Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Kadar Hormon Estrogen dan Gambaran Histopatologi Tulang Alveolar Mencit (Mus musculus L.) yang Melakukan Latihan Fisik Maksimal

(1)

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E

TERHADAP KADAR HORMON ESTROGEN DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI TULANG ALVEOLAR MENCIT (Mus musculus L.)

YANG MELAKUKAN LATIHAN FISIK MAKSIMAL

TESIS

Oleh

KESUMA WARDANI 087008010/BM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E

TERHADAP KADAR HORMON ESTROGEN DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI TULANG ALVEOLAR MENCIT (Mus musculus L.)

YANG MELAKUKAN LATIHAN FISIK MAKSIMAL

TESIS

Diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh Gelar Magister Biomedik pada Program Studi Magister Ilmu Biomedik

di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

KESUMA WARDANI 087008010/BM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E TERHADAP KADAR HORMON ESTROGEN DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI TULANG ALVEOLAR MENCIT (Mus musculus L.) YANG MELAKUKAN LATIHAN FISIK MAKSIMAL

Nama Mahasiswa : KESUMA WARDANI Nomor Pokok : 087008010

Program Studi : BIOMEDIK

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Em. dr. Yasmeini Yazir) (Prof. Dr. drs. Syafruddin Ilyas, M.Biomed) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Biomedik, Dekan

(dr. Yahwardiah Siregar, PhD) (Prof. dr. Gontar A.Siregar, SpPD, KGEH) NIP.19540220 198011 1 001


(4)

Tanggal lulus : 15 Juli 2011 Telah diuji pada tanggal : 15 Juli 2011

Panitia Penguji Tesis

Ketua : Prof. Em. dr. Yasmeini Yazir

Anggota : 1. Prof. Dr. drs. Syafruddin Ilyas, M.Biomed 2. Prof.dr.Gusbakti Rusip, M.Sc, PKK, AIFM 3. drg.Pitu Wulandari, S.Psi, Sp.Perio


(5)

ABSTRAK

Radikal bebas merupakan suatu atom atau molekul yang tidak mempunyai pasangan elektron dan dapat merusak molekul-molekul penting bagi fungsi seluler. Pada kondisi stress oksidatif, radikal bebas akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid membran sel dan merusak organisasi membran sel. Pemberian asupan antioksidan berupa vitamin E diusulkan dapat menurunkan efek radikal bebas dalam tubuh.

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada pengaruh pemberian vitamin E terhadap kadar estrogen dan terhadap stuktur tulang alveolar mencit akibat radikal bebas. Pada mencit (Mus musculus L.) betina dibagi dalam 6 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 5 ekor, P0= tidak diberi perlakuan (kelompok kontrol); P1= latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari; P2= vitamin E selama 30 hari; P3= latihan fisik maksimal selama 15 hari, selanjutnya 15 hari lagi vitamin E; P4= vitamin E selama 15 hari, selanjutnya 15 hari lagi latihan fisik maksimal; P5= latihan fisik maksimal dan vitamin E selama 30 hari. Pada akhir perlakuan sesuai dengan kelompok, maka dilakukan pemeriksaan terhadap kadar estrogen dan terhadap stuktur tulang alveolar mencit.

Hasil penelitian ini menunjukkan vitamin E berpengaruh terhadap kadar hormon estrogen mencit (Mus musculus L.) betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal secara nyata (p<0,05). Vitamin E berpengaruh terhadap stuktur tulang alveolar mencit (Mus musculus L.) betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal secara nyata (p<0,05). Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan penambahan dosis vitamin E dan lamapemberian.

Kata Kunci: Estrogen, Vitamin E, Radikal Bebas, Latihan Fisik Maksimal, Mencit.


(6)

ABSTRACT

Free radicals are an atom or molecule that has no pairs of electrons and can damage the molecules essential for cellular function. In conditions of oxidative stress, free radicals will cause lipid peroxidation of cell membranes and damage the cell membrane organization. Giving intake of antioxidants in the form of vitamin E is proposed to reduce the effects of free radicals in the body.

The aim of this study was to see whether there are effects of vitamin E on the level of estrogen and of the alveolar bone structure of mice caused by free radicals. In mice (Mus musculus L.) females were divided into 6 groups, each group consisted of 5 repetition: P0 = given no treatment (control group); P1 = maximal physical exercise every day for 30 days; P2 = vitamin E for 30 days; P3 = maximum physical exercise for 15 days, then 15 days more vitamin E, P4 = vitamin E for 15 days, then 15 days again maximal physical exercise; P5 = maximal physical exercise and vitamin E for 30 days. At the end of treatment according to the group, then by checking on the level of estrogen and of the alveolar bone structure of mice.

The results of this study shows vitamin E levels of the hormone estrogen effect on mice (Mus musculus L.) adult females who perform maximal physical exercise significantly (p<0.05). Vitamin E effect on alveolar bone structure of mice (Mus musculus L.) adult females who perform maximal physical exercise significantly (p<0.05). For further research needs to be additional doses of vitamin E and long delivery.

Keywords: Estrogen, Alveolar bone structure, Vitamin E, Maximum physical exercise, Mice


(7)

KATA PENGANTAR

Bismillaahir rohmaanir rohiim

Dengan rahmat dan hidayah Allah Subhanahu Wa Ta’ala penulis akhirnya dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul,” Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Kadar Hormon Estrogen dan Gambaran Histopatologi Tulang Alveolar Mencit (Mus musculus L.) yang Melakukan Latihan Fisik Maksimal”.

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Biomedik di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), dan seluruh jajarannya atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Ilmu Biomedik di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A.Siregar, Sp.PD, KGEH dan Ketua Program Studi Biomedik, dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Ilmu Biomedik di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Rasa terima kasih penulis yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang mulia Prof. Em. dr. Yasmeini Yazir (sebagai ketua komisi pembimbing) dan Prof. Dr. drs. Syafruddin Ilyas, M.Biomed (anggota komisi pembimbing), yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah mengorbankan


(8)

waktu untuk memberikan dorongan, bimbingan, semangat, bantuan serta saran-saran yang bermanfaat kepada penulis mulai dari persiapan penelitian sampai pada penyelesaian tesis ini.

Kepada yang terhormat komisi pembanding Prof. dr. Gusbakti Rusip, M.Sc, PKK, dan drg. Pitu Wulandari, S.Psi, Sp.Perio atas perhatian dan saran yang bermanfaat kepada penulis dalam menguji dan menyempurnakan tesis ini. Demikian juga ucapan terima kasih penulis kepada seluruh Staf Pengajar yang telah membimbing penulis selama mengikuti program studi ini.

Kepada yang terhormat Prof. drg. Haslinda Z.Tamin, M.Kes., Sp.Pros (K) dan drg. Lisna Unita Rasyid, M.Kes, yang telah merekomendasikan penulis untuk melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Sumatera Utara Medan.

Kepada Dekan FK-UISU, beserta jajarannya yang telah memberikan dana penelitian kepada penulis untuk kelangsungan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Biomedik di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Penulis tak lupa menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada yang mulia Ayahanda (alm). drs. H.Sabaruddin Ahmad dan Ibunda (almh) Hj. Mariana Sulun tercinta yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh kasih sayang, walaupun telah tiada namun rasa sayang dan cinta kasih yang Ayahanda dan Ibunda curahkan, memberi semangat serta dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan program studi ini. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menempatkan Ayahanda dan Ibunda di tempat yang sebaik-baiknya, dan yang sebagus-bagusnya, Amin yarabbil ‘aalamiin.


(9)

Tak kurang pula ucapan terima kasih penulis atas bantuan dan do’a abang, kakak, adik, seluruh keluarga yang penulis cintai, dan teman sejawat serta adik-adik yang budiman dalam menyelesaikan tesis ini.

Akhirul kalam sebagai hamba-Nya yang dhaif, penulis mengucapkan syukur

Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang telah mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Kesuma Wardani.

2. Tempat /Tanggal Lahir : Medan/23 Desember 1968.

3. Agama : Islam.

4. Alamat : Jl. Rahmadsyah no.179/107 Medan. 5. Telepon/ Hp : 061-7363431 / 088261687996. 6. Pendidikan

SD : SD Swasta Al’Ulum Medan Tamat : 1980. SMP : SMP Swasta Al’Ulum Medan Tamat : 1983. SMA : SMA Negeri 6 Medan Tamat : 1986. Strata-1 : FKG USU Medan Tamat : 1995. Profesi : FKG USU Medan Tamat : 1995. Strata-2 : Program Studi Magister Ilmu Biomedik

Fakultas Kedokteran USU Medan Tamat : 2011. 7. Pekerjaan

1996-1999 : Dokter PTT di Rumah Sakit Haji Mina Medan.

2000-2002 : Dokter PTT di Puskesmas Gunung Meriah Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara.

2003-2004 : Dokter PTT di Rumah Sakit Haji Mina Medan.

2008-sekarang : Staf Pengajar Bagian Ilmu Kedokteran Gigi dan Mulut di Fakultas Kedokteran UISU Medan.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang……….... 1

1.2.Perumusan Masalah……….………… 3

1.3.Kerangka Teori………..……….. 3

1.4.Tujuan Penelitian... 4

1.5.Hipotesis... 5

1.6.Manfaat Penelitian... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Latihan Fisik... 6

2.1.1. Defenisi... 6

2.1.2. Respon fisiologis terhadap latihan fisik... 6

2.1.3. Intensitas latihan fisik... 7


(12)

2.1.5. Frekuensi sesi latihan fisik... 9

2.1.6. Durasi program latihan fisik... 9

2.1.7. Produksi radikal bebas akibat latihan fisik... 9

2.2. Radikal Bebas... 10

2.2.1. Kimia radikal bebas... 10

2.2.2. Kerusakan sel akibat reaksi radikal bebas... 11

2.3. Vitamin E... 13

2.3.1. Kimiawi dan Metabolisme Vitamin E... 13

2.3.2. Fungsi Vitamin E... 14

2.4. Estrogen... 16

2.4.1. Kimiawi Estrogen... 16

2.4.2. Peranan Estrogen dalam Pertumbuhan Tulang... 17

2.4.3. Menopause... 17

2.5. Tulang... 18

2.6. Tulang Alveolar... 18

2.7. Osteoporosis... 20

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian... 22

3.2. Variabel Penelitian... 22

3.2.1. Variabel independent... 22

3.2.2. Variabel dependent... 22

3.3. Defenisi Operasional... 22

3.4. Bahan dan Alat Penelitian ... 23


(13)

3.4.2. Peralatan utama penelitian... 25

3.5. Desain Penelitian... 26

3.6. Pelaksanaan Penelitian... 27

3.6.1. Pemeliharan hewan percobaan... 27

3.6.2. Pemberian latihan fisik maksimal... 27

3.6.3. Pemberian vitamin E... 28

3.6.4. Pengamatan ... 28

a. Pengamatan kadar estrogen... 28

b. Pengamatan gambaran histolopatologi tulang alveolar mandibula... 29

3.7. Analisis Data dan Pengujian Hipotesis………..……….. 32

3.8. Jadwal Penelitian ………... 33

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian... 34

4.1.1. Kadar estrogen (estradiol)………. 34

4.1.2. Gambaran histopatologi tulang alveolar (jarak dari Cementum Enamel Junction/CEJ ke Alveolar Crest/AC).. 36

4.2. Pembahasan ... 38

4.2.1. Kadar Estrogen (Estradiol) darah mencit betina dewasa.. 38

4.2.2. Jarak CEJ ke AC mencit betina dewasa... 39

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 42

5.2. Saran ... 42


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 1. Jadwal Penelitian…... 33 2. Data Kadar Estrogen pada berbagai perlakuan penelitian (pg/mL) 47 3. Data Jarak CEJ ke AC pada berbagai perlakuan penelitian (μm) 56


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Kerangka teori…... 4

2. RRR-α-Tokoferol……….… 13

3. Alur biosintetis estrogen……….…. 17

4. Bagian rahang manusia dengan gigi di dalamnya…….…. 20

5. Kadar estrogen dalam darah (pg/mL)... 35

6. Jarak dari cementum enamel junction ke alveolar crest (puncak alveolar) (μm)……… 37

7. Gambar jarak dari cementum enamel junction (CEJ) ke alveolar crest /AC (puncak alveolar) (μm)………. 37


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman 1. Output analisis data kadar estrogen (pg/mL)

menggunakan software SPSS 18……….…… 47 2. Output analisis data Jarak CEJ ke AC (μm)

menggunakan software SPSS 18………... 56 3. Pengamatan tulang alveolar di laboratorium Biomedik USU. 59


(17)

ABSTRAK

Radikal bebas merupakan suatu atom atau molekul yang tidak mempunyai pasangan elektron dan dapat merusak molekul-molekul penting bagi fungsi seluler. Pada kondisi stress oksidatif, radikal bebas akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid membran sel dan merusak organisasi membran sel. Pemberian asupan antioksidan berupa vitamin E diusulkan dapat menurunkan efek radikal bebas dalam tubuh.

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada pengaruh pemberian vitamin E terhadap kadar estrogen dan terhadap stuktur tulang alveolar mencit akibat radikal bebas. Pada mencit (Mus musculus L.) betina dibagi dalam 6 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 5 ekor, P0= tidak diberi perlakuan (kelompok kontrol); P1= latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari; P2= vitamin E selama 30 hari; P3= latihan fisik maksimal selama 15 hari, selanjutnya 15 hari lagi vitamin E; P4= vitamin E selama 15 hari, selanjutnya 15 hari lagi latihan fisik maksimal; P5= latihan fisik maksimal dan vitamin E selama 30 hari. Pada akhir perlakuan sesuai dengan kelompok, maka dilakukan pemeriksaan terhadap kadar estrogen dan terhadap stuktur tulang alveolar mencit.

Hasil penelitian ini menunjukkan vitamin E berpengaruh terhadap kadar hormon estrogen mencit (Mus musculus L.) betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal secara nyata (p<0,05). Vitamin E berpengaruh terhadap stuktur tulang alveolar mencit (Mus musculus L.) betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal secara nyata (p<0,05). Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan penambahan dosis vitamin E dan lamapemberian.

Kata Kunci: Estrogen, Vitamin E, Radikal Bebas, Latihan Fisik Maksimal, Mencit.


(18)

ABSTRACT

Free radicals are an atom or molecule that has no pairs of electrons and can damage the molecules essential for cellular function. In conditions of oxidative stress, free radicals will cause lipid peroxidation of cell membranes and damage the cell membrane organization. Giving intake of antioxidants in the form of vitamin E is proposed to reduce the effects of free radicals in the body.

The aim of this study was to see whether there are effects of vitamin E on the level of estrogen and of the alveolar bone structure of mice caused by free radicals. In mice (Mus musculus L.) females were divided into 6 groups, each group consisted of 5 repetition: P0 = given no treatment (control group); P1 = maximal physical exercise every day for 30 days; P2 = vitamin E for 30 days; P3 = maximum physical exercise for 15 days, then 15 days more vitamin E, P4 = vitamin E for 15 days, then 15 days again maximal physical exercise; P5 = maximal physical exercise and vitamin E for 30 days. At the end of treatment according to the group, then by checking on the level of estrogen and of the alveolar bone structure of mice.

The results of this study shows vitamin E levels of the hormone estrogen effect on mice (Mus musculus L.) adult females who perform maximal physical exercise significantly (p<0.05). Vitamin E effect on alveolar bone structure of mice (Mus musculus L.) adult females who perform maximal physical exercise significantly (p<0.05). For further research needs to be additional doses of vitamin E and long delivery.

Keywords: Estrogen, Alveolar bone structure, Vitamin E, Maximum physical exercise, Mice


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.

Latihan fisik yang secara teratur memberikan banyak manfaat bagi kesehatan termasuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, dan penyakit diabetes. Sedangkan latihan fisik maksimal dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif pada tikus (Senturk et al., 2001) dan manusia (Sonneborn and Barbee, 1998, Pedersen and Hoffman-Goetz, 2000, Senturk et al., 2005) sehingga terjadi kerusakan membran sel (Singh, 1992). Latihan fisik maksimal juga dapat mengurangi kadar estrogen, yang akhirnya mengakibatkan osteoporosis (Power SK and Howley ET, 2007)

Pada keadaan stres oksidatif, radikal bebas akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid membran sel dan merusak organisasi membran sel. Membran sel ini sangat penting bagi fungsi reseptor dan fungsi enzim, karena terjadinya peroksidasi lipid membran sel oleh radikal bebas, dapat mengakibatkan hilangnya fungsi seluler secara total (Evans, 2000, Singh, 1992). Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan (Clarkson and Thompson, 2000, Slater, 1984), dan stres oksidatif adalah suatu keadaan produksi radikal bebas melebihi antioksidan sistem pertahanan seluler ( Evans, 2000, Halliwell dan Whiteman, 2004).

Peningkatan radikal bebas (ROS) menyebabkan rusaknya sel-sel pembentuk estrogen melalui peroksidasi lipid pada membran selnya. Sehingga estrogen yang


(20)

dihasilkannya juga menjadi berkurang. Menurut Kierszenbaum (2007), estrogen dibentuk di sel-sel granulosa folikel dan sel lutein korpus luteum ovarium. Sehingga rusaknya sel pembentuk estrogen menyebabkan kadar estrogen menjadi sangat rendah. Kekurangan estrogen ini akan menyebabkan meningkatnya aktivitas osteoklastik pada tulang, berkurangnya matriks tulang, dan berkurangnya deposit kalsium dan fosfat tulang. Pada beberapa wanita, efek ini sangat hebat sehingga menyebabkan osteoporosis (Guyton, A.C., Hall, J.E., 2007).

Di dalam sel terdapat berbagai antioksidan non-ezimatik dan enzimatik yang berfungsi sebagai sistem pertahanan bagi organel-organel sel dari efek reaksi radikal bebas. Kandungan antioksidan ini bisa bersumber dari diet berupa vitamin dan mineral antioksidan. Vitamin E merupakan salah satu vitamin antioksidan yang utama. Selain dari diet, senyawa antioksidan juga diproduksi secara endogen oleh tubuh seperti glutation(Evans, 2000, Clarkson and Thompson, 2000). Belum sepenuhnya diketahui apakah antioksidan natural tubuh yang berperan sebagai sistem pertahanan dapat mengatasi peningkatan radikal bebas pada saat exercise atau apakah diperlukan suplemen tambahan (Clarkson and Thompson, 2000). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latihan fisik maksimal dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Oleh karena antioksidan berupa vitamin E diharapkan dapat mengurangi aktivitas radikal bebas, maka akan dilakukan penelitian tentang pengaruh pemberian vitamin E terhadap kadar hormon estrogen dan stuktur tulang alveolar mencit betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal.


(21)

1.2. Perumusan Masalah

Bagaimana pengaruh pemberian vitamin E terhadap kadar hormon estrogen dan stuktur tulang alveolar mencit betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal.

1.3. Kerangka Teori

Latihan fisik maksimal dapat menyebabkan timbulnya radikal bebas yang lebih besar daripada sistem antioksidan tubuh sehingga terjadi stres oksidatif. Stres oksidatif akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid dan penurunan kadar estrogen, yang akan mengakibatkan penurunan struktur tulang alveolar. Vitamin E sebagai antioksidan akan dapat mencegah terjadinya stress oksidatif sehingga hal di atas tidak terjadi, seperti skema kerangka teori pada Gambar 1 di bawah ini:


(22)

Latihan fisik maksimal Latihan fisik maksimal

Radikal bebas  (Stress oksidatif)

Radikal bebas (Stress oksidatif)

Peroksidasi lipid 

Kadar estrogen

Kerusakan struktur tulang alveolar

Peroksidasi lipid

Kadar estrogen

Kerusakan struktur tulang alveolar

Vitamin E secara oral

Gambar 1. Kerangka teori

1.4. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui bagaimana pengaruh pemberian vitamin E terhadap kadar hormon estrogen dan stuktur tulang alveolar mencit betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal.


(23)

1.5. Hipotesis

a. Vitamin E mempunyai pengaruh terhadap kadar hormon estrogen mencit betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal.

b. Vitamin E mempunyai pengaruh terhadap stuktur tulang alveolar mencit betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal.

1.6. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi ilmiah bagi ilmu olahraga tentang manfaat pemberian vitamin E pada atlit perempuan menopause yang melakukan latihan fisik maksimal dalam rangka meningkatkan prestasinya. Bagi ilmu kedokteran, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu acuan untuk menjaga status kesehatan dan mencegah atau mengurangi efek negatif pengaruh latihan fisik maksimal terhadap osteoporosis.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Latihan Fisik 2.1.1. Definisi

Menurut Caspersen,C.J. (1985) istilah " latihan fisik" telah digunakan secara bergantian dengan "aktivitas fisik" dan pada kenyataannya memiliki sejumlah elemen umum. Sebagai contoh, aktivitas fisik dan latihan fisik keduanya melibatkan gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang mengeluarkan energi, yang diukur oleh kilokalori secara terus-menerus mulai dari rendah ke tinggi, dan berkorelasi positif dengan kebugaran fisik seperti intensitas, durasi, dan frekuensi gerakan meningkat. Latihan fisik, bagaimanapun tidak identik dengan aktivitas fisik, karena latihan fisik subkategori dari aktivitas fisik. Latihan fisik adalah aktivitas fisik yang direncanakan, terstruktur, berulang, dan bermanfaat dalam arti untuk perbaikan atau pemeliharaan dari satu atau lebih komponen kebugaran fisik pada seseorang.

2.1.2. Respon fisiologis terhadap latihan fisik

Atlit yang melakukan latihan fisik pada tingkat yang lebih tinggi akan mencapai suatu titik transport oksigen menuju otot tidak lagi meningkat dan seluruh konsumsi oksigen tubuh maksimal (VO2max) tidak bisa lagi meningkat. Setelah masa tersebut akan terjadi kelelahan (Casaburi, 1992).


(25)

Latihan fisik aerobik dapat meningkatkan VO2max. Peningkatan VO2max ini disebabkan oleh bertambahnya kandungan O2 di dalam arteri dan vena, serta meningkatnya cardiac output maksimal. Meningkatnya VO2max akan meningkatkan toleransi terhadap latihan fisik. Hal ini berhubungan dengan fakta bahwa dengan meningkatkan kapasitas aerobik akan menurunkan terjadinya matebolisme anaerob (ambang batas anaerob menjadi lebih tinggi). Sisa metabolisme anaerob berupa asam laktat, mempunyai efek yang tidak menguntungkan bagi tubuh. Kebutuhan oksigen meningkat sejalan dengan peningkatan level kerja, sehingga produksi CO2 akan meningkat. Peningkatan produksi CO2 ini terjadi karena proses buffer oleh natrium bikarbonat terhadap asam laktat dan menghasilkan CO2. Ventilasi akan terangsang untuk membersihkan kelebihan CO2 dan asidosis metabolik secara langsung merangsang badan karotis (Casaburi, 1992).

Apabila melakukan latihan fisik maksimal secara teratur, maka produksi asam laktat menjadi lebih sedikit pada saat melakukan latihan fisik maksimal. Selain itu, respon fisiologis tubuh juga mengalami perubahan saat melakukan latihan fisik maksimal, perubahan tersebut antara lain komsumsi oksigen dan produksi CO2 menjadi lebih sedikit, ventilasi secara dramatis menurun. Walaupun ventilasi menurun, PCO2 dan pH arteri tetap normal (Casaburi, 1992).

2.1.3. Intensitas latihan fisik

Intensitas latihan fisik memiliki dua prinsip utama. Pertama, intensitas latihan fisik mempunyai ambang batas, artinya latihan fisik tidak akan mempunyai efek


(26)

latihan lagi walaupun frekuensi dan durasi latihan fisik itu ditingkatkan. Kedua, bila intensitas latihan fisik dilakukan melebihi ambang batas, jumlah total kerja per sesi merupakan determinan yang penting bagi respon latihan fisik. Artinya, latihan fisik intensitas tinggi dalam waktu singkat sama efektifnya dengan latihan fisik intensitas sedang dalam waktu yang lebih lama (Casaburi, 1992).

Terdapat tiga variabel fisiologis yang dapat digunakan untuk menentukan intensitas latihan fisik, yaitu frekuensi denyut jantung, konsumsi oksigen, dan level laktat darah. Menggunakan frekuensi denyut jantung untuk mengukur intensitas latihan fisik merupakan hal yang mudah dilakukan. Akan tetapi, karena frekuensi denyut jantung mempunyai hubungan yang jauh terhadap kondisi otot yang melakukan latihan, maka teori dasar yang menggunakan frekuensi denyut jantung untuk menentukan intensitas latihan fisik dianggap masih lemah. Hal yang paling banyak dipakai untuk menentukan intensitas latihan fisik adalah konsumsi oksigen tubuh maksimal (VO2max). Penggunaan level laktat untuk menentukan intensitas latihan fisik dianjurkan juga oleh beberapa peneliti (Casaburi, 1992).

2.1.4. Durasi sesi latihan fisik

Hasil latihan fisik intensitas sedang selama 30–60 menit lebih efektif dibandingkan dengan selama 10–15 menit. Latihan fisik intensitas tinggi dapat menyebabkan injuri otot, sehingga tidak dianjurkan untuk melakukan latihan fisik intensitas tinggi jangka waktu singkat. Durasi latihan fisik yang dianjurkan paling


(27)

sedikit selama 20 menit, dan akan lebih efektif bila dilakukan selama 30–60 menit (Casaburi, 1992).

2.1.5. Frekuensi sesi latihan fisik

Ada konsensus yang menganjurkan latihan fisik dilakukan dengan frekuensi 3–5 kali seminggu. Walaupun frekuensi 2 kali seminggu dapat meningkatkan kebugaran aerobik, tapi keuntungan yang diperoleh lebih sedikit. Hanya sedikit bukti yang menunjukkan bahwa latihan fisik 5–7 kali seminggu memberikan keuntungan bagi kebugaran, dan latihan fisik setiap hari jarang bisa dilakukan (Casaburi, 1992).

2.1.6. Durasi program latihan fisik

Durasi program latihan fisik dapat dilakukan selama 3–4 minggu, karena setelah waktu tersebut tidak akan ada lagi peningkatan VO2max, atau penurunan frekuensi denyut jantung, asam laktat, dan epinefrin. Akan tetapi kebanyakan peneliti menganjurkan program latihan fisik pada rentang 5–10 minggu, karena pada rentang waktu tersebut sudah tercapi efek latihan fisik yang substansial secara fisiologis. Meningkatkan VO2max dapat dicapai dengan cara meningkatkan intensitas latihan fisik (Casaburi, 1992).

2.1.7. Produksi radikal bebas akibat latihan fisik

Radikal bebas dapat terbentuk selama dan setelah latihan oleh otot yang berkontraksi serta jaringan yang mengalami iskemik-reperfusi (Chevion et al.,


(28)

2003). Pembentukan radikal bebas terutama dihasilkan oleh otot rangka yang berkontraksi (Jackson, 2005). Selama melakukan latihan fisik maksimal, konsumsi oksigen tubuh meningkat dengan cepat. Penggunaan oksigen oleh otot selama latihan fisik maksimal dapat meningkat sekitar 100–200 kali dibandingkan saat istirahat (Chevion et al., 2003). Saat fosforilasi oksidatif di dalam mitokondria, oksigen direduksi oleh sistem transport elektron mitokondria untuk membentuk adenosin trifosfat (ATP) dan air. Selama proses fosforilasi oksidatif ini sekitar 2% molekul oksigen dapat berikatan dengan elektron tunggal yang bocor dari karier elektron pada rantai pernafasan, sehingga membentuk radikal superoksida (O2.). Radikal superoksida yang terbentuk ini akan membentuk hidrogen peroksida (H2O2) dan hiroksil reaktif (OH.) dengan cara berinteraksi dengan logam transisi reaktif seperti tembaga dan besi (Singh, 1992). Secara lengkap proses reduksi oksigen diperlihatkan pada persamaan berikut ini (Clarkson dan Thompson, 2000):

O2 + e-  O2-. superoxide radical

O2-. + H2O  H2O. + OH- hydroperoxyl radical

H2O. + e- + H  H2O2 hydrogen peroxyde

H2O2 + e-  .OH + OH- hydroxyl radical.

4.1. Radikal Bebas

2.2.1. Kimia radikal bebas

Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya dan dapat berdiri sendiri (Clarkson and


(29)

Thompson, 2000, Slater, 1984). Kebanyakan radikal bebas bereaksi secara cepat dengan atom lain untuk mengisi orbital yang tidak berpasangan, sehingga radikal bebas normalnya berdiri sendiri hanya dalam periode waktu yang singkat sebelum menyatu dengan atom lain. Simbol untuk radikal bebas adalah sebuah titik (R·), yang berada di dekat simbol atom. Radikal bebas mempunyai peran dalam fungsi normal dan abnormal tubuh. Radikal bebas yang penting secara biologis antara lain anion superoksida (O2·-), radikal hidroksil (OH·), dan nitric oxide (NO·) (Vander et al., 2001). Bentuk radikal bebas yang lain adalah hydroperoxyl (HO2·), peroxyl (RO2·), alkoxyl (RO·), carbonate (CO3·-), carbon dioxide (CO2·-), atomic chlorine (Cl·), nitrogen dioxide (NO2·) (Halliwell and Whiteman, 2004). Radikal bebas bisa bermuatan negatif, bermuatan positif, dan juga bermuatan netral (Slater, 1984, Vander et al., 2001).

2.2.2. Kerusakan sel akibat reaksi radikal bebas

Penelitian yang ekstensif dengan menggunakan sitem model dan dengan material biologis in vitro, secara jelas menunjukkan bahwa radikal bebas dapat menimbulkan perubahan kimia dan kerusakan terhadap protein, lemak, karbohidrat, dan nukleotida. Bila radikal bebas diproduksi in vivo, atau in vitro di dalam sel melebihi mekanisme pertahanan normal, maka akan terjadi berbagai gangguan metabolik dan seluler. Jika posisi radikal bebas yang terbentuk dekat dengan DNA, maka bisa menyebabkan perubahan struktur DNA sehingga bisa terjadi mutasi atau sitotoksisitas. Radikal bebas juga bisa bereaksi dengan nukleotida sehingga menyebabkan perubahan yang signifikan pada komponen


(30)

biologi sel. Bila radikal bebas merusak grup thiol maka akan terjadi perubahan aktivitas enzim. Radikal bebas dapat merusak sel dengan cara merusak membran sel tersebut. Kerusakan pada membran sel ini dapat terjadi dengan cara: (a) radikal bebas berikatan secara kovalen dengan enzim dan/atau reseptor yang berada di membran sel, sehingga merubah aktivitas komponen-komponen yang terdapat pada membran sel tersebut; (b) radikal bebas berikatan secara kovalen dengan komponen membran sel, sehingga merubah struktur membran dan mengakibatkan perubahan fungsi membran dan/atau mengubah karakter membran menjadi seperti antigen; (c) radikal bebas mengganggu sistem transport membran sel melalui ikatan kovalen, mengoksidasi kelompok thiol, atau dengan merubah asam lemak polyaunsaturated; (d) radikal bebas menginisiasi peroksidasi lipid secara langsung terhadap asam lemak polyaunsaturated dinding sel. Peroksidasi ini akan mempengaruhi fluiditas membran, cross-linking membran, serta struktur dan fungsi membran (Slater, 1984).

Tubuh mempunyai sistem pertahanan terhadap radikal bebas agar radikal bebas tidak menyebabkan efek yang merusak. Sistem pertahan ini antara lain enzim superoxide dismutase yang terdapat di mitokondria dan sitosol, enzim

catalase, dan enzim glutahtion peroxidase (Jackson, 2005, Singh, 1992). Sebagai tambahan bagi sistem pertahanan yang berbentuk enzim, sel juga dapat meningkatkan produksi stress proteins atau disebut juga heat shock proteins

(HSPs) untuk melindungi sel dari stres oksidatif dan bentuk stres yang lain (Khassaf et al., 2003). Selain itu terdapat juga sistem pertahanan yang secara


(31)

langsung dapat merubah radikal bebas menjadi senyawa yang kurang reaktif seperti vitamin C (Jackson, 2005, Singh, 1992).

2.3. Vitamin E

2.3.1. Kimiawi dan metabolisme vitamin E

Vitamin ini diisolasi oleh Evans dan kawan-kawan (1936) dari wheat-germ oil. Delapan senyawa tokoferol yang terbentuk di alam yang memiliki aktivitas vitamin E kini telah diketahui. Bentuk yang paling aktif secara biologi adalah RRR-α-tokoferol (Gambar 2), yang merupakan kira-kira 90% tokoferol dalam jaringan hewan dan menunjukkan aktivitas biologis tertinggi dalam sebagian besar sistem bioasai.

Salah satu sifat kimia tokoferol yang penting adalah bahwa senyawa-senyawa ini merupakan senyawa redoks yang bekerja sebagai antioksidan dalam beberapa kondisi tertentu, dalam hal ini tampaknya merupakan dasar untuk sebagian besar, tetapi mungkin tidak semua, efek vitamin E. Senyawa tokoferol rusak secara perlahan jika terpajan udara atau sinar ultraviolet (Marcus, R., and Coulston, A.M., 2007).

Gambar 2. RRR-α-Tokoferol (dari Goodman & Gilman : Dasar Farmakologi Terapi, edisi 10, Jakarta: EGC, 2007)


(32)

2.3.2.Fungsi vitamin E

Sifat-sifat antioksidan vitamin E memperbaiki kerusakan membran biologis akibat radikal bebas. Vitamin E melindungi asam-asam lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated fatty acid, PUFA) dalam membran fosfolipid dan dalam lipoprotein bersikulasi (Burton et al., 1983). Radikal-radikal peroksil (ROO •) bereaksi 1000 kali lebih cepat dengan vitamin E dibandingkan dengan PUFA, membentuk hydrogen peroksida organik yang sesuai dan radikal tokoferoksil (vitamin E-O •). Selanjutnya radikal tokoferoksil berinteraksi dengan antioksidan lain seperti vitamin C, yang akan membentuk kembali tokoferol (Marcus, R., and Coulston, A.M., 2007).

Vitamin E penting untuk melindungi membran sel darah merah yang kaya akan asam lemak tidak jenuh ganda dari kerusakan akibat oksidasi. Selain itu vitamin E melindungi lipoprotein dalam sirkulasi LDL teroksidasi yang ternyata memegang peranan penting dalam menyebabkan aterosklerosis. Vitamin E dosis besar (1600 mg/hari) melindungi LDL dari oksidasi. Meskipun masih kontradiktif, beberapa hasil penelitian epidemiologik mengatakan bahwa vitamin E dapat memproteksi penyakit kardiovaskuler, namun mekanisme kerjanya tidak jelas. Vitamin E mengatur proliferasi sel otot polos pembuluh darah, menyebabkan vasodilatasi dan menghambat baik aktivasi trombosit maupun adhesi lekosit. Vitamin E juga melindungi β-karoten dari oksidasi (Dewoto, H.R., 2007).

Semakin tinggi asupan vitamin E, semakin tinggi kadar tokoferol dalam tubuh seseorang. Namun demikian, kadar tokoferol dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh


(33)

aktivitas tubuh. Selama aktivitas olah raga, vitamin E menunjukkan respon yang bervariasi (Winarsi,H., 2007).

Pada penelitian Rokitzki, et al (1994) memberikan 300 mg α-tokoferol/hari selama 5 bulan pada subjek yang melakukan olah raga berat. Dari penelitian ini ternyata kadar MDA dan keratin kinase meningkat, meski hanya sedikit. Diduga integritas membran kompromi dengan stress oksidatif, yang menunjukkan melalui pengukuran keratin kinase dalam serum. Kreatin kinase merupakan protein intramuskuler yang bocor setelahkerusakan membran, kemudian memasuki serum (Clarkson, et al., 1988). Temuan ini juga membuktikan bahwa vitamin E memberikan efek proteksi terhadap stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan otot karena olah raga.

Pada penelitian Cohen, M.C dan Meyer, D.M (1993) efek dari suplementasi terhadap kerusakan tulang (jarak dari cementum enamel junction ke alveolar crest

diukur pada garis tengah di bagian lingual dari masing-masing akar molar mandibula) yang diteliti pada tikus yang tidak distreskan atau distreskan pada perangkat rotasi selama 90 hari. Pada penelitian pertama, baik kondisi yang diberi vitamin E maupun stres secara statistik memberi efek yang signifikan tapi ada substansial dan variabilitas kerusakan tulang pada semua kelompok. Sebelum dimulainya penelitian kedua, untuk mengurangi perbedaan kerusakan tulang yang dinyatakan mungkin ada, sebelum pengenalan perlakuan, tikus menerima antibiotik dalam air minum mereka. Selain itu diperkenalkan stress rotasi lebih tiba-tiba dari penelitian pertama untuk mengurangi kemungkinan adaptasi. Kerusakan tulang dan variabilitasnya secara substansial berkurang pada penelitian


(34)

kedua. Analisis data menunjukkan bahwa suplemen vitamin E memiliki efek protektif yang signifikan secara statistik, yang paling menonjol di lokasi yang paling rentan terhadap kerusakan. Pada subjek yang stress cenderung terjadi kerusakan tulang alveolar lebih banyak, tetapi efek ini tidak signifikan. Penemuaan ini menunjukkan peran vitamin E dalam menjaga kesehatan periodontal, tetapi juga kepekaan terhadap efek terhadap status periodontal awal.

2.4.Estrogen

2.4.1.Kimiawi Estrogen

Aktivitas estrogenik dimiliki oleh banyak senyawa steroid dan nonsteroid. Estrogen alami dalam tubuh manusia yang paling kuat adalah 17β-estradiol, diikuti dengan estron dan estriol (Gambar 3). Tiap molekul ini merupakan suatu steroid dengan 18 atom karbon yang mengandung satu cincin A fenolik (cincin aromatik dengan gugus hidroksil pada karbon 3) dan gugus β-hidroksil atau keton di posisi 17 cincin D. Cincin A merupakan struktur dasar yang bertanggung jawab terhadap ikatannya yang selektif dan berafinitas tinggi dengan reseptor estrogen. Sebagian besar substitusi alkil pada cincin A fenolik merusak ikatan tersebut, tetapi substitusi pada cincin C atau D masih dapat ditoleransi (Loose, D.S.,Mitchell and Stancel,G.M, 2007)


(35)

Gambar 3.Alur biosintetis estrogen (dari Goodman & Gilman: Dasar Farmakologi Terapi, edisi 10, Jakarta: EGC, 2007)

2.4.2.Peranan estrogen dalam pertumbuhan tulang

Estrogen menghambat aktivitas osteoklas dan dengan sendirinya mengambat resorpsi tulang dan secara bersamaan estrogen mengaktifkan osteoblas, sehingga laju pergantian tulang menjadi normal. Estrogen bekerja baik secara langsung melalui reseptor yang berada di tulang maupun secara tidak langsung dengan bantuan sitokin dan faktor pertumbuhan. Pada proses pemugaran tulang juga berperan faktor-faktor lain yang juga berada di bawah pengaruh estrogen (Baziad Ali, 2003).

2.4.3. Menopauase

Menopause merupakan proses fisiologis pada wanita yang biasa terjadi pada usia 47-55 tahun, ditandai dengan berhentinya menstruasi sebagai akibat berhentinya produksi hormon estrogen oleh ovarium (Joenes H, dkk. 2007). Pada saat menopause, sering kali terjadinya perubahan fisiologis yang bermakna pada fungsi tubuh, temasuk rasa panas (hot flushes) dengan kemerahan


(36)

kulit yang ekstrem, sensasi psikis dispnea, gelisah, letih, ansietas dan kadang-kadang keadaan psikotik yang bermacam-macam, serta penurunan kekuatan dan kalsifikasi tulang di seluruh tubuh. Kira-kira pada 15 persen wanita, gejala-gejala ini cukup berat sehingga membutuhkan perawatan (Guyton,A.C., and Hall,J.E., 2007).

Defisiensi estrogen dan osteoporosis dibuktikan oleh Payne, J.B, dkk (1997) sebagai faktor resiko berkurangnya kepadatan tulang alveolar.

2.5. Tulang

Tulang adalah jaringan ikat khusus yang terdiri atas materi intersel yang mengapur, yaitu matriks tulang, dan 3 jenis sel : osteosit yang terdapat dalam rongga (lakuna) di dalam matriks; osteoblas yang membentuk komponen organik dari matriks; dan osteoklas yang merupakan sel raksasa berinti banyak yang berperan pada resorpsi dan pembentukan kembali jaringan tulang (Junqueira, L.C, 1997).

2.6. Tulang alveolar

Tulang alveolar (alveolar process) adalah bagian dari maksila dan mandibula yang membentuk dan mendukung soket gigi (alveoli). Tulang ini terbentuk sewaktu gigi erupsi untuk memberikan tempat perlekatan bagi ligament periodontal yang akan terbentuk, namun akan hilang secara bertahap apabila gigi dicabut.


(37)

Tulang alveolar terdiri atas:

1.Plat eksternal dari tulang kortikal (cortical bone) yang dibentuk oleh tulang haversian dan lamella tulang kompak.

2.Dinding soket sebelah dalam yang berupa tulang kompak (compact bone) yang tipis, yang dinamakan tulang alveolar utama (alveolar bone proper). Pada gambar foto ronsen bagian tulang ini sebagai lamina dura. Secara histologis bagian tulang ini mengandung lubang-lubang seperti tapis (cribriform plate) melalui bundel-bundel neurovascular menghubungkan ligament periodontal dengan tulang kanselous (cancellous bone) yang merupakan bagian tengah tulang alveolar.

3.Trabekula kanselous, yang berada diantara kedua lapisan tulang kompak tersebut di atas, yang berperan sebagai tulang alveolar pendukung (supporting alveolar bone). Septum interdental terdiri atas tulang kanselous pendukung yang dikelilingi oleh tulang kompak.

Selain bagian-bagian tersebut di atas, tulang rahang juga mencakup tulang basal (basal bone), yaitu bagian tulang rahang yang berada dibagian apikal tetapi tidak berhubungan dengan gigi (Gambar 4).

Meskipun atas dasar anatomis tulang alveolar dapat dibedakan atas beberapa bagian, namun kesemuanya secara bersama-sama berfungsi sebagai suatu kesatuan dalam mendukung gigi (Fiorellini JP, Kirn DM and Ishikawa SO, 2006).


(38)

Tulang spongy

Plat tulang vestibular

Mandibular canal

Tulang alveolar pendukung Septum interdental

Tulang basal Tulang alveolar utama

Gambar 4. Bagian rahang manusia dengan gigi di dalamnya, garis putus-putus menunjukkan pemisahan antara tulang basal dan tulang alveolar (dari Ten Cate AR : Oral histology : development, structure, and function,

ed 4, St.Louis, 1994, Mosby)

2.7. Osteoporosis

Osteoporosis adalah suatu kondisi massa tulang yang rendah dan kerusakan mikrostruktur yang dengan sedikit saja trauma dapat mengakibatkan fraktur. Lokasi khas fraktur mencakup badan vertebral, radius distal, dan femur proksimal, tetapi pasien osteoporosis umumnya mengalami kerapuhan kerangka tulang. Fraktur di lokasi lain seperti tulang iga dan tulang panjang, juga umum terjadi. Osteoporosis umumnya terdiri dari dua golongan; osteoporosis primer dan sekunder. Osteoporosis primer menggambarkan dua keadaan yang secara mendasar saling berbeda :


(39)

 Osteoporosis tipe I, adalah hilangnya tulang trabekula akibat kekurangan estrogen saat menopause.

 Osteoporosis tipe II, adalah hilangnya tulang korteks dan trabekula pada pria dan wanita akibat tidak efisiennya remodeling pada jangka panjang, gizi tidak mencukupi, dan aktivasi sumbu paratiroid seiring usia.

Osteoporosis sekunder adalah akibat penyakit sistemik atau dari obat-obatan seperti glukokortikoid atau fenitoin (Loose, D.S., Mitchell and Stancel,G.M, 2007).

Lee, B.D.,dan. White, S.C (2005) meneliti pada 37 perempuan dan 29 laki-laki terhadap densitas mineral tulang (BMD), tulang belakang lumbal dan proksimal femur diukur dengan dual-energy x-ray absorptiometri. variabel klinis termasuk usia, tinggi dan berat subjek. Kepadatan optik dan morfologi wajah subjek diukur dari posterior rahang atas dan rahang bawah. Ditemukan adanya hubungan yang signifikan pada rahang atas dan rahang bawah dengan BMD lumbal femoralis.

Osteoporosis akan mengakibatkan ketidakseimbangan antara proses resorbsi tulang dan proses pembentukan tulang. Osteoporosis terjadi karena berkurangnya hormon estrogen sehingga akan berpengaruhi pada berkurangnya massa dan kepadatan mineral tulang alveolar. Wanita kehilangan 1-5% massa tulang selama tahun pertama di awal menopause, kemudian massa tulang hilang secara perlahan. (Barunawati,S.B, 2006).


(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi FMIPA USU Medan, Laboratorium Klinik Pramitha Medan, dan Laboratorium Biomedik FK USU Medan. Penelitian dilakukan pada bulan Januari – bulan Mei 2011.

3.2. Variabel Penelitian 3.2.1. Variabel independent

 Latihan fisik maksimal.

 Vitamin E.

3.2.2. Variabel dependent

 Kadar estrogen (estradiol) dalam darah.

 Gambaran histopatologi tulang alveolar.

3.3. Definisi operasional

a. Latihan fisik maksimal : mencit melakukan aktivitas fisik berenang sampai letih ± selama 20 menit.

b. Vitamin E : 0,4mg α-tokoferol asetat.

c. Kadar estrogen (estradiol) : jumlah estradiol dalam piko gram yang terdapat dalam 1 ml darah.


(41)

d. Gambaran histopatologi tulang alveolar : kerusakan tulang alveolar dilihat secara vertikal.

3.4. Bahan dan Alat Penelitian 3.4.1. Bahan penelitian

Bahan biologis. Bahan biologis yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit betina (Mus musculus L.) yang berumur 12 bulan dengan berat badan 30-45 gram yang diperoleh dari FMIPA Biologi Universitas Sumatera Utara. Jumlah hewan uji perkelompok ditentukan dengan rumus (t-1)(n-1) ≥ 15 (Federer., 1963). Jika t adalah jumlah perlakuan (dalam penelitian ini ada 6 kelompok perlakuan) dan n adalah jumlah ulangan perkelompok, maka jumlah n yang diharapkan secara teoritis adalah 4 sehingga di dapat jumlah keseluruhan hewan coba yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 50 ekor yang dipilih dari hasil pembiakan untuk keperluan penelitian.

Bahan kimia. Bahan kimia yang dibutuhkan pada penelitian ini terdiri dari : a. Vitamin E cair (DL-α-tokoferol asetat, produksi Merck, Germany), aquadest. b. Reagensia jenis estradiol strip yang terdiri dari 10 bagian siap pakai dengan urutan sebagai berikut :

(1) Sampel well

(2), (3), (4) Well kosong

(5) Konjugat (Alkaline phospatase berlabel derivate estradiol + 0,9 gr/l sodium azide (400µl).


(42)

(7), (8) : Wash buffer : Tris NaCl (0,05 mol/l) pH 9 + 1 gr/l sodium azide (600µl).

(9) Wash buffer : diethanolamine (DEA) (1,1 mol/l, pH 9,8) + 1gr/l sodium azide (600µl).

(10) Cuvette dengan substrate 4-Methyl Umbeliferyl-Phospat (0,6 mmol/l) diethanolamine (DEA) (0,62 mol/l atau 6,6 %, pH 9,2) + 1gr/l sodium azide (300µl).

c. Estradiol Solid Phase Receptacle.

Siap pakai, pada bagian ujungnya telah dilekati dengan polyclonal anti – Estradiol immunoglobulin (mencit).

d. Bahan untuk pemeriksaan histologi tulang :

1. Netral Buffer formalin 10 % (Fiksasi). 2. Asam formik 5% (dekalsifikasi). 3. Aceton.

4. Toluena merck. 5. Parafin blok (keras). 6. Haematoxylin mayer. 7. Eosin 1 %.

8. Acid Alkohol 1 %. 9. Lithium carbonat 1 %.

10.Alkohol 70%, 80 %, 90 %, 96%. 11.Alkohol Absolute.


(43)

13.Entelin.

14.Balsem kanada.

3.4.2. Peralatan utama penelitian

Alat utama yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas : a. Jarum oval (Gavage).

b. Spuit 1 ml. c. Timbangan. d. MINI VIDAS.

e. Mikropipet 50-200 µl.

f. Bak bedah dan dissecting set. g. Cawan petri.

h. Mikrotom. i. Waterbath. j. Hot plate. k. Freezer. l. Staining jar. m. Pensil Diamond. n. Pengukur waktu. o. Kaca objek. p. Kaca penutup.

q. Mikroskop cahaya Olympus CX 21. r. Bak untuk berenang.


(44)

3.5. Disain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental yang didisain mengikuti Rancangan Acak Lengkap (RAL). Penelitian ini terdiri dari 6 kelompok perlakuan, yaitu :

a. Kelompok I (P0) = terdiri dari 8 ekor mencit betina dewasa yang tidak diberi perlakuan (kelompok kontrol).

b. Kelompok II (P1) = terdiri dari 8 ekor mencit betina dewasa yang diberi perlakuan latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari.

c. Kelompok III (P2) = terdiri dari 8 ekor mencit betina dewasa yang diberi vitamin E selama 30 hari.

d. Kelompok IV (P3) = terdiri dari 8 ekor mencit betina dewasa yang diberi perlakuan latihan fisik maksimal selama 15 hari, selanjutnya 15 hari berikutnya diberi vitamin E.

e. Kelompok V (P4) = terdiri dari 8 ekor mencit betina dewasa yang diberi vitamin E selama 15 hari, selanjutnya 15 hari berikutnya diberi perlakuan latihan fisik maksimal.

f. Kelompok VI (P5) = terdiri dari 8 ekor mencit betina dewasa yang diberi perlakuan latihan fisik maksimal dan vitamin E selama 30 hari.


(45)

P0 kelompok kontrol

P1 latihan fisik maksimal selama 30 hari P2 diberi vitamin E selama 30 hari.

P3 latihan fisik maksimal 15 hari, diberi vitamin E selama 15 hari P4 diberi vitamin E selama 15 hari latihan fisik maksimal 15 hari P5 latihan fisik maksimal dan vitamin E selama 30 hari

0 15 30 (hari)

3.6. Pelaksanaan Penelitian

3.6.1. Pemeliharaan hewan percobaan

Mencit betina dewasa ditempatkan di dalam kandang yang terbuat dari bahan plastik (ukuran 30x20x10cm) yang ditutup dengan kawat kasa. Dasar kandang dilapisi dengan sekam padi setebal 0,5-1 cm dan diganti setiap tiga hari. Cahaya ruangan dikontrol selama 12 jam terang (pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00), dan 12 jam gelap (pukul 18.00 sampai dengan pukul 06.00), sedangkan suhu dan kelembaban ruangan dibiarkan berada pada kisaran alamiah. Pakan (pelet komersial) dan air minum (air PAM) disuplai setiap hari secara berlebih.

Ethical clearance diperoleh dari Komisi Penelitian Hewan Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara Medan.

3.6.2. Pemberian latihan fisik maksimal

Latihan fisik maksimal dilakukan dengan cara berenang sampai kelelahan (Laksmi, 2010; Jawi et al., 2008; Yu et al., 2006; Leeuwenburgh and Li, 1998).


(46)

Mencit berenang di dalam wadah kaca (ukuran 100 x 50 x 80 cm) yang diisi dengan air setinggi 60 cm, tidak ada jalan keluar. Sebagai usaha untuk keluar dari wadah, tikus akan berenang, menyelam dan memanjat dinding wadah dengan sekuat tenaga. Saat mencit menghentikan segala gerakannya, kecuali gerakan untuk bertahan hidup (mempertahankan kepala tetap berada di permukaan air), hal ini dianggap mencit sudah melakukan latihan fisik maksimal. Segera setelah itu, keluarkan mencit dari wadah, keringkan dengan handuk kering, dan kembalikan ke dalam kandang.

3.6.3. Pemberian vitamin E

Vitamin E yang diberikan adalah DL-α-tokoferol asetat yang dilarutkan dalam aquadest. Dosis vitamin E yang diberikan adalah 0,4mg/hari per oral. Dosis tersebut hasil dari konversi dosis manusia ke mencit yang merupakan metode modifikasi dari Ilyas, S.( 2007).

3.6.4. Pengamatan

Setelah 30 hari perlakuan, masing-masing hewan coba dikorbankan dengan cara dislokasi leher dan selanjutnya dibedah. Setelah itu dilakukan pengamatan sebagai berikut :

a. Pengamatan kadar estrogen (estradiol)

Pengamatan dilakukan pada hari ke 30 pada semua kelompok baik kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan. Kadar estrogen (estradiol) diperiksa dengan metode ELFA (Enzyme Linked Fluorescent Assay). Solid Phase Receptacle (SPR)


(47)

yang digunakan pada pemeriksaan ini merupakan fase solid seperti pipet. Reagensia pada pemeriksaan ini siap pakai dan tersimpan dalam satu bungkus reagensia strip. Semua tahap pemeriksaan ini dilakukan secara otomatis di dalam alat.

Sampel dimasukkan ke dalam well yang berisi Alkaline phospatase berlabel Estradiol (Konjugat). Sampel dan konjugat dicampur masuk dan keluar SPR pada waktu tertentu dan kecepatan reaksi tertentu.

Komponen yang tidak terikat akan dihilangkan pada saat pencucian. Pada langkah akhir reaksi substrate (4 - Methyl – umbelliferyl phospat) akan berputar masuk dan keluar SPR. Enzym konjugat katalisator akan menghidrolisa substrate menjadi product flourescent (4 – Methyl – umbelliferone). Flouresensi ini diukur pada panjang gelombang 450 nm. Intensitasnya sebanding dengan konsentrasi Estrogen (estradiol) dalam serum. (Biomerieux® SA, 2008)

b.Pengamatan gambaran histopatologi tulang alveolar mandibula

Pengamatan gambaran histopatologi tulang alveolar mandibula mencit, dibuat sediaan histologis menurut Hoeber,P.B (1950) dengan metode parafin, menggunakan pewarnaan HE (Hematoksilin Eosin). Sesuai dengan cara yang lazim dikerjakan dalam pembuatan sediaan histologis yaitu: fiksasi, dekalsifikasi, pencucian, dehidrasi, penjernihan, infiltrasi parafin, penanaman, pengirisan, penempelan, deparafinasi, pewarnaan, penutupan dan pemberian label.


(48)

Fikasasi

Jaringan tulang mandibula diambil, kemudian difiksasi dalam larutan netral buffer formalin 10 % selama 2-10 jam.

Dekalsifikasi

Dekalsifikasi adalah menghilangkan bahan anorganik dari jaringan tulang. Hasil akhir dari dekalsifikasi adalah semua material anorganik sudah tidak ada pada tulang, sehingga dapat ditanam pada parafin atau celoidin. Mekanisme dari dekalsifikasi adalah dengan merendam spesimen tulang mandibula pada larutan asam formik 5%.

Pencucian

Setelah proses fiksasi dilakukan pencucian dengan alkohol 70%. Dehidrasi

Dilakukan secara bertahap, dengan alkohol 70% selama 10 menit, alkohol 80%, 90%, 96%, masing-masing selama 60 menit, kemudian dengan alkohol absolut 30 menit.

Penjernihan

Dilakukan segera setelah proses dehidrasi dengan menggunakan toluena murni.

Infiltrasi

Proses infiltasi parafin dilakukan di dalam oven dengan suhu 56ºC. Organ tulang mandibula dimasukkan kedalam campuran toluena-parafin dengan perbandingan 1:1 selama 30 menit. Kemudian berturut dimasukkan kedalam:


(49)

Parafin murni II selama 1 jam. Parafin murni III selama 1 jam. Penanaman

Sediaan dari parafin murni III dimasukkan ke dalam kaset cetakan yang telah berisi parafin cair, dan dibiarkan sampai parafin mengeras.

Pengirisan

Blok parafin tulang mandibula yang telah mengeras ditempelkan pada holder dengan menggunakan spatula, letakkan holder beserta blok parafin pada tempatnya di mikrotom. Pengirisan dilakukan dengan ketebalan 6µm.

Penempelan

Jaringan yang sudah diiris dimasukkan ke dalam water bath agar parafin hilang/larut. Kemudian jaringan diambil dan ditempel pada kaca objek, lalu dianginkan/dikeringkan.

Pewarnaan

Pewarnaan dengan hematoxylin-Eosin (H-E) melalui tahapan:

 Deparafinisasi preparat dengan xylol sampai bebas parafin.

 Hidrasi dengan alkohol 96%, 90%, 80%, 70%, 50%, 30%, akuades.

 Inkubasi dalam larutan haematoxylin Erlich selama 30 menit.

 Cuci dengan air mengalir ± 10 menit.

 Dicelupkan kedalam akuades.

 Dimasukkan alkohol 30%, 50%, 70%.

 Kemudian dimasukkan kedalam larutan Eosin 0,5% selama 3 menit.


(50)

 Dikeringkan dengan kertas penghisap.

 Inkubasi dengan xylol selama 1 malam. Penutup

Preparat ditutup dengan gelas penutup setelah ditetesi dengan balsem kanada terlebih dahulu, lalu diberi label. Pewarnaan dengan hematoksilin-eosin (HE) yang akan menyebabkan inti berwarna hitam kebiru-biruan dan sitoplasma berwarna merah. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan histopatologis dengan menggunakan mikroskop cahaya. Pengamatan gambaran kerusakan tulang alveolar mandibula dengan pembesaran 400x .

3.7. Analisis Data dan Pengujian Hipotesis

Data dipresentasikan dalam bentuk rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ± SD). Dilakukan uji normalitas dan homogenitas data. Jika data berdistribusi normal dan homogen maka dilakukan uji ANOVA. Bila terdapat perbedaan dilakukan dengan uji Post Hoc untuk melihat perbedaan antar kelompok kontrol dan masing-masing perlakuan.

Jika distribusi data tidak normal dan atau tidak homogen, maka dilakukan transformasi data. Kemudian diuji lagi normalitas dan homogenitas data. Apabila data masih tidak normal distribusinya atau tidak homogen maka diuji dengan uji Kruskal-Wallis. Untuk melihat perbedaan antar kelompok kontrol dan kelompok perlakuan mengunakan uji Mann Whitney. Semua analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS 18,0. Dalam penelitian ini, hanya perbedaan rata-rata pada p ≤ 0,05 yang dianggap bermakna (signifikan).


(51)

3.8. Jadwal Penelitian

Keseluruhan kegiatan penelitian ini dari persiapan sampai pada penulisan hasil penelitian adalah lebih kurang 21 minggu. Urutan kegiatan dan jadwal pelaksanaan secara lengkap dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:

Tabel 1. Jadwal Penelitian


(52)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Pada BAB IV ini ditunjukkan beberapa grafik histogram dari rata-rata data hasil analisis yang berdasarkan pada hipotesis dan tujuan dari penelitian yang dilakukan selama 30 hari. Urutan tampilan hasil dan pembahasan dari penelitian ini adalah; (1) Kadar estrogen (estradiol) dalam darah, (2) Gambaran histopatologi tulang alveolar (jarak dari Cementum Enamel Junction/CEJ ke

Alveolar Crest/AC).

4.1.1. Kadar estrogen (estradiol)

Data pengukuran kadar estrogen dalam darah tiap-tiap mencit betina dewasa ditunjukkan pada Lampiran 1, Tabel 1. Rata-rata hasil analisis data kadar estrogen dalam darah mencit betina (Mus musculus L.) ditunjukkan pada Gambar 5. Hasil analisis distribusi data dan homogenitas variansi adalah sebagai berikut; semua data kadar estrogen dalam darah distribusinya tidak normal dan variansi datanya juga tidak homogen. Hasil ini tidak memenuhi asumsi untuk dapat dilakukan uji parametrik. Kemudian dilakukan transformasi data dan didapatkan data yang tidak normal dan variansinya tetap tidak homogen. Oleh sebab itu dilakukan uji non parametrik Kruskal Wallis, dan ditemukan adanya perbedaan yang nyata antara masing-masing perlakuan penelitian (p<0,05; Lampiran 1, Tabel 1). Selanjutnya dilakukan uji Mann Whitney untuk melihat perbedaan masing-masing kelompok


(53)

perlakuan.

Hasil uji didapatkan bahwa kadar estrogen yang tertinggi terdapat pada P3 (46,01±2,52 pg/mL), yang berbeda nyata (p<0,05) dengan P0 (31,41±27,51 pg/mL) dan P1 (20,39±5,44 pg/mL), tetapi tidak berbeda nyata dengan P2 (42,94±19,79 pg/mL), P4 (34,42±12,05 pg/mL) dan P5 (38,22±8,64 pg/mL). Kadar estrogen terendah terdapat pada P1 (20,39±5,44 pg/mL), yang berbeda nyata dengan P2, P3, dan P5, tetapi tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan P0 dan P4.

b

ab

b

b

a

a

Gambar 5. Kadar estrogen dalam darah (pg/mL). Keterangan; Grafik histogram pada perlakuan berbeda yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbe- da tidak nyata pada taraf uji 5%. P0= tidak diberi perlakuan (kelompok kontrol); P1= latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari; P2= vi- tamin E selama 30 hari; P3 = latihan fisik maksimal selama 15 hari,

selanjutnya 15 hari lagi vitamin E; P4 = vitamin E selama 15 hari, selanjutnya 15 hari lagi latihan fisik maksimal; P5 = latihan fisik maksimal dan vitamin E selama 30 hari; ┬ = standar deviasi (SD).


(54)

4.1.2. Gambaran histopatologi tulang alveolar (jarak dari Cementum Enamel Junction/CEJ ke Alveolar Crest/AC)

Hasil pengukuran jarak dari Cementum Enamel Junction ke Alveolar Crest

pada mencit betina dewasa ditunjukkan pada Lampiran 1, Tabel 2. Rata-rata hasil analisis datanya ditunjukkan pada Gambar 6 dan gambaran histopatologi tulang alveolar pada Gambar 7. Hasil analisis distribusi data dan homogenitas variansi adalah sebagai berikut; semua data jarak CEJ ke AC distribusinya normal dan variansi datanya homogen. Hasil ini memenuhi asumsi untuk dapat dilakukan uji parametrik. Kemudian dilakukan uji ANOVA pada taraf 5%. dan ditemukan adanya perbedaan yang nyata antara masing-masing perlakuan penelitian (p<0,05; Lampiran 1). Oleh sebab itu dilakukan Post Hoc test - Bonferroni untuk melihat ada/tidaknya perbedaan rata-rata jarak CEJ ke AC antara masing-masing kelompok perlakuan (P0-P5).

Hasil uji terhadap jarak CEJ ke AC yang terpanjang / terjauh terdapat pada P1 (78,14±10,15 μm), yang berbeda nyata (p<0,05) dengan P3 (40,13±22,64 μm), tetapi tidak berbeda nyata (p>0,5) dengan P0 (49,48±17,94), P2 (47,56±11,66

μm), P4 (64,53±25,83 μm)dan P5(54,77±14,03 μm). Sedangkan jarak CEJ ke AC terendah / terdekat terdapat pada P3 (40,13±22,64 μm), yang berbeda nyata (p<0,05) dengan P1 dan P4, tetapi tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan P0, P2 dan P5.


(55)

ab

b

ab

a

b

ab

Gambar 6. Jarak dari cementum enamel junction ke alveolar crest (puncak alveolar). Keterangan; Grafik histogram pada perlakuan berbeda yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata pada taraf uji 5%. P0= tidak diberi perlakuan (kelompok kontrol); P1= latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari; P2 = vitamin E selama 30 hari; P3= latihan fisik maksimal selama 15 hari, selanjutnya 15 hari lagi di- beri vitamin E; P4= vitamin E selama 15 hari, selanjutnya 15 hari lagi latihan fisik maksimal; P5 = latihan fisik maksimal dan vitamin E selama 30 hari; ┬ = standar deviasi (SD).

Gambar 7. Gambar jarak dari cementum enamel junction (CEJ) ke alveolar crest / AC (puncak alveolar) (μm). P0 = tidak diberi perlakuan (kelompok kontrol); P1= latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari; P2= vitamin E selama 30 hari; P3= latihan fisik maksimal selama 15 hari, selanjutnya 15 hari lagi diberi vitamin E; P4= vitamin E selama 15 hari selanjutnya 15 hari lagi latihan fisik maksimal; P5 = latihan fisik maksimal dan vitamin E selama 30 hari. Pembesaran 400x.

CEJ

CEJ

CEJ

CEJ AC

CEJ

AC

AC AC

AC CEJ

AC


(56)

4.2. PEMBAHASAN

4.2.1. Kadar Estrogen (Estradiol) darah mencit betina dewasa

Tingginya kadar estrogen pada P3 (latihan fisik maksimal selama 15 hari, selanjutnya 15 hari lagi vitamin E) (Gambar 5), mungkin disebabkan oleh adanya pemberian vitamin E yang dapat menekan oksidan (ROS/Reactive Oxygen Species) yang timbul setelah latihan fisik maksimal. Hal ini terbukti ketika dibandingkan dengan kadar estrogen yang didapatkan pada P1 atau latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari, yang lebih rendah secara nyata (p<0,05) dibandingkan dengan P3. Pengaruh vitamin E terhadap kadar estrogen mencit betina terlihat jelas jika dilihat pada perlakuan lainnya yang ada penambahan vitamin E (P2, P4 dan P5). Menurut Powers and Jackson (2008), latihan fisik dapat meningkatkan pembentukan ROS dalam otot rangka. Verma et al., (2001) menyatakan, bahwa pemberian vitamin E 2 mg/hari per oral selama 45 hari mampu meningkatkan aktivitas enzim superoxide dismutase, glutathione peroxidase, dan catalase, serta menurunkan kadar MDA testis mencit yang dipaparkan aflatoksin 25 g/hari per oral selama 45 hari. Senturk et al., (2001) menyebutkan, latihan fisik maksimal dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif pada tikus. Ditambahkan oleh Ji (1999), selama latihan fisik maksimal, konsumsi oksigen seluruh tubuh meningkat 20 kali, sedangkan konsumsi oksigen pada serabut otot di perkirakan meningkat 100 kali lipat. Peningkatan konsumsi oksigen ini mengakibatkan meningkatnya produksi radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan sel.


(57)

Peningkatan radikal bebas (ROS) menyebabkan rusaknya sel-sel pembentuk estrogen melalui peroksidasi lipid pada membran selnya, sehingga estrogen yang dihasilkannya juga menjadi berkurang. Menurut Kierszenbaum (2007), estrogen dibentuk di sel-sel granulosa folikel dan sel lutein korpus luteum ovarium. Rusaknya sel pembentuk estrogen pada kelompok P1 menyebabkan kadar estrogen menjadi sangat rendah (p<0,05) dibanding dengan latihan fisik maksimal yang diberi asupan vitamin E (P2-P5). Menurut Leeuwenburgh and Heinecke (2001), peningkatan metabolisme aerobik selama latihan merupakan sumber potensial stres oksidatif. Menurut Murdoch and Martinchicky (2004), bahwa sel permukaan ovarium dapat terkena inflamasi bahan kimia atau radikal bebas. Folikel menjadi pecah sehingga jadi rusak dan tidak dapat diperbaiki serta mengalami apoptosis. Kemudian dikatakannya, bahwa penggunaan vitamin E dapat mencegah kerusakan epitel ovarium domba oleh adanya oksidan.

4.2.2. Jarak CEJ ke AC mencit betina dewasa

Gambaran histopatologi tulang alveolar ditentukan dengan mengukur jarak dari Cementum Enamel Junction/CEJ ke Alveolar Crest/AC). Jarak yang semakin jauh, cenderung memperparah patologinya, begitu juga sebaliknya, atau dengan kata lain semakin kurang tulang alveolarnya. Jarak CEJ ke AC yang paling tinggi terdapat pada P1 (78,14±10,15 μm) karena aktifitas fisik maksimal yang dilakukan dan tidak diberi asupan vitamin E. Selain timbulnya radikal bebas/oksidan yang memperparah kerusakan ovarium (sumber utama estrogen), juga tidak adanya antioksidan yang ditambahkan (vitamin E). Akibatnya kadar


(58)

estrogen rendah (Gambar 5) dan berdampak pada tingginya jumlah osteoklas dari pada osteoblas. Hal ini menyebabkan tingginya histopatologi tulang alveolar. Pada penelitian Shuid et al., (2001) dinyatakan bahwa, vitamin E dapat menahan laju peningkatan stres oksidatif (radikal bebas) sehingga berfungsi dalam menjaga kerusakan tulang pada pria dewasa. Misalnya osteoarthritis dan osteoporosis yang dapat membatasi pergerakan serta meningkatkan peluang untuk patah tulang dan komplikasi kondisi lain yang berpotensi mengancam.

Pendeknya jarak antara CEJ ke AC menandakan semakin kuatnya kondisi gigi atau makin panjangnya tulang alveolar tempat gigi tertanam (Gambar 7). Seperti pada P3 (40,13±22,64 μm) dilakukan latihan fisik maksimal awalnya dan kemudian diberi asupan asupan vitamin E. Penambahan vitamin ini memicu bertambahnya estrogen dan menghalangi radikal bebas hasil latihan fisik maksimal yang merusak ovarium pembentuk utama estrogen. Vitamin E sebagai antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan stres oksidatif. Peningkatan penghasilan estrogen inilah yang dapat memicu pertumbuhan tulang alveolar atau memperpendek jarak antara AC ke CEJ. Baziad Ali (2003) menyatakan bahwa, estrogen menghambat aktivitas osteoklas dan dengan sendirinya mengambat resorpsi tulang dan secara bersamaan estrogen mengaktifkan osteoblas, sehingga laju pergantian tulang menjadi normal. Estrogen bekerja baik secara langsung melalui reseptor yang berada di tulang maupun secara tidak langsung dengan bantuan sitokin dan faktor pertumbuhan. Pada proses pemugaran tulang juga


(59)

berperan faktor-faktor lain yang berada di bawah pengaruh estrogen. Shuid et al.,

(2001) dan Haflah et al., (2009) berpendapat bahwa, suplemen vitamin E dapat meningkatkan struktur tulang sehingga tulang menjadi kuat. Oleh karena itu, vitamin E berpotensi digunakan sebagai bahan untuk mengobati osteoporosis atau sebagai suplemen tulang pada orang dewasa muda dalam mencegah osteoporosis dikemudian hari.


(60)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian tentang Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Kadar Hormon Estrogen dan Gambaran Histopatologi Tulang Alveolar Mencit (Mus musculus L.) Yang Melakukan Latihan Fisik Maksimal, dapat disimpulkan;

a. Vitamin E berpengaruh terhadap kadar hormon estrogen mencit (Mus musculus L.) betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal secara nyata (p<0,05).

b. Vitamin E berpengaruh terhadap stuktur tulang alveolar mencit (Mus musculus

L.) betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal secara nyata (p<0,05).

5.2. Saran

a. Disarankan adanya penelitian lanjutan dengan memeriksa kadar hormon lain seperti progesteron, LH, dan FSH.

b. Adanya penelitian pada tingkat molekuler untuk mempelajari makanisme molekuler dari latihan fisik maksimal terhadap histologis ovarium.

c. Adanya penelitian terhadap MDA darah, GSH, enzim Q10, SOD, dan katalase.

d. Adanya penelitian terhadap pemeriksaan jumlah osteoblas dan osteoklas pada tulang alveolar.


(61)

e. Membandingkan vitamin E dengan antioksidan lain seperti vitamin C dan beta karotin dalam menekan oksidan (radikal bebas) yang diakibatkan oleh latihan fisik maksimal pada mencit betina dewasa.


(62)

DAFTAR PUSTAKA

Barunawati, S.B., (2006) Pengaruh osteoporosis terhadap tulang alveolar.

Majalah Ceril, 9, 92-7.

Baziad, A. (2003) Menopause dan andropause. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 81.

Biomerieux® SA. (2008) Vidas et SPR sont des marques utilisees, REF 30 431, France, 1-4

Burton, G.W., Joyce, A., and Ingold, K.U., (1983) Is vitamin E the only lipid-soluble, chain-breaking antioxidant in human blood plasma and erythrocyte membrane? Arch. Biochem. Biophys., 221, 281-290.

Casaburi, R. (1992) Principles of exercise training. American College of Chest Physicians, 101, 263-267.

Caspersen, C.J., Powell, K.E., Christenson, G.M. (1985) Physical activity, exercise, and physical fitness : definitions and distinctions for health-related research. Public Health Reports, 126-31.

Chevion, S., Moran, D. S., Heled, Y., Shani, Y., Regev, G., Abbou, B., Berenshtein, E., Stadtman, E. R., Epstein, Y. (2003) Plasma antioxidant status and cell injury after severe physical exercise. Proc Natl Acad Sci U S A, 100, 5119-23.

Clarkson, P.M., and Tremblay, I. (1988) Rapid adaptation to exercise induced muscle damage. Journal of Applied Physiology, 65, 1-6.

Clarkson, P. M. and Thompson, H. S. (2000) Antioxidants: what role do they play in physical activity and health? Am J Clin Nutr, 72, 637S-46S.

Cohen, M.E., and Meyer, D.M. (1993) Effect of dietary vitamin E supplementation and rotational stress on alveolar bone loss in rice rats.

Arch, oral Biol 38(7), 7, 601-6

Dewoto, H.R.(2007) Vitamin dan mineral, di dalam Farmakologi dan Terapi, Ed.5, Jakarta, 786-7.

Evans, W. J. (2000) Vitamin E, vitamin C, and exercise. Am J Clin Nutr, 72, 647S-52S.

Federer, W. (1963) Experimental design, theory and application, New York, Mac Millan.

Fiorellini, J.P., Kirn, D.M., and Ishikawa, S.O., (2006) The tooth supporting structures, in: Newman, M.G., Takei, H.H., Klokkevold, P.R., and Carranza, F.A., (eds), Clinical Periodontology, ed 10, St Louis, Saunders Elsevier, 79-80.

Gusty dan Reni Prima (2007). Efek Pemberian Berulang Epinefrin Dosis Terapeutik Maksimal Pada Jumlah Folikel Ovarium Mencit (Mus musculus) Betina. Theses Master. Airlangga University Library. Surabaya Guyton, A. C. and Hall, J. E. (2007) Textbook of medical physiology,


(63)

Haflah NH, Jaarin K, Abdullah S, Omar M. (2009), Palm vitamin E and glucosamine sulphate in the treatment of osteoarthritis of the knee. Saudi Med J.;30(11):1432-8.

Halliwell, B. and Whiteman, M. (2004) Measuring reactive species and oxidative damage in vivo and in cell culture: how should you do it and what do the results mean? Br J Pharmacol, 142, 231-55.

Hoeber, P.B. (1950) Technique for decalcifying bone. Microscopical Techique, 271-2.

Ilyas, S. (2007) Azoospermia Dan Pemulihannya Melalui Regulasi Apoptosis Sel Spermatogenik Tikus (Rattus sp.) Pada Penyuntikan Kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) Dan Depot Medroksiprogesteron Asetat (DMPA), Disertasi Program Doktor Ilmu Biomedik Fak. Kedokteran Univ. Indonesia. Jakarta, 71.

Jackson, M. J. (2005) Reactive oxygen species and redox-regulation of skeletal muscle adaptations to exercise. Philos Trans R Soc Lond B Biol Sci, 360, 2285-91.

Jawi, I.M., Suprapta, D.N., Subawa, A.A.N. (2008) Ubi Jalar Ungu menurunkan Kadar MDA dalam Darah dan Hati Mencit setelah Aktivitas Fisik Maksimal. Jurnal Veteriner, 9(2), 65-72.

Ji.L.L. (1999). Antioxidant Enzyme Response to Exercise and Aging. Med Scient Sport Exercise, 25, 225-231.

Joenes, H., Fatma, D., Gultom, F., Djamal, N (2007) Aktivitas enzim peroksidase saliva pada wanita sebelum dan sesudah menopause. Dentika Dental Journal, 12, 10-13

Junqueira, L.C.,Carneiro, J., Kelley, R.O. (1997) Histologi dasar, Ed.8, Jakarta :EGC, 136.

Khassaf, M., Mcardle, A., Esanu, C., Vasilaki, A., Mcardle, F., Griffiths, R. D., Brodie, D. A. & Jackson, M. J. (2003) Effect of vitamin C supplements on antioxidant defence and stress proteins in human lymphocytes and skeletal muscle. J Physiol, 549, 645-52.

Kierszenbaum, AL. (2007). Histology and cell biology: an introduction to pathology. Paperback, Older Edition, 1, Book, ISBN: 0323016391. p.572 Laksmi, D.N.D.I (2010) Glutathion meningkatkan kualitas tubulus seminiferus

pada mencit yang menerima pelatihan fisik berlebih. Buletin Veteriner Udayana, 3, 719-21.

Lee, B.D., and White, S. C., (2005) Age and trabecular features of alveolar bone associated with osteoporosis, Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 100, 92-8.

Leeuwenburgh, C., Ji, L.L. (1998) Glutathione and Glutathione Ethyl Ester Supplementation of Mice Alter Glutathione Homeostasis during Exercise.

The Journal of Nutrition, 128, 2420-26.

Leeuwenburgh, C and J. W. Heinecke.( 2001) Oxidative Stress and Antioxidants in Exercise. Current Medicinal Chemistry, 8, 829-838 829

Loose, D.S., Mitchell, and Stancel, G.M. (2007) Estrogen dan Progestin, dalam Goodman & Gilman, Dasar Farmakologi Terapi, Ed.10, Jakarta : EGC, 1569.


(64)

Marcus, R., and Coulston, A.M. (2007) Vitamin E, di dalam Goodman dan Gilman Dasar Farmakologi Terapi, Ed.10, Jakarta : EGC, 1753-4.

Murdoch, W.J. and J.F. Martinchicky (2004). Oxidative Damage to DNA of Ovarian Surface Epithelial Cells Affected by Ovulation: arcinogenic Implication and Chemoprevention Exp. Biol. Med. 229: 546–552, 2004 Payne, J.B., Zach, N.R., Reinhardt, R.A., Nummikoski, P.V., Patil, K.(1997) The association between estrogen status and alveolar bone density change in postmenopausal women with a history of periodontitis. J Periodontol, 68, 24-31.

Pedersen, B. K. and Hoffman-Goetz, L. (2000) Exercise and the immune system: regulation, integration, and adaptation. Physiol Rev, 80, 1055-81.

Power, S.K. and Howley, E.T. (2007) Exercise Physiology : Theory and Application to Fitness and Performance. Mc Graw Hill International Edition, 87-9.

Powers SK and Jackson MJ (2008) Exercise-induced oxidative stress: Cellular mechanisms and impact on muscle force production. Physiol Rev

88:1243–1276.

Rokitzki, L.E, Logemann, A.N., Sagredos, M. Murphy,W. Wetzel-Roth, dan J. Keul (1994) Lipid Peroxidation and Antioxidative Vitamins Under Extreme Endurance Stress. Acta Physiologia of Scandinavian, 151, 149-158.

Senturk, U. K., Gunduz, F., Kuru, O., Aktekin, M. R., Kipmen, D., Yalcin, O., Bor-Kucukatay, M., Yesilkaya, A. & Baskurt, O. K. (2001) Exercise-induced oxidative stress affects erythrocytes in sedentary rats but not exercise-trained rats. J Appl Physiol, 91, 1999-2004.

Senturk, U. K., Gunduz, F., Kuru, O., Kocer, G., Ozkaya, Y. G., Yesilkaya, A., Bor-Kucukatay, M., Uyuklu, M., Yalcin, O. & Baskurt, O. K. (2005) Exercise-induced oxidative stress leads hemolysis in sedentary but not trained humans. J Appl Physiol, 99, 1434-41.

Singh, V. S. (1992) A Current Perspective on Nutrition and Exercise. J Nutr, 122, 760-65.

Slater, T. F. (1984) Free-radical mechanisms in tissue injury. Biochem J, 222, 1-15.

Sonneborn, J. S. and Barbee, S. A. (1998) Exercise-induced stress response as an adaptive tolerance strategy. Environ Health Perspect, 106 Suppl 1, 325-30.

Vander, A. J., Sherman, J. H. & Luciano, D. S. (2001) Human physiology:the mechanism of body function, Boston, McGraw-Hill.

Verma, R.J., Nair, A. (2001) Ameliorative effect of vitamin E on aflatoxin- induced lipid peroxidation in the testis of mice. Asian J Androl, 3, 217-21 Winarsi, H. (2007) Antioksidan Alami dan Radikal Bebas: Potensi dan


(65)

Lampiran 1.

Analisis Data Kadar Estrogen atau Estradiol

Tabel 1. Data Kadar Estrogen pada berbagai perlakuan penelitian (pg/mL)

Perlakuan

Ulangan P0 P1 P2 P3 P4 P5

1 16,17 19,23 57,52 47,20 36,77 40,78

2 16,32 18,20 62,00 47,23 13,74 31,14

3 19,75 17,51 51,97 44,95 36,57 51,82

4 24,55 30,00 21,26 42,14 40,00 30,88

5 80,24 17,00 21,97 48,52 45,00 36,48

Rata-rata 31,41 20,39 42,94 46,01 34,42 38,22

SD 27,51 5,44 19,79 2,52 12,05 8,64

Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Data Kadar Estrogen

Tests of Normality

.398 5 .009 .656 5 .003

.384 5 .015 .693 5 .008

.276 5 .200* .811 5 .100

.282 5 .200* .907 5 .450

.371 5 .023 .804 5 .087

.198 5 .200* .884 5 .327

Kelompok P0 P1 P2 P3 P4 P5 Estrogen

Statistic df Sig. Statistic df Sig. Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true significance. *.

Lilliefors Significance Correction a.

Test of Homogeneity of Variance

2.914 5 24 .034 .913 5 24 .489

.913 5 12.978 .503

2.435 5 24 .064 Based on Mean

Based on Median Based on Median and with adjusted df

Based on trimmed mean Estrogen

Levene


(66)

Lanjutan Lampiran 1 NPar Tests Kruskal-Wallis Test Ranks 5 10.80 5 6.80 5 20.60 5 22.60 5 14.80 5 17.40 30 Kelompok P0 P1 P2 P3 P4 P5 Total Estrogen

N Mean Rank

Test Statisticsa,b

11.503 5 .042 Chi-Square df Asymp. Sig. Estrogen

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: Kelompok b.

NPar Tests

Mann-Whitney Test

Ranks

5 5.60 28.00 5 5.40 27.00 10 Kelompok P0 P1 Total Estrogen

N Mean Rank Sum of Ranks

Test Statisticsb

12.000 27.000 -.104 .917 1.000a Mann-Whitney U Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

Estrogen

Not corrected for ties. a.

Grouping Variable: Kelompok b.


(67)

Lanjutan Lampiran 1 NPar Tests

Mann-Whitney Test

Ranks

5 4.40 22.00

5 6.60 33.00

10 Kelompok P0 P2 Total Estrogen

N Mean Rank Sum of Ranks

Test Statisticsb

7.000 22.000 -1.149 .251 .310a Mann-Whitney U Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

Estrogen

Not corrected for ties. a.

Grouping Variable: Kelompok b.

NPar Tests

Mann-Whitney Test

Ranks

5 4.00 20.00

5 7.00 35.00

10 Kelompok P0 P3 Total Estrogen

N Mean Rank Sum of Ranks

Test Statisticsb

5.000 20.000 -1.567 .117 .151a Mann-Whitney U Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

Estrogen

Not corrected for ties. a.

Grouping Variable: Kelompok b.


(1)

NPar Tests

Mann-Whitney Test

Ranks

5 7.00 35.00

5 4.00 20.00

10 Kelompok P3 P5 Total Estrogen

N Mean Rank Sum of Ranks

Test Statisticsb

5.000 20.000 -1.567 .117 .151a Mann-Whitney U Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

Estrogen

Not corrected for ties. a.

Grouping Variable: Kelompok b.

NPar Tests

Mann-Whitney Test

Ranks

5 5.60 28.00

5 5.40 27.00

10 Kelompok P4 P5 Total Estrogen

N Mean Rank Sum of Ranks

Test Statisticsb

12.000 27.000 -.104 .917 1.000a Mann-Whitney U Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

Estrogen

Not corrected for ties. a.

Grouping Variable: Kelompok b.


(2)

Analisis Data Jarak CEJ ke AC

Tabel 2. Data Jarak CEJ ke AC pada berbagai perlakuan penelitian (μm)

Perlakuan

Ulangan

P0 P1

P2

P3

P4 P5

1

33,16 65,65

63,78

58,86

36,83 39,43

2

36,65 69,03

44,08

66,33

38,63 76,72

3

41,64 84,54

40,00

11,71

68,94 54,83

4

75,44 82,85

35,02

26,01

88,45 46,53

5

60,50 88,63

54,93

37,72

89,82 56,33

Rata-rata

49,48 78,14

47,56

40,13

64,53 54,77

SD

17,94 10,15

11,66

22,64

25,83 14,03

Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Data Jarak CEJ ke AC

Tests of Normality

.269 5 .200* .890 5 .358

.279 5 .200* .877 5 .298

.217 5 .200* .949 5 .729

.196 5 .200* .954 5 .768

.242 5 .200* .836 5 .155

.256 5 .200* .936 5 .638

Kelompok P0 P1 P2 P3 P4 P5 Jarak_CEJ_ke_AC

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true significance. *.

Lilliefors Significance Correction a.

Test of Homogeneity of Variance

2.295 5 24 .077

1.206 5 24 .336

1.206 5 20.127 .342

2.259 5 24 .081

Based on Mean Based on Median Based on Median and with adjusted df

Based on trimmed mean Jarak_CEJ_ke_AC

Levene


(3)

Lanjutan Lampiran 2

Anova - Jarak CEJ ke AC

Oneway

ANOVA

Jarak_CEJ_ke_AC

4649.619 5 929.924 2.879 .036

7750.759 24 322.948

12400.378 29

Between Groups Within Groups Total

Sum of


(4)

Lanjutan Lampiran 2

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

Dependent Variable: Jarak_CEJ_ke_AC Bonferroni

-28.66200 11.36571 .281 -65.6958 8.3718 1.91600 11.36571 1.000 -35.1178 38.9498 9.35200 11.36571 1.000 -27.6818 46.3858 -15.05600 11.36571 1.000 -52.0898 21.9778 -5.29000 11.36571 1.000 -42.3238 31.7438 28.66200 11.36571 .281 -8.3718 65.6958 30.57800 11.36571 .192 -6.4558 67.6118 38.01400* 11.36571 .041 .9802 75.0478 13.60600 11.36571 1.000 -23.4278 50.6398 23.37200 11.36571 .762 -13.6618 60.4058 -1.91600 11.36571 1.000 -38.9498 35.1178 -30.57800 11.36571 .192 -67.6118 6.4558 7.43600 11.36571 1.000 -29.5978 44.4698 -16.97200 11.36571 1.000 -54.0058 20.0618 -7.20600 11.36571 1.000 -44.2398 29.8278 -9.35200 11.36571 1.000 -46.3858 27.6818 -38.01400* 11.36571 .041 -75.0478 -.9802 -7.43600 11.36571 1.000 -44.4698 29.5978 -24.40800 11.36571 .631 -61.4418 12.6258 -14.64200 11.36571 1.000 -51.6758 22.3918 15.05600 11.36571 1.000 -21.9778 52.0898 -13.60600 11.36571 1.000 -50.6398 23.4278 16.97200 11.36571 1.000 -20.0618 54.0058 24.40800 11.36571 .631 -12.6258 61.4418 9.76600 11.36571 1.000 -27.2678 46.7998 5.29000 11.36571 1.000 -31.7438 42.3238 -23.37200 11.36571 .762 -60.4058 13.6618 7.20600 11.36571 1.000 -29.8278 44.2398 14.64200 11.36571 1.000 -22.3918 51.6758 -9.76600 11.36571 1.000 -46.7998 27.2678 (J) Kelompok P1 P2 P3 P4 P5 P0 P2 P3 P4 P5 P0 P1 P3 P4 P5 P0 P1 P2 P4 P5 P0 P1 P2 P3 P5 P0 P1 P2 P3 P4 (I) Kelompok P0 P1 P2 P3 P4 P5 Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval

The mean difference is significant at the .05 level. *.


(5)

Lampiran 3

Pengamatan tulang alveolar di laboratorium Biomedik USU

(1) (2)

(3) (4)

Keterangan Gambar :

1.

Melihat preparat di mikroskop.

2.

Gambar gigi yang di bawah

mikroskop.

(5)

CEJ

3.

Gambar gigi di monitor.

4.

Gambar tulang alveolar yang mau

diukur.

5.

Gambar hasil pengukuran jarak

CEJ ke AC.

CEJ :

Cemento Enamel Junction

,

36,65 µm

AC

AC :

Alveolar Crest


(6)

Lampiran 4.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Testis Mencit (Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

0 46 78

Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Hepar Mencit (Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

3 83 66

Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Ginjal Mencit(Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

6 49 63

Pengaruh Pemberian Tocopherol Terhadap Kadar Testosteron, Jumlah Sperma, dan Berat Testis Mencit Jantan Dewasa (Mus musculus L.) Yang Mendapat Latihan Fisik Maksimal

3 65 88

Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Gambaran Histologis Tubulus Proksimal Ginjal Pada Mencit Betina Dewasa (Mus musculus L) Yang Mendapat Latihan Fisik Maksimal

0 59 66

Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Jumlah, Morfologi Dan Motilitas Sperma Serta Kadar Malondialdehyde (MDA) Testis Mencit Jantan Dewasa (Mus musculus L) Yang Mendapat Latihan Fisik Maksimal

0 66 81

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPAR MENCIT JANTAN (Mus musculus L) YANG DIINDUKSI MONOSODIUM GLUTAMAT

0 9 40

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E TERHADAP JUMLAH SPERMATOZOA MENCIT JANTAN MUS MUSCULUS YANG MELAKUKAN AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL

0 17 90

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E TERHADAP GAMBARAN HISTOLOGIS TUBULUS PROKSIMAL GINJAL PADA MENCIT BETINA DEWASA (Mus musculus L) YANG MENDAPAT LATIHAN FISIK MAKSIMAL

0 0 7

PENGARUH VITAMIN E TERHADAP KADAR HORMON ESTROGEN PADA MENCIT (Mus musculus) BETINA YANG TERPAPAR ASAP ROKOK Repository - UNAIR REPOSITORY

1 0 79