Evaluasi Pelaksanaan Strategi DOTS (Direct Observed Treatment Short-Course) dalam Menurunkan Angka Penderita TB Paru di RSUD Dr. Tengku Mansyur Kota Tanjungbalai Tahun 2015

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Pengertian
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri
Basil Tahan Asam (BTA) dengan panjang 1 - 10 mikron, lebar 0,2 - 0,6 mikron
dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen. Bakteri ini hanya dapat dilihat
dengan menggunakan mikroskop. Bakteri dalam dahak pada suhu antara 30 370C akan mati dalam waktu kurang 1 minggu serta jika terpapar langsung
terhadap sinar ultaraviolet. Tetapi bakteri tersebut dapat bertahan hidup dalam
jangka waktu lama pada suhu rendah antara 40C – 70C (Kemenkes RI, 2014).

2.1.2 Etiologi
Penyakit tuberkulosis yang disebabkan oleh Bakteri Mycobacterium
tuberculosis yang ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien TB
batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang
lain saat bernapas. Bila penderita mengalami batuk, bersin, atau berbicara saat
berhadapan dengan orang lain, maka basil tuberkulosis tersembur dan terhisap ke
dalam paru orang sehat. Masa inkubasi perkembangannya selama 3-6 bulan
(Widoyono, 2011).
Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan dan

bisa menyebar ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah, pembuluh limfe,
atau langsung ke organ terdekatnya. Setiap satu BTA positif akan menularkan
10
Universitas Sumatera Utara

11

kepada 10-15 orang lainnya, sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular
TBC adalah 17%. Hasil studi lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat
(misalnya keluarga serumah) akan dua kali lebih beresiko dibandingkan kontak
biasa (tidak serumah) (Widoyono, 2011).

2.1.3 Klasifikasi TB Paru
Klasifikasi TB Paru

dibagi berdasarkan lokasi anatomi dan riwayat

pengobatan (Kemenkes RI, 2013) yaitu:
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi
-


TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau
trakeobronkial. TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena terdapat
lesi di paru. Pasien yang mengalami TB paru dan ekstraparu harus
diklasifikasikan sebagai kasus TB paru.

-

TB ekstraparu adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar parenkim
paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran genitourinaria,
kulit, sendi dan tulang, selaput otak. Kasus TB ekstraparu dapat ditegakkan
secara klinis atau histologis setelah diupayakan semaksimal mungkin
dengan konfirmasi bakteriologis.

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan
-

Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapatkan OAT
sebelumnya atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan.


-

Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT
dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir pengobatan dan

Universitas Sumatera Utara

12

saat ini ditegakkan diagnosis TB episode rekuren (baik untuk kasus yang
benar-benar kambuh atau episode baru yang disebabkan reinfeksi).
-

Kasus gagal adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan
dinyatakan gagal pada akhir pengobatan.

-

Kasus putus obat adalah pasien yang pernah menelan OAT 1 bulan atau
lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari 2 bulan berturut-turut atau

dinyatakan tidak dapat dilacak pada akhir pengobatan.

-

Kasus dengan riwayat pengobatan lainnya adalah pasien sebelumnya pernah
mendapatkan OAT dan hasil akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak
didokumentasikan.

-

Pasien pindah adalah pasien yang dipindahkan dari register TB (TB 03)
untuk melanjutkan pengobatan.

-

Pasien yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien
yang tidak dapat dimasukkan dalam salah satu kategori diatas.

2.1.4 Gejala Penyakit
Secara klinis penyakit TB tidak terlalu khas terutama pada kasus baru

sehingga sulit untuk menegakkan diagnosis secara klinis. Namun gejala penyakit
TB terbagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yaitu (Prasetyono, 2012):
a. Gejala umum, berupa:
-

Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan
malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang, serangan demam
seperti serangan influenza dan bersifat hilang timbul.

Universitas Sumatera Utara

13

-

Penurunan nafsu makan dan berat badan.

-

Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai darah).


-

Perasaan tidak enak (malaise) dan lemah.

b. Gejala khusus, berupa:
-

Tergantung dari organ tubuh yang terkena. Apabila terjadi sumbatan
sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”
dan suara napas melemah yang disertai sesak.

-

Apabila ada cairan di rongga Pleura (pembungkus paru-paru), disertai
dengan keluhan sakit dada.

-


Apabila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang
pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit
diatasnya. Pada muara ini akan keluar cairan nanah.

-

Pada anak-anak, dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan
disebut meningitis (radang selaput otak). gejalanya adalah demam tinggi,
penurunan kesadaran, dan kejang-kejang.

2.1.5 Diagnosis TB Paru
Penegakan diagnosis TB Paru dapat dilakukan dengan:
a. Pemeriksaan Dahak
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan, dan menentukan potensi penularan dengan
mengumpulkan 3 contoh uji dahak untuk menemukan adanya BTA pada

Universitas Sumatera Utara

14


spesimen yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan berurutan berupa
dahak Sewaktu- Pagi- Sewaktu (SPS) yaitu (Kemenkes RI, 2014):
1. S (Sewaktu): dahak ditampung pada suspek TB datang berkunjung
pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, pasien membawa pot dahak
untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
2. P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di
fasyankes.
3. S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.
b. Pemeriksaan Foto Toraks/ Rontgen
Secara klasik, gambaran Tuberkulosis yang aktif adalah gambaran infiltrat
dan kavitas serta gambaran yang tidak aktif ditunjukkan oleh adanya fibrosis
dan klasifikasi. Karena predileksi tuberkulosis paru pada orang dewasa adalah
lobus atas dan segmen apikal lobus bawah, maka bila ditemukan gambaran
kelainan pada daerah tersebut dapat diduga kemungkinan timbul biasanya
berupa bercak awan, kavitas, penebalan pleura, bayangan garis-garis fibrosis
dan lain-lain.


2.1.6 Komplikasi
Penyakit

Tuberkulosis

merupakan penyakit

menular

yang

harus

mendapatkan pengobatan lengkap sehingga dalam proses pengobatan tersebut
dapat menyebabkan komplikasi yaitu (Mubin, 2008):

Universitas Sumatera Utara

15


a) TB tulang
b) Pott’s disease (rusaknya tulang belakang)
c) Destroyed lung (pulmonary destroy)
d) Efusi pleura
e) TB milier
f) Meningitis TB

2.2 Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course)
Strategi DOTS adalah strategi penanggulangan TB Paru nasional yang
telah direkomendasikan oleh WHO, yang dimulai pelaksanaannya di Indonesia
pada Tahun 1995/1996. Sebelum pelaksanaan strategi DOTS (1969-1994) angka
kesembuhan TB Paru yang dapat dicapai oleh program hanya 40-60% saja.
Dengan strategi DOTS diharapkan angka kesembuhan dapat dicapai minimal 85%
dari penderita TB Paru BTA positif yang ditemukan (Sitorus, 2014).
Pengertian DOTS dapat dimulai dengan keharusan setiap pengelola
program TB untuk memberi direct attention dalam usaha menemukan penderita.
Dalam bahasa lain ini diterjemahkan menjadi deteksi kasus dengan pemeriksaan
mikroskopik, kendati sebenarnya pengertiannya dapat diperluas dengan keharusan
untuk mendeteksi kasus secara baik dan akurat. Kemudian, setiap pasien harus di
observe dalam memakan obatnya. Setiap obat yang ditelan pasien harus didepan

seorang pengawas. Selain itu, tentunya pasien harus menerima treatment yang
tertata dalam sistem pengelolaan, distribusi dan penyediaan obat secara baik.
Jangan sampai di suatu daerah pada suatu waktu tidak tersedia obat yang cukup.

Universitas Sumatera Utara

16

Kemudian, setiap pasien harus mendapat prioritas yang tinggi dalam pelayanan
kesehatan.
Upaya perbaikan pengelolaan logistik baik Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
dan non OAT akan tetap dilakukan pada tahun-tahun mendatang. Peralihan OAT
dari komposisi terpisah menjadi Kombinasi Dosis Tetap (KDT) untuk dewasa dan
anak yang belum tersedia merupakan prioritas ke depan penanggulangan TB.
Berbagai media komunikasi, informasi dan edukasi untuk para Pengawas Menelan
Obat (PMO) terus dikembangkan. Keterlibatan petugas kesehatan dalam
pengawasan minum obat terus diupayakan melalui keterlibatan para bidan desa
dan petugas pustu. Upaya penurunan angka drop out di rumah sakit dan BP4
dilakukan dengan penyediaan PMO bagi setiap penderita dengan memanfaatkan
berbagai sektor yang berpotensi seperti LSM dan lainnya (Depkes RI, 2007).
Tatalaksana Pasien TB dengan strategi DOTS di rumah sakit dilihat
berdasarkan yaitu (Kemenkes RI, 2010):
a. Penemuan tersangka TB, yaitu pasien dengan gejala utama pasien TB paru:
batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih dianggap sebagai seorang
tersangka pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung. Serta pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, seperti
keluarga atau anak yang menunjukkan gejala sama.
b. Diagnosis TB, yaitu semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam
waktu 2 hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Pemeriksaan lain seperti
foto thoraks, biakan dan uji kepekaan dapat juga sebagai penunjang
diagnosis.

Universitas Sumatera Utara

17

c. Pengobatan TB, bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Pengobatan TB
diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan.
d. Rujukan, yaitu melakukan rujukan ke UPK lain bagi pasien yang ingin
pindah dengan menggunakan formulir rujukan yang ada.
Adapun Formulir Pencatatan dan Pelaporan TB di DOTS:
-

Formulir TB.01 : Kartu pengobatan pasien TB

-

Formulir TB.02 : Kartu identitas pasien

-

Formulir TB.03 : Register TB Kabupaten

-

Formulir TB.04 : Register laboratorium TBC

-

Formulir

TB.05 :

Formulir

permohonan laboratorium TBC untuk

pemeriksaan dahak
-

Formulir TB.06 : Daftar suspek yang diperiksa dahak SPS

-

Formulir TB.09 : Formulir rujukan/pindah pasien TB

-

Formulir TB.10 : formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan

2.2.1 Komponen Strategi DOTS
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas
diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai
penularan TB dan dengan demikian menurunkan insiden TB di masyarakat. Hal
tersebut dilakukan dengan menerapkan lima komponen DOTS (Aditama, 2002).

Universitas Sumatera Utara

18

Komponen pertama, komitmen politik dari pengambil keputusan
termasuk dukungan dana. Komitmen ini dimulai dengan keputusan pemerintah
untuk menjadikan tuberkulosis sebagai prioritas utama dalam program kesehatan
dan adanya dukungan dana dari jajaran pemerintahan atau pengambil keputusan
terhadap penanggulangan TB Paru atau dukungan dana operasional. Satu hal
penting lain adalah penempatan program penanggulangan TB Paru dalam
reformasi sektor kesehatan secara umum, setidaknya meliputi dua hal penting,
yaitu memperkuat dan memberdayakan kegiatan dan kemampuan pengambilan
keputusan di tingkat kabupaten serta peningkatan cost effectiveness dan efisiensi
dalam pemberian pelayanan kesehatan. Program penanggulangan TB Paru harus
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari reformasi sektor kesehatan.
Komponen kedua, penemuan penderita dengan pemeriksaan mikroskopis.
Utamanya dilakukan pada mereka yang datang ke fasilitas kesehatan karena
keluhan paru dan pernapasan. Pendekatan ini disebut sebagai passive case finding.
Hal ini dipilih mengingat secara umum pemeriksaan mikroskopis merupakan cara
yang paling cost effective dalam menemukan kasus TB Paru. Dalam hal ini, pada
keadaan tertentu dapat dilakukan pemeriksaan radiografi, seperti rontgen dan
kultur dapat dilaksanakan pada unit pelayanan kesehatan yang memilikinya.
Komponen ketiga, pengobatan dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
dengan pengawasan langsung oleh PMO. Penderita diawasi secara langsung
ketika menelan obatnya. Obat yang diberikan harus sesuai standar dan diberikan
secara gratis pada penderita Tuberkulosis yang menular dan yang kambuh.
Pengobatan tuberkulosis memakan waktu 6 bulan. Setelah makan obat dua atau

Universitas Sumatera Utara

19

tiga bulan tidak jarang keluhan pasien menghilang, ia merasa dirinya telah sehat,
dan menghentikan pengobatannya. Karena itu harus ada suatu sistem yang
menjamin pasien mau menyelesaikan masa pengobatannya. Harus ada yang
melihat penderita TB Paru menelan obatnya, ini dapat dilakukan oleh petugas
kesehatan, tetangga penderita atau keluarganya sendiri.
Komponen

keempat,

jaminan

tersedianya

OAT

secara

teratur,

menyeluruh, dan tepat waktu dengan mutu terjamin. Masalah utama dalam hal ini
adalah perencanaan dan pemeliharaan stok obat pada berbagai tingkat daerah.
Untuk ini diperlukan pencatatan dan pelaporan penggunaan obat yang baik,
seperti misalnya jumlah kasus pada setiap kategori pengobatan, kasus yang
ditangani dalam waktu yang lalu (untuk forecasting), data akurat stok dimasingmasing gudang yang ada.
Komponen kelima, sistem pencatatan dan pelaporan secara baku untuk
memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru. Setiap
penderita TB Paru yang diobati harus mempunyai kartu identitas penderita yang
kemudian tercatat di catatan TB paru yang ada di kabupaten/kota. Kemanapun
penderita pergi, dia harus menggunakan kartu yang sama sehingga dapat
melanjutkan pengobatan dan tidak sampai tercatat dua kali.

2.2.2 Penemuan Penderita TB Paru
Menurut Depkes RI (2007), penemuan penderita Tuberkulosis dilakukan
secara pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka
yang datang berkunjung ke Unit Pelayanan Kesehatan. Penemuan secara pasif

Universitas Sumatera Utara

20

tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan
maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka. Cara ini
biasa dikenal dengan sebutan Passieve Promotive Case Finding.

2.2.3 Pengobatan Tuberkulosis TB Paru
Pengobatan Tuberkulosis harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan
tahap lanjutan dengan maksud (Kemenkes RI, 2010):
a. Tahap Awal
Panduan pengobatan pada tahap ini setiap hari dimaksudkan untuk secara
efektif menurunkan jumlah bakteri yang ada dalam tubuh pasien dan
meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil bakteri yang mungkin sudah
resisten sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap
awal pada semua pasien baru diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya
dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya
penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.
b. Tahap Lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan dimaksudkan untuk membunuh sisa-sisa bakteri
yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga pasien
dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.
Pengobatan Tuberkulosis dilakukan selama 6-8 bulan dengan tahapan
diatas yang bertujuan untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, dan menurunkan resiko penularan.

Universitas Sumatera Utara

21

2.2.4 Panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Pengobatan panduan OAT adalah obat lini pertama (Kemenkes RI, 2014)
Tabel 2.1 Jenis, Sifat dan Efek Samping OAT Lini Pertama
Jenis

Sifat

Efek Samping

Isoniazid (H)

Bakterisidal

Rifampisin (R)

Bakterisidal

Pirazinamid (Z)

Bakterisidal

Streptomisin (S)

Bakterisidal

Etambutol (E)

Bakterisidal

Neuropati perifer, psikosis toksik,
gangguan fungsi hati, kejang.
Flu syndrome, gangguan gastrointestinal,
urine berwarna merah, gangguan fungsi
hati, trombositopeni, demam, skin rash,
sesak nafas, anemia hemolitik.
Gangguan gastrointestinal, gangguan
fungsi hati, gout artritis.
Nyeri ditempat suntikan, gangguan
keseimbangan dan pendengaran, renjatan
anafilaktik, anemia, agranulositosis,
trombositopeni.
Gangguan penglihatan, buta warna,
neuritis perifer.

Panduan OAT KDT Lini Pertama dibagi dalam beberapa kategori, yaitu:
1. Kategori-1: 2(HRZE)/ 4(HR)3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a) Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis
b) Pasien TB paru terdiagnosis klinis
c) Pasien TB ekstra paru
Tabel 2.2 Dosis Paduan OAT KDT untuk Kategori 1
Berat Badan
30 – 37 kg
38 – 54 kg
55 – 70 kg
≥ 71 kg

Tahap Intensif tiap hari
selama 56 hari RHZE
(150/75/400/275)
2 tablet 4KDT
3 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT

Tahap Lanjutan 3 kali
seminggu selama 16
minggu RH (150/150)
2 tablet 2KDT
3 tablet 2KDT
4 tablet 2KDT
5 tablet 2KDT

Universitas Sumatera Utara

22

Tabel 2.3 Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1
Tahap
Pengobat
an

Intensif
Lanjutan

Lama
Pengoba Tablet
isoniazi
tan
d @300
mgr
2 Bulan
1
4 Bulan
2

Dosis per hari/kali
Jumlah
Tablet
Tablet
Tablet
hari/
Rifampisi Pirazina Etambut
kali
n @300 mid @300 ol @300 menelan
mgr
mgr
mgr
obat
1
3
3
56
1
48

2. Kategori-2: 2(HRZE)S/ (HRZE)/ 5(HR)3E3
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang):
a) Pasien kambuh
b) Pasien gagal pada pengobatan dengan panduan OAT kategori 1 sebelumnya
c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow up)
Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2
Berat Badan

Tahap Intensif tiap hari selama 56
hari RHZE (150/75/400/275) + S

Tahap Lanjutan 3
kali seminggu RH
(150/150) + E(400)
Selama 20 minggu
2 tab 2KDT + 2 tab
Etambutol

Selama 56 hari
2 tab 4KDT + 500
mg Steptomisisn inj.

Selama 28 hari
2 tab 4KDT

38 – 54 kg

3 tab 4KDT + 750
mg Steptomisisn inj.

3 tab 4KDT

3 tab 2KDT + 3 tab
Etambutol

55 – 70 kg

4 tab 4KDT + 1000
mg Steptomisisn inj.

4 tab 4KDT

4 tab 2KDT + 4 tab
Etambutol

≥ 71 kg

4 tab 4KDT + 1000
mg Steptomisisn inj.

5 tab 4KDT
(>do maks)

5 tab 2KDT + 5 tab
Etambutol

30 – 37 kg

Universitas Sumatera Utara

23

Tabel 2.5 Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2
Etambutol
Tahap
Pengobatan

Tahap
Awal
(dosis
harian)
Tahap
Lanjutan
(dosis 3x
seminggu)

Lama
Pengobata
n

Tablet
Isonias
id @
300
mgr

Tablet
Isonias
id @
300
mgr

Tablet
Isonias
id @
300
mgr

2 bulan
1 bulan

1
1

1
1

5 bulan

2

1

Tablet
Isonias
id @
300
mgr

Juml
ah
hari/
kali
mene
lan
obat

Tablet
Isonias
id @
300
mgr

Tablet
Isonias
id @
300
mgr

3
3

3
3

-

0,75
gr
-

56
28

-

1

2

-

60

3. Kategori-3
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan,
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu. Obat ini diberikan untuk:
a) Penderita baru BTA negatif
b) Rontgen positif sakit ringan
4.

Kategori Sisipan
Bila pada akhir tahap intensif dari pengobatan dengan kategori 1 atau

kategori 2 hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan
(HRZE) setiap hari selama 1 bulan.

2.2.5 Efek Samping OAT
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa
mengalami efek samping OAT yang berarti. Secara umum, seorang pasien yang

Universitas Sumatera Utara

24

mengalami efek samping ringan sebaiknya tetap melanjutkan pengobatannya dan
diberikan petunjuk cara mengatasinya atau pengobatan tambahan untuk
menghilangkan keluhannya. Efek samping yang terjadi pada pasien dan tindak
lanjut yang diberikan harus dicatat pada kartu pengobatannya. Apabia pasien
mengalami efek samping berat, pengobatan harus dihentikan sementara dan
pasien dirujuk kepada dokter atau fasyankes rujukan guna penatalaksanaan lebih
lanjut. Pasien yang mengalami efek samping berat sebaiknya dirawat di rumah
sakit (Kemenkes RI, 2014).
Tabel 2.6 Efek Samping Ringan OAT
Efek Samping
Tidak ada nafsu makan,
mual, sakit perut

Penyebab

Penatalaksanaan

H, R, Z

OAT ditelan malam sebelum
tidur. Apabila tetap ada, OAT
ditelan dengan sedikit makanan.
Apabila keluhan semakin hebat
disertai muntah, waspada efek
samping berat dan segera rujuk ke
dokter.
Beri aspirin, Parasetamol atau
obat anti radang non steroid
Beri vitamin B6 (piridoxin) 50-75
mg per hari

Nyeri sendi

Z

Kesemutan s/d rasa
terbakar di telapak kaki
atau tangan
Warna kemerahan pada
air seni (urine)

H

Flu syndrome (demam,
menggigil, lemas, sakit
kepala, nyeri tulang)

R dosis
intermiten

R

Tidak membahayakan dan tidak
perlu diberi obat penawar tapi
perlu penjelasan kepada pasien.
Pemberian R dirubah dari
intermiten menjadi setiap hari

Apabila pasien mengeluh gatal tanpa rash dan tidak ada penyebab lain,
dianjurkan untuk memberikan pengobatan simtomatis dengan anthistamin serta
pelembab kulit. Pengobatan TB tetap dapat dilanjutkan dengan pengawasan ketat.

Universitas Sumatera Utara

25

Apabila kemudian terjadi rash, semua OAT harus dihentikan dan segera rujuk
kepada dokter atau fasyankes rujukan. Mengingat perlunya melanjutkan
pengobatan TB hingga selesai, di fasyankes rujukan dapat dilakukan upaya
mengetahui OAT mana yang menyebabkan terjadinya reaksi dikulit dengan cara
“Drug Challenging”: Setelah reaksi dapat diatasi, OAT diberikan kembali secara
bertahap satu persatu dimulai dengan OAT yang kecil kemungkinannya dapat
menimbulkan reaksi (H atau R) pada dosis rendah misalnya 50 mg Isoniazid.
Apabila pengobatan OAT telah dilakukan, maka hasil pengobatan bisa
dilihat berdasarkan tabel berikut.
Tabel 2.7 Hasil Pengobatan Pasien TB
Hasil Pengobatan
Sembuh

Pengobatan lengkap

Gagal

Meninggal
Putus berobat (loss
to follow up)
Tidak dievaluasi

Definisi
Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis
positif pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan
bakteriologis pada akhir pengobatan menjadi negatif dan
pada salah satu pemeriksaan sebelumnya.
Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara
lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum
akhir pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada bukti
hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan.
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif
atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau
lebih selama pengobatan atau kapan saja apabila selama
dalam pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang
menunjukkan adanya resistensi OAT.
Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum
memulai atau sedang dalam pengobatan.
Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang
pengobatannya terputus selama 2 bulan terus menerus
atau lebih.
Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir
pengobatannya. Termasuk dalam kriteria ini adalah
“pasien pindah (transfer out)” ke kabupaten/kota lain
dimana hasil akhir pengobatannya tidak diketahui oleh
kabupaten/kota yang ditinggalkan.

Universitas Sumatera Utara

26

2.2.6 Penyuluhan Program TB
Penyuluhan program TB paru perlu dilakukan karena masalah TB paru
berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan
penyuluhan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan peran serta
masyarakat dalam penanggulangan TB paru (Depkes RI, 2007).
Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa bertujuan
untuk menjangkau masyarakat yang lebih luas, serta mengubah persepsi
masyarakat tentang TB Paru. Penyuluhan langsung perorangan sangat penting
dikarenakan hal ini sebagai penentu keberhasilan pengobatan penderita.
Penyuluhan ini ditujukan kepada suspek, penderita, dan keluarganya supaya
penderita menjalani pengobatan secara teratur sampai sembuh. Anggota
keluarganya diharapkan dapat

menjaga,

melindungi,

dan meningkatkan

kesehatannya sehingga terhindar dari penularan TB paru (Laban, 2012).
Penyuluhan langsung perorangan dapat dianggap berhasil jika:
a. Penderita datang berobat secara teratur sesuai jadwal pengobatan.
b. Penderita dapat menjelaskan secara tepat tentang riwayat pengobatan
sebelumnya.
c. Anggota keluarga penderita dapat menjaga dan melindungi kesehatannya.

2.3 Rumah Sakit Sebagai Organisasi Pelaksana Strategi DOTS
Rumah sakit adalah sebuah institusi perawatan kesehatan profesional yang
pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan lainnya.
Rumah sakit umum merupakan fasilitas yang mudah ditemui di suatu negara,

Universitas Sumatera Utara

27

dengan kapasitas rawat inap sangat besar untuk perawatan intensif ataupun jangka
panjang. Rumah sakit jenis ini juga dilengkapi dengan fasilitas bedah, bedah
plastik, ruang bersalin, laboratorium, dan sebagainya. Tetapi kelengkapan fasilitas
ini bisa saja bervariasi sesuai kemampuan penyelenggaranya.
Berkaitan dengan program pemberantasan TB, saat ini 24 rumah sakit
(dari total 32) dan 5 klinik paru (BP4) telah terlibat dalam pelaksanaan DOTS.
Untuk meningkatkan kinerja program telah dilakukan pelatihan intensif, supervisi
dan pertemuan koordinasi antara puskesmas dan rumah sakit (Anggraeni, 2011).

2.3.1 Tim DOTS Rumah Sakit
Tim DOTS rumah sakit adalah wadah khusus untuk pengelolaan pasien
TB di rumah sakit. Pembentukan tim DOTS bersifat fungsional melalui Surat
Keputusan (SK) Direktur Rumah Sakit dan berada dibawah koordinasi Direktur/
Wakil Direktur Pelayanan Medik. Tugas tim tersebut untuk menjamin
terselenggaranya pelayanan TB sesuai dengan Pedoman Manajerial TB di rumah
sakit yang berkoordinasi dengan setiap SMF dan Unit DOTS.
Tim DOTS tersebut diketua oleh seorang dokter spesialis paru atau
penyakit dalam yang bersertifikat Pelatihan Pelayanan Tuberkulosis dengan
Strategi DOTS di Rumah Sakit (PPTS DOTS). Anggotanya terdiri dari: SMF
Paru, SMF Penyakit Dalam, SMF Kesehatan Anak, Instalasi Laboratorium,
Instalasi Farmasi, Perawat Rawat Inap dan Rawat Jalan terlatih, Petugas
pencatatan dan Pelaporan. Apabila tenaga profesional terbatas, maka paling
sedikit tim DOTS ada 3 orang staf rumah sakit untuk mengkoordinir pelaksanaan

Universitas Sumatera Utara

28

strategi DOTS rumah sakit yaitu seorang dokter, seorang perawat, dan seorang
petugas laboratorium (Kemenkes RI, 2010).

2.3.2 Manajemen Tim DOTS Rumah Sakit
Dalam melaksanakan tugasnya, tim DOTS rumah sakit melakukan
(Kemenkes RI, 2010):
a.

Perencanaan terhadap semua kebutuhan bagi terselenggaranya pelayanan
TB di rumah sakit meliputi:

b.

-

Tenaga terlatih

-

Anggaran program TB

-

Ketersediaan OAT

-

Reagensia

-

Peralatan

-

Pencatatan dan pelaporan

Pelaksanaan
Tim DOTS mengadakan rapat rutin untuk membicarakan semua hal
temuan terkait dengan pelaksanaan pelayanan terhadap pasien TB di
rumah sakit.

c.

Monitoring dan Evaluasi
Tim DOTS rumah sakit menyelenggarakan monitoring dan evaluasi
terhadap pelaksanaan termasuk:
-

Kepatuhan melaksanakan SPO jejaring internal dan eksternal.

Universitas Sumatera Utara

29

-

Kepatuhan staf rumah sakit terhadap pelaksanaan semua kebijakan
yang ditetapkan oleh direktur rumah sakit.

-

Kepatuhan

terhadap

tatalaksana

penegakan

diagnosis

dengan

menggunakan pemeriksaan mikroskopis.
-

Kepatuhan dokter menerapkan ISTC dan SPO dalam pengobatan TB

-

Setiap pasien TB dicatat dengan pencatatan dan pelaporan tersendiri
termasuk pemeriksaan laboratorium menggunakan formulir TB dari
01, 02, 03 UPK, 04, 05, 06, 09, 10).

-

Monitoring terhadap Pengawas Menelan Obat (PMO) dan keteraturan
pasien TB untuk menyelesaikan pengobatan.

-

Monitoring terhadap keteraturan pasien TB untuk menyelesaikan
pengobatannya.

-

Buku pedoman penanggulangan TB tetap tersedia di rumah sakit.

-

Ketersediaan logistik OAT dan non OAT yang dibutuhkan dalam
pelayanan terhadap pasien TB di rumah sakit.

-

Rujukan pasien dan hasil umpan baliknya.

Tim DOTS menyusun laporan hasil pertemuan dan monitoring evaluasi
yang disampaikan secara tertulis kepada Direktur/ Wakil direktur rumah sakit
setiap triwulan untuk diketahui atau ditindaklanjuti.

2.3.3 Fasilitas dan Peralatan DOTS Rumah Sakit
Fasilitas yang cukup harus tersedia bagi staf medis sehingga dapat tercapai
tujuan dan fungsi sebagai pusat pelayanan TB di rumah sakit meliputi:

Universitas Sumatera Utara

30

a. Ruangan khusus pelayanan pasien TB (Unit DOTS) yang berfungsi sebagai
pusat pelayanan TB di RS meliputi kegiatan diagnostik, pengobatan,
pencatatan dan pelaporan, serta menjadi pusat jejaring internal/ eksternal
DOTS.
b. Ruangan memenuhi persyaratan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPITB) di rumah sakit
c. Tersedianya peralatan untuk melakukan pelayanan medis TB
d. Tersedianya ruangan bagi penyelenggaraan KIE terhadap pasien TB dan
keluarga, serta
e. Ruangan laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan mikroskopis.

2.3.4 Standar Internasional Untuk Pelayanan Tuberkulosis di Rumah Sakit
Standar Internasional Untuk Pelayanan Tuberkulosis (International
Standard for TB Care/ ISTC) adalah standar yang harus dipenuhi dalam
menangani pasien Tuberkulosis di rumah sakit, yang terdiri dari 6 standar untuk
menegakkan diagnosis, 9 standar untuk pengobatan dan 2 standar untuk fungsi
penanggungjawab kesehatan masyarakat yaitu:
a. Standar untuk diagnosis berupa:
Standard 1. Setiap pasien dengan batuk produktif selama 2-3 minggu/ lebih yang
tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk Tuberkulosis.
Standard 2. Semua pasien (dewasa, remaja dan anak yang dapat mengeluarkan
dahak) yang diduga menderita Tuberkulosis paru harus menjalani pemeriksaan

Universitas Sumatera Utara

31

dahak mikroskopis minimal 2 sebaiknya 3 kali. Jika mungkin paling tidak satu
spesimen harus berasal dari dahak pagi hari.
Standard 3. Semua pasien (dewasa, remaja dan anak) yang dapat diduga
menderita tuberkulosis ekstraparu, spesimen dari bagian tubuh yang sakit
seharusnya diambil untuk pemeriksaan mikroskopik dan jika tersedia fasilitas dan
sumber daya, dilakukan pemeriksaan biakan dan histopatologi.
Standard 4. Semua orang dengan temuan foto toraks diduga Tuberkulosis
seharusnya menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi.
Standard 5. Diagnosis tuberkulosis paru sediaan apus dahak negatif harus
didasarkan kriteria berikut: minimal pemeriksaan dahak mikroskopik 3 kali
negatif (termasuk minimal 1 kali dahak pagi hari). Temuan foto toraks sesuai
Tuberkulosis dan tidak ada respons terhadap antibiotika spektrum luas. Untuk
pasien ini, jika tersedia fasilitas, biakan dahak seharusnya dilakukan. Pada pasien
yang diduga terinfeksi HIV evaluasi diagnostik harus disegerakan.
Standard 6. Diagnosis tuberkulosis intratoraks (paru, pleura dan kelenjar getah
bening) pada anak dengan gejala namun sediaan apus dahak negatif seharusnya
didasarkan atas kelainan radiografi toraks sesuai Tuberkulosis dan paparan kepada
kasus Tuberkulosis yang menular atau bukti infeksi Tuberkulosis. Untuk pasien
seperti ini, bila tersedia fasilitas, bahan dahak seharusnya diambil untuk biakkan.
b. Standar untuk pengobatan berupa:
Standard 7. Setiap praktisi yang mengobati pasien Tuberkulosis mengemban
tanggungjawab

kesehatan

masyarakat

yang

penting.

Untuk

memenuhi

tanggungjawab ini praktisi tidak hanya wajib memberikan paduan obat yang

Universitas Sumatera Utara

32

memadai tapi juga harus mampu menilai kepatuhan pasien kepada pengobatan
serta dapat menangani ketidakpatuhan bila terjadi.
Standard 8. Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum
pernah diobati harus diberi paduan obat lini pertama yang disepakati secara
internasional menggunakan obat yang biovailabilitinya telah diketahui. Fase awal
harus terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Fase lanjutan
yang dianjurkan terdiri dari isoniazid dan rifampisin diberikan selama 4 bulan.
Isoniazid dan etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif pada fase
lanjutan yang dapat dipakai jika kepatuhan pasien tidak dapat dinilai, akan tetapi
hal ini berisiko tinggi untuk gagal dan kambuh, terutama untuk pasien yang
terinfeksi HIV.
Dosis OAT yang digunakan harus sesuai dengan rekomendasi internasional.
Kombinasi dosis tetap yang terdiri dari 2 obat (isoniazid dan rifampisin), 3 obat
(isoniazid, rifampisin dan pirazinamid) dan 4 obat (isoniazid, rifampisin,
pirazinamid, dan etambutol) sangat direkomendasikan terutama jika menelan obat
tidak diawasi.
Standard 9. Untuk membina dan menilai kepatuhan pengobatan, suatu
pendekatan pemberian obat yang berpihak kepada pasien, berdasarkan kebutuhan
pasien dan rasa saling menghormati antara pasien dan penyelenggara kesehatan.
Seharusnya sensitif terhadap jenis kelamin dan spesifik untuk berbagai usia dan
harus memanfaatkan bermacam-macam intervensi yang direkomendasikan serta
layanan pendukung yang tersedia, termasuk konseling dan penyuluhan pasien.
Elemen utama dalam strategi yang berpihak kepada pasien adalah penggunaan

Universitas Sumatera Utara

33

cara-cara menilai dan mengutamakan kepatuhan terhadap paduan obat dan
menangani ketidakpatuhan. Cara-cara ini dapat mencakup pengawasan langsung
menelan obat oleh PMO yang dapat diterima dan dipercaya oleh pasien dan sistem
kesehatan.
Standard 10. Semua harus dimonitor responsnya terhadap terapi. Penilaian
terbaik pada pasien TB adalah pemeriksaan dahak mikroskopik berkala (2
spesimen) paling tidak pada waktu fase awal pengobatan, selesai dua bulan, pada
lima bulan, dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan sediaan apus dahak positif
pada pengobatan bulan kelima harus dianggap gagal pengobatan dan pengobatan
harus dimodifikasi secara tepat (lihat standard 14 dan 15). Pada pasien TB
ekstraparu dan pada anak, respons pengobatan terbaik dinilai secara klinis.
Pemeriksaan foto toraks umumnya tidak diperlukan dan dapat menyesatkan.
Standard 11. Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons
bakteriologis dan efek samping seharusnya disimpan untuk semua pasien.
Standard 12. Di daerah dengan prevalensi HIV tinggi pada populasi umum dan
daerah dengan kemungkinan TB dan infeksi HIV muncul bersamaan. Konseling
dan uji HIV diindikasikan bagi semua pasein TB sebagai bagian penatalaksanaan
rutin. Didaerah dengan prevalensi HIV lebih rendah, dilakukan pada pasien TB
yang mempunyai riwayat risiko tinggi terpajan HIV.
Standard 13. Semua pasien dengan TB dan infeksi HIV seharusnya dievaluasi
untuk menentukan perlu/ tidaknya pengobatan antiretroviral diberikan selama
masa pengobatan Tuberkulosis. Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat
antiretroviral seharusnya dibuat untuk pasien yang memenuhi indikasi.

Universitas Sumatera Utara

34

Standard 14. Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat
pengobatan terdahulu, paparan dengan sumber yang mungkin resisten obat dan
prevalensi resistensi obat dalam masyarakat seharusnya dilakukan pada semua
pasien. Pasien gagal pengobatan dan kasus kronik seharusnya selalu dipantau
kemungkinan dan resistensi obat. Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi
obat, biakan dan uji sensitivitas obat terhadap isoniazid, rifampisin, dan etambutol
seharusnya dilaksanakan segera.
Standard 15. Pasien TB yang disebabkan kuman resisten obat (MDR) seharusnya
diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat antituberkulosis lini
kedua. Paling tidak harus digunakan empat obat yang masih efektif dan
pengobatan harus diberikan paling sedikit 18 bulan. Cara –cara yang berpihak
kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap
pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman
dalam pengobatan pasien dengan TB-MDR harus dilakukan.
c. Standar untuk Tanggungjawab Kesehatan masyarakat berupa:
Standard 16. Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien TB seharusnya
memastikan bahwa semua orang yang mempunyai kontak erat dengan pasien TB
menular dan seharusnya dievaluasi dan ditatalaksanakan sesuai dengan
rekomendasi internasional.
Standard 17. Semua penyelenggara pelayanan kesehatan harus melaporkan kasus
TB baru maupun kasus pengobatan ulang serta hasil pengobatannya ke kantor
dinas kesehatan setempat sesuai dengan peraturan hukum dan kebijakan yang
berlaku.

Universitas Sumatera Utara

35

2.3.5 Peran Pengawas Menelan Obat (PMO)
Menurut Kemenkes RI (2014) bahwa Pengawas Menelan Obat adalah
seseorang yang ditunjuk, dipercaya, dekat dengan pasien, bersedia dilatih, dan
bersedia membantu untuk mengawasi dan memantau penderita TB dalam
meminum obatnya secara teratur dan tuntas. Pegawasaan dilakukan untuk
menjamin kepatuhan penderita dalam meminum obat sesuai dengan dosis dan
jadwal yang ditetapkan. Pasien bisa memilih datang ke fasyankes terdekat dengan
kediaman pasien atau PMO datang berkunjung ke rumah pasien.
Petugas PMO sebaiknya petugas kesehatan misalnya Bidan di desa,
Perawat, Perkarya, Sanitarian, Juru Imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada
petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan,
guru, anggota PPTI, PKK, tokoh masyarakat lainnya, dan anggota keluarga.
Adapun peran PMO adalah:
a. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
b. Memberikan dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur. Namun bukan
mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari UPK.
c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan.
d. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunya
gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit
Pelayanan Kesehatan.

Universitas Sumatera Utara

36

2.3.6 Mekanisme Rujukan dan Pindah
Rumah sakit bisa melakukan rujukan dan pindah ke UPK lain (dalam satu
Kab/Kota) dengan mekanisme (Depkes RI, 2007):
a. Apabila pasien sudah mendapatkan pengobatan di rumah sakit, maka harus
dibuatkan Kartu Pengobatan TB (TB 01) di rumah sakit.
b. Untuk pasien yang dirujuk dari rumah sakit, diberikan surat pengantar atau
Form TB 09 dengan menyertakan TB 01 dan OAT (bila telah dimulai
pengobatan).
c. Formulir TB 09 diberikan kepada pasien beserta sisa OAT untuk diserahkan
kepada UPK yang dituju.
d. Rumah sakit memberikan informasi langsung (telepon atau SMS) ke
Koordinator HDL tentang pasien yang dirujuk.
e. UPK yang telah menerima pasien rujukan segera mengisi dan mengirimkan
kembali TB 09 (lembar bagian bawah) ke UPK asal.
f. Koordinator HDL memastikan semua pasien yang dirujuk melanjutkan
pengobatan di UPK yang dituju (dilakukan konfirmasi).
g. Bila pasien tidak ditemukan di UPK yang dituju, petugas tuberkulosis UPK
yang dituju melacak sesuai dengan alamat pasien.
h. Koordinator HDL memberikan umpan balik kepada UPK asal dan wasor
tentang pasien yang dirujuk.

Universitas Sumatera Utara

37

Gambar 2.1 Alur Rujukan Pasien TB antar UPK dalam satu Unit Registrasi

2.3.7 Jejaring DOTS Rumah Sakit
Menurut Depkes RI (2007), jejaring DOTS Rumah Sakit dikenal dengan
Hospital DOTS Linkage (HDL) yang memiliki peran terhadap angka Default <
5% pada setiap rumah sakit. Sebab rumah sakit memiliki potensi besar dalam
penemuan pasien TB (case finding), dan memiliki keterbatasan dalam menjaga
keteraturan dan keberlangsungan pengobatan pasien (case holding) jika
dibandingkan dengan puskesmas. Jejaring DOTS RS terbagi dua yaitu:
a. Jejaring Internal
Jejaring internal adalah jejaring di dalam rumah sakit meliputi unit yang
menangani pasein TB. Koordinasi kegiatan dilaksanakan oleh tim DOTS RS.
-

Unit DOTS sebagai tempat penanganan seluruh pasien Tuberkulosis di RS
dan pusat informasi tentang tuberkulosis. Kegiatannya meliputi konseling,

Universitas Sumatera Utara

38

penentuan klasifikasi dan tipe, kategori pengobatan, pemberian OAT,
penentuan PMO, follow up hasil pengobatan dan pencatatan.
-

Poli umum, UGD, dan poli spesialis berfungsi menjaring tersangka pasien
TB, menegakkan diagnosa dan mengirim pasien ke unit DOTS RS.

-

Rawat inap berfungsi sebagai pendukung unit DOTS dalam melakukan
penjaringan tersangka serta perawatan dan pengobatan.

-

Laboratorium berfungsi sebagai sarana diagnostik.

-

Radiologi berfungsi sebagai sarana penunjang diagnostik.

-

Farmasi sebagai unit bertanggungjawab terhadap ketersedian OAT.

-

Rekam medis/ petugas administrasi berfungsi pendukung unit DOTS
dalam pencatatan dan pelaporan.

-

PMKRS berfungsi pendukung unit DOTS dalam kegiatan penyuluhan.

Gambar 2.2 Mekanisme Jejaring Internal

Universitas Sumatera Utara

39

b. Jejaring Eksternal
Jejaring eksternal adalah jejaring yang dibangun antara Dinas Kesehatan,
rumah sakit, puskesmas dan UPK lainnya dalam penanggulangan TB dengan
strategi DOTS. Dinas Kesehatan berfungsi:
-

Koordinasi antara rumah sakit dan UPK lain

-

Menyusun protap jejaring penanganan pasien TB

-

Koorinator sistem surveilens.

-

Menyusun perencanaan, memantau, melakukan supervisi dan mengevaluasi
penerapan strategi DOTS di rumah sakit.

-

Menyediakan tenaga/ petugas untuk mengumpukan laporan
Agar jejaring dapat berjalan baik diperlukan:
a) Seorang koordinator jejaring DOTS rumah sakit tingkat propinsi atau
Kab/Kota yang bekerja penuh waktu.
b) Peran aktif Wasor Provinsi/ Kabupaten/ Kota
c) Mekanisme jejaring antar institusi yang jelas
d) Tersedianya alat bantu kelancaran proses rujukan antar lain berupa:
formulir rujukan, daftar nama dan alamat lengkap pasien yang dirujuk,
daftar nama dan nomor telpon petugas.
e) Dukungan dan kerjasama antara UPK pengirim pasien Tuberkulosis
dengan UPK penerima rujukan.
f) Pertemuan secara berkala minimal setiap 3 bulan antara komite DOTS
dengan UPK yang dikoordinasi oleh Dinkes Kabupaten/ Kota setempat
dengan melibatkan semua pihak lain yang terkait.

Universitas Sumatera Utara

40

2.3.8 Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PMKRS)
Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PMKRS) adalah upaya RS untuk
meningkatkan kemampuan pasien, klien, dan kelompok-kelompok masyarakat
agar pasien dapat mandiri dalam mempercepat kesembuhan dan rehabilitasinya,
mencegah masalah-masalah kesehatan, dan mengembangkan upaya kesehatan
bersumber daya masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama
mereka sesuai sosial budaya mereka, serta didukung kebijakan publik yang
berwawasan kesehatan. Peluang promosi kesehatan di RS dikategorikan
(Kemenkes RI, 2010):
a. Di dalam gedung, PMKRS dilaksanakan seiring dengan pelayanan yang
diselenggarakan oleh rumah sakit berupa: di ruang pendaftaran/ administrasi,
pelayanan rawat jalan bagi pasien, pelayanan rawat inap bagi pasien,
pelayanan penunjang medik, pelayanan bagi klien (orang sehat), dan di ruang
pembayaran rawat inap.
b. Di luar gedung, PMKRS yang dapat dimanfaatkan yaitu: PMKRS di tempat
parkir, di taman RS, di dinding luar RS, di kantin/warung, di tempat ibadah,
dan di pagar pembatas kawasan RS.
Sementara, strategi promosi kesehatan rumah sakit yang diterapkan
adalah:
a. Pemberdayaan
Pemberdayaan dilakukan untuk membantu atau memfasilitasi pasien/klien
sehingga memiliki pengetahuan, kemauan, dan kemampuan untuk mencegah
dan mengatasi masalah kesehatan yang dihadapinya. Pemberdayaan hanya

Universitas Sumatera Utara

41

dapat dilakukan pada pengantar pasien, penjenguk atau pengunjung lain di
luar pasien/klien.
Tantangan pertama dalam pemberdayaan adalah pada saat awal yaitu
menyakinkan seseorang bahwa suatu masalah kesehatan bagi yang
bersangkutan yang dilakukan dalam bentuk pelayanan konseling bagi pasien
rawat jalan maupun pasien rawat inap.
b. Bina suasana
Lingkungan yang diperhitungkan memiliki pengaruh terhadap pasien/ klien
yang sedang diberdayakan. Oleh sebab itu, pentingnya menciptakan suasana
lingkungan yang kondusif. Seperti tidak merokok, tidak meludah atau
membuang sampah sembarangan, jam besuk yang ditentukan, dan lain-lain.
c. Advokasi
Advokasi merupakan proses yang melibatkan dukungan pihak-pihak lain
dalam mengupayakan terciptanya bina suasana yang diharapkan. Tahapan
advokasi yaitu memahami persoalan yang diajukan, tertarik untuk ikut
berperan, mempertimbangkan sejumlah pilihan kemungkinan, menyepakati
satu pilihan kemungkinan, dan menyampaikan langkah tindak lanjut.
d. Kemitraaan
Kemitraan antara petugas RS dengan sasarannya yaitu para pasien dalam
melaksanakan pemberdayaan, bina suasana dan advokasi karena kesadaran
untuk meningkatkan efektivitas PMKRS. Petugas RS harus bekerja sama
dengan pihak terkait seperti kelompok profesi, pemuka agama, lembaga

Universitas Sumatera Utara

42

swadaya masyarakat, media massa, dan lain-lain. Tiga prinsip kemitraan yang
harus diperhatikan yaitu kesetaraan, keterbukaan, dan saling menguntungkan.

2.4 Kesembuhan TB Paru
Kesembuhan TB paru merupakan suatu kondisi dimana individu telah
menunjukkan peningkatan kesehatan dan memiliki salah satu indikator
kesembuhan penyakit TB diantaranya: menyelesaikan pengobatan secara lengkap
dan pemeriksaan ulang dahak (follow up), dilakukan tes BTA terhadap sputum
dan hasilnya negatif pada akhir pengobatan serta minimal satu pemeriksaan follow
up sebelumnya negatif (Kemenkes RI, 2010).
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kesembuhan TB Teori Green
dalam Nizar (2010) yaitu:
a. Faktor yang mempermudah (predisposising factor) yaitu faktor pencetus yang
mempermudah terjadinya kesembuhan terwujud dalam:
-

Hubungan pengetahuan dengan kesembuhan TB, yaitu pengetahuan yang
diperoleh di bangku pendidikan formal maupun non formal seperti tentang
penyakit Tuberkulosis, gejala, penularan, dan pengobatannya.

-

Sikap penderita TB. Untuk terwujudnya sikap dalam perbuatan nyata suatu
kondisi yang memungkinkan antara lain fasilitas.

-

Hubungan perilaku membuang dahak dengan kesembuhan TB. Tidak
semua orang yang terhirup basil Tuberkulosis akan menjadi sakit,
walaupun tidak sengaja menghirupnya melalui dahak. Reskiko orang
terinfeksi TB paru untuk menderita TB paru pada ARTI (Annual Risk of

Universitas Sumatera Utara

43

Tuberculosis Infection) sebesar 1%. Hal ini berarti diantara 100.000
penduduk rata-rata terjadi 100 penderita TB paru setiap tahunnya dimana
50 penderita adalah BTA positif.
b. Faktor

yang

memungkinkan

(enabling

factor),

yaitu

faktor

yang

memungkinkan terjadinya perubahan status kesehata dikarenakan antara lain:
-

Pemakaian OAT, untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutus rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.

-

Pelayanan kesehatan (rumah sakit), dimana keberadaan pelayanan
kesehatan sangat diperlukan dalam akses pasien TB untuk mendapatkan
pengobatan OAT dan konseling tentang penyakit TB yang masih banyak
masyarakat tidak tahu penyebabnya.

-

Keefektifan PMO, dimana peran PMO sangat berpengaruh terhadap
kepatuhan minum obat. Kesembuhan dibuktikan dengan hasil chi-square
(p=0,00) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara PMO dengan
kesembuhan.

c. Faktor penguat (reinforcing factor), terwujud dalam sikap dan perilaku
kelompok yaitu:
-

Dukungan keluarga, yaitu persepsi seseorang bahwa dirinya menjadi
bagian jaringan sosial yang didalamnya tiap anggotanya saling
mendukung.

-

Hubungan dukungan keluarga dengan kesembuhan TB, yaitu bimibngan
dan dukungan keluarga secara terus-menerus diperlukan agar pasien patuh

Universitas Sumatera Utara

44

dalam minum obat baik pada tahap intensif maupun lanjutan sehingga
penderita dapat sembuh total.
-

Kepatuhan minum obat, yaitu tingkat perilaku penderita untuk
menyelesaikan pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa terputus
selama 6-8 bulan. Keteraturan pengobatan akan mempengaruhi proses
penyembuhan jika OAT tidak diminum sesuai jadwal yang ditentukan.

2.5 Evaluasi
2.5.1 Definisi Evaluasi
Evaluasi adalah prosedur penilaian pelaksanaan/ hasil kerja/ dampak
secara sistematik, dengan membandingkannya dengan standar dan dengan
mengikuti kriteria/metode/tujuan tertentu guna menilai dan pengambilan
keputusan selanjutnya (Adisasmito, 2007). Evaluasi merupakan prosedur atau cara
membandingkan informasi tentang kegiatan pelaksanaan program atau hasil kerja
dengan suatu kriteria atau tujuan yang telah ditetapkan. Hasil evaluasi dapat
digunakan untuk memperbaiki, mempertahankan ataupun mengakhiri program
(Supriyanto, 2007).

2.5.2 Tujuan Evaluasi
Tujuan melakukan evaluasi program adalah (Prayitno, 2005):
a. Sebagai alat untuk memperbaiki kebijaksanaan pelaksanaan program dan
perencanaan program yang akan datang. Hasil evaluasi akan memberikan
pengalaman mengenai hambatan atau pelaksanaan program yang lalu dan

Universitas Sumatera Utara

45

selanjutnya dapat dipergunakan untuk memperbaiki kebijaksanaan dan
pelaksanaan yang akan datang.
b. Sebagai alat untuk memperbaiki alokasi sumber daya dan manajemen
(resources) saat ini dan di masa-masa mendatang. Tanpa adanya evaluasi
akan terjadi pemborosan penggunaan sumber dana yang sebenarnya dapat
diadakan penghematan serta penggunaaan dana untuk program lainnya.
c. Sebagai alat memperbaiki pelaksanaan kegiatan yang sedang berjalan.
d. Sebagai alat untuk perencanaan kembali yang lebih baik daripada suatu
program. Disinilah perlu dilakukan mengulang kembali relevansi dari
program dalam hal perubahan-perubahan kecil terus-menerus, mengukur
kemajuan target yang direncanakan, menentukan sebab dan faktor didalam
dan diluar yang mempengaruhi pelaksanaan program.
Kesimpulannya, evaluasi strategi nasional bertujuan untuk menganalisis
relevansi, efisiensi, efektivitas, dampak dan keberlanjutan strategi nasional untuk
memberikan arah kebijakan jangka panjang. Prinsip-prinsip akuntabilitas,
pembelajaran organisasi, peningkatan berkelanjutan dan kepemilikan program
pengendalian TB dapat diaplikasikan pada evaluasi ini (Kemenkes RI, 2011).

2.5.3 Bentuk Evaluasi
Evaluasi dilakukan dalam dua tahap, yaitu Evaluasi pertengahan (Midterm
Evaluation) dan Evaluasi akhir (Summative evaluation). Formative Evaluation
yaitu evaluasi yang dilakukan pada saat pelaksanaan kegiatan program masih
sedang berlangsung. Dikelompokkan dalam dua bentuk (Prayitno, 2005):

Universitas Sumatera Utara

46

-

Critical review evaluation, yaitu evaluasi untuk menilai suatu program
belum dilaksanakan.

-

Midterm Evaluation, yaitu evaluasi pada saat program sedang dikerjakan.
Pada tahap proses untuk menilai proses kegiatan dan pada tahap
monitoring untuk mengawasi berjalannya suatu program.
Summative Evaluation yaitu evaluasi yang dilakukan pada saat kegiatan

program sudah selesai dilakukan. Dikelompokkan dalam dua bentuk:
-

Evaluasi output, yaitu evaluasi untuk menilai hasil kegiatan program.

-

Evaluasi dampak/impact/outcome untuk menilai dampak dari hasil
pelaksanaan program.

Consequences
Proexisting condition:
Technical Social
Environment
Administrative

INPUT

Controllable

PROCESS

Formative

Dokumen yang terkait

Perilaku Penderita Tuberkulosis Paru (TB-Paru) Dalam Program Pengobatan dengan Strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) di Puskesmas Pasar Merah Tahun 2000

2 35 85

Kepuasan Penderita TB Paru Tentang Pelaksanaan Strategi DOTS dalam Penanggulangan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Johor

9 56 72

Hubungan Pelaksanaan Strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan pada Pasien Tuberkulosis Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan.

5 58 111

Analisis Pelaksanaan Pengobatan TB Paru Dengan Strategi Dots Di Puskesmas Wilayah Kota Medan

4 54 131

Analisis Pelaksanaan Pengobatan Tb Paru Dengan Strategi DOTS Di Puskesmas Wilayah Kota Medan

0 32 1

Evaluasi Pelaksanaan Strategi DOTS (Direct Observed Treatment Short-Course) dalam Menurunkan Angka Penderita TB Paru di RSUD Dr. Tengku Mansyur Kota Tanjungbalai Tahun 2015

0 0 16

Evaluasi Pelaksanaan Strategi DOTS (Direct Observed Treatment Short-Course) dalam Menurunkan Angka Penderita TB Paru di RSUD Dr. Tengku Mansyur Kota Tanjungbalai Tahun 2015

0 0 2

Evaluasi Pelaksanaan Strategi DOTS (Direct Observed Treatment Short-Course) dalam Menurunkan Angka Penderita TB Paru di RSUD Dr. Tengku Mansyur Kota Tanjungbalai Tahun 2015

0 0 9

Evaluasi Pelaksanaan Strategi DOTS (Direct Observed Treatment Short-Course) dalam Menurunkan Angka Penderita TB Paru di RSUD Dr. Tengku Mansyur Kota Tanjungbalai Tahun 2015

0 4 3

Evaluasi Pelaksanaan Strategi DOTS (Direct Observed Treatment Short-Course) dalam Menurunkan Angka Penderita TB Paru di RSUD Dr. Tengku Mansyur Kota Tanjungbalai Tahun 2015

0 0 15