Hubungan Pelaksanaan Strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan pada Pasien Tuberkulosis Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan.

(1)

HUBUNGAN PELAKSANAAN STRATEGI

DIRECTLY 0BSERVED TREATMENT SHORTCOURSE (DOTS) DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN PENGOBATAN

PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU

DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU-PARU (BP4) MEDAN

Oleh: M. FAHMY H

070100185

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

HUBUNGAN PELAKSANAAN STRATEGI

DIRECTLY 0BSERVED TREATMENT SHORTCOURSE (DOTS) DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN PENGOBATAN

PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU

DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU-PARU (BP4) MEDAN

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh: M. FAHMY H NIM: 070100185

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Hubungan Pelaksanaan Strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan pada Pasien Tuberkulosis Paru

di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan Nama : M. Fahmy H

NIM : 070100185

Pembimbing

(Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS, Sp-FK) NIP. 19530417 198003 2 001

Penguji I

(dr. Yunita Sari Pane, Msi) NIP. 19710620 200212 2 001

Penguji II

(dr. Nelly Efrida Samosir, Sp.PK) NIP. 19690906 200501 2 002 Medan, 29 November 2010

Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara


(4)

ABSTRAK

Angka kesakitan akibat tuberkulosis (TB) paru masih sangat tinggi di kalangan masyarakat, terutama di Indonesia ( ke-3 tertinggi jumlah penyakit TB di dunia). Solusi untuk meningkatkan angka kesembuhan penyakit TB tersebut, salah satunya dengan menggunakan Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) sebagai strategi penanggulangan yang melaksanakan pemberian obat anti tuberkulosis dan diawasi oleh pengawas minum obat (PMO) secara terus menerus sampai jangka waktu yang telah ditentukan. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat keberhasilan pengobatan dan menekan angka kesakitan TB paru akan menurun. Namun sampai saat ini kejadian TB paru masih sangat tinggi di kalangan masyarakat.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan desain cross sectional.Sampel dalam penelitian ini adalah pasien TB paru di BP4 Medan yang telah menjalani pengobatan minimal 3 bulan dan bukan pasien yang telah berobat berpindah-pindah, MDR-TB dan pasien HIV-TB. Sampel diambil dengan menggunakan teknik consecutive sampling.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pengobatan dengan strategi DOTS pada pasien TB paru di BP4 Medan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Pada penelitian didapatkan bahwa tingkat keberhasilan pengobatan TB paru dengan menggunakan strategi DOTS di BP4 Medan adalah 87 orang (87,6%) dari 97 pasien yang menjadi responden. Sedangkan responden yang pengobatannya tidak berhasil adalah 12 orang (27,4%). Angka ini melewati angka target global 85% dari WHA. Dengan α = 0,05 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat keberhasilan pengobatan pasien dengan pengetahuan pasien (p value = 0,004), dengan keteraturan berobat (p value < 0,0001), dengan status Drop out pasien (p value < 0,0001) dan dengan komitmen PMO (p value < 0,0001).

Kepada para pembuat kebijakan pengobatan untuk terus mempertimbangkan cara pengobatan TB paru yang lebih efektif dan tepat. Kepada pelayanan kesehatan, agar meningkatkan kinerjanya dalam program penanggulangan TB paru.


(5)

ABSTRACT

Morbidity due to tuberculosis (TB) tuberculosis is still very high in many communities, particularly in Indonesia (the 3rd highest number of TB disease in the world). Solutions to improve the cure rate of TB disease, one of them by using the Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) as a prevention strategy that implement anti-tuberculosis drug administration and supervised by the supervisor taking medication continuously until a specified time period. This is expected to increase treatment success rate and reduce morbidity of pulmonary tuberculosis will decline. But until recently the incidence of pulmonary TB is still very high in the community.

This study is a descriptive analytic cross sectional.Sampel design in this study were pulmonary TB patients in Medan BP4 who had undergone treatment at least 3 months and no patients have been treated sedentary, MDR-TB and HIV-TB patients. Samples were taken by using consecutive sampling technique.

This study aims to determine treatment success rate with DOTS strategy in patients with pulmonary tuberculosis in BP4 Medan and the factors that influence it. It was found that the treatment success rate of pulmonary TB using the DOTS strategy in Medan BP4 were 87 men (87.6%) of 97 patients who were respondents. While respondents failed treatment were 12 people (27.4%). This figure exceeded the global target of 85% of

the WHA. With α = 0.05 can be concluded that there is a relationship between treatment success rate of patients with the knowledge of patients (p value = 0.004), with the regularity of medication (p value <0.0001), with status Drop out of patients (p value <0.0001 ) and with the commitment of PMO (p value <0.0001).

To policy makers continue to consider ways of treatment for pulmonary TB treatment more effective and appropriate. To health services, to improve its performance in pulmonary TB control program.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Karya tulis ilmiah ini berjudul “Hubungan Pelaksanaan Strategi Directly

Observed Treatment Shortcourse (DOTS) dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan

pada Pasien Tuberkulosis Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan”. Dalam penyelesaian penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis banyak menerima

bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS, Sp-FK, sebagai Dosen Pembimbing saya yang telah banyak memberi arahan dan masukan kepada penulis, sehingga karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.

3. Ibu dr. Yunita Sari Pane, Msi & Ibu dr. Nelly Efrida Samosir, Sp.PK selaku Dosen Penguji yang telah meluangkan waktu dan pemikiran untuk kesempurnaan karya tulis ilmiah ini.

4. Bapak dr. Adlan Lufti Sp.P selaku Kepala Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan.

5. Ibu Rita sebagai Kepala Bagian Penelitian Penyakit Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan.

6. Para dosen dan staf pegawai di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


(7)

7. Rasa hormat dan terima kasih yang tiada terhingga saya persembahkan kepada kedua orang tua saya, ayahanda Drs. H. Abu Hanifah Siregar dan ibunda saya Hj. Mirliaty Hasibuan serta saudara-saudara saya atas doa, semangat dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama ini.

8. Seluruh pasien TB paru di BP4 Medan yang telah bersedia menjadi responden dan meluangkan waktu untuk menjawab kuesioner pada penelitian ini.

9. Seluruh teman-teman saya khususnya teman-teman Stambuk 2007 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama mengikuti pendidikan.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat berguna bagi kita semua.

Medan, November 2010

Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Tuberkulosis Paru ... 5

2.1.1Definisi dan Klasifikasi Tuberkulosis Paru ... 5

2.1.2Morfologi dan Biomolekuler Mycobacterium tuberculosis ... 8

2.1.3Patogenesis Tuberkulosis Paru ... 9

2.1.4Manifestasi Klinis & Penegakan Diagnosis Tuberkulosis Paru .... 12

2.1.5Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru... 16

2.1.6Evaluasi Pengobatan Tuberkulosis Paru ... 19

2.2 Strategi DOTS ... 21

2.2.1Pengertian DOTS... 21

2.2.2Komponen Strategi DOTS ... 21

2.2.3Pelaksanaan DOTS ... 22

2.2.4Pengawas Minum Obat (PMO) ... 23

2.2.5Tindakan Penyuluhan ... 24

2.2.6Tingkat Keberhasilan ... 25

2.2.7Kendala Pelaksanaan DOTS ... 26

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 27

3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 27


(9)

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 30

4.1 Jenis Penelitian ... 30

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 30

4.4 Metode Pengumpulan Data ... 31

4.5 Metode Analisis Data ... 33

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 34

5.1 Hasil Penelitian ... 34

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 34

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Responden ... 37

5.1.3 Hasil Analisis Data ... 38

5.1.4 Analisis Hasil Penelitian ... 54

5.2 Pembahasan ... 56

5.2.1 Pengetahuan Pasien TB Paru di BP4 Medan ... 56

5.2.2 Keteraturan Pasien TB Paru untuk Berobat di BP4 Medan ... 58

5.2.3 Status Drop Out Pasien TB Paru di BP4 Medan ... 60

5.2.4 Komitmen PMO kepada Pasien TB Paru ... 62

5.2.5 Hubungan Pengetahuan Responden dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan .. 63

5.2.6 Hubungan Pasien Berobat Teratur dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan .... 65

5.2.7 Hubungan Status Drop Out Pasien dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan ... 66

5.2.8 Hubungan Komitmen PMO dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan ... 67

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

6.1 Kesimpulan ... 69

6.2 Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Dosis Obat Anti Tuberkulosis 16

2.2 Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis 17

2.3 Pemberian Obat Dosis Tetap 18

4.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Penelitian 32 5.1 Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan jenis kelamin 37 5.2 Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan umur responden 37 5.3 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang Penyebab TB Paru 38 5.4 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang

Cara Penularan TB Paru 39

5.5 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang Cara Pemeriksaan 39 5.6 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang Pelaksanaan DOTS 40 5.7 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang Alasan Pasien

Mengikuti Program DOTS 40

5.8 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang Jenis Obat

yang Digunakan dalam Program DOTS 41

5.9 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang Efek Samping Obat

yang Menimbulkan Urin Berwarna Merah 41

5.10 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang Tindakan

Bila Terjadi Efek Samping Obat 42

5.11 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang Sumber Informasi 42 5.12 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang Tindakan Pasien

Bila Berat Badan Mulai Naik 43

5.13 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang TB Paru dan DOTS 43 5.14 Distribusi Frekuensi dan Persentase Sikap Pasien dalam Berobat 44 5.15 Distribusi Frekuensi dan Persentase Waktu Pasien untuk Datang atau

Periksa Ulang Kembali 44

5.16 Distribusi Frekuensi dan Persentase Sikap Pasien dalam Mengambil OAT 45 5.17 Distribusi Frekuensi dan Persentase Sikap Pasien terhadap Obat yang Telah Diberikan 45 5.18 Distribusi Frekuensi dan Persentase Waktu yang Tepat untuk Minum OAT 46


(11)

5.19 Distribusi Frekuensi dan Persentase Sikap Pasien dalam Mengikuti Program DOTS 46 5.20 Distribusi Frekuensi dan Persentase Jawaban Pasien tentang Hal yang Paling Penting

dalam Pengobatan TB Paru 47

5.21 Distribusi Frekuensi dan Persentase tentang Lama Minimal Pengobatan TB Paru dengan

Strategi DOTS 48

5.22 Distribusi Frekuensi dan Persentase Tindakan Pasien Ketika Bosan Minum

Obat Setiap Hari 48

5.23 Distribusi Frekuensi dan Persentase Jawaban Pasien tentang Waktu yang Paling Tepat

untuk Berhenti Minum Obat 49

5.24 Distribusi Frekuensi dan Persentase Tanggapan Pasien tentang Akibat

dari Minum Obat Tidak Teratur 49

5.25 Distribusi Frekuensi dan Persentase Drop Out Pasien 49 5.26 Distribusi Frekuensi dan Persentase Orang yang Menjadi PMO Pasien 50 5.27 Distribusi Frekuensi dan Persentase Tanggapan Pasien tentang Fungsi dari PMO 50 5.28 Distribusi Frekuensi dan Persentase Orang yang Menyuruh Pasien untuk Minum OAT 51 5.29 Distribusi Frekuensi dan Persentase Tindakan yang Dilakukan PMO

Ketika Pasien Minum Obat 51

5.30 Distribusi Frekuensi dan Persentase Tanggapan PMO Ketika Pasien

Menyampaikan Keluhan Selama Pengobatan 52

5.31 Distribusi Frekuensi dan Persentase tentang Komitmen PMO 52 5.32 Distribusi Frekuensi dan Persentase Tingkat Keberhasilan Pengobatan TB Paru di BP4 53 5.33 Hubungan Tingkat Pengetahuan Pasien Tentang TB Paru & DOTS dengan Tingkat Keberhasilan

Pengobatan 54

5.34 Hubungan Pasien Berobat Teratur dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan 54 5.35 Hubungan Status Drop out dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan 55 5.36 Hubungan Komitmen PMO dengan Tingkat Keberhasilan Pengobatan 56


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Dosis Obat Anti Tuberkulosis……… 15


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Riwayat Hidup Peneliti 2. Kuesioner

3.Informed consent 4.Ethical Cleareance 5.Surat Izin Penelitian 6.Data Induk


(14)

ABSTRAK

Angka kesakitan akibat tuberkulosis (TB) paru masih sangat tinggi di kalangan masyarakat, terutama di Indonesia ( ke-3 tertinggi jumlah penyakit TB di dunia). Solusi untuk meningkatkan angka kesembuhan penyakit TB tersebut, salah satunya dengan menggunakan Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) sebagai strategi penanggulangan yang melaksanakan pemberian obat anti tuberkulosis dan diawasi oleh pengawas minum obat (PMO) secara terus menerus sampai jangka waktu yang telah ditentukan. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat keberhasilan pengobatan dan menekan angka kesakitan TB paru akan menurun. Namun sampai saat ini kejadian TB paru masih sangat tinggi di kalangan masyarakat.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan desain cross sectional.Sampel dalam penelitian ini adalah pasien TB paru di BP4 Medan yang telah menjalani pengobatan minimal 3 bulan dan bukan pasien yang telah berobat berpindah-pindah, MDR-TB dan pasien HIV-TB. Sampel diambil dengan menggunakan teknik consecutive sampling.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pengobatan dengan strategi DOTS pada pasien TB paru di BP4 Medan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Pada penelitian didapatkan bahwa tingkat keberhasilan pengobatan TB paru dengan menggunakan strategi DOTS di BP4 Medan adalah 87 orang (87,6%) dari 97 pasien yang menjadi responden. Sedangkan responden yang pengobatannya tidak berhasil adalah 12 orang (27,4%). Angka ini melewati angka target global 85% dari WHA. Dengan α = 0,05 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat keberhasilan pengobatan pasien dengan pengetahuan pasien (p value = 0,004), dengan keteraturan berobat (p value < 0,0001), dengan status Drop out pasien (p value < 0,0001) dan dengan komitmen PMO (p value < 0,0001).

Kepada para pembuat kebijakan pengobatan untuk terus mempertimbangkan cara pengobatan TB paru yang lebih efektif dan tepat. Kepada pelayanan kesehatan, agar meningkatkan kinerjanya dalam program penanggulangan TB paru.


(15)

ABSTRACT

Morbidity due to tuberculosis (TB) tuberculosis is still very high in many communities, particularly in Indonesia (the 3rd highest number of TB disease in the world). Solutions to improve the cure rate of TB disease, one of them by using the Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) as a prevention strategy that implement anti-tuberculosis drug administration and supervised by the supervisor taking medication continuously until a specified time period. This is expected to increase treatment success rate and reduce morbidity of pulmonary tuberculosis will decline. But until recently the incidence of pulmonary TB is still very high in the community.

This study is a descriptive analytic cross sectional.Sampel design in this study were pulmonary TB patients in Medan BP4 who had undergone treatment at least 3 months and no patients have been treated sedentary, MDR-TB and HIV-TB patients. Samples were taken by using consecutive sampling technique.

This study aims to determine treatment success rate with DOTS strategy in patients with pulmonary tuberculosis in BP4 Medan and the factors that influence it. It was found that the treatment success rate of pulmonary TB using the DOTS strategy in Medan BP4 were 87 men (87.6%) of 97 patients who were respondents. While respondents failed treatment were 12 people (27.4%). This figure exceeded the global target of 85% of

the WHA. With α = 0.05 can be concluded that there is a relationship between treatment success rate of patients with the knowledge of patients (p value = 0.004), with the regularity of medication (p value <0.0001), with status Drop out of patients (p value <0.0001 ) and with the commitment of PMO (p value <0.0001).

To policy makers continue to consider ways of treatment for pulmonary TB treatment more effective and appropriate. To health services, to improve its performance in pulmonary TB control program.


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. TB sudah ditemukan sejak ribuan tahun sebelum masehi, dan dikenal sebagai penyakit yang mematikan (Rouillon, 2010).

Pada tahun 1993, World Health Organization (WHO) telah mencanangkan TB sebagai Global Health Emergency (Rouillon, 2010). Dengan demikian, TB merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia. Laporan WHO (2010a) menyatakan bahwa pada tahun 2008 terdapat 8,9-9,9 juta kasus TB dan 5,7 juta diantaranya menunjukkan Basil Tahan Asam (BTA) positif / TB (+). Berdasarkan data dari regional WHO, jumlah kasus TB yang terjadi di Asia Tenggara adalah 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, dan bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di Afrika hampir 2 kali jumlah kasus di Asia tenggara, yaitu 350 per 100.000 penduduk.

Pengobatan penyakit ini dilakukan dengan mengikuti program penanganan TB secara internasional dan memerlukan waktu yang cukup lama yang berkisar 6 - 9 bulan atau bahkan lebih, sehingga perlu dilakukan pemberian obat secara berkala dan diikuti dengan pengawasan (follow up) yang baik. Oleh karena itu, pada tahun 1995 WHO telah merekomendasikan strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) sebagai strategi pengobatan TB secara internasional (Rouillon, 2010). Di dalam strategi DOTS terdapat pengawas minum obat (PMO) yang mempunyai tugas untuk mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan dan semangat kepada pasien, mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan serta memberi penyuluhan sehingga pasien mengetahui, mengerti, dan patuh terhadap pengobatan yang diberikan. DOTS memiliki beberapa tujuan yaitu menurunkan angka kesakitan dan angka kematian akibat TB, memutus rantai penularan


(17)

serta mencegah terjadinya multidrug resistance (MDR), agar jumlah penderita TB dapat dikontrol. Dengan menggunakan strategi DOTS ini, diharapkan tingkat keberhasilan pengobatan TB khususnya di Indonesia akan terus meningkat (Gerdunas-TB, 2007).

Pengobatan TB dengan strategi DOTS dinilai berhasil bila memenuhi beberapa kriteria, yaitu pasien selalu diawasi minum obat oleh PMO, pasien minum obat secara teratur, pasien tidak putus berobat (drop out), dan mendapat penjelasan tentang TB sehingga pasien sembuh dilihat pada pemeriksaan dahak hasilnya TB (-), dan adanya perbaikan klinis berupa hilangnya batuk, penambahan nafsu makan dan berat badan (WHO, 2010c).

Penelitian WHO (2010a) tentang tingkat keberhasilan pengobatan dengan DOTS ditemukan angka keberhasilan pengobatan tertinggi adalah 86% yaitu pada tahun 2007. Itu adalah pertama kalinya pengobatan dengan DOTS melewati angka target global yaitu 85% sesuai dengan ketetapan World Health Assembly (WHA) tahun 1991. Asia Tenggara memiliki angka keberhasilan 88% sedangkan di daerah Eropa masih sangat rendah yaitu 67%.

Kesungguhan pemerintah dalam pemberantasan TB telah ditunjukkan dengan dicanangkannya Gerakan Terpadu Nasional untuk Pemberantasan Tuberkulosis (Gerdunas-TB) oleh Menteri Kesehatan Indonesia tanggal 24 Maret 1999 yang masih berlanjut hingga sekarang. Pada program ini, semua pihak dilibatkan dalam penanggulangan penyakit TB secara tuntas (Gerdunas-TB, 2007).

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Sumatera Utara (2008), TB paru di Sumatera Utara pada tahun 2007, tercatat sebanyak 90.207 kasus, dan 11.102 kasus TB (+). Pasien TB yang telah diobati sebanyak 12.179 orang, dengan angka kesembuhan 9.140 (75,05%). Di sisi lain, data dari Dinas Kesehatan Kota Medan (2009) menunjukkan bahwa kasus TB paru di kota Medan tahun 2008 mengalami peningkatan dari tahun 2007. TB paru klinis pada tahun 2008 sebesar 10.508 kasus sedangkan pada tahun 2007 sebesar 9.411. Selain itu, pasien TB paru tahun 2008 yang diobati hanya 2.505 dengan angka kesembuhan hanya 770 (47,95%). Dari data tersebut dapat tampak tingkat keberhasilan pengobatan TB yang


(18)

masih sangat rendah meskipun telah dilakukan pengobatan dengan strategi DOTS sehingga harus menjadi perhatian yang baik dalam pelaksanaannya.

Balai Pengobatan Penyakit Paru – Paru (BP4) merupakan salah satu tempat yang menjadi wadah dalam pengobatan pasien TB secara berkala. Pengobatan yang dilakukan di BP4 telah mengikuti program pemberantasan tuberkulosis nasional yaitu dengan menerapkan strategi DOTS, yang dianggap mampu meningkatkan keberhasilan pengobatan dan memutus rantai penularan TB.

1.2.Rumusan Masalah

Oleh karena permasalahan tuberkulosis yang tidak habis-habisnya di masyarakat, meskipun telah diobati dengan strategi DOTS, maka penulis menganggap perlu dilakukan penelitian tentang tingkat keberhasilan pelaksanaan strategi DOTS dalam pemberantasan TB, agar diperoleh angka keberhasilan strategi DOTS.

Berdasarkan fakta dan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Apakah pelaksanaan strategi DOTS di BP4 Medan berhasil meningkatkan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi OAT?

2. Apakah pasien TB paru yang mendapat pengobatan dengan strategi DOTS berhasil menyelesaikan pengobatan dan tidak drop out?

3. Apakah pasien TB paru mendapat penjelasan dari dokter ataupun PMO tentang penyakit TB paru dan cara pengobatannya sehingga pasien mengerti dan patuh dalam mengikuti program DOTS tersebut?

4. Bagaimana pengawasan dan keseriusan PMO dalam pelaksanaan DOTS di BP4 Medan?

1.3.Tujuan Penelitian


(19)

Mengetahui tingkat keberhasilan srategi DOTS pada pasien TB paru di BP4 Medan.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

1. Memperoleh data mengenai tingkat kepatuhan pasien TB paru dalam mengkonsumsi OAT selama mengikuti program DOTS di BP4 medan.

2. Mengetahui tingkat pengetahuan pasien yang mengikuti program DOTS dan hubungannya dengan tingkat keberhasilan pengobatan di BP4 Medan.

3. Mengetahui keteraturan berobat pasien yang mengikuti program DOTS dan hubungannya dengan tingkat keberhasilan pengobatan di BP4 Medan.

4. Mengetahui status drop out pasien yang mengikuti program DOTS dan hubungannya dengan tingkat keberhasilan pengobatan di BP4 Medan.

5. Mengetahui tindakan pengawasan dan keseriusan PMO dalam pelaksanaan DOTS dan hubungannya dengan tingkat keberhasilan pengobatan di BP4.

1.4.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu :

1. Memberi rujukan bagi pembuat kebijakan pengobatan untuk mempertimbangkan cara pengobatan TB paru yang efektif dan tepat.

2. Memberi rujukan bagi pelayanan kesehatan untuk melakukan pengobatan TB paru dengan cara yang benar dan sesuai standar pengobatan.

3. Menambah perhatian kelompok keilmuan terhadap penanggulangan TB di masyarakat dan mendorong untuk melakukan penelitian lebih lanjut demi mencari cara penanggulangan TB yang lebih baik.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Tuberkulosis Paru

2.1.1. Definisi dan Klasifikasi Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis dengan gejala klinik yang sangat bervariasi dan menyerang pada bagian atau organ tubuh tertentu misalnya paru-paru, kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, kulit dan lain-lain. Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit saluran pernapasan bagian bawah dan termasuk penyakit infeksi terpenting setelah penyakit malaria (Mukty, 2005). Tuberkulosis paru mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis ektrapulmonar (Djojodibroto, 2009)

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2006), mengklasifikasikan tuberkulosis paru berdasarkan 2 hal yaitu Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak atau basil tahan asam (BTA) dan berdasarkan golongan pasien. Klasifikasinya yaitu :

2.1.1.1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)

TB paru dibagi atas:

a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:

- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif. - Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan

radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan juga positif.


(21)

b. Tuberkulosis paru BTA (-)

- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.

- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan Mikobakterium tuberkulosis.

2.1.1.2. Berdasarkankan golongan pasien

Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :

a. Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

b. Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA (+) atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :

- Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan dll).

- TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten menangani kasus tuberkulosis.

c. Kasus defaulted atau drop out (lalai)

Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.


(22)

d. Kasus gagal

Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.

e. Kasus kronik

Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik.

f. Kasus Bekas TB

Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung. Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.

Pembagian Tuberkulosis menurut WHO didasarkan pada terapi yang terbagi menjadi 4 kategori yaitu :

Kategori I, ditujukan terhadap :

• Kasus baru dengan dahak positif

• Kasus baru dengan bentuk TB berat Kategori II, ditujukan terhadap :

• Kasus kambuh

• Kasus gagal dengan dahak BTA positif Kategori III, ditujukan terhadap :

• Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas

• Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I Kategori IV, ditujukan terhadap : TB kronik


(23)

2.1.2.

Genom Mycobacterium Tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan kandungan guanin (G) dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah diketahui lebih dari 165 gen dan penanda genetik yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 gen

Morfologi dan Biomolekuler Mycobacterium tuberculosis

Mycobacterium tuberculosis ditemukan oleh Robert Koch (1882) yaitu kuman yang berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Kuman akan tumbuh optimal pada suhu sekitar 37° C dengan tingkat pH optimal pada 6,4 sampai 7,0. Untuk membelah diri dari satu sampai dua kuman membutuhkan waktu 14-20 jam (Aditama, 2006). Dinding Mycobacterium tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding selnya ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam alkohol.

Karakteristik antigen Mycobacterium tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen Mycobacterium tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Di lapisan luar dinding sel ditemukan suatu lipid yang terbentuk dari asam mikolat berantai panjang. Asam mikolat ini mengalami esterifikasi sehingga terdapat tiga elemen dinding basil TB, yaitu lipid yang berasal dari asam mikolat, arabinogalaktan, serta muramil dipeptida (Djojodibroto,2009).


(24)

yang merupakan sikuen DNA mikobakteria yang selalu ada (conserved) sebagai DNA target, kelompok II merupakan sikuen DNA yang menyandi antigen protein, sedangkan kelompok III adalah sikuen DNA ulangan seperti elemen sisipan.

2.1.3.

Jika droplet tadi terhirup oleh orang lain yang sehat, droplet akan terdampar pada dinding saluran pernapasan. Droplet besar akan terdampar pada saluran pernapasan bagian atas, droplet kecil akan masuk ke dalam alveoli di lobus mana pun; tidak ada prediksi lokasi terdamparnya droplet kecil. Pada tempat terdamparnya, basil tuberkulosis akan membentuk suatu focus infeksi primer berupa tempat pembiakan basil tuberkulosis tersebut dan tubuh penderita akan memberikan reaksi inflamasi. Basil TB yang masuk tadi akan mendapatkan perlawanan dari tubuh, jenis perlawanan tubuh tergantung kepada

Patogenesis Tuberkulosis Paru

Penyakit tuberkulosis ditularkan melalui udara secara langsung dari penderita TB kepada orang lain. Dengan demikian, penularan penyakit TB terjadi melalui hubungan dekat antara penderita dan orang yang tertular (terinfeksi), misalnya berada di dalam ruangan tidur atau ruang kerja yang sama. Penderita penyakit TB sering tidak tahu bahwa ia menderita sakit tuberkulosis (Djojodibraoto, 2009). Sumber penularan adalah pasien dengan TB BTA (+) yang pada saat batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk dahak (droplet nuclei). Sekali batuk pasien tersebut dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan / partikel dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari dapat langsung membunuh kuman. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Gerdunas-TB, 2007).


(25)

pengalaman tubuh, yaitu pernah mengenal basil TB atau tidak pernah sama sekali (Djojodibroto, 2009).

2.1.3.1. Tuberkulosis Primer

Individu yang terinfeksi basil TB untuk pertama kalinya hanya memberikan reaksi seperti jika terdapat benda asing di saluran pernapasan. Selama tiga minggu, tubuh hanya membatasi fokus infeksi primer melalui mekanisme peradangan, tetapi kemudian tubuh juga mengupayakan pertahanan imunitas selular (delayed hypersensitivity). Setelah 3 minggu terinfeksi basil TB, tubuh baru mengenal seluk-beluk basil TB. Setelah 3-10 minggu, basil TB akan mendapat perlawanan yang berarti dari mekanisme sistem pertahanan tubuh ditandai dnegan timbulnya reaktivitas dan peradangan spesifik. Proses pembentukan pertahanan imunitas selular akan lengkap setelah 10 minggu. Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja di dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer (Sudoyo, 2007). Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi beberapa pilihan sebagai berikut :

1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum). Ini yang paling banyak terjadi.

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis – garis fibrotik, kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan ± 10% di antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.


(26)

a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis.

b. Penyebaran secara bronkogen, penyebaran pada paru yang bersangkutan maupun ke paru di sebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama dahak dan ludah sehingaa menyebar ke usus.

c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman Penyebaran ini dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :

- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau

- Meninggal.

Sebagian besar orang yang terkena infeksi basil tuberkulosis dapat berhasil mengatasinya, hanya beberapa orang saja (3-4% dari yang terinfeksi) yang tidak berhasil menanggulanginya keganasan basil TB (Djojodibroto, 2009).

2.1.3.2. Tuberkulosis Post-Primer (Tuberkulosis Sekunder)

TB post-primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen setelah TB primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. TB post-primer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu TB bentuk dewasa, localized tuberculosis, TB menahun, dan sebagainya. Bentuk TB inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat karena dapat menjadi sumber penularan. TB sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit malignan, diabetes, AIDS, gagal ginjal. TB post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal pesterior lobus superior maupun lobus inferior. Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru (Sudoyo, 2007).


(27)

Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :

1. Dihisap / reabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.

2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.

3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik).

2.1.4. Manifestasi Klinis & Penegakan Diagnosis Tuberkulosis Paru

Keluhan yang dirasakan pasien TB dapat bermacam-macam atau malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Gejala respiratorik berupa batuk kering ataupun batuk produktif merupakan gejala yang paling sering terjadi dan merupakan indikator yang sensitif untuk penyakit ini. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Gejala sesak napas timbul jika terjadi pembesaran nodus limfa pada hilus yang menekan bronkus, atau terjadi efusi pleura, ekstensi radang parenkim atau miliar. Nyeri dada biasanya bersifat nyeri pleuritik karena terlibatnya pleura dalam proses penyakit. Demam dapat terjadi menetap dan naik turun sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam ini. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman TB yang masuk. Gejala malaise sering ditemuka n berupa anoreksia tidak nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, ,meriang, nyeri otot, keringat malam dan lain-lain. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur (Sudoyo, 2007).


(28)

Proses penegakan diagnosis diawali dengan anamnesis tentang gejala – gejala yang ada kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik. Setelah itu akan dilakukan pemeriksaan dahak untuk mencari ada tidaknya kuman TB dalam bentuk basil tahan asam (BTA) (CDC, 2010). Untuk mendapatkan hasil yang akurat diperlukan rangkaian kegiatan yang baik, mulai dari cara batuk untuk mengumpulkan dahak, pemilihan bahan dahak yang akan diperiksa, teknik pewarnaan dan pengolahan sediaan serta kemampuan membaca sediaan di bawah mikroskop. Harus diketahui bahwa untuk mendapatkan BTA (+) di bawah mikroskop diperlukan jumlah kuman yang tertentu, yaitu sekitar 5.000 kuman/ml dahak (Aditama, 2006).

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk menegakkan diagnosis dengan mengumpulkan 3 bahan dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan yang dikenal dengan konsep Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS). Sewaktu : dahak dikumpulkan pada saat pasien yang diduga TB dating berkunjung pertama

kali. Saat pulang suspek membawa pot penampung dahak..

Pagi : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot penampung dibawa sendiri kembali.

Sewaktu : dahak dikumpulkan pada hari kedia, saat pasien menyerahkan dahak pagi hari. Pemeriksaan dahak BTA lazimnya dilakukan 3 X berturut-turut untuk menghundari faktor kebetulan. Bila hasil pemeriksaan dahak minimal 2 X positif, maka pasien sudah dapat dipastikan sakit TB paru (Hudoyo, 2008).

Untuk interpretasi pemeriksaan mikroskopis dahak pasien dapat dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) yaitu :

- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif

- Ditemuka n 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan - Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)


(29)

- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:

- Bayangan berawan di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah.

- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan / nodular. - Bayangan bercak milier.

- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks karena pemeriksaan mikroskopis sangat spesifik (98%) untuk TB paru (WHO, 2002) . Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks sangat perlu dilakukan sesuai dengan indikasi (Gambar 2.1) sebagai berikut:

• Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Harus dilakukan pemeriksaan foto toraks dada untuk mendukung diagnosis TB paru BTA (+)

• Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah diberi pengobatan dengan antibiotik non-OAT.

•Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat.


(30)

Gambar 2.1. Alur Penegakan Diagnosis Tuberkulosis Paru

(Gerdunas-TB, 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Available from

2.1.5.

Dosis yang dianjurkan oleh International Union Against Tuberculosis (IUAT) adalah dosis pemberian setiap hari dan dosis pemeberian intermitten. Perlu diingat bahwa dosis

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Pengobatan TB menggunakan obat anti tuberkulosis (OAT) harus adekuat dan minimal 6 bulan. Setiap Negara harus mempunyai pedoman dalam pengobatan TB yang disebut National Tuberculosis Programme (Program Pemberantasan TB). Prinsip pengobatan TB adalah menggunakan multidrugs regimen. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya resistensi basil TB terhadap obat. OAT dibagi dalam dua golongan besar, yaitu obat lini pertama dan obat lini kedua (PDPI, 2006).

Obat lini pertama (utama) adalah isonoazid (H), etambutol (E), pirazinamid (Z), rifampisin (R), sedangkan yang termasuk obat lini kedua adalah etionamide, sikloserin, amikasin, kanamisin kapreomisin, klofazimin dan lain-lain yang hanya dipakai pada pasien HIV yang terinfeksi dan mengalami multidrug resistant (MDR).


(31)

pemberian setiap hari berbeda dengan dosis intermitten yang lebih lama berkisar 3 hari 1 X [Tabel 2.1]. Setiap obat memiliki efek samping tertentu begitu juga dengan OAT, maka harus diperhatiakn cara penanganannya [Tabel 2.2].

Tabel 2.1. Dosis Obat Anti Tuberkulosis Paru

Nama Obat

Dosis yang direkomendasikan

Dosis Pemberian Setiap Hari Dosis Pemberian Intermittern mg/kgBB Maksimum (mg) mg/kgBB Maksimum (mg) Isoniazid (H) Rifampisin (R) Pirazinamid (Z) Streptomisin(S) Etambutol (E) 5 mg 10 mg 35 mg 15-20 mg 15-25 mg 300 mg 600 mg 2500 mg 750-1000 mg 1800 mg 15 mg 15 mg 50 mg 15-20 mg

750 mg (1 minggu 2X) 600 mg (1 minggu 2X)

750-1000 mg

(Djojodibroto, D., 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC.) Tabel 2.2. Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis

Efek samping Penyebab Tatalaksana

MINOR OAT DITERUSKAN

Tidak nafsu makan, mual, sakit perut

Rifampisin Obat diminum malam sebelum tidur

Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/ allopurinol Kesemuran s/d rasa terbakar di

kaki

INH Beri vitamin B6 (piridoksin) 1 x 100 mg perhari

Warna kemerahan pada air seni Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi apa-apa

MAYOR HENTIKAN OBAT


(32)

OAT ketat

Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan Gangguan keseimbangan

(vertigo & nistagmus)

Streptomisin Streptomisin dihentikan

Ikterik / hepatitis imbas obat (penyebab lain disingkirkan)

Sebagian besar OAT

Hentikan semua OAT sampai ikterik menghilang dan boleh diberikan

hepatoprotektor Muntah dan confusion Sebagian

besar OAT

Hentikan semua OAT dan lakukan uji fungsi hati

Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol Kelainan sistemik, termasuk

syok dan purpura

Rifampisin Hentikan rifampisin

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Available from:

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarankan untuk mengganti paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap yang terdiri dari fase intensif dengan fase lanjutan [Tabel 2.3] dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:

1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal

2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang tidak disengaja.

3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar.

4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.

5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan monoterapi.


(33)

Tabel 2.3. Pemberian Obat Dosis Tetap

BB

Fase intensif Fase lanjutan

2 bulan 4 bulan

Harian Harian 3x/minggu Harian 3X/minggu RHZE 150/75/400/275 RHZ 150/75/400 RHZ 150/150/500 RH 150/75 RH 150/150 30-37 38-54 55-70 >71 2 3 4 5 2 3 4 5 2 3 4 5 2 3 4 5 2 3 4 5

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Available from:

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit atau dokter spesialis paru ataupun fasiliti yang mampu menanganinya. Paduan obat anti TB menurut program pemberantasan TB paru yang dipergunakan di Indonesia sesuai dengan rekomendasi WHO ada tiga:

Kategori 1 : 2HRZE/ 4H3R3

Pada pasien baru TB paru (+), pasien TB paru BTA(-) foto toraks (+) Kategori 2 :2HRZES/HRZE/5H3R3E3

Pada pasien kambuh, gagal dan pada pasien dengan pengobatan terputus. Kategori 3 :2HRZ/4H3R3


(34)

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat (PDPI, 2006).

Evaluasi klinik

- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap

1 bulan.

- Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit.

- Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisis.

Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan) · Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak

· Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik harus selalu dilakukan yaitu : - Sebelum pengobatan dimulai

- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) - Pada akhir pengobatan

· Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi

Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan) Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada: · Sebelum pengobatan

· Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)

· Pada akhir pengobatan

Evalusi keteraturan berobat

· Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan minum obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai


(35)

penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya.

· Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

Kriteria Sembuh

- BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat.

- Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan.

- Adanya perbaikan klinis berupa hilangnya batuk, penambahn berat badan dan lain-lain - Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif.

2.2. Strategi DOTS

2.2.1. Pengertian DOTS

Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) adalah suatu stategi pengobatan TB paru dengan OAT yang mengutamakan pengawasan minum obat selama masa pengobatan, mencegah pasien drop out (putus berobat) serta pencarian dan penemuan kasus baru di masyarakat. Dalam program ini terdapat pengawas minum obat (PMO) yang mempunyai tugas untuk PMO mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan dan semangat kepada pasien, mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan serta memberi penyuluhan kepada pasien. Organisasi kesehatan dunia, WHO (2010c) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program penanggulangan TB adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah dianut oleh negara kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.


(36)

Menurut WHO (2010b), DOTS mengandung lima komponen penting, yaitu : 1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional.

2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopis, utamanya dilakukan pada mereka yang datang ke fasilitas kesehatan karena keluhan paru dan pernapasan.

3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah DOT (Directly Observed Therapy). Pasien diawasi secara langsung ketika menelan obatnya, obat yang diberikan harus sesuai dengan standar. Seperti diketahui, pengobatan TB memakan waktu 6 bulan. Setelah makan obat 2 atau 3 bulan tidak jarang keluhan pasien telah menghilang, ia merasa dirinya telah sehat, dan menghentikan pengobatannya. Karena itu, harus ada suatu sistem yang menjamin pasien mau menyelesaikan seluruh masa pengobatannya sampai selesai. Orang yang melakukan pengawasan dapat dilakukan oleh petugas kesehatan, keluarga, ataupun kader disebut PMO.

4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan (tersedia). Masalah uatama dalam hal ini adalah perencanaan dan pemeliharaan stok obat pada berbagai tingkat daerah.

5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku /stándar. Setiap pasien TB yang diobati harus mempunyai satu kartu identitas pasien yang kemudian tercatat di catatan TB yang ada di fasilitas kesehatan tersebut.

2.2.3. Pelaksanaan DOTS

Untuk meningkatkan pelaksanaan DOTS, saat ini telah terdapat 6 elemen kunci dalam strategi stop TB yang direkomendasi oleh WHO dan IUALTD (WHO, 2006) yaitu:

1. Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan penemuan kasus dan penyembuhan melalui pendekatan yang efektif terhadap seluruh pasien terutama pasien tidak mampu.

2. Memberikan perhatian pada kasus HIV, MDR-TB, dengan aktiviti gabungan TB-HIV, DOTS-PLUS dan pendekatan-pendekatan lain yang relevan


(37)

3. Kontribusi pada sistem kesehatan, dengan kolaborasi bersama program kesehatan yang lain dan pelayanan umum.

4. Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta dan non-pemerintah dengan pendekatan berdasarkan Public-Private Mix (PPM) untuk mematuhi International Standards of TB Care.

5. Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengaruh untuk berkontribusi pada pemeliharaan kesehatan yang efektif.

6. Memungkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat baru, alat diagnostik dan vaksin. Penelitian juga dibutuhkan untuk meningkatkan keberhasilan program.

Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang juga sangat berperan dalam sistem informasi penanggulangan TB. Semua unit pelaksana pengobatan TB harus melaksanakan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Untuk itu pencatatan dibakukan berdasarkan klasifikasi dan tipe penderita serta menggunakan formulir yang sudah baku pula.

Pencatatan yang dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi beberapa item/formulir yaitu :

1. Kartu pengobatan TB 2. Kartu identitas penderita TB 3. Register laboratorium TB

4. Formulir pindah penderita TB bila pasien pindah pengobatan 5. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan

2.2.4. Pengawas Minum Obat ( PMO)

Salah satu komponen DOTS yang paling penting adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung minum obat. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang Pengawas Minum Obat (PMO). Syarat-syarat PMO antara lain :


(38)

• Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

• Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien. Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya.

PMO merupakan kunci dari keberhasilan DOTS tersebut. PMO memiliki beberapa tugas penting yaitu:

• Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan (6-9 bulan)

• Memberi dorongan dan semangat kepada pasien berupa nasehat – nasehat

• mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan ataupun bila terdapat indikasi lain

• Memberi penyuluhan kepada pasien & keluarga pasien mengenai penyakit TB dan mengawasi keluarga pasien yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB agar melakukan pemeriksaan.

Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan (Depkes, 2006)

Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya:

• TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur. • TB bukan penyakit keturunan atau kutukan.

• Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya. • Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).


(39)

• Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke pelayanan kesehatan.

2.2.5.

• Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada

Tindakan Penyuluhan

Pemberian penyuluhan tentang penyakit TB dan cara pengobatannya juga harus dilakukan. penyuluhan dapat dilakukan secara :

· Peroranga/Individu

Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat dilakukan di unit rawat jalan, di apotek saat mengambil obat ataupun di rumah-rumah penduduk.

· Kelompok

Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien, kelompok keluarga pasien, masyarakat pengunjung rumah sakit, balai pengobatan dan lain-lain

Cara memberikan penyuluhan

• Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat penerimaannya sebagai bahan untuk penatalaksanaan selanjutnya

• Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelas

• Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau perlu dengan alat peraga (brosur, leaflet dan lain-lain)

2.2.6.

Tingkat keberhasilan pengobatan dengan DOTS merupakan hal yang sangat penting diperhatikan. Nilai ini akan menunjukkan apakah strategi DOTS tersebut berhasil atau gagal dilaksanakan. Menurut laporan WHO (2010a), keberhasilan DOTS antara tahun 1995 sampai 2008 adalah 36 juta orang tetapi lebih dari 6 juta orang lainnya gagal


(40)

diobati dan meninggal. Angka ini menunjukkan masih banyak kasus TB yang tidak tertangani walaupun dengan menggunakan strategi DOTS. Pada penelitian tingkat keberhasilan strategi DOTS pada pasien TB (+) baru (pertama kali berobat) oleh WHO (2010a) ditemukan angka keberhasilan pengobatan adalah 86% yaitu pada tahun 2007. Itu adalah pertama kalinya pengobatan dengan DOTS melewati angka target global yaitu 85% sesuai dengan ketetapan World Health Assembly (WHA) tahun 1991. Asia Tenggara memiliki angka keberhasilan 88% sedangkan di daerah Eropa masih sangat rendah yaitu 67%..

Di Indonesia, keberhasilan strategi DOTS dinilai cukup berhasil. Data dari WHO (2010a) menunjukkan keberhasilan DOTS terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007, keberhasilan DOTS mencapai 91% pada kasus TB (+) baru. Angka ini menunjukkan kemajuan yang sangat berarti dari pengobatan TB paru dengan DOTS. Di kota Medan, tingkat kesembuhan pasien TB paru pada tahun 2008 sangat rendah

yaitu 770 orang dari 2.505 kasus (30,74%). Banyak hal yang menyebabkan kasus TB di kota Medan tidak sembuh atau gagal berobat (Depkes, 2009).

2.2.7. Kendala Pelaksanaan DOTS

Masih banyak kendala dalam pelaksanaan DOTS merupakan faktor yang mempersulit dalam pemberantasan TB. Salah satu kendala yang paling sering terjadi adalah rendahnya compliance dan pengetahuan penderita yaitu pasien TB paru tidak mengerti dan tidak sadar akan pentingnya pengobatan yang berkelanjutan dan teratur yang diberikan kepadanya sehingga pasien biasanya tidak begitu peduli mengikuti prosedur pengobatan (Gitawati, 2002).

Kendala lain yang ditemukan dalam pengobatan dengan DOTS antara lain : 1, Pengawasan yang kurang dari PMO, dokter ataupun petugas kesehatan.


(41)

2. Pasien merasa bosan dengan pengobatan yang sangat lama sehingga menolak untuk minum obat lagi. Hal ini seharusnya bisa diatasi dengan pemberian penjelasan dari awal pengobatan.

3. Ketersedian obat juga salah satu kendala pengobatan khususnya pada daerah yang sulit terjangkau.


(42)

Pengobatan dengan Strategi DOTS

drop out rendah

Keberhasilan Pengobatan Berobat teratur

Pengetahuan Pasien tentang TB paru &

DOTS

Komitmen PMO

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian, maka kerangka konsep penelitian ini adalah:

INDEPENDENT VARIABLE DEPENDENT VARIABLE

3.2. Definisi Operasional

a. DOTS adalah suatu stategi pengobatan TB paru dengan OAT selama 6 – 9 bulan yang mengutamakan pengawasan minum obat selama masa pengobatan, mencegah pasien drop out (putus berobat) serta pencarian dan penemuan kasus baru di masyarakat

b. Pengetahuan pasien tentang TB paru dan DOTS adalah segala sesuatu yang diketahui pasien mengenai TB paru dan pelaksanaan strategi DOTS karena setiap pasien TB paru yang menjalani pengobatan dengan DOTS seharusnya telah diberi penjelasan tentang penyakit TB paru yang dideritanya dan strategi pengobatan DOTS oleh dokter, petugas kesehatan ataupun PMO. Dinilai pengetahuan pasien dan sumber informasinya mengenai penyakit TB paru dan strategi pengobatan DOTS yang dijalaninya.

Cara ukur : wawancara

Alat ukur : kuesioner, pertanyaan yang diajukan adalah 10 pertanyaan dengan 3 pilihan jawaban


(43)

- Jawaban yang benar diberi skor 2 - Jawaban yang salah diberi skor 0

Kategori : * pengetahuan baik (total skor 11-20) * pengetahuan buruk (total skor 0-10)

c. Berobat teratur artinya pasien TB paru mengkonsumsi obat secara tepat waktu dan tepat dosis yang berkelanjutan sesuai dengan pemberian dan saran dokter serta melakukan pemeriksaan secara berkala. Dinilai kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi OAT dan melakukan pemeriksaan ulang selama pengobatan.

Cara ukur : wawancara

Alat ukur : kuesioner, pertanyaan yang diajukan adalah 5 pertanyaan dengan 3 pilihan jawaban

- Jawaban yang benar diberi skor 2 - Jawaban yang salah diberi skor 0 Kategori : * Berobat teratur (total skor 6-10)

* Berobat tidak teratur (total skor 0-5)

d. Drop out rendah artinya pasien terus dipantau, diikuti dan diawasi sehingga pasien tidak putus berobat dan jumlah kasus putus berobat menjadi rendah. Dapat dinilai dari rekam medis dan kartu berobat pasien TB paru selama menjalani pengobatan.

Cara ukur : wawancara

Alat ukur : kuesioner, pertanyaan yang diajukan adalah 5 pertanyaan dengan 3 pilihan jawaban

- Jawaban yang benar diberi skor 2 - Jawaban yang salah diberi skor 0 Kategori : * drop out (-) (total skor 6-10)


(44)

d. Komitmen PMO artinya keseriusan pengawas minum obat dalam menjalankan tugasnya yaitu mengawasi dan memberi nasehat kepada pasien selama pengobatan berlangsung.

Cara ukur : wawancara

Alat ukur : kuesioner, pertanyaan yang diajukan adalah 5 pertanyaan dengan 3 pilihan jawaban

- Jawaban yang benar diberi skor 2 - Jawaban yang salah diberi skor 0

Kategori : * Komitmen PMO baik (total skor 6-10) * Komitmen PMO buruk (total skor 0-5)

f. Keberhasillan pengobatan adalah hasil akhir dari strategi pengobatan minimal 6 bulan pengobatan dengan kriteria sembuh yaitu:

- Pada pemeriksaan dahak BTA hasilnya adalah TB (-)

- Pada foto toraks, gambaran radiologi tetap sama / adanya perbaikan

- Adanya perbaikan klinis pada pasien berupa meningkatnya nafsu makan, penambahan berat badan, dan hilangnya keluhan batuk dan malaise.

- Bila ada fasilitas biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif.

Dinilai dengan melihat kartu status penderita TB paru dan rekam medis pasien.

3.3. Hipotesa

Tingkat keberhasilan pengobatan TB paru dengan menggunakan strategi DOTS masih rendah di BP4 Medan

Terdapat hubungan pengetahuan pasien dengan tingkat keberhasilan pengobatan

Terdapat hubungan keteraturan berobat pasien dengan tingkat keberhasilan pengobatan

Terdapat hubungan status drop out pasien dengan tingkat keberhasilan pengobatan


(45)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4,1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan menggunakan desain cross sectional yaitu pengambilan data penelitian dalam satu waktu di rentang waktu tertentu.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan yang merupakan suatu wadah pemerintah provinsi Sumatera Utara yang khusus melayani penyakit paru khususnya TB paru yang masih menjadi masalah penting di masyarakat. Pengobatan TB paru di BP4 sudah menggunakan strategi pengobatan yang ingin diteliti yaitu strategi DOTS yang dianggap akan berhasil di Indonesia. Pelaksanaan dan pengumpulan data penelitian telah dilakukan selama beberapa bulan yaitu bulan Juli - November tahun 2010 di BP4 Medan.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi target adalah pasien TB paru yang menjalani pengobatan dengan strategi DOTS. Sedangkan populasi terjangkau adalah pasien TB paru yang menjalani pengobatan dengan strategi DOTS di BP4 Medan.

Sampel diambil setelah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi adalah pasien TB paru yang telah mendapatkan pengobatan dengan strategi DOTS dan telah menjalani pengobatan minimal 3 bulan dihitung sejak pemberian dan pengawasan minum OAT oleh PMO pertama kali karena sampel di BP4 Medan cenderung drop out pada bulan kedua selama pengobatan. Kriteria eksklusi adalah pasien TB paru yang telah berobat berpindah-pindah, pasien MDR-TB dan pasien HIV-TB.


(46)

Menurut Sastroasmoro (2008), jumlah sampel yang akan digunakan dalam penelitian dihitung dengan menggunakan rumus :

2 2

d PQ Z

n= α

n = jumlah sampel

α

Z = tingkat kemaknaan [ ditetapkan]

P = proporsi penyakit atau keadaan yang akan dicari, P [ dari pustaka ] Q = 1-P

d = tingkat ketepatan absolute yang dikehendaki

dalam penilitian ini proporsi (P) sebelumnya tidak diketahui, maka dapat ditetapkan P= 0,50 dengan tingkat kemaknaan 1,96 dan ketepatan absolut yang dikehendaki adalah 10% maka dapat dihitung :

2 2

d PQ Z

n= α

2 2 10 , 0 ) 50 , 0 1 .( 50 , 0 . 96 , 1 − = n

n = 96,04 (dibulatkan menjadi 97 orang)

Sampel diambil dengan menggunakan teknik non-probability sampling yaitu dengan consecutive sampling. Semua subjek yang memenuhi kriteria pemilihan akan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi.

4.4. Metode Pengumpulan Data 4.4.1. Data Primer

Pada penelitian ini, digunakan data primer yang didapat langsung dari responden. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dengan alat pengumpulan data berupa kuesioner. Pertanyaan - pertanyaan di dalam kuesioner ditanyakan langsung


(47)

responden terhadap pengobatan dengan strategi DOTS. Pertanyaan – pertanyaan di dalam kuesioner telah diuji validitas dan reliabilitasnya [Tabel 4.1] dengan menggunakan SPSS.

Tabel 4.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilititas Kuesioner Penelitian

Variabel Nomor Pertanyaan

Total Pearson Correlation

Status Alpha Status

Pengetahuan 1 2 3 4 5 6 7 8 8 10 O.722 0.745 0.607 0.810 0.792 0.540 0.767 0.537 0.594 0.813 Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid

0.876 Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Berobat Teratur 1 2 3 4 5 0.638 0.888 0.793 0.870 0.887 Valid Valid Valid Valid Valid

0.873 Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Drop Out 1 2 3 4 5 0.694 0.750 0.893 0.595 0.595 Valid Valid Valid Valid Valid

0.756 Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Komitmen PMO 1 2 3 4 5 0.822 0.753 0.897 0.822 0.896 Valid Valid Valid Valid Valid

0.895 Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel 4.4.2. Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan adalah data yang didapatkan dari BP4 Medan berupa rekam medis pasien, kartu status penderita TB paru.


(48)

4.5. Metode Analisis Data

Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan, tahap pertama adalah editing yaitu mengecek nama dan kelengkapan identitas maupun data responden serta memastikan bahwa semua jawaban telah diisi sesuai petunjuk, tahap kedua adalah coding yaitu memberi kode atau angka tertentu pada kuesioner untuk mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisa, tahap ketiga entry yaitu memasukkan data dari kuesioner ke dalam program komputer dengan menggunakan program SPSS, tahap keempat adalah melakukan cleaning yaitu memeriksa kembali data yang telah di entry untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak.

Hasil perhitungan disajikan dalam tabel distribusi frekuensi untuk melihat gambaran pengetahuan, kepatuhan berobat, dan tanggapan responden terhadap pengobatan dengan strategi DOTS. Kemudian akan dilakukan juga analisa mengenai hubungan berobat teratur, drop out rendah, komitmen PMO dan pengetahuan pasien (independent variable) dengan keberhasilan pengobatan (dependent variable) menggunakan tabel 2x2 sehingga akan diketahui ada tidaknya hubungan antar variabel tersebut.


(49)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini di Balai Pengobatan Penyakit Paru – Paru (BP4) Medan yang dapat dideskripsikan sebagai berikut:

5.1.1.1 Kedudukan BP4 Medan

Dalam PERDA No. 3 Tahun 2001 dan Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 061-437.K/Tahun 2002 dinyatakan bahwa kedudukan BP4 adalah Unit Pelaksana Teknis di bidang kesehatan paru dalam lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara.

5.1.1.2 Tugas BP4

Melaksanakan upaya kesehatan yang menyeluruh (preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif) terhadap gangguan kesehatan paru masyarakat akibat infeksi bakteri, virus, jamur , parasit, pengaruh kebiasaan, lingkungan hidup dan pekerjaan, serta dalam upaya pengembangan kesehatan paru masyarakat.

5.1.1.3 Fungsi BP4

Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, BP4 menyelenggarakan fungsi:

a. Perencanaan, pelaksanaan, koordinasi, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pencegahan, pengobatan dan pelayanan penunjang kesehatan paru masyarakat.

b. Perencanaan, pelaksanaan, koordinasi, pelaksanaan, dan evaluasi pemulihan/peningkatan kesehatan paru masyarakat.


(50)

c. Perencanaan, koordinasi, pelaksanaan, dan evaluasi pelaksanaan rujukan kesehatan paru masyarakat .

d. Perencanaan, koordinasi, pelaksanaan dan evaluasi pendidikan dan pelatihan tenanga kesehatan dan non kesehatan di bidang kesehatan paru masyarat.

e. Perencanaan, koordinasi, pelaksanaan dan evaluasi penelitian dan pengembangan teknologi tepat guna di bidang kesehatan paru masyarakat.

f. Perencanaan, koordinasi, pelaksanaan dan evaluasi pelaksanaan kemitraan dan sosialisasi kesehatan paru masyarakat.

g. Pelaksanaan urusan ketatausahaan, keuangan dan kerumahtanggaan Balai Penyakit paru –paru Masyarakat.

5.1.1.3 Visi dan Misi BP4 Medan Visi

Menjadi pusat pelayan kesehatna paru prima dan terjangkau bagi masyarakat untuk mendukung terwujudnya Indonesia Sehat 2010.

Misi

1. Meningkatkan pemerataan, mutu, dan keterjangkauan pelayanan di bidang kesehatan paru masyarakat.

2. Melakukan promosi kesehatan paru untuk pemberdayaan masyarakat.

3. Mengembangkan jejaring kemitraan dan koordinasi dengan institusi terkait dalam mengatasi masalah kesehatan paru masyarakat.

4. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap masalah kesehatan paru masyarakat.

5. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan SDM melalui pendidikan dan pelatihan.


(51)

5.1.1.4 Sumber Daya Manusia (SDM) BP4 Medan

Sumber daya manusia yang bekerja di BP4 Medan secara garis besarnya dibedakan antara tenanga Teknis dan tenaga Administrasi. Tenaga teknis adalah tenaga yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan, sedangkan tenaga Administrasi merupakan tenaga yang melaksanakan kegiatan non teknis untuk menunjang kegiatan teknis.

Terdaftar berbagai jenis kulifikasi tenaga teknis yang bertugas di BP4 Medan, yaitu SLTA , Akademi, Sarjana, dan Pasca Sarjana.

Tenaga tingkat SLTA ada beberapa jenis kualifikasi, yaitu SMA, SMAK (Sekolah Menengah Analisis Kesehatan), SPK (Sekolah Perawat Kesehatan), SAA (Sekolah Asisten Apoteker).

Tenaga tingkat Akademi meliputi berbagai jenis kualifikasi, yaitu APRO(Akademi Penata Rontgen), ATEM (Akademi Teknik Medik), AKPER (Akademi Perawat), AKBID (Akademi Bidan), AKL (Akademi Kesehatan Lingkungan), AKZI (Akademi Gizi) dan lain-lain yang setaraf.

Tenaga tingkat sarjana terdiri dari berbagai jenis kualifikasi, yaitu Dokter, Sarjana, Farmasi, Sarjana Kesehatan Masyarakat dan lain-lain yang setaraf. Tenaga tingkat pasca Sarjana terdiri Dokter Spesialis Paru dan Magister Kesehatan.

5.1.1.5 Gedung dan Peralatan

- Luas Tanah : ± 2.016 m2

- Status Tanah Milik : Pemda Provinsi Sumatera Utara

- Luas Bangunan : ± 1.600,5 m2

Untuk melaksanakan pelayana, BP4 dilengkapi dengan peralatan yang dibagi menjadi peralatan umum dan peralatan teknis. Peralatan umum meliputi peralatan rumah tangga, komunikasi, dan transportasi. Adapun peralatan teknis dibagi menjadi peralatan dasar dan peralatan teknis khusus. Peralatan teknis dasar adalah peralatan yang digunakan


(52)

untuk pemeriksaan paru-paru dasar dan pemeriksaan laboratorium. Sedangkan peralatan teknis khusus digunakan untuk pemeriksaan dan tindakan spesialistik.

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Responden

Karakteristik responden dapat dilihat dengan menggunakan kuesioner yang meliputi kelompok jenis kelamin dan kelompok umur. Distribusi hal-hal tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan jenis kelamin (n=100)

Jenis Kelamin Frekuensi (orang) Persentase (%)

Laki-Laki Perempuan

55 42

56.7 43.3

Total 97 100

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pasien TB paru yang datang berobat dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang paling banyak adalah laki-laki sebanyak 55 orang (56.7%). Sedangkan responden dalam penelitian ini yang berjenis kelamin perempuan adalah 43 orang (43.3%).

Tabel 5.2 Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan umur responden

Kelompok Umur Frekuensi (orang) Persentase (%)

Remaja ( 12-17 Tahun) Dewasa Muda ( 18-40 Tahun)

Dewasa Tua ( 40-65 Tahun) Tua (> 65 Tahun)

3 50 39 5

3,1 51,5 40,2 5,2


(53)

Pasien yang ikut dalam penelitian ini sebanyak 97 orang dan terdiri dari beberapa kategori umur dengan kategori umur yang paling banyak adalah dewasa muda (18-40 tahun) yaitu 50 orang (51,5%). Kategori umur yang paling sedikit adalah remaja (12-18 tahun) sebanyak 3 orang (3,1%). Sedangkan responden lainnya terdiri dari dewasa tua (40-65 tahun) sebanyak 39 orang (40,2%) dan dari kategori umur tua/lansia (>(40-65 tahun) sebanyak 5 orang (5,2%).

5.1.3 Hasil Analisis Data

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapati hasil yang dapat dideskripsikan melalui tabel-tabel distribusi frekuensi dan persentase.

5.1.3.1 Pengetahuan Pasien

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang Penyebab TB Paru

Jawaban Frekuensi (orang) Persentase (%)

Bakteri Jamur

Virus

76 2 19

78,4 2,1 19,6

Total 97 100

Berdasarkan data tabel 5.3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden menjawab benar pertanyaan tentang penyebab TB paru yaitu bakteri sebesar 76 orang (78,4%), 2 orang (2,1%) responden memilih jamur dan 19 orang (19,6%) responden memilih virus sebagai penyebab TB paru. Angka ini memnunjukkan bahwa pasien masih kurang mendapat pengetahuan mengenai penyebab TB paru selama mengikuti program DOTS yaitu sebanyak 21 orang (21,7%).


(54)

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang Cara Penularan TB Paru

Jawaban Frekuensi (orang) Persentase (%)

Kutukan Kontak Mata Bersin/Batuk

0 3 94

0 3,1 96,9

Total 97 100

Tabel 5.4 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden menjawab benar pertanyaan tentang cara penularan TB paru di masyarakat yaitu melalui bersin/ batuk sebanyak 94 orang (96,9%). Sedangkan yang menjawab salah hanya 3 orang (3,1%) yaitu dengan menjawab penularan TB paru melalui kontak mata.

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang Cara Pemeriksaan TB Paru

Jawaban Frekuensi (orang) Persentase (%)

Dahak & Rontgen Mata & Hidung Kulit & Kelamin

97 0 0

100 0 0

Total 97 100

Berdasarkan data dari tabel 5.5, dapat dilihat bahwa semua responden menjawab benar. Pertanyaan tentang cara pemeriksaan yang harus dilakukan untuk memastikan pasien menderita TB paru ini dijawab dengan dahak dan rontgen sebanyak 97 orang (100%).


(55)

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang Pelaksanaan DOTS

Jawaban Frekuensi (orang) Persentase (%)

Obat Banyak Sesuai Keinginan Pasien

DOTS yang Benar

17 3 77

17,5 3,1 79,4

Total 97 100

Hasil dari data tabel 5.6 menunjukkan bahwa 77 orang (79,4%) menjawab dengan benar tentang arti DOTS. Hal ini sebenarnya sangat penting dijelaskan agar pasien dapat mengerti maksud dan tujuan pengobatan dengan strategi DOTS tersebut. Tetapi masih ada 17 orang (17,5%) responden yang memilih jawaban bahwa DOTS adalah pemberian obat sebanyak-banyaknya dan 3 orang (3,1%) responden memilih pemberian obat sesuai keinginan/pilihan pasien..

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Pasien tentang Alasan Pasien Mengikuti Program DOTS

Jawaban Frekuensi (orang) Persentase (%)

Tidak Tahu, Ikut saja Membantu &Tidak Putus Berobat

Saran Keluarga dan Tetangga

9 66 22

9,3 68 22,7

Total 97 100

Alasan pasien mengikuti program DOTS terbanyak pada tabel 5.7 adalah untuk membantunya minum obat secara teratur dan mengawasi agar tidak putus berobat, 66 orang (68%) responden menjawab benar, 22 orang (22,7%) menjawab karena mengikuti saran keluarga dan tetangganya dan 9 (9,3%) orang tidak mengetahui secara jelas dan hanya ikut saja.


(1)

Jawaban Drop Out 1

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid benar 79 81.4 81.4 81.4

salah 17 17.5 17.5 99.0

simpan obat 1 1.0 1.0 100.0

Total 97 100.0 100.0

Jawaban Drop Out 2

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 2 bulan 22 22.7 22.7 22.7

6 bulan 66 68.0 68.0 90.7

tidak tahu 9 9.3 9.3 100.0

Total 97 100.0 100.0

Jawaban Drop Out 3

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid berhenti 9 9.3 9.3 9.3

konsultasi kembali 82 84.5 84.5 93.8

tetap minum (-)jadwal 6 6.2 6.2 100.0

Total 97 100.0 100.0

Jawaban Drop Out 4

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid batuk hilang, BB naik 23 23.7 23.7 23.7

sembuh oleh dr 72 74.2 74.2 97.9

tidak diawasi 2 2.1 2.1 100.0

Total 97 100.0 100.0

Jawaban Drop Out 5

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid bakteri kebal 59 60.8 60.8 60.8

tidak apa-apa 10 10.3 10.3 71.1

tidak tahu 28 28.9 28.9 100.0

Total 97 100.0 100.0

KOMITMEN PMO

Jawaban PMO 1

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid terlatih 75 77.3 77.3 77.3

teman 3 3.1 3.1 80.4

keluarga (-)terlatih 19 19.6 19.6 100.0

Total 97 100.0 100.0


(2)

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid mengawasi, nasehat 68 70.1 70.1 70.1

ambil obat, ikut pasien 19 19.6 19.6 89.7

ambil obat, berikan ke pasien 10 10.3 10.3 100.0

Total 97 100.0 100.0

Jawaban PMO 3

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid kesadaran sendiri 36 37.1 37.1 37.1

PMO 54 55.7 55.7 92.8

Keluarga 7 7.2 7.2 100.0

Total 97 100.0 100.0

Jawaban PMO 4

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid pergi 21 21.6 21.6 21.6

perhatikan s/d selesai 71 73.2 73.2 94.8

catat tanpa lihat 5 5.2 5.2 100.0

Total 97 100.0 100.0

Jawaban PMO 5

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid mendengar, beri nasehat 65 67.0 67.0 67.0

catat (-) solusi 12 12.4 12.4 79.4

Tidak pernah mengobrol 20 20.6 20.6 100.0

Total 97 100.0 100.0

KATEGORI HASIL PENELITIAN

Tingkat Pengetahuan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid baik 86 88.7 88.7 88.7

buruk 11 11.3 11.3 100.0

Total 97 100.0 100.0

Berobat Teratur

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid teratur 82 84.5 84.5 84.5

tidak teratur 15 15.5 15.5 100.0


(3)

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid (-) drop out 76 78.4 78.4 78.4

(+) drop out 21 21.6 21.6 100.0

Total 97 100.0 100.0

Komitemen PMO

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid baik 70 72.2 72.2 72.2

buruk 27 27.8 27.8 100.0

Total 97 100.0 100.0

ANALISIS HASIL PENELITIAN

Jenis Kelamin * Tingkat Keberhasilan Crosstabulation Tingkat Keberhasilan

Total Berhasil Tidak Berhasil

Jenis Kelamin laki-laki Count 50 5 55

% within Tingkat Keberhasilan

58.8% 41.7% 56.7%

perempuan Count 35 7 42

% within Tingkat Keberhasilan

41.2% 58.3% 43.3%

Total Count 85 12 97

% within Tingkat Keberhasilan

100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 1.261a 1 .262

Continuity Correctionb .659 1 .417

Likelihood Ratio 1.248 1 .264

Fisher's Exact Test .353 .208

Linear-by-Linear Association 1.248 1 .264

N of Valid Cases 97

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.20. b. Computed only for a 2x2 table


(4)

Tingkat Pengetahuan * Tingkat Keberhasilan Crosstabulation Tingkat Keberhasilan

Total Berhasil Tidak Berhasil

Tingkat Pengetahuan baik Count 79 7 86

% within Tingkat Keberhasilan

92.9% 58.3% 88.7%

buruk Count 6 5 11

% within Tingkat Keberhasilan

7.1% 41.7% 11.3%

Total Count 85 12 97

% within Tingkat Keberhasilan

100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 12.527a 1 .000

Continuity Correctionb 9.321 1 .002

Likelihood Ratio 8.915 1 .003

Fisher's Exact Test .004 .004

N of Valid Cases 97

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.36. b. Computed only for a 2x2 table

Berobat Teratur * Tingkat Keberhasilan Crosstabulation Tingkat Keberhasilan

Total Berhasil Tidak Berhasil

Berobat Teratur teratur Count 79 3 82

% within Tingkat Keberhasilan

92.9% 25.0% 84.5%

tidak teratur Count 6 9 15

% within Tingkat Keberhasilan

7.1% 75.0% 15.5%

Total Count 85 12 97

% within Tingkat Keberhasilan

100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 37.131a 1 .000

Continuity Correctionb 32.115 1 .000

Likelihood Ratio 26.678 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

N of Valid Cases 97

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.86. b. Computed only for a 2x2 table


(5)

Drop Out * Tingkat Keberhasilan Crosstabulation Tingkat Keberhasilan

Total Berhasil Tidak Berhasil

Drop Out (-) drop out Count 75 1 76

% within Tingkat Keberhasilan

88.2% 8.3% 78.4%

(+) drop out Count 10 11 21

% within Tingkat Keberhasilan

11.8% 91.7% 21.6%

Total Count 85 12 97

% within Tingkat Keberhasilan

100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 39.578a 1 .000

Continuity Correctionb 35.008 1 .000

Likelihood Ratio 32.893 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

N of Valid Cases 97

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.60. b. Computed only for a 2x2 table

Case Processing Summary Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Komitemen PMO * Tingkat Keberhasilan

97 100.0% 0 .0% 97 100.0%

Komitemen PMO * Tingkat Keberhasilan Crosstabulation Tingkat Keberhasilan

Total Berhasil Tidak Berhasil

Komitemen PMO baik Count 69 1 70

% within Tingkat Keberhasilan

81.2% 8.3% 72.2%

buruk Count 16 11 27

% within Tingkat Keberhasilan

18.8% 91.7% 27.8%

Total Count 85 12 97

% within Tingkat Keberhasilan


(6)

Chi-Square Tests Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 27.777a 1 .000

Continuity Correctionb 24.269 1 .000

Likelihood Ratio 25.624 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

N of Valid Cases 97

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.34. b. Computed only for a 2x2 table