Kewenangan Kurator Ventris Untuk Mewakili Kepentingan Anak Dalam Kandungan Janda Dari Pernikahan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46 PUUVIII 2010

24

BAB II
KEWENANGAN KURATOR VENTRIS UNTUK MEWAKILI KEPENTINGAN
ANAK DALAM KANDUNGAN JANDA DARI PERNIKAHAN SIRI

A. Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
1. Pengertian dan Syarat Sahnya Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pengertian perkawinan yang
disebutkan di dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut di atas maka dapat
dikatakan ada 5 (lima) unsur dalam pengertian perkawinan, yaitu
a. Adanya ikatan lahir batin.
b. Dilangsungkan oleh seorang pria dengan seorang wanita.
c. Ikatan yang dilaksanakan adalah sebagai suami isteri.
d. Bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal dan
e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
menentukan bahwa: “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu”, dan selanjutnya Pasal 2 ayat (2) UU No. 1
Tahun 1974 ditentukan pula bahwa: “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku”.
Mengenai ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 telah memutuskan untuk
24

Universitas Sumatera Utara

25

tidak mencabut ketentuan tersebut karena pencatatan perkawinan dipandang sebagai
suatu upaya tertib administrasi dari suatu perkawinan agar perkawinan tersebut tercatat
dan diketahui dan diakui oleh Negara. Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk tidak
mencabut Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dalam perkembangannya ternyata disikapi berbagai pandangan, dimana pandangan
tersebut antara lain mengatakan bahwa perkawinan yang sah secara Islam cukup
dilaksanakan apabila dilakukan menurut rukun nikah. Keharusan untuk melakukan
pencatatan pernikahan tidak merupakan rukun nikah dalam hukum Islam. Dari lima
rukun nikah yang terdapat di dalam empat mazab dalam hukum Islam tidak ada seorang
ulama pun yang mengemukakan bahwa semua pernikahan harus dicatat. Hal ini
didasarkan pada ketentuan dalam Al-Qur’an dan Hadits yang tidak secara eksplisif

menyebutkan perkawinan harus dicatat. Oleh karena itu perdebatan tentang

sah

tidaknya suatu perkawinan apabila perkawinan itu tidak tercatat tetap mengemuka
hingga saat ini. Sebagian ulama tidak sependapat dengan ketentuan yang menyatakan
bahwa perkawinan yang sah harus dicatat karena di dalam hukum Islam tidak ada
ketentuan yang mewajibkan suatu pernikahan harus dicatat. Namun sebagian ulama
lainnya menyetujui adanya pencatatan perkawinan setelah perkawinan tersebut
dilangsungkan sesuai agama dan kepercayaannya. Hal ini mengingat tujuan dari
pencatatan perkawinan tersebut adalah sebagai tertib administrasi dari suatu perkawinan
sehingga perkawinan tersebut autentik secara hukum dan dapat dibuktikan apabila
terjadi permasalahan dalam perkawinan tersebut.

Universitas Sumatera Utara

26

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas
monogami relatif, maksudnya bahwa pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki

seorang isteri dan sebaliknya seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami,
tetapi pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini termuat di
dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974. Dalam hal seorang suami
akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) UU No. 1
Tahun 1974, maka ia wajib mengajukan permohonan ke pengadilan di daerah tempat
tinggalnya. Pengadilan ini hanya dapat memberi izin kepada suami yang akan beristeri
lebih dari seorang (poligami) apabila memenuhi persyaratan, sebagai berikut:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; atau
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
ditentukan bahwa dalam hal suami akan beristeri lebih dari seorang, maka harus
memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteriisteri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka.

Universitas Sumatera Utara


27

Persetujuan sebagaimana yang dimaksud tersebut di atas, tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Selain syarat-syarat yang disebutkan sebelumnya, maka terkait dengan syaratsyarat perkawinan, diatur pula secara rinci dalam Pasal 6 UU No. 1 Tahun 1974, yang
terdiri dari:
a. Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
b. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua
puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
c. Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud huruf (b) tersebut di
atas cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang
mampu menyatakan kehendaknya.
d. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang
memelihara atau keluarga yang mampu hubungan darah dalam garis keturunan lurus

ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
e. Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam huruf (b), (c)
dan (d) sebagaimana tersebut di atas, atau salah seorang atau lebih diantara mereka
tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah tempat

tinggal

Universitas Sumatera Utara

28

orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam
huruf (b), (c), dan (d) sebagaimana tersebut di atas.
f. Ketentuan tersebut huruf (a) sampai dengan huruf (e) sebagaimana tersebut di atas
berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan diatur tentang syarat
umur bagi mempelai pria maupun mempelai wanita yaitu mempelai pria mencapai umur
19 tahun dan mempelai wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Apabila

terjadi penyimpangan dalam syarat umur sebagaimana tersebut di atas dapat diminta
dispensasi di pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria
atau pihak wanita.
Selain mengatur tentang syarat-syarat perkawinan, dalam UU No. 1 Tahun 1974
diatur pula tentang larangan dalam perkawinan. Adapun larangan-larangan dalam
perkawinan, yaitu:43
a. Larangan perkawinan karena berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke
bawah atau ke atas
b. Larangan

perkawinan

karena berhubungan

darah

dalam garis

keturunan


menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua
dan antara seorang dengan saudara neneknya.

43

Lihat Pasal 8 sampai dengan Pasal 11 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

Universitas Sumatera Utara

29

c. Larangan perkawinan karena berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri,
menantu dan ibu/bapak tiri
d. Larangan perkawinan karena berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan
bibi/paman susuan.
e. Larangan perkawinan karena berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi
atau kemenakan dari isteri dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
f. Larangan perkawinan karena mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau
peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
g. Larangan perkawinan karena masih terikat tali perkawinan dengan orang lain,

kecuali bagi seorang pria dapat kawin lagi (berpoligami) jika telah mendapat izin
dari pengadilan atas permintaan pihak-pihak yang bersangkutan dengan alasan
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu karena isterinya
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; atau isteri mendapat cacat
badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau isteri tidak dapat
melahirkan keturunan.
h. Larangan perkawinan apabila kedua calon mempelai sebelumnya pernah sebagai
pasangan suami dan isteri dan sudah dua kali kawin cerai, kecuali hukum masingmasing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
i. Larangan perkawinan bagi seorang wanita yang masih dalam masa iddah. Wanita
yang perkawinannya terputus baik karena perceraian maupun karena suaminya
meninggal dunia dilarang untuk melangsungkan perkawinan lagi dengan pria
lainnya sebelum dirinya melewati masa jangka waktu tunggu (masa iddah), yaitu:

Universitas Sumatera Utara

30

1) selama 130 (seratus tiga puluh) hari, apabila perkawinan putus karena suami
meninggal dunia.
2) selama 3 (tiga) kali suci bagi yang masih berdatang bulan atau dengan

sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang
bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari, apabila perkawinan putus karena
perceraian.
3) sampai melahirkan, apabila perkawinan terputus pada saat dirinya dalam
keadaan hamil.
Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat
untuk melangsungkan perkawinan. Adapun pihak yang dapat mencegah berlangsungnya
perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah,
saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak
yang berkepentingan. Pihak keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah,
saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak
yang berkepentingan berhak pula mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah
seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan
perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai
lain, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang yang tersebut di atas.44
Pencegahan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum
dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai

44


I Ketut Oka Setiawan dan Arusman, Hukum Perdata Tentang Orang dan Benda, FH Utama,
Jakarta, 2010, hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara

31

pencatat perkawinan. Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan pengadilan
atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada pengadilan oleh yang
mencegah. Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.
Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu
melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan
mengenai syarat umur, adanya larangan perkawinan, salah seorang mempelai masih
terikat tali perkawinan dengan pihak lain, suami isteri yang telah bercerai dan telah
kawin lagi dengan yang lain dan bercerai untuk kedua kalinya tidak boleh lagi
melangsungkan perkawinan diantara keduanya dan melanggar tata cara perkawinan
sebagaimana diatur di dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1 Tahun 1974.45
Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat
untuk melangsungkan perkawinan yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan,

yaitu:
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke arah dari suami atau isteri.
2. Suami atau isteri
3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan dalam diputuskan
4. Pejabat yang ditunjuk tersebut di atas dan setiap orang mempunyai kepentingan
hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah
perkawinan itu putus.

45

R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, 2001, hlm. 46.

Universitas Sumatera Utara

32

Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa,
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu”. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak
ditentukan lain di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dari
ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
tersebut di atas perkawinan tidak hanya sekedar sebagai suatu perbuatan hukum yang
menimbulkan akibat-akibat hukum, akan tetapi juga merupakan perbuatan keagamaan,
sehingga sahnya suatu perkawinan ditentukan pula menurut agama dan kepercayaan
masing-masing orang yang melangsungkan perkawinan tersebut. Suatu perkawinan
adalah sah apabila dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun hukum agamanya dan
kepercayaannya itu. Di samping keabsahan suatu perkawinan ditentukan oleh agama
dan kepercayaan masing-masing orang yang melangsungkan perkawinan tersebut maka
setelah pelaksanaan perkawinan wajib disusul dengan pencatatan perkawinan dihadapan
pegawai pencatat nikah sesuai ketentuan yang termuat di dalam Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dari uraian di atas dapat di
katakan keabsahan suatu perkawinan di Indonesia ditentukan oleh dua faktor yaitu
pertama perkawinan tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan rukun agama dan
kepercayaannya, dan kedua bahwa setelah pelaksanaan perkawinan tersebut sesuai
ketentuan rukun agama dan kepercayaannya tersebut wajib disusul dengan pencatatan
perkawinan dihadapan pegawai pencatat perkawinan.

Universitas Sumatera Utara

33

Hal ini membuktikan bahwa selain ingin mengungkapkan bahwa perkawinan
yang mereka lakukan sah secara agama, juga menunjukkan kepada khalayak ramai
bahwa mereka resmi dan sah secara agama dan secara hukum negara sebagai pasangan
suami isteri. Pencatatan atas perkawinan yang dilakukan tersebut, dibuktikan dengan
memperoleh kutipan akta perkawinan, sebagai bukti yang dapat dipercaya dari suatu
perkawinan. Kutipan akta perkawinan sangat penting bagi suami maupun isteri sebagai
bukti telah dilangsungkannya suatu perkawinan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan
sesuai dengan undang-undang yang dibuat oleh Negara.46
Keberadaan kutipan akta perkawinan sangat penting, tetapi tidak semua
pasangan suami isteri memilikinya. Hal ini biasanya terjadi karena ada perkawinan yang
tidak dicatatkan oleh pasangan suami isteri tersebut ke catatan sipil maupun ke pegawai
pencatat nikah talak dan rujuk. Konsekuensinya pasangan suami isteri tersebut tidak
memiliki kutipan akta perkawinan. Perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut hanya
memenuhi ketentuan agama, dan sama sekali tidak memenuhi aturan Negara yang
termuat dalam UU No. 1 Tahun 1974 maupun peraturan pelaksanaannya, yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (selanjutnya disingkat PP No. 9 Tahun
1975). Perkawinan yang hanya mengikuti peraturan dan syarat agamanya, tanpa
dilakukan pencatatannya tersebut pada umumnya dikenal dengan istilah dengan nikah
siri.47

46

R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Martha Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, Sumar,
Surabaya, 2012, hlm. 71.
47
Ramadhan Alfarizi, Nikah Siri dan Konsekuensi Hukumnya Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, Bina Ilmu, Jakarta, 2008, hlm. 18.

Universitas Sumatera Utara

34

Akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah adalah bahwa suami isteri yang
menikah secara sah tersebut sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku memiliki kedudukan hukum yang dilindungi oleh undang-undang dalam hal hak
dan kewajibannya sebagai pasangan suami isteri maupun terhadap anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan yang sah tersebut memiliki hubungan yang sah pula
terhadap orang tua kandungnya termasuk dalam hal hubungan keperdataan untuk
mewarisi harta kedua orang tuanya, baik ayah maupun ibunya sebagai anak yang sah
dari suatu perkawinan. Demikian pula halnya dengan pasangan suami isteri yang
menikah secara sah sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku

dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka
kedudukan suami isteri tersebut dilindungi secara hukum dalam hal harta benda
perkawinan selama berlangsungnya perkawinan tersebut.
2.

Pengertian dan Keabsahan Perkawinan Siri
Perkawinan siri adalah perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil

atau di Kantor Pegawai Pencatat Nikah Talak dan Rujuk, sehingga pernikahan tersebut
tidak tercatat baik di Kantor Urusan Agama bagi yang muslim dan di Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil bagi yang beragama non muslim. Defenisi lain dari
perkawinan siri, yaitu perkawinan di bawah tangan yang dilaksanakan dengan
mengabaikan syarat dan prosedur undang-undang, tidak dilakukan dihadapan pegawai
catatan sipil maupun pegawai pencatat nikah talak dan rujuk tetapi dilakukan di depan
pemuka agama.

Universitas Sumatera Utara

35

Perkawinan siri mengandung arti bahwa perkawinan tersebut dilaksanakan
secara diam-diam, dilakukan di depan salah satu pemuka agama, disaksikan oleh saksisaksi, adanya ijab qobul, tidak diumumkan kepada publik dan tidak dicatatkan di Kantor
Urusan Agama bagi yang muslim dan di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil bagi yang non muslim.48
Perkawinan siri tidak memperoleh akta nikah, sehingga perkawinan tersebut
tidak dapat dibuktikan secara autentik atau secara hukum pada pihak ketiga. Dari
defenisi nikah siri sebagaimana tersebut di atas dapat dikatakan bahwa pengertian nikah
siri tidak hanya menyangkut tentang tidak tercatatnya pernikahan, tetapi juga sebagai
perkawinan yang tidak diketahui oleh masyarakat banyak. Peristilahan tentang nikah siri
ini lebih dikenal dalam keagamaan Islam, tetapi perkawinan siri ini tidak hanya didapati
dalam masyarakat yang beragama Islam saja, karena pada masyarakat yang beragama
non Islam juga ada terjadi, misalnya saja Kristiani, Hindu dan Budha. Intinya
perkawinan siri tersebut keabsahan dan pelaksanaannya hanya didasarkan kepada
ketentuan hukum agama dan para pihak yang melakukan perkawinan, misalnya dalam
agama Islam adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan yang
akhil baliqh, adanya persetujuan yang bebas antara calon pengantin tersebut, harus ada
wali nikah calon pengantin perempuan, harus ada 2 (dua) orang saksi laki-laki muslim
yang adil, harus ada ijab qobul antara calon pengantin tersebut.49
Faktor penyebab terjadinya atau dilangsungkannya perkawinan siri, adalah:
48

Wahyu Sudarmanto, Perkawinan Siri Ditinjau Dari Hukum Agama Islam dan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, Rizkita, Jakarta, 2009, hlm. 62.
49
Elvi Setiawaty, Nikah Siri dalam Teori dan Praktek, Eza Insani, Bandung, 2006, hlm. 5.

Universitas Sumatera Utara

36

a. Adanya sebagian pendapat yang membenarkan perkawinan siri menurut agama.
Dilihat dari hukum Islam dianggap sah dan dibenarkan oleh agama karena
perkawinan siri lebih baik dari pada hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang
sah atau dengan memelihara istri-istri piaraan.
b. Ketidaktahuan hukum para pihak yang melakukan perkawinan siri adalah suami istri
atau salah satu pihak di antaranya tidak tahu akan status dan akibat hukum dari
perkawinan siri yang mereka lakukan tersebut.
c. Lemahnya sanksi hukum terhadap pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan
siri.
d. Kurang biaya bagi seseorang untuk melangsungkan perkawinan dan mencatatkan
secara resmi di K.U.A.
Selain alasan tersebut di atas, pernikahan siri sering dipergunakan sebagai
penyelundupan hukum, untuk melegalkan adanya poligami bagi mereka yang
sebenarnya tidak memenuhi aturan yang disyaratkan oleh undang-undang. Perkawinan
demikian dapat diartikan sebagai itikad untuk peluang mengabaikan ketentuan negara
yang tertuang dalam undang-undang. Lazimnya terjadi, jika suami akan beristri lebih
dari seorang dan menjumpai kendala atau hambatan. Perkawinan yang demikian tidak
sah, dan batal. Seharusnya suami dan lembaga atau instansi terkait tidak membuka
kemungkinan perkawinan di bawah tangan, dan terhadap yang melaksanakan
perkawinan secara demikian itu dapat atau perlu dipertimbangkan untuk dikenakan
sanksi tertentu baik pembatalan perkawinan (sanksi perdata) maupun sanksi
administratif. Sebenarnya perkawinan demikian membawa akibat yang tidak baik

Universitas Sumatera Utara

37

terhadap istri, dan anak, dan pihak yang paling banyak dirugikan dalam perkawinan siri
adalah istri dan anak. 50
Hal ini disebabkan karena perkawinan siri tidak tercatat pada negara ,apabila
terjadi perceraian dalam perkawinan siri status isteri dari perkawinan siri maupun anak
dari hasil perkawinan siri menjadi lemah kedudukannya di mata hukum khususnya
dalam hal penuntutan hak-hak keperdataan ,baik pengakuan status isteri, anak serta
harta benda dari perkawinan siri tersebut.Hal ini yang menjadi penyebab mengapa
perkawinan siri tidak memberikan perlindungan hukum yang maksimal terhadap
perkawinan siri,sehingga pencatatan perkawinan sebagai suatu syarat adminitratif agar
negara mengetahui dan mengakui perkawinan tersebut tidak di cabut oleh Mahkamah
Konstitusi karena menyangkut tertib adminitrasi perkawinan yang menimbulkan hak
dan kewajiban diantara suami isteri selama perkawinan berlangsung maupun setelah
perkawinan berakhir dengan perceraian.
3. Akibat Hukum Terhadap Status Anak yang Dilahirkan dari Perkawinan Siri
a. Status anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah
Mengawali penjelasan tentang anak sah maka mengulang penjelasan di atas,
bahwa yang dimaksud dengan keturunan adalah anak, termasuk anak dari anak dan
seterusnya ke bawah. Membahas tentang anak, maka ketentuan dalam UU No. 1 Tahun
1974 dan KUHPerdata, berlaku prinsip, bahwa keturunan yang sah didasarkan atas
suatu perkawinan yang sah. Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 merumuskan bahwa anak
sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah.
50

Muhammad Syahfuddin, Hukum Perceraian, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 56

Universitas Sumatera Utara

38

Demikian juga halnya dengan perumusan Pasal 250 KUHPerdata. yang menentukan
bahwa, tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh
si suami sebagai bapaknya. Perumusan tentang anak sah dalam Pasal 42 UU No. 1
Tahun 1974 sedikit berbeda dengan Pasal 250 KUHPerdata. Sebelum melihat lebih jelas
perbedaan yang dimaksudkan, maka terlebih dahulu akan dibahas terlebih dahulu
berkaitan dengan perumusan dari kedua ketentuan tersebut.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu: kata “sepanjang” artinya sejak
perkawinan itu ada sampai perkawinan itu putus. Perkawinan ada, sejak perkawinan itu
dilangsungkan secara sah. Perkawinan itu putus karena perceraian, baik cerai mati
maupun cerai hidup (Pasal 199 KUHPerdata dan Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974). Kata
“ditumbuhkan” merupakan terjemahan dari kata “venverk”, yang dapat juga diberikan
arti “dibenihkan”. Disini terlihat ada 2 (dua) ukuran yang dipakai oleh pembuat undangundang untuk menempatkan siapa ayah seorang anak, kalau anak itu lahir di dalam
suatu keluarga, yang orangtuanya menikah secara sah. Panduan pertama adalah: anak
itu dilahirkan sepanjang perkawinan orangtuanya, tidak dipermasalahkan sejak kapan
dibenihkan atau dikandung, sehingga dapat dikatakan, bahwa pada asasnya, untuk
menetapkan keabsahan seorang anak, menurut KUHPerdata, tidak menjadi masalah
kapan seorang anak dibenihkan, dalam arti, apakah ia dibenihkan sebelum atau dalam
masa perkawinan. Panduan kedua adalah: anak yang dilahirkan itu, ditumbuhkan/
dibenihkan sepanjang perkawinan, termasuk kalau dalam batas-batas yang nanti akan
disebutkan ia lahir sesudah perkawinan itu putus. Dalam hal ini tidak diisyaratkan

Universitas Sumatera Utara

39

bahwa anak itu dilahirkan sepanjang perkawinan, tetapi masalah kapan anak itu
dibenihkan, di sini justru memegang peranan penting.51
Dari penjelasan tersebut diketahui perbedaannya bahwa untuk ketentuan yang
ada dalam Pasal 250 KUHPerdata, berlaku kedua panduan tersebut, walaupun dalam hal
ini ketentuan tersebut tidak merupakan syarat yang harus dipenuhi, karena dipergunakan
kata “atau” dalam perumusan pasal tersebut. Hal ini dapat dimengerti karena pada
ketentuan tersebut diberikan lebih untuk melindungi kepentingan si anak, yakni adanya
kepastian hukum dari pada menyelidiki kebenarannya”, sedangkan untuk ketentuan
yang ada dalam Pasal 42 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa, “Anak sah yang telah
dewasa, tetapi belum genap 20 tahun, juga wajib untuk memohon izin bapak dan ibunya
untuk melakukan perkawinan. Bila ia tidak memperoleh ijin itu, ia boleh memohon
perantaraan pengadilan negeri tempat tinggalnya dan dalam hal itu harus diindahkan
ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang hal tersebut”, jelas bahwa ketentuan dari
pasal tersebut, lebih menekankan pada kejelasan dari anak itu dibenihkan menjadi
penting.
Ketentuan dalam KUHPerdata dan UU No. 1 Tahun 1974 tersebut, maka secara
sah anak tersebut terikat dengan kedua orangtuanya, dalam hal ini timbulah pula hak
dan kewajiban antara anak dan kedua orangtuanya, dan sebaliknya. Seperti yang sudah
dibahas di atas maka kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
dengan sebaik-baiknya, dan hal ini berlangsung walaupun perkawinan antara dua

51

J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak dalam Undang-undang, Citra Aditya,
Bakti, Bandung, 2009, hlm. 29

Universitas Sumatera Utara

40

orangtuanya tersebut putus,52 tetapi dalam hal tertentu yaitu dalam hal orang tua tidak
mampu lagi memenuhi biaya yang dibutuhkan anaknya, sebagai pengecualian dari Pasal
48 UU No. 1 Tahun 1974, orangtua boleh menjual dan menggadaikan barang tetap
milik anaknya untuk memenuhi kebutuhan anak tersebut. Kebalikannya, anak juga
berkewajiban menghormati orangtua dan mentaati kehendak mereka yang baik. Apabila
anak telah dewasa ia wajib memelihara menurut kemampuannya bila mereka (orangtua)
memerlukan bantuannya.53 Pasal 46 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, memberikan
kewajiban sedemikian rupa terhadap anak, di mana kewajiban tidak saja pada orangtua
melainkan anak pun mempunyai kewajiban dan tanggung jawab orangtua. 54
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, perlu juga dilihat ketentuan dalam ajaran
agama Islam, yang dalam hal ini termuat dalam KHI, yang menyebutkan bahwa anak
sah adalah:
1) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
2) Hasil pembuahan suami istri yang

sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri

tersebut.
Anak sah itu memiliki hubungan keperdataan dengan orangtuanya, baik dengan
ibu maupun ayahnya, bahkan hubungan itu berlanjut sampai kakek atau nenek dari garis
ayah ibunya terus ke atas. Hubungan keperdataan ini dapat berupa hak dan kewajiban.
Hak itu ada sejak anak masih dalam kandungan yang berupa fasilitas supaya janin dapat
tumbuh sehat dan lahir dengan selamat. Bahkan terhadap janin karena zina pun yang
52

Lihat Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Lihat Pasal 46 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
54
Ahmad Tolabi, Khas ke Hukum Keluarga Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 32
53

Universitas Sumatera Utara

41

akhirnya menjadi anak tidak sah sebagai anak luar nikah juga mendapat perlindungan.
Sehingga, hak anak selama masih dalam kandungan sampai selesai menyusui, ibunya
memiliki hak yang sama antara anak sah dan tidak sah, tetapi hak keperdataan antara
keduanya berbeda.
Orangtua dalam Islam, wajib memberikan hak anak secara total. Hak-hak itu
dapat berupa penjagaan dan pemeliharaan, hak nasab, nama baik, hak penyusuan,
pengasuhan, warisan, bahkan sampai pendidikan, dan pengajaran.55 Hak-hak anak itulah
yang menjadi akibat dari status atau kedudukan sebagai anak sah. Sebagai
konsekuensinya, hak anak itu harus diimbangi oleh anak yang bersangkutan dalam
wujud ketaatan dan kebaktian kepada orangtua.56
b. Status anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah
Selain pengaturan tentang anak sah, maka dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan
KUHPerdata, diatur pula mengenai anak tidak sah. Untuk anak tidak sah seringkali juga
dipakai istilah anak luar kawin dalam arti luas. Anak tidak sah di dalam doktrin
dibedakan antara anak zina, anak sumbang dan anak luar kawin (juga disebut anak luar
kawin dalam arti sempit), yakni :
1) Anak Zina
Anak zina adalah anak yang lahir dari hubungan antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan di mana salah satu atau keduannya terikat dalam ikatan
perkawinan yang sah dengan pihak lain. Hal ini sesuai ketentuan yang berlaku
55
56

Lihat Pasal 104 dan Pasal 106 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.
Mustofa Rahman, Anak Luar Nikah Status dan Implikasi Hukumnya, Atmaja, Jakarta, 2003,

hlm. 65.

Universitas Sumatera Utara

42

dalam KUHPerdata. Menurut hukum Islam anak zina adalah anak yang terlahir
akibat hubungan seksual antara pria dan wanita di luar perkawinan tanpa
membedakan apakah pelakunya laki-laki dan perempuan yang belum berumah
tangga, atau sudah berumah tangga atau sudah janda atau duda. Anak zina
menurut KUHPerdata tidak dapat diakui oleh orangtua biologisnya. Hukum
Islam menentukan anak hasil zina tidak dapat dihubungkan kepada ayahnya,
atau anak zina tidak memiliki nasab yang sah secara syar’i. Hal ini dikarenakan
perbuatan zina tidak dapat menjadi sebab terjadinya hubungan nasab antara anak
zina dan ayah zina57
2) Anak sumbang (bloed schenneg/darah yang dikotori).
Anak sumbang yaitu anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang lakilaki dan seorang perempuan, yang diantara keduanya terdapat larangan untuk
menikah (karena terdapat hubungan darah, misalnya kakak dengan adik). Anakanak tersebut menurut Pasal 283 KUHPerdata adalah anak yang dilahirkan
karena perzinaan atau penodaan darah (incest/sumbang), tidak boleh diakui
tanpa mengu-rangi ketentuan Pasal 273 KUHPerdata mengenai anak penodaan
darah, yaitu tidak dapat diakui. Dan mengenai hak waris anak-anak ini Pasal 867
KUHPerdata menentukan bahwa mereka tidak dapat mewaris dari orang yang
membenihkanya, tetapi undang-undang memberikan kepada mereka hak
menuntut pemberian nafkah seperlunya terhadap boedel (warisan yang berupa

57

Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum
Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 83.

Universitas Sumatera Utara

43

kekayaan saja), nafkah ditentukan menurut si ayah atau si ibu serta jumlah dan
keadaan para pewaris yang sah.58
3) Anak luar kawin
Dalam KUHPerdata ada dua macam anak luar nikah (perkawinan) yaitu anak
luar perkawinan yang dapat diakui dan dan anak luar kawin yang tidak dapat
diakui. Selanjutnya anak luar kawin mempunyai (2) dua pengertian , yaitu :
1.

Anak luar perkawinan yang dapat diakui sah
Anak luar kawin yang dapat diakui yaitu anak yang lahir di luar perkawinan
yang diakui sah oleh bapak biologisnya. Menurut Pasal 280 KUHPerdata
antara anak luar nikah dan orang tuannya mempunyai hubungan hukum
(hubungan hukum perdata) apabila si bapak mengakuinya.59
Dengan adanya pengakuan ini, status anak luar nikah tersebut diakui antara
lain dalam pemberian izin nikah, kewajiban timbal balik dalam pemberian
nafkah, perwalian, hak memakai nama, mewaris, dan sebagainya. Setelah
adanya pengakuan dari orang tuanya, maka menurut kitab Undang-Undang
Hukum Perdata pengakuan tersebut harus ada pengesahan dengan cara:
Perkawinan orang tuanya, yang menurut Pasal 285 KUHPerdata pengesahan
karena perkawinan orang tua yaitu bilamana seorang anak dibenihkan di
luar perkawinan, menjadi anak sah apabila sebelum perkawinan orang
tuanya telah mengakui anak luar nikah itu sebagai anaknya. Pengakuan itu

58
59

Ibid
Lihat Pasal 281 KUHPerdata

Universitas Sumatera Utara

44

dapat

dilakukan

sebelum

perkawinan

atau

sekaligus

dalam

akta

perkawinannya.60
2.

Anak luar kawin yang tidak di akui sah.
Anak luar kawin yang tidak diakui sah oleh bapak biologisnya adalah anak
yang lahir diluar perkawinan orang tua biologisnya dan tidak diakui sebagai
anak oleh bapak biologisnya. Anak luar kawin ini tidak mempuyai
hubungan perdata dengan ayah biologisnya. Namun sebelum berlakunya
UUP anak luar kawin juga tidak mempunyai hubungan perdata dengan ibu
biologisny. Akan tetapi dengan berlakunya UUP maka anak luar kawin
otomatis mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Pembagian

diatas

tersebut

dilakukan

karena

undang-undang

sendiri,

berdasarkan ketentuan yang ada memberikan akibat yang berbeda-beda atas status anak
tersebut di atas.61 Pembagian anak tidak sah dalam 3 (tiga) kelompok tersebut, adalah
sesuai dengan penyebutan yang diberikan oleh pembuat undang-undang dalam Pasal
283 KUHPerdata, dan khususnya penyebutan “anak luar kawin” untuk kelompok yang
ketiga adalah sesuai dengan pengaturannya dalam Pasal 280 KUHPerdata.
Sekalipun anak zina dan anak sumbang sebenarnya juga merupakan anak luar
kawin dalam arti bukan anak sah tetapi kalau dibandingkan Pasal 280 KUHPerdata
dengan Pasal 283 KUHPerdata, dapat disimpulkan, bahwa anak luar kawin (menurut
Pasal 280 KUHPerdata) disatu pihak, dengan anak zina dan anak sumbang (Pasal 283
60

J. Satrio, Hukum Waris, Paramita, Bandung, 1988, hlm. 168.
J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 101.
61

Universitas Sumatera Utara

45

KUHPerdata) di lain pihak, adalah berbeda. Demikian pula antara anak zina dan anak
sumbang pun memiliki perbedaan. Dimana ketentuan Pasal 283 KUHPerdata,
dihubungkan dengan Pasal 273 KUHPerdata bahwa anak zina berbeda dengan anak
sumbang dalam akibat hukumnya.
Terhadap anak sumbang, undang-undang dalam keadaan tertentu mem-berikan
perkecualian, dalam arti, kepada mereka yang dengan dispensasi diberikan kesempatan
untuk saling menikah,62 dapat mengakui dan mengesahkan anak sumbang mereka
menjadi anak sah.63 Perkecualian ini tidak dapat diberikan untuk anak zina. Dalam KUH
Perdata, melalui Pasal 280 tampak jelas bahwa antara anak luar kawin dengan ayah
(biologisnya) maupun ibunya pada asasnya tidak ada hubungan hukum. Hubungan
hukum itu baru ada, kalau ayah dan/atau ibunya memberikan pengakuan, bahwa anak
itu adalah anaknya.
Berbeda dengan pengaturan di dalam UU No. 1 Tahun 1974, yang menentukan
bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya. Kesemuanya ini tentu didasarkan atas pemikiran,
bahwa adalah sangat mudah untuk menetapkan siapa ibu dari seorang anak, yaitu
dengan perempuan yang melahirkan anak tersebut. Sehubungan dengan pengaturan
anak luar kawin ini, yang belum jelas pengaturannya, walaupun pemerintah sudah
merumuskan dalam Pasal 43 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, yang selanjutnya
pengaturan tentang anak luar kawin ini akan dibentuk Peraturan Pemerintah untuk

62
63

Lihat Pasal 30 ayat (2) KUHPerdata.
Lihat Pasal 273 KUHPerdata.

Universitas Sumatera Utara

46

mengaturnya, tetapi sampai sekarang belum ada. Peraturan Pemerintah yang sudah ada
saat ini berkaitan dengan perkawinan memang sudah ada yakni PP No. 9 tahun 1975,
tetapi tidak menyinggung sama sekali tentang status anak luar kawin. Oleh sebab itu,
perlu dirujuk ketentuan yang diamanatkan Mahkamah Agung kepada semua Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Agama seluruh Indonesia.
Sesuai dengan petunjuk Mahkamah Agung melalui surat Nomor: M.
A./Pem/0807/75 tertanggal 20 Agustus 1975, menyatakan, bahwa mengenai
“kedudukan anak” masih berlaku ketentuan lama. Dalam sub 4 dari petunjuk
Mahkamah Agung tersebut dikatakan bahwa: “… harta-benda dalam perkawinan,
kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak serta perwalian, ternyata
tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1974, karenanya belum dapat
diberlakukan secara efektif, dan dengan sendirinya untuk hal-hal itu masih diperlakukan
ketentuan-ketentuan hukum dan perundang-undangan lama.
Belakangan surat petunjuk tersebut, berkaitan dengan kewenangan dan hukum
acara Pengadilan Agama dalam petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung tanggal 20
Agustus 1975 Nomor: MA/Pemb/0807/1975 dinyatakan tidak berlaku lagi. Pengaturan
tentang anak sah, yang walaupun tidak disebutkan secara tegas dalam undang-undang,
sangat berbeda dengan ketentuan anak luar kawin. Dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974 disebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan dengan ibunya. Perumusan pasal tersebut dapat ditafsirkan
bahwa anak tersebut demi hukum mempunyai hubungan hukum dengan orangtuanya.
Kata “demi hukum” disini dimaksudkan, bahwa hubungan hukum dengan orangtuanya

Universitas Sumatera Utara

47

terjadi secara otomatis, dengan sendirinya tanpa yang bersangkutan harus berbuat apaapa. Berbeda dengan ketentuan yang ada dalam KUHPerdata sebelumnya yang
menyatakan bahwa untuk memiliki hubungan secara perdata, si ibu yang melahirkan
anak tersebut perlu untuk melakukan pengakuan terhadap anaknya tersebut. Perlu
ditegaskan kembali perumusan dalam undang-undang adalah merupakan penafsiran
hukum, karena bagi dalam kehidupan sehari-hari, sernua anak adalah sah bagi/terhadap
ibunya.64
Kalau dilihat prinsip seperti tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
hubungan antara orangtua dengan anaknya yang sah, didasarkan atas adanya hubungan
darah antara keduanya, tetapi jika dihubungkan dengan anak luar kawin, maka
hubungan hukum antara anak luar kawin dengan ayah yang mengakuinya, didasarkan
atas hubungan darah melalui suatu pengkuan. Dengan demikian, hubungan darah dalam
pembicaraan, adalah hubungan darah dalam arti yuridis, bukan dalam arti biologis.
Merujuk ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, maka pengakuan
anak luar kawin tidak perlu dan tidak dapat dilakukan lagi oleh ibunya, karena
hubungan hukum antara anak dan ibunya terjadi demi hukum. Dari konsep tersebut pula
dapat ditarik hubungan pula bahwa, karena tidak memiliki hubungan darah secara
yuridis tersebut, anak-anak luar kawin tidak lagi mendapatkan haknya secara penuh dari
ayah biologisnya. Hal ini didasarkan, pada keadaan bahwa anak tidak memiliki ayah
secara hukum, kecuali dengan adanya pengakuan dan pengesahan.

64

Soedharjo Soimun, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 24

Universitas Sumatera Utara

48

Di lain sisi, pemenuhan hak anak hanya dilakukan oleh ibu, yang
melahirkannya, sesuai dengan rumusan Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, dimana
hubungan mereka terjadi demi hukum. Hal ini sebenarnya membawa kerugian, tidak
hanya bagi si ibu, tetapi juga berdampak bagi si anak, baik itu secara psikologis,
ekonomi, maupun sosial. Tegasnya, adanya pembedaan antara anak sah dan anak luar
kawin, membawa konsekuensi yang lebih lanjut dalam hukum. Kedudukan anak luar
kawin di dalam hukum ternyata adalah inferior (lebih jelek/rendah) dibandingkan
dengan anak sah. Anak sah pada asasnya berada di bawah kekuasaan orangtua,65
sedangkan anak luar kawin berada di bawah perwalian, 66 yang dalam UU No. 1 Tahun
1974 dilakukan oleh ibunya sendiri. Hak bagian anak sah dalam pewarisan orangtuanya,
lebih besar daripada anak luar kawin,67 dan hak anak luar kawin untuk menikmati
warisan melalui surat wasiat, dibatasi.68
Bagi anak luar kawin, yang tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum
negara (dalam hal ini UU No. 1 Tahun 1974), maka Kantor Catalan Sipil akan
mengeluarkan akta kelahiran, yang isinya hanya mengenai:
1) nama si anak;
2) tanggal, bulan dan tahun kelahiran si anak;
3) urutan kelahiran;
4) nama ibu dan tanggal kelahiran ibu.

65

Lihat Pasal 299 KUHPerdata.
Lihat Pasal 306 KUHPerdata.
67
Lihat Pasal 863 KUHPerdata.
68
Lihat Pasal 908 KUHPerdata.
66

Universitas Sumatera Utara

49

Isi Akta Kelahiran tersebut tidak mencantumkan nama ayah dari si anak luar
kawin. Nama ayah baru akan tertera dalam Akta Kelahiran si anak berupa catatan
pinggir pada Akta Kelahiran si anak, yaitu apabila:
1) Sang ayah mengakui si anak luar kawin, sesuai dengan ketentuan Pasal 280 dan
Pasal 281 KUH Perdata.
2) Sang ayah dan sang ibu kemudian mendaftarkan/mencatatkan perkawinannya di
Kantor Catatan Sipil, sesuai dengan ketentuan Pasal 272 dan Pasal 277 KUH
Perdata.
3) Sang isteri (Warga Negara Indonesia) mengajukan permohonan Penetapan ke
Pengadilan Negeri untuk memohon pengesahan perkawinan dengan sang suami
(Warga Negara Indonesia) yang telah meninggal dunia, memohon pengesahan atas
anak (anak-anak) yang telah dilahirkan, serta memohon agar Pengadilan Negeri
memerintahkan kepada Kantor Catatan Sipil untuk mencatatkan /mendaftarkan
perkawinan tersebut dan memberi catatan pinggir pada Akta Kelahiran anak sebagai
anak sah dari sang ibu dan sang ayah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 101,
Pasal 102, dan Pasal 275 KUH Perdata.
Seperti yang diketahui bahwa, Indonesia mengikuti Hukum Belanda (asas
konkordansi) sampai dengan tahun 1945. Sesudah merdeka tersebut, maka tidak berlaku
lagi asas konkordansi tersebut, atau dengan kata lain maka yang berlaku di Belanda
tidak berlaku di Indonesia.69

69

DY. Witanto, Hukum Keluarga, Hak dan Kedudukan Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK
tentang Uji Materil Undang-undang Perkawinan, Prestasi Pustaka Karya, Jakarta, 2011, hlm. 26.

Universitas Sumatera Utara

50

Dalam hal pengaturan hukum keluarga, khususnya tentang anak luar kawin,
Indonesia sudah sangat tertinggal jauh dari pengaturan tentang anak luar kawin yang
berlaku di Belanda. Sejak tahun 1947 dengan diberlakukannya Kinderwet atau dikenal
dengan Undang-undang tentang Anak di Belanda, maka tanpa pengakuan dari si ibu
yang melahirkan anak tersebut, demi hukum sudah ada hubungan hukum antara ibu dan
anaknya. Selanjutnya pada tahun 1982 dengan perubahan terhadap undang-undang yang
sama, terjadi perubahan dengan menghapuskan perbedaan antara anak luar nikah yang
diakui dengan anak sah dalam hal hak-haknya dalam mewaris. Dengan kata lain antara
anak luar kawin yang diakui dan anak sah, hak-haknya sama dalam mewaris. Perubahan
terhadap hal mewaris juga terjadi di Belanda, yakni dengan adanya perubahan terhadap
BW Belanda, yang dikenal dengan NBW yakni pada tahun 1998. Perubahan yang
dimaksudkan adalah, bahwa dalam hal mewaris dalam keluarga, suami atau istri, atau
pasangan yang hidup terlama dan pasangan yang terdaftar oleh pejabat yang berwenang
(geregioturd partner schap) saling mewaris.
Dalam hal salah satu pasangan meninggal dunia, maka warisan terlebih dahulu
diberikan kepada salah satu pasangan (suami atau isteri) yang masih hidup. Hak anak
untuk menuntut bagian dari warisan setelah kedua pasangan tersebut meninggal.
Misalnya A dan B adalah pasangan suami istri, yang memiliki anak sah X, dan anak
luar kawin K. Jika A meninggal dunia, maka B, yang adalah istrinya memperoleh harta
dari A secara utuh. X dan K baru akan mendapatkan hak mereka sebagai anak setelah B
meninggal dunia. X dan K walaupun dalam hal ini memiliki status yang berbeda, yakni
anak sah dan anak luar kawin, maka mereka tetap mendapatkan bagian yang sama

Universitas Sumatera Utara

51

menurut ketentuan NBW tersebut. Menurut Milly Karmila Sareal dalam seminar dan
diskusi ilmiah tentang implikasi putusan Mahkamah Konstituti tentang Anak Luar
Kawin terhadap Hukum Perdata dan Hukum Waris di Indonesia, bahwa Indonesia sudah
tertinggal jauh dalam pengaturan tentang anak, dalam bidang waris ini dan sudah
seharusnya diadakan perubahan dan penyesuaian ke arah yang lebih baik dan juga tidak
melanggar hukum-hukum lain yang juga masih berlaku di Indonesia. Beliau juga
menambahkan, mungkin pembahan yang harus diikuti oleh Indonesia dalam hal bidang
hukum keluarga tidak dapat mengikuti dalam segala aspek yang diubah dan berlaku di
negara Belanda saat ini, seperti misalnya melegalkan adanya perkawinan antara
pasangan sejenis, paling tidak perubahan yang dimaksudkan adalah disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat pada masa sekarang ini, juga sila dari hukum yang dinamis. 70
4.

Ketentuan KUHPerdata Tentang Kedudukan Anak Dalam Kandungan Janda
dari Pernikahan Siri
Anak dalam kandungan menurut KUHPerdata memiliki hak atas kepentingan

yang berlaku kepadanya. Oleh sebab itu, dalam KUHPerdata, anak yang masih dalam
kandungan dapat dianggap telah lahir. Kenyataan tersebut seperti tertuang dalam Pasal 2
KUHPerdata, yang berbunyi sebagai berikut: “anak yang ada dalam kandungan seorang
perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak
menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah ada”.

70

Milly Karmila Sareal, Anak Luar Kawin Menurut KUH Perdata dan akibat hukumnya
terhadap hukum waris di Indonesia, Citra Ilmu, Surabaya, 2012, hal. 14

Universitas Sumatera Utara

52

Pasal di atas secara tidak langsung memiliki maksud bahwa meskipun masih
berada dalam kandungan ibunya, seorang anak tidak akan kehilangan hak-hak yang
berhubungan dengan kepentingan anak. Meski demikian, apabila kemudian anak dalam
kandungan tersebut terlahir mati, maka segala sesuatu yang telah diputuskan yang
berhubungan dengan kepentingan anak saat dalam kandungan dianggap tidak pernah
ada atau tidak memiliki kekuatan hukum.
Salah satu kepentingan anak dalam kandungan adalah hal-hal yang berkaitan
dengan kewarisan. Menurut KUHPerdata, anak yang berada kandungan dianggap telah
memiliki hak untuk mewarisi. Hal ini sebagaimana disebutkan pada Pasal 836
KUHPerdata, sebagai berikut: “Supaya dapat bertindak sebagai ahli waris, seseorang
harus telah ada pada saat warisan itu terbuka, dengan mengingat akan ketentuan dalam
Pasal 2 Kitab ini”.
Keadaan anak dalam kandungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2
KUHPerdata, menurut Pasal 836 KUHPerdata sebagai keadaan telah dianggap sudah
ada dan memiliki hak untuk mewarisi pada saat warisan tersebut dibuka (dibagi). Selain
itu juga agar lebih jelas dan memperkuat kedudukan anak dalam kandungan sebagai ahli
waris harus dilihat dari status perkawinan orang tua anak dalam kandungan tersebut.
Berdasarkan dari status perkawinannya, anak dalam kandungan dapat dibedakan
menjadi dua yaitu:
a. Anak dalam kandungan dari perkawinan yang sah yang memperoleh warisan adalah
anak dalam kandungan yang lahir dari perkawinan yang sah. Perkawinan sah
menurut Pasal 2 UU No.1 Tahun 1974 adalah:

Universitas Sumatera Utara

53

1) apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
2) dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila perkawinan itu dilakukan secara sah menurut hukum, maka status anak
dalam kandungan tersebut berhak mendapatkan warisan sebagaiman dimaksud
dalam Pasal 836 KUHPerdata.
b. Anak dalam kandungan diluar kawin
Maksud dari anak dalam kandungan di luar kawin adalah anak yang pembenihannya
tidak dilakukan melalui proses perkawinan yang sah menurut hukum perundangundangan yang berlaku di Indonesia. Menurut UU No.1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat
(1) disebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Kemudian UU ini khususnya
Pasal 43 UU No. 1 Tahun 1974 diuji materinya, sehingga keluarlah putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-IX Tahun 2011 yang berbunyi: “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan pedata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan ayahnya.” Jadi
anak di luar kawin mempunyai hubungan keperdataan termasuk kewarisan dengan
ayahnya apabila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah.
Anak dalam kandungan yang pembenihannya dilakukan dari perkawinan yang
sah akan mendapatkan bagian yang sama besarnya dengan anggota keluarga yang

Universitas Sumatera Utara

54

lainnya, maka dari itu ketentuan pembagian harta kewarisan dapat dilakukan atau
dibagikan secara langsung tanpa menunggu kelahiran bayi dengan cara menangguhkan
hak yang diperuntukan kepadanya karena tidak akan mempengaruhi bagian ahli waris
yang telah ada, tetapi apabila anak dalam kandungan terlahir mati maka harta warisan
yang ditangguhkan untuknya dibagikan kembali kepada ahli waris yang telah ada
tersebut dengan sama rata.71
Ketentuan mengenai kesamaan bagian warisan masing-masing ahli waris dalam
sebuah keluarga disebutkan dalam Pasal 852 KUHPerdata sebagai berikut:
“Anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dari berbagai
perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orang tua mereka, kakek dan
nenek mereka, atau keluarga-keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis
lurus ke atas, tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu.
Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala, bila
dengan yang meninggal mereka semua bertalian keluarga dalam derajat pertama
dan masing-masing berhak karena dirinya sendiri; mereka mewarisi pancang
demi pancang, bila mereka semua atas sebagian mewarisi sebagai pengganti”
Apabila bagi anak dalam kandungan yang status keabsahannya diakibat-kan dari
adanya pengakuan atau proses pengesahan terlebih dahulu, maka bagian warisan yang
diperolehnya tidaklah satu bagian. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal
863 dan Pasal 865 KUHPerdata sebagai berikut:
Pasal 863:
“Jika yang meninggal meninggalkan keturunan yang sah atau seorang suami
atau isteri, maka anak-anak luar kawin mewaris sepertiga dari bagian yang
sedianya mereka harus mendapatkannya, seandainya mereka anak-anak yang
sah menurut undang-undang, jika si meninggal tak meninggalkan keturunan
maupun suami atau istri, akan tetapi meninggalkan keluarga sedarah, dalam
71

Muchtar Rahwanto, Kedudukan Anak Dalam Hukum Waris Menurut KUH Perdata dan
Hukum Islam, Graha Ilmu, Jakarta, 2009, hlm. 32

Universitas Sumatera Utara

55

garis ke atas, atau pun saudara laki dan perempuan atau keturunan mereka, maka
mereka mewaris setengah dari