Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Gambaran Histologis Testis Dan Jumlah Sel Sperma Mencit (Mus musculus, L.) Yang Dipapari Tuak

(1)

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E TERHADAP GAMBARAN

HISTOLOGIS TESTIS DAN JUMLAH SEL SPERMA MENCIT

(Mus musculus, L.) YANG DIPAPARI TUAK

TESIS

Oleh

MERIANI HERLINA NIM. 087008013/BM

PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E TERHADAP GAMBARAN

HISTOLOGIS TESTIS DAN JUMLAH SEL SPERMA MENCIT

(Mus musculus, L.) YANG DIPAPARI TUAK

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Biomedik dalam Program Studi Magister Ilmu Biomedik

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

MERIANI HERLINA NIM. 087008013/BM

PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 08 - 02 - 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.Dr.Drs. Dwi Suryanto, M.Sc Anggota : 1. TM Fauzi, S.Si, M.Kes

2. Prof.Dr.Drs. Syafruddin Ilyas, M.Biomed 3. dr. Datten Bangun, SpFk, M.Sc


(5)

ABSTRAK

Vitamin E berperan sebagai antioksidan dan dapat melindungi aksi kerusakan membran biologis akibat radikal bebas. Radikal bebas adalah suatu atom dan molekul yang tidak mempunyai pasangan elektron dan dapat merusak molekul-molekul penting bagi fungsi seluler. Pemberian asupan antioksidan berupa vitamin E diusulkan dapat menurunkan efek radikal bebas dalam tubuh.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang pengaruh pemberian vitamin E terhadap gambaran histologis testis, jumlah sel Leydig dan jumlah sperma pada testis mencit yang di papari tuak. Pada penelitian ini menggunakan mencit jantan (Mus musculus, L) strain DD Webster dewasa sehat dan fertil yang berumur 8-11 minggu dengan berat 20-35 g sebanyak 30 ekor dibagi dengan 6 kelompok perlakuan. Kelompok (K0) = kelompok kontrol pertama terdiri dari 5 ekor mencit dewasa jantan tanpa perlakuan selama 30 hari. Kelompok 2 (P1) = Kelompok perlakuan pertama terdiri dari 5 ekor mencit dewasa jantan yang diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml/hari/ekor secara oral setiap hari selama 15 hari pertama dan 15 hari berikutnya pemberian tuak dihentikan dan diganti dengan pemberian aquadest 0,5 ml. Kelompok 3 (P2) = Kelompok perlakuan kedua terdiri 5 ekor mencit dewasa yang diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml/hari/ekor secara oral selama 30 hari. Kelompok 4 (P3) = Kelompok perlakuan ketiga terdiri 5 ekor mencit dewasa yang diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml /hari/ekor selama 15 hari pertama dan 15 hari berikutnya pemberian tuak dihentikan diganti dengan pemberian vitamin E 0,25 mg/hari/ekor/mencit secara oral. Kelompok 5 (P4) = Kelompok perlakuan keempat terdiri 5 ekor mencit dewasa yang diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml/hari/ekor selama 15 hari pertama dan 15 hari berikutnya pemberian tuak dengan pemberian vitamin E 0,25 mg/ekor/hari secara oral. Kelompok 6 (P5) = Kelompok perlakuan kelima terdiri dari 5 ekor mencit dewasa yang diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml/hari/ekor dan pemberian vitamin E 0,25 mg/ekor/hari selama 30 hari secara oral. Mencit ditempatkan ke dalam kelompok secara random. Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari komite etik penelitian USU. Hasil yang didapat pemberian vitamin E 0,25 mg/hari/mencit sejalan dengan pemaparan tuak selama 30 hari cenderung mempengaruhi peningkatan jumlah sel Leydig mencit, peningkatan diameter tubulus seminiferus mencit dan peningkatan jumlah spermatozoa mencit.


(6)

ABSTRACT

Vitamin E is one of the fat-soluble vitamins. Vitamin E acts as an antioxidant and can protect the biological action of membrane damage by free radicals. A free radicals is an atom or a molecule without a pair of electrons that can damage the molecules essential

for cellular function. Giving antioxidants in the form of vitamin E is proposed to reduce the effects of free radicals in the body.

This study aims to determine the effect of vitamin E on testicular histological features, the number of Leydig cells and testicular sperm count in mice given palm wine. In this study 30 healty and fertile adult male mice (Mus musculus, L.) strain DD Webster. The 8-11 week old mice (20-35 g) were divided in to 6 treatment groups. The first group (K0) = consisted of 5 mice without treatment for 30 days. The first treatment group (P1) consisted of 5 mice that were each given palm wine (20% alcohol) orally at 0.5 ml/day for 15 days. After 15 the palm wine was repleaced with water 0,5 ml. The second treatment group (P2) consisted of 5 mice that were each given palm wine (20% alcohol) orally 0.5 ml/day for 30 days. The third treatment group (P3) consisted of 5 mice that were each given palm wine (20% alcohol) orally 0.5 ml/day for 15 days. After 15 days the palm wine was replaced with 0.25 mg of vitamin E/day administered orally. The fourth treatment group (P4) consisted of 5 mice that were each given palm wine (20% alcohol) orally 0.5 ml/day for 30 days. After 15 days in addition to the palm wine with 0.25 mg of vitamin E/day was administered orally. The fifth treatment group (P5) consisted of 5 mice that were each given palm wine (20% alcohol) 0.5 ml/day and

vitamin E 0.25 mg/day orally. The mice were placed into groups randomly. This study was approved by the USU research ethics committee. The results of this study suggest concurrent administration of vitamin E (0.25 mg/day)

reduces the negative affect of palm wine. An increased number of Leydig cells, an increased diameter of seminiferous tubules and an increased number spermatozoa were observed in treatment group P5 as compared to the other treatment groups.


(7)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama marilah kita ucapkan Puji dan Syukur Kehadirat Allah Yang Maha

Kuasa, karena berkat dan rahmatNya, maka saya dapat menyusun tesis ini. Penulisan

tesis ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh Gelar Magister pada

Program Magister Studi Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Medan. Adapun judul dari penelitian ini adalah Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap

Gambaran Histologis Testis dan Jumlah Sel Sperma Mencit (mus musculus, L.) yang dipapari Tuak.

Terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis

ucapkan kepada: Prof. Dr. Drs. Dwi Suryanto, M.Sc yang telah bersedia menjadi Ketua

Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan masukan-masukan dan penuh

perhatian dalam penulisan tesis ini. Bapak TM Fauzi, S.Si, M.Kes yang telah bersedia

menjadi Anggota Komisi Pembimbing yang selalu tabah dan sabar dalam membimbing

dan memberikan masukan-masukan demi kesempurnaan dalam penulisan tesis ini. Prof.

Dr. Drs. Syafruddin Ilyas, M.Biomed yang telah bersedia menjadi Komisi Pembanding

untuk memberikan masukan-masukan pada seminar tesis demi kesempurnaan penulisan

tesis ini. dr. Datten Bangun, SpFK, M.Sc, yang telah bersedia menjadi Komisi

Pembanding pada seminar tesis demi kesempurnaan penulisan tesis ini. Prof. dr. Gontar

A. Siregar, SpPD, KGEH selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

yang telah memberi izin penelitian pada penulis. Ibu dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D selaku

Ketua Program Studi Magister Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera


(8)

staf laboratorium Biokimia/Kimia Bahan Makanan (KBM) Universitas Sumatera Utara

Medan yang menyediakan tempat untuk penggunaan laboratorium dan bantuan tenaga

laboran dalam membantu saya pada penelitian ini. Pimpinan dan staf Laboratorium

Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara Medan yang menyediakan tempat dalam

penelitian tesis ini. Terima kasih penulis kepada Ketua Yayasan Imelda Medan dan

seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti

pendidikan Program Studi Magister Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran USU Medan.

Direktris Akper Imelda Medan dan seluruh rekan-rekan kerja di Akper Imelda Medan

yang dengan penuh perhatian dan kasih memberikan dukungan dan semangat pada

penulis selama mengikuti pendidikan. Terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada

Suami tercinta Jupentus Tamba, SH, yang selalu memberikan dukungan moril dan

materil sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister

Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Rasa sayang

penulis kepada seluruh anak-anak yang tercinta; Jessica Christin Meriayuni, Jonathan

Christian Dinata, Jasmine Christin Meriayuni yang sering ditinggal-tinggal selama masa

pendidikan. Orang tua tercinta, abang, kakak dan adik-adik yang selalu mendoakan

penulis agar sukses dalam segala rencana terutama selama masa pendidikan ini. Terima

kasih juga buat seluruh teman-teman seperjuangan mahasiswa/i Biomedik Angkatan

2008 yang selalu bersedia berdiskusi demi kesempurnaan penulisan tesis ini. Semoga

tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan mendapat penambahan ilmu serta

memunculkan ide-ide untuk penelitian baru.

Medan, Januari 2011


(9)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Meriani Herlina

Tempat/tanggal lahir : Idi Aceh Timur, 29 Mei 1968

Agama : Katholik

Status : Menikah

Alamat : Jl Matahari 6 no: 167 Blok 6 Perumnas Helvetia Medan

Telp/Hp : 08126334750

Pendidikan :

SD Negeri No. 163087 Tebing Tinggi : 1975-1980

SMP Negeri 4 Tebing Tinggi : 1980-1983

SMA Swasta TagoreTebing Tinggi : 1983-1986

Akademi Keperawatan Herna Medan : 1986-1989

Akta Mengajar FKIP IKIP Medan : 1995-1996

S-1 Kesehatan Masyarakat USU Medan : 1996-1998

Program Magister Studi Ilmu Biomedik FK-USU Medan : 2008-2010

Riwayat Pekerjaan :

Perawat RSU Deli Medan : 1992

Staf Pengajar di Akademi Keperawatan Imelda Medan : 1992-sekarang

Perawat Ruangan RSU Imelda Medan : 1992-1996

Perawat Ruang Bedah RSU Imelda Medan : 1992-1998

Pembantu Direktur I di Akademi Keperawatan ImeldaMedan : 2003-2006


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ………. i

ABSTRACT ……… ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I. PENDAHULUAN ………. 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Kerangka Teori ... 4

1.4.Tujuan Penelitian ... 6

1.5. Hipotesis ... 6

1.6. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Alkohol(Etanol) ... 7

2.1.1 Defenisi ... 7

2.1.2 Farmakokinetika Etanol ... 8

2.1.3 Pengaruh Alkohol Terhadap Sistim Endokrin ... 9

2.1.4 Nira Aren (Arenga Pinnata) ... 11

2.2 Sistem Reproduksi Mencit Jantan ... 13

2.2.1 Testis ... 13

2.2.2 Fungsi Testis dan Testeron ... 13

2.2.3 Histologi ... 14

2.2.4 Sel Spermatogenik ... 17

2.2.5 Hormon yang Merangsang Spermatogenesis ... 18

2.3 Vitamin E ... 20

2.3.1 Sifat Kimia Vitamin E ... 20

2.3.2 Fungsi Fisilogik dan Farmakodinamik ... 20

2.3.3 Efek Kimia Vitamin E ... 21

2.3.4 Efek Vitamin E terhadap Fungsi Reproduksi ... 21

BAB III METODE PENELITIAN ... 23

3.1 Tempat dan Waktu ... 23

3.2 Rancangan Penelitian ... 23

3.3 Bahan dan Alat Penelitian ... 23

3.3.1 Bahan Penelitian ... 23

3.3.2 Alat-alat ... 24


(11)

3.4 Variabel Penelitian ... 24

3.5 Pelaksanaan Penelitian dan Pengamatan ... 25

3.5.1 Pemeliharaan Hewan coba ... 25

3.5.2 Etika Penggunaan ... 25

3.5.3 Pemberian Perlakuan ... 25

3.5.4 Prosedur Pemeriksaan Pengamatan ... 27

3.5.4.1 Pengamatan pada Jumlah sel Leydig ... 27

3.5.4.2 Pembuatan Sediaan Histologis Testis ... 28

3.5.4.3 Pengamatan Jumlah Sperma ... 29

3.6 Analisis Data dan Pengujian Hipotesis ... 30

3.7 Jadwal Penelitian ... 30

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1 Hasil Penelitian ... 32

4.1.1 Jumlah Sel Leydig ... 32

4.1.2 Gambaran Sel Leydig dalam testis ... 33

4.1.3 Diameter Tubulus Seminiferus ... 34

4.1.4 Gambaran Diameter Tubulus Seminiferus ... 35

4.1.5 Jumlah Spermatozoa ... 36

4.2 Pembahasan ... 37

4.2.1 Jumlah Sel Leydig ... 37

4.2.2 Diameter Tubulus Seminiferus ... 38

4.2.3 Jumlah Spermatozoa Mencit ... 39

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

5.1 Kesimpulan ... 42

5.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1 Komposisi nira dari berbagai tanaman palmae ... 12

2 Desain perlakuan ... 27

3 Jadwal penelitian ... 31

4 Rata-rata hasil analisis jumlah sel Leydig mencit ... 32

5 Diameter tubulus seminiferus testis mencit ... 34


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1 Kerangka konsep ... 5

2 Histologis testis ... 16

3 Kamar hitung Improved Neubauer ... 30

4 Grafik histogram jumlah sel Leydig mencit ... 33

5 Gambaran Jumlah sel Leydig mencit ... 34

6 Grafik histogram diameter tubulus seminiferus testis mencit .. 35

7 Gambaran diameter tubulus seminiferus mencit ... 36


(14)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Penentuan kadar alkohol nira aren ... 47

2 Output analisis data jumlah sel Leydig mencit menggunakan software SPSS 13 ... 51

3 Output analisis data diameter tubulus seminiferus

menggunakan software SPSS 13 ... 53

4 Output analisis data jumlah sel spermatozoa mencit

menggunakan software SPSS 13 ... 54

5 Rekomendasi persetujuan etik penelitian kesehatan .... 55


(15)

ABSTRAK

Vitamin E berperan sebagai antioksidan dan dapat melindungi aksi kerusakan membran biologis akibat radikal bebas. Radikal bebas adalah suatu atom dan molekul yang tidak mempunyai pasangan elektron dan dapat merusak molekul-molekul penting bagi fungsi seluler. Pemberian asupan antioksidan berupa vitamin E diusulkan dapat menurunkan efek radikal bebas dalam tubuh.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang pengaruh pemberian vitamin E terhadap gambaran histologis testis, jumlah sel Leydig dan jumlah sperma pada testis mencit yang di papari tuak. Pada penelitian ini menggunakan mencit jantan (Mus musculus, L) strain DD Webster dewasa sehat dan fertil yang berumur 8-11 minggu dengan berat 20-35 g sebanyak 30 ekor dibagi dengan 6 kelompok perlakuan. Kelompok (K0) = kelompok kontrol pertama terdiri dari 5 ekor mencit dewasa jantan tanpa perlakuan selama 30 hari. Kelompok 2 (P1) = Kelompok perlakuan pertama terdiri dari 5 ekor mencit dewasa jantan yang diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml/hari/ekor secara oral setiap hari selama 15 hari pertama dan 15 hari berikutnya pemberian tuak dihentikan dan diganti dengan pemberian aquadest 0,5 ml. Kelompok 3 (P2) = Kelompok perlakuan kedua terdiri 5 ekor mencit dewasa yang diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml/hari/ekor secara oral selama 30 hari. Kelompok 4 (P3) = Kelompok perlakuan ketiga terdiri 5 ekor mencit dewasa yang diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml /hari/ekor selama 15 hari pertama dan 15 hari berikutnya pemberian tuak dihentikan diganti dengan pemberian vitamin E 0,25 mg/hari/ekor/mencit secara oral. Kelompok 5 (P4) = Kelompok perlakuan keempat terdiri 5 ekor mencit dewasa yang diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml/hari/ekor selama 15 hari pertama dan 15 hari berikutnya pemberian tuak dengan pemberian vitamin E 0,25 mg/ekor/hari secara oral. Kelompok 6 (P5) = Kelompok perlakuan kelima terdiri dari 5 ekor mencit dewasa yang diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml/hari/ekor dan pemberian vitamin E 0,25 mg/ekor/hari selama 30 hari secara oral. Mencit ditempatkan ke dalam kelompok secara random. Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari komite etik penelitian USU. Hasil yang didapat pemberian vitamin E 0,25 mg/hari/mencit sejalan dengan pemaparan tuak selama 30 hari cenderung mempengaruhi peningkatan jumlah sel Leydig mencit, peningkatan diameter tubulus seminiferus mencit dan peningkatan jumlah spermatozoa mencit.


(16)

ABSTRACT

Vitamin E is one of the fat-soluble vitamins. Vitamin E acts as an antioxidant and can protect the biological action of membrane damage by free radicals. A free radicals is an atom or a molecule without a pair of electrons that can damage the molecules essential

for cellular function. Giving antioxidants in the form of vitamin E is proposed to reduce the effects of free radicals in the body.

This study aims to determine the effect of vitamin E on testicular histological features, the number of Leydig cells and testicular sperm count in mice given palm wine. In this study 30 healty and fertile adult male mice (Mus musculus, L.) strain DD Webster. The 8-11 week old mice (20-35 g) were divided in to 6 treatment groups. The first group (K0) = consisted of 5 mice without treatment for 30 days. The first treatment group (P1) consisted of 5 mice that were each given palm wine (20% alcohol) orally at 0.5 ml/day for 15 days. After 15 the palm wine was repleaced with water 0,5 ml. The second treatment group (P2) consisted of 5 mice that were each given palm wine (20% alcohol) orally 0.5 ml/day for 30 days. The third treatment group (P3) consisted of 5 mice that were each given palm wine (20% alcohol) orally 0.5 ml/day for 15 days. After 15 days the palm wine was replaced with 0.25 mg of vitamin E/day administered orally. The fourth treatment group (P4) consisted of 5 mice that were each given palm wine (20% alcohol) orally 0.5 ml/day for 30 days. After 15 days in addition to the palm wine with 0.25 mg of vitamin E/day was administered orally. The fifth treatment group (P5) consisted of 5 mice that were each given palm wine (20% alcohol) 0.5 ml/day and

vitamin E 0.25 mg/day orally. The mice were placed into groups randomly. This study was approved by the USU research ethics committee. The results of this study suggest concurrent administration of vitamin E (0.25 mg/day)

reduces the negative affect of palm wine. An increased number of Leydig cells, an increased diameter of seminiferous tubules and an increased number spermatozoa were observed in treatment group P5 as compared to the other treatment groups.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Alkohol jika dikonsumsi mempunyai efek toksik pada tubuh baik secara langsung

maupun tidak langsung (Panjaitan, 2003). Penelitian yang dilakukan (Foa et al., 2006) menyebutkan bahwa etanol berpengaruh pada beberapa metabolisme organ dan jaringan

tubuh, termasuk organ reproduksi pria berupa keterlambatan pubertas, atrofi testis,

disfungsi ereksi, ginekomastia, gangguan proses spermatogenesis hingga infertilitas.

Selanjutnya konsumsi alkohol pada pria dapat menyebabkan disfungsi ereksi, infertilitas,

dan yang tak kalah pentingnya bersifat mengurangi ciri-ciri seksual sekunder pria.

Alkohol dapat merusak sel Leydig di dalam testis, dan produksi sekresi hormon

testosteron dan terjadinya feminisasi (Emanuele, 1998; Panjaitan, 2003).

Konsumsi alkohol adalah faktor yang sangat berperan penyebab kesehatan

masyarakat pemakainya tersebar luas dan meningkat di banyak negara. Pemberian

alkohol pada hewan percobaan diketahui dapat menurunkan konsentrasi hormon steroid,

menghambat ovulasi dan mengganggu transportasi sel sperma sampai ke tuba falopi.

Pemberian alkohol pada tikus dan monyet menurunkan berat ovarium dan menyebabkan

amenorhoe (Jensen et al., 1998). Rees (1993) melaporkan bahwa pemberian etanol dengan dosis 5 - 6% pada tikus menyebabkan penekanan pada kadar testosteron dalam

darah dan penyusutan testis (atrofi testis) (Emanuelle, 1998). Konsumsi alkohol dalam

waktu lama mempengaruhi disfungsi ereksi, menurunkan libido, dan ginekomastia.


(18)

merugikan fertilitas pria dan menyebabkan berkurangnya konsentrasi serum testosteron.

(Fabio et al., 2004).

Penelitian pada tikus jantan yang diberi alkohol 10% secara oral sebanyak 1 ml/hari

selama 60 hari menyebabkan penurunan proses pembentukan spermatozoa sekitar 24%

dari yang normal (Ilyas, 2004). Penelitian Nugroho (2007) menyatakan pemberian

minuman beralkohol dengan kadar 40% selama 30 hari dengan dosis 0,1 ml/hari/ekor, 0,2

ml/hari/ekor, 0,3 ml/hari/ekor dapat menyebabkan penurunan jumlah lapisan sel

spermatogenik dan penurunan berat vesikula seminalis pada mencit. Hal ini diperkuat

oleh (Foa et al., 2006) yang melaporkan bahwa penelitiannya pada tikus putih jantan dengan umur 40-60 hari (umur dewasa) sebanyak 35 ekor yang diberikan etanol peroral

dengan dosis 10%, 1g/kgBB/hr, 10%, 3g/kg/BB/hr, 30%, 1g/kgBB/hr, 30%, 3g/kgBB/hr

selama 45 hari menunjukkan bahwa etanol dapat menurunkan jumlah sel spermatosit

primer, sel spermatogonium dan sel Leydig.

Secara umum tuak dikenal oleh masyarakat di Indonesia adalah jenis minuman yang

disebut arak. Bagi masyarakat Batak Toba tuak merupakan minuman sehari-hari

(Ikegami, 1997). Tuak merupakan minuman beralkohol yang bahan dasarnya nira aren

(Arenga pinnata) mengandung alkohol dengan kadar 4% (Sunanto, 1993). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.151/A/SK/V/81 bahwa minuman atau obat tradisional

yang tergolong dalam minuman keras mengandung alkohol >1%. Pengolahan nira aren

menjadi etanol sudah umum dilakukan petani aren, antara lain di daerah Minahasa

Sulawesi Utara, dengan cara menampung nira hasil sadapan dalam tangki selama 2-3 hari

tanpa menggunakan stater atau ragi, nira hasil fermentasi kemudian disuling dengan alat


(19)

2004). Pemberian tuak dengan dosis 0,21 ml/ekor/hari/mencit jantan dengan lama

pemberian 60 hari cenderung lebih menekan jumlah anak mencit dibandingkan dengan

dosis air tuak 0,05 ml/ekor/hari/mencit jantan, 0,09 ml/ekor/hari/mencit jantan, 0,13

ml//ekor/hari/mencit jantan, 0,17 ml/ekor/hari/ mencit jantan (Ilyas, 2004).

Vitamin E merupakan antioksidan pemecah rantai utama dan terdapat pada cairan

ekstrasel. Vitamin E dapat menetralisir hidroksil, superoksida, dan radikal hidrogen

peroksida dan mencegah aglutinasi sperma (Agarwal et al., 2005). Pemberian vitamin E dosis 4,4 IU/kg tidak menimbulkan efek pada sel Sertoli dan jumlah sperma, tetapi jika

pemberian vitamin E ditingkatkan menjadi 220 IU/kg dapat menurunkan konsentrasi

prostaglandin pada prostat dan kematangan vesikel seminal gland pada babi hutan

(Guzman, 2000). Pemberian vitamin E dengan dosis 100 mg/kg/hari tidak hanya

kompensasi efek toksik pada para-nonylphenol (p-NP) dalam berat testis, jumlah sperma,

motilitas sperma, dan produksi estrogen, tetapi juga meningkatkan kelangsungan hidup

dan perkembangan sperma tikus (Momeni et al.,2009)

Berdasarkan yang sudah dipaparkan di atas terlihat akan pengaruh pemberian alkohol

terhadap penurunan jumlah sel Leydig, testis dan produksi sekresi hormon testosteron,

sedangkan vitamin E dapat menetralisir hidroksil, superoksida, dan radikal hidrogen

peroksida dan mencegah aglutinasi sperma. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh pemberian vitamin E terhadap gambaran histologis testis, jumlah sel Leydig


(20)

1.2 Perumusan Masalah

Bagaimana pengaruh pemberian vitamin E terhadap gambaran histologis testis,

jumlah sel Leydig dan jumlah sperma pada mencit yang dipapari tuak.

1.3 Kerangka Teori

Alkohol dapat merusak sel Leydig sehingga menurunkan kadar testosteron intratestikular. Testosteron berfungsi dalam proses pematangan sperma pada

spermatogenesis, selain itu alkohol dapat juga menurunkan Luteinizing Hormon (LH) dan

Follicle Stimulating Hormon (FSH) (Emanuele dan Nicholas, 1998). LH berfungsi menstimulasi sel Leydig untuk menghasilkan testosteron sedangkan FSH dapat

mempengaruhi sel Sertoli untuk membentuk androgen binding protein (ABP) yang

berfungsi untuk mengikat testosteron intratestikular yang dihasilkan sel Leydig (Foa et al., 2006) .


(21)

Tuak (alkohol 20%) secara oral

FSH LH

Fungsi Sel Sertoli

Fungsi Sel Leydig

ABP Testosteron

Jumlah sperma Histologis testis Jumlah sel Leydig

Hipofisis Hipotalamus Peroksidasi lipid radikal bebas (stres oksidatif) Vitamin E 0,25mg/hari/ekor Secara oral Hipotalamus Peroksidasi lipid Hipofisis radikal bebas (stres oksidatif) FSH

ABP Testosteron Fungsi Sel Leydig Fungsi Sel Sertoli LH Jumlah Sperma Histologis Testis Jumlah sel Leydig

Gambar 1: Kerangka Konsep Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap

Gambaran Histologis Testis, Jumlah Sel Leydig dan Jumlah Sel Spermatozoa Pada Mencit yang Dipapari Tuak.


(22)

6

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan umum

Mengetahui pengaruh pemberian vitamin E terhadap gambaran histologis testis,

jumlah sel Leydig dan jumlah sperma pada testis mencit yang dipapari tuak.

1.4.2 Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin E terhadap gambaran histologis

testis mencit yang dipapari tuak.

b. Untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin E terhadap jumlah sel Leydig pada

testis mencit yang dipapari tuak.

c. Untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin E terhadap jumlah sel sperma pada testis mencit yang dipapari tuak.

1.5 Hipotesis

Ha:a.Pemberian vitamin E mempunyai pengaruh terhadap jumlah sperma pada testis

mencit yang dipapari tuak.

b.Pemberian vitamin E mempunyai pengaruh terhadap gambaran histologis testis

mencit yang di papari tuak.

c.Pemberian vitamin E mempunyai pengaruh terhadap jumlah sel Leydig pada testis

mencit yang di papari tuak.

1.6 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat

khususnya bidang kesehatan dan dapat dijadikan referensi untuk penelitian


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Alkohol (Etanol) 2.1.1 Definisi

Alkohol terutama dalam bentuk ethyl alcohol (etanol), telah mengambil tempat penting dalam sejarah umat manusia paling sedikit selama 8000 tahun. Saat ini, alkohol

dikonsumsi secara luas. Sama seperti obat-obat sedatif-hipnotik lainnya, alkohol dalam

jumlah rendah sampai sedang bisa menghilangkan kecemasan dan membantu

menimbulkan rasa tenang atau bahkan euporia. Akan tetapi, alkohol juga dikenal sebagai

obat yang paling banyak disalahgunakan di dunia, suatu alasan yang tepat atas kerugian

besar yang mesti ditanggung masyarakat dan dunia medis (Masters, 2002). Kandungan

alkohol minuman berkisar dari 4 - 6% untuk bir, 10 - 15% untuk anggur, dan 40% dan

lebih tinggi untuk spirit hasil distilasi. Proof (kekuatan alkohol) minuman mengandung alkohol dua kali persen alkoholnya (sebagai contoh, alkohol 40% adalah 80 proof)

(Fleming et al., 2007).

Di Amerika Serikat, kira-kira 75% dari populasi dewasa mengkonsumsi minuman

beralkohol secara teratur. Mayoritas dari populasi peminum ini bisa menikmati efek

memuaskan yang diberikan alkohol tanpa menjadikannya sebagai risiko terhadap

kesehatan. Bahkan fakta terbaru menunjukkan bahwa konsumsi etanol secukupnya bisa

melindungi beberapa orang terhadap penyakit kardiovaskular. Akan tetapi, sekitar 10%

dari populasi umum di Amerika Serikat tidak mampu membatasi konsumsi etanol


(24)

yang terus meminum alkohol tanpa mempedulikan adanya konsekuensi yang merugikan

secara medis dan sosial yang berkaitan langsung dengan konsumsi alkohol mereka

tersebut akan menderita alkoholisme, suatu gangguan kompleks yang nampaknya

ditentukan oleh faktor lingkungan (Masters, 2002).

2.1.2 Farmakokinetika Etanol

Setelah pemberian oral, etanol diabsorpsi dengan cepat dari lambung dan usus halus

ke dalam aliran darah dan terdistribusi ke dalam cairan tubuh total (Fleming et al. 2007). Tingkat absorpsi paling tinggi pada saat lambung kosong. Adanya lemak di dalam

lambung menurunkan tingkat absorpsi alkohol (Chandrasoma dan Taylor, 2005). Setelah

minum alkohol dalam keadaan puasa, kadar puncak alkohol di dalam darah dicapai dalam

waktu 30 menit. Distribusinya berjalan cepat, dengan kadar obat dalam jaringan

mendekati kadar di dalam darah. Volume distribusi dari etanol mendekati volume cairan

tubuh total (0,5-0,7 L/kg) (Masters, 2002). Alkohol didistribusikan di dalam tubuh

(terutama dalam jaringan adiposa), menyebabkan efek dilusi (Chandrasoma dan Taylor,

2005).

Pada dosis oral ekuivalen dari alkohol, kaum wanita mempunyai konsentrasi

puncak lebih tinggi dibandingkan kaum pria, sebagian disebabkan karena wanita

mempunyai kandungan cairan tubuh total lebih rendah. Di dalam sistem saraf pusat,

konsentrasi etanol meningkat dengan cepat karena otak menampung sebagian besar aliran

darah dan etanol melewati membran biologi dengan cepat (Masters, 2002).

Lebih dari 90% alkohol yang digunakan dioksidasi di dalam hati, sebagian besar


(25)

urine dan udara yang dihembuskan biasanya sedikit, tetapi berjumlah konstan yang

berkorelasi dengan blood alcohol concentration (BAC). Hal ini merupakan prinsip yang mendasari penggunaan pemeriksaan urin dan nafas pada forensik di samping uji darah

(Chandrasoma dan Taylor, 2005). Orang dewasa tipikal dapat memetabolisme 7-10 g

(150-220 mmol) alkohol per jam, yang ekuivalen dengan kira-kira 10 oz bir, 3,5 oz

anggur, atau 1 oz minuman keras yang disuling dengan kadar murni 80 (Masters, 2002).

2.1.3 Pengaruh Alkohol Terhadap Sistem Endokrin dan Fungsi Seksual

Walaupun banyak orang percaya bahwa alkohol dapat meningkatkan aktivitas

seksual, tetapi efek yang sebaliknya lebih sering teramati. Banyak obat yang

disalahgunakan termasuk alkohol mempunyai efek disinhibisi yang pada awalnya dapat

meningkatkan libido. Namun, penggunaan alkohol jangka panjang dan berlebihan sering

menyebabkan penurunan fungsi seksual. Alkohol dapat menyebabkan disfungsi ereksi

pada pria setelah penggunaan akut maupun kronis. Insidensi disfungsi ereksi dapat terjadi

sampai pada 50% pasien alkoholisme kronis (Fleming et al., 2007). Van Thiel et al., (1978) mencatat bahwa disfungsi ereksi sangat sering terjadi di antara pasien dengan

kerusakan hati yang lebih parah (Emanuele, 1998).

Selain itu, banyak pecandu kronis akan mengalami atrofi testikular dan penurunan

fertilitas (Fleming et al., 2007) serta pengurangan ciri seksual sekunder pria (misalnya, pengurangan rambut wajah dan dada, pembesaran payudara, dan pergeseran posisi lemak

dari perut ke daerah pinggul) (Emanuele, 1998). Laporan klinis berupa ginekomastia dan


(26)

dalam keseimbangan hormon steroid (Masters, 2002). Hal ini terjadi pada 75% pria

dengan sirosis alkoholik lanjut (Lloyd dan Williams 1948).

Sejumlah penelitian lain juga telah menunjukkan bahwa penyalahgunaan alkohol

pada pria dapat menyebabkan gangguan produksi testosteron dan penyusutan testis

(atrofi testis) (Adler 1992). Atrofi testis terutama disebabkan hilangnya sel-sel sperma

dan penurunan diameter tubulus seminiferus (Van Thiel et al., 1974). Mekanisme yang terlibat dalam hal ini kompleks dan kemungkinan melibatkan perubahan fungsi

hipotalamus dan efek toksik alkohol langsung pada sel Leydig (Fleming et al., 2007). Produk metabolisme alkohol yaitu asetaldehida memiliki sifat toksik ke sel Leydig

daripada alkohol itu sendiri (Van Thiel et al., 1983; Santucci et al., 1983). Penelitian yang dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan efek alkohol

terhadap hipotalamus dan hipofisis dilakukan dengan mengeluarkan hipofisis anterior

tikus. Peneliti menumbuhkannya secara invitro dengan ada atau tidaknya alkohol.

Hasilnya menunjukkan alkohol menurunkan kadar LH bahkan dengan hipofisis yang

sudah terisolasi tersebut, setidaknya sebagian bertindak langsung ke hipofisis (Van Thiel

et al., 1983; Santucci et al., 1983). Hal ini selaras dengan penelitian Emanuelle (1998) yang menyebutkan bahwa atrofi testis mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu

salah satunya adalah efek alkohol pada LH dan FSH yang merangsang pertumbuhan

testis. Faktor lain yaitu karena efek alkohol yang merusak testis, serta faktor lain, seperti

malnutrisi, akibat pengobatan dengan berbagai obat, dan penyalahgunaan obat-obatan


(27)

Konsumsi alkohol juga menyebabkan penurunan aktivitas enzim yang berperan

dalam sintesis hormon kelamin jantan. Alkohol dehidrogenase yang berada pada testis,

dalam keadaan normal mampu mengubah retinol menjadi retinal. Menurut Wright

(1991), alkohol menyebabkan kegagalan sintesis retinal di dalam testis. Kegagalan

sintesis retinal ini akan menyebabkan gangguan spermatogenesis, karena retinal

merupakan senyawa yang esensial untuk berlangsungnya spermatogenesis. Pada akhirnya

hal tersebut akan menyebabkan penurunan jumlah lapisan sel spermatogenik (Nugroho,

2007). Alkohol menyebabkan kegagalan hipotalamus dan hipofisis untuk mensekresikan

Gonadotrophine Releasing Hormon (GnRH), FSH, dan LH (Wright, 1991; Rees, 1993), selanjutnya akan diikuti oleh kegagalan sel Leydig untuk mensintesis testosteron dan sel

Sertoli tidak mampu melakukan fungsinya sebagai nurse cell (Nugroho, 2007).

Selain menimbulkan gangguan pada hipotalamus dan hipofisis, alkohol juga

bertindak sebagai inhibitor bagi enzim 5 α-reduktase. Enzim ini digunakan untuk mengubah prohormon (testosteron) menjadi bentuk aktifnya yaitu 5 α-dihidrotestosteron. Tidak adanya testosteron dalam bentuk aktif menyebabkan proses spermatogenesis tidak

terjadi, yang pada akhirnya menyebabkan gangguan pada proses spermatogenesis. Hal ini

akan menyebabkan penurunan jumlah lapisan sel spermatogenik (Nugroho, 2007).

2.1.4 Nira Aren (Arenga pinnata)

Nira aren (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.) Sinonim : Arenga sacchrifera Labill

(nama lama). Familia : Arecaceae (Palmae). Boleh dikatakan semua bagian tanaman dipakai. Dari tongkol bunga jantan disadap cairan yang mengandung gula, di mana


(28)

cuka; bijinya dibuat manisan dan dimakan (kolang-kaling). Bagian yang digunakan

Tuak/legen (hasil peragian dari air bunga) dan akar.

Nama Lokal (nama daerah): Bak juk, Bak jok (Aceh); Pola, Paula, Bagot, Agaton,

Bargot (Batak); Anau, Biluluk (Minangkabau); Kawung, Taren (Sunda); Aren, Lirang,

Nanggung (Jawa); Jaka, Hano (BaIi); Meka (Sawu); Moke, Huwat (FIores); Akel, Akere,

Koito, Akol, Ketan (Sawu); Inru (Bugis); Bole (Roti); Seho (Ternate).

Komponen utama nira adalah air, karbohidrat dalam bentuk sukrosa, protein, lemak,

vitamin, dan mineral. Kerusakan nira disebabkan akibat aktivitas bakteri (Acetobacter sp) dan khamir (Saccharomyces sp) yang dapat menfermentasi sukrosa menjadi alkohol dan lebih lanjut menjadi asetat. Nira aren (Arenga pinnata Merr) diperoleh dengan cara menyadap tandan bunga. Tanaman dapat disadap setelah berumur 5-12 tahun. Dari tiap

pohon dapat disadap selama 3 tahun dan tiap tahun dapat disadap 3-4 tangkai bunga.

Dalam sehari aren menghasilkan 3-10 liter nira (Halim, 2008).

Tabel 1. Komposisi Nira dari Berbagai Tanaman Palmae (%). Jenis

Tanaman

Kadar Air Kadar

Gula Kadar Protein Kadar Lemak Kadar Abu Arenga Pinnata

88,85 10,02 0,23 0,02 0,03

Borassus flabellifer

87,66 12,04 0,36 0,02 0,21

Cocos nucifera

87,78 10,96 0,28 0,02 0,10

Nipah 86,30 12,23 0,21 0,02 0,43

Kelapa 1 87,78 10,88 0,21 0,17 0,37

Kelapa 2 88,40 10,27 0,41 0,17 0,38


(29)

2.2 Sistem Reproduksi Mencit Jantan

Sistem reproduksi mencit jantan terdiri atas testis dan kantong skrotum, epididimis dan vas deferens, kelenjar asesoris pada masa embrio yang berfungsi untuk transport

sperma, kelenjar asesoris, uretra dan penis, selain uretra dan penis, semua struktur ini

berpasangan (Rugh, 1967).

2.2.1 Testis

Setiap testis ditutupi dengan jaringan ikat fibrosa, tunika albuginea, bagian tipisnya atau septa akan memasuki organ untuk membelah menjadi lobus yang mengandung

beberapa tubulus disebut tubulus seminiferus karena di dalamnya berlangsung produksi

semua sel germinal fungsional jantan. Bagian tunika memasuki testis dan bagian arteri

testikular yang masuk disebut sebagai hilus. Arteri memberi nutrisi setiap bagian testis,

dan akan berhubungan dengan vena testikular ketika meninggalkan hilus (Rugh, 1967)

2.2.2 Fungsi Testis dan Testosteron

Secara embriogenis, testis berkembang dari gonadal ridge yang terletak di dalam rongga abdomen. Pada bulan-bulan terakhir kehidupan janin, testis perlahan mulai turun

keluar dari rongga abdomen melalui kanalis semi inguinalis masuk ke dalam skrotum.

Meskipun waktunya bervariasi proses penurunan testis biasanya selesai pada bulan ke

tujuh masa gestasi (Sherwood, 2004).

Testis melaksanakan dua fungsinya yaitu menghasilkan sperma dan mengeluarkan

testosteron. Sekitar 80% massa testis terdiri dari tubulus seminiferosa yang di dalamnya


(30)

jaringan ikat antara tubulus-tubulus seminiferosa inilah yang mengeluarkan testosteron.

(Sherwood, 2004)

Setelah disekresikan oleh testis, kurang lebih 97% dari testosteron berikatan lemah

dengan plasma albumin atau berikatan kuat dengan beta globulin yang disebut hormon

seks binding globulin dan akan bersirkulasi di dalam darah selama 30 menit sampai satu

jam. Pada saat itu testosteron ditransfer ke jaringan atau didegradasikan menjadi produk

yang tidak aktif yang kemudian dieksresikan (Sherwood, 2004)

2.2.3 Histologi

a. Tubulus seminiferus

Epitel tubulus seminiferus berada tepat di bawah membran basalis yang dikelililngi

oleh jaringan ikat fibrosa yang disebut jaringan peritubular yang mengandung serat-serat

jaringan ikat, sel-sel fibroblast dan sel otot polos yang disebut dengan sel mioid. Diduga

kontraksi sel mioid ini dapat mengubah diameter tubulus seminiferus dan membantu

pergerakan spermatozoa. Setiap tubulus ini dilapisi oleh epitel berlapis majemuk. Garis

tengahnya lebih kurang 150-250 µm dan panjangnya 30-70 cm. Panjang seluruh tubulus

satu testis mencapai 250 m. Tubulus kontortus ini membentuk jalinan yang tempat

masing-masing tubulus berakhir buntu atau dapat bercabang. Pada ujung setiap lobulus,

lumennya menyempit dan berlanjut ke dalam ruas pendek yang dikenal sebagai tubulus

rektus, atau tubulus lurus, yang menghubungkan tubulus seminiferus dengan labirin

saluran-saluran berlapis epitel yang berkesinambungan yaitu rete testis. Rete ini, terdapat

dalam jaringan ikat mediastinum yang dihubungkan dengan bagian kepala epididimis


(31)

Tubulus seminiferus terdiri sel spermatogenik dan sel Sertoli yang mengatur dan

menyokong nutrisi spermatozoa yang berkembang, hal ini tidak dijumpai pada sel tubuh

lain. Sel-sel spermatogenik membentuk sebagian terbesar dari lapisan epitel dan melalui

proliferasi yang kompleks akan menghasilkan spermatozoa (Junqueira, 2007).

b. Sel-sel germinal

Spermatogonium adalah sel spermatif (Gambar 2), yang terletak di samping lamina

basalis. Sel spermatogonium relatif kecil, bergaris tengah sekitar 12 µm dan intinya

mengandung kromatin pucat. Pada keadaan kematangan kelamin, sel ini mengalami

sederetan mitosis lalu terbentuklah sel induk atau spermatogonium tipe A, dan mereka

berdiferensiasi selama siklus mitotik yang progresif menjadi spermatogonium tipe B.

Spermatogonium tipe A adalah sel induk untuk garis keturunan spermatogenik,

sementara spermatogonium tipe B merupakan sel progenitor yang berdiferensiasi menjadi

spermatosit primer (Junqueira, 2007). Spermatosit primer adalah sel terbesar dalam garis

turunan spermatogenik ini (Gambar 2) dan ditandai adanya kromosom dalam tahap

proses penggelungan yang berbeda di dalam intinya. Spermatosit primer memiliki 46

(44+XY) kromosom dan 4N DNA (Junqueira, 2007). Spermatosit sekunder sulit diamati

dalam sediaan testis karena merupakan sel berumur pendek yang berada dalam fase


(32)

Gambar 2 : Histologis Testis

Spermatosit sekunder memilki 23 kromosom (22+X atau 22+Y) dengan

pengurangan DNA per sel (dari 4N menjadi 2N). Pembelahan spermatosit sekunder

menghasilkan spermatid. Spermatid memiliki ukuran yang kecil garis tengahnya 7-8 µm

(Gambar 2), inti dengan daerah-daerah kromatin padat dan lokasi jukstaluminal di dalam

tubulus seminiferus. Spermatid mengandung 23 kromosom. Karena tidak ada fase S

(sintesis DNA) yang terjadi antara pembelahan meiosis pertama dan kedua dari

spermatosit, maka jumlah DNA per sel dikurangi setengahnya selama pembelahan kedua

ini menghasilkan sel-sel haploid (1N) (Junqueira, 2007).

c. Sel Sertoli

Sel Sertoli adalah sel pyramid memanjang yang sebagian memeluk sel-sel dari garis

keturunan spermatogenik (Gambar 2). Dasar sel sertoli melekat pada lamina basalis,

sedangkan ujung apeksnya sering meluas ke dalam lumen tubulus seminiferus. Dengan


(33)

yang mengelilingi sel spermatogenik. Kajian dengan mikroskop elektron mengungkapkan

bahwa sel ini mengandung banyak retikulum endoplasma licin, sedikit retikulum

endoplasma kasar, sebuah kompleks Golgi yang berkembang baik, dan banyak

mitokondria dan lisosom. Inti yang memanjang yang sering berbentuk segitiga, memiliki

banyak lipatan dan sebuah anak inti yang mencolok, memiliki sedikit heterokromatin.

Fungsi utama sel Sertoli adalah untuk menunjang, melindungi dan mengatur nutrisi

spermatozoa. Selain itu, sel Sertoli juga berfungsi untuk fagositosis kelebihan sitoplasma

selama spermatogenesis, sekresi sebuah protein pengikat androgen dan inhibin, dan

produksi hormon anti-Mullerian (Junqueira, 2007).

d. Sel Leydig

Sel insterstisial Leydig merupakan sel yang memberikan gambaran mencolok untuk

jaringan tersebut. Sel-sel Leydig letaknya berkelompok memadat pada daerah segitiga

yang terbentuk oleh susunan-susunan tubulus seminiferus. Sel-sel tersebut besar dengan

sitoplasma sering bervakuol pada sajian mikroskop cahaya. Inti selnya mengandung

butir-butir kromatin kasar dan anak inti yang jelas. Umumnya pula dijumpai sel yang

memiliki dua inti. Sitoplasma sel kaya dengan benda-benda inklusi seperti titik lipid, dan

pada manusia juga mengandung kristaloid berbentuk batang. Celah di antara tubulus

seminiferus dalam testis diisi kumpulan jaringan ikat, saraf, pembuluh darah dan limfe

(Junqueira, 2007).

2.2.4 Sel Spermatogenik

Spermatogenesis terjadi di dalam semua tubulus seminiferus selama kehidupan


(34)

rata-rata pada usia 13 tahun dan berlanjut sepanjang hidup (Ganong, 2008). Adapun

tahap-tahap spermatogenesis yaitu :

a. Spermatogonia primitif berkumpul tepat di tepi membran basal dari epitel

germinativum, disebut spermatogonia tipe A, membelah empat kali untuk

membentuk 16 sel yang sedikit lebih berdiferensiasi, yaitu spermatogonia tipe B.

Spermatogenia bersandar pada bagian dalam lamina basalis tubulus seminiferus,

berukuran daimeter sekitar 12 µm.

b. Spermatosid primer merupakan sel benih yang terbesar di dalam tubulus

seminiferus dengan diameter 17-19 µm, menempati daerah bagian tengah dari

epitelium (Fiore, 1986)

c. Spermatosit sekunder terletak lebih ke arah lumen, besarnya lebih kurang setengah

dari spermatosit primer.

d. Spermatid merupakan sel-sel yang ukurannya jauh lebih kecil, dengan nukleus yang

mengandung granula kromatin halus dan besar, umumnya terletak dalam

kelompok-kelompok dekat lumen dan sel sertoli (Fiore, 1986)

e. Spermatozoa mempunyai bentuk yang ramping, ukuran panjang sekitar 55-65 µm,

kepala spermatozoa yang kecil tertanam dalam sitoplasma sel-sel Sertoli, ekornya

menjulur ke dalam lumen tubulus seminiferus (Fiore, 1986).

2.2.5 Hormon yang Merangsang Spermatogenesis


(35)

a. Testosteron, disekresi oleh sel-sel Leydig yang terletak di interstisium testis.

Hormon ini penting untuk pertumbuhan dan pembagian sel-sel germinativum dalam

membentuk sperma.

b. Hormon Lutein (LH), disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior, merangsang sel-sel

Leydig untuk menyekresi testosteron.

c. Hormon Perangsang Folikel (FSH), juga disekresi oleh sel-sel kelenjar hipofisis anterior, merangsang sel-sel Sertoli; tanpa rangsangan ini, pengubahan spermatid

menjadi sperma (proses spermiogenesis) tidak akan terjadi.

d. Estrogen, dibentuk dari testosteron oleh sel-sel Sertoli ketika sel Sertoli sedang

dirangsang oleh hormon perangsang folikel, yang mungkin juga penting untuk

spermiogenesis. Sel-sel Sertoli juga menyekresi suatu protein pengikat androgen

yang mengikat testosteron dan estrogen serta membawa keduanya ke dalam cairan

dalam lumen tubulus seminiferus, membuat kedua hormon ini tersedia untuk

pematangan sperma.

e. Hormon Pertumbuhan (seperti juga pada sebagian besar hormon yang lain) diperlukan untuk mengatur latar belakang fungsi metabolisme testis. Secara khusus

hormon tersebut meningkatkan pembelahan awal spermatogonia sendiri. Bila tidak

terdapat hormon pertumbuhan, seperti pada dwarfisme hipofisis, spermatogenesis


(36)

2.3 Vitamin E

2.3.1 Sifat Kimia Vitamin E

Vitamin E merupakan salah satu vitamin yang larut dalam lemak. Nama lain dari

vitamin E tokoferol, keaktifan vitamin E dalam beberapa senyawa tokoferol berbeda.

Dikenal ά-; -; dan δ- tokoferol menunjukkan keaktifan vitamin E yang paling tinggi. Struktur kimia tokoferol adalah sebagai berikut. Alfa –tokoferol alam memutar bidang

polarisasi ke kanan, sedangkan alfa-tokoferol buatan adalah resemik (DL). Tokoferol

lainnya (beta, gama, dan delta) kurang penting karena potensi hayatinya rendah (Sudjadi

dan Rohman, 2008)

2.3.2 Fungsi Fisiologik dan Farmakodinamik

Vitamin E berperan sebagai antioksidan dan dapat melindungi aksi kerusakan

membran biologis akibat radikal bebas. Vitamin E melindungi asam lemak tidak jenuh

pada membran fosfolipid. Radikal peroksil bereaksi 1000 kali lebih cepat dengan vitamin

E daripada asam lemak tidak jenuh, dan membentuk radikal tokoferoksil (Gunawan,

2007). Selanjutnya radikal tokoferoksil berinteraksi dengan lain antioksidan seperti

vitamin C, yang akan membentuk kembali tokoferol. Vitamin E misalnya paling penting

untuk melindungi membran sel darah merah yang kaya akan asam lemak tidak jenuh

ganda dari kerusakan akibat oksidasi.

Vitamin E juga melindungi -kroten dari oksidasi (Gunawan, 2007), fungsi utama

vitamin E adalah sebagai antioksidan yang larut dalam lemak dan mudah memberikan


(37)

adalah molekul-molekul reaktif dan dapat merusak, yang mempunyai elektron tidak

berpasangan (Almaster, 2004).

Kebutuhan sehari pada orang Indonesia diperkirakan asupan 10-30 mg vitamin E

cukup untuk mempertahankan kadar normal di dalam darah. Beberapa zat yang terdapat

pada makanan misalnya selenium, asam amino yang mengandung sulfur, koenzim Q

dapat mengantikan vitamin E, (Gunawan, 2007).

2.3.3 Efek Kimia Vitamin E

Vitamin E berfungsi sebagai antioksidan yang larut dalam lemak dan mudah

memberikan hidrogen dari gugus hidroksil (OH) pada struktur cincin ke radikal bebas.

Radikal bebas adalah molekul-molekul reaktif dan dapat merusak, yang mempunyai

elektron tidak berpasangan (Gunawan, 2007).

Pada penelitian yang dilakukan terhadap manusia yang merokok dengan tujuan

untuk menentukan efek vitamin E baik secara sendiri-sendiri maupun kombinasi terhadap

kadar lipid peroksidasi secara in vivo ditemukan bahwa pemberian vitamin E secara

sendiri-sendiri dapat mereduksi lipid peroksidasi dengan kadar yang sama. Sedangkan

pemberian vitamin C dan vitamin E dengan cara kombinasi juga memberikan efek yang

sama tidak lebih besar dari pada pemberian secara sendiri-sendiri (Huang et al. 2002). 2.3.4 Efek Vitamin E Terhadap Fungsi Reproduksi

Vitamin E merupakan antioksidan pemecah rantai utama dan terdapat pada cairan

ekstrasel. Vitamin E dapat menetralisir hidroksil, superoksid, dan radikal hidrogen


(38)

22

kualitas semen dan parameter biokimia pada kelinci jantan yang diberikan vitamin E dan

minuman suplemen atau kombinasinya dapat mengurangi produksi radikal bebas dan

dapat memperbaiki kualitas cairan semen kelinci (Yousef et al., 2003)

Vitamin E sedikit ditemui jumlahnya pada cairan semen laki-laki infertil. Vitamin

E meningkatkan jumlah sperma secara invivo pada laki-laki infertil dengan dosis antara

200-1000 mg/hari (Agarwal et al., 2005). Penelitian (Acharya et al., 2006), terhadap testis tikus yang diberi cadmium (Cd) dengan memberikan suplemen vitamin E dengan

dosis 100 mg/kg berat badan menurunkan kadar peroksidasi lipid, meningkatkan jumlah

sperma, menurunkan persentase sperma abnormal, meningkatkan aktifitas enzim


(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian akan dilakukan di Laboratorium Biokimia/Kimia Bahan Makanan

(KBM) Universitas Sumatera Utara dan Laboratorium Biologi FMIPA Universitas

Sumatera Utara Medan. Penelitian dilakukan selama 2 (dua) bulan Juni-Agustus 2010.

3.2 Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan rancanga experimental dengan desain Rancangan

Acak Lengkap (RAL). Mencit jantan (Mus musculus L.) strain DD Webster dewasa, sebanyak 30 ekor, dengan menggunakan rumus perhitungan yaitu: (t-1)(n-1) ≥ 15 (Federer, 1963). Di mana t adalah jumlah perlakuan (dalam penelitian ini ada 6 kelompok

perlakuan) dan n adalah jumlah ulangan perkelompok, maka jumlah n yang diharapkan

secara teoritis adalah 5, maka jumlah keseluruhan hewan coba yang diperlukan dalam

penelitian ini adalah 30 ekor mencit jantan yang dipilih dari hasil perbanyakan untuk

keperluan penelitian. Mencit ditempatkan ke dalam kelompok secara random.

3.3 Bahan dan Alat Penelitian 3.3.1 Bahan Penelitian

Hewan coba yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah mencit jantan (Mus musculus L.) strain DD Webster dewasa sehat dan fertil yang berumur 8-11 minggu dengan berat 20-35 g. Mencit jantan dewasa merupakan hasil pengembangan hewan yang


(40)

diperoleh dari FMIPA Biologi Universitas Sumatera Utara Medan, sebanyak 30 ekor

mencit jantan dipilih dari hasil perbanyakan untuk keperluan penelitian.

Bahan Kimia

Larutan fiksatif, bouin, parafin, vitamin E murni (merck), hematoxylin Erlich –

Eosin (H-E).

3.3.2 Alat-alat

Alat utama yang digunakan dalam penelitian antara lain : jarum oval (gavage), spuit

1 ml, bak bedah dan dissecting set, gelas arloji, cawan petri, batang pengaduk, kamar

hitung Neubauer, mikroskop cahaya, objek glass, mikrotom, oven.

3.3.3 Air tuak atau nira aren

Air tuak didapat dari daerah Pancurbatu dengan cara mengambil air nira dari pohon

aren. Ada 4 sampel air tuak yang diambil untuk menentukan kadar alkoholnya yaitu: nira

aren asli, nira ditambah raru (Rapistrum rugosum L.), tuak asli, tuak yang siap dipasarkan, masing–masing 2 liter dan air tuak belum bermalam. Kemudian dibawa ke

laboratorium Biokimia/KBM FMIPA USU untuk ditentukan kadar alkohol yang

dikandungnya. Pada penelitian ini yang digunakan adalah air tuak yang siap di pasarkan

dengan kadar alkohol 20%.

3.4 Variabel Penelitian 3.4.3 Variabel Independen

1. Tuak (alkohol 20%)


(41)

3.4.4 Variabel Dependen 1. Jumlah Sel Leydig

2. Jumlah sel sperma

3. Histologis testis

3.5 Pelaksanaan Penelitian dan Pengamatan 3.5.1 Pemeliharaan Hewan Percobaan

Mencit ditempatkan di dalam kandang yang terbuat dari bahan plastik

(ukuran 30x20x10 cm) yang ditutup dengan kawat kasa. Dasar kandang dilapisi dengan

sekam padi setebal 0,5-1 cm dan diganti setiap tiga hari. Cahaya ruangan dikontrol persis

12 jam terang (pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00) dan 12 jam gelap (pukul 18.00

sampai dengan pukul 06.00). Pakan (pelet komersial) dan minuman air leiding /aquadest

disuplai setiap hari.

3.5.2 Etika Penggunaan

Pengunaan dan penanganan hewan di laboratorium penelitian dilakukan dengan

aturan etika penelitian hewan. Penelitian hewan yang diatur dalam Deklarasi Helsinki

untuk memperoleh ”ethical clearance” dari komite etika dan komite ilmiah penelitian FMIPA Biologi Universitas Sumatera Utara Medan.

3.5.3 Pemberian Perlakuan

Penelitian ini terdiri atas 6 kelompok perlakuan yaitu:

1 Kelompok 1 (K0) = kelompok kontrol pertama terdiri dari 5 ekor mencit dewasa


(42)

2. Kelompok 2 (P1) = Kelompok perlakuan pertama terdiri dari 5 ekor mencit dewasa

jantan yang diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml/hari/ekor secara oral setiap hari

selama 15 hari pertama dan 15 hari berikutnya pemberian tuak dihentikan dan

diganti dengan pemberian aquadest 0,5 ml.

3. Kelompok 3 (P2) = Kelompok perlakuan kedua terdiri 5 ekor mencit dewasa yang

diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml/hari/ekor secara oral selama 30 hari.

4. Kelompok 4 (P3) = Kelompok perlakuan ketiga terdiri 5 ekor mencit dewasa yang

diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml /hari/ekor selama 15 hari pertama dan 15 hari

berikutnya pemberian tuak dihentikan diganti dengan pemberian vitamin E 0,25

mg/hari/ekor/mencit secara oral.

5. Kelompok 5 (P4) = Kelompok perlakuan keempat terdiri 5 ekor mencit dewasa

yang diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml/hari/ekor selama 15 hari pertama dan 15 hari

berikutnya pemberian tuak dengan pemberian vitamin E 0,25 mg/ekor/hari secara

oral.

6. Kelompok 6 (P5) = Kelompok perlakuan kelima terdiri dari 5 ekor mencit dewasa

yang diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml/hari/ekor dan pemberian vitamin E 0,25 mg/

ekor/hari selama 30 hari secara oral. Mencit ditempatkan ke dalam kelompok


(43)

Tabel 2: Desain Perlakuan

K0

P1

P2

P3

P4

P5

Tanpa perlakuan

Vitamin E 0,25mg Tuak (alkohol 20%) 0,5ml

Tuak (alkohol 20%) 0,5ml

Tuak (alkohol 20%) 0,5ml Tuak (alkohol 20%) 0,5 ml Aquadest 0,5 ml

Tanpa perlakuan

Tuak (alkohol 20%) 0,5ml

Tuak (alkohol 20%) 0,5 ml + Vitamin E 0,25 mg

Tuak (alkohol 20%) 0,5 ml + Vitamin E 0,25mg

Tuak (alkohol 20%) 0,5 ml + Vitamin E 0,25 mg

0 15 30 (hari)

3.5.4 Prosedur Pemeriksaan dan Pengamatan

Setelah perlakuan selama 30 hari, masing-masing hewan percobaan dikorbankan

dengan cara dislokasi leher, selanjutnya dibedah dan isolasi testis. Kemudian dilakukan

pengamatan sebagai berikut:

3.5.4.1 Pengamatan Pada Jumlah Sel Leydig

Jumlah sel Leydig dihitung pada semua lapangan pandang adanya bentuk tubulus

seminiferus bulat, kecuali pada sediaan yang tubulus seminiferusnya terpotong lebih dari

setengah. Tiap mencit dihitung jumlah sel Leydignya pada tiga (3) preparat yang


(44)

3.5.4.2 Pembuatan sediaan histologis testis

Pembuatan sediaan histologis menurut Suntoro, (1983) dengan metode parafin

adalah: fiksasi, dehidrasi, penjernihan, infiltrasi parafin, penanaman, penempelan,

pemotongan, penempelan, deparafinasi, pewarnaan, penutupan serta pemberian label.

Organ testis yangtelah dicuci dengan larutan NaCl 0,95% kemudian di masukkan

ke dalam larutan fiksatif Bouin selama 2 jam. Setelah proses fiksasi dilakukan proses

dehidrasi secara bertahap dengan alkohol 30%, 50%, 60%, 70%, 80%, 90%, 96%, hingga

alkohol absolut 100%, masing-masing selama 60 menit. Dilanjutkan dengan penjernihan

segera setelah proses dehidrasi dengan menggunakan xylol murni dengan perbandingan

1:3, 1:1, 3:1, masing-masing 60 menit lamanya, kemudian dimasukkan ke dalam xylol

murni kurang lebih selama 4 jam. Proses infiltarsi parafin dilakukan di dalam oven

dengan suhu 580C. Organ testis dimasukkan kedalam campuran xylol- parafin dengan perbandingan 1:3, 1:1, 3:1, selama 60 menit, kemudian dimasukkan ke dalam parafin

murni selama kurang lebih 10 jam. Kemudian dimasukkan ke dalam kotak kertas kecil

sebagai cetakan yang telah berisi parafin cair, dan dibiarkan sampai parafin mengeras

dan memadat. Blok parafin testis yang telah mengeras ditempelkan pada holder kayu

sampai melekat erat, kemudian dipasangkan pada mikrotom. Pengirisan dilakukan

dengan ketebalan 6 µm. Pada gelas benda diolesi dengan larutan albumin mayer dan

ditetesi dengan aquadest. Kemudian beberapa pita parafin diletakkan di permukaan

aquadest pada gelas benda dan dibiarkan beberapa saat, kemudian gelas benda


(45)

Pewarnaan dengan Hematoxylin Erlich - Eosin (H-E) dengan cara preparat

dideparafinasi dalam xylol sampai bebas parafin, kemudian dimasukkan kedalam alkohol

absolut, 96%, 80%, 70%, Hematoxylin, air mengalir masing-masing selama 2 menit

kemudian dimasukkan ke dalam alkohol 30%, 50%, Kemudian ke dalam larutan Eosin

selama 1 menit, lalu ke dalam alkohol 70%, 80%, 96%, alkohol absolut, selanjutnya

dimasukkan ke dalam xylol. Preparat ditutup dengan gelas penutup setelah ditetesi

dengan canada balsem terlebih dahulu, lalu diberi label.

3.5.4.3 Pengamatan Jumlah Sperma

Pengamatan jumlah sperma dilakukan menurut Soehadi dan Arsad (1983). Setelah

30 hari perlakuan, masing-masing hewan percobaan dikorbankan dengan cara dislokasi

leher dan selanjutnya dibedah. Kemudian organ testis beserta epididimis sebelah kanan

dan kiri diambil dan diletakkan ke dalam cawan petri yang berisi NaCl 0,9%. Suspensi

sperma yang telah diperoleh terlebih dahulu dihomogenkan . Selanjutnya diambil

sebanyak 10µl, sampel dimasukkan ke dalam kotak-kotak hemositometer Improved

Neubauer serta ditutup dengan kaca penutup. Dilihat di bawah mikroskop cahaya dengan

pembesaran 400 kali, hemositometer diletakkan dan dihitung jumlah sperma pada

kotak/bidang A, B, C, D dan E. Hasil perhitungan jumlah sperma kemudian dimasukkan

ke dalam rumus penentuan jumlah sperma/mL suspensi sekresi cauda epididimis sebagai


(46)

Jumlah sperma = N/2 x 105 spermatozoa/ml suspensi N : jumlah sperma yang dihitung dalam kotak

Gambar 3 : Kamar Hitung Improved Neubauer (Zanevald et al., 1986)

3.6 Analisis Data dan Pengujian Hipotesis

Semua data dipresentasikan dalam bentuk rata-rata ± simpangan baku ( ± SD).

Dilakukan uji normalitas dan homogenitas, dari hasil penelitian didapatkan data dengan

distribusi normal dan variansi datanya tidak homogen, sehingga dilakukan uji Kruskal

Wallis. Bila terdapat perbedaan maka dilakukan uji lanjut Mann Witney untuk melihat

perbedaan masing–masing kelompok perlakuan yang ada.


(47)

31

3.7 Jadwal Penelitian

Keseluruhan kegiatan penelitian dari persiapan sampai pada penulisan hasil

adalah lebih kurang 7 minggu. Urutan kegiatan jadwal pelaksanaan secara lengkap dapat

dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3: Jadwal Penelitian

MINGGU KE

NO KEGIATAN 1 2 3 4 5 6 7

1 Persiapan V

2 Pelaksanaan V V V V

3 Analisa Data V

4 Penulisan Hasil V


(48)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian dan kumpulan data yang telah dilakukan selama

penelitian, maka dapat dibuat beberapa gambar grafik histogram dengan parameter hasil

pengukuran sebagai berikut:

4.1.1 Jumlah sel Leydig

Hasil pengukuran data jumlah sel Leydig tiap-tiap mencit jantan (Mus musculus

L.) strain DD Webster ditunjukkan pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Rata-rata Hasil Analisis Jumlah Sel Leydig Mencit (Mus musculus L.)

Kelompok N Jumlah sel Leydig ( ± SD)

K 5 15,17±4,74

P1 5 14,39±1,97

P2 5 6,17±2,79

P3 5 19,28±5,59

P4 5 18,06±3,04

P5 5 21,50±2,92

x

Hasil analisis distribusi data dan homogenitas data didapatkan semua data jumlah sel

Leydig distribusinya normal dan variansi datanya tidak homogen. Hasil ini tidak

memenuhi asumsi untuk dapat dilakukan uji Anova satu arah. Setelah dilakukan

transformasi, distribusi data dan homogenitas data diuji lagi, tetapi masih tetap variansi

data tidak homogen. Maka dilakukan uji Kruskal Wallis dengan hasilnya bahwa ada

perbedaan masing-masing perlakuan dalam penelitian. (p<0,05). Oleh sebab itu

diperlukan uji lanjut Mann Whitney untuk melihat perbedaan masing-masing kelompok


(49)

Rata-rata hasil analisis data jumlah sel Leydig mencit jantan ditampilkan pada Gambar 4

ab

b

a

c

c

d

Gambar 4. Grafik Histogram Jumlah Sel Leydig Mencit (Mus musculus L.) setelah diberikan perlakuan tuak dan vitamin E. Keterangan; Grafik histogram pada perlakuan berbeda yang diikuti oleh huruf kecil yang sama, berbeda tidak nyata pada taraf uji 5%. K= Kontrol, P1= 15 hari Tuak & 15 hari Aquades,P2= 30 hari Tuak, P3= 15 hari Tuak & 15-30 hari Vit.E, P4= 30 hari Tuak & 15-30- hari Vit.E, dan P5= 30 hari Tuak & 30 hari Vit.E. ┬ = standar deviasi (SD).

4.1.2 Gambaran Sel Leydig dalam testis

Jumlah sel Leydig pada masing-masing kelompok perlakuan menunjukkan

berbeda nyata pada taraf uji 5% yaitu terdapat pada kelompok perlakuan (P2), sedangkan

pada kelompok perlakuan yang lain yaitu K, P1, P3, P4 dan P5 menunjukkan berbeda

tidak nyata pada taraf uji 5%. Gambaran sel Leydig hasil potongan jaringan testis mencit


(50)

Gambar 5. Gambaran Jumlah Sel Leydig Mencit (Mus musculus L.) setelah diberikan perlakuan tuak dan vitamin E. Keterangan; K= Kontrol, P1= 15 hari Tuak & 15 hari Aquades,P2= 30 hari Tuak, P3= 15 hari Tuak & 15-30 hari Vit.E, P4= 30 hari Tuak & 15-30- hari Vit.E, dan P5= 30 hari Tuak & 30 hari Vit.E. ▬ = 40 μm.

4.1.3 Diameter tubulus seminiferus

Berdasarkan hasil pengukuran data diameter tubulus seminiferus tiap-tiap mencit

jantan (Mus musculus L.) strain DD Webster ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5. Diameter Tubulus Seminiferus Testis Mencit (Mus musculus L.)

Kelompok N Diameter tubulus seminiferus ( ± SD) (µm)

K 5 234,44±38,65

P1 5 129,40±5,43

P2 5 112,48±17,40

P3 5 134,02±7,98

P4 5 162,36±46,66

P5 5 171,18±11,32


(51)

Rata-rata hasil analisis data diameter tubulus seminiferus mencit ditampilkan pada

Gambar 6. Hasil analisis distribusi data dan homogenitas data didapatkan semua data

diameter tubulus seminiferus distribusinya normal dan variansi datanya tidak homogen.

Hasil ini tidak memenuhi asumsi untuk dapat dilakukan uji Anova satu arah. Setelah

dilakukan transformasi, distribusi data dan homogenitas data diuji lagi, tetapi masih tetap

variansi data tidak homogen. Maka dilakukan uji Kruskal Wallis dengan hasilnya bahwa

ada perbedaan masing-masing perlakuan dalam penelitian. (p<0,05). Oleh sebab itu

diperlukan uji lanjut Mann Whitney untuk melihat perbedaan masing-masing kelompok

perlakuan yang ada. Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah bawah ini.

bc

c

b

b

b

a

Gambar 6. Grafik Histogram Diameter Tubulus Seminiferus Testis Mencit (Mus musculus L.) setelah diberikan perlakuan tuak dan vitamin E. Keterangan; Grafik histogram pada perlakuan berbeda yang diikuti oleh huruf kecil yang sama, berbeda tidak nyata pada taraf uji 5%. K= Kontrol, P1= 15 hari Tuak & 15 hari Aquades, P2= 30 hari Tuak, P3= 15 hari Tuak & 15-30 hari Vit.E, P4= 30 hari Tuak & 15-30- hari Vit.E, dan P5= 30 hari Tuak & 30 hari Vit.E. ┬ = standar deviasi (SD).

4.1.4 Gambaran Diameter tubulus seminiferus

Pada Gambar 7 dapat dilihat gambaran diameter tubulus seminiferus berbeda

nyata pada kelompok K dengan kelompok perlakuan P1-P3 tidak berbeda nyata pada

kelompok perlakuan P4-P5 pada taraf uji 5% masing-masing perlakuan setelah


(52)

Gambar 7. Berbagai Ukuran Diameter Tubulus Seminiferus Testis Mencit (Mus musculus

L.) (μm). setelah diberikan perlakuan tuak dan vitamin E. Keterangan; K= Kontrol, P1= 15 hari Tuak & 15 hari Aquades,P2= 30 hari Tuak, P3= 15 hari Tuak & 15-30 hari Vit.E, P4= 30 hari Tuak & 15-30- hari Vit.E, dan P5= 30 hari Tuak & 30 hari Vit.E. ▬ = 40

μm.

4.1.5 Jumlah spermatozoa mencit (Mus musculus L.)

Hasil pengukuran data jumlah spermatozoa setiap mencit ditampilkan pada

lampiran 3. Hasil perhitungan analisis dari rata-rata jumlah spermatozoa mencit untuk

semua kelompok perlakuan dan kontrol disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Jumlah Spermatozoa (x106) Mencit (Mus musculus L.)

Kelompok N Jumlah spermatozoa ( ± SD) (juta/mL)

K 5 69,27±24,40

P1 5 2,87±3,90

P2 5 2,97±6,63

P3 5 4,20±5,35

P4 5 3,00±5,69

P5 5 19,30±17,20


(53)

Dari hasil tersebut dapat dibuat grafik histogram seperti yang tertera pada Gambar 8.

Pada pengujian distribusi dan homogenitas data, ternyata data tidak normal dan/atau

homogen, sehingga harus dilakukan transformasi data. Data hasil uji transformasi diuji

kembali distribusi dan homogenitas datanya, tetapi tetap saja datanya tidak normal

dan/atau tidak homogen. Maka data tersebut dianalisis dengan analisis non-parametrik

Kruskal-Wallis. Hasilnya, perbedaan jumlah spermatozoa mencit pada kelompok yang

berbeda adalah berbeda nyata (p<0,05) sehingga dilakukan uji lanjut Mann-Whitney.

a

b

b

b

b

b

Gambar 8. Grafik Histogram Jumlah Spermatozoa (jt/mL) Mencit (Mus musculus L.) setelah diberikan perlakuan tuak dan vitamin E. Keterangan; Grafik histogram pada perlakuan berbeda yang diikuti oleh huruf kecil yang sama, berbeda tidak nyata pada taraf uji 5%. K= Kontrol, P1= 15 hari Tuak & 15 hari Aquades, P2= 30 hari Tuak, P3= 15 hari Tuak & 15-30 hari Vit.E, P4= 30 hari Tuak & 15-30- hari Vit.E, dan P5= 30 hari Tuak & 30 hari Vit.E. ┬ = standar deviasi (SD).

Rerata jumlah spermatozoa paling tinggi pada kelompok kontrol (K) dan kemudian menurun pada kelompok perlakuan (P1- P4) berbeda tidak nyata dengan P5.

4.2. Pembahasan 4.2.1 Jumlah sel Leydig

Pada Gambar 4 di atas, menunjukkan adanya pengaruh (p<0,05) pemberian tuak

pada mencit selama 15 dan 30 hari, baik yang diberikan secara tunggal atau diikuti


(54)

sel Leydig yang paling tinggi didapatkan pada P5 (21,50±2,92), tidak berbeda nyata

dengan P3 (19,28±5,59), tetapi berbeda nyata dengan K (15,17±4,74), P1 (14,39±1,97),

P2 (6,17±2,79), dan P4 (18,06±3,04). Hal ini kemungkinan karena adanya pengaruh

vitamin E yang menghambat efek oksidan (radikal bebas) dari tuak sekaligus

mempertahankan kelangsungan hidup sel Leydig pada testis mencit penelitian. Seperti

yang dinyatakan Mather et al., (1983) bahwa, vitamin E dapat memperpanjang kelangsungan hidup dan fungsi sel Leydig dalam kultur sel Leydig. Kemudian Chen et al., (2005) menambahkan, bahwa secara keseluruhan, hasil in vitro dan in vivo yang dilaporkan konsisten dengan kesimpulan bahwa vitamin E memberikan suatu efek

perlindungan pada steroidogenesis (proses pembentukan steroid) sel Leydig.

Jumlah sel Leydig terendah didapatkan pada P2 (6,17±2,79), yang berbeda nyata

dengan K (15,17±4,74), P1 (14,39±1,97), P3 (19,28±5,59), P4 (18,06±3,04), dan P5

(21,50±2,92). Kemungkinan hal ini disebabkan oleh efek radikal bebas alkohol yang

merupakan kandungan dari tuak yang diberikan ke mencit. Radikal bebas dapat merusak

membran sel melalui peroksidasi lipid yang ada di membran sel. Telah diketahui bahwa

membran sel terdiri dari lipid bilayer yang merupakan struktur pembangun sel. Peningkatan peroksidasi lipid di membran dapat mengakibatkan terjadinya gangguan

transport ion-ion esensial dari dan dalam sel, sehingga pada akhirnya dapat menimbulkan

kematian pada sel. Van et al., (1983) menyatakan bahwa, etanol atau alkohol merupakan faktor lingkungan yang dapat menjadi toksin terhadap sel Leydig.

4.2.2 Diameter Tubulus Seminiferus

Pada Gambar 6 di atas, menunjukkan adanya pengaruh (p<0,05) pemberian tuak


(55)

dengan pemberian vitamin E terhadap diameter tubulus seminiferus mencit jantan

dewasa. Diameter tubulus seminiferus yang paling besar didapatkan pada K

(234,44±38,65 μm), berbeda nyata dengan P1 (129,40±5,43 μm), P2 (112,48±17,40 μm), P3 (134,02±7,98 μm), dan P4 (162,36±46,66 μm), K (234,44±38,65 μm) dan P5 (171,18±11,32 μm). Hal ini kemungkinan karena tidak adanya pengaruh tuak yang diberikan. Sehingga spermatogenesis di dalam tubulus seminiferus berjalan secara normal

tanpa pengaruh negatif dari tuak. Jumlah spermatozoa yang terbentuk di dalam tubulus

seminiferus menimbulkan dorongan akan bertambahnya diameter tubulus seminiferus

testis mencit.

Diameter tubulus seminiferus yang paling kecil didapatkan pada P2

(112,48±17,40 μm), tidak berbeda nyata dengan P1 (129,40±5,43), P3 (134,02±7,98), dan P4 (162,36±46,66), tetapi berbeda nyata dengan K (234,44±38,65) dan P5

(171,18±11,32). Kemungkinan hal ini disebabkan oleh pengaruh negatif dari radikal

bebas alkohol yang ada dalam tuak. Radikal bebas menyebabkan banyaknya spermatozoa

yang mati. Sehingga terbentuk lumen yang membesar sehingga mendorong pengecilan

diameter tubulus seminiferus. Hasil penelitian Sakr et al., (2009) mendapatkan adanya degenerasi sel spermatogenik yang menyebabkan hilangnya kumpulan sperma sehingga

terjadi penurunan yang nyata pada diameter tubulus seminiferus dan tebal epitel

germinal.

4.2.3 Jumlah spermatozoa mencit (Mus musculus L.)

Adanya pengaruh (p<0,05) pemberian tuak baik sendiri atau bersama dengan

vitamin E pada mencit selama 15 dan 30 hari dapat terlihat pada Gambar 8 di atas.


(56)

berbeda nyata dengan P1, (2,87±3,9 juta/mL), P2 (2,97±6,63 juta/mL), P3 (4,20±5,35

juta/mL), P4 (3,00±5,69 juta/mL), dan P5 (19,30±17,2 juta/mL). Hal ini kemungkinan

karena tidak adanya pengaruh tuak atau alkohol pada mencit jantan, sehingga

spermatogenesis berkembang secara normal melalui regulasi poros hipotalamus, hipofisis

dan testis. Hipotalamus melepas Gonadotropin Hormone Releasing Hormone (GnHRH) dan menstimulasi hipofisis untuk melepaskan hormon gonadotropin Luteinizing Hormone

(LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH). LH menginduksi sel Leydig untuk menghasilkan testosteron, sedangkan FSH menginduksi sel Sertoli untuk menghasilkan

Androgen Binding Protein (ABP) yang berguna untuk mengikat testosteron intratestikular yang diperlukan untuk spermatogenesis (proses pembentukan

spermatozoa). Bremner et al., (1981) telah didemonstrasikan bahwa LH terikat secara khusus pada sel Leydig, dimana dia menstimulasi akumulasi siklik Adenosin Mono Phospat (AMP) dan mengkonversi kolesterol menjadi pregnenolon, kemudian akhirnya meningkatkan kandungan testosteron yang merupakan produk steroid mayor di testis.

Kemudian Dym et al., (1979) menyatakan bahwa, FSH mengikat sel Sertoli dan spermatogonia dalam tubulus seminiferus. Pengikatan FSH terhadap sel Sertoli diikuti

oleh akumulasi siklik AMP, aktivasi protein kinase, dan produksi Androgen Binding Protein (ABP). Bowen (1998), hormon hipotalamus disebut sebagai hormon pelepas (releasing hormone) dan hormon penghambat (inhibiting hormone), yang refleksinya terlihat pada pengaruhnya terhadap hormon hipofisis anterior. Selain itu kemungkinan

karena adanya pengaruh vitamin E sebagai antioksidan bekerja dengan cara mencegah


(57)

41

mengendalikan radikal bebas, hal ini tentunya dapat melindungi sperma dari kerusakan

akibat stress oksidatif (Agarwal et al, 2005).

Jumlah spermatozoa yang paling rendah didapatkan pada P1 (2,87±3,9 juta/mL),

tidak berbeda nyata dengan P2 (2,97±6,63 juta/mL), P3 (4,20±5,35 juta/mL), P4

(3,00±5,69 juta/mL), dan P5 (19,30±17,2 juta/mL tetapi berbeda nyata dengan

K (69,27±24,4 juta/mL). Hal ini kemungkinan karena kandungan alkohol pada tuak yang

diberikan pada mencit menyebabkan kegagalan hipotalamus dan hipofisis untuk

mensekresikan GnRH dan FSH, (Wright, 1991; Rees, 2005) sehingga dapat menurunkan

kadar LH pada testis, menyebabkan sel Leydig mengurangi produksi testosterone

intratestikularnya. Akibatnya spermatogenesis tertekan dan akhirnya mengurangi hasil

spermatozoa (Foa et al., 2006). Seperti pernyataan Maneesh et al., (2005) bahwa, penyalahgunaan alkohol dapat merusak fungsi reproduksi seperti menyebabkan kelainan

kesuburan antara lain jumlah sperma rendah dan gangguan motilitas sperma. Menurut

Canteros et al., (1995) alkohol menekan reproduksi mencit dengan cara mengahambat LH. Prinsip aksi alkohol tersebut melalui penekanan pelepasan LHRH, baik in vivo dan


(58)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian tentang pemberian vitamin E 0,25

mg/hari pada mencit yang dipapari tuak, dapat disimpulkan beberapa hal seperti yang

tercantum di bawah ini:

a. Vitamin E 0,25 mg/hari/mencit sejalan dengan pemaparan tuak selama 30 hari dapat

melindungi sel Leydig dari radikal bebas pada mencit.

b. Vitamin E 0,25 mg/hari/mencit sejalan dengan pemaparan tuak selama 30 hari dapat

melindungi diameter tubulus seminiferus dari radikal bebas pada mencit.

c. Vitamin E 0,25 mg/hari/mencit sejalan dengan pemaparan tuak selama 30 hari dapat

melindungi sperma dari kerusakan akibat stress oksidatif pada mencit.

5.2 Saran

Untuk dapat lebih menjelaskan hal-hal lain yang mendukung dan guna aplikasi

lanjut nantinya, maka disarankan;

a. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh vitamin E pada mencit yang

dipapari tuak terhadap kandungan hormon mencit misalnya FSH, LH, ataupun

testosteron.

b. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut akibat tuak dan khasiat vitamin E pada organ


(59)

43 DAFTAR PUSTAKA

Acharya, U; Mishra, M; Tripathy, R. dan Mishra, I. 2006. Testicular dysfunction and antioxidative defense system of Swiss mice after chromic acid exposure. Reprod Toxicol, 22: 87-91.

Adler, R.A. 1992. Clinically important effectsof alcohol on endocrine function. Journal of Clinical Endrocrinology and Metabolism, 74: 957-960.

Agarwal, A; Prabakaran, A; Said, T.M. 2005. Prevention of oxidative stress injury to sperm, Journal of Andrology, 26: 654-600.

Agarwal, A; Prabakaran, A; Said, T.M. 2005. Oxidative stress and antioxidants in male infertility a difficult balance, Iranian Journal of Reproductive Medicine, 3(1): 1-8. Almaster, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal:

173-179.

Bowen, R. 1998. Overview of Hypothalamic and Pituitary Hormones.

http://www.vivo.colostate.edu/hbooks/pathphys/endocrine/hypopit/overview.html. diakses tanggal 18 Desember 2010.

Bremner, Wj; Alvin M; Matsumoto; Allen M. Sussman, and C. Alvin Paulsen. 1981. Follicle-stimulating Hormone and Human Spermatogenesis, The Journal of Clinical Investigation, 68: 1044-1052.

Canteros, G; Valeria, R; Ana, F; Ana, G; Elisa, C; Alicia, F; Martha, G; And Samuel, M. M. 1995. Ethanol Inhibits Luteinizing Hormone-Releasing Hormone (LHRH) Secretion By Blocking The Response Of Lhrh Neuronal Terminals To Nitric Oxid.

Proc. Natl. Acad. Sci, 92: 3416-3420.

Chandrasoma, P dan Taylor, C. R. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi, EGC. Jakarta.

Chen, H; June, La; Lindi, L; Mirza, U. Baig; Jong-Min Kim and Barry R. Zirkin. 2005. Vitamin E, aging and Leydig cell steroidogenesis, 40: 728-736.

Dym, M; H.G. Madhwa Raj; Y.C. Lin; H.E. Chemes; N.J. Kotite; S.N. Nayfeh, and F.S. French. 1979. Is FSH required for maintenance of spermatogenesis in adult rats. J. Reprod. Fert. Suppl. 26: 175-181.

Emanuele, M.A and Emanuele, N.V. 1998. Alcohol’s Effects on Male Reproduction,


(60)

Fabio, P.F; Lucon, A.M; Sobreiro, B.P; Pasqualotto, E.B; Arap, S. 2004. Effects of medical therapy, alcohol, smoking, and endrocine disruptors on male infertility.

Rev.Hosp. Clin.Fac. Med. S. Paulo, 59(6): 375-382.

Federer, W.Y. 1963. Experimental design, theory and application, New York, Mac. Millan, p. 544.

`Fiore, M.S.H. 1986. Atlas of Human Histology. Edisi V, EGC. Jakarta. Hal: 208-209. Fleming, M; S.J. Mihic dan R.A. Harris. 2007. Etanol Dasar Farmakologi Terapi, EGC.

Jakarta.

Foa, A; Ibo, O; Ilambra; Ngadji, C. 2006. Pengaruh pemberian etanol peroral terhadap gambaran histologik sel - sel spermatogenik dan sel Leydig pada testis tikus putih, Airlangga University.

Ganong, W.F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 22. EGC. Jakarta. Hal: 441-449.

Gunawan, S.G. 2007. Farmakologi dan Terapi, Edisi 5. FKUI. Jakarta. Hal: 786-787. Guzman-Marin, J; D.C. Mahan and J.L. Pate. 2000. Effect of dietary selenium and

vitamin E on spermatogenic development in boars. Journal of Animal Science, 78: 1537-1543.

Halim, A; Eka, A. 2008. Pembuatan bioethanol dari nira siwalan secara fermentasi fese cair menggunakan fermipan, Jurusan Teknik Kimia, Fak. Teknik, Universitas Diponegoro.

Huang, H; Appel, L.J; Crot, K.D; Miller, E.R; Mori, T.A. and Puddley, I.B. 2002. Effects of vitamin C and E on in vivo lipid peroxidation: results of randomized controlled trial. Am J Clin Nutr, 76: 549-555.

Ikegami, S. 1997. Tuak in the Batak sosiety: a preliminary report on the socio-cultur aspect of palm wine consumption. Annual Report of the University of Shizuoka, Hamamatsu College, 11-3.

Ilyas, S. 2004. The effect tuak water to histogical of several genitals aspects and non genitals aspects of male mouse (Mus musculus L. strain ddw) and then condition of their fertility after be copulated, Fakultas Metematika dan Ilmu Pengetahuan Alam- Sumatera Utara Medan.

Jensen, T.K; Hjollund, H.I; Henriksen, T.B; Scheike, T; Kolstad, H; Glwercman, A; Ernst, E; Bonde, J.P; Skakkebaek, N.E; Olsen, J. 1998. Does moderate alcohol consumption affect fertility? Follow up study among couples planning first pregnancy. BMJ, 317: 505-510.


(1)

Lampiran 2. Analisis Jumlah Sel Leydig

Tabel 1. Rata-rata hasil analisis Jumlah Sel Leydig Mencit (Mus musculus L.)

Ulangan (testis) K P1 P2 P3 P4 P5

15 12 13 14 15 27

18 14 9 15 19 18

13 17 10 34 20 15

20 14 6 11 18 22

10 16 7 17 15 23

14 15 5 18 19 24

12 17 4 23 22 22

22 11 6 24 11 23

Kiri

12 13 8 23 20 25

25 14 4 23 14 18

21 15 7 13 20 21

19 16 4 12 21 20

18 18 3 23 15 25

10 13 3 20 21 21

11 15 3 21 16 22

10 14 6 22 18 20

11 14 9 18 21 19

Kanan

12 11 4 16 20 22

Rata-rata 15,17 14,39 6,17 19,28 18,06 21,50


(2)

Lanjutan lampiran 2

Tests of Normality

.192 18 .077 .897 18 .050

.144 18 .200* .962 18 .640

.170 18 .181 .914 18 .099

.144 18 .200* .929 18 .188

.183 18 .112 .908 18 .079

.124 18 .200* .981 18 .961

Kelompok K P1 P2 P3 P4 P5 Sel_Leydig

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true significance. *.

Lilliefors Significance Correction a.

Test of Homogeneity of Variance

5.533 5 102 .000

4.326 5 102 .001

4.326 5 73.386 .002

5.285 5 102 .000

Based on Mean Based on Median Based on Median and with adjusted df

Based on trimmed mean Sel_Leydig

Levene

Statistic df1 df2 Sig.

Kruskal-Wallis Test

Ranks

18 48.56

18 43.75

18 10.47

18 71.08

18 66.47

18 86.67

108 Kelompok

K P1 P2 P3 P4 P5 Total Sel_Leydig


(3)

Lampiran 3. Diameter Tubulus Seminiferus

Tabel 2. Diameter Tubulus Seminiferus testis mencit (Mus musculus L.) setelah yang diberikan tuak dan vitamin E selama 30 hari.

Ulangan K P1 P2 P3 P4 P5

1 180,50 124,20 135,00 140,00 230,00 190,00

2 222,50 127,00 125,00 125,00 172,40 162,00

3 270,00 125,30 110,10 135,10 124,50 168,20

4 274,10 135,40 98,10 143,20 112,40 163,20

5 225,10 135,10 94,20 126,80 172,50 172,50

±SD 234,44±38,65129,40±5,43112,48±17,40134,02±7,98162,36±46,66171,18±11,32 Tests of Normality

.221 5 .200* .908 5 .457

.271 5 .200* .815 5 .106

.217 5 .200* .917 5 .511

.217 5 .200* .917 5 .511

.214 5 .200* .925 5 .562

.254 5 .200* .848 5 .189

Kelompok K P1 P2 P3 P4 P5 Diameter_TS

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true significance. *.

Lilliefors Significance Correction a.

x

Test of Homogeneity of Variance

5.235 5 24 .002

2.991 5 24 .031

2.991 5 8.819 .074

5.441 5 24 .002

Based on Mean Based on Median Based on Median and with adjusted df Based on trimmed mean Diameter_TS

Levene

Statistic df1 df2 Sig.

NPar Tests Kruskal-Wallis Test Ranks 5 27.20 5 8.20 5 10.80 5 10.80 5 15.10 5 20.90 30 Kelompok K P1 P2 P3 P4 P5 Total Diameter_TS

N Mean Rank

Test Statisticsa,b

17.046 5 .004 Chi-Square df Asymp. Sig. Diameter_TS

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: Kelompok b.


(4)

Lampiran 4. Analisis Jumlah Spermatozoa

Tabel 3. Jumlah Spermatozoa (x106) mencit (Mus musculus L.) setelah yang diberikan tuak selama 30 hari.

Ulangan K P1 P2 P3 P4 P5

1 30.67 0.00 14.83 4.50 0.83 20.17

2 62.50 0.33 0.00 0.00 0.67 26.67

3 90.00 8.17 0.00 0.33 0.33 0.67

4 89.33 0.00 0.00 3.00 0.00 5.50

5 73.83 5.83 0.00 13.17 13.17 43.50

x

±SD 69.27±24.4 2.87±3.9 2.97±6.63 4.20±5.35 3.00±5.69 19.30±17.2

Tests of Normality

.198 5 .200* .882 5 .320

.344 5 .053 .782 5 .057

.473 5 .001 .552 5 .000

.278 5 .200* .831 5 .142

.448 5 .001 .607 5 .001

.189 5 .200* .957 5 .786

Kelompok Kontrol Perlakuan1 Perlakuan2 Perlakuan3 Perlakuan4 Perlakuan5 Jumlah_sperma

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true significance. *.

Lilliefors Significance Correction a.

Test of Homogeneity of Variance

3.753 5 24 .012

2.735 5 24 .043

2.735 5 10.572 .079

3.593 5 24 .014

Based on Mean Based on Median Based on Median and with adjusted df

Based on trimmed mean Jumlah_sperma

Levene

Statistic df1 df2 Sig.

Kruskal-Wallis Test

Test Statisticsa,b

17.549 5 .004 Chi-Square df Asymp. Sig. Jumlah_ sperma

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: Kelompok b.


(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Testis Mencit (Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

0 46 78

Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Hepar Mencit (Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

3 83 66

Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Ginjal Mencit(Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

6 49 63

Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Perubahan Bobot Dan Gambaran Mikroskopis Tubulus Proksimal Ginjal Mencit (Mus musculus, L.) Jantan Dewasa Yang Dipapari Tuak (Alkohol)

1 39 89

Pengaruh Vitamin E Terhadap Fragilitas Osmotik Eritrosit Pada Mencit (Mus Musculus L.) Jantan Dewasa Yang Dipapari Tuak

11 77 87

Pengaruh Pemberian Vitamin C Terhadap Gambaran Histologis Hati Mencit (Mus- Musculus L) Yang Dipapari Monosodium Glutamate

2 55 69

Pengaruh Pemberian Vitamin C Terhadap Jumlah Sel Leydig Dan Jumlah Sperma Mencit Jantan Dewasa ( Mus musculus, L. ) Yang Dipapari Monosodium Glutamate (MSG)

0 62 54

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C DAN E TERHADAP GAMBARAN HISTOLOGIS HEPAR MENCIT (Mus musculus L.) YANG DIPAJANKAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG)

0 0 6

Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Hepar Mencit (Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

0 0 15

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C DAN E TERHADAP GAMBARAN HISTOLOGIS TESTIS MENCIT (Mus musculus L.) YANG DIPAJANKAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG) SKRIPSI UMMI KALSUM 080805052

0 0 11