus tentang terjangkit atau tidaknya narapidana. Ini peraturan yang sederhana. Perlakuan setiap orang seakan-akan mereka telah tertular, termasuk petugas lainnya dan pengunjung. Selain itu, petugas harus memperlakukan setiap cairan tubuh yang tertumpah seakan-akan itu menular, dan karenanya, desinfeksi harus dilakukan secepatnya, menggunakan desinfektan yang telah disetujui dan efektif (Nemberini, 2007).
(60)
2.10 Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan untuk menganalisis pengaruh higiene perorangan dan sanitasi lingkungan terhadap penyakit tuberkulosis paru adalah Teori Simpul Kejadian Penyakit (Achmadi, 2008), dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2.1 Teori Simpul Kejadian Penyakit
Sumber : Achmadi, 2008
Simpul 1 : Sumber penyakit adalah titik mengeluarkan agent penyakit. Agent penyakit adalah komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan penyakit melalui kontak secara langsung atau melalui media perantara (yang juga komponen lingkungan). Umumnya melalui produk bahan beracun yang dihasilkannya ketika berada dalam tubuh, atau secara langsung dapat mencederai sebagian atau seluruh bagian tubuh manusia sehingga menimbulkan gangguan fungsi maupun morfologi (bentuk organ tubuh).
Simpul 2 : Komponen lingkungan sebagai media transmisi penyakit adalah komponen lingkungan yang dapat memindahkan agent penyakit pada hakikatnya hanya ada 5 komponen lingkungan sebagai media transmisi penyakit yaitu udara, air,
Media Transmisi Sumber
Penyakit Penduduk
Sakit atau Sehat
Variabel lain yang berpengaruh Komponen
(61)
tanah, binatang/serangga, dan manusia. Media transmisi tidak akan memiliki potensi mengeluarkan atau mengemisikan agent penyakit.
Simpul 3 : Penduduk melakukan perilaku pemajanan (behavioural exposure) adalah hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan penduduknya berikut perilakunya. Perilaku pemajanan adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit (agent penyakit).
Simpul 4 : Kondisi sakit atau sehat merupakan outcome hubungan interaktif antara penduduk dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan kesehatan atau kejadian penyakit.
Simpul 5 : Variabel lain yang berpengaruh merupakan komponen suprasistem, berupa variabel iklim, topografi, temporal dan suprasistem lainnya yaitu keputusan politik berupa kebijakan mikro yang bisa mempengaruhi semua simpul.
Landasan teori dalam penelitian mengacu pada konsep teori simpul bahwa terjadinya penyakit tuberkulosis paru pada warga binaan pemasyarakatan di Blok D Rutan Klas I Medan dipengaruhi oleh faktor karakteristik dan higiene perorangan pada warga binaan pemasyarakat serta sanitasi lingkungan.
(62)
2.11 Kerangka Konsep
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Sanitasi Lingkungan
a. Kapasitas hunian a.Ketersediaan air bersih b.Lingkungan Rutan
- Luas ventilasi - Pencahayaan - Kelembaban - Kondisi lantai c.Kebersihan alat makan/minum
Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru a. Menderita b. Tidak Menderita Warga Binaan
Pemasyarakatan a. Karakteristik
- Umur - Pendidikan
- Status Perkawinan - Lama dalam tahanan b. Higiene Perorangan
Perilaku/kebiasaan : - Membuang ludah
- Menutup mulut saat batuk - Merokok
(1)
Lingkungan rutan * Kejadian penyakit tuberkulosis paru
Crosstab
129 34 163
138.5 24.5 163.0 79.1% 20.9% 100.0%
69 1 70
59.5 10.5 70.0 98.6% 1.4% 100.0%
198 35 233
198.0 35.0 233.0 85.0% 15.0% 100.0% Count Expected Count % within Lingkungan rutan Count Expected Count % within Lingkungan rutan Count Expected Count % within Lingkungan rutan Tidak baik Baik Lingkungan rutan Total Tidak Menderita Menderita Kejadian penyakit tuberkulosis paru Total Chi-Square Tests
14.483b 1 .000
13.001 1 .000
19.735 1 .000
.000 .000
14.421 1 .000
233 Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)
Computed only for a 2x2 table a.
0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.52.
(2)
Kebersihan alat makan/minum * Kejadian penyakit
tuberkulosis paru
Crosstab
81 26 107
90.9 16.1 107.0 75.7% 24.3% 100.0%
117 9 126
107.1 18.9 126.0 92.9% 7.1% 100.0%
198 35 233
198.0 35.0 233.0 85.0% 15.0% 100.0% Count
Expected Count % within Kebersihan alat makan/minum Count
Expected Count % within Kebersihan alat makan/minum Count
Expected Count % within Kebersihan alat makan/minum Tidak baik Baik Kebersihan alat makan/minum Total Tidak Menderita Menderita Kejadian penyakit tuberkulosis paru Total Chi-Square Tests
13.342b 1 .000
12.032 1 .001
13.648 1 .000
.000 .000
13.285 1 .000
233 Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)
Computed only for a 2x2 table a.
0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 16.07.
(3)
Logistic Regression
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
121.419 10 .000 121.419 10 .000 121.419 10 .000 Step
Block Model Step 1
Chi-square df Sig.
Model Summary
75.737 .406 .711 Step
1
-2 Log likelihood
Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
Classification Tablea
192 6 97.0
10 25 71.4
93.1 Observed Tidak Menderita Menderita Kejadian penyakit tuberkulosis paru Overall Percentage Step 1 Tidak Menderita Menderita Kejadian penyakit tuberkulosis paru Percentage Correct Predicted
The cut value is .500 a.
Variables in the Equation
-.111 .559 .039 1 .843 .895
-.215 .787 .075 1 .784 .806
2.462 .753 10.680 1 .001 11.727 2.136 1.007 4.497 1 .034 8.467 2.103 .700 9.017 1 .003 8.191 1.500 .702 4.565 1 .033 4.482 2.479 .911 7.410 1 .006 11.928 -2.199 .983 5.007 1 .025 .111 -3.393 1.480 5.257 1 .022 .034 -3.153 .747 17.804 1 .000 .043 -6.396 1.589 16.199 1 .000 .002 DIDK ST LAMA LUDAH BATUK ROKOK KAPAS AIR LINK ALAT Constant Step 1a
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Variable(s) entered on step 1: DIDK, ST, LAMA, LUDAH, BATUK, ROKOK, KAPAS, AIR, LINK, ALAT.
a.
(4)
Lampiran 6: Dokumentasi Penelitian
Foto 1: Rutan Klas I Tj Gusta Medan
(5)
Foto 3: Kamar mandi tahanan
(6)