Kewenangan Kurator Ventris Untuk Mewakili Kepentingan Anak Dalam Kandungan Janda Dari Pernikahan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46 PUUVIII 2010

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sesuai

dengan

kodratnya

manusia

mempunyai

naluri

untuk

tetap

mempertahankan generasi atau keturunannya. Dalam hal ini tentunya hal yang tepat

untuk mewujudkannya adalah dengan melangsungkan perkawinan. Perkawinan1
merupakan satu-satunya cara guna membentuk keluarga, oleh sebab itu perkawinan
mutlak diperlukan dan menjadi syarat terbentuknya sebuah keluarga, sehingga
masyarakat membutuhkan suatu peraturan hidup bersama dalam ikatan perkawinan
yang membuat mereka merasa aman dan terjamin dalam melaksanakan hubungan ikatan
perkawinan tersebut.2 Menurut Idris Ramulyo dikatakan bahwa dipandang dari segi
hukum, maka perkawinan itu merupakan perjanjian, karena cara mengatur ikatan
tersebut telah diatur terlebih dahulu, yaitu dengan akad nikah dan rukun atau syarat
tertentu, dan cara untuk memutuskan ikatan tersebut juga telah diatur sebelumnya.3
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (selanjutnya disingkat UU No. 1 Tahun 1974) ditegaskan bahwa
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
1

Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, mendefenisikan perkawinan sebagai ikatan lahir
bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, sedangkan dalam Pasal 2
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Perkawinan, disebutkan bahwa
perkawinan merupakan akad yang sangat kuat atau miitsaagan gholidhan untuk mentaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah.

2
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang Hukum Adat, Hukum
Agama, CV. Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm. 108.
3
Mohd. Idris Ramulyo (1), Hukum Perkawinan Islam, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2004, hlm. 16.

1

Universitas Sumatera Utara

2

kepercayaannya itu”, dan dalam ayat (2) disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan ini, dapat
disimpulkan bahwa untuk sahnya perkawinan, maka selain harus sah berdasarkan
agama, juga harus didaftarkan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan yang berwenang,
sehingga perkawinan mempunyai kekuatan hukum dan dapat dibuktikan atau peristiwa
perkawinan itu telah diakui oleh negara. Hal ini penting artinya demi kepentingan suami
isteri itu sendiri, anak yang lahir dari perkawinan serta harta yang ada dalam
perkawinan tersebut.

Tujuan pencatatan perkawinan ini dilakukan agar perkawinan yang berlangsung
tersebut mempunyai kekuatan hukum yang kuat dan pasti, yang mengakibatkan
timbulnya hak-hak dan kewajiban antara suami-isteri, anak yang dilahirkan menjadi
anak yang sah, hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya, hak saling mewarisi
antara suami-isteri dan anak-anak dengan orang tua, dan bagi anak perempuan seorang
ayah berhak menjadi wali nikahnya.4 Menurut Abdurrahman dan Ridwan Syahrani, jika
suatu perkawinan tidak dicatat, sekalipun perkawinan tersebut sah menurut ajaran
agama atau kepercayaan, perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara, begitu pula
akibat yang timbul dari perkawinan itu,5 sedangkan salah satu tujuan dari perkawinan
adalah untuk mendapatkan anak dan akibat dari perkawinan adalah tanggung jawab
orang tua terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan.

4

Mohd. Idris Ramulyo (2), Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 248.
5
Abdurrahman dan Ridwan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia,
Alumni, Bandung, 1986, hlm. 16.


Universitas Sumatera Utara

3

Kewajiban suami isteri terhadap anak tersebut lebih rinci diatur dalam Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disingkat
KHI), bahwa suami wajib menanggung sesuai peng-hasilannya, nafkah, kiswah dan
tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya
pengobatan bagi isteri dan anak, biaya pendidikan bagi anak,6 sebaliknya kewajiban
isteri adalah menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari
dengan sebaik-baiknya,7 sedangkan kewajiban suami dan isteri adalah memikul
kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai
pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.8
Selain perkawinan yang dicatatkan, dalam kehidupan masyarakat ada praktik
perkawinan yang tidak dicatatkan, yang dikenal dengan istilah perkawinan siri.9
Pengertian perkawinan siri yang berkembang dalam masyarakat saat ini adalah suatu
perkawinan yang dilakukan oleh kedua mempelai dengan memenuhi rukun dan syaratsyarat perkawinan menurut ketentuan Hukum Agama, tetapi proses perkawinan tersebut
tidak dilakukan di hadapan pegawai pencatat perkawinan, dan tentunya perkawinan
tersebut tidak tercatat dalam daftar catatan perkawinan di Kantor Pencatatan
Perkawinan, serta tidak memiliki surat nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah.10


6

Pasal 80 ayat (4) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 83 ayat (2) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
8
Pasal 77 ayat (3) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
9
Kata siri itu sendiri berasal dari bahasa Arab yang artinya sesuatu yang rahasia atau tertutup.
Lihat Ahmad Sarwanto, Perkawinan Tidak Dicatatkan, Cipta Karya, Jakarta, 2013, hlm. 193.
10
D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin, Prestasi Pustaka,
Jakarta, 2012, hlm. 151.
7

Universitas Sumatera Utara

4

Dalam pergaulan hidup masyarakat Indonesia sering terjadi perkawinan siri

yang tidak tercatat di Kantor Pencatat Nikah dan nikah yang dicatat tetapi
disembunyikan dari orang lain, karena khawatir terganggu bagi keluarganya,11 dan
pernikahan seperti ini tidak sesuai dengan hadist rasul, karena rasul menyuruh
masyarakat yang menikah untuk mengumumkan pernikahannya dengan walimah
(kenduri/syukuran).12 Selain karena harus mengeluarkan biaya adminitrasi yang cukup
besar, ada berbagai alasan seseorang melaksanakan perkawinan siri, antara lain:13
1. karena sudah bertunangan untuk menghindari perselingkuhan dan perzinahan, lebih
baik melakukan nikah siri, dan dalam kasus ini biasanya terjadi karena salah satunya
masih sekolah atau kuliah;
2. untuk menghemat ongkos dan menghindari prosedur administrasi yang dianggap
berbelit-belit (seperti: syarat-syarat administrasi dari RT, Lurah, KUA, izin isteri
pertama, izin Pengadilan Agama, izin atasan jika PNS/anggota TNI/Polri dan
sebagainya);
3. karena calon isteri terlanjur hamil di luar nikah;
4. untuk menghindari tuntutan hukum oleh isterinya di belakang hari, karena
perkawinan yang tidak dicatat oleh KUA, tidak dapat dituntut secara hukum di
Pengadilan, dan biasanya kasus ini terjadi pada perkawinan untuk yang kedua kali
(poligami);
5. untuk menghapus jejak oleh isteri pertama, sekaligus untuk menghindari hukuman
administratif yang dijatuhkan oleh atasan bagi mereka yang berstatus PNS/anggota

TNI/Polri yang melakukan perkawinan kedua kalinya;
6. salah seorang dari calon pengantin (biasanya pihak perempuan) belum cukup umur
melakukan perkawinan melalui KUA; dan
7. alasan lain yang bersifat khusus, seperti di beberapa daerah yang telah menjadi
tradisi melakukan perkawinan siri sebelum menikah di hadapan Pegawai Pencatat
Nikah (KUA), adanya sikap orang tua atau wali yang menganggap bahwa ia
memiliki hak dan kewajiban menikahkan anaknya (perempuan) dengan pasangan
dicarikan tanpa meminta persetujuan anaknya.
11

Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011,

hlm. 17.
12

Ali Uraidy, “Perkawinan Siri dan Akibat Hukumnya Ditinjau dari Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974”, Jurnal Hukum Universitas Abdurachman Saleh,Volume X-No. 2, Situbondo, 2012, hlm.
983.
13
D.Y. Witanto, Op. Cit., hlm. 154.


Universitas Sumatera Utara

5

Perkawinan siri pada prinsipnya perkawinan yang dilakukan di luar ketentuan
hukum perkawinan yang berlaku positif di Indonesia, walaupun keabsahannya menurut
Hukum Islam tidak terganggu, karena dalam hal ini hanya menyangkut masalah
administratif saja, tetapi akibat tidak dicatatkan maka suami isteri tersebut tidak
memiliki bukti otentik bahwa mereka telah melangsungkan pernikahan tersebut
sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum (no legal force), dan perkawinan tersebut
tidak dilindungi oleh hukum, bahkan dianggap tidak sah/never existed.14
Sebagaimana yang diketahui bahwa perkawinan dapat putus karena 3 (tiga)
peristiwa, yaitu: (1) kematian; (2) perceraian; dan (3) atas Putusan Pengadilan. Ketiga
peristiwa hukum yang menyebabkan putusnya tali perkawinan memiliki implikasi
hukum masing-masing. Berkaitan dengan kedudukan anak, akibat hukum putusnya
perkawinan yang disebabkan oleh kematian, menimbulkan hubungan hukum berupa hak
dan kewajiban atas pembagian tirkah (harta warisan), baik dalam bentuk wasiat,
maupun dalam bentuk warisan dan hak kesejahteraan lainnya. Adapun akibat hukum
putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian baik cerai talak, maupun cerai

gugat menimbulkan hubungan hukum berupa hak nafkah, hadhanah, perwalian dan
kesejahteraan lainnya, baik materiil maupun immateriil. Oleh sebab itu, hak-hak anak
secara umum, baik anak yang lahir dari perkawinan yang sah, maupun yang tidak sah
senantiasa melekat tidak hanya pada saat dilahirkan, tetapi melekat ketika sejak dalam
kandungan hingga terlahir ke dunia sampai usia dewasa (matang).

14

M. Anshary M.K., Hukum Perkawinan di Indonesia Masalah-masalah Krusial, Cetakan Ke-I,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm. 30.

Universitas Sumatera Utara

6

Perkawinan yang sah dan dicatat memberikan kejelasan kedudukan anak di mata
hukum, seperti tertuang dalam Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974, yang menentukan bahwa
anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai anak akibat dari perkawinan
yang sah. Begitu juga sebaliknya akibat hukum terhadap anak dari perkawinan yang
tidak dicatatkan yang diperoleh dari perkawinan tersebut seperti yang tertuang dalam

Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, yang menentukan bahwa anak yang dilahirkan
di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya.
Ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, mengandung arti bahwa
undang-undang melimpahkan segala resiko atas lahirnya anak dari hubungan di luar
kawin tersebut hanya kepada ibu dan anaknya padahal tidak mungkin lahir seorang anak
tanpa peran ayah biologisnya. Akibat dari perkawinan siri terhadap kedudukan anak di
mata hukum memberi kesempatan khususnya ayah untuk meninggalkan kewajibannya
yang mempengaruhi kemaslahatan keturunan mengakibatkan anak yang dilahirkan tidak
memiliki identitas yang jelas yang dapat dibuktikan secara hukum dan berakibat
terhadap kemaslahatan harta yang seharusnya menjadi haknya, karena dengan tidak
jelasnya identitas anak maka anak akan menjadi kesulitan untuk mendapatkan harta
waris dari orang tuanya. Begitu juga dengan isteri akan mengalami kesulitan untuk
untuk menyatakan dirinya sebagai ahli waris yang sah dan mengalami kesusahan untuk
mendapatkan pengakuan terhadap anaknya. Berbeda misalnya terhadap perkawinan
yang merupakan perkawinan sah (dalam pengertian sebagai perkawinan yang tercatat),

Universitas Sumatera Utara

7


jika suami meninggal dunia, maka anak dan janda dari suami yang meninggal dunia
tetap mendapatkan hak waris dari harta yang ditinggalkan almarhum suaminya.
Terhadap perkawinan yang tercatat, maka berdasarkan ketentuan yang terdapat
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUH Perdata),
anak yang masih dalam kandungan ibunya juga mempunyai hak untuk waris dari
almarhum ayahnya. Terkait dengan hak waris anak yang masih dalam kandungan
ibunya ini, dalam Pasal 348 KUH Perdata disebutkan bahwa jika setelah suami
meninggal dunia, isteri menerapkan, atau setelah dipanggil secara sah untuk itu,
mengaku bahwa ia sedang mengandung, maka Balai Harta Peninggalan harus jadi
pengampu atas buah kandungan itu dan wajib mengadakan segala tindakan yang perlu
dan yang mendesak guna menyelamatkan dan mengurus harta kekayaannya, baik demi
kebaikan anak bila ia lahir hidup maupun demi kebaikan semua orang yang
berkepentingan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 348 KUH Perdata tersebut, dapat dimaknai
bahwa Balai Harta Peninggalan (BHP) berkewajiban melakukan segala urusan untuk
menjamin hak-hak anak dalam kandungan. Kedudukan BHP disini adalah sebagai wali
dari anak yang masih dalam kandungan janda yang ditinggal mati suami atau dikenal
dengan istilah “kurator ventris”, tetapi kedudukan BHP sebagai kurator hanya terbatas
pada kewajibannya untuk mengurus harta anak yang diperoleh dari proses pewarisan.
Persoalan mendasar yang perlu dipertanyakan adalah terkait dengan kedudukan
kurator ventris untuk mewakili kepentingan anak yang masih dalam kandungan janda
dari perkawinan yang tidak tercatatkan. Pertanyaannya: “apakah BHP dapat ditunjuk

Universitas Sumatera Utara

8

sebagai kurator ventris dari anak yang masih dalam kandungan seorang janda,
sementara perkawinan orang tuanya tidak tercatat?”
Memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata, maka BHP hanya
dapat mewakili kepentingan anak yang masih dalam kandungan janda dari perkawinan
orang tuanya yang tercatat, sedangkan terhadap perkawinan yang tidak tercatat
(perkawinan siri), maka BHP tidak dapat menjadi kurator ventris terhadap anak. Dalam
kaitannya pertanyaan di atas, perlu kiranya dirujuk Putusan Mahkamah Konsitusi
Nomor: 46/PUU-VIII/2010, yang menyebutkan bahwa:
1. Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan
di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata
dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah
sebagai ayahnya.
2. Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan
di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai
menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus
dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti
lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata
dengan keluarga ayahnya”.
Memperhatikan isi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa, anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat tetap diakui

Universitas Sumatera Utara

9

apabila terbuktikan bahwa anak tersebut mempunyai hubungan darah dengan ayahnya
(secara biologis). Akibat putusan Mahkamah Konstitusi ini, tentunya dapat pula
menimbulkan pertanyaan yuridis terkait kedudukan kuratos ventris untuk mewakili
kepentingan anak dari perkawinan perkawinan siri, sedangkan anak dalam kandungan
janda terbukti mempunyai hubungan biologis dengan ayahnya. Oleh sebab itu, menarik
kiranya untuk dilakukan penelitian yang terkait dengan kewenangan kurator ventris
untuk mewakili kepentingan anak dalam kandungan janda dari pernikahan siri pasca
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan
diteliti dan dibahas secara lebih mendalam pada penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana kewenangan kurator ventris untuk mewakili kepentingan anak dalam
kandungan janda dari pernikahan siri?
2. Bagaimana pertimbangan hukum dalam Putusan Mahmakah Konstitusi Nomor:
46/PUU-VIII/2010 terkait dengan hubungan keperdataan anak dalam kandungan
janda dari pernikahan siri?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang ditetapkan, maka penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Mengetahui kewenangan kurator ventris untuk mewakili kepentingan anak dalam
kandungan janda dari pernikahan siri

Universitas Sumatera Utara

10

2. Mengetahui pertimbangan hukum di dalam Putusan Mahmakah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 terkait dengan hubungan keperdataan anak dalam kandungan
janda dari pernikahan siri.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi
para akademisi maupun masyarakat umum dan dapat memberi memberikan sumbangan
pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum, khususnya terkait dengan fungsi Balai
Harta Peninggalan dalam lapangan hukum waris dan hukum keluarga, dan termasuk
mengenai kedudukan anak dalam kandungan dalam pernikahan siri ditinjau dari hukum
perdata.
2. Manfaat Praktis
Pembahasan tesis ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihakyang
melakukan pernikahan siri dan memberi masukan kepada para penegak hukum dan
pembuat peraturan untuk menyempurnakan kembali peraturan-peraturan di bidang
hukum waris dan hukum keluarga, agar tercipta suatu unifikasi hukum di dalam
masyarakat.
E. Keaslian Penelitian
Dari hasil penelusuran kepustakaan diketahui bahwa penelitian tentang
kewenangan kurator ventris untuk mewakili kepentingan anak dalam kandungan janda

Universitas Sumatera Utara

11

dari pernikahan siri pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010,
belum

pernah

dilakukan,

sehingga

penelitian

ini

adalah

asli

dan

dapat

dipertanggungjawabkan, walaupun ada beberapa penelitian terdahulu yang hampir sama
dengan penelitian, tetapi ruang lingkup masalah yang dianalisis berbeda. Adapun
penelitian yang hampir sama dengan penelitian ini adalah:
1. Nama

: Kartika Janicia Yanti

NIM

: 107011079

Program studi

: Magister Kenotariatan

Judul tesis

: Akibat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap Hubungan Antara Anak
dengan Orang Tua dan Ayah Biologisnya

Perumusan masalah: a. Bagaimana hubungan hukum keperdataan antara anak
yang dilahirkan di dalam perkawinan yang sah dengan
seorang laki-laki lain di mana si ibu tidak menikah dengan
ayah biologisnya?
b. Bagaimana hubungan anak yang lahir di luar perkawinan
yang sah dengan ayah biologisnya?
2. Nama

: Netti

Nim

: 09701168

Program Studi

: Magister Kenotariatan

Universitas Sumatera Utara

12

Judul Tesis

: Tinjauan Yuridis Siri Menurut Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam.

Perumusan Masalah: a. Bagaimana kedudukan pernikahan siri menurut Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?
b. Bagaimana akibat hukum pernikahan siri di tinjau dari
Undang-undang

Nomor

1

Tahun

1974

tentang

Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam?
c. Bagaimana sikap pengadilan Agama Kelas I A Medan
terhadap nikah siri?
3. Nama

: Ayu Yulia Sari

NIM

: 097011052

Program Studi

: Magister Kenotariatan

Judul Tesis

: Analisis Yuridis Kedudukan Anak Luar Nikah Berdasarkan
Kompilasi Hukum Islam dan KHUPerdata.

Perumusan Masalah: a. Bagaimana kriteria anak di luar nikah dalam Kompilasi
Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata?
b. Bagaimana kedudukan anak di luar nikah berdasarkan
Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang
Hukum Perdata?

Universitas Sumatera Utara

13

c. Bagaimana akibat hukum anak di luar nikah berdasarkan
Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang
Hukum Perdata?
F. Kerangka Teoritis dan Konsepsi
1. Kerangka teoritis
Kerangka teori merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara,
aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis menjadi landasan, acuan dan
pedoman untuk mencapai tujuan,15 sedangkan teori adalah penjelasan mengenai gejala
yang terdapat dalam dunia fisik tersebut, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual
dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris.16
Menurut Shorter Oxford Dictionary, teori mempunyai beberapa definisi yang
salah satunya lebih tepat sebagai suatu disiplin akademik “suatu skema atau sistem
gagasan atau pernyataan yang dianggap sebagai penjelasan atau keterangan dari
sekelompok fakta atau fenomena suatu pernyataan tentang sesuatu yang dianggap
sebagai hukum, prinsip umum atau penyebab sesuatu yang diketahui atau diamati,17
maka teori hendaknya meliputi semua pernyataan yang disusun dengan sengaja yang
dapat memenuhi kriteria yaitu:18
a. Pernyataan itu harus abstrak, yaitu harus dipisahkan dari praktik-praktik sosial yang
dilakukan. Teori biasanya mencapai abstraksi melalui pengembangan konsep teknis
yang hanya digunakan dalam komunitas sosiologis dan sosial;
15

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2004, hlm. 72-73.
16
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 27.
17
Malcom Walters, Modern Sociological Theory, Sage Publications, 1994, hlm. 2, dalam H. R.
Otje Salman dan Anton F. SusantoTeori Hukum, P.T. Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 21
18
H. R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, ibid hlm. 23

Universitas Sumatera Utara

14

b. Pernyataan itu harus tematis. Argumentasi tematis tertentu harus diungkapkan
melalui seperangkat pernyataan yang menjadikan pernyataan itu koheren dan kuat;
c. Pernyataan itu harus konsisten secara logika. Pernyataan-pernyataan itu tidak boleh
saling berlawanan satu sama lain dan jika mungkin dapat ditarik kesimpulan dari
satu dan lainnya;
d. Pernyataan itu harus dijelaskan. Teori harus mengungkapkan suatu tesis atau
argumentasi tentang fenomena tertentu yang dapat menerangkan bentuk substansi
atau eksistensinya;
e. Pernyataan itu harus umum pada prinsipnya. Pernyataan itu harus dapat digunakan
dan menerangkan semua atau contoh fenomena apapun yang mereka coba
terangkan;
f. Pernyataan-pernyataan itu harus independen. Pernyataan itu tidak boleh dikurangi
hingga penjelasan yang ditawarkan para partisipan untuk tingkah laku mereka
sendiri;
g. Pernyataan-pernyataan itu secara substansi harus valid. Pernyataan itu harus
konsisten tentang apa yang diketahui dunia sosial oleh partisipan dan ahli-ahli
lainnya. Minimal harus ada aturan-aturan penerjemahan yang dapat menghubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lain;

Terkait dengan fungsi maupun kegunaan teori dalam suatu penelitian
sebagaimana dijelaskan di atas, maka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam
penelitian ini adalah Teori Kepastian Hukum yang didukung dengan Teori Keadilan.
Menurut pandangan Thomas Aquinas, suatu hukum disebut adil jika hukum
tersebut dapat berfungsi efektif dalam menjamin atau melindungi hak-hak subjek yang
diaturnya, termasuk yang diatur dalam hukum positif, keadilan merupakan kehendak
yang kekal di antara satu satu orang dan sesamanya untuk memberikan segala sesuatu
yang menjadi haknya, defenisi ini memberikan gambaran hubungan antara “hak dan
keadilan” hak yang dimiliki setiap manusia.19 Dalam keadaan yang demikian kepastian
hukum sangat diperlukan untuk menjalankan peraturan secara konsisten. Cara dan

19

E. Sumaryono, Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Cetakan
Kelima, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hlm. 255.

Universitas Sumatera Utara

15

memperlakukan seseorang atau masyarakat dengan adil, maka peraturan hukum akan
sangat membantu anggota masyarakat karena hukum diterapkan secara pasti dan
konsisten.
Menurut Jan Michiel Otto, untuk menciptakan kepastian hukumnya harus
memenuhi syarat-syarat, yaitu:20
a. Ada aturan hukum yang jelas dan konsisten;
b. Instansi pemerintah menerapkan aturan hukum secara konsisten, tunduk dan taat
terhadapnya;
c. Masyarakat menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan hukum tersebut;
d. Hakim-hakim yang mandiri, tidak berpihak dan harus menerapkan aturan hukum
secara konsisten serta jeli sewaktu menyelesaikan sengketa hukum;
e. Putusan pengadilan secara konkret dilaksanakan.
Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus
memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak
yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan
meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.
Terkait Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, maka untuk mewujudkan
keadilan dan kepastian hukum bagi hak-hak anak, maka harus dimaknai bahwa anak
yang dilahirkan di luar perkawinan, mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
20

Jan Michiel Otto, “Reele Rechtszekerheidin Ontwikkelingslanden”, Kepastian Hukum yang
Nyata di Negara Berkembang, Penerjemah Tristam Moeliono, Cetakan Pertama, Komisi Hukum Nasional
Republik Indonesia (KHN-RI), 2003, hlm. 5

Universitas Sumatera Utara

16

Dikaitkan dengan permasalahan anak yang masih dalam kandungan ibunya, dan
mengingat banyaknya praktik masyarakat yang melakukan pernikahan siri, maka
dibutuhkan kepastian hukum dalam menyelesaikan setiap permasalahan hak-hak anak
dalam kandungan dengan berpedoman pada kebijakan atau aturan-aturan yang
ditetapkan pemerintah maupun aturan-aturan yang ada dalam masyarakat.
Teori Kepastian Hukum sangat relevan digunakan untuk mengkaji Putusan
Mahkamah Konstitusi 46/PUU-VIII/2010, terkait persoalan anak luar kawin.
Mahkamah Konstitusi memberikan hak anak luar kawin untuk dapat membuktikan
keberadaan dirinya dengan ilmu pengetahuan mempunyai hubungan dengan ayahnya,
dan jika terbukti maka memiliki hak-hak yang sama dengan hak-hak anak yang sah
lainnya dan terhadap anak yang masih dalam kandungan yang berasal dari pernikahan
siri juga harus mendapatkan kepastian hukum terhadap hak-haknya.
Dalam pendekatan Teori Keadilan yang digunakan, maka keadilan hanya dapat
dipahami, jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum.
Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang
dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh
kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk
mengaktualisasikannya.21 Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state,
berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila
dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat

21

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung,
2004, hlm. 239.

Universitas Sumatera Utara

17

menemukan kebahagian di dalamnya.22 Lebih lanjut Hans Kelsen mengemuka-kan
keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif, walaupun suatu tatanan
yang adil dianggap bahwa suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan,
melainkan kebahagian sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti
kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau
pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti
kebutuhan sandang, pangan dan papan. Kebutuhan-kebutuhan manusia yang mana yang
patut diutamakan, maka hal ini dapat dijawab dengan menggunakan pengetahuan
rasional, yang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh faktor-faktor
emosional dan oleh sebab itu bersifat subjektif.23
2. Kerangka Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam
penelitian ini untuk menggabungkan teori observasi, antara abstrak dengan kenyataan.
Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari
hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.24
Suatu konsepsi pada hakikatnya merupakan pengarah atau pedoman yang lebih
konkrit dari Kerangka Teoritis (Tinjauan Pustaka), yang sering kali masih bersifat
abstrak, tetapi suatu kerangka konsepsi kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak,

22

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Penerjemah Rasisul Muttaqien, Nusa Media,
Bandung, 2011, hlm. 7.
23
Ibid.
24
Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 31.

Universitas Sumatera Utara

18

sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang akan menjadi pegangan konkrit
di dalam proses penelitian.25
Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian tesis perlu didefenisikan
beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi agar secara operasional
dapat dibatasi ruang lingkup variabel dan dapat diperoleh hasil penelitian yang sesuai
dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan. Konsep itu adalah sebagai berikut:
a. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga yang
bahagia dan kekal) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.26.
b. Ahli waris adalah setiap orang atau manusia yang berkepentingan atas peristiwa
wafatnya seseorang yang berhubung dengan adanya suatu harta kekayaan yang
tersedia untuk dipergunakan akan keperluan keselamatan masyarakat.27
c. Anak adalah seorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun termasuk anak
yang masih dalam kandungan28.
d. Janda adalah janda dari seorang lelaki yang meninggal dunia, pantas mendapat
perhatian dan ternyata diperlakukan secara istimewa dalam tiga lingkungan hukum,
yaitu hukum adat, hukum islam, dan hukum perdata.29.
e. Waris adalah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang
pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.30
25

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 298.
Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
27
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1994, hlm. 21.
28
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
29
Ibid, hlm. 28.
26

Universitas Sumatera Utara

19

f. Pewaris adalah menunjukkan orang yang meneruskan harta peninggalan ketika
hidupnya kepada waris atau orang yang setelah wafat meninggalkan harta
peninggalan yang diteruskan kepada waris.31
g. Harta warisan adalah segala harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang
meninggal dunia yang berupa semua harta kekayaan dari yang meninggal dunia
setelah dikurangi dengan semua hutangnya.32
h. Kurator ventris adalah pengurus yang mewakili kepentingan hukum janin yang
masih berada di dalam kandungan janda dari perkawinan siri apabila kepentingan
menghendakinya.33
i. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara yang dibentuk sebagai
pengawal dan penafsir Undang-Undang Dasar yang bertujuan untuk menjamin tidak
ada produk hukum lagi yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak
konstitusional warga negara dapat terjaga.34
j. Perkawinan siri adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau
adat istiadat dan tidak dicatatkan di Kantor Pegawai Pencatat Nikah (KUA).35
G. Metode Penelitian
Secara etimologi metode diartikan sebagai jalan atau cara melakukan atau
mengerjakan sesuatu, metode berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang artinya
30
31
32

33

Hilman Hadikusuma, Op. Cit., hlm. 21
Ibid, hlm. 17.
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 7.

Ibid, hlm. 8
D.Y. Witanto, Op. Cit., hlm. 220.
35
Baiq Burdatun, “Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut Undangundang Perkawinan”, Jurnal Ilmiah Program Studi Ilmu Hukum, Mataram, 2013, hlm. 2
34

Universitas Sumatera Utara

20

“jalan menuju”, bagi kepentingan ilmu pengetahuan. Metode merupakan titik awal
menuju proposisi-proposisi akhir dalam bidang pengetahuan tertentu.36
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, selain itu juga diadakan
pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian
mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam
gejala yang bersangkutan.37
Pemilihan metode yang baik untuk suatu penelitian tergantung kepada sasaran
penelitian, bahan yang tersedia, kondisi yang meliputi kegiatan penelitian, dan terutama
jenis informasi yang diperlukan. Sehubungan hal ini, maka metode yang digunakan
dalam penelitian ini, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah dari penelitian
ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang kewenangan
kurator ventris untuk mewakili kepentingan ank dari pernikahan siri pasca putusan
Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010. Analisis dilakukan berdasarkan
gambaran, fakta yang diperoleh dan akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab
permasalahan dalam menyimpulkan suatu solusi sebagai jawaban dari permasalahan
tersebut.

36
37

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm. 13.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2007, hlm. 43.

Universitas Sumatera Utara

21

2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dimana pendekatan
terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan perundang-undangan
yang berlaku di bidang tanggung jawab sosial yang terdapat di dalam UU No. 1 Tahun
1974, KUH Perdata, dan juga dalam KHI dan Fiqih Islam, khususnya mengenai
perkawinan siri dan kewenangan kurator ventris untuk mewakili kepentingan anak
dalam kandungan janda dari pernikahan sirih pasca putusan Mahkamah Konsistusi No.
46/PUU/VIII/2010.38
3. Alat Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan salah satu tahapan dalam proses penelitian yang
sifatnya mutlak untuk dilakukan, karena data merupakan sumber yang akan diteliti.
Pengumpulan data difokuskan pada pokok permasalahan yang ada, sehingga dalam
penelitian tidak terjadi penyimpangan dan kekaburan dalam pembahasannya.
Pengumpulan data dalam penelitian ini mempergunakan data sekunder yang diperoleh
melalui studi kepustakaan (library research).
Studi kepustakaan merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan
membaca bahan-bahan hukum yang ada relevansinya dengan topik pembahasan atau
masalah yang akan diteliti, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun
bahan hukum tersier. Penelitian ini juga didukung dengan wawancara dengan Hakim
Pengadilan Agama Kelas II A Dumai dan seorang Pegawai BHP Medan yang dalam
penelitian ini memiliki kapasitas sebagai informan dan narasumber.
38

Zanuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 105.

Universitas Sumatera Utara

22

4. Sumber (Jenis) Data
Penelitian ini jenis data yang diperlukan, yaitu data skunder. Data sekunder
adalah data yang diperoleh dari dokumen publikasi, artinya data sudah dalam bentuk
jadi,39 atau data kepustakaan yang dikenal dengan bahan hukum dalam yang terdiri dari
3 (tiga) kelompok, yaitu:
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari Perundang-undangan,
catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim,40 antara lain: Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.
b. Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum yang
merupakan dokumen-dokumen teks, buku-buku, jurnal-jurnal hukum dan termasuk
komentar-komentar atas putusan pengadilan.41
c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas
bahan hukum lainnya, misalnya: Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus
Hukum.
Selain data sekunder sebagaimana tersebut di atas, penelitian ini juga dilengkapi
dengan data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dengan responden yang berasal
dari Pengadilan Agama Kelas II A Dumai dan Balai Harta Peninggalan Medan.
39

I Made Wirartha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Skripsi dan Tesis, Andi, Yogyakarta,
2006, hlm. 34.
40
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 141.
41
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

23

5. Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasi dan mengurutkan data ke
dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.42 Analisis data
merupakan salah satu yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka
memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti. Sebelum analisis dilakukan,
terlebih adahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang ada
untuk mengetahui validitasnya.
Penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasikan hukum positif di bidang
hukum keluarga khususnya dalam hal kewenangan kurator ventris untuk mewakili
kepentingan anak dalam kandungan janda dari pernikahan siri dan peraturan perundangundangan lainnya yang mempunyai hubungan erat dengan hukum keluarga di antaranya
adalah UU No. 1 Tahun 1974, KUH Perdata dan KHI. Data yang diperoleh baik dari
studi kepustakaan maupun wawancara pada dasarnya merupakan data tataran yang
dianalisis secara kualitatif, yaitu setelah data terkumpul kemudian dituangkan dengan
bentuk uraian logis sistematis, selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan
penyelesaian masalah. Penarikan kesimpulan dilakukan secara deduktif, yaitu dari hal
yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus, yang berhubungan dengan
permasalahan yang diteliti dari peraturan-peraturan atau prinsip-prinsip umum menuju
penulisan yang bersifat khusus.

42

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hal 101.

Universitas Sumatera Utara