Pengaturan Air Defence Identification Zone (Adiz) Sebagai Perwujudan Kedaulatan Teritorial Ditinjau Dari Konvensi Paris 1919


 

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara
kepulauan (Archipelagic State) yang terdiri dari pulau besar dan kecil yang
menurut perhitungan terakhir berjumlah 17.508 buah. Luas wilayah Republik
Indonesia termasuk ZEE kurang lebih 7,7 juta km², wilayah daratan 1,9 juta km,
serta lautan sebesar 5,5 juta km. 1 Wilayah NKRI secara geografis merupakan
negara yang sangat strategis, karena berada pada posisi silang antara dua benua
yaitu benua Asia dan benua Australia serta dua samudra yaitu samudra Pasifik dan
samudra Hindia. Letak wilayah yang strategis tersebut membuat Indonesia
menjadi negara yang sangat sibuk karena menjadi area perlintasan bagi negaranegara lain yang hendak menuju suatu tempat ke tempat lainnya, sehingga sering
terjadi berbagai pelanggaran baik terhadap ketentuan hukum nasional maupun
hukum internasional dalam pelaksanaan hak lintas bagi negara asing tersebut yang
memerlukan penyelesaian lebih lanjut.
Indonesia merupakan bagian dari masyarakat internasional, maka dalam
pemanfaatan wilayah udara nasional, bangsa Indonesia berkewajiban pula untuk

memanfaatkannya

bagi

kepentingan

masyarakat

dunia

lainnya

dengan

memperhatikan ketentuan-ketentuan menurut hukum internasional. Penataan
ruang wilayah udara Indonesia pada saat ini belum dapat dilaksanakan secara
                                                            
1

Ermaya Suradinata, Hukum Dasar Geopolitik dan Geostrategi dalam Kerangka

Keutuhan NKRI,Suara Bebas, Jakarta, 2005, hal.35.

 

 
Universitas Sumatera Utara


 

optimal, sehingga masih terdapat ruang-ruang udara yang belum dikelola secara
optimal. Terdapat pengaturan tata ruang wilayah udara Indonesia yang belum
sesuai dengan ketentuan hukum, khususnya ketentuan hukum internasional. Di
samping itu penataan ruang wilayah udara Indonesia belum seluruhnya didasarkan
pada aspek kepentingan pertahanan negara dan hanya mengutamakan aspek
keselamatan penerbangan, sehingga belum mampu mendukung pelaksanaan tugas
TNI AU secara optimal.
Hakekatnya wilayah kedaulatan negara meliputi ruang udara di atas
wilayah negara yang bersangkutan. Dalam suatu dalil hukum Romawi dikenal
ungkapan "cujus est so/um, ejus est usque ad coelum". Dalil tersebut mengandung

pengertian bahwa barang siapa memiliki sebidang tanah, maka berarti pula
memiliki segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai
dengan ke langit dan segala sesuatu yang berada di dalam tanah.2 Sebelum abad
19, perhatian negara terhadap wilayah ini praktis belum ada sama sekali. Namun
setelah berhasil ditemukan pesawat terbang oleh Wright bersaudara, ruang udara
karenanya mulai diperhitungkan dalam masyarakat lnternasional.'
Kedaulatan yang menjadi ciri utama dari suatu negara masih menjadi suatu
menjadi isu sensitif. Meskipun telah terjadi pergeseran dari national security ke
human security namun isu perbetasan masih menjadi topik utama dalam dunia
internasional. Hal ini dikarenakan masih seringnya terjadi konflik masalah
kedaulatan suatu negara. Ada dua jenis kedaulatan yang berkaitan dengan negara:
kedaulatan internal berarti penyelenggaraan otoritas di dalam sebuah wilayah
                                                            
2

Agus Pramono, Wilayah Kedaulatan Negara Atas Ruang Udara Dalam Perspektif
Hukum Internasional, Jurnal, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2012

 


 
Universitas Sumatera Utara

10 
 

tertentu dan terhadap orang-orang tertentu; yang kedua, kedaulatan eksternal
meliputi pengakuan dari negara-negara lain sebagai pihak yang sah yang berhak
bertindak bebas di dalam urusan-urusan internasional. 3 Kedaulatan merupakan
suatu sifat atau ciri hakiki dari negara, di mana negara tersebut berdaulat, tetapi
mempunyai batas-batasnya, yaitu ruang berlakunya kekuasaan tertinggi ini
dibatasi oleh batas-batas wilayah negara itu, di luar wilayahnya negara tersebut
tidak lagi memiliki kekuasaan demikian.4
Kedaulatan suatu negara tidak lagi bersifat mutlak atau absolut, akan tetapi
pada batas-batas tertentu harus menghormati kedaulatan negara lain, yang diatur
melalui hukum internasional. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah
kedaulatan negara bersifat relatif (Relative Sovereignty of State). Dalam konteks
hukum internasional, negara yang berdaulat pada hakikatnya harus tunduk dan
menghormati hukum internasional, maupun kedaulatan dan integritas wilayah
negara lain.5

Berkenaan dengan hal tersebut, kedaulatan tidak dipandang sebagai
sesuatu yang bulat dan utuh, melainkan dalam batas-batas tertentu sudah tunduk
pada pembatasan-pembatasan yang berupa hukum internasional maupun
kedaulatan dari sesama negara lainnya. Dengan demikian suatu negara yang
berdaulat tetap saja tunduk pada hukum internasional serta tidak boleh melanggar
atau merugikan kedaulatan negara lain. Sehubungan dengan hal tersebut, maka
                                                            
3
Jill Staens dan Lloyd Pettiford, Hubungan Internasional:Perspektif dan Tema, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2009, hal. 60.
4
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum, Bina
Cipta, Jakarta, 2010, hal. 7.
5
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional,
Graha Ilmu, Yogyakarta 2011 hal 8.

 

 

Universitas Sumatera Utara

11 
 

dapat dikatakan pula bahwa pada masa kini kedaulatan negara merupakan sisa
dari kekuasaan yang dimiliki dalam batas-batas yang ditetapkan melalui hukum
internasional.
Air Defence Identification Zone (ADIZ) merupakan zona bagi keperluan
identifikasi dalam sistem pertahanan udara bagi suatu negara, dimana zona
tersebut pada umumnya terbentang mulai dari wilayah territorial negara yang
bersangkutan hingga mencapai ruang udara di atas laut bebas yang berbatasan
dengan negara tersebut, namun penetapan ADIZ yang demikian tidak
dimaksudkan untuk memperluas.
Kedaulatan negara pemilik ADIZ atas laut bebas yang tecakup dalam
ADIZ negara itu. ADIZ dibentuk atas dasar keperluan identifikasi dalam sistem
pertahanan udara bagi suatu negara, dimana zona tersebut pada umumnya
terbentang mulai dari wilayah territorial negara yang bersangkutan hingga
mencapai ruang udara di atas laut bebas yang berbatasan dengan negara tersebut.
Zona ini mewajibkan pesawat sipil maupun militer untuk melaporkan rencana

penerbangannya.
Dasar hukum pendirian ADIZ adalah praktek internasional yang telah
menjadi hukum kebiasaan internasional (Customary International Law). Pasal 38
(1) Statuta Mahkamah Internasional menyebutkan Hukum kebiasaan internasional
merupakan salah satu sumber hukum yang diakui oleh negara-negara pada
umumnya. Hukum kebiasaan berasal dari praktek negara-negara melalui sikap dan
tindakan yang diambil terhadap suatu persoalan. Bila suatu negara mengambil
suatu kebijakan dan kebijakan tersebut diikuti oleh negara-negara lain dan

 

 
Universitas Sumatera Utara

12 
 

dilakukan berkali-kali serta tanpa adanya protes atau tantangan dari pihak lain
maka secara berangsur-angsur terbentuklah suatu kebiasaan
Sejarah pembentukan ADIZ di level internasional, pertama kali

diperkenalkan oleh Amerika Serikat pada bulan Desember 1950, semasa perang
Korea. Lima bulan kemudian Canada juga mengeluarkan sejumlah peraturan yang
diberi nama Rules for the Security Control of Air Traffic. Sama dengan Amerika
Serikat, peraturan yang dikeluarkan oleh Kanada itu maksudnya untuk in the
interest of national security, to identify, locate and control aircraft operation
within areas designated as “Canadian Air Defence Identification Zone” (CADIZ).
Pasal 1 Konvensi Paris 1919 secara tegas menyatakan bahwa negaranegara pihak mengakui bahwa tiap-tiap negara mempunyai kedaulatan penuh dan
ekslusif atas ruang udara yang terdapat diatas wilayahnya. sedangkan Konvensi
Chicago 1944 mengambil secara integral prinsip yang terdapat dalam Konvensi
Paris 1919.
Berdasarkan latar belakang di atas merasa tertarik memilih judul
Pengaturan Air Defence Identification Zone (ADIZ) Sebagai Perwujudan
Kedaulatan Teritorial Ditinjau Dari Konvensi Paris 1919.

B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut di atas, maka perumusan masalah sebagai
berikut ;
1. Bagaimanakah pengaturan hukum udara internasional?
2. Bagaimanakah Penerapan Air Defence Identification Zone (ADIZ) dalam
Konversi Paris 1919


 

 
Universitas Sumatera Utara

13 
 

3. Bagaimanakah pengaturan Air Defence Identification Zone (ADIZ) sebagai
perwujudan kedaulatan teritorial ditinjau dari Konvensi Paris 1919?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Secara rinci tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pengaturan hukum udara internasional.
b. Untuk mengetahui Bagaimanakah Penerapan Air Defence Identification
Zone (ADIZ) dalam Konversi Paris 1919.
c. Untuk mengetahui pengaturan Air Defence Identification Zone (ADIZ)
sebagai perwujudan kedaulatan teritorial ditinjau dari Konvensi Paris

1919.
2. Manfaat penulisan
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dapat dilihat secara teoritis
dan secara praktis berikut ini:
a. Secara teoretis diharapkan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk
melahirkan berbagai konsep keilmuan yang pada gilirannya dapat memberikan
andil bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum internasional khususnya
pengaturan Air Defence Identification Zone (ADIZ) sebagai perwujudan
kedaulatan teritorial.
b. Secara praktis diharapkan agar tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi
para pembuat kebijakan maupun pihak legislatif guna melengkapi peraturan

 

 
Universitas Sumatera Utara

14 
 


perundang-undangan yang masih diperlukan terkait dengan pengaturan Air
Defence Identification Zone (ADIZ) sebagai perwujudan kedaulatan teritorial.

D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan penelusuran terhadap judul skripsi yang ada di Perpustakaan,
belum ada tulisan skripsi yang mengangkat judul tentang Pengaturan Air Defence
Identification Zone (ADIZ) Sebagai Perwujudan Kedaulatan Teritorial Ditinjau
Dari Konvensi Paris 1919. Adapun judul-judul yang ada pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang hampir mirip antara lain :
Sudirman

H.

Nainggolan

(2014)

Pengaturan

Penerbangan

Sipil

Internasional Menurut Hukum Internasional yang Melintasi Antar Negara.
Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Bagaimana open sky policy sebagai instrumen hukum udara?
2. Bagaimana pengaturan hukum internasional tentang kedaulatan negara
atas ruang angkasa di wilayahnya
3. Bagaimana pengaturan penerbangan sipil internasional menurut hukum
internasional yang melintasi antar negara?
Oleh karena itu tulisan ini bukan merupakan hasil penggandaan dari karya
tulis orang lain dan keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.

 

 
Universitas Sumatera Utara

15 
 

E. Tinjauan Kepustakaan
1. Kedaulatan.
Kedaulatan dikenal dengan istilah sovereignty berasal dari kata latin
superanus yang berarti yang teratas. Negara dikatakan berdaulat karena
kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki negara. Bila dikatakan negara itu
berdaulat, dimaksudkan bahwa negara itu mempunyai kekuasaan tertinggi. 6
Kedaualatan merupakan salah satu unsur eksistensi sebuah negara. Dari sudut
ilmu Bahasa bahasa kedaulatan dapat diartikan sebagai kekuasaan tertinggi atas
pemerintahan Negara, daerah dan sebagainya.7 Dalam konteks ilmu tata Negara
Parthiana8 menyatakan bahwa kedaulatan dapat diartikan sebagai kekuasaan yang
tertinggi yang mutlak, utuh, bulat dan tidak dapat dibagi-bagi dan oleh karena itu
tidak dapat ditempatkan di bawah kekuasaan lain.
Wilayah kedaulatan negara mencakup pula ruang udara diatas wilayahnya.
Sebelum abad ke-19, perhatian negara terhadap wilayah praktis belum ada sama
sekali. Namun, setelah berhasil ditemukannya pesawat terbang oleh Wright, ruang
udara mulai diperhitungkan dalam masyarakat internasional.

Pada masa

permulaan perkembangannya, wilayah udara belum begitu penting. Pada masa
sekarang pun, konsep kedaulatan negara di ruang udara belum begitu penting.
Pesawat-pesawat terbang yang cukup banyak pada waktu itu, yaitu balon-balon
udara, bebas diterbangkan dari satu negara dan mendarat di negara lain atau
                                                            
6

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Putra Abardin, Bandung,
1999, hal. 11.
7
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 2010, hal 188.
8
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2003,
hal 90.

 

 
Universitas Sumatera Utara

16 
 

kemana saja pesawat tadi kebetulan terbawa oleh angin. Misalnya, seorang
penerbang bangsa Perancis, yaitu Bleroit yang telah melakukan penerbangan yang
menggemparkan pada tahun 1909, Bleroit dari Perancis menyebrang melalui selat
Calais untuk kemudian mendarat di Inggris tanpa adanya keberatan apapun dari
pihak Inggris.9
Namun, pada waktu meletusnya Perang Dunia I yang melibatkan pula
pesawat-pesawat udara dengan teknik yang lebih maju, pesawat ini telah membuat
keamanan negara terancam melalui pemboman udara dan spionase oleh musuh.
Karena itu pula, negara-negara secara sepihak mulai menerapkan kedaulatannya
di ruang udara diatas wilayahnya. Tindakan-tindakan negara ini ditegaskan dalam
pasal 1 Konvensi Paris (Convention Relating to the Regulation of Aerial
Navigation) yang ditandatangani tanggal 13 Oktober 1919 yang memberikan
kepada suatu negara “kedaulatan komplit dan eksklusif” di atas wilayahnya,
termasuk perairan teritorialnya. Pasal 1 Konvensi Paris 1919 itu berbunyi sebagai
berikut :
“The High Contracting States recognise that every Power has complete and
exclusive sovereignty over the air space above its territory…and the territorial
waters adjacent thereto”
Konvensi Paris tahun 1919 ini diganti oleh konvensi Chicago tahun
1944 (Convention on International Civil Aviation) yang diterima secara universal.
Dalam Pasal 1 konvensi ini ditegaskan kembali bahwa setiap negara memiliki

                                                            
9

Ivanrifkyw.blogspot.co.id/2013/01/kedaulatan-teritorial-makalah-hukum.html (diakses
tanggal 1 Maret 2016)

 

 
Universitas Sumatera Utara

17 
 

juridiksi eksklusif dan wewenang untuk mengontrol ruang udara diatas
wilayahnya.
Kapal-kapal negara lain, baik pesawat sipil ataupun militer tak punya hak
untuk memasuki ruang udara atau mendarat di wilayahnya tanpa persetujuannya.
Pada waktu itu, negara-negara telah masuk dalam Perang Dunia II. Dalam masa
itu, negara-negara menyaksikan serangan-serangan pesawat udara, salah satunya
adalah pemboman nuklir melalui pesawat-pesawat bomber Amerika Serikat atas
Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Sejak peristiwa itu, negara-negara
menjadi semakin sadar akan peranan ruang udara terhadap setiap pelanggaran
terhadapnya, seperti masuknya pesawat udara tanpa izin ke dalam wilayahnya.
Hal ini dapat berakibat fatal. Sebagai contoh adalah ditembaknya pesawatpesawat Angkatan Udara Amerika Serikat RB-47 oleh Uni Soviet pada Juli 1960
diaas daerah lepas pantai sejauh 3 mil dari pantai Uni Soviet sebelah utara. Hal
yang cukup penting diutarakan disini yaitu diaturnya tentang adanya hak lintas
damai (The right of innocent passage) sebagaimana diatur dalam Pasal 5
Konvensi Chocago 1944. Akan tetapi, ketentuan itu tidak diterima oleh banyak
negara, karena sensitifnya wilayah ruang udara yang dari hari ke hari dengan
kemajuan teknologi pesawat udara, wilayah udara menjadi sasaran peka dari pihak
lawan. Namun demikian, masuknya pesawat asing tanpa izin kedalam wilayah
suatu negara tidak selalu bersifat fatal, jika masuknya pesawat asing tersebut
disebabkan karena kehabisan bahan bakar, kerusakan mesin, cuaca buruk atau
karena adanya pembajakan, maka hal tersebut biasanya tidak membawa masalah
keamanan atau pelanggaran yang signifikan.

 

 
Universitas Sumatera Utara

18 
 

Di Konverensi Chicago tahun 1944, beberapa negara mengusulkan
memasukkan “lima kebebasan udara” (Five Freedoms of The Air) di dalam
konvensi. Namun, usul ini ditolak oleh beberapa negara. Oleh sebab itu, ada dua
perjanjian

yang

ditandatangani

yaitu International

Air

Services

di

Chocago

Transit

pada

7

Desember

Agreement dan International

1944,
Air

Transport Agreement.

2. Kedaulatan Teritorial
Indonesia adalah negara kepulauan yang berbatasan dengan sepuluh
negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina,
Palau, PapuaNugini, Australia dan Timor Leste.Menurut Konvensi Hukum Laut
PBB (UNCLOS) 1982, maka Indonesiaberhak untuk menetapkan batas-batas
terluar beberapa zona maritim seperti LautTeritorial, Zona Tambahan, Zona
Ekonomi Ekslusif, dan Landas kontinen. Padasetiap zona terdapat kedaulatan atau
hak berdaulat yang penting bagi Indonesia. Itulahyang menyebabkan penetapan
zona maritim dan penyelesaian batas maritim denganNegara tetangga mendesak
untuk dilakukan.Titik terluar pada Garis Air Rendah pantai yang berbatasan
dengan negaratetangga yang berhadapan atau berdampingan yang merupakan titik
terluar bersamauntuk penarikan garis pangkal ditetapkan berdasarkan perjanjian
kedua negara serta

10

memenuhi ketentuan Hukum Intemasional. Perjanjian

perbatasan dengan negaratetangga tersebut pengesahannya dilakukan dengan
Undang-undang.Dasar Hukum Batas Wilayah Laut Internasional.
                                                            
10

Diansicute.blogspot.co.id/2011/12/kedaulatan-teritorial.html (diakses tanggal 1 Maret

2016)

 

 
Universitas Sumatera Utara

19 
 

Mengacu pada ketentuan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS III) tahun
1982mengenai

penetapan

batas

wilayah

laut,

dinyatakan

bahwa

batas

kewenanganwilayah laut suatu Negara Pantai diukur dan ditentukan posisinya dari
GarisPangkal (baseline). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38
Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal
Kepulauan Indonesia.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang
dibentuk untuk menindaklanjuti pengesahan Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 memuat ketentuan bahwa peta
yangmenggambarkan wilayah Perairan Indonesia atau Daftar Koordinat Geografis
Titik-titik

Garis

Pangkal

Kepulauan

Indonesia,

diatur

dengan

PeraturanPemerintah.Datum Vertikal Yang DigunakanGaris Pangkal yang
digunakan untuk menentukan batas-batas wilayah tautadalah Garis Air Rendah
(low water line) dimana Garis Pangkal pada umumnyaditurunkan dari garis
pangkal normal yang merupakan garis pertemuan antarapermukaan air rendah
dengan garis pantai.Permukaan air rendah adalah Chart Datum yang didefinisikan
sebagaidatum vertikal. Walaupun IHO telah merekomendasikan LAT sebagai
Chart Datum Intemasional namun belum semua negara menggunakannya.
Digunakan model-model Chart Datum ISWL, MLLW (Pantai Barat Amerika),
MLLW (Pantai Timur Amerika), IHO, MSWL, Admiralty, LLW, MSLdan MLW
dimana dilakukan uji signifikansi terhadap perbedaan nilai-nilaikedudukan
vertikal antar model-model Chart Datum terhadap LAT untuk keperluan
penetapan batas laut wilayah.

 

 
Universitas Sumatera Utara

20 
 

F. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif, di mana penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur
penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan
dipandang dari sisi normatifnya.11
Penelitian hukum normatif yang dilakukan dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan yuridis normatif, yakni dengan melakukan analisis
terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas
hukum yang mengacu pada norma-norma atau kaidah-kaidah hukum positif yang
berlaku. Penelitian hukum pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
mempelajari

satu

atau

beberapa

gejala

hukum

tertentu

dengan

jalan

menganalisisnya.12
2. Sifat penelitian
Untuk menunjang diperolehnya data yang aktual dan akurat, penelitian
yang dilakukan bersifat deskriptif yaitu penelitian yang hanya menggambarkan
fakta-fakta tentang objek penelitian baik dalam kerangka sistematisasi maupun
sinkronisasi berdasarkan aspek yurisidis, dengan tujuan menjawab permasalahan
yang menjadi objek penelitian.13
                                                            
11

Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media
Publishing, Surbaya, 2005, hal. 46.
12
Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan
Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 83
13
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 2007, hal. 116-117.

 

 
Universitas Sumatera Utara

21 
 

3. Alat pengumpulan data
Bahan atau materi yang dipakai dalam skripsi\ ini diperoleh melalui
penelitian kepustakaan. Dari hasil penelitian kepustakaan diperoleh data sekunder
yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier. Dalam konteks ini, data sekunder mempunyai peranan, yakni melalui data
sekunder tersebut akan tergambar penerapan peraturan perundang-undangan
tentang pengaturan Air Defence Identification Zone (ADIZ) sebagai perwujudan
kedaulatan teritorial.
Penelitian yuridis normatif lebih menekankan pada data sekunder atau data
kepustakaan yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan
berupa:
1) Charter of The United Nations (Piagam PBB).
2) Chicago Convention of 1944: Convention on International Civil Aviation.
3) International Air Transport Agreement (IATA)
4) Paris Convention of 1919: Convention relating to the Regulation of Aerial
navigation.
5) The Outer Space treaty of 1967.
6) Konvensi Chicago 1944
7) Tokyo

Convention

1963:

Convention

on

Offences

and

Certain

OtherActscommitted on Board Aircraft
8) United Nation Convention On the Law of The Sea (UNCLOS)1982
9) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan

 

 
Universitas Sumatera Utara

22 
 

b. Bahan hukum sekunder berupa bahan-bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, terdiri dari buku-buku dan tulisan-tulisan
ilmiah hasil penelitian para ahli.
c. Bahan hukum tertier, berupa bahan yang dapat mendukung bahan hukum
primer, terdiri dari kamus hukum, kamus Inggris-Indonesia dan kamus besar
Bahasa Indonesia.
4. Teknik pengumpulan data
Mengingat penelitian ini adalah penelitian yang bersifat yuridis normatif
yang memusatkan perhatian pada data sekunder, maka pengumpulan data utama
ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan dan studi dokumen-dokumen
yang berkaitan dengan penelitian. Dan untuk melengkapi data yang berasal dari
studi kepustakaan tersebut.
5. Analisis data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisa dengan
menggunakan metode normatif kualitatif dengan logika induktif yaitu berfikir
dengan hal-hal yang khusus menuju hal yang umum dengan menggunakan
perangkat interpretasi dan kontruksi hukum yang bersifat komparatif, artinya
penelitian ini digolongkan sebagai penelitian normatif yang dilengkapi dengan
perbandingan penelitian data-data sekunder. Rangkaian penelitian merupakan halhal yang tidak terlepas dalam hubungan dengan suatu sistem yaitu adanya
hubungan yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan tertentu, berarti
bertolak dari peraturan-peraturan yang ada (hukum positif).

 

 
Universitas Sumatera Utara

23 
 

G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika penulisan
karya ilmiah sesuai dengan aturan baru dalam penulisan karya ilmiah, maka
penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika
penulisan hukum ini terdiri dari 5 (lima) bab, yang apabila disusun dengan
sistematis adalah sebagai berikut:
BAB I

PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,
metode penelitian serta sistematika penulisan

BAB II

PENGATURAN HUKUM UDARA INTERNASIONAL
Bab ini berisikan mengenai sejarah dan sumber hukum udara,
prinsip-prinsip hukum udara internasional dan tanggung jawab
wilayah udara.

BAB III

PENERAPAN AIR DEFENCE IDENTIFICATION ZONE (ADIZ)
DALAM KONVERSI PARIS 1919
Bab ini berisikan tentang Air Defence Identification Zone (ADIZ),
status Air Defence Identification Zone (ADIZ) menurut hukum
udara internasional dan penerapan ADIZ di berbagai negara

BAB IV

PENGATURAN AIR DEFENCE IDENTIFICATION ZONE
(ADIZ) SEBAGAI PERWUJUDAN KEDAULATAN
TERITORIAL DITINJAU DARI KONVENSI PARIS 1919

 

 
Universitas Sumatera Utara

24 
 

Bab ini berisikan tentang pengaturan ADIZ dalam hukum udara
internasional, pengaturan ADIZ yang dibenarkan dalam hukum
udara internasional dan penerapan ADIZ overlapping terhadap
wilayah Alur Laut kepulauan
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN
Merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran
dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya.

 

 
Universitas Sumatera Utara