Studi Pemberian Vitamin E Atau Vitamin C Terhadap Kuantitas Dan Kualitas Spermamencit (Mus Musculus L.) Yang Terpapar Tuak

4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuak
Tuak juga dikenal sebagai minuman tradisional yang berasal dari fermentasi nira
aren dengan bantuan jamur Saccharomyces tuac dari kelas Ascomicotina dan telah
menjadi minuman tradisional di Sumatera Utara khususnya

penduduk yang

berasal dari daerah Batak Toba. Tuak diolah secara konvensional, dan dipasarkan
secara bebas di Sumatera Utara dengan kadar alkohol 7 % yaitu pada hari pertama
(menurut uji laboratorium).
Tuak memiliki rasa yang sangat khas, hal ini dikarenakan penambahan
raru kedalam minuman tradisional ini. Raru merupakan sebutan untuk jenis-jenis
kulit kayu yang ditambahkan pada nira yang bertujuan untuk meningkatkan cita
rasa dan kadar alkohol serta mengawetkan tuak (Pasaribu, 2009).
Komponen utama dari nira berupa air, karbohidrat dalam bentuk
sukrosa, protein,


lemak,

vitamin,

dan

mineral.

Kerusakan

nira dapat

disebabkan oleh aktifitas khamir Saccharomyces sp yang dapat menfermentasi
sukrosa menjadi alkohol maupun asetat. Sadapan dari tandan bungan aren
jantan dapat dilakukan setelah tanaman berumur 5-12 tahun. Setiap pohon
tanaman aren ini dapat disadap selama 3 tahun, dan setiap tahun dapat
dilakukan sadap 3-4 tangkai bunga,dan dalam seharinya aren dapat menghasilkan
3-10 liter nira (Halim, 2008).
Tanpa disadari tuak salah satu minuman alkohol yang kerap dikonsumsi

secara berlebihan, dampak yang ditimbulkan setelah mengkonsumsi tuak secara
kronis tidak begitu signifikan namun memerlukan waktu yang lama untuk melihat
gangguan-gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh minuman beralkohol ini.
Alkohol akan menginduksi sitokrom P450 sehingga enzim tersebut meningkat.
Enzim sitokrom P450 dapat meningkatkan radikal bebas secara langsung dengan
membentuk radikal superoksid (Bacman dan Ames, 1998).

Universitas Sumatera Utara

5

Di Amerika Serikat, sekitar 75 % dari populasi dewasa mengkonsumsi minuman
beralkohol secara teratur, hal tersebut terjadi dikarenakan faktor lingkungan dan
kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol. Beberapa dari pengkonsumsi
alkohol, bertujuan

untuk melupakan sesaat

masalah yang dihadapi, tanpa


memperdulikan adanya konsekuensi yang merugikan baik secara medis maupun
sosial, mereka akan menderita alkoholisme, yakni suatu gangguan kompleks yang
tampaknya ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan (Masters, 2002).
Alkoholisme sulit untuk menentukan jumlah alkohol yang dikonsumsi tetapi dapat
diketahui jika kebiasaan tersebut dibiarkan dalam beberapa waktu, akan
mempengaruhi kehidupan seseorang secara bertolak belakang. Alkoholisme
menyebabkan gangguan fungsi sosial dan pekerjaan, meningkatkan toleransi
terhadap efek alkohol, dan ketergantungan fisiologik (Chandrasoma dan Taylor,
2005). Terdapat 200.000 orang kematian di dunia yang berhubungan dengan
alkohol setiap tahunnya. Kelompok usia dengan presentasi pengguna alkohol
tertinggi adalah usia antara 20 - 35 tahun. Sedangkan jenis kelamin, laki-laki
secara bermakna lebih banyak menggunakan alkohol dari pada wanita (Harimurti,
2009).
2.1.1. Pengaruh Alkohol Terhadap Sistem Endokrin dan Fungsi Seksual
Walaupun banyak orang percaya bahwa alkohol dapat meningkatkan aktivitas
seksual, tetapi efek yang sebaliknya lebih sering teramati. Banyak obat yang
disalah gunakan termasuk alkohol mempunyai efek disinhibisi yang pada awalnya
dapat meningkatkan libido. Namun, penggunaan alkohol jangka panjang dan
berlebihan sering menyebabkan penurunan fungsi seksual. Alkohol dapat
menyebabkan disfungsi ereksi pada pria setelah penggunaan akut maupun kronis.

Insidensi disfungsi ereksi dapat terjadi sampai pada 50% pasien alkoholisme
kronis (Fleming et al., 2007). Van Thiel et al, (1974) mencatat bahwa disfungsi
ereksi sangat sering terjadi di antara pasien dengan kerusakan hati yang lebih
parah.

Universitas Sumatera Utara

6

Selain itu, banyak pecandu kronis alkohol akan mengalami atrofi
testikular dan penurunan fertilitas (Fleming et al., 2007) serta pengurangan ciri
seksual sekunder pria (misalnya, pengurangan rambut wajah dan dada,
pembesaran payudara, dan pergeseran posisi lemak dari perut ke daerah pinggul)
(Emanuele, 1998). Laporan klinis berupa ginekomastia dan atrofi testis pada
pecandu alkohol dengan sirosis menghasilkan dugaan adanya kekacauan dalam
keseimbangan hormon steroid (Masters, 2002).
Sejumlah penelitian lain juga telah menunjukkan bahwa penyalahgunaan
alkohol pada pria dapat menyebabkan gangguan

produksi testosteron dan


penyusutan testis (atrofi testis) (Adler, 1992). Atrofi testis terutama disebabkan
hilangnya sel-sel sperma dan penurunan diameter tubulus seminiferus (Van Thiel
et al., 1974). Mekanisme yang terlibat dalam hal ini kompleks dan kemungkinan

melibatkan perubahan fungsi hipotalamus dan efek toksik alkohol langsung pada
sel Leydig (Fleming et al., 2007). Produk metabolisme alkohol yaitu asetaldehida
memiliki sifat toksik ke sel Leydig daripada alkohol itu sendiri (Van Thiel et al.,
1983).
Kadar testosteron dapat menurun, tetapi banyak pria yang ketergantungan
alkohol mempunyai kadar testosteron dan estrogen normal (Fleming et al. 2007).
Penelitian yang dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan efek alkohol
terhadap hipotalamus dan hipofisis dilakukan dengan mengeluarkan hipofisis
anterior tikus. Peneliti menumbuhkannya secara invitro dengan ada atau tidaknya
alkohol. Hasilnya menunjukkan alkohol menurunkan kadar LH bahkan dengan
hipofisis yang sudah terisolasi tersebut, setidaknya sebagian bertindak langsung
ke hipofisis (Van Thiel et al., 1983). Hal ini selaras dengan penelitian Emanuelle
(1998) yang menyebutkan bahwa atrofi testis mungkin disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu salah satunya adalah efek alkohol pada LH dan FSH yang
merangsang pertumbuhan testis. Faktor lain yaitu karena efek alkohol yang

merusak testis, serta faktor lain, seperti malnutrisi, akibat pengobatan dengan
berbagai obat, dan penyalahgunaan obat-obatan selain alkohol (Emanuelle, 1998).

Universitas Sumatera Utara

7

Konsumsi alkohol juga menyebabkan penurunan aktivitas enzim yang
berperan dalam sintesis hormon kelamin jantan. Alkohol dehidrogenase yang
berada pada testis, dalam keadaan normal mampu mengubah retinol menjadi
retinal. Menurut Wright (1991), alkohol menyebabkan kegagalan sintesis retinal
di dalam testis. Kegagalan sintesis retinal ini akan menyebabkan gangguan
spermatogenesis, karena retinal merupakan senyawa yang esensial untuk
berlangsungnya spermatogenesis. Pada akhirnya hal tersebut akan menyebabkan
penurunan jumlah lapisan sel spermatogenik (Nugroho, 2007). Alkohol
menyebabkan kegagalan hipotalamus dan hipofisis untuk mensekresikan
Gonadotrophine Releasing Hormon (GnRH), FSH, dan LH (Wright, 1991; Rees,

2005), selanjutnya akan diikuti oleh kegagalan sel Leydig untuk mensintesis
testosteron dan sel Sertoli tidak mampu melakukan fungsinya sebagai nurse cell

(Nugroho, 2007).
Selain menimbulkan gangguan pada hipotalamus dan hipofisis, alkohol
juga bertindak sebagai inhibitor bagi enzim 5 α-reduktase. Enzim ini digunakan
untuk mengubah prohormon (testosteron) menjadi bentuk aktifnya yaitu 5 αdihidrotestosteron. Tidak adanya testosteron dalam bentuk aktif menyebabkan
proses spermatogenesis tidak terjadi, yang pada akhirnya menyebabkan gangguan
pada proses spermatogenesis. Hal ini akan menyebabkan penurunan jumlah
lapisan sel spermatogenik (Nugroho, 2007).

2.2. Mekanisme

Kerja

Radikal

Bebas,

Peroksidasi

Lipid,


dan

Malondialdehyde (MDA)

Penelitian yang ekstensif dengan menggunakan sitem model dan dengan material
biologis in vitro, secara jelas menunjukkan bahwa radikal bebas dapat
menimbulkan perubahan kimia dan kerusakan terhadap protein, lemak,
karbohidrat, dan nukleotida. Bila radikal bebas diproduksi in vivo, atau in vitro
didalam sel melebihi mekanisme pertahanan normal, maka akan terjadi berbagai
gangguan metabolik dan seluler. Jika posisi radikal bebas yang terbentuk dekat
dengan DNA, maka bisa menyebabkan perubahan struktur DNA sehingga bisa

Universitas Sumatera Utara

8

terjadi mutasi atau sitotoksisitas. Radikal bebas juga bisa bereaksi dengan
nukleotida sehingga menyebabkan perubahan yang signifikan pada komponen
biologi sel. Bila radikal bebas merusak grup thiol maka akan terjadi perubahan
aktivitas enzim. Radikal bebas dapat merusak sel dengan cara merusak membrane

sel tersebut. Kerusakan pada membran sel ini dapat terjadi dengan cara: (a) radikal
bebas berikatan secara kovalen dengan enzim dan/atau reseptor yang berada di
membran sel, sehingga merubah aktivitas komponen-komponen yang terdapat
pada membran sel tersebut; (b) radikal bebas berikatan secara kovalen dengan
komponen membran sel, sehingga merubah struktur membran dan mengakibatkan
perubahan fungsi membran dan/atau mengubah karakter membrane menjadi
seperti antigen; (c) radikal bebas mengganggu sistem transport membrane sel
melalui ikatan kovalen, mengoksidasi kelompok thiol, atau dengan merubah asam
lemak polyunsaturated; (d) radikal bebas menginisiasi peroksidasi lipid secara
langsung terhadap asam lemak polyunsaturated dinding sel. Radikal bebas akan
menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid membran sel. Peroksidaperoksida lipid
akan terbentuk dalam rantai yang makin panjang dan dapat merusak organisasi
membran sel. (Sikka et al., 1995). Peroksidasi ini akan mempengaruhi fluiditas
membran, cross-linking membran, serta struktur dan fungsi membran (Slater,
1984; Powers and Jackson, 2008).
Mekanisme kerusakan sel atau jaringan akibat serangan radikal bebas yang
paling awal diketahui dan terbanyak diteliti adalah peroksidasi lipid. Peroksidasi
lipid paling banyak terjadi di membran sel, terutama asam lemak tidak jenuh yang
merupakan komponen penting penyusun membran sel. Pengukuran tingkat
peroksidasi


lipid

diukur

dengan

mengukur

produk

akhirnya,

yaitu

malondialdehyde (MDA), yang merupakan produk oksidasi asam lemak tidak

jenuh dan yang bersifat toksik terhadap sel. Pengukuran kadar MDA merupakan
pengukuran aktivitas radikal bebas secara tidak langsung sebagai indikator stress
oksidatif. Pengukuran ini dilakukan dengan tes Thiobarbituric Acid Reactive

Substances (TBARS test) (Slater, 1984; Powers and Jackson, 2008).

Universitas Sumatera Utara

9

2.3. ANTIOKSIDAN DAN STRES OKSIDATIF
Tubuh manusia mempunyai beberapa mekanisme untuk bertahan terhadap radikal
bebas dan ROS lainnya. Pertahanan yang bervariasi saling melengkapi satu
dengan yang lain karena bekerja pada oksidan yang berbeda atau dalam bagian
selular yang berbeda.
Secara umum pengertian antioksidan adalah senyawa yang mampu
menangkal dan meredam efek negatif oksidan dalam tubuh, bekerja dengan cara
mendonorkan satu elektronnnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga
aktivitas senyawa oksidan tersebut dapat dihambat (Winarsih, 2007).
Antioksidan dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
1. Antioksidan enzimatis
2. Antioksidan non enzimatis
2.3.1. Antioksidan Enzimatis
Antioksidan enzimatis merupakan antioksidan endogenus, yang termasuk di
dalammya adalah enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, glutation
peroksidase (GSH-PX), serta glutation reduktase (GSH-R). Sebagai antioksidan,
enzim-enzim ini bekerja menghambat pembentukan radikal bebas, dengan cara
memutuskan reaksi berantai (polimerisasi), kemudian mengubahnya menjadi
produk yang lebih stabil, sehingga antioksidan kelompok ini disebut juga chainbreaking-antioksidant (Winarsih, 2007).

Enzim katalase dan glution peroksidase bekerja dengan cara mengubah
H2O2 menjadi H2O dan O2 sedangkan SOD bekerja dengan cara mengkatalis
reaksi dismutasi dari radikal anion superoksida menjadi H2O2 (Winarsih, 2007).
2.3.2. Antioksidan Nonenzimatis
Antioksidan non- enzimatis disebut juga antioksidan eksogenus, antioksidan ini
bekerja secara preventif, dimana terbentuknya senyawa oksigen reaktif dihambat

Universitas Sumatera Utara

10

dengan cara pengkelatan metal, atau dirusak pembentukannya ( Winarsih, 2007).
Antioksidan non-enzimatis bisa di dapat dari komponen nutrisi sayuran, buaah
dan rempah-rempah. Komponen yang bersifat antioksidan dalam sayuran, buah
dan rempah-rempah meliputi vitamin C, vitamin E, β-karoten, flavonoid, flavon,
antosianin, katekin dan isokatekin ( Winarsih, 2007).
Untuk mencegah stres oksidatif akibat latihan fisik, tubuh mempunyai
sistem pertahanan antioksidan. Antioksidan ada yang berupa enzim maupun non
enzim. Antioksidan enzim yaitu superoksida dismutase (SOD), glutathion
peroksidase, dan katalase. Antioksidan non-enzim yang utama adalah glutation
(GSH), vitamin A, vitamin C, dan vitamin E. Cara kerja antioksidan dapat melalui
pemecahan reaksi berantai, yang meliputi fase lipid (vitamin E) dan fase air
(vitamin C), mengurangi konsentrasi ROS (glutation), menangkap radikal bebas
(SOD), dan khelating transition metal (transferin dan seruloplasmin). Antioksidan
enzimatik diaktivasi secara selektif selama latihan fisik berat tergantung pada
stress oksidatif jaringan dan kapasitas pertahanan antioksidan. Otot skelet
mengalami stres oksidatif lebih besar dibandingkan hati dan jantung karena
peningkatan produksi ROS. Oleh karena itu, otot membutuhkan perlindungan
antioksidan melawan kerusakan oksidatif yang mungkin terjadi selama daan
sesudah latihan fisik. SOD, katalase, dan glutation peroksidase merupakan
pertahanan primer melawan pembentukan ROS selama latihan fisik, dan aktivitas
enzim-enzim ini diketahui meningkat sebagai respons terhadap latihan fisik baik
pada penelitian binatang maupun manusia (Ji, 1999).
2.4. Vitamin E
Istilah vitamin E sering digunakan untuk menyatakan setiap campuran dari
tokoferol yang aktif secara biologis. Tokoferol adalah suatu antioksidan yang
sangat efektif, yang dengan mudah menyumbangkan atom hidrogen pada gugus
hidroksil (OH) dari struktur cincin ke radikal bebas sehingga radikal bebas
menjadi tidak reaktif. Vitamin E adalah vitamin yang larut baik dalam lemak yang
melindungi tubuh dari radikal bebas (Silalahi, 2006).

Universitas Sumatera Utara

11

Vitamin E berada di dalam lapisan fosfolipid membran sel dan berfungsi
melindungi asam lemak jenuh ganda dan komponen membran sel lain dari
oksidasi radikal bebas dengan memutuskan rantai peroksida lipid yang banyak
muncul karena adanya reaksi antara lipid dan radikal bebas dengan cara
menyumbangkan satu atom hidrogen dari gugus OH pada cincinnya ke radikal
bebas (Hariyatmi 2004).
Jumlah vitamin E yang dianjurkan setiap hari (recommended daily
allowance; RDA) adalah 8-10 mg. Dosis yang lebih tinggi (36-100 mg/hari)

dianjurkan untuk mencegah PJK dan kanker. Sumber vitamin E yang utama
adalah minyak nabati dan margarin yang dibuat dari minyak nabati (Silalahi,
2006).

2.5. Vitamin C
Vitamin C (L-asam askorbat) merupakan suatu antioksidan penting yang larut
dalam air. Vitamin C secara efektif menangkap radikal bebas dan juga berperan
dalam regenerasi vitamin E (Silalahi, 2006). Reaksi reversibel dari oksidasi
askorbat (vitamin C). Vitamin C merupakan donor elektron, yang mendonorkan
dua elektron dari dua ikatan antara karbon kedua dan ketiga dari 6 molekul
karbon. Vitamin C disebut sebagai antioksidan karena dengan mendonorkan
elektronnya ia mencegah zat-zat komposisi yang lain teroksidasi. Bagaimanapun
akibat dari reaksi ini secara alamiah vitamin C juga akan teroksidasi. Setelah
vitamin C mendonorkan elektronnya, dia akan menghilang dan digantikan oleh
radikal bebas semidehydroaskorbic acid atau radikal ascorbyl, yang merupakan
zat yang terbentuk akibat asam askorbat kehilangan 1 elektronnya. Hal inilah yang
menyebabkan asam askorbat menjadi antioksidan pilihan, karena radikal bebas
yang reaktif dan berbahaya dapat berinteraksi dengan asam askorbat, lalu
direduksi dan radikal ascorbyl yang kemudian terbentuk menggantikannya
ternyata kurang reaktif bila dibandingkan dengan radikal bebas tersebut. Bila
radikal ascorbyl dan dehydroascorbic acid sudah dibentuk maka dia akan dapat
direduksi kembali menjadi asam askorbat sedikitnya dengan tiga jalur enzym yang

Universitas Sumatera Utara

12

terpisah dengan cara mereduksi komponen yang terdapat di sistem biologi seperti
glutation, akan tetapi pada manusia hanya sebagian yang direduksi kembali
menjadi asam askorbat yang lain tidak dapat direduksi kembali menjadi asam
askorbat. Dehydroascorbic acid yang telah terbentuk kemudian dimetabolisme
dengan cara hidrolisis (Iswara, 2009).

2.6.Efek Protektif Vitamin C dan Vitamin E Terhadap Sperma

Secara fisiologis vitamin C adalah pemakan radikal bebas yang kuat hingga 24 %
dari radikal bebas yang ada dalam plasma, jaringan mata, otak, paru–paru, hati,
jantung, sperma dan berperan melindungi sel-sel dari kerusakan oksidatif (Li dan
Schellorn, 2007).
Dalam suatu penelitian membuktikan pemberian vitamin C dosis tertentu
selama 15 hari dapat meningkatkan jumlah spermatozoa pada mencit yang dipapar
gelombang ultrasonik. Paparan gelombang ultrasonik dengan frekuensi 30 kHz
daya 3.5 watt/cm2 selama 20 menit dan frekuenzi 60 kHz daya 0.5 watt/cm2
selama 15 menit dapat menyebabkan munculnya radikal bebas. Pemberian
vitamin C sampai dosis 0.20 mg/gram berat badan/hari dapat mengurangi jumlah
spermatozoa yang mengalami kerusakan akibat radikal bebas karena vitamin C
mampu menetralisir radikal bebas (Wibisono, 2001).
Pemberian vitamin C 0,2 mg/g BB secara oral selama 36 hari pada mencit
jantan mampu berperan sebagai antioksidan untuk melindungi efek senyawa
radikal bebas yang ditimbulkan oleh senyawa plumbum asetat 0,1 % yang
ditandai oleh berkurangnya kadar malondialdehyde di dalam sekresi epididimis
(Fauzi, 2008).
Iswara (2009), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa antioksidan
vitamin C dan vitamin E dapat menangkal radikal bebas dari allethrin dalam obat
nyamuk elektrik terhadap kualitas spermatozoa tikus putih (Rattus norvegicus)
strain Wistar jantan.

Universitas Sumatera Utara

13

Penelitian yang dilakukan pada testis tikus yang dipaparkan cadmium (Cd)
10 mg/g BB memperlihatkan bahwa pemberian vitamin C 10 mg/kg BB secara
intraperitoneal mampu mengurangi kadar MDA dalam testis dan peningkatan
jumlah sperma disertai penurunan persentase sperma yang berbentuk abnormal,
pada pemberian vitamin E 100 mg/kg BB secara intraperitonial memperlihatkan
efek yang mirip pada pemberian vitamin C, akan tetapi efek dari vitamin E lebih
rendah (Acharya dan Mishra, 2006).
Asmarawati

(2009),

dalam

penelitiannya

menyimpulkan

bahwa

penambahan vitamin E dalam pengencer sperma ayam dapat menjaga tingkat
motilitas, viabilitas, dan spermatozoa normal setelah disimpan selama 72 jam
pada suhu 4ºC, sedangkan vitamin C cenderung menurunkan motilitas
spermatozoa, pH sperma dan viabilitas spermatozoa.
Pada penelitian untuk menguji efek suplementasi vitamin E dan selenium
terhadap lipid peroksidasi dengan parameter sperma, didapati peningkatan kualitas
semen dan pemakaiannya dianjurkan untuk penanganan infertilitas pada pria, dan
ditemukan juga bahwa durasi maksimum fertlitas dapat diperbaiki dengan
mengkonsumsi vitamin E pada usia 49 minggu pada ayam jantan. (Lin dan Chang,
2005).
Dalam beberapa studi in vitro disebutkan bahwa vitamin E merupakan
antioksidan pemutus rantai yang utama dalam membran sperma dan efektivitasnya
tergantung dari dosis (Huszar dan Vigue, 1994). Dalam randomized double-blind
controlled trial, pasien asthenospermia mendapatkan vitamin E oral (300

mg/hari), perlakuan ini menurunkan konsentrasi malondialdehyde dalam
spermatozoa dan meningkatkan motilitas secara signifikan (Ken, 1992).
Vitamin E yang berperan sebagai antioksidan dilaporkan juga mampu
melindungi spermatozoa terhadap kerusakan peroksidatif dan penurunan motilitas
(Therond dan Auger, 1996). Regina dan Traber (1999), menyatakan bahwa
defisiensi vitamin E pada testis tikus menyebabkan degenerasi epitel tubulus
seminiferus dan menghentikan produksi spermatozoa. Pemberian vitamin E secara
oral pada pasien astenospermia dilaporkan mampu meningkatkan motilitas
spermatozoa secara signifikan (Suleiman dan Ali, 1996).

Universitas Sumatera Utara

14

2.7. Pengaruh ROS Terhadap Spermatozoa

Ada dugaan bahwa stres oksidatif akibat dari ketidakseimbangan antara radikal
bebas dan antioksidan, adalah salah satu penyebab dari infertilitas (Dahlan, 2002).
Dalam kondisi fisiologis, spermatozoa memproduksi ROS dalam jumlah yang
kecil. Dalam jumlah yang kecil, ROS dibutuhkan untuk regulasi fungsi sperma,
kapasitasi sperma dan reaksi akrosom. Sedangkan dalam jumlah yang besar ROS
toxic terhadap sel normal dan menurunkan potensi fertilitas dari sperma melalui
kerusakan DNA dan apoptosis. Peningkatan ROS dapat menyebabkan gangguan
pada proses spermatogenesis sehingga dapat menyebabkan adanya kelainan pada
morfologi dari sel spermatozoa (Widodo, 2009).
Stres oksidatif pada spermatozoa merupakan penyebab utama disfungsi
spermatozoa dengan menghambat proses oksidasi fosforilasi. Oksidasi fosforilasi
yang terganggu menyebabkan peningkatan reactive oxygen species (ROS)
spermatozoa. Kadar ROS yang tinggi dalam sel dapat mengoksidasi lipid, protein,
dan DNA. Lipid membran plasma spermatozoa memiliki fosfolipid dengan kadar
yang tinggi sehingga menyebabkan spermatozoa sangat rentan terhadap ROS. Hal
ini menunjukkan bahwa membran spermatozoa adalah target utama ROS dan lipid
merupakan sasaran yang potensial oksidasi lipid (lipid peroksidase) pada
membran spermatozoa menghasilkan senyawa malondialdehyde (MDA), yang
bersifat toksik pada sel sehingga menyebabkan kerusakan membran spermatozoa.
Membran spermatozoa yang rusak akan menyebabkan penurunan integritas
membran spermatozoa, sehingga pada akhirnya menyebabkan penurunan kualitas
sperma (Lamarinde, 1997).

2.8.Organ Reproduksi Mencit Jantan

Sistem reproduksi mencit jantan terdiri atas testis dan kantong skrotum,
epididimis dan vas deferens, sisa sistem eksretori pada masa embrio yang
berfungsi untuk transport sperma, uretra dan penis. Selain uretra dan penis semua
struktur ini berpasangan (Suparni, 2009).

Universitas Sumatera Utara

15

Testis merupakan organ kelamin jantan yang berfungsi sebagai tempat
sintesis hormon androgen (terutama testosteron) dan tempat berlangsungnya
proses spermatogenesis. Kedua fungsi testis ini menempati lokasi yang terpisah
didalam testis. Biosintesis androgen berlangsug dalam sel leydig dijaringan inter
tubuler, sedangkan proses spermatogenesis berlangsung dalam epitel tubulus
seminiferus. Testis mengandung banyak tubulus seminiferus. Tubulus seminiferus
tersebut terdiri atas deretan sel epitel yang mengadakan pembelahan mitosis dan
meiosis sehingga menjadi sperma (Syahrum, 1994).
Tubulus seminiferus adalah bagian utama dari massa testis yang
bertanggung jawab terhadap produksi sekitar 30 juta spermatozoa perhari selama
masa produksi (Saryono, 2008). Pada tubulus seminiferus mengandung banyak sel
epitel germinativum yang berukuran kecil, dinamakan spermatogenia menjadi
spermatosit membelah diri membentuk dua spermatosit yang masing-masing
mengandung 23 kromosom. Setelah beberapa minggu menjadi spermatozoa
spermatid, pertama kali dibentuk masih mempunyai sifat umum sel epiteloid.
Kemudian sitoplasma menghilang memanjang menjadi spermatozoa terdiria atas
kepala, leher, badan dan ekor (Syaifuddin, 2006)
Sel sperma yang normal terdiri dari kepala, leher, bagian tengah dan ekor.
Kepala ditutupi oleh tulang protoplasmic (galea kapitis). Galea kapitis biasanya
larut bila sperma diberi pelarut lemak yang biasanya digunakan untuk pengecatan.
Bila bergerak sperma berenang dalam cairan suspensinya seperti ikan dalam air.
Bila mati sperma akan terlihat datar dengan permukaan. Pada mencit ujung kepala
sperma berbentuk kait. Leher dan ekor tersusun dari flagellum tunggal yang padat
tetapi dari 9-18 fibril yang dibungkus oleh satu selubung. Pada ujung ekor
selubung menghilang. Fibril menyembul dalam bentuk sikat yang telanjang
(Siregar, 2009).

2.8.1. Spermatogenesis

Sel germinal primordial mencit jantan muncul sekitar 8 hari kehamilan, dengan
jumlah hanya 100, yang merupakan awal dari jutaan sperma yang akan diproduksi

Universitas Sumatera Utara

16

dan masih berada di daerah ekstra gonad. Karena sel germinal kaya akan alkalin
fosfatase untuk mensuplai energi pergerakannya melalui jaringan embrio, maka
sel germinal dapat dikenal dengan teknik pewarnaan. Pada hari ke 9 dan 10
kehamilan sebagian mengalami degenerasi dan sebagian lain mengalami
proliferasi dan bahkan bergerak (pada hari ke 11 dan 12) ke daerah genitalia. Pada
saat itu jumlahnya mencapai sekitar 5000 dan identifikasi testis dapat dilakukan.
Proses proliferasi dan differensiasi berlangsung di daerah medulla testis. Pada
kasus steril, kehilangan sel germinal berlangsung selama perjalanan dari bagian
ekstra gonad menuju daerah genitalia. Menuju akhir masa fetus, aktivitas mitosis
sel germinal primordial dalam bagian genitalia berkurang dan beberapa sel mulai
degenerasi menjelang hari ke-19 kehamilan. Tidak berapa lama setelah kelahiran,
sel tampak lebih besar, yaitu spermatogonia. Setelah itu akan ada spermatogonia
dalam testis mencit sepanjang hidupnya. Ada 3 jenis spermatogonia : tipe A, tipe
intermediate dan tipe B (Rugh, 1968).
Tipe A adalah induk stem cell yang mampu mengalami mitosis sampai
menjadi sperma. Spermatogonia tipe A yang paling besar dan mengandung inti
kromatin yang mirip partikel debu halus dan nukleolus kromatin tunggal terletak
eksentrik. Kromosom metafasenya panjang dan tipis. Dapat meningkat, melalui
spermatogonia intermediate menjadi spermatogonia B yang lebih kecil, lebih
banyak, dan mengandung inti kromatin serpihan kasar di atas atau dekat
permukaan dalam membran inti. Terdapat plasmosom mirip nukleolus yang
terletak di tengah. Kromosom metafase biasanya pendek, bulat, dan mirip kacang.
Spermatogonia tipe B membelah dua untuk meningkatkan jumlahnya atau
berubah menjadi spermatosit primer, lebih jauh dari membran dasar. Diperkirakan
lamanya dari metafase spermatogonia menjadi profase meiosis sekitar 3 sampai 9
hari, menuju metafase kedua selama 4 hari atau kurang, dan menuju sperma
imatur selama 7 hari atau lebih. Maka, waktu dari metafase spermatogonia
menjadi sperma imatur paling sedikit 10 hari (Rugh, 1968).
Sel tipe A pertama kali muncul 3 hari setelah kelahiran. Ketika jumlahnya
meningkat, sel germinal primordial yang merupakan asalnya dan kemudian berada
di

samping

membran

dasar,

akan

berkurang

jumlahnya.

Pembelahan

Universitas Sumatera Utara

17

meiosisdalam testis mulai 8 hari setelah kelahiran. Tanda pertama bahwa
spermatogonia B akan metamorfosis menjadi spermatosit primer adalah
pembesaran dan bergerak menjauhi membran dasar. Spermatosit primer
membelah menjadi 2 spermatosit sekunder yang lebih kecil, yang kemudian
membelah menjadi 4 spermatid. Mereka mengalami metamorfosis radikal menjadi
sperma matur dengan jumlah yang sama, kehilangan sitoplasmanya dan berubah
bentuk (Rugh,1968)
Antara tahap spermatosit primer dan sekunder, materi kromatin
harusmembelah. Sintesa premeiotik DNA terjadi di spermatosit primer selama
fase istirahat dan berakhir sebelum onset profase meiosis, rata-rata selama 14 jam.
Tidak ada pembentukan DNA terjadi pada tahap akhir spermatogenesis. Proses
spermatogenesis mencit pada dasarnya sama dengan mamalia lain. Satu siklus
epitel seminiferus selama 207±6 jam, dan 4 siklus yang mirip terjadi antara
spermatogonia A dan sperma matur. Testis dan khususnya sperma matur,
merupakan sumber hyaluronidase terkaya, dan enzim ini efektif membubarkan sel
cumulus sekitar ovum matur pada saat fertilisasi. Setiap sperma membawa enzim
yang cukup untuk membersihkan jalan melalui sel cumulus menuju matriks sel
ovum. Bahan asam hialuronik semen cenderung bergabung ke sel granulosa
selcumulus, agar kepala sperma dapat disuplai dengan enzim melimpah (Rugh,
1968).

2.8.1. Spermiogenesis
Tahap akhir dalam spermatogenesis adalah diferensiasi spermatid menjadi
spermatozoa matang, disebut spermiogenesis. Dalam proses ini terjadi perubahan
dramatis pada sperma yaitu perubahan bentuk sperma, namun tidak terjadi lagi
pembelahan sel. Sel sperma mencapai karakteristik morfologinya dengan jelas
dalam proses spermiogenesis. Adanya defek pada proses ini dapat mengakibatkan
abnormalitas morfologi sperma (Yavetz et al., 2001).
Sperma matang memiliki sebuah kepala, akrosom, bagian tengah dan ekor. Bagian
kepala, terutama terdiri dari nukleus, yang mengandung informasi genetic sperma.
Akrosom, suatu vesikel berisi enzim di ujung kepala, digunakan sebagai “bor

Universitas Sumatera Utara

18

enzimatik”

untuk

menembus

ovum.

Akrosom

dibentuk

dari

agregasi

vesikelvesikel yang dihasilkan oleh kompleks Golgi/retikulum endoplasma
sebelum organel-organel ini dibuang. Mobilitas spermatozoa dihasilkan oleh ekor
yang panjang. Pergerakan ekor dijalankan oleh energi yang dihasilkan oleh
mitokondria yang terkonsentrasi di bagian tengah sperma (Sherwood, 2007).

Gambar 2.1. Morfologi sperma mencit (Hayati et al., 2005). Gambar A adalah
sperma normal dengan kepala seperti kait pancing, gambar B, C dan
D adalah sperma abnormal (B= sperma dengan kepala seperti
pisang, C= sperma tidak beraturan, dan D= sperma terlalu
bengkok).

Ciri sperma normal yaitu mempunyai bentuk kepala seperti kait pancing
dan ekor panjang lurus, Sedangkan sperma abnormal mempunyai bentuk kepala
tidak beraturan, dapat berbentuk seperti pisang, atau tidak beraturan (amorphous),
atau terlalu bengkok, dan ekornya tidak lurus bahkan tidak berekor, atau hanya
terdapat ekornya saja tanpa kepala.
Pada manusia, spermatogenesis memerlukan waktu sekitar 64 hari, dari
spermatogonia menjadi sperma matang dengan produksi sperma sekitar 30 juta
sperma per hari sedangkan pada mencit proses ini berlangsung sekitar lima
minggu (Rugh, 1968; Sherwood, 2007). Robb et al. (1978) melaporkan bahwa

Universitas Sumatera Utara

19

tikus jantan yang telah mencapai kematangan seksual memproduksi sekitar 24 x
106 sperma per gram testis per hari. Efisiensi spermatogenik pada mamalia, yang
diukur melalui produksi sperma harian per gram testis bervariasi dari 2,65 x 107
pada kelinci, hingga lebih dari 1,9 x 107 sperma per gram testis per hari pada
kebanyakan spesies lainnya (Peirce and Breed, 2001).

Universitas Sumatera Utara